🌕🍃SILSILAH FIQHIYYAT AL IMAM IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH (85)
🔹Hukum perempuan memangkas rambutnya hingga di atas kedua bahunya dalam rangka menyambut keinginan suaminya.
📍Pertanyaan : apakah diperbolehkan bagi perempuan memangkas rambutnya hingga di atas kedua bahunya apabila ia tidak berniat untuk tasyabbuh namun dalam rangka melaksanakan permintaan suaminya?
📜Jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah :
Adapun pertanyaan yang pertama yaitu perempuan memangkas rambutnya maka pendapat yang masyhur di kalangan ulama Hanabilah adalah dimakruhkan bagi wanita memangkas rambutnya walaupun sedikit, mereka mengatakan : bahwasanya apabila seorang perempuan dalam keadaan melakukan manasik (haji atau umrah) ia tidak mengambil dari rambutnya kecuali seukuran ruas jarinya, lantas bagaimana di dalam keadaan yang lain? Dan sebagian ulama berkata : diperbolehkan bagi perempuan memangkas rambutnya dengan syarat tidak melebihi di atas kedua bahunya dan tidak mengandung sikap tasyabbuh/menyerupai rambut kaum laki-laki atau rambut para wanita pezina atau wanita-wanita kafir, dan atas dasar ini kita katakan : bahwa perempuan tidak boleh memangkas rambutnya hingga di atas kedua bahunya walaupun suaminya ridha dengan hal itu, bahkan walaupun suaminya memerintahkannya dengan hal tersebut.
Dan wajib bagi para suami untuk bertakwa kepada Allah dan janganlah mereka memaksa istri-istri mereka untuk melakukan perkara yang tidak mereka sukai dan islam juga tidak memandangnya boleh.
🎙Al Liqa-usy Syahri (72).
https://binothaimeen.net/content/1665
حكم قص المرأة شعرها إلى ما فوق الكتفين تلبية لرغبة زوجها
السؤال:
هل يجوز قص الشعر إلى ما فوق الكتفين للمرأة إذا كانت لا تقصد التشبه وإنما إجابة لطلب زوجها، وما حكم لبس النقاب وإخراج العينين فقط؟
الجواب:
أما الأول وهو قص المرأة شعرها: فالمشهور عند الحنابلة أنه يكره أن تقصه ولو شيئاً يسيراً، وقالوا: إنه إذا كانت في النسك لا تقص منه إلا قدر أنملة، فما بالك بغيره؟ وقال بعض العلماء: إنه يجوز أن تقص رأسها بشرط ألا يرتفع فوق الكتف، وألا يكون فيه مشابهة لشعر الرجال، أو لشعر المومسات العاهرات، أو الكافرات، وبناءً على هذا نقول: لا تقص المرأة شعر رأسها إلى ما فوق الكتفين حتى وإن رضي الزوج بذلك، بل حتى وإن أمر بذلك.
وعلى الأزواج أن يتقوا الله وألا يكرهوا النساء على أمر يكرهنه، والإسلام أيضاً لا يراه.
http://telegram.me/dinulqoyyim
🔹Hukum perempuan memangkas rambutnya hingga di atas kedua bahunya dalam rangka menyambut keinginan suaminya.
📍Pertanyaan : apakah diperbolehkan bagi perempuan memangkas rambutnya hingga di atas kedua bahunya apabila ia tidak berniat untuk tasyabbuh namun dalam rangka melaksanakan permintaan suaminya?
📜Jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah :
Adapun pertanyaan yang pertama yaitu perempuan memangkas rambutnya maka pendapat yang masyhur di kalangan ulama Hanabilah adalah dimakruhkan bagi wanita memangkas rambutnya walaupun sedikit, mereka mengatakan : bahwasanya apabila seorang perempuan dalam keadaan melakukan manasik (haji atau umrah) ia tidak mengambil dari rambutnya kecuali seukuran ruas jarinya, lantas bagaimana di dalam keadaan yang lain? Dan sebagian ulama berkata : diperbolehkan bagi perempuan memangkas rambutnya dengan syarat tidak melebihi di atas kedua bahunya dan tidak mengandung sikap tasyabbuh/menyerupai rambut kaum laki-laki atau rambut para wanita pezina atau wanita-wanita kafir, dan atas dasar ini kita katakan : bahwa perempuan tidak boleh memangkas rambutnya hingga di atas kedua bahunya walaupun suaminya ridha dengan hal itu, bahkan walaupun suaminya memerintahkannya dengan hal tersebut.
Dan wajib bagi para suami untuk bertakwa kepada Allah dan janganlah mereka memaksa istri-istri mereka untuk melakukan perkara yang tidak mereka sukai dan islam juga tidak memandangnya boleh.
🎙Al Liqa-usy Syahri (72).
https://binothaimeen.net/content/1665
حكم قص المرأة شعرها إلى ما فوق الكتفين تلبية لرغبة زوجها
السؤال:
هل يجوز قص الشعر إلى ما فوق الكتفين للمرأة إذا كانت لا تقصد التشبه وإنما إجابة لطلب زوجها، وما حكم لبس النقاب وإخراج العينين فقط؟
الجواب:
أما الأول وهو قص المرأة شعرها: فالمشهور عند الحنابلة أنه يكره أن تقصه ولو شيئاً يسيراً، وقالوا: إنه إذا كانت في النسك لا تقص منه إلا قدر أنملة، فما بالك بغيره؟ وقال بعض العلماء: إنه يجوز أن تقص رأسها بشرط ألا يرتفع فوق الكتف، وألا يكون فيه مشابهة لشعر الرجال، أو لشعر المومسات العاهرات، أو الكافرات، وبناءً على هذا نقول: لا تقص المرأة شعر رأسها إلى ما فوق الكتفين حتى وإن رضي الزوج بذلك، بل حتى وإن أمر بذلك.
وعلى الأزواج أن يتقوا الله وألا يكرهوا النساء على أمر يكرهنه، والإسلام أيضاً لا يراه.
http://telegram.me/dinulqoyyim
🌕🍃SILSILAH FIQHIYYAT AL IMAM IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH (86)
📜Pertanyaan : apakah menghilangkan rambut yang tumbuh diantara kedua alis diharamkan ?
📍Jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah :
Menghilangkan rambut yang tumbuh diantara dua alis diperbolehkan apabila memperburuk tampilan fisik dimana ia tumbuh dengan sangat banyak, namun tidak boleh menghilangkannya dengan cara dicabut dikarenakan mencabutnya termasuk perbuatan namsh (menghilangkan bulu di wajah) dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam melaknat wanita yang menghilangkan bulu di wajahnya atau yang meminta dihilangkan bulu di wajahnya.
Adapun jika bulu tersebut sedikit dan tidak mengganggu (pandangan) serta tidak memperburuk tampilan fisik maka yang lebih utama adalah membiarkannya dan tidak menghilangkannya.
🎙Fatawa Nur alad Darbi (225).
https://binothaimeen.net/content/9791
═ ۞ ﷽ ۞ ═
🔗سئل الشيخ العلامة ابن عثيمين -رحمه الله - :
🔺️ هل إزالة الشعر الذي بين الحاجبين حرام❓
✅جواب اْلشّيْخ مُحَمّدُ بْنُ صَاَلِحٍ اْلعُثَيْمِينَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَاَلَى :
✒إزالة الشعر الذي بين الحاجبين جائز،
إذا كان مشوهاً للخلقة،
بحيث يكون كثيراً جداً،
ولكن لا تجوز إزالته بالنتف؛
لأن النتف من النمص،
وقد لعن النبي صلي الله عليه وسلم النامصة والمتنمصة،
وأما إذا كان خفيفاً معتاداً لا يؤذي ولا يشوه،
فإن الأولى تركه وعدم التعرض له.
📼 فتاوى نور على الدرب / الشريط رقم [225]
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Pertanyaan : apakah menghilangkan rambut yang tumbuh diantara kedua alis diharamkan ?
📍Jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah :
Menghilangkan rambut yang tumbuh diantara dua alis diperbolehkan apabila memperburuk tampilan fisik dimana ia tumbuh dengan sangat banyak, namun tidak boleh menghilangkannya dengan cara dicabut dikarenakan mencabutnya termasuk perbuatan namsh (menghilangkan bulu di wajah) dan sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam melaknat wanita yang menghilangkan bulu di wajahnya atau yang meminta dihilangkan bulu di wajahnya.
Adapun jika bulu tersebut sedikit dan tidak mengganggu (pandangan) serta tidak memperburuk tampilan fisik maka yang lebih utama adalah membiarkannya dan tidak menghilangkannya.
🎙Fatawa Nur alad Darbi (225).
https://binothaimeen.net/content/9791
═ ۞ ﷽ ۞ ═
🔗سئل الشيخ العلامة ابن عثيمين -رحمه الله - :
🔺️ هل إزالة الشعر الذي بين الحاجبين حرام❓
✅جواب اْلشّيْخ مُحَمّدُ بْنُ صَاَلِحٍ اْلعُثَيْمِينَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَاَلَى :
✒إزالة الشعر الذي بين الحاجبين جائز،
إذا كان مشوهاً للخلقة،
بحيث يكون كثيراً جداً،
ولكن لا تجوز إزالته بالنتف؛
لأن النتف من النمص،
وقد لعن النبي صلي الله عليه وسلم النامصة والمتنمصة،
وأما إذا كان خفيفاً معتاداً لا يؤذي ولا يشوه،
فإن الأولى تركه وعدم التعرض له.
📼 فتاوى نور على الدرب / الشريط رقم [225]
http://telegram.me/dinulqoyyim
🌕🍃SILSILAH FIQHIYYAT AL IMAM IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH (87)
📜Hukum memenuhi undangan orang yang bermuamalah dengan riba.
🔹Pertanyaan : wahai Fadhilatusy Syaikh apakah dipenuhi undangan orang yang bermuamalah dengan riba?
📍Jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah :
Ya, dipenuhi undangan orang yang bermuamalah dengan riba, kecuali ada maslahat dengan tidak memenuhi undangannya dimana orang yang bermuamalah dengan riba tersebut akan jera apabila ia melihat manusia tidak menghadiri undangannya, maka ketika kondisi ini wajib menolak dari memenuhi undangannya, adapun jika tidak ada maslahat dalam sikapnya tersebut yakni dalam menolak dari memenuhi undangannya maka dia hendaknya menerima/menghadiri undangannya; dalilnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memenuhi undangan orang Yahudi dalam keadaan beliau adalah pemimpin orang-orang yang bersifat wara', dan orang-orang Yahudi telah diketahui bahwa mereka mengambil riba dan memakan harta haram, namun beliau memenuhi undangan mereka; dikarenakan harta yang diharamkan karena pekerjaannya itu diharamkan atas orang yang melakukan pekerjaan haram tersebut saja kecuali apabila harta itu diharamkan karena dzatnya maka ia diharamkan atas orang lain juga, ini merupakan kaedah yang bersandar pada dalil-dalil, dan makna harta yang diharamkan karena dzatnya adalah misalnya seorang yang mencuri harta orang lain kemudian ia berikan harta curian tersebut kepada orang lain, maka tidak diperbolehkan bagi orang yang dihadiahkan tersebut untuk menerimanya sebagai hadiah dalam keadaan ia mengetahui bahwa harta tersebut adalah harta curian dikarenakan ini adalah harta yang haram karena dzatnya, berbeda halnya dengan harta yang haram karena pekerjaannya maka dosanya atas orang yang melakukan pekerjaan haram tersebut, dan jika harta tersebut sampai kepada orang lain dengan cara yang mubah maka hukumnya mubah, na'am.
🎙Fatawa Nur Alad Darbi (283).
https://binothaimeen.net/content/11014
هل يلبي دعوة من يتعامل بالربا ؟
السؤال:
هذه السائلة تقول: يا فضيلة الشيخ، هل تلبى دعوة من يتعامل بالربا؟
الجواب:
الشيخ: الحمد لله رب العالمين، وأصلي وأسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه زمن تبعهم بإحسان على يوم الدين، نعم، تجاب دعوة من يتعامل بالربا، إلا أن يكون في عدم الإجابة مصلحة بحيث يرتدع هذا المتعامل إذا رأى أن الناس لا يجيبون دعوته، فحينئذ يجب الامتناع عن إجابة الدعوة، وأما إذا لم يكن في ذلك مصلحة، أي في الامتناع عن إجابة دعوته مصلحة، فإنه تجاب دعوته؛ ودليل ذلك أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أجاب دعوة اليهود، وهو سيد المتورعين صلوات الله وسلامه عليه، واليهود قد عرف عنهم أنهم يأخذون الربا ويأكلون السحت، ومع هذا أجابهم؛ لأن المحرم من كسبه حرام على الكاسب فقط، إلا أن يكون عين مال محرمة فتكون حراماً على غيره أيضاً، هذه هي القاعدة التي تستند بها الأدلة، ومعنى كونه محرماً لعينه أن يسرق سارق مال شخص ثم يؤتيه إلى شخص آخر، فلا يجوز للشخص الذي أهدي إليه وهو يعلم أنه مسروق أن يقبل الهدية، لأن هذا هو عين المال المحرم، بخلاف ما كان محرماً لكسبه، فإن إثمه على الكاسب، وإذا وصل لغيره بطريق مباح كان مباحاً. نعم.
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Hukum memenuhi undangan orang yang bermuamalah dengan riba.
🔹Pertanyaan : wahai Fadhilatusy Syaikh apakah dipenuhi undangan orang yang bermuamalah dengan riba?
📍Jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah :
Ya, dipenuhi undangan orang yang bermuamalah dengan riba, kecuali ada maslahat dengan tidak memenuhi undangannya dimana orang yang bermuamalah dengan riba tersebut akan jera apabila ia melihat manusia tidak menghadiri undangannya, maka ketika kondisi ini wajib menolak dari memenuhi undangannya, adapun jika tidak ada maslahat dalam sikapnya tersebut yakni dalam menolak dari memenuhi undangannya maka dia hendaknya menerima/menghadiri undangannya; dalilnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memenuhi undangan orang Yahudi dalam keadaan beliau adalah pemimpin orang-orang yang bersifat wara', dan orang-orang Yahudi telah diketahui bahwa mereka mengambil riba dan memakan harta haram, namun beliau memenuhi undangan mereka; dikarenakan harta yang diharamkan karena pekerjaannya itu diharamkan atas orang yang melakukan pekerjaan haram tersebut saja kecuali apabila harta itu diharamkan karena dzatnya maka ia diharamkan atas orang lain juga, ini merupakan kaedah yang bersandar pada dalil-dalil, dan makna harta yang diharamkan karena dzatnya adalah misalnya seorang yang mencuri harta orang lain kemudian ia berikan harta curian tersebut kepada orang lain, maka tidak diperbolehkan bagi orang yang dihadiahkan tersebut untuk menerimanya sebagai hadiah dalam keadaan ia mengetahui bahwa harta tersebut adalah harta curian dikarenakan ini adalah harta yang haram karena dzatnya, berbeda halnya dengan harta yang haram karena pekerjaannya maka dosanya atas orang yang melakukan pekerjaan haram tersebut, dan jika harta tersebut sampai kepada orang lain dengan cara yang mubah maka hukumnya mubah, na'am.
🎙Fatawa Nur Alad Darbi (283).
https://binothaimeen.net/content/11014
هل يلبي دعوة من يتعامل بالربا ؟
السؤال:
هذه السائلة تقول: يا فضيلة الشيخ، هل تلبى دعوة من يتعامل بالربا؟
الجواب:
الشيخ: الحمد لله رب العالمين، وأصلي وأسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه زمن تبعهم بإحسان على يوم الدين، نعم، تجاب دعوة من يتعامل بالربا، إلا أن يكون في عدم الإجابة مصلحة بحيث يرتدع هذا المتعامل إذا رأى أن الناس لا يجيبون دعوته، فحينئذ يجب الامتناع عن إجابة الدعوة، وأما إذا لم يكن في ذلك مصلحة، أي في الامتناع عن إجابة دعوته مصلحة، فإنه تجاب دعوته؛ ودليل ذلك أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أجاب دعوة اليهود، وهو سيد المتورعين صلوات الله وسلامه عليه، واليهود قد عرف عنهم أنهم يأخذون الربا ويأكلون السحت، ومع هذا أجابهم؛ لأن المحرم من كسبه حرام على الكاسب فقط، إلا أن يكون عين مال محرمة فتكون حراماً على غيره أيضاً، هذه هي القاعدة التي تستند بها الأدلة، ومعنى كونه محرماً لعينه أن يسرق سارق مال شخص ثم يؤتيه إلى شخص آخر، فلا يجوز للشخص الذي أهدي إليه وهو يعلم أنه مسروق أن يقبل الهدية، لأن هذا هو عين المال المحرم، بخلاف ما كان محرماً لكسبه، فإن إثمه على الكاسب، وإذا وصل لغيره بطريق مباح كان مباحاً. نعم.
http://telegram.me/dinulqoyyim
الدين القيم
Photo
📍🌕SILSILAH FAWAID MANHAJIYYAH (33)
🔹Syubhat dan bantahannya.
📜Fadhilatusy Syaikh Al Allamah Ubaid bin Abdullah Al Jabiri rahimahullah berkata :
Sebagian manusia pada hari ini tidak menganggap adanya baiat kecuali untuk khalifah terbesar dalam keadaan khalifah terbesar belum ada, tidak ada khalifah bagi kaum muslimin lantas apakah manusia dibiarkan kacau?
Maka jawabannya : tidak, dan kita membantah mereka dari dua sisi :
-Dari sisi akal : apakah kalian ridha manusia menjadi kacau urusan mereka dimana orang yang kuat menindas orang yang lemah dan manusia menjadi sasaran (kezhaliman).
-Adapun dari sisi naql (dalil syar'i) : maka hendaklah kita mendengarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع.
"Barangsiapa yang berbaiat kepada imam (pemimpin) lalu ia memberikan kepadanya genggaman tangannya (dengan membaiatnya) dan buah hatinya (kejujurannya) maka hendaklah ia menaatinya semampunya".
Maka lafazh imam (pemimpin) berbentuk nakirah pada konteks syarat, dan isim nakirah dalam konteks syarat termasuk lafazh yang mengandung makna umum, sehingga barangsiapa yang menjadi imam (pemimpin) atas kaum muslimin sama saja apakah ia adalah khalifah atau di bawah khalifah maka wajib menepati baiat terhadapnya, mendengar dan mentaatinya, maka syubhat ini terbantahkan secara naql (dalil) dan secara akal.
📚Tanbih Dzawil Uqulis Salimah hal. 32.
http://telegram.me/dinulqoyyim
🔹Syubhat dan bantahannya.
📜Fadhilatusy Syaikh Al Allamah Ubaid bin Abdullah Al Jabiri rahimahullah berkata :
Sebagian manusia pada hari ini tidak menganggap adanya baiat kecuali untuk khalifah terbesar dalam keadaan khalifah terbesar belum ada, tidak ada khalifah bagi kaum muslimin lantas apakah manusia dibiarkan kacau?
Maka jawabannya : tidak, dan kita membantah mereka dari dua sisi :
-Dari sisi akal : apakah kalian ridha manusia menjadi kacau urusan mereka dimana orang yang kuat menindas orang yang lemah dan manusia menjadi sasaran (kezhaliman).
-Adapun dari sisi naql (dalil syar'i) : maka hendaklah kita mendengarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع.
"Barangsiapa yang berbaiat kepada imam (pemimpin) lalu ia memberikan kepadanya genggaman tangannya (dengan membaiatnya) dan buah hatinya (kejujurannya) maka hendaklah ia menaatinya semampunya".
Maka lafazh imam (pemimpin) berbentuk nakirah pada konteks syarat, dan isim nakirah dalam konteks syarat termasuk lafazh yang mengandung makna umum, sehingga barangsiapa yang menjadi imam (pemimpin) atas kaum muslimin sama saja apakah ia adalah khalifah atau di bawah khalifah maka wajib menepati baiat terhadapnya, mendengar dan mentaatinya, maka syubhat ini terbantahkan secara naql (dalil) dan secara akal.
📚Tanbih Dzawil Uqulis Salimah hal. 32.
http://telegram.me/dinulqoyyim
الدين القيم
Photo
📍🌕SILSILAH FAWAID MANHAJIYYAH (34)
📜Prinsip Ahlussunnah dalam menasehati penguasa.
🔹Fadhilatusy Syaikh Al Allamah Ubaid bin Abdillah Al Jabiri hafizhahullah berkata :
Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan Al Imam Ahmad dalam musnadnya dan selain keduanya meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda :
«مَنْ كانت عنده نصيحة لذي سُلْطَانٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، وليَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ»
"Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan dan hendaklah ia mengambil tangannya dan menyendiri dengannya maka jika penguasa tersebut menerima nasehat tersebut maka itu yang diharapkan dan jika ia menolaknya maka ia telah menunaikan kewajiban yang dibebankan atasnya".
Maka hadits ini menunjukkan tiga perkara :
Yang pertama : sikap merahasiakan secara sempurna dalam menasehati penguasa hingga nasehat tersebut disembunyikan dari orang yang paling dekat dengan penguasa tersebut jika memungkinkan.
Yang kedua : lepasnya tanggung jawab dengan semata-mata menasehati dengan cara yang terkandung dalam hadits ini.
Yang ketiga : bahwasanya tidak ada pertanggung-jawaban bagi orang yang tidak mampu untuk menasehati penguasa secara rahasia dikarenakan tidaklah suatu jiwa dibebani kecuali sesuai kemampuannya dan dikarenakan cara ini merupakan cara yang datang dari Allah melalui lisan RasulNya sehingga jikalau Allah meridhai bagi hamba-hambaNya dan negeri-negeri cara selainnya niscaya akan datang penjelasannya dalam Al Quran atau dalam sunnah yang shahih maka wajib bagi setiap pencari kebenaran dan petunjuk untuk berhenti pada nash (dalil) ini.
📚Tanbih Dzawil Uqulis Salimah hal. 44.
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Prinsip Ahlussunnah dalam menasehati penguasa.
🔹Fadhilatusy Syaikh Al Allamah Ubaid bin Abdillah Al Jabiri hafizhahullah berkata :
Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan Al Imam Ahmad dalam musnadnya dan selain keduanya meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda :
«مَنْ كانت عنده نصيحة لذي سُلْطَانٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، وليَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ»
"Barangsiapa yang hendak menasehati penguasa maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan dan hendaklah ia mengambil tangannya dan menyendiri dengannya maka jika penguasa tersebut menerima nasehat tersebut maka itu yang diharapkan dan jika ia menolaknya maka ia telah menunaikan kewajiban yang dibebankan atasnya".
Maka hadits ini menunjukkan tiga perkara :
Yang pertama : sikap merahasiakan secara sempurna dalam menasehati penguasa hingga nasehat tersebut disembunyikan dari orang yang paling dekat dengan penguasa tersebut jika memungkinkan.
Yang kedua : lepasnya tanggung jawab dengan semata-mata menasehati dengan cara yang terkandung dalam hadits ini.
Yang ketiga : bahwasanya tidak ada pertanggung-jawaban bagi orang yang tidak mampu untuk menasehati penguasa secara rahasia dikarenakan tidaklah suatu jiwa dibebani kecuali sesuai kemampuannya dan dikarenakan cara ini merupakan cara yang datang dari Allah melalui lisan RasulNya sehingga jikalau Allah meridhai bagi hamba-hambaNya dan negeri-negeri cara selainnya niscaya akan datang penjelasannya dalam Al Quran atau dalam sunnah yang shahih maka wajib bagi setiap pencari kebenaran dan petunjuk untuk berhenti pada nash (dalil) ini.
📚Tanbih Dzawil Uqulis Salimah hal. 44.
http://telegram.me/dinulqoyyim
🌕🍃SILSILAH FIQHIYYAT AL IMAM IBNU UTSAIMIN RAHIMAHULLAH (88)
🔹Perbedaan antara kafir dzimmi, kafir mu'ahad dan kafir musta'min.
📜Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata :
Jiwa yang diharamkan (terjaga darahnya, pent) ada 4 jiwa yaitu jiwa mukmin, dzimmi, mu'ahad, dan musta'min, dengan mengkasrah mim yaitu orang yang meminta jaminan keamanan.
Maka orang mukmin diharamkan jiwanya karena imannya, orang dzimmi diharamkan jiwanya karena akad dzimmah yang ia lakukan, orang mu'ahad karena 'ahd (perjanjian damai) yang telah disepakati, dan orang musta'min karena ia diberi jaminan keamanan.
Dan perbedaan antara tiga macam jiwa ini -dzimmi, mu'ahad dan musta'min- : bahwasanya dzimmi adalah orang yang antara kita dan dia ada dzimmah yaitu suatu akad perjanjian agar ia bisa tinggal di negeri kita dalam keadaan terjaga jiwanya disertai dengan membayar jizyah (semacam upeti).
Adapun mu'ahad maka ia tinggal di negerinya sendiri namun antara kita dan dia ada suatu perjanjian untuk tidak saling memerangi.
Adapun musta'min maka antara kita dan dia tidak ada dzimmah dan tidak ada 'ahd (perjanjian damai), namun kita menjamin keamanannya pada waktu yang telah ditentukan, seperti seorang kafir harbi yang masuk ke negeri kita dengan jaminan keamanan dalam rangka melakukan bisnis dan semisalnya atau dalam rangka untuk memahami islam, Allah Ta'ala berfirman :
وإنْ أَحَدٌ مِنَ المُشرِكينَ استجارَكَ فَأَجِرْهُ حتى يَسْمَعَ كلامَ اللهِ ثم أَبْلِغْهُ مَأْمَنَه} التوبة:٦.
"Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia supaya ia mendengar kalamullah (Al Quran),
kemudian kirimlah ia ke tempat yang aman baginya". (At Taubah : 6).
Dan disana ada perbedaan yang lain yaitu bahwasanya 'ahd (perjanjian damai) diperbolehkan dilakukan terhadap semua orang-orang kafir, dan dzimmah tidak diperbolehkan dilakukan kecuali terhadap kaum Yahudi, Nashara dan Majusi tanpa orang-orang kafir yang lain, ini pendapat yang masyhur dari madzhab Hanabilah, dan pendapat yang shahih bahwa dzimmah boleh dilakukan terhadap semua orang-orang kafir.
Maka empat jiwa ini diharamkan untuk dibunuh, namun tidak sama dalam hukum pengharaman, maka jiwa seorang mukmin lebih agung, kemudian dzimmi, kemudian mu'ahad, kemudian musta'min.
📚Al Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid 1/499-500.
═ ۞ ﷽ ۞ ═
#العقد_المتين_والدر_الثمين_من_فقهيات_الإمام_ابن_عثيمين
📚قال الإمام ابن عثيمين -رحمه الله-:
"والنَّفْس المحرَّمة أربعة أنْفُس، هي: نفس المؤمن، والذِّمّي، والمُعاهَد، والمستأمِن، بكسر الميم: طالِب الأمان.
فالمؤمن لإيمانه، والذمي لذمّته، والمعاهَد لعهده، والمستأمِن لتأمينه.
والفرق بين الثلاثة -الذمي والمعاهَد والمستأمِن- أن الذمي هو الذي بيننا وبينه ذِمّة: أي عَهْدٌ على أن يُقِيم في بلادنا معصومًا مع بَذْل الجزية.
وأمّا المعاهَد فيقيم في بلاده لكنْ بيننا وبينه عهد أنْ لا يُحاربنا ولا نحاربه.
وأمّا المستأمِن فهو الذي ليس بيننا وبينه ذمة ولا عهد، لكننا أمَّنّاه في وقتٍ محدد، كرجل حربي دخل إلينا بأمان للتجارة ونحوها، أو لِيَفْهَم الإسلام، قال تعالى: {وإنْ أَحَدٌ مِنَ المُشرِكينَ استجارَكَ فَأَجِرْهُ حتى يَسْمَعَ كلامَ اللهِ ثم أَبْلِغْهُ مَأْمَنَه} [التوبة:٦].
وهناك فرقٌ آخر وهو أن العهد يجوز مِنْ جميع الكفار، والذمة لا تجوز إلا من اليهود والنصارى والمجوس دُونَ بقية الكفار، وهذا هو المشهور من المذهب، والصحيح: أنها تجوز من جميع الكفار.
فهذه الأنفس الأربع قَتْلُها حرام، لكنها ليست على حدٍّ سواء في التحريم، فنفس المؤمن أعظم، ثم الذمي، ثم المعاهَد، ثم المستأمِن". اهـ
📚القول المفيد على كتاب التوحيد - (ج١ ص٤٩٩-٥٠٠)
http://telegram.me/dinulqoyyim
🔹Perbedaan antara kafir dzimmi, kafir mu'ahad dan kafir musta'min.
📜Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata :
Jiwa yang diharamkan (terjaga darahnya, pent) ada 4 jiwa yaitu jiwa mukmin, dzimmi, mu'ahad, dan musta'min, dengan mengkasrah mim yaitu orang yang meminta jaminan keamanan.
Maka orang mukmin diharamkan jiwanya karena imannya, orang dzimmi diharamkan jiwanya karena akad dzimmah yang ia lakukan, orang mu'ahad karena 'ahd (perjanjian damai) yang telah disepakati, dan orang musta'min karena ia diberi jaminan keamanan.
Dan perbedaan antara tiga macam jiwa ini -dzimmi, mu'ahad dan musta'min- : bahwasanya dzimmi adalah orang yang antara kita dan dia ada dzimmah yaitu suatu akad perjanjian agar ia bisa tinggal di negeri kita dalam keadaan terjaga jiwanya disertai dengan membayar jizyah (semacam upeti).
Adapun mu'ahad maka ia tinggal di negerinya sendiri namun antara kita dan dia ada suatu perjanjian untuk tidak saling memerangi.
Adapun musta'min maka antara kita dan dia tidak ada dzimmah dan tidak ada 'ahd (perjanjian damai), namun kita menjamin keamanannya pada waktu yang telah ditentukan, seperti seorang kafir harbi yang masuk ke negeri kita dengan jaminan keamanan dalam rangka melakukan bisnis dan semisalnya atau dalam rangka untuk memahami islam, Allah Ta'ala berfirman :
وإنْ أَحَدٌ مِنَ المُشرِكينَ استجارَكَ فَأَجِرْهُ حتى يَسْمَعَ كلامَ اللهِ ثم أَبْلِغْهُ مَأْمَنَه} التوبة:٦.
"Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia supaya ia mendengar kalamullah (Al Quran),
kemudian kirimlah ia ke tempat yang aman baginya". (At Taubah : 6).
Dan disana ada perbedaan yang lain yaitu bahwasanya 'ahd (perjanjian damai) diperbolehkan dilakukan terhadap semua orang-orang kafir, dan dzimmah tidak diperbolehkan dilakukan kecuali terhadap kaum Yahudi, Nashara dan Majusi tanpa orang-orang kafir yang lain, ini pendapat yang masyhur dari madzhab Hanabilah, dan pendapat yang shahih bahwa dzimmah boleh dilakukan terhadap semua orang-orang kafir.
Maka empat jiwa ini diharamkan untuk dibunuh, namun tidak sama dalam hukum pengharaman, maka jiwa seorang mukmin lebih agung, kemudian dzimmi, kemudian mu'ahad, kemudian musta'min.
📚Al Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid 1/499-500.
═ ۞ ﷽ ۞ ═
#العقد_المتين_والدر_الثمين_من_فقهيات_الإمام_ابن_عثيمين
📚قال الإمام ابن عثيمين -رحمه الله-:
"والنَّفْس المحرَّمة أربعة أنْفُس، هي: نفس المؤمن، والذِّمّي، والمُعاهَد، والمستأمِن، بكسر الميم: طالِب الأمان.
فالمؤمن لإيمانه، والذمي لذمّته، والمعاهَد لعهده، والمستأمِن لتأمينه.
والفرق بين الثلاثة -الذمي والمعاهَد والمستأمِن- أن الذمي هو الذي بيننا وبينه ذِمّة: أي عَهْدٌ على أن يُقِيم في بلادنا معصومًا مع بَذْل الجزية.
وأمّا المعاهَد فيقيم في بلاده لكنْ بيننا وبينه عهد أنْ لا يُحاربنا ولا نحاربه.
وأمّا المستأمِن فهو الذي ليس بيننا وبينه ذمة ولا عهد، لكننا أمَّنّاه في وقتٍ محدد، كرجل حربي دخل إلينا بأمان للتجارة ونحوها، أو لِيَفْهَم الإسلام، قال تعالى: {وإنْ أَحَدٌ مِنَ المُشرِكينَ استجارَكَ فَأَجِرْهُ حتى يَسْمَعَ كلامَ اللهِ ثم أَبْلِغْهُ مَأْمَنَه} [التوبة:٦].
وهناك فرقٌ آخر وهو أن العهد يجوز مِنْ جميع الكفار، والذمة لا تجوز إلا من اليهود والنصارى والمجوس دُونَ بقية الكفار، وهذا هو المشهور من المذهب، والصحيح: أنها تجوز من جميع الكفار.
فهذه الأنفس الأربع قَتْلُها حرام، لكنها ليست على حدٍّ سواء في التحريم، فنفس المؤمن أعظم، ثم الذمي، ثم المعاهَد، ثم المستأمِن". اهـ
📚القول المفيد على كتاب التوحيد - (ج١ ص٤٩٩-٥٠٠)
http://telegram.me/dinulqoyyim
Forwarded from مكنز عمدة الأحكام
شرح_كتاب_الصيام_من_عمدة_الأحكام_للشيخ_عبيد_بن_عبدالله_الجابري.pdf
11.6 MB
شرح كتاب الصيام من عمدة الأحكام للشيخ عبيد بن عبدالله الجابري.pdf
🌖🍃SILSILAH SYARH KITABUS SHIYAM DARI KITAB UMDATUL AHKAM (1)
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Kitabus Shiyam.
Ash Shiyam (puasa) memiliki dua makna, salah satunya adalah makna secara bahasa dan yang kedua adalah makna secara syariat.
Maka ash shiyam secara bahasa adalah semata-mata menahan dari sesuatu dengan tanpa niat, maka dikatakan : ia melakukan shiyam dari berbicara yakni menahan dari berbicara, dan ia melakukan shiyam dari duduk di rumahnya dan ia menetapi masjid yakni ia menahan dirinya dari duduk di rumahnya dan selain itu.
Adapun makna secara syariat untuk ash shiyam adalah menahan dengan niat semenjak terbitnya fajar kedua hingga terbenamnya matahari dari dua syahwat yaitu syahwat perut dan kemaluan, dan dikatakan pula : menahan dari semua pembatal-pembatalnya berupa makan dan minum dan yang dihukumi seperti keduanya, maka perbedaan antara kedua makna tersebut adalah niat.
Dan dengan ini kalian mengetahui bahwa mogok makan dan minum yang dilakukan oleh orang-orang politik yang bisa berlangsung selama berbulan-bulan bukanlah shiyam dengan makna secara syariat bahkan bukan pula shiyam dengan makna secara bahasa, ia termasuk kebid'ahan yang diingkari, maka orang yang melakukan mogok makan dan minum sebagai perlawanan terhadap orang-orang kafir maka ini merupakan kemudharatan terhadap dirinya sendiri dan bisa membunuh dirinya sendiri, dengan itu ia telah menyelisihi larangan Allah Azza wa Jalla dalam firmannya :
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.
"Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah penyayang terhadap kalian".
Dan dalam aksinya tersebut mengandung kemudharatan yang lain yaitu musuh akan senang dengan hal tersebut, maka musuh dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nashara dan selainnya dari orang-orang kafir akan senang tatkala seorang muslim melakukan aksi mogok makan di penjara mereka sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang ia dapatkan berupa penyiksaan dan selain itu, dan ia ingin kaum muslimin melakukan mogok makan supaya mereka mati, sehingga orang tersebut yang melakukan aksi mogok makan tidak memberikan faedah dan tidak mendapatkan faedah melainkan kegembiraan musuh atasnya dan atas kaum muslimin yang lain, maka jika ia mendapatkan kesempatan untuk memenjarakan semua kaum muslimin di penjara-penjaranya hingga mereka meninggal dunia dalam keadaan menahan dari makan dan minum (niscaya akan dilakukan).
▪️Bersambung....
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Kitabus Shiyam.
Ash Shiyam (puasa) memiliki dua makna, salah satunya adalah makna secara bahasa dan yang kedua adalah makna secara syariat.
Maka ash shiyam secara bahasa adalah semata-mata menahan dari sesuatu dengan tanpa niat, maka dikatakan : ia melakukan shiyam dari berbicara yakni menahan dari berbicara, dan ia melakukan shiyam dari duduk di rumahnya dan ia menetapi masjid yakni ia menahan dirinya dari duduk di rumahnya dan selain itu.
Adapun makna secara syariat untuk ash shiyam adalah menahan dengan niat semenjak terbitnya fajar kedua hingga terbenamnya matahari dari dua syahwat yaitu syahwat perut dan kemaluan, dan dikatakan pula : menahan dari semua pembatal-pembatalnya berupa makan dan minum dan yang dihukumi seperti keduanya, maka perbedaan antara kedua makna tersebut adalah niat.
Dan dengan ini kalian mengetahui bahwa mogok makan dan minum yang dilakukan oleh orang-orang politik yang bisa berlangsung selama berbulan-bulan bukanlah shiyam dengan makna secara syariat bahkan bukan pula shiyam dengan makna secara bahasa, ia termasuk kebid'ahan yang diingkari, maka orang yang melakukan mogok makan dan minum sebagai perlawanan terhadap orang-orang kafir maka ini merupakan kemudharatan terhadap dirinya sendiri dan bisa membunuh dirinya sendiri, dengan itu ia telah menyelisihi larangan Allah Azza wa Jalla dalam firmannya :
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.
"Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah penyayang terhadap kalian".
Dan dalam aksinya tersebut mengandung kemudharatan yang lain yaitu musuh akan senang dengan hal tersebut, maka musuh dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nashara dan selainnya dari orang-orang kafir akan senang tatkala seorang muslim melakukan aksi mogok makan di penjara mereka sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang ia dapatkan berupa penyiksaan dan selain itu, dan ia ingin kaum muslimin melakukan mogok makan supaya mereka mati, sehingga orang tersebut yang melakukan aksi mogok makan tidak memberikan faedah dan tidak mendapatkan faedah melainkan kegembiraan musuh atasnya dan atas kaum muslimin yang lain, maka jika ia mendapatkan kesempatan untuk memenjarakan semua kaum muslimin di penjara-penjaranya hingga mereka meninggal dunia dalam keadaan menahan dari makan dan minum (niscaya akan dilakukan).
▪️Bersambung....
http://telegram.me/dinulqoyyim
🌖🍃SILSILAH SYARH KITABUS SHIYAM MIN UMDATIL AHKAM (2)
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dan ketahuilah wahai kaum muslimin bahwasanya puasa bermacam-macam :
Yang pertama : puasa yang wajib dengan kewajiban yang berlaku bagi masing-masing individu mukallaf dari kaum muslimin laki-laki ataupun perempuan, merdeka ataupun budak, ini adalah puasa Ramadhan -kami memohon kepada Allah agar menyampaikan kita kepada bulan Ramadhan dan menolong kita dan menyempurnakan ibadah kita serta menerima ibadah kita- sehingga puasa ini wajib hukumnya dengan dalil Al Quran dan sunnah mutawatir serta dengan ijma' kaum muslimin, orang awam mereka maupun orang khusus mereka hingga perempuan lanjut usia yang memiliki fitrah yang baik lagi selamat walaupun tidak bisa membaca dengan baik surat Al Fatihah maka ia meyakini kewajiban puasa di bulan ini.
Dan ketahuilah -semoga Allah memberikan hidayah kepada kita dan kalian kepada perkara-perkara yang terbimbing dalam ucapan dan amalan- bahwasanya kewajiban puasa bulan ini ada beberapa syarat :
1⃣Yang pertama : taklif dan ia mencakup baligh dan berakal, dan tidak ada kewajiban untuk menunaikan hak Allah tanpa adanya taklif, bahkan ia merupakan tempat bergantungnya semua hukum-hukum Allah Azza wa Jalla yakni hak-hak Allah, adapun hak-hak bani Adam maka ini memiliki pembahasan yang lain dan sungguh telah dibahas secara luas tentangnya beberapa kali, maka barangsiapa yang ingin mengetahuinya maka hendaklah ia merujuk tempat-tempat tersebut, sebagiannya di masjid ini dan sebagiannya di tempat yang lain.
2⃣Syarat yang kedua : masuknya bulan, dan masuknya bulan ada dua cara :
-Yang pertama : rukyatul hilal, dan ini ditetapkan dengan persaksian seorang yang adil dari laki-laki kaum muslimin, yaitu muslim, baligh dan berakal.
-Cara yang kedua : menyempurnakan bulan Sya'ban tiga puluh hari, sebagaimana akan datang insyaAllah, inilah syarat kedua dan kalian telah mengetahui bahwa ia tersusun dari dua cabang.
3⃣Syarat ketiga : muqim, dalilnya adalah firman Allah Jalla wa Ala :
﴿فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾ [ البقرة: ١٨٥].
"Maka barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan ini (dalam keadaan mukim dan sehat) maka hendaklah ia berpuasa". (Al Baqarah : 185).
4⃣Syarat keempat : selamat dari penyakit yang membolehkan untuk berbuka, dan ini penilaiannya dikembalikan kepada dokter muslim yang terpercaya.
5⃣Dan bagi perempuan ditambah syarat kelima : yaitu lepas dari kondisi haidh dan nifas.
Inilah puasa yang hukumnya wajib 'ain dengan dalil syariat atas setiap muslim yang baligh dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan yaitu puasa Ramadhan dengan dalil Al Quran, Sunnah dan ijma'.
Macam puasa yang kedua : puasa yang wajib karena alasan tertentu, dan ini mencakup puasa nadzar dan puasa kaffarah; kaffarah qatlul khata' dan syibhul 'amd, kaffarah sumpah, kaffarah zhihar dan kaffarah jima' di siang hari Ramadhan sebagaimana akan datang insyaAllah, maka ini hukumnya wajib namun tidak atas setiap muslim yang baligh, tidak, akan tetapi karena alasan tertentu, maka barangsiapa yang bernadzar puasa atau ia melakukan sesuatu yang mengharuskan untuk menunaikan kaffarah maka wajib baginya berpuasa yakni dirinya saja bukan orang lain.
Macam yang ketiga : puasa nafilah atau puasa tathawwu' dan sungguh telah mencukupi kita apa yang disampaikan oleh saudara kami, khathib kami dan murid kami Syeikh Abdul Wahid bin Hadi waffaqahullah, maka apa yang disampaikan beliau dalam khutbah ini telah mencukupi, maka dirujuk kepada penjelasan tersebut -semoga Allah memberkahi semuanya-.
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dan ketahuilah wahai kaum muslimin bahwasanya puasa bermacam-macam :
Yang pertama : puasa yang wajib dengan kewajiban yang berlaku bagi masing-masing individu mukallaf dari kaum muslimin laki-laki ataupun perempuan, merdeka ataupun budak, ini adalah puasa Ramadhan -kami memohon kepada Allah agar menyampaikan kita kepada bulan Ramadhan dan menolong kita dan menyempurnakan ibadah kita serta menerima ibadah kita- sehingga puasa ini wajib hukumnya dengan dalil Al Quran dan sunnah mutawatir serta dengan ijma' kaum muslimin, orang awam mereka maupun orang khusus mereka hingga perempuan lanjut usia yang memiliki fitrah yang baik lagi selamat walaupun tidak bisa membaca dengan baik surat Al Fatihah maka ia meyakini kewajiban puasa di bulan ini.
Dan ketahuilah -semoga Allah memberikan hidayah kepada kita dan kalian kepada perkara-perkara yang terbimbing dalam ucapan dan amalan- bahwasanya kewajiban puasa bulan ini ada beberapa syarat :
1⃣Yang pertama : taklif dan ia mencakup baligh dan berakal, dan tidak ada kewajiban untuk menunaikan hak Allah tanpa adanya taklif, bahkan ia merupakan tempat bergantungnya semua hukum-hukum Allah Azza wa Jalla yakni hak-hak Allah, adapun hak-hak bani Adam maka ini memiliki pembahasan yang lain dan sungguh telah dibahas secara luas tentangnya beberapa kali, maka barangsiapa yang ingin mengetahuinya maka hendaklah ia merujuk tempat-tempat tersebut, sebagiannya di masjid ini dan sebagiannya di tempat yang lain.
2⃣Syarat yang kedua : masuknya bulan, dan masuknya bulan ada dua cara :
-Yang pertama : rukyatul hilal, dan ini ditetapkan dengan persaksian seorang yang adil dari laki-laki kaum muslimin, yaitu muslim, baligh dan berakal.
-Cara yang kedua : menyempurnakan bulan Sya'ban tiga puluh hari, sebagaimana akan datang insyaAllah, inilah syarat kedua dan kalian telah mengetahui bahwa ia tersusun dari dua cabang.
3⃣Syarat ketiga : muqim, dalilnya adalah firman Allah Jalla wa Ala :
﴿فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾ [ البقرة: ١٨٥].
"Maka barangsiapa diantara kalian yang menyaksikan bulan Ramadhan ini (dalam keadaan mukim dan sehat) maka hendaklah ia berpuasa". (Al Baqarah : 185).
4⃣Syarat keempat : selamat dari penyakit yang membolehkan untuk berbuka, dan ini penilaiannya dikembalikan kepada dokter muslim yang terpercaya.
5⃣Dan bagi perempuan ditambah syarat kelima : yaitu lepas dari kondisi haidh dan nifas.
Inilah puasa yang hukumnya wajib 'ain dengan dalil syariat atas setiap muslim yang baligh dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan yaitu puasa Ramadhan dengan dalil Al Quran, Sunnah dan ijma'.
Macam puasa yang kedua : puasa yang wajib karena alasan tertentu, dan ini mencakup puasa nadzar dan puasa kaffarah; kaffarah qatlul khata' dan syibhul 'amd, kaffarah sumpah, kaffarah zhihar dan kaffarah jima' di siang hari Ramadhan sebagaimana akan datang insyaAllah, maka ini hukumnya wajib namun tidak atas setiap muslim yang baligh, tidak, akan tetapi karena alasan tertentu, maka barangsiapa yang bernadzar puasa atau ia melakukan sesuatu yang mengharuskan untuk menunaikan kaffarah maka wajib baginya berpuasa yakni dirinya saja bukan orang lain.
Macam yang ketiga : puasa nafilah atau puasa tathawwu' dan sungguh telah mencukupi kita apa yang disampaikan oleh saudara kami, khathib kami dan murid kami Syeikh Abdul Wahid bin Hadi waffaqahullah, maka apa yang disampaikan beliau dalam khutbah ini telah mencukupi, maka dirujuk kepada penjelasan tersebut -semoga Allah memberkahi semuanya-.
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
🌖🍃SILSILAH SYARH KITABUS SHIYAM MIN UMDATIL AHKAM (3)
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu beliau berkata : Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أو يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1914 dan Muslim no. 1082).
Hadits ini pembicaraan tentangnya dari beberapa sisi :
1⃣Sisi yang pertama : sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
((لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَان))
"Janganlah kalian mendahului Ramadhan", yakni janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan.
2⃣Sisi yang kedua : sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam :
((بِصَوْمِ يَوْمٍ أو يَوْمَيْنِ))
"....dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya", maksudnya menyegerakan puasa (dalam rangka kehati-hatian, pent) sebelum masuknya bulan Ramadhan yang ditetapkan bisa dengan bukti rukyatul hilal atau dengan menyempurnakan Sya'ban 30 hari, ini ketika tidak terlihat hilal disebabkan mendung atau debu (kabut) atau selain itu.
3⃣Sisi yang ketiga : sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
إِلاَّ رَجُلا كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ.
"Kecuali seorang lelaki yang berpuasa dengan kebiasaan puasanya maka tidak mengapa ia berpuasa dengan puasa tersebut".
Lafazh "seorang lelaki" ini bukan pengkhususan namun menjelaskan keadaan yang lebih dominan, hal itu dikarenakan yang menghadiri majelis-majelis beliau shallallahu alaihi wasallam didominasi oleh kaum laki-laki, dan terkadang hadir pula kaum wanita namun mereka sedikit, maka laki-laki dan perempuan dalam hukum ini sama.
Dan sabda beliau :
كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ.
"Kecuali seorang lelaki yang berpuasa dengan kebiasaan puasanya maka tidak mengapa ia berpuasa dengan puasa tersebut".
Ini mengandung kemungkinan dua atau tiga macam puasa :
-Yang pertama : puasa qadha' Ramadhan, seseorang yang waktu untuk mengqadha' puasa Ramadhan sempit baginya sehingga ia tidak bisa melakukannya kecuali sehari atau dua hari sebelum Ramadhan.
-Yang kedua : seseorang yang memiliki kewajiban puasa tertentu sebagaimana yang telah lewat berupa puasa kaffarah atau puasa nadzar atau selain itu.
-Yang ketiga : seseorang yang memiliki kebiasaan puasa Senin dan Kamis maka tidak mengapa baginya berpuasa apa yang menjadi kebiasaannya (jika dilakukan sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan, pent).
Dan disini ada pertanyaan : diriwayatkan dari sebagian shahabat radhiallahu anhum bahwasanya mereka mendahului Ramadhan dengan puasa beberapa hari sebelumnya : sehari sebelumnya, dua hari sebelumnya atau tiga hari sebelumnya ?
Jawabannya : ini adalah ijtihad dari mereka radhiallahu anhum dalam keadaan nash (dalil) adalah hujjah, maka jika bertentangan antara ijtihad seorang shahabat dan nash shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam maka yang dijadikan pegangan adalah nash dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, oleh karena inilah para ulama kita berkata dalam kaedah-kaedah ushul : tidak ada ijtihad bersama adanya nash (dalil).
▪️Bersambung....
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu beliau berkata : Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أو يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1914 dan Muslim no. 1082).
Hadits ini pembicaraan tentangnya dari beberapa sisi :
1⃣Sisi yang pertama : sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
((لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَان))
"Janganlah kalian mendahului Ramadhan", yakni janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan.
2⃣Sisi yang kedua : sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam :
((بِصَوْمِ يَوْمٍ أو يَوْمَيْنِ))
"....dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya", maksudnya menyegerakan puasa (dalam rangka kehati-hatian, pent) sebelum masuknya bulan Ramadhan yang ditetapkan bisa dengan bukti rukyatul hilal atau dengan menyempurnakan Sya'ban 30 hari, ini ketika tidak terlihat hilal disebabkan mendung atau debu (kabut) atau selain itu.
3⃣Sisi yang ketiga : sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
إِلاَّ رَجُلا كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ.
"Kecuali seorang lelaki yang berpuasa dengan kebiasaan puasanya maka tidak mengapa ia berpuasa dengan puasa tersebut".
Lafazh "seorang lelaki" ini bukan pengkhususan namun menjelaskan keadaan yang lebih dominan, hal itu dikarenakan yang menghadiri majelis-majelis beliau shallallahu alaihi wasallam didominasi oleh kaum laki-laki, dan terkadang hadir pula kaum wanita namun mereka sedikit, maka laki-laki dan perempuan dalam hukum ini sama.
Dan sabda beliau :
كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ.
"Kecuali seorang lelaki yang berpuasa dengan kebiasaan puasanya maka tidak mengapa ia berpuasa dengan puasa tersebut".
Ini mengandung kemungkinan dua atau tiga macam puasa :
-Yang pertama : puasa qadha' Ramadhan, seseorang yang waktu untuk mengqadha' puasa Ramadhan sempit baginya sehingga ia tidak bisa melakukannya kecuali sehari atau dua hari sebelum Ramadhan.
-Yang kedua : seseorang yang memiliki kewajiban puasa tertentu sebagaimana yang telah lewat berupa puasa kaffarah atau puasa nadzar atau selain itu.
-Yang ketiga : seseorang yang memiliki kebiasaan puasa Senin dan Kamis maka tidak mengapa baginya berpuasa apa yang menjadi kebiasaannya (jika dilakukan sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan, pent).
Dan disini ada pertanyaan : diriwayatkan dari sebagian shahabat radhiallahu anhum bahwasanya mereka mendahului Ramadhan dengan puasa beberapa hari sebelumnya : sehari sebelumnya, dua hari sebelumnya atau tiga hari sebelumnya ?
Jawabannya : ini adalah ijtihad dari mereka radhiallahu anhum dalam keadaan nash (dalil) adalah hujjah, maka jika bertentangan antara ijtihad seorang shahabat dan nash shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam maka yang dijadikan pegangan adalah nash dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, oleh karena inilah para ulama kita berkata dalam kaedah-kaedah ushul : tidak ada ijtihad bersama adanya nash (dalil).
▪️Bersambung....
http://telegram.me/dinulqoyyim
🌖🍃SILSILAH SYARH KITABUS SHIYAM DARI KITAB UMDATUL AHKAM (4)
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
عَنِ عبدالله اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: – إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal terhalangi, maka sempurnakanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” Muttafaqun ‘alaih.
Ini masalah yang kedua, masalah yang pertama dalam bab ini telah lewat yaitu larangan beliau shallallahu alaihi wasallam dari mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya dan seterusnya hingga akhir hadits.
Masalah ini berkaitan dengan dua perkara yang dengannya ditetapkan masuknya bulan Ramadhan.
Yang pertama : bukti yang disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam :
إذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا.
"Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah".
Dan rukyah ditetapkan dengan persaksian seorang yang adil dari kaum laki-laki yang muslim.
Yang kedua : ketika terhalang dari rukyah disebabkan terhalang debu atau mendung maka yang wajib adalah menyempitkan bulan Sya'ban dan ini datang penafsirannya dalam sebagian riwayat :
فَأَكْمِلُوا شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ يوما.
"....Maka sempurnakanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari".
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
عَنِ عبدالله اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ: – إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal terhalangi, maka sempurnakanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” Muttafaqun ‘alaih.
Ini masalah yang kedua, masalah yang pertama dalam bab ini telah lewat yaitu larangan beliau shallallahu alaihi wasallam dari mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya dan seterusnya hingga akhir hadits.
Masalah ini berkaitan dengan dua perkara yang dengannya ditetapkan masuknya bulan Ramadhan.
Yang pertama : bukti yang disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam :
إذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا.
"Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah".
Dan rukyah ditetapkan dengan persaksian seorang yang adil dari kaum laki-laki yang muslim.
Yang kedua : ketika terhalang dari rukyah disebabkan terhalang debu atau mendung maka yang wajib adalah menyempitkan bulan Sya'ban dan ini datang penafsirannya dalam sebagian riwayat :
فَأَكْمِلُوا شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ يوما.
"....Maka sempurnakanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari".
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
🌖🍃SILSILAH SYARH KITABUS SHIYAM DARI KITAB UMDATUL AHKAM (5)
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَسحروا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً.
“Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.” Muttafaqun ‘alaih.
Ini masalah yang ketiga : yaitu perintah untuk makan sahur, maka sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
تَسَحَّرُوا.
Yakni hendaknya kalian makan sahur, dan yang dimaksud dengan sahur adalah makan (di waktu sahur/akhir malam), dan disebut sahur dikarenakan tersamarkan bagi orang-orang yang tidak berpuasa kecuali orang yang memberikan khidmat (pelayanan) kepada orang yang berpuasa maka ia mengetahuinya.
Dan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً.
"... karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.”
Ini merupakan alasan bagi perintah untuk makan sahur, dan keberkahan tercapai dengan menguatkan orang yang berpuasa untuk melakukan ibadah-ibadah di siang hari berupa membaca Al Quran dan ibadah sunnah antara waktu Dhuhur dan waktu Dhuha dan selain itu dari ibadah-ibadah yang mana orang yang berpuasa butuh kepada kekuatan, dan membuatnya lebih kuat apabila ia mengakhirkan makan sahurnya hingga mendekati terbitnya fajar, terutama ketika puasa Ramadhan bertepatan dengan musim panas, dan perintah ini sifatnya umum yakni perintah bagi orang yang berpuasa untuk makan sahur ini umum mencakup puasa fardhu dan puasa nafilah, dan anjuran untuk mengakhirkan makan sahur juga umum.
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تَسحروا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً.
“Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.” Muttafaqun ‘alaih.
Ini masalah yang ketiga : yaitu perintah untuk makan sahur, maka sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
تَسَحَّرُوا.
Yakni hendaknya kalian makan sahur, dan yang dimaksud dengan sahur adalah makan (di waktu sahur/akhir malam), dan disebut sahur dikarenakan tersamarkan bagi orang-orang yang tidak berpuasa kecuali orang yang memberikan khidmat (pelayanan) kepada orang yang berpuasa maka ia mengetahuinya.
Dan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً.
"... karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.”
Ini merupakan alasan bagi perintah untuk makan sahur, dan keberkahan tercapai dengan menguatkan orang yang berpuasa untuk melakukan ibadah-ibadah di siang hari berupa membaca Al Quran dan ibadah sunnah antara waktu Dhuhur dan waktu Dhuha dan selain itu dari ibadah-ibadah yang mana orang yang berpuasa butuh kepada kekuatan, dan membuatnya lebih kuat apabila ia mengakhirkan makan sahurnya hingga mendekati terbitnya fajar, terutama ketika puasa Ramadhan bertepatan dengan musim panas, dan perintah ini sifatnya umum yakni perintah bagi orang yang berpuasa untuk makan sahur ini umum mencakup puasa fardhu dan puasa nafilah, dan anjuran untuk mengakhirkan makan sahur juga umum.
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
🌖🍃SILSILAH SYARH KITABUS SHIYAM DARI KITAB UMDATUL AHKAM (6)
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dari Anas dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhuma ia berkata :
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
"Kami bersahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau pergi untuk shalat.” Aku (Anas) bertanya, “Berapa lama antara adzan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.”
Yang pertama : ini merupakan nash yang menunjukkan anjuran untuk mengakhirkan sahur hingga mendekati dari terbitnya fajar sebagaimana yang telah lewat.
Yang kedua : sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
... Seukuran 50 ayat", ini bagi orang yang membaca Al Quran dengan tartil, maka ia membaca bacaan yang berhak dibaca mad (panjang) sebagaimana bacaan Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan ini ditunjukkan oleh hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan ia adalah hadits yang shahih dari Ummu Salamah radhiallahu anha ia ditanya : bagaimana bacaan Nabi shallallahu alaihi wasallam? Beliau menjawab : beliau membaca dengan bacaan mad, lalu beliau membaca :
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ .ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ.
Demikian seterusnya.
Dan tidak bisa dipegangi bacaan orang-orang yang membaca dengan sangat cepat dimana mereka mungkin membaca 50 ayat dalam beberapa menit maka inilah seperti keadaan orang yang membaca syair dengan cepat, dan hal itu bukanlah sebagaimana yang Allah memerintahkankan NabiNya shallallahu alaihi wasallam dan pada diri beliau ada teladan yang baik bagi setiap mukmin dan mukminah sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ الله كَثِيرًا﴾ [الأحزاب: 21].
“Sungguh telah ada untuk kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang bagus bagi orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir dan banyak mengingat Allah.”
Maka bacaan Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah bacaan mad bukan bacaan dengan sangat cepat, oleh karena inilah apabila kalian mendengar orang yang membaca :
بسم الله الرحمن الرحيم• الحمد لله رب العالمين• الرحمن الرحيم• مالك يوم الدين.
...hingga akhir surat Al Fatihah, masyaAllah sebagian mereka dengan satu nafas, dan ia membaca 10 ayat dengan satu nafas, ini adalah bacaan yang sangat cepat seperti membaca syair dengan cepat, dan hal itu bukan termasuk adab yang terpuji dalam membaca Al Quran bahkan termasuk adab yang tercela.
-Dan dalam hadits ini terdapat faedah yang berhubungan dengan sanad hadits ini yaitu bahwasanya hadits ini diriwayatkan oleh seorang shahabi dari shahabi yakni diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhuma.
-Dan dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan adab dari adab-adab menuntut ilmu yaitu menuju (bertanya) kepada al akabir (orang-orang yang senior dalam hal ilmu) jika mereka ada.
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dari Anas dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhuma ia berkata :
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
"Kami bersahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian beliau pergi untuk shalat.” Aku (Anas) bertanya, “Berapa lama antara adzan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.”
Yang pertama : ini merupakan nash yang menunjukkan anjuran untuk mengakhirkan sahur hingga mendekati dari terbitnya fajar sebagaimana yang telah lewat.
Yang kedua : sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
... Seukuran 50 ayat", ini bagi orang yang membaca Al Quran dengan tartil, maka ia membaca bacaan yang berhak dibaca mad (panjang) sebagaimana bacaan Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan ini ditunjukkan oleh hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan ia adalah hadits yang shahih dari Ummu Salamah radhiallahu anha ia ditanya : bagaimana bacaan Nabi shallallahu alaihi wasallam? Beliau menjawab : beliau membaca dengan bacaan mad, lalu beliau membaca :
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ .ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ.
Demikian seterusnya.
Dan tidak bisa dipegangi bacaan orang-orang yang membaca dengan sangat cepat dimana mereka mungkin membaca 50 ayat dalam beberapa menit maka inilah seperti keadaan orang yang membaca syair dengan cepat, dan hal itu bukanlah sebagaimana yang Allah memerintahkankan NabiNya shallallahu alaihi wasallam dan pada diri beliau ada teladan yang baik bagi setiap mukmin dan mukminah sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ الله كَثِيرًا﴾ [الأحزاب: 21].
“Sungguh telah ada untuk kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang bagus bagi orang yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir dan banyak mengingat Allah.”
Maka bacaan Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah bacaan mad bukan bacaan dengan sangat cepat, oleh karena inilah apabila kalian mendengar orang yang membaca :
بسم الله الرحمن الرحيم• الحمد لله رب العالمين• الرحمن الرحيم• مالك يوم الدين.
...hingga akhir surat Al Fatihah, masyaAllah sebagian mereka dengan satu nafas, dan ia membaca 10 ayat dengan satu nafas, ini adalah bacaan yang sangat cepat seperti membaca syair dengan cepat, dan hal itu bukan termasuk adab yang terpuji dalam membaca Al Quran bahkan termasuk adab yang tercela.
-Dan dalam hadits ini terdapat faedah yang berhubungan dengan sanad hadits ini yaitu bahwasanya hadits ini diriwayatkan oleh seorang shahabi dari shahabi yakni diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhuma.
-Dan dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan adab dari adab-adab menuntut ilmu yaitu menuju (bertanya) kepada al akabir (orang-orang yang senior dalam hal ilmu) jika mereka ada.
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
🌖🍃SILSILAH SYARH KITABUS SHIYAM DARI KITAB UMDATUL AHKAM (7)
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.”
Hadits ini merupakan nash (dalil) yang jelas menunjukkan kebolehan seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang akan berpuasa untuk mengakhirkan mandinya hingga waktu fajar dan bahwasanya hal itu boleh baginya, namun hadits ini bertentangan dengan hadits yang lain yang dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda :
من أصبح جنبا فلا صوم له.
"Barangsiapa yang masuk waktu Shubuh dalam keadaan junub maka tidak ada puasa baginya".
Ini nash (dalil) yang jelas yang menunjukkan bahwa diharamkan atas orang yang berpuasa untuk mengakhirkan mandinya dalam rangka menyucikan dari hadats besar hingga ia mendapati waktu fajar, dan bahwasanya jika ia melakukan hal itu maka batal puasanya; maka bagaimana jawabannya?
Jawabannya adalah bahwa hadits dalam bab ini menghapus hukum hadits Abu Hurairah yang telah kita sebutkan, maka yang diamalkan adalah hadits dalam bab ini (yakni hadits Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu anhuma).
-Dan dalam hadits bab ini terdapat beberapa faedah diantaranya yang telah lewat penjelasannya.
-Faedah yang kedua : bolehnya menyebarkan rahasia rumah tangga karena adanya maslahat syar'i yang tidak bisa digapai kecuali dengannya.
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.”
Hadits ini merupakan nash (dalil) yang jelas menunjukkan kebolehan seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang akan berpuasa untuk mengakhirkan mandinya hingga waktu fajar dan bahwasanya hal itu boleh baginya, namun hadits ini bertentangan dengan hadits yang lain yang dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda :
من أصبح جنبا فلا صوم له.
"Barangsiapa yang masuk waktu Shubuh dalam keadaan junub maka tidak ada puasa baginya".
Ini nash (dalil) yang jelas yang menunjukkan bahwa diharamkan atas orang yang berpuasa untuk mengakhirkan mandinya dalam rangka menyucikan dari hadats besar hingga ia mendapati waktu fajar, dan bahwasanya jika ia melakukan hal itu maka batal puasanya; maka bagaimana jawabannya?
Jawabannya adalah bahwa hadits dalam bab ini menghapus hukum hadits Abu Hurairah yang telah kita sebutkan, maka yang diamalkan adalah hadits dalam bab ini (yakni hadits Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu anhuma).
-Dan dalam hadits bab ini terdapat beberapa faedah diantaranya yang telah lewat penjelasannya.
-Faedah yang kedua : bolehnya menyebarkan rahasia rumah tangga karena adanya maslahat syar'i yang tidak bisa digapai kecuali dengannya.
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
🌖🍃SILSILAH SYARH KITABUS SHIYAM DARI KITAB UMDATUL AHKAM (8)
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ.
“Barangsiapa yang lupa dalam keadaan ia berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.” (HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155).
Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ
“Barangsiapa yang lupa dalam keadaan ia berpuasa... ", ini merupakan jumlah syarthiyyah (kalimat syarat) dan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
وَهُوَ صَائِمٌ
"... dalam keadaan ia berpuasa", ini merupakan jumlah haaliyyah (kalimat yang menjelaskan keadaan sesuatu) yakni ketika dalam keadaan ia berpuasa, dan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
"...maka hendaklah ia sempurnakan puasanya", ini merupakan jumlah jawab (kalimat jawaban terhadap kalimat syarat), dan hadits ini merupakan dalil bahwasanya barangsiapa yang demikian keadaannya maka tidak ada kewajiban qadha baginya berdasarkan sabda beliau :
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
"...maka hendaklah ia sempurnakan puasanya", ini merupakan perintah.
Dan sungguh sebagian ulama berpendapat -aku duga beliau adalah Al Imam Malik rahimahullah - bahwa terangkat baginya dosa dan wajib baginya mengqadha' puasa, dan pendapat ini terbantahkan dengan alasan bahwasanya seandainya disana ada kewajiban qadha' niscaya akan diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau akan bersabda :
فليتم صومه وليقض يوما مكانه.
"...hendaknya ia menyempurnakan puasanya dan mengqadha' puasa tersebut di hari yang lain sebagai gantinya", maka diketahui bahwasanya tidak ada kewajiban qadha' atasnya, ini alasan yang pertama.
Dan alasan yang lain : bahwasanya telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa tidak diperbolehkan menunda penjelasan di waktu penjelasan tersebut dibutuhkan, ini merupakan kaedah ilmu ushul (fiqih) yang masyhur, dan ia merupakan hujjah yang kuat atas orang yang mewajibkan kepada manusia suatu perkara yang tidak diwajibkan oleh Allah dan RasulNya.
Dan dengan ini kita cukupkan. Washallallahu wasallama ala nabiyyina Muhammad....
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
📜Penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri rahimahullah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ.
“Barangsiapa yang lupa dalam keadaan ia berpuasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.” (HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155).
Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ
“Barangsiapa yang lupa dalam keadaan ia berpuasa... ", ini merupakan jumlah syarthiyyah (kalimat syarat) dan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
وَهُوَ صَائِمٌ
"... dalam keadaan ia berpuasa", ini merupakan jumlah haaliyyah (kalimat yang menjelaskan keadaan sesuatu) yakni ketika dalam keadaan ia berpuasa, dan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
"...maka hendaklah ia sempurnakan puasanya", ini merupakan jumlah jawab (kalimat jawaban terhadap kalimat syarat), dan hadits ini merupakan dalil bahwasanya barangsiapa yang demikian keadaannya maka tidak ada kewajiban qadha baginya berdasarkan sabda beliau :
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
"...maka hendaklah ia sempurnakan puasanya", ini merupakan perintah.
Dan sungguh sebagian ulama berpendapat -aku duga beliau adalah Al Imam Malik rahimahullah - bahwa terangkat baginya dosa dan wajib baginya mengqadha' puasa, dan pendapat ini terbantahkan dengan alasan bahwasanya seandainya disana ada kewajiban qadha' niscaya akan diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau akan bersabda :
فليتم صومه وليقض يوما مكانه.
"...hendaknya ia menyempurnakan puasanya dan mengqadha' puasa tersebut di hari yang lain sebagai gantinya", maka diketahui bahwasanya tidak ada kewajiban qadha' atasnya, ini alasan yang pertama.
Dan alasan yang lain : bahwasanya telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa tidak diperbolehkan menunda penjelasan di waktu penjelasan tersebut dibutuhkan, ini merupakan kaedah ilmu ushul (fiqih) yang masyhur, dan ia merupakan hujjah yang kuat atas orang yang mewajibkan kepada manusia suatu perkara yang tidak diwajibkan oleh Allah dan RasulNya.
Dan dengan ini kita cukupkan. Washallallahu wasallama ala nabiyyina Muhammad....
▪️Bersambung.....
http://telegram.me/dinulqoyyim
Forwarded from فوائد الشيخ أ د أحمد بازمول 🇸🇦
هداية الحيران.pdf
371.1 KB
📚
هداية الحيران إلى صحة
وفِقه حديث : " إذا انتصف شعبان "
لفضيلة أ د #الشيخ_أحمد_بازمول حفظه الله
📮
https://t.me/ahmadbazmool/2918
هداية الحيران إلى صحة
وفِقه حديث : " إذا انتصف شعبان "
لفضيلة أ د #الشيخ_أحمد_بازمول حفظه الله
📮
https://t.me/ahmadbazmool/2918
فوائد الشيخ أ د أحمد بازمول 🇸🇦
هداية الحيران.pdf
📜📍PEMBAHASAN SEPUTAR HADITS TENTANG LARANGAN BERPUASA SETELAH PERTENGAHAN BULAN SYA'BAN.
✍Oleh Fadhilatusy Syaikh Prof. Dr. Ahmad bin Umar Baazmul hafizhahullah.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا.
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban maka janganlah berpuasa.”
Takhrij hadits :
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al Musnad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa-i dalam Al Kubra dan selain mereka.
Derajat hadits :
Hadits ini terdapat perbincangan di kalangan para ulama namun ringkasnya sebagaimana yang dikatakan oleh Al Allamah Al Albani rahimahullah :
"إسناده صحيح على شرط مسلم، وصححه الترمذي وابن حبان، واحتج به ابن حزم، وقواه ابن القيم.... وقد أعل بما لا يقدح..... "
"Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan dijadikan hujjah oleh Ibnu Hazm dan dikuatkan oleh Ibnul Qayyim... dan hadits ini dianggap memiliki 'illah (penyakit) dengan 'illah yang tidak berbahaya...".
Shahih Sunan Abi Dawud 7/101 no. 2025.
Fiqhul hadits :
Makna hadits ini adalah bahwa larangan ini bagi orang yang tidak berpuasa tathawwu' (sunnah) sebelum pertengahan Sya'ban dan ia ingin berpuasa tathawwu' setelah pertengahan Sya'ban.
At Tirmidzi rahimahullah berkata :
"Makna hadits ini menurut sebagian ulama adalah seorang laki-laki dalam keadaan tidak berpuasa, sehingga jika tersisa beberapa hari dari bulan Sya'ban maka ia mulai berpuasa karena (berhati-hati) terkait masuknya bulan Ramadhan... "
Al Allamah Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
"Maka sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam berpuasa di bulan Sya'ban seluruhnya dan terkadang beliau berpuasa di seluruh bulan Sya'ban kecuali sedikit sebagaimana yang shahih dari hadits Aisyah dan Ummu Salamah.
Adapun hadits yang padanya terdapat larangan dari berpuasa setelah pertengahan Sya'ban maka hadits tersebut shahih sebagaimana yang dikatakan saudara Al Allamah Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani, dan yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah larangan dari memulai puasa setelah pertengahan Sya'ban, adapun barangsiapa yang berpuasa di mayoritas hari-hari di bulan Sya'ban atau berpuasa di seluruh bulan Sya'ban maka sungguh ia telah mencocoki sunnah. Wallahu waliyyut taufiq". Majmu' Fatawa Ibni Baaz 15/385.
📚Sumber : makalah berjudul "Hidayatul Hayraan ilaa Hadits Idzan Tashafa Sya'ban".
http://telegram.me/dinulqoyyim
✍Oleh Fadhilatusy Syaikh Prof. Dr. Ahmad bin Umar Baazmul hafizhahullah.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا.
“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban maka janganlah berpuasa.”
Takhrij hadits :
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam Al Musnad, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa-i dalam Al Kubra dan selain mereka.
Derajat hadits :
Hadits ini terdapat perbincangan di kalangan para ulama namun ringkasnya sebagaimana yang dikatakan oleh Al Allamah Al Albani rahimahullah :
"إسناده صحيح على شرط مسلم، وصححه الترمذي وابن حبان، واحتج به ابن حزم، وقواه ابن القيم.... وقد أعل بما لا يقدح..... "
"Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan dijadikan hujjah oleh Ibnu Hazm dan dikuatkan oleh Ibnul Qayyim... dan hadits ini dianggap memiliki 'illah (penyakit) dengan 'illah yang tidak berbahaya...".
Shahih Sunan Abi Dawud 7/101 no. 2025.
Fiqhul hadits :
Makna hadits ini adalah bahwa larangan ini bagi orang yang tidak berpuasa tathawwu' (sunnah) sebelum pertengahan Sya'ban dan ia ingin berpuasa tathawwu' setelah pertengahan Sya'ban.
At Tirmidzi rahimahullah berkata :
"Makna hadits ini menurut sebagian ulama adalah seorang laki-laki dalam keadaan tidak berpuasa, sehingga jika tersisa beberapa hari dari bulan Sya'ban maka ia mulai berpuasa karena (berhati-hati) terkait masuknya bulan Ramadhan... "
Al Allamah Ibnu Baaz rahimahullah berkata :
"Maka sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam berpuasa di bulan Sya'ban seluruhnya dan terkadang beliau berpuasa di seluruh bulan Sya'ban kecuali sedikit sebagaimana yang shahih dari hadits Aisyah dan Ummu Salamah.
Adapun hadits yang padanya terdapat larangan dari berpuasa setelah pertengahan Sya'ban maka hadits tersebut shahih sebagaimana yang dikatakan saudara Al Allamah Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani, dan yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah larangan dari memulai puasa setelah pertengahan Sya'ban, adapun barangsiapa yang berpuasa di mayoritas hari-hari di bulan Sya'ban atau berpuasa di seluruh bulan Sya'ban maka sungguh ia telah mencocoki sunnah. Wallahu waliyyut taufiq". Majmu' Fatawa Ibni Baaz 15/385.
📚Sumber : makalah berjudul "Hidayatul Hayraan ilaa Hadits Idzan Tashafa Sya'ban".
http://telegram.me/dinulqoyyim