Keteladanan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam berpegang teguh dengan manhaj salaf
Segala puji bagi Allah, amma ba'du:
Barangsiapa yang memperhatikan kondisi peristiwa-peristiwa di zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —rahimahullah— seperti peperangan, perpecahan, invasi luar baik secara fisik maupun pemikiran, serta menyebarnya ahli bid’ah dan hawa nafsu, dan lain sebagainya, maka akan ia dapati bahwa karakteristik kejadian-kejadian tersebut:
1. Banyak,
2. Berturut-turut,
3. Beragam bentuknya.
Namun demikian, kita mendapati ulama salafi ini kokoh di atas manhaj salafus shalih, memengaruhi tetapi tidak terpengaruh. Tidak seperti “fuqaha al-waqi’” (para pengklaim paham realita) di zaman kita, yang setiap kejadian memiliki pandangan baru yang berbeda dengan sebelumnya, padahal gambarannya sama dan hukumnya tidak berbeda. Namun karena ketidakstabilan mereka di atas manhaj salaf, mereka menetapkan hukum-hukum atas dasar kepentingan dan kerusakan partai dan gerakan, oleh karena itu para ulama Ahlus Sunnah menyebut mereka sebagai harakiyyun (aktivis gerakan).
Maka wajib atas seorang muslim untuk teguh di atas manhaj salafus shalih, walaupun para harakiyyun bergerak berlawanan arah.
Beberapa tahun lalu, sebagian orang berusaha melemahkan semangat para salafi dengan berkata:
"Si fulan haraki terkenal, si fulan hizbi diangkat tinggi, sementara kalian —wahai salafiyyun— tetap di tempat! Kenapa tidak kalian bersatu saja? Kenapa tidak kalian tinggalkan sebagian manhaj kalian? Itu karena kurangnya pemahaman ulama kalian, tidak bisa mengambil posisi tengah… dll!"
Namun segala puji bagi Allah yang telah meneguhkan para salafiyyin di atas manhaj salafus shalih, dan menampakkan secara nyata kebusukan dan kebobrokan manhaj para harakiyyun.
Maka waspadalah —wahai Salafi— dari terbawa arus ide-ide menyimpang dengan dalih “apa yang diinginkan pendengar”. Tetaplah teguh di atas manhaj salaf, meskipun para penghias kebatilan menghiasimu dengan sebaliknya.
Imam Abu ‘Amr al-Awza’i —rahimahullah— berkata:
"Hendaknya engkau berpegang teguh kepada atsar-atsar salaf, meskipun manusia menolakmu. Dan jauhilah pendapat-pendapat manusia, meskipun mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah."
Ditulis sebagai nasihat oleh:
Abu al-Harits Usamah bin Su'ud al-‘Amri
10 Muharram 1446 H
Semoga Allah membalas para syaikhnya dari kalangan salafiyin dengan kebaikan.
الحمد لله،أمابعد:
فالناظر في حالة الأحداث في عصر شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه الله - من( حروب) و(تفكك) و(غزو خارجي جسدي وفكري)و(انتشار لأهل البدع والأهواء)... إلخ .
يجد أن صفات هذه الأحداث:
1/كثيرة.
2/متوالية.
3/متنوعة.
ومع ذلك نرى هذا العالم السلفي ثابتًا على منهج السلف الصالح مؤثرًا غير متأثر، ليس كفقهاء الواقع في زماننا الذين يزعمون فقههم للواقع!،ففي كل حدث لهم فيه رأي غير الرأي السابق ،مع اتفاق الصور وعدم افتراقها في الأحكام ،ولكن لعدم ثباتهم على منهج السلف الصالح ،يقررون أحكام الأحداث بحسب المصالح والمفاسد الحزبية الحركية؛لذا أطلق علماء أهل السنة عليهم (حركيون).
فالواجب على المسلم أن يثبت على منهج السلف الصالح ،ولو تحرك (الحركيون)خلافه.
فقبل سنوات كان بعضُ الناس ،يثبط من عزم السلفيين :(بأن فلانًا الحركي مشهور،وفلانًا الحزبي مرفوع،وأنتم -أيها السلفيون- مكانك راوح!،فلماذا لا تجتمعوا معهم؟، لماذا لا تتنازلوا عن بعض منهجكم؟،وهذا من قلة فقه مشايخكم، وعدم مسكهم للعصا من الوسط...إلخ!!!.).
والحمد لله أن ثبت الله السلفيين على منهج السلف الصالح ،وأظهر عيانًا خبث وعوار مناهج الحركيين .
فاحذر- أيها السلفي- من الإنسياق وراء الأفكار الخارجية بحجة ما يطلبه المستمعون،واثبت على منهج السلف الصالح وإن زخرف لك المزخرفون خلافه،قَالَ الإِمَامُ أبُو عَمْرٍو الأَوْزَاعِيُّ- رحمه الله -:
( عَلَيْكَ بِآثارِ مَنْ سَلَفَ وإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإيَّاكَ وآراءَ الرِّجَالِ، وَإِنْ زَخْرَفُوهُ لَكَ بالقَوْلِ ) .
كتبه ناصحًا/
أبو الحارث أسامة بن سعود العمري
10 محرم 1446
جزى الله مشايخه السلفيين عنه خيرًا
http://telegram.me/dinulqoyyim
Segala puji bagi Allah, amma ba'du:
Barangsiapa yang memperhatikan kondisi peristiwa-peristiwa di zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah —rahimahullah— seperti peperangan, perpecahan, invasi luar baik secara fisik maupun pemikiran, serta menyebarnya ahli bid’ah dan hawa nafsu, dan lain sebagainya, maka akan ia dapati bahwa karakteristik kejadian-kejadian tersebut:
1. Banyak,
2. Berturut-turut,
3. Beragam bentuknya.
Namun demikian, kita mendapati ulama salafi ini kokoh di atas manhaj salafus shalih, memengaruhi tetapi tidak terpengaruh. Tidak seperti “fuqaha al-waqi’” (para pengklaim paham realita) di zaman kita, yang setiap kejadian memiliki pandangan baru yang berbeda dengan sebelumnya, padahal gambarannya sama dan hukumnya tidak berbeda. Namun karena ketidakstabilan mereka di atas manhaj salaf, mereka menetapkan hukum-hukum atas dasar kepentingan dan kerusakan partai dan gerakan, oleh karena itu para ulama Ahlus Sunnah menyebut mereka sebagai harakiyyun (aktivis gerakan).
Maka wajib atas seorang muslim untuk teguh di atas manhaj salafus shalih, walaupun para harakiyyun bergerak berlawanan arah.
Beberapa tahun lalu, sebagian orang berusaha melemahkan semangat para salafi dengan berkata:
"Si fulan haraki terkenal, si fulan hizbi diangkat tinggi, sementara kalian —wahai salafiyyun— tetap di tempat! Kenapa tidak kalian bersatu saja? Kenapa tidak kalian tinggalkan sebagian manhaj kalian? Itu karena kurangnya pemahaman ulama kalian, tidak bisa mengambil posisi tengah… dll!"
Namun segala puji bagi Allah yang telah meneguhkan para salafiyyin di atas manhaj salafus shalih, dan menampakkan secara nyata kebusukan dan kebobrokan manhaj para harakiyyun.
Maka waspadalah —wahai Salafi— dari terbawa arus ide-ide menyimpang dengan dalih “apa yang diinginkan pendengar”. Tetaplah teguh di atas manhaj salaf, meskipun para penghias kebatilan menghiasimu dengan sebaliknya.
Imam Abu ‘Amr al-Awza’i —rahimahullah— berkata:
"Hendaknya engkau berpegang teguh kepada atsar-atsar salaf, meskipun manusia menolakmu. Dan jauhilah pendapat-pendapat manusia, meskipun mereka menghiasinya dengan kata-kata yang indah."
Ditulis sebagai nasihat oleh:
Abu al-Harits Usamah bin Su'ud al-‘Amri
10 Muharram 1446 H
Semoga Allah membalas para syaikhnya dari kalangan salafiyin dengan kebaikan.
الحمد لله،أمابعد:
فالناظر في حالة الأحداث في عصر شيخ الإسلام ابن تيمية -رحمه الله - من( حروب) و(تفكك) و(غزو خارجي جسدي وفكري)و(انتشار لأهل البدع والأهواء)... إلخ .
يجد أن صفات هذه الأحداث:
1/كثيرة.
2/متوالية.
3/متنوعة.
ومع ذلك نرى هذا العالم السلفي ثابتًا على منهج السلف الصالح مؤثرًا غير متأثر، ليس كفقهاء الواقع في زماننا الذين يزعمون فقههم للواقع!،ففي كل حدث لهم فيه رأي غير الرأي السابق ،مع اتفاق الصور وعدم افتراقها في الأحكام ،ولكن لعدم ثباتهم على منهج السلف الصالح ،يقررون أحكام الأحداث بحسب المصالح والمفاسد الحزبية الحركية؛لذا أطلق علماء أهل السنة عليهم (حركيون).
فالواجب على المسلم أن يثبت على منهج السلف الصالح ،ولو تحرك (الحركيون)خلافه.
فقبل سنوات كان بعضُ الناس ،يثبط من عزم السلفيين :(بأن فلانًا الحركي مشهور،وفلانًا الحزبي مرفوع،وأنتم -أيها السلفيون- مكانك راوح!،فلماذا لا تجتمعوا معهم؟، لماذا لا تتنازلوا عن بعض منهجكم؟،وهذا من قلة فقه مشايخكم، وعدم مسكهم للعصا من الوسط...إلخ!!!.).
والحمد لله أن ثبت الله السلفيين على منهج السلف الصالح ،وأظهر عيانًا خبث وعوار مناهج الحركيين .
فاحذر- أيها السلفي- من الإنسياق وراء الأفكار الخارجية بحجة ما يطلبه المستمعون،واثبت على منهج السلف الصالح وإن زخرف لك المزخرفون خلافه،قَالَ الإِمَامُ أبُو عَمْرٍو الأَوْزَاعِيُّ- رحمه الله -:
( عَلَيْكَ بِآثارِ مَنْ سَلَفَ وإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإيَّاكَ وآراءَ الرِّجَالِ، وَإِنْ زَخْرَفُوهُ لَكَ بالقَوْلِ ) .
كتبه ناصحًا/
أبو الحارث أسامة بن سعود العمري
10 محرم 1446
جزى الله مشايخه السلفيين عنه خيرًا
http://telegram.me/dinulqoyyim
الدين القيم
Photo
Shufiyyah
Kaum sufi membangun agama dan ibadah mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan, yang intinya dapat diringkas sebagai berikut:
1. Mereka membangun ibadah kepada Allah hanya di atas dasar cinta, dan mengesampingkan aspek lain seperti rasa takut dan harapan.
2. Mereka tidak merujuk agama dan ibadah mereka kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta mengikuti Nabi ﷺ, melainkan merujuk kepada perasaan-perasaan mereka sendiri, atau kepada aturan yang ditetapkan oleh para syaikh mereka berupa thariqat, dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang diada-adakan.
3. Mereka berpegang teguh kepada dzikir dan wirid yang ditetapkan oleh syaikh-syaikh mereka. Mereka mengikat diri dengannya dan beribadah dengannya, dan terkadang lebih mengutamakannya daripada tilawah Al-Qur’an.
4. Mereka berlebih-lebihan dalam mengagungkan para wali dan syaikh, bahkan bertentangan dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
5. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan nyanyian, tarian, menabuh rebana dan tepuk tangan, serta menganggap hal itu sebagai ibadah kepada Allah.
6. Di antara ajaran agama mereka adalah apa yang disebut dengan “al-ahwāl” (keadaan spiritual) yang menyebabkan mereka keluar dari tanggung jawab syariat.
Ringkasan dari ceramah “al-‘Aqīdah wa ad-Da‘wah” (6/94) oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fawzan al-Fawzan حفظه الله
http://telegram.me/dinulqoyyim
Kaum sufi membangun agama dan ibadah mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan, yang intinya dapat diringkas sebagai berikut:
1. Mereka membangun ibadah kepada Allah hanya di atas dasar cinta, dan mengesampingkan aspek lain seperti rasa takut dan harapan.
2. Mereka tidak merujuk agama dan ibadah mereka kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta mengikuti Nabi ﷺ, melainkan merujuk kepada perasaan-perasaan mereka sendiri, atau kepada aturan yang ditetapkan oleh para syaikh mereka berupa thariqat, dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang diada-adakan.
3. Mereka berpegang teguh kepada dzikir dan wirid yang ditetapkan oleh syaikh-syaikh mereka. Mereka mengikat diri dengannya dan beribadah dengannya, dan terkadang lebih mengutamakannya daripada tilawah Al-Qur’an.
4. Mereka berlebih-lebihan dalam mengagungkan para wali dan syaikh, bahkan bertentangan dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
5. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan nyanyian, tarian, menabuh rebana dan tepuk tangan, serta menganggap hal itu sebagai ibadah kepada Allah.
6. Di antara ajaran agama mereka adalah apa yang disebut dengan “al-ahwāl” (keadaan spiritual) yang menyebabkan mereka keluar dari tanggung jawab syariat.
Ringkasan dari ceramah “al-‘Aqīdah wa ad-Da‘wah” (6/94) oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fawzan al-Fawzan حفظه الله
http://telegram.me/dinulqoyyim
❒ مراتب الناس في العمل في عشر من ذي الحجة
•┈┈•┈┈•⊰✿◇✿⊱•┈┈•┈┈•
🕋 الحمد لله اقبلت اعظم ايام السنة عشر من ذي الحجة فيها افضل ايام العمر يوم عرفة و يوم النحر عن ابن عباس رضى الله عنهما قال صلى الله عليه وسلم : " مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ . إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ " رواه البخاري ( 969 ) والترمذي ( 757 ) واللفظ له
❒ ثبتَ في مُسنّدِ الامام أحمدَ عن أبي هريرةَ رضي الله عنه, أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال : ( إن اللهَ عز وجل يُباهِي ملائكتَه عَشِيَّةَ عرفةَ بأهلِ عرفة فيقول : انظروا إلى عبادي أتوني شُعْثاً غُبْراً ).رواه الامام احمد
❒ والناس في استقبالها مراتب : ( مفرط ،ومحسن ،وسابق ، ومحروم )
☚ الأول : من فرط في أيام العام فأسرف وقصر في اداء الفرائض والواجبات وتساهل في ارتكاب المحرمات، وخلط عمل صالحاً وأخر سيئاً ، فهذه الأيام الفاضلة فرصة للتعوض ولتستدرك ما فاتك في مواسم الخير فإنها لا تعود
☚ الثانى : محسن قد أحسن في أيام مضت ، بأداء الفرائض والواجبات لكن زاهد في السنن والمستحبات ،فأغتنم هذه الايام العظيمة بالتزود منها من الخير فان خير الزاد التقوى .
☚ الثالث : السابقون المسارعون للخيرات بفعل الواجبات وأداء الفرائض وترك المحرمات والمكروهات ، مع اقبال على السنن والمستحبات فشمروا واكثروا من الطاعات ، وعلموا أن الوقت قصير والعمر لا يدوم. فجعلوا كل اوقاتهم معمورة بطاعة الرحمن، والحذر من سبيل الشيطان وحزبه أجتهدوا في الاعمال بان تكون خالصة لوجه جل وعلا ، متابعاً للنبي صلى الله عليه وسلم قال الله تعالى : ( وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ ، أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ ، فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ ،) [سورة الواقعة آية١٠]
☚ الرابع : محروم لا يعمل للأخرة وغرته الايام والليالي ونشغل بنفسه عن آخرته فضاعة عليه مواسم الخيرات نقول له كما قال تعالى : ( قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر:53].
❒ فسارع بالعودة إلى ربك واغتنم ايام عمرك فإنك لاتدرعي متى ينزل بك اجلك
❒ نسأل الله أن يجعلنا من المسارعين في الخيرات
🖊️ كتبه : الدكتور
عزام بن محمد الشويعر
-غفر الله له ولوالديه-
الرياض ١٤٤٦هـ
•┈┈•┈┈•⊰✿◇✿⊱•┈┈•┈┈•
•┈┈•┈┈•⊰✿◇✿⊱•┈┈•┈┈•
🕋 الحمد لله اقبلت اعظم ايام السنة عشر من ذي الحجة فيها افضل ايام العمر يوم عرفة و يوم النحر عن ابن عباس رضى الله عنهما قال صلى الله عليه وسلم : " مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَلا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ . إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ " رواه البخاري ( 969 ) والترمذي ( 757 ) واللفظ له
❒ ثبتَ في مُسنّدِ الامام أحمدَ عن أبي هريرةَ رضي الله عنه, أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال : ( إن اللهَ عز وجل يُباهِي ملائكتَه عَشِيَّةَ عرفةَ بأهلِ عرفة فيقول : انظروا إلى عبادي أتوني شُعْثاً غُبْراً ).رواه الامام احمد
❒ والناس في استقبالها مراتب : ( مفرط ،ومحسن ،وسابق ، ومحروم )
☚ الأول : من فرط في أيام العام فأسرف وقصر في اداء الفرائض والواجبات وتساهل في ارتكاب المحرمات، وخلط عمل صالحاً وأخر سيئاً ، فهذه الأيام الفاضلة فرصة للتعوض ولتستدرك ما فاتك في مواسم الخير فإنها لا تعود
☚ الثانى : محسن قد أحسن في أيام مضت ، بأداء الفرائض والواجبات لكن زاهد في السنن والمستحبات ،فأغتنم هذه الايام العظيمة بالتزود منها من الخير فان خير الزاد التقوى .
☚ الثالث : السابقون المسارعون للخيرات بفعل الواجبات وأداء الفرائض وترك المحرمات والمكروهات ، مع اقبال على السنن والمستحبات فشمروا واكثروا من الطاعات ، وعلموا أن الوقت قصير والعمر لا يدوم. فجعلوا كل اوقاتهم معمورة بطاعة الرحمن، والحذر من سبيل الشيطان وحزبه أجتهدوا في الاعمال بان تكون خالصة لوجه جل وعلا ، متابعاً للنبي صلى الله عليه وسلم قال الله تعالى : ( وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ ، أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ ، فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ ،) [سورة الواقعة آية١٠]
☚ الرابع : محروم لا يعمل للأخرة وغرته الايام والليالي ونشغل بنفسه عن آخرته فضاعة عليه مواسم الخيرات نقول له كما قال تعالى : ( قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر:53].
❒ فسارع بالعودة إلى ربك واغتنم ايام عمرك فإنك لاتدرعي متى ينزل بك اجلك
❒ نسأل الله أن يجعلنا من المسارعين في الخيرات
🖊️ كتبه : الدكتور
عزام بن محمد الشويعر
-غفر الله له ولوالديه-
الرياض ١٤٤٦هـ
•┈┈•┈┈•⊰✿◇✿⊱•┈┈•┈┈•
الدين القيم
❒ مراتب الناس في العمل في عشر من ذي الحجة •┈┈•┈┈•⊰✿◇✿⊱•┈┈•┈┈• 🕋 الحمد لله اقبلت اعظم ايام السنة عشر من ذي الحجة فيها افضل ايام العمر يوم عرفة و يوم النحر عن ابن عباس رضى الله عنهما قال صلى الله عليه وسلم : " مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ…
❒ Tingkatan Manusia dalam Beramal pada Sepuluh Hari Dzulhijjah
🕋 Segala puji bagi Allah, telah datang hari-hari terbaik dalam setahun—sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah—yang di dalamnya terdapat hari terbaik dalam hidup, yaitu Hari Arafah dan Hari Nahr (Idul Adha). Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
" مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ".
“Tidak ada hari-hari di mana amal shalih lebih dicintai oleh Allah selain dari hari-hari ini (sepuluh hari Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah?”
Beliau menjawab:
“Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatu pun.”
(HR. Bukhari dan Tirmidzi).
Dalam Musnad Imam Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi ﷺ bersabda:
( إن اللهَ عز وجل يُباهِي ملائكتَه عَشِيَّةَ عرفةَ بأهلِ عرفة فيقول : انظروا إلى عبادي أتوني شُعْثاً غُبْراً ).
“Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla membanggakan para malaikat-Nya pada sore Hari Arafah terhadap penduduk Arafah, seraya berkata: ‘Lihatlah kepada hamba-hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dalam keadaan kusut dan berdebu.’”
Manusia dalam Menyambut Sepuluh Hari Dzulhijjah ada beberapa tingkatan:
1. Yang Lalai (مفرِّط): Mereka yang selama tahun ini banyak melakukan kelalaian, menyia-nyiakan kewajiban, dan terjerumus dalam dosa. Sepuluh hari ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri kerena ia tidak akan kembali .
2. Yang Berbuat Baik (محسِن): Mereka telah berbuat baik di hari-hari sebelumnya dengan menjaga kewajiban namun kurang dalam amalan sunnah. Maka hendaknya ia memanfaatkan hari-hari ini untuk menambah kebaikan, karena sebaik-baik bekal adalah takwa.
3. Yang Berlomba dalam Kebaikan (سابِق): Mereka yang senantiasa bersegera dalam kebaikan, dengan melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan serta mengamalkan amalan-amalan sunnah. Mereka bersemangat untuk beribadah dan memperbanyak ketaatan, dan mereka memahami bahwa waktu itu pendek dan umur tidaklah kekal, sehingga mereka menjadikan semua waktu mereka terisi dengan ketaatan kepada Allah dan mewaspadai jalan syaithan dan kelompoknya. Mereka bersungguh-sungguh agar amalan mereka murni untuk mengharap wajah Allah dan mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam, Allah Ta'ala berfirman:
( وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ ، أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ ، فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ) [سورة الواقعة آية١٠]
4. Yang Terhalang (محرُوم): Mereka yang tidak beramal untuk akhirat, terbuai oleh dunia, tersibukkan dengan dirinya dari akhiratnya dan melewatkan musim kebaikan ini. Kita katakan kepadanya sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر:53].
“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. Az-Zumar: 53)
Maka segeralah kembali kepada Allah dan manfaatkanlah hari-hari dalam umurmu, karena engkau tidak tahu kapan ajal akan menjemputmu.
Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.
✍️ Ditulis oleh: Dr. Azzam bin Muhammad Asy-Syuwai’ir
Riyadh, 1446 H
---
http://telegram.me/dinulqoyyim
🕋 Segala puji bagi Allah, telah datang hari-hari terbaik dalam setahun—sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah—yang di dalamnya terdapat hari terbaik dalam hidup, yaitu Hari Arafah dan Hari Nahr (Idul Adha). Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah ﷺ bersabda:
" مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ".
“Tidak ada hari-hari di mana amal shalih lebih dicintai oleh Allah selain dari hari-hari ini (sepuluh hari Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah?”
Beliau menjawab:
“Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatu pun.”
(HR. Bukhari dan Tirmidzi).
Dalam Musnad Imam Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Nabi ﷺ bersabda:
( إن اللهَ عز وجل يُباهِي ملائكتَه عَشِيَّةَ عرفةَ بأهلِ عرفة فيقول : انظروا إلى عبادي أتوني شُعْثاً غُبْراً ).
“Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla membanggakan para malaikat-Nya pada sore Hari Arafah terhadap penduduk Arafah, seraya berkata: ‘Lihatlah kepada hamba-hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dalam keadaan kusut dan berdebu.’”
Manusia dalam Menyambut Sepuluh Hari Dzulhijjah ada beberapa tingkatan:
1. Yang Lalai (مفرِّط): Mereka yang selama tahun ini banyak melakukan kelalaian, menyia-nyiakan kewajiban, dan terjerumus dalam dosa. Sepuluh hari ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri kerena ia tidak akan kembali .
2. Yang Berbuat Baik (محسِن): Mereka telah berbuat baik di hari-hari sebelumnya dengan menjaga kewajiban namun kurang dalam amalan sunnah. Maka hendaknya ia memanfaatkan hari-hari ini untuk menambah kebaikan, karena sebaik-baik bekal adalah takwa.
3. Yang Berlomba dalam Kebaikan (سابِق): Mereka yang senantiasa bersegera dalam kebaikan, dengan melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan serta mengamalkan amalan-amalan sunnah. Mereka bersemangat untuk beribadah dan memperbanyak ketaatan, dan mereka memahami bahwa waktu itu pendek dan umur tidaklah kekal, sehingga mereka menjadikan semua waktu mereka terisi dengan ketaatan kepada Allah dan mewaspadai jalan syaithan dan kelompoknya. Mereka bersungguh-sungguh agar amalan mereka murni untuk mengharap wajah Allah dan mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam, Allah Ta'ala berfirman:
( وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ ، أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ ، فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ) [سورة الواقعة آية١٠]
4. Yang Terhalang (محرُوم): Mereka yang tidak beramal untuk akhirat, terbuai oleh dunia, tersibukkan dengan dirinya dari akhiratnya dan melewatkan musim kebaikan ini. Kita katakan kepadanya sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴾ [الزمر:53].
“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. Az-Zumar: 53)
Maka segeralah kembali kepada Allah dan manfaatkanlah hari-hari dalam umurmu, karena engkau tidak tahu kapan ajal akan menjemputmu.
Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersegera dalam kebaikan.
✍️ Ditulis oleh: Dr. Azzam bin Muhammad Asy-Syuwai’ir
Riyadh, 1446 H
---
http://telegram.me/dinulqoyyim
Diantara Faedah Ilmiah yang Langka
Aku pernah merenungkan keadaan sebagian ulama dan para penuntut ilmu, baik dari kalangan ulama terdahulu maupun selain mereka, yang hidup dalam kesempitan duniawi, padahal tampak jelas pada mereka ilmu dan ketakwaan. Mengapa mereka tidak dilapangkan rezeki duniawi seperti harta dan semacamnya?
Jawabannya adalah: mereka telah mendapatkan rezeki terbaik, yaitu kecintaan terhadap ilmu dan semangat menuntutnya. Itu adalah keluar dari sempitnya kebodohan dan kegelapannya menuju luasnya ilmu dan cahayanya. Ilmu yang bermanfaat memudahkan penuntutnya untuk mengetahui jalan-jalan keselamatan. Maka, jika dia mengetahui jalan keselamatan dan mengamalkannya, dia telah meraih kecukupan dunia dan akhirat. Dan rezeki seperti ini tidak diberikan kepada setiap orang.
Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah– berkata dalam Majmu’ Fatawanya (1/350):
"Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا*وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ.
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
Sudah dimaklumi bahwa mendapatkan ilmu adalah di antara rezeki terbaik, yakni keluar dari sempitnya kebodohan dan kegelapannya menuju luasnya ilmu dan cahayanya.
Dan Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا}
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memudahkan urusannya.”
Mendapatkan ilmu yang bermanfaat termasuk kemudahan terbesar, karena penuntut ilmu syar’i akan mengetahui dengan ilmunya berbagai pintu kebaikan dan sebab-sebab keselamatan yang tidak diketahui oleh orang bodoh.
Dan firman Allah:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ}
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan bagi kalian, menghapus kesalahan-kesalahan kalian, dan mengampuni dosa-dosa kalian.”
Penafsiran terbaik dari furqan adalah: ilmu yang bermanfaat yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, serta kesalahan dan kebenaran."
Ditulis oleh:
Abu al-Harits Usamah bin Su'ud al-‘Amri.
من الفرائد العلمية
كنت اتفكر في حال بعض أهل العلم وطلبته من المتقدمين وغيرهم ،وما كانوا فيه من ضيق الحال الدنيوي مع ما يظهر منهم من علم وتقوى،و أنه لم يوسع لهم في الرزق الدنيوي من مال ونحوه!!.
فالجواب على هذا الخاطر:
أنه حصل لهم رزق هو من أفضل الأرزاق ألا وهو محبة العلم وطلبه،وهو خروج من ضيق الجهل وظلمته إلى سعة العلم ونوره،وفيه أن العلم النافع ييسر لطالب العلم معرفة سبل النجاة،فإذا عرف سبل النجاة وعمل بمقتضاها فهو في غنى دنيا وأخرى، ولا يحصل هذا الرزق لكل أحد.
قال سماحة الشيخ ابن باز-رحمه الله كما «مجموع الفتاوى له» (1/ 350):
«قال عز وجل: {وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا*وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }،ومعلوم أن حصول العلم من أفضل الأرزاق، وهو خروج من ضيق الجهل وظلمته إلى سعة العلم ونوره، وقال تعالى: {وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا} وحصول العلم النافع من أعظم التيسير والتسهيل؛ لأن طالب العلم الشرعي يدرك بعلمه من وجوه الخير وأسباب النجاة ما لا يتيسر للجاهل، وقال سبحانه: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ} وأحسن ما فسر به الفرقان أنه العلم النافع الذي يفرق بين الحق والباطل، والهدى والضلال، والغي والرشاد».
كتبه/
أبو الحارث أسامة بن سعود العمري
http://telegram.me/dinulqoyyim
Aku pernah merenungkan keadaan sebagian ulama dan para penuntut ilmu, baik dari kalangan ulama terdahulu maupun selain mereka, yang hidup dalam kesempitan duniawi, padahal tampak jelas pada mereka ilmu dan ketakwaan. Mengapa mereka tidak dilapangkan rezeki duniawi seperti harta dan semacamnya?
Jawabannya adalah: mereka telah mendapatkan rezeki terbaik, yaitu kecintaan terhadap ilmu dan semangat menuntutnya. Itu adalah keluar dari sempitnya kebodohan dan kegelapannya menuju luasnya ilmu dan cahayanya. Ilmu yang bermanfaat memudahkan penuntutnya untuk mengetahui jalan-jalan keselamatan. Maka, jika dia mengetahui jalan keselamatan dan mengamalkannya, dia telah meraih kecukupan dunia dan akhirat. Dan rezeki seperti ini tidak diberikan kepada setiap orang.
Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah– berkata dalam Majmu’ Fatawanya (1/350):
"Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا*وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ.
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
Sudah dimaklumi bahwa mendapatkan ilmu adalah di antara rezeki terbaik, yakni keluar dari sempitnya kebodohan dan kegelapannya menuju luasnya ilmu dan cahayanya.
Dan Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا}
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memudahkan urusannya.”
Mendapatkan ilmu yang bermanfaat termasuk kemudahan terbesar, karena penuntut ilmu syar’i akan mengetahui dengan ilmunya berbagai pintu kebaikan dan sebab-sebab keselamatan yang tidak diketahui oleh orang bodoh.
Dan firman Allah:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ}
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan bagi kalian, menghapus kesalahan-kesalahan kalian, dan mengampuni dosa-dosa kalian.”
Penafsiran terbaik dari furqan adalah: ilmu yang bermanfaat yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, serta kesalahan dan kebenaran."
Ditulis oleh:
Abu al-Harits Usamah bin Su'ud al-‘Amri.
من الفرائد العلمية
كنت اتفكر في حال بعض أهل العلم وطلبته من المتقدمين وغيرهم ،وما كانوا فيه من ضيق الحال الدنيوي مع ما يظهر منهم من علم وتقوى،و أنه لم يوسع لهم في الرزق الدنيوي من مال ونحوه!!.
فالجواب على هذا الخاطر:
أنه حصل لهم رزق هو من أفضل الأرزاق ألا وهو محبة العلم وطلبه،وهو خروج من ضيق الجهل وظلمته إلى سعة العلم ونوره،وفيه أن العلم النافع ييسر لطالب العلم معرفة سبل النجاة،فإذا عرف سبل النجاة وعمل بمقتضاها فهو في غنى دنيا وأخرى، ولا يحصل هذا الرزق لكل أحد.
قال سماحة الشيخ ابن باز-رحمه الله كما «مجموع الفتاوى له» (1/ 350):
«قال عز وجل: {وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا*وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }،ومعلوم أن حصول العلم من أفضل الأرزاق، وهو خروج من ضيق الجهل وظلمته إلى سعة العلم ونوره، وقال تعالى: {وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا} وحصول العلم النافع من أعظم التيسير والتسهيل؛ لأن طالب العلم الشرعي يدرك بعلمه من وجوه الخير وأسباب النجاة ما لا يتيسر للجاهل، وقال سبحانه: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ} وأحسن ما فسر به الفرقان أنه العلم النافع الذي يفرق بين الحق والباطل، والهدى والضلال، والغي والرشاد».
كتبه/
أبو الحارث أسامة بن سعود العمري
http://telegram.me/dinulqoyyim
سُنّة النبي ﷺ وصحابته: إذا اجتمع العيد والجمعة، رخصوا في عدم حضور الجمعة لمن شهد صلاة العيد
🔹(١) حديث زيد بن أرقم رضي الله عنه:
عن إياس بن أبي رَمْلَةَ الشامي، قال: شهدتُ معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيدَ بن أرقم، قال: أشهدتَ مع رسول الله ﷺ عيدين اجتمعا في يوم؟ قال: نعم. قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد، ثم رخَّص في الجمعة فقال: «من شاء أن يُصلّي فليُصلِّ».
• قال النووي: رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه بإسناد جيد. واستدل به على رخصة ترك الجمعة.
• وقال الألباني: حديث صحيح، وصححه ابن المديني والحاكم والذهبي.
🔹(٢) حديث أبي هريرة رضي الله عنه:
عن رسول الله ﷺ أنه قال: «قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنّا مُجمِّعون».
• قال البوصيري: إسناده صحيح رجاله ثقات.
• وقال الألباني: حديث صحيح.
🔹(٣) حديث ابن عمر رضي الله عنهما:
قال: اجتمع عيدان على عهد رسول الله ﷺ، فصلى بالناس ثم قال: «من شاء أن يأتي الجمعة فليأتها، ومن شاء أن يتخلَّف فليتخلَّف».
• صححه الألباني.
🔹(٤) أثر ابن الزبير رضي الله عنهما:
صح عن وهب بن كيسان أنه قال: شهدتُ ابن الزبير بمكة وهو أمير، فوافق يوم فطر أو أضحى يوم الجمعة، فأخّر الخروج حتى ارتفع النهار، فخرج وصعد المنبر فخطب وأطال ثم صلى ركعتين، ولم يصل الجمعة.
فعاب عليه ناس من بني أمية بن عبد شمس، فبلغ ذلك ابن عباس، فقال: أصاب ابن الزبير السنة. وبلغ ابن الزبير، فقال: رأيتُ عمر بن الخطاب إذا اجتمع عيدان صنع مثل هذا.
🔹(٥) أثر عطاء عن ابن الزبير رضي الله عنهما:
وصح عن عطاء بن أبي رباح أنه قال: صلى بنا ابن الزبير في يوم عيد في يوم جمعة أول النهار، ثم رحنا إلى الجمعة فلم يخرج إلينا، فصلينا وحدانًا.
وكان ابن عباس بالطائف، فلما قدم ذكرنا ذلك له، فقال: أصاب السنة.
🔹(٦) أثر عثمان بن عفان رضي الله عنه (أخرجه البخاري):
عن أبي عبيد مولى ابن أزهر، أنه قال: شهدتُ العيد مع عثمان بن عفان، وكان ذلك يوم الجمعة، فصلى قبل الخطبة، ثم خطب فقال: يا أيها الناس، إن هذا يوم قد اجتمع لكم فيه عيدان، فمن أحب أن ينتظر الجمعة من أهل العوالي فلينتظر، ومن أحب أن يرجع فقد أذنت له.
🔹قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله:
إذا اجتمع الجمعة والعيد في يوم واحد، فللعلماء في ذلك ثلاثة أقوال:
أحدها: أنه تجب الجمعة على من شهد العيد كما تجب سائر الجُمَع؛ للعمومات الدالة على وجوب الجمعة.
والثاني: تسقط عن أهل البر مثل أهل العوالي والشواذ؛ لأن عثمان بن عفان أرخص لهم في ترك الجمعة لما صلى بهم العيد.
والقول الثالث، وهو الصحيح:
أن من شهد العيد سقطت عنه الجمعة، لكن على الإمام أن يقيم الجمعة ليشهدها من شاء شهودها ومن لم يشهد العيد. وهذا هو المأثور عن النبي ﷺ وأصحابه؛ كعمر وعثمان وابن مسعود وابن عباس وابن الزبير وغيرهم، ولا يُعرف عن الصحابة في ذلك خلاف.
وأصحاب القولين المتقدمين لم يبلغهم ما في ذلك من السنة عن النبي ﷺ: لمّا اجتمع في يومه عيدان، صلى العيد ثم رخص في الجمعة. وفي لفظ أنه قال: «أيها الناس، إنكم قد أصبتم خيرًا، فمن شاء أن يشهد الجمعة فليشهد، فإنا مجمِّعون».
وأيضًا فإنه إذا شهد العيد حصل مقصود الاجتماع، ثم إنه يصلي الظهر إذا لم يشهد الجمعة، فتكون الظهر في وقتها والعيد يحصِّل مقصود الجمعة. وفي إيجابها على الناس تضييق عليهم، وتكدير لمقصود عيدهم وما سُنَّ لهم من السرور فيه والانبساط، فإذا حُبِسوا عن ذلك عاد العيد على مقصوده بالإبطال. ولأن يوم الجمعة عيد ويوم الفطر والنحر عيد، ومن شأن الشارع إذا اجتمع عبادتان من جنس واحد أدخل إحداهما في الأخرى؛ كما يُدخل الوضوء في الغسل، وأحد الغسلين في الآخر. والله أعلم.
🔹وقال ابن باز رحمه الله:
إذا وافق العيد يوم الجمعة، جاز لمن حضر العيد أن يصلي جمعة وأن يصلي ظهرًا؛ لما ثبت عنه ﷺ في هذا، فقد ثبت عنه ﷺ أنه رخَّص في الجمعة لمن حضر العيد.
🔺الخلاصة:
العبادات تُؤخذ مما كان عليه النبي ﷺ وأصحابه رضي الله عنهم، فإن سنته ﷺ هي بيان القرآن وتفسيره، وهي دلائلُ القرآن. وقد كان الصحابة -بالأسانيد الصحيحة- وهم نَقَلَةُ الوحي على هذه السنة في هذه المسألة الشرعية، ولم يُعرف لهم فيها خلاف. فقد ثبت بالآثار الصحيحة أن من شهد صلاة العيد يوم الجمعة جاز له أن يصلي الظهر في بيته، ولا تجب عليه الجمعة. وهذا هو المأثور عن النبي ﷺ بسند صحيح ومن عدة طرق، وعن جماعة من الصحابة دون مخالف، فكيف يُترك ما ثبت عن النبي ﷺ وأصحابه ويُؤخذ بالرأي والاجتهاد؟!
كتبه: الشيخ محمد عثمان العنجري
الأربعاء ٨ ذو الحجة ١٤٤٦هـ
الموافق ٤/ ٦/ ٢٠٢٥م
🔹(١) حديث زيد بن أرقم رضي الله عنه:
عن إياس بن أبي رَمْلَةَ الشامي، قال: شهدتُ معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيدَ بن أرقم، قال: أشهدتَ مع رسول الله ﷺ عيدين اجتمعا في يوم؟ قال: نعم. قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد، ثم رخَّص في الجمعة فقال: «من شاء أن يُصلّي فليُصلِّ».
• قال النووي: رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه بإسناد جيد. واستدل به على رخصة ترك الجمعة.
• وقال الألباني: حديث صحيح، وصححه ابن المديني والحاكم والذهبي.
🔹(٢) حديث أبي هريرة رضي الله عنه:
عن رسول الله ﷺ أنه قال: «قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنّا مُجمِّعون».
• قال البوصيري: إسناده صحيح رجاله ثقات.
• وقال الألباني: حديث صحيح.
🔹(٣) حديث ابن عمر رضي الله عنهما:
قال: اجتمع عيدان على عهد رسول الله ﷺ، فصلى بالناس ثم قال: «من شاء أن يأتي الجمعة فليأتها، ومن شاء أن يتخلَّف فليتخلَّف».
• صححه الألباني.
🔹(٤) أثر ابن الزبير رضي الله عنهما:
صح عن وهب بن كيسان أنه قال: شهدتُ ابن الزبير بمكة وهو أمير، فوافق يوم فطر أو أضحى يوم الجمعة، فأخّر الخروج حتى ارتفع النهار، فخرج وصعد المنبر فخطب وأطال ثم صلى ركعتين، ولم يصل الجمعة.
فعاب عليه ناس من بني أمية بن عبد شمس، فبلغ ذلك ابن عباس، فقال: أصاب ابن الزبير السنة. وبلغ ابن الزبير، فقال: رأيتُ عمر بن الخطاب إذا اجتمع عيدان صنع مثل هذا.
🔹(٥) أثر عطاء عن ابن الزبير رضي الله عنهما:
وصح عن عطاء بن أبي رباح أنه قال: صلى بنا ابن الزبير في يوم عيد في يوم جمعة أول النهار، ثم رحنا إلى الجمعة فلم يخرج إلينا، فصلينا وحدانًا.
وكان ابن عباس بالطائف، فلما قدم ذكرنا ذلك له، فقال: أصاب السنة.
🔹(٦) أثر عثمان بن عفان رضي الله عنه (أخرجه البخاري):
عن أبي عبيد مولى ابن أزهر، أنه قال: شهدتُ العيد مع عثمان بن عفان، وكان ذلك يوم الجمعة، فصلى قبل الخطبة، ثم خطب فقال: يا أيها الناس، إن هذا يوم قد اجتمع لكم فيه عيدان، فمن أحب أن ينتظر الجمعة من أهل العوالي فلينتظر، ومن أحب أن يرجع فقد أذنت له.
🔹قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله:
إذا اجتمع الجمعة والعيد في يوم واحد، فللعلماء في ذلك ثلاثة أقوال:
أحدها: أنه تجب الجمعة على من شهد العيد كما تجب سائر الجُمَع؛ للعمومات الدالة على وجوب الجمعة.
والثاني: تسقط عن أهل البر مثل أهل العوالي والشواذ؛ لأن عثمان بن عفان أرخص لهم في ترك الجمعة لما صلى بهم العيد.
والقول الثالث، وهو الصحيح:
أن من شهد العيد سقطت عنه الجمعة، لكن على الإمام أن يقيم الجمعة ليشهدها من شاء شهودها ومن لم يشهد العيد. وهذا هو المأثور عن النبي ﷺ وأصحابه؛ كعمر وعثمان وابن مسعود وابن عباس وابن الزبير وغيرهم، ولا يُعرف عن الصحابة في ذلك خلاف.
وأصحاب القولين المتقدمين لم يبلغهم ما في ذلك من السنة عن النبي ﷺ: لمّا اجتمع في يومه عيدان، صلى العيد ثم رخص في الجمعة. وفي لفظ أنه قال: «أيها الناس، إنكم قد أصبتم خيرًا، فمن شاء أن يشهد الجمعة فليشهد، فإنا مجمِّعون».
وأيضًا فإنه إذا شهد العيد حصل مقصود الاجتماع، ثم إنه يصلي الظهر إذا لم يشهد الجمعة، فتكون الظهر في وقتها والعيد يحصِّل مقصود الجمعة. وفي إيجابها على الناس تضييق عليهم، وتكدير لمقصود عيدهم وما سُنَّ لهم من السرور فيه والانبساط، فإذا حُبِسوا عن ذلك عاد العيد على مقصوده بالإبطال. ولأن يوم الجمعة عيد ويوم الفطر والنحر عيد، ومن شأن الشارع إذا اجتمع عبادتان من جنس واحد أدخل إحداهما في الأخرى؛ كما يُدخل الوضوء في الغسل، وأحد الغسلين في الآخر. والله أعلم.
🔹وقال ابن باز رحمه الله:
إذا وافق العيد يوم الجمعة، جاز لمن حضر العيد أن يصلي جمعة وأن يصلي ظهرًا؛ لما ثبت عنه ﷺ في هذا، فقد ثبت عنه ﷺ أنه رخَّص في الجمعة لمن حضر العيد.
🔺الخلاصة:
العبادات تُؤخذ مما كان عليه النبي ﷺ وأصحابه رضي الله عنهم، فإن سنته ﷺ هي بيان القرآن وتفسيره، وهي دلائلُ القرآن. وقد كان الصحابة -بالأسانيد الصحيحة- وهم نَقَلَةُ الوحي على هذه السنة في هذه المسألة الشرعية، ولم يُعرف لهم فيها خلاف. فقد ثبت بالآثار الصحيحة أن من شهد صلاة العيد يوم الجمعة جاز له أن يصلي الظهر في بيته، ولا تجب عليه الجمعة. وهذا هو المأثور عن النبي ﷺ بسند صحيح ومن عدة طرق، وعن جماعة من الصحابة دون مخالف، فكيف يُترك ما ثبت عن النبي ﷺ وأصحابه ويُؤخذ بالرأي والاجتهاد؟!
كتبه: الشيخ محمد عثمان العنجري
الأربعاء ٨ ذو الحجة ١٤٤٦هـ
الموافق ٤/ ٦/ ٢٠٢٥م
الدين القيم
سُنّة النبي ﷺ وصحابته: إذا اجتمع العيد والجمعة، رخصوا في عدم حضور الجمعة لمن شهد صلاة العيد 🔹(١) حديث زيد بن أرقم رضي الله عنه: عن إياس بن أبي رَمْلَةَ الشامي، قال: شهدتُ معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيدَ بن أرقم، قال: أشهدتَ مع رسول الله ﷺ عيدين اجتمعا…
Sunnah Nabi ﷺ dan para sahabatnya: Apabila hari raya (Id) dan hari Jumat berkumpul dalam satu hari, mereka memberikan keringanan untuk tidak menghadiri salat Jumat bagi siapa yang telah melaksanakan salat Id.
🔹 (1) Hadis Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu:
Dari Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami, ia berkata: Aku menghadiri (majlis) Muawiyah bin Abi Sufyan, lalu ia bertanya kepada Zaid bin Arqam: Apakah kamu pernah menyaksikan dua hari raya yang berkumpul dalam satu hari bersama Rasulullah ﷺ?
Zaid menjawab: Ya.
Muawiyah bertanya lagi: Apa yang dilakukan beliau?
Zaid menjawab: Beliau salat Id, lalu memberi keringanan dalam salat Jumat dan bersabda:
"Siapa yang mau salat (Jumat), maka silakan salat."
- Imam Nawawi berkata: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan sanad yang jayyid. Hadis ini menjadi dalil adanya rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan salat Jumat.
- Al-Albani berkata: Hadis shahih, juga disahihkan oleh Ibnu al-Madini, al-Hakim, dan adz-Dzahabi.
🔹 (2)Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya hari ini telah berkumpul dua hari raya. Maka siapa yang mau, salat Id sudah mencukupinya dari salat Jumat. Namun kami tetap akan menunaikan salat Jumat."
- Al-Bushiri: Sanadnya shahih, para perawinya tsiqat (terpercaya).
- Al-Albani: Hadis shahih.
🔹 (3)Hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
Ia berkata: Pada masa Rasulullah ﷺ, dua hari raya berkumpul dalam satu hari. Maka beliau salat bersama orang-orang, lalu bersabda:
"Siapa yang mau hadir Jumat, silakan datang. Dan siapa yang ingin tidak datang, maka boleh tidak datang."
- Disahihkan oleh Al-Albani.
🔹(4) Atsar dari Ibnu Zubair رضي الله عنهما:
Diriwayatkan secara sahih dari Wahb bin Kaisan, ia berkata:
Aku menyaksikan Ibnu Zubair di Mekkah saat ia menjadi amir (pemimpin), dan hari itu adalah Idul Fitri atau Idul Adha yang bertepatan dengan hari Jumat. Ia menunda keluar (untuk khutbah) hingga siang hari naik, lalu ia keluar, naik mimbar, berkhutbah panjang, lalu salat dua rakaat (salat Id), dan tidak melaksanakan salat Jumat.
Sebagian orang dari Bani Umayyah mencelanya, dan hal itu sampai kepada Ibnu Abbas. Maka beliau berkata:
“Ibnu Zubair telah sesuai dengan sunnah.”
Hal itu juga sampai ke Ibnu Zubair, dan ia berkata:
“Aku melihat Umar bin Khattab jika dua hari raya berkumpul, beliau melakukan hal yang sama.”
🔹(5) Atsar dari ‘Atha’ tentang Ibnu Zubair رضي الله عنهما:
Diriwayatkan secara sahih dari ‘Atha bin Abi Rabah, ia berkata:
Ibnu Zubair salat bersama kami pada hari raya yang bertepatan dengan hari Jumat di pagi hari. Kemudian kami pergi untuk salat Jumat, namun ia tidak keluar kepada kami, maka kami salat sendiri-sendiri.
Ketika itu Ibnu Abbas berada di Thaif. Ketika ia datang, kami menyebutkan hal itu kepadanya, lalu ia berkata:
“Ia telah sesuai dengan sunnah.”
🔹(6) Atsar dari Utsman bin ‘Affan رضي الله عنه (diriwayatkan oleh al-Bukhari):
Dari Abu ‘Ubaid, maula (budak yang dimerdekakan oleh) Ibnu Azhar, ia berkata:
Aku menyaksikan salat Id bersama Utsman bin ‘Affan, dan hari itu bertepatan dengan hari Jumat. Ia salat sebelum khutbah, lalu berkhutbah dan berkata:
“Wahai manusia, hari ini telah berkumpul dua hari raya untuk kalian. Maka siapa di antara penduduk ‘Awali (pinggiran kota Madinah) yang ingin menunggu salat Jumat, silakan tunggu. Dan siapa yang ingin pulang, aku telah memberinya izin.”
🔹Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata:
Jika hari Jumat dan hari raya (Idul Fitri atau Idul Adha) berkumpul dalam satu hari, maka para ulama memiliki tiga pendapat:
1. Pendapat pertama: Salat Jumat tetap wajib bagi siapa saja yang telah menghadiri salat Id, sebagaimana kewajiban Jumat pada umumnya, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan kewajiban Jumat.
2. Pendapat kedua: Kewajiban Jumat gugur bagi penduduk perkampungan dan daerah luar kota seperti ‘Awali (pinggiran Madinah), karena Utsman bin ‘Affan memberi keringanan kepada mereka untuk tidak menghadiri salat Jumat setelah salat Id.
🔹 (1) Hadis Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu:
Dari Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami, ia berkata: Aku menghadiri (majlis) Muawiyah bin Abi Sufyan, lalu ia bertanya kepada Zaid bin Arqam: Apakah kamu pernah menyaksikan dua hari raya yang berkumpul dalam satu hari bersama Rasulullah ﷺ?
Zaid menjawab: Ya.
Muawiyah bertanya lagi: Apa yang dilakukan beliau?
Zaid menjawab: Beliau salat Id, lalu memberi keringanan dalam salat Jumat dan bersabda:
"Siapa yang mau salat (Jumat), maka silakan salat."
- Imam Nawawi berkata: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan sanad yang jayyid. Hadis ini menjadi dalil adanya rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan salat Jumat.
- Al-Albani berkata: Hadis shahih, juga disahihkan oleh Ibnu al-Madini, al-Hakim, dan adz-Dzahabi.
🔹 (2)Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya hari ini telah berkumpul dua hari raya. Maka siapa yang mau, salat Id sudah mencukupinya dari salat Jumat. Namun kami tetap akan menunaikan salat Jumat."
- Al-Bushiri: Sanadnya shahih, para perawinya tsiqat (terpercaya).
- Al-Albani: Hadis shahih.
🔹 (3)Hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
Ia berkata: Pada masa Rasulullah ﷺ, dua hari raya berkumpul dalam satu hari. Maka beliau salat bersama orang-orang, lalu bersabda:
"Siapa yang mau hadir Jumat, silakan datang. Dan siapa yang ingin tidak datang, maka boleh tidak datang."
- Disahihkan oleh Al-Albani.
🔹(4) Atsar dari Ibnu Zubair رضي الله عنهما:
Diriwayatkan secara sahih dari Wahb bin Kaisan, ia berkata:
Aku menyaksikan Ibnu Zubair di Mekkah saat ia menjadi amir (pemimpin), dan hari itu adalah Idul Fitri atau Idul Adha yang bertepatan dengan hari Jumat. Ia menunda keluar (untuk khutbah) hingga siang hari naik, lalu ia keluar, naik mimbar, berkhutbah panjang, lalu salat dua rakaat (salat Id), dan tidak melaksanakan salat Jumat.
Sebagian orang dari Bani Umayyah mencelanya, dan hal itu sampai kepada Ibnu Abbas. Maka beliau berkata:
“Ibnu Zubair telah sesuai dengan sunnah.”
Hal itu juga sampai ke Ibnu Zubair, dan ia berkata:
“Aku melihat Umar bin Khattab jika dua hari raya berkumpul, beliau melakukan hal yang sama.”
🔹(5) Atsar dari ‘Atha’ tentang Ibnu Zubair رضي الله عنهما:
Diriwayatkan secara sahih dari ‘Atha bin Abi Rabah, ia berkata:
Ibnu Zubair salat bersama kami pada hari raya yang bertepatan dengan hari Jumat di pagi hari. Kemudian kami pergi untuk salat Jumat, namun ia tidak keluar kepada kami, maka kami salat sendiri-sendiri.
Ketika itu Ibnu Abbas berada di Thaif. Ketika ia datang, kami menyebutkan hal itu kepadanya, lalu ia berkata:
“Ia telah sesuai dengan sunnah.”
🔹(6) Atsar dari Utsman bin ‘Affan رضي الله عنه (diriwayatkan oleh al-Bukhari):
Dari Abu ‘Ubaid, maula (budak yang dimerdekakan oleh) Ibnu Azhar, ia berkata:
Aku menyaksikan salat Id bersama Utsman bin ‘Affan, dan hari itu bertepatan dengan hari Jumat. Ia salat sebelum khutbah, lalu berkhutbah dan berkata:
“Wahai manusia, hari ini telah berkumpul dua hari raya untuk kalian. Maka siapa di antara penduduk ‘Awali (pinggiran kota Madinah) yang ingin menunggu salat Jumat, silakan tunggu. Dan siapa yang ingin pulang, aku telah memberinya izin.”
🔹Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata:
Jika hari Jumat dan hari raya (Idul Fitri atau Idul Adha) berkumpul dalam satu hari, maka para ulama memiliki tiga pendapat:
1. Pendapat pertama: Salat Jumat tetap wajib bagi siapa saja yang telah menghadiri salat Id, sebagaimana kewajiban Jumat pada umumnya, berdasarkan dalil-dalil umum yang menunjukkan kewajiban Jumat.
2. Pendapat kedua: Kewajiban Jumat gugur bagi penduduk perkampungan dan daerah luar kota seperti ‘Awali (pinggiran Madinah), karena Utsman bin ‘Affan memberi keringanan kepada mereka untuk tidak menghadiri salat Jumat setelah salat Id.
3. Pendapat ketiga (dan ini yang benar):
Barang siapa yang telah menghadiri salat Id, maka gugur darinya kewajiban salat Jumat, namun imam tetap harus menegakkan salat Jumat agar siapa pun yang ingin menghadirinya tetap bisa hadir, termasuk yang belum ikut salat Id.
Ini adalah pendapat yang berasal dari Nabi ﷺ dan para sahabatnya seperti Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan lainnya. Tidak ada riwayat yang menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam masalah ini.
Adapun pendapat pertama dan kedua, para pendukungnya belum sampai kepada mereka hadis-hadis dari sunnah Nabi ﷺ tentang kejadian saat dua hari raya berkumpul. Nabi ﷺ saat itu salat Id lalu memberi keringanan untuk tidak menghadiri salat Jumat. Dalam satu riwayat, beliau berkata:
“Wahai manusia, kalian telah mendapatkan kebaikan. Siapa yang ingin menghadiri Jumat, silakan hadir, dan kami tetap akan mengadakan salat Jumat.”
Selain itu, salat Id sendiri telah memenuhi maksud dari pertemuan (jamaah). Jika seseorang tidak ikut Jumat, ia bisa menggantinya dengan salat Zuhur di waktunya. Maka salat Id telah mencukupi dari sisi makna Jumat.
Mewajibkan keduanya akan menjadi beban bagi umat, dan mengganggu makna kebahagiaan serta kelapangan yang disyariatkan pada hari raya. Jika mereka dipaksa meninggalkan kegembiraan hari raya demi Jumat, maka hal itu malah membatalkan tujuan dari hari raya.
Dan karena Jumat adalah hari raya, begitu pula Idul Fitri dan Idul Adha adalah hari raya, maka menjadi kebiasaan syariat untuk menggabungkan dua ibadah sejenis dalam satu waktu, seperti menggabungkan wudhu dalam mandi, atau menggabungkan dua mandi dalam satu niat.
Wallahu a‘lam.
🔹Dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:
“Jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka boleh bagi siapa yang menghadiri salat Id untuk salat Jumat atau salat Zuhur. Hal ini berdasarkan dalil yang sahih dari Nabi ﷺ, bahwa beliau memberikan keringanan (rukhshah) dalam salat Jumat bagi siapa yang menghadiri salat Id.”
🔺Kesimpulan:
Ibadah itu diambil dari apa yang dilakukan Nabi ﷺ dan para sahabatnya رضي الله عنهم. Karena sunnah beliau ﷺ adalah penjelas dan penafsir Al-Qur’an, bahkan ia adalah petunjuk dari Al-Qur’an.
Para sahabat —dengan sanad-sanad yang sahih— sebagai para penyampai wahyu juga berada di atas sunnah dalam masalah ini, dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dari mereka.
Sudah tetap dengan riwayat-riwayat yang sahih bahwa *siapa yang menghadiri salat Id pada hari Jumat, maka boleh baginya untuk salat Zuhur di rumah, dan tidak wajib atasnya salat Jumat.
Ini adalah amalan yang berasal dari Nabi ﷺ dengan sanad yang sahih dan dari banyak jalur, serta dari sekelompok sahabat tanpa ada yang menyelisihi.
Maka bagaimana bisa meninggalkan apa yang telah sah dari Nabi ﷺ dan para sahabatnya, lalu mengambil pendapat dan ijtihad semata?!
Ditulis oleh: Syaikh Muhammad Utsman Al-Anjari
Rabu, 8 Dzulhijjah 1446 H
http://telegram.me/dinulqoyyim
Barang siapa yang telah menghadiri salat Id, maka gugur darinya kewajiban salat Jumat, namun imam tetap harus menegakkan salat Jumat agar siapa pun yang ingin menghadirinya tetap bisa hadir, termasuk yang belum ikut salat Id.
Ini adalah pendapat yang berasal dari Nabi ﷺ dan para sahabatnya seperti Umar, Utsman, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan lainnya. Tidak ada riwayat yang menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam masalah ini.
Adapun pendapat pertama dan kedua, para pendukungnya belum sampai kepada mereka hadis-hadis dari sunnah Nabi ﷺ tentang kejadian saat dua hari raya berkumpul. Nabi ﷺ saat itu salat Id lalu memberi keringanan untuk tidak menghadiri salat Jumat. Dalam satu riwayat, beliau berkata:
“Wahai manusia, kalian telah mendapatkan kebaikan. Siapa yang ingin menghadiri Jumat, silakan hadir, dan kami tetap akan mengadakan salat Jumat.”
Selain itu, salat Id sendiri telah memenuhi maksud dari pertemuan (jamaah). Jika seseorang tidak ikut Jumat, ia bisa menggantinya dengan salat Zuhur di waktunya. Maka salat Id telah mencukupi dari sisi makna Jumat.
Mewajibkan keduanya akan menjadi beban bagi umat, dan mengganggu makna kebahagiaan serta kelapangan yang disyariatkan pada hari raya. Jika mereka dipaksa meninggalkan kegembiraan hari raya demi Jumat, maka hal itu malah membatalkan tujuan dari hari raya.
Dan karena Jumat adalah hari raya, begitu pula Idul Fitri dan Idul Adha adalah hari raya, maka menjadi kebiasaan syariat untuk menggabungkan dua ibadah sejenis dalam satu waktu, seperti menggabungkan wudhu dalam mandi, atau menggabungkan dua mandi dalam satu niat.
Wallahu a‘lam.
🔹Dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata:
“Jika hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka boleh bagi siapa yang menghadiri salat Id untuk salat Jumat atau salat Zuhur. Hal ini berdasarkan dalil yang sahih dari Nabi ﷺ, bahwa beliau memberikan keringanan (rukhshah) dalam salat Jumat bagi siapa yang menghadiri salat Id.”
🔺Kesimpulan:
Ibadah itu diambil dari apa yang dilakukan Nabi ﷺ dan para sahabatnya رضي الله عنهم. Karena sunnah beliau ﷺ adalah penjelas dan penafsir Al-Qur’an, bahkan ia adalah petunjuk dari Al-Qur’an.
Para sahabat —dengan sanad-sanad yang sahih— sebagai para penyampai wahyu juga berada di atas sunnah dalam masalah ini, dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dari mereka.
Sudah tetap dengan riwayat-riwayat yang sahih bahwa *siapa yang menghadiri salat Id pada hari Jumat, maka boleh baginya untuk salat Zuhur di rumah, dan tidak wajib atasnya salat Jumat.
Ini adalah amalan yang berasal dari Nabi ﷺ dengan sanad yang sahih dan dari banyak jalur, serta dari sekelompok sahabat tanpa ada yang menyelisihi.
Maka bagaimana bisa meninggalkan apa yang telah sah dari Nabi ﷺ dan para sahabatnya, lalu mengambil pendapat dan ijtihad semata?!
Ditulis oleh: Syaikh Muhammad Utsman Al-Anjari
Rabu, 8 Dzulhijjah 1446 H
http://telegram.me/dinulqoyyim
بسم الله الرحمن الرحيم
«مُختصَر صِفة صلاة العيد»
١ ــ إذا طلعت الشمس وارتفعت قليلًا قِيد رُمْح، ومَضَى على ارتفاعها نحو ربع ساعة ــ وهذا هو أوَّل وقت صلاة العيد ــ:
توجَّه المُصلِّي إلى جهة القِبلة، ونَوى بقلبه صلاة العيد، ولا يَتلفظ بها بلسانه.
ثُمَّ يَرفع يَديه إلى حَذو منكبيه أو فروع أُذنيه، ويُكبِّر تكبيرة الإحرام، فيقول: «اللهُ أكبر»، ثُمَّ يأتي بدعاء الاستفتاح.
٢ ــ ثُمَّ يُكبِّر سِت أو سَبع تكبيرات زوائد مُتتابعات، ويَرفع يديه مع كلِّ تكبيرة إلى حَذو منكبيه أو فروع أُذنيه.
وإنْ أحبَّ أنْ يَذكُر اللهَ بين كلِّ تكبيرتين ــ فيَحمد الله، ويُثنِي عليه، ويَدعوه، ويُصلِّي على نبيِّه محمد ﷺ، فحسنٌ جدًّا، لثبوته عن عدد مِن الصحابة، وإنْ تابع بين التكبيرات مِن غير ذِكرٍ لله بينهما فلا حرَج.
٣ ــ ثُمَّ يَستعيذ بالله مِن الشيطان، ويُبسمِل، ويَقرأ سورة الفاتحة، وبعدها سورة "ق"، أو سورة "الأعلى"، لثبوت ذلك عن النَّبي ﷺ، أو ما تيَسَّر له مِن القرآن، وتكون القراءة جهرًا.
٤ ــ ثُمَّ يَركع مُكبِّرًا، ويقول في ركوعه: «سبحان ربِّي العظيم»، ثلاثًا، أو أكثر.
ثُمَّ يَرفع رأسه مِن الركوع قائلًا: «سمِع الله لِمَن حمِده»، فإذا استوى قائمًا قال: «ربَّنا ولك الحمد»، وله أنْ يزيد على ذلك بما ورَد.
ثُمَّ يَسجد مُكبِّرًا، ويقول في سجوده: «سبحان ربِّي الأعلى»، ثلاثًا أو أكثر، ويدعو إنْ شاء.
ثمَّ يَرفع رأسه مِن السجود مُكبِّرًا، ويقول في جلسته بين السجدتين: «ربِّ اغفر لِي» ثلاثًا، أو أكثر، أو يقول: «اللهمَّ اغفر لِي، وارحمني، وعافني، وارزقني واهدني، واجبُرني، وارفعني».
ثُمَّ يَسجد مُكبِّرًا، ويُسبِّح في سجوده، ويدعو إنْ شاء.
٥ ــ ثُمَّ يَقوم مُكبِّرًا إلى الركعة الثانية، فإذا استوى قائمًا كبَّر خمس تكبيرات زوائد مُتتابعات، ويَرفع يديه مع كل تكبيرة إلى حَذو منكبيه أو فروع أُذنيه.
وإنْ أحبَّ أنْ يَذكُر اللهَ بين كل تكبيرتين بما تقدَّم فحَسَنٌ، لِثبوته عن الصحابة.
ثُمَّ يَستعيذ بالله مِن الشيطان، ويُبسمِل، ويَقرأ سورة "الفاتحة"، وبعدها سورة "القمر" إنْ كان قرأ في الركعة الأولى بسورة "ق"، أو يقرأ سورة "الغاشية" إنْ كان قرأ في الركعة الأولى بسورة: "الأعلى"، لثبوت الجمع بين كلِّ سورتين مِنهما عن النَّبي ﷺ في صلاة العيد.
ثم يَركع، ثُمَّ يَرفع رأسه مِن الركوع، ثُمَّ يَسجد سجدتين يَجلس بينهما، ثُمَّ يَرفع رأسه مِن السجود، ويَجلس للتَّشهُد والصلاة على النَّبي ﷺ، ويدعو، ثُمَّ يُسلِّم عن يمينه وعن شماله.
٦ ــ وأمَّا مَن يُصلُّون خلْفَ الإمام صلاة العيد:
فإنَّهم يَفعلون مِثل فِعلِه، غير أنَّهم يَقتصرون فقط على قراءة سورة "الفاتحة" سِرًّا، ويقولون دعاء الاستفتاح، ويَستعيذون بالله مِن الشيطان قبل "الفاتحة"، ويُبسمِلون، ولا يقولون: «سمِع الله لِمَن حمِده»، بل يَقتصرون على قول: «ربَّنا ولك الحمد».
كتبها:
عبد القادر الجنيد.
«مُختصَر صِفة صلاة العيد»
١ ــ إذا طلعت الشمس وارتفعت قليلًا قِيد رُمْح، ومَضَى على ارتفاعها نحو ربع ساعة ــ وهذا هو أوَّل وقت صلاة العيد ــ:
توجَّه المُصلِّي إلى جهة القِبلة، ونَوى بقلبه صلاة العيد، ولا يَتلفظ بها بلسانه.
ثُمَّ يَرفع يَديه إلى حَذو منكبيه أو فروع أُذنيه، ويُكبِّر تكبيرة الإحرام، فيقول: «اللهُ أكبر»، ثُمَّ يأتي بدعاء الاستفتاح.
٢ ــ ثُمَّ يُكبِّر سِت أو سَبع تكبيرات زوائد مُتتابعات، ويَرفع يديه مع كلِّ تكبيرة إلى حَذو منكبيه أو فروع أُذنيه.
وإنْ أحبَّ أنْ يَذكُر اللهَ بين كلِّ تكبيرتين ــ فيَحمد الله، ويُثنِي عليه، ويَدعوه، ويُصلِّي على نبيِّه محمد ﷺ، فحسنٌ جدًّا، لثبوته عن عدد مِن الصحابة، وإنْ تابع بين التكبيرات مِن غير ذِكرٍ لله بينهما فلا حرَج.
٣ ــ ثُمَّ يَستعيذ بالله مِن الشيطان، ويُبسمِل، ويَقرأ سورة الفاتحة، وبعدها سورة "ق"، أو سورة "الأعلى"، لثبوت ذلك عن النَّبي ﷺ، أو ما تيَسَّر له مِن القرآن، وتكون القراءة جهرًا.
٤ ــ ثُمَّ يَركع مُكبِّرًا، ويقول في ركوعه: «سبحان ربِّي العظيم»، ثلاثًا، أو أكثر.
ثُمَّ يَرفع رأسه مِن الركوع قائلًا: «سمِع الله لِمَن حمِده»، فإذا استوى قائمًا قال: «ربَّنا ولك الحمد»، وله أنْ يزيد على ذلك بما ورَد.
ثُمَّ يَسجد مُكبِّرًا، ويقول في سجوده: «سبحان ربِّي الأعلى»، ثلاثًا أو أكثر، ويدعو إنْ شاء.
ثمَّ يَرفع رأسه مِن السجود مُكبِّرًا، ويقول في جلسته بين السجدتين: «ربِّ اغفر لِي» ثلاثًا، أو أكثر، أو يقول: «اللهمَّ اغفر لِي، وارحمني، وعافني، وارزقني واهدني، واجبُرني، وارفعني».
ثُمَّ يَسجد مُكبِّرًا، ويُسبِّح في سجوده، ويدعو إنْ شاء.
٥ ــ ثُمَّ يَقوم مُكبِّرًا إلى الركعة الثانية، فإذا استوى قائمًا كبَّر خمس تكبيرات زوائد مُتتابعات، ويَرفع يديه مع كل تكبيرة إلى حَذو منكبيه أو فروع أُذنيه.
وإنْ أحبَّ أنْ يَذكُر اللهَ بين كل تكبيرتين بما تقدَّم فحَسَنٌ، لِثبوته عن الصحابة.
ثُمَّ يَستعيذ بالله مِن الشيطان، ويُبسمِل، ويَقرأ سورة "الفاتحة"، وبعدها سورة "القمر" إنْ كان قرأ في الركعة الأولى بسورة "ق"، أو يقرأ سورة "الغاشية" إنْ كان قرأ في الركعة الأولى بسورة: "الأعلى"، لثبوت الجمع بين كلِّ سورتين مِنهما عن النَّبي ﷺ في صلاة العيد.
ثم يَركع، ثُمَّ يَرفع رأسه مِن الركوع، ثُمَّ يَسجد سجدتين يَجلس بينهما، ثُمَّ يَرفع رأسه مِن السجود، ويَجلس للتَّشهُد والصلاة على النَّبي ﷺ، ويدعو، ثُمَّ يُسلِّم عن يمينه وعن شماله.
٦ ــ وأمَّا مَن يُصلُّون خلْفَ الإمام صلاة العيد:
فإنَّهم يَفعلون مِثل فِعلِه، غير أنَّهم يَقتصرون فقط على قراءة سورة "الفاتحة" سِرًّا، ويقولون دعاء الاستفتاح، ويَستعيذون بالله مِن الشيطان قبل "الفاتحة"، ويُبسمِلون، ولا يقولون: «سمِع الله لِمَن حمِده»، بل يَقتصرون على قول: «ربَّنا ولك الحمد».
كتبها:
عبد القادر الجنيد.
الدين القيم
بسم الله الرحمن الرحيم «مُختصَر صِفة صلاة العيد» ١ ــ إذا طلعت الشمس وارتفعت قليلًا قِيد رُمْح، ومَضَى على ارتفاعها نحو ربع ساعة ــ وهذا هو أوَّل وقت صلاة العيد ــ: توجَّه المُصلِّي إلى جهة القِبلة، ونَوى بقلبه صلاة العيد، ولا يَتلفظ بها بلسانه. ثُمَّ يَرفع…
بسم الله الرحمن الرحيم
"Ringkasan Tata Cara Salat Id"
1.Setelah matahari terbit dan naik sedikit (sekitar satu tombak), yaitu sekitar 15 menit setelah matahari terbit—itulah awal waktu Salat Id.
Maka orang yang salat menghadap kiblat, berniat salat Id dalam hatinya tanpa melafalkannya dengan lisannya.
Lalu ia mengangkat kedua tangannya setinggi kedua bahunya atau kedua telinganya dan bertakbir (takbiratul ihram) sambil mengucapkan: "Allahu Akbar", lalu membaca doa istiftah.
2. Kemudian bertakbir 6 atau 7 kali takbir tambahan secara berurutan, dan mengangkat tangan setiap takbir setinggi bahu atau telinga.
Jika ingin memuji Allah, bershalawat atas Nabi, atau berdoa di antara takbir-takbir itu, itu sangat baik karena hal itu diriwayatkan dari beberapa sahabat. Tapi jika langsung menyambung antar takbir-takbir (tambahan) tanpa dzikir di antara takbir-takbir, juga tidak mengapa.
3. Lalu berlindung dari setan (membaca isti’adzah), membaca basmalah, membaca Al-Fatihah, kemudian surat "Qaaf" atau "Al-A’la" karena itu diriwayatkan dari Nabi shallallahu aaihi wasallam, atau surat lain yang mudah. Bacaan dilakukan dengan suara keras (jahr).
4. Kemudian ruku' sambil bertakbir, dan membaca: "Subhana rabbiyal 'azhim" tiga kali atau lebih.
Kemudian bangkit dari ruku' sambil mengucapkan: "Sami'allahu liman hamidah", lalu saat lurus berdiri mengucapkan: "Rabbana wa lakal hamd", dan ia diperbolehkan menambah atas itu bacaan yang diriwayatkan dalam sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Kemudian sujud dengan bertakbir, dan membaca dalam sujudnya: "Subhana rabbiyal a’la" tiga kali atau lebih, dan berdoa jika ia berkehendak.
Kemudia mengangkat kepalanya dari sujud sambil bertakbir dan membaca ketika duduk di antara dua sujud: "Rabbigh firli" tiga kali atau lebih atau membaca: "Allahummagh filli, warhamni, wa'aafini, warzuqni, wahdini, wajburni, warfa'ni".
Kemudian sujud sambil bertakbir dan membaca tasbih dalam sujudnya serta berdoa jika ia mau.
5. Kemudian ia bangkit sambil bertakbir ke rakaat kedua, jika sudah lurus berdiri maka bertakbir lima kali takbir tambahan, dan mengangkat kedua tangan setiap takbir setinggi kedua bahunya atau kedua telinganya.
Dan jika ingin menyebut (memuji) Allah diantara takbir-takbir itu dengan apa yang telah lewat maka bagus dikarenakan hal itu diriwayatkan dari sejumlah shahabat.
Kemudian membaca isti’adzah, basmalah, Al-Fatihah, dan setelahnya surat "Al-Qamar" (jika rakaat pertama membaca "Qaaf") atau "Al-Ghasyiyah" (jika rakaat pertama "Al-A’la"), dikarenakan telah shahih mengumpulkan antara dua surat tersebut dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam shalat id.
Kemudian ruku, kemudian mengangkat kepalanya dari ruku' (i’tidal), kemudian sujud dua kali sujud dengan duduk diantara keduanya, kemudian mengangkat kepalanya dari sujud, dan duduk tasyahud, bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, berdoa, kemudian salam ke kanan dan kiri.
6. Adapun para makmum yang mereka shalat mengikuti di belakang imam, maka mereka melakukan seperti yang dilakukan imam hanya saja mereka mencukupkan dengan membaca surat Al-Fatihah secara sirr (pelan), membaca doa istiftah, membaca isti’adzah sebelum A Fatihah , membaca basmalah, dan tidak mengucapkan "Sami’allahu liman hamidah", cukup dengan "Rabbana wa lakal hamd".
Ditulis oleh:
Abdul Qadir Al-Junaid.
http://telegram.me/dinulqoyyim
"Ringkasan Tata Cara Salat Id"
1.Setelah matahari terbit dan naik sedikit (sekitar satu tombak), yaitu sekitar 15 menit setelah matahari terbit—itulah awal waktu Salat Id.
Maka orang yang salat menghadap kiblat, berniat salat Id dalam hatinya tanpa melafalkannya dengan lisannya.
Lalu ia mengangkat kedua tangannya setinggi kedua bahunya atau kedua telinganya dan bertakbir (takbiratul ihram) sambil mengucapkan: "Allahu Akbar", lalu membaca doa istiftah.
2. Kemudian bertakbir 6 atau 7 kali takbir tambahan secara berurutan, dan mengangkat tangan setiap takbir setinggi bahu atau telinga.
Jika ingin memuji Allah, bershalawat atas Nabi, atau berdoa di antara takbir-takbir itu, itu sangat baik karena hal itu diriwayatkan dari beberapa sahabat. Tapi jika langsung menyambung antar takbir-takbir (tambahan) tanpa dzikir di antara takbir-takbir, juga tidak mengapa.
3. Lalu berlindung dari setan (membaca isti’adzah), membaca basmalah, membaca Al-Fatihah, kemudian surat "Qaaf" atau "Al-A’la" karena itu diriwayatkan dari Nabi shallallahu aaihi wasallam, atau surat lain yang mudah. Bacaan dilakukan dengan suara keras (jahr).
4. Kemudian ruku' sambil bertakbir, dan membaca: "Subhana rabbiyal 'azhim" tiga kali atau lebih.
Kemudian bangkit dari ruku' sambil mengucapkan: "Sami'allahu liman hamidah", lalu saat lurus berdiri mengucapkan: "Rabbana wa lakal hamd", dan ia diperbolehkan menambah atas itu bacaan yang diriwayatkan dalam sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Kemudian sujud dengan bertakbir, dan membaca dalam sujudnya: "Subhana rabbiyal a’la" tiga kali atau lebih, dan berdoa jika ia berkehendak.
Kemudia mengangkat kepalanya dari sujud sambil bertakbir dan membaca ketika duduk di antara dua sujud: "Rabbigh firli" tiga kali atau lebih atau membaca: "Allahummagh filli, warhamni, wa'aafini, warzuqni, wahdini, wajburni, warfa'ni".
Kemudian sujud sambil bertakbir dan membaca tasbih dalam sujudnya serta berdoa jika ia mau.
5. Kemudian ia bangkit sambil bertakbir ke rakaat kedua, jika sudah lurus berdiri maka bertakbir lima kali takbir tambahan, dan mengangkat kedua tangan setiap takbir setinggi kedua bahunya atau kedua telinganya.
Dan jika ingin menyebut (memuji) Allah diantara takbir-takbir itu dengan apa yang telah lewat maka bagus dikarenakan hal itu diriwayatkan dari sejumlah shahabat.
Kemudian membaca isti’adzah, basmalah, Al-Fatihah, dan setelahnya surat "Al-Qamar" (jika rakaat pertama membaca "Qaaf") atau "Al-Ghasyiyah" (jika rakaat pertama "Al-A’la"), dikarenakan telah shahih mengumpulkan antara dua surat tersebut dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam shalat id.
Kemudian ruku, kemudian mengangkat kepalanya dari ruku' (i’tidal), kemudian sujud dua kali sujud dengan duduk diantara keduanya, kemudian mengangkat kepalanya dari sujud, dan duduk tasyahud, bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, berdoa, kemudian salam ke kanan dan kiri.
6. Adapun para makmum yang mereka shalat mengikuti di belakang imam, maka mereka melakukan seperti yang dilakukan imam hanya saja mereka mencukupkan dengan membaca surat Al-Fatihah secara sirr (pelan), membaca doa istiftah, membaca isti’adzah sebelum A Fatihah , membaca basmalah, dan tidak mengucapkan "Sami’allahu liman hamidah", cukup dengan "Rabbana wa lakal hamd".
Ditulis oleh:
Abdul Qadir Al-Junaid.
http://telegram.me/dinulqoyyim
العلامة عبد المحسن العباد بخاري هذا الزمان | الشيخ خالد عبد الرحمن…
#فوائد
♦| «العلامة المحدث عبد المحسن العباد بخاري هذا الزمان!»
🖋 يقول فضيلة الشيخ
خالد عبد الرحمن المصري -حفظه الله-
«العلامة الذي اسميه بخاري هذا الزمان، ولا أعلم أحدا سبقني إلى هذا، فإن قبل مني ذلك أهل العلم فخير وبركة، وإلا لا أخالفهم، لا أعلم على وجه الأرض أعلم بحديث رسول الله صلى الله عليه وسلم وأحفظ للرجال من شيخ الإسلام عبد المحسن بن حمد العباد البدر، وجعل الله له من اسمه نصيبا، هو عندي والله شيخ إسلام وإمام من الأئمة الأجلة، ومن جلس في مجلس هذا الرجل علم قدر علمه، وكل الناس يؤخذ ويرد عليه، الآن الشيخ عبد المحسن العباد محدث المسلمين بعد الالباني»اهـ
https://t.me/abomohammedkhaledbnabdelrhman/5323
♦| «العلامة المحدث عبد المحسن العباد بخاري هذا الزمان!»
🖋 يقول فضيلة الشيخ
خالد عبد الرحمن المصري -حفظه الله-
«العلامة الذي اسميه بخاري هذا الزمان، ولا أعلم أحدا سبقني إلى هذا، فإن قبل مني ذلك أهل العلم فخير وبركة، وإلا لا أخالفهم، لا أعلم على وجه الأرض أعلم بحديث رسول الله صلى الله عليه وسلم وأحفظ للرجال من شيخ الإسلام عبد المحسن بن حمد العباد البدر، وجعل الله له من اسمه نصيبا، هو عندي والله شيخ إسلام وإمام من الأئمة الأجلة، ومن جلس في مجلس هذا الرجل علم قدر علمه، وكل الناس يؤخذ ويرد عليه، الآن الشيخ عبد المحسن العباد محدث المسلمين بعد الالباني»اهـ
https://t.me/abomohammedkhaledbnabdelrhman/5323
الدين القيم
#فوائد ♦| «العلامة المحدث عبد المحسن العباد بخاري هذا الزمان!» 🖋 يقول فضيلة الشيخ خالد عبد الرحمن المصري -حفظه الله- «العلامة الذي اسميه بخاري هذا الزمان، ولا أعلم أحدا سبقني إلى هذا، فإن قبل مني ذلك أهل العلم فخير وبركة، وإلا لا أخالفهم، لا أعلم على وجه… – العلامة عبد المحسن العباد بخاري هذا الزمان | الشيخ خالد عبد الرحمن…
♦| "Al-Allamah Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad adalah Bukhari di zaman ini!"
🖋 Fadhilatusy Syaikh Khalid Abdul Rahman Al-Mishri –hafizhahullah–berkata:
"Ulama besar yang aku juluki sebagai Bukhari-nya zaman ini dan aku tidak mengetahui ada yang mendahuluiku dalam julukan ini. Jika para ulama menerima sebutan ini dariku, maka itu kebaikan dan berkah, dan jika tidak maka aku tidaklah menyelisihi mereka.
Aku tidak mengetahui seorang pun di muka bumi ini yang lebih berilmu tentang hadits Rasulullah ﷺ dan lebih hafal tentang perawi-perawinya dibandingkan dengan Syaikhul Islam Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad Al-Badr—semoga Allah menjadikan namanya sesuai dengan kenyataannya.
Beliau menurutku, demi Allah, adalah Syaikhul Islam dan salah satu imam besar. Dan siapa pun yang pernah duduk di majelis beliau, akan tahu kadar ilmunya.
Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya. Saat ini, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad adalah muhaddits kaum muslimin setelah Al-Albani." Selesai.
http://telegram.me/dinulqoyyim
🖋 Fadhilatusy Syaikh Khalid Abdul Rahman Al-Mishri –hafizhahullah–berkata:
"Ulama besar yang aku juluki sebagai Bukhari-nya zaman ini dan aku tidak mengetahui ada yang mendahuluiku dalam julukan ini. Jika para ulama menerima sebutan ini dariku, maka itu kebaikan dan berkah, dan jika tidak maka aku tidaklah menyelisihi mereka.
Aku tidak mengetahui seorang pun di muka bumi ini yang lebih berilmu tentang hadits Rasulullah ﷺ dan lebih hafal tentang perawi-perawinya dibandingkan dengan Syaikhul Islam Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad Al-Badr—semoga Allah menjadikan namanya sesuai dengan kenyataannya.
Beliau menurutku, demi Allah, adalah Syaikhul Islam dan salah satu imam besar. Dan siapa pun yang pernah duduk di majelis beliau, akan tahu kadar ilmunya.
Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya. Saat ini, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad adalah muhaddits kaum muslimin setelah Al-Albani." Selesai.
http://telegram.me/dinulqoyyim
الدين القيم
Photo
Syaikh Dr. Ali bin Yahya Al-Haddadi hafizhahullah berkata:
Rasulullah ﷺ ditanya:
"Amalan apa yang paling utama?"
Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ditanya lagi: “Kemudian apa?”
Beliau bersabda: “Jihad di jalan Allah.”
Ditanya lagi: “Kemudian apa?”
Beliau bersabda: “Haji mabrur.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kemuliaan haji sangat agung dimana dalam hadis ini ia disebutkan setelah jihad fi sabilillah, bahkan Nabi ﷺ menamakannya dengan jihad tanpa peperangan, itu karena besarnya kesulitan yang dihadapi dalam haji ketika melakukan safar haji, terutama bagi orang-orang dari negeri yang jauh.
Kesulitan itu termasuk:
- Ketika seseorang berihram, ia dilarang menikmati hal-hal yang biasa ia nikmati seperti memakai pakaian berjahit, memakai wangi-wangian, menutup kepala, menggauli istrinya, hingga tahallul dari ihram.
- Keletihan disebabkan pindah-pindah antara tempat-tempat manasik.
- Berdesak-desakan ketika thawaf, sa’i, wukuf, melempar jumrah, bahkan kadang menyebabkan sebagian orang meninggal.
- Kebutuhan biaya (yang besar) dan selain itu dari gambaran-gambaran kesulitan dan kelelahan yang dengannya Allah akan mencatat pahala dan balasan yang besar serta penghapusan dosa dan kesalahan bagi orang yang berhaji, jika ia ikhlas, bertakwa dan berbuat baik.
http://telegram.me/dinulqoyyim
Rasulullah ﷺ ditanya:
"Amalan apa yang paling utama?"
Beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ditanya lagi: “Kemudian apa?”
Beliau bersabda: “Jihad di jalan Allah.”
Ditanya lagi: “Kemudian apa?”
Beliau bersabda: “Haji mabrur.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kemuliaan haji sangat agung dimana dalam hadis ini ia disebutkan setelah jihad fi sabilillah, bahkan Nabi ﷺ menamakannya dengan jihad tanpa peperangan, itu karena besarnya kesulitan yang dihadapi dalam haji ketika melakukan safar haji, terutama bagi orang-orang dari negeri yang jauh.
Kesulitan itu termasuk:
- Ketika seseorang berihram, ia dilarang menikmati hal-hal yang biasa ia nikmati seperti memakai pakaian berjahit, memakai wangi-wangian, menutup kepala, menggauli istrinya, hingga tahallul dari ihram.
- Keletihan disebabkan pindah-pindah antara tempat-tempat manasik.
- Berdesak-desakan ketika thawaf, sa’i, wukuf, melempar jumrah, bahkan kadang menyebabkan sebagian orang meninggal.
- Kebutuhan biaya (yang besar) dan selain itu dari gambaran-gambaran kesulitan dan kelelahan yang dengannya Allah akan mencatat pahala dan balasan yang besar serta penghapusan dosa dan kesalahan bagi orang yang berhaji, jika ia ikhlas, bertakwa dan berbuat baik.
http://telegram.me/dinulqoyyim
الدين القيم
Photo
Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdul Salam Al-Suhaimy berkata dalam akun X beliau:
"Haji tahun 1446 H berhasil seperti biasa setiap tahunnya, segala puji dan syukur bagi Allah.
Meskipun ada yang menggonggong, melolong, dan berkoar penuh kebencian...
Kerajaan Arab Saudi tetap menjadi tempat aman, penuh kekuatan, kebaikan, dan keberkahan bagi kaum muslimin.
Lebih dari satu juta enam ratus ribu jamaah berhasil digiring ke Jamarat dan ke seluruh tempat ibadah haji dan tanah haram dengan sistem yang proporsional yang menunjukkan pengelolaan kerumunan yang luar biasa dan usaha keras luar biasa yang dilakukan oleh Kerajaan Arab Saudi dalam melayani para jamaah haji baitullah al-haram.
Kami memohon kepada Allah agar membalas kebaikan Khadimul Haramain Asy-Syarifain dan putra mahkota tercinta, semoga Allah memberi mereka pahala besar, memanjangkan umur mereka dalam ketaatan, memberi mereka keberkahan dalam pelayanan Islam dan kaum muslimin.
Dan semoga Allah membalas semua pekerja di berbagai sektor yang telah berupaya dan bekerja keras, serta menjadikan itu semua dalam timbangan amal saleh mereka.
Kami memohon kepada Allah agar menerima haji para jamaah, mengampuni dosa-dosa mereka, dan mengembalikan mereka ke tanah air mereka dalam keadaan selamat dan penuh kemenangan."
http://telegram.me/dinulqoyyim
"Haji tahun 1446 H berhasil seperti biasa setiap tahunnya, segala puji dan syukur bagi Allah.
Meskipun ada yang menggonggong, melolong, dan berkoar penuh kebencian...
Kerajaan Arab Saudi tetap menjadi tempat aman, penuh kekuatan, kebaikan, dan keberkahan bagi kaum muslimin.
Lebih dari satu juta enam ratus ribu jamaah berhasil digiring ke Jamarat dan ke seluruh tempat ibadah haji dan tanah haram dengan sistem yang proporsional yang menunjukkan pengelolaan kerumunan yang luar biasa dan usaha keras luar biasa yang dilakukan oleh Kerajaan Arab Saudi dalam melayani para jamaah haji baitullah al-haram.
Kami memohon kepada Allah agar membalas kebaikan Khadimul Haramain Asy-Syarifain dan putra mahkota tercinta, semoga Allah memberi mereka pahala besar, memanjangkan umur mereka dalam ketaatan, memberi mereka keberkahan dalam pelayanan Islam dan kaum muslimin.
Dan semoga Allah membalas semua pekerja di berbagai sektor yang telah berupaya dan bekerja keras, serta menjadikan itu semua dalam timbangan amal saleh mereka.
Kami memohon kepada Allah agar menerima haji para jamaah, mengampuni dosa-dosa mereka, dan mengembalikan mereka ke tanah air mereka dalam keadaan selamat dan penuh kemenangan."
http://telegram.me/dinulqoyyim
Pertanyaan ditujukan kepada Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, anggota Hai’ah Kibaril ‘Ulama (Dewan Ulama Senior), dan anggota Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) di Kerajaan Arab Saudi:
"Apa keshahihan hadis:
«من حج فلم يزرني فقد جفاني»
‘Barangsiapa berhaji namun tidak menziarahiku, maka sungguh ia telah menyakitiku’?"
Jawaban Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan حفظه الله:
Hadis ini sesuai dengan kaidah yang disebutkan oleh para ulama, yaitu bahwa setiap hadits yang berkaitan dengan perintah atau anjuran untuk menziarahi kubur Nabi ﷺ, maka tidak dapat dijadikan hujjah, karena hadis-hadis dalam bab ini antara sangat lemah atau bahkan palsu dan dibuat-buat atas nama Rasulullah ﷺ.
Para imam besar ahli hadis telah memperingatkan tentang hal ini, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi dalam kitab "Ash-Sharim Al-Munki fi Ar-Radd ‘ala As-Subki", Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan lainnya dari kalangan para hafizh.
السؤال: أيضاً الحديث الآخر يقول: ما صحة هذا الحديث: «من حج فلم يزرني فقد جفاني»؟
الجواب لفضيلة الشيخ صالح بن فوزان الفوزان حفظه الله: هذا ... للقاعدة التي ذكرها العلماء أن كل حديث في الأمر بزيارة قبره ﷺ أو الحث عليها كل حديث في هذا الموضوع فلا يحتج به؛ لأنه إما ضعيف شديد الضعف وإما أنه موضوع ومكذوب على رسول الله ﷺ، وقد نبَّه على ذلك الأئمة الكبار من الحفاظ كشيخ الإسلام ابن تيمية والحافظ ابن عبد الهادي في ""الصارم المنكي في الرد على السبكي"" والحافظ ابن حجر وغيرهم من الحفاظ.
https://youtu.be/-_iVbtKKxC0?si=U6mX8StuvNNvNPYt
http://telegram.me/dinulqoyyim
"Apa keshahihan hadis:
«من حج فلم يزرني فقد جفاني»
‘Barangsiapa berhaji namun tidak menziarahiku, maka sungguh ia telah menyakitiku’?"
Jawaban Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan حفظه الله:
Hadis ini sesuai dengan kaidah yang disebutkan oleh para ulama, yaitu bahwa setiap hadits yang berkaitan dengan perintah atau anjuran untuk menziarahi kubur Nabi ﷺ, maka tidak dapat dijadikan hujjah, karena hadis-hadis dalam bab ini antara sangat lemah atau bahkan palsu dan dibuat-buat atas nama Rasulullah ﷺ.
Para imam besar ahli hadis telah memperingatkan tentang hal ini, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi dalam kitab "Ash-Sharim Al-Munki fi Ar-Radd ‘ala As-Subki", Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan lainnya dari kalangan para hafizh.
السؤال: أيضاً الحديث الآخر يقول: ما صحة هذا الحديث: «من حج فلم يزرني فقد جفاني»؟
الجواب لفضيلة الشيخ صالح بن فوزان الفوزان حفظه الله: هذا ... للقاعدة التي ذكرها العلماء أن كل حديث في الأمر بزيارة قبره ﷺ أو الحث عليها كل حديث في هذا الموضوع فلا يحتج به؛ لأنه إما ضعيف شديد الضعف وإما أنه موضوع ومكذوب على رسول الله ﷺ، وقد نبَّه على ذلك الأئمة الكبار من الحفاظ كشيخ الإسلام ابن تيمية والحافظ ابن عبد الهادي في ""الصارم المنكي في الرد على السبكي"" والحافظ ابن حجر وغيرهم من الحفاظ.
https://youtu.be/-_iVbtKKxC0?si=U6mX8StuvNNvNPYt
http://telegram.me/dinulqoyyim
YouTube
6318- ما صحة حديث: من حج فلم يزرني فقد جفاني؟ - الشيخ صالح الفوزان
"6318- أيضاً الحديث الآخر يقول: ما صحة هذا الحديث: «من حج فلم يزرني فقد جفاني»؟
الجواب: الجواب: هذا ... للقاعدة التي ذكرها العلماء أن كل حديث في الأمر بزيارة قبره ﷺ أو الحث عليها كل حديث في هذا الموضوع فلا يحتج به؛ لأنه إما ضعيف شديد الضعف وإما أنه موضوع…
الجواب: الجواب: هذا ... للقاعدة التي ذكرها العلماء أن كل حديث في الأمر بزيارة قبره ﷺ أو الحث عليها كل حديث في هذا الموضوع فلا يحتج به؛ لأنه إما ضعيف شديد الضعف وإما أنه موضوع…