MUSTANIR ONLINE
3.21K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
ercayaan itu ada dua: laki dan wanita…dst. maka menurut law of no-contradiction tidak mungkin semua benar atau semua salah. Yang benar pasti hanya satu.

Logika buya Hamka tidak salah ketika mengatakan bahwa siapapun yang mengatakan semua agama itu sama, dia pasti tidak beragama. Jika Muslim yang mengatakan semua agama itu sama, maka ia tidak bicara atas nama Islam. Dalam bahasa logika, barangsiapa yang mengatakan semua pendapat itu sama benarnya maka ia menyalahi law of no-contradiction berarti kontradiksi. Bagi Gregory Koukl, “konsep pluralisme agama masa kini adalah bodoh (stupid)”. Wallahu a’lam bissawab
12 Rahasia Kejahatan Yahudi dalam Kitab Suci
Penulis: Henri Shalahuddin

Ide mendirikan negara Yahudi dalam perkembangan gerakan Zionis, sebenarnya banyak dipengaruhi oleh Theodore Herzl. Dalam tulisannya, Der Jadenstaat (Negara Yahudi), dia mendorong organisasi Yahudi dunia untuk meminta persetujuan Turki Usmani sebagai penguasa di Palestina agar diizinkan membeli tanah di sana. Kaum Yahudi hanya diizinkan memasuki Palestina untuk melaksanakan ibadah, bukan sebagai komunitas yang punya ambisi politik (lihat: Palestine and The Arab-Israeli Conflict, 2000: 95). Keputusan ini memicu gerakan Zionis radikal. Bersamaan dengan semakin melemahnya pengaruh Turki Usmani, para imigran Zionis berdatangan setelah berhasil membeli tanah di Palestina utara. Imigrasi besar-besaran ini pun berubah menjadi penjajahan tatkala mereka berhasil menguasai ekonomi, sosial dan politik di Palestina dengan dukungan Inggris (Israel, Land of Tradition and Conflict, 1993:27).

Berakhirnya Perang Dunia I, Inggris berhasil menguasai Palestina dengan mudah. Sherif Husein di Mekah yang dilobi untuk memberontak kekuasaan Turki juga meraih kesuksesan. (1948 and After: Israel and Palestine, 1990:149). Rakyat Palestina semakin terdesak dan menjadi sasaran pembantaian. (2000:173). Agresi Zionis terus berlanjut, 360 desa dan 14 kota yang didiami rakyat Palestina dihancurkan dan lebih 726.000 jiwa terpaksa mengungsi. Akhirnya pada Jumat, 14 Mei 1948, negara baru Israel dideklarasikan oleh Ben Gurion, bertepatan dengan 8 jam sebelum Inggris dijadwal meninggalkan Palestina. Untuk strategi mempertahankan keamanannya di masa berikutnya, Israel terus menempel AS hingga berhasil mendapat pinjaman 100 juta U$D untuk mengembangkan senjata nuklir.

Elisabeth Diana Dewi dalam karya ilmiahnya, The Creation of The State of Israel menguraikan bahwa secara filosofi, negara Israel dibentuk berdasarkan tiga keyakinan yang tidak boleh dipertanyakan: (a) tanah Israel hanya diberikan untuk bangsa pilihan Tuhan sebagai bagian dari Janji-Nya kepada mereka. (b) pembentukan negara Israel modern adalah proses terbesar dari penyelamatan tanah bangsa Yahudi. (c) pembentukan negara bagi mereka adalah solusi atas sejarah penderitaan Yahudi yang berjuang dalam kondisi tercerai berai (diaspora). Maka, merebut kembali seluruh tanah yang dijanjikan dalam Bibel adalah setara dengan penderitaan mereka selama 3000 tahun. Oleh sebab itu, semua bangsa non-Yahudi yang hidup di tanah itu adalah perampas dan layak untuk dibinasakan.

Yahudi dalam Al-Quran

Fakta fenomenal saat ini yang menggambarkan arogansi, kecongkakan dan penindasan Yahudi terhadap kaum muslimin adalah hikmah yang harus diambil dari Firman-Nya: Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: "Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.” (QS.17:4). Dalam tafsir Jalalayn dijelaskan bahwa maksud fil ardhi dalam ayat itu adalah bumi Syam yang meliputi Suriah, Palestina, Libanon, Yordan dan sekitarnya.

Pembunuhan bukan hal asing dalam sejarah Yahudi. Bahkan nabi-nabi mereka, seperti Nabi Zakariya dan Nabi Yahya pun dibunuh. Mereka juga mengira telah berhasil membunuh Nabi Isa dan bangga atas usahanya. Tapi Al-Quran membantahnya (QS.4:157). Inilah di antara makna bahwa yang paling keras permusuhannya terhadap kaum beriman ialah orang Yahudi dan musyrik (QS. 5:82).

Penolakan janji Allah (QS. 5:21-22) yang memastikan kemenangan jika mau berperang bersama Nabi Musa, membuktikan sebenarnya Yahudi adalah bangsa penakut, pesimis, tamak terhadap dunia dan lebih memilih hidup hina daripada mati mulia. Bahkan QS. 5:24 menggambarkan bahwa mereka tidak butuh tanah yang dijanjikan dan tidak ingin merdeka selama masih ada sekelompok orang kuat yang tinggal di sana. Lalu mereka meminta Nabi Musa dan Tuhannya berperang sendiri.

Oleh karena itu Al-Quran menggambarkan bahwa kerasnya batu tidak bisa mengimbangi kerasnya hati kaum Yahudi. Sebab masih ada batu yang terbelah lalu keluar mata air darinya dan ada juga yang meluncur jatuh karen
a takut kepada Allah (QS. 2:74). Keras hati kaum Yahudi ini di antaranya disebabkan hobi mereka mendengarkan berita dusta dan makan dari usaha yang diharamkan (QS. 5:24).

Dua Belas Kejahatan Yahudi

Dalam buku Qabaih al-Yahud dijelas 12 kejahatan Yahudi yang termaktub dalam Al-Quran. Kejahatan itu adalah sebagai berikut:

1. Menuduh Nabi Musa punya penyakit kusta karena tidak mau mandi bersama mereka. (QS. 33:69)

2. Enggan melaksanakan Taurat, sehingga Allah mengangkat gunung Tursina untuk mengambil perjanjian yang teguh. (QS.2:93)

3. Tidak mau beriman kecuali jika melihat Allah langsung. (QS. 2:55 dan 4:153)

4. Merubah perintah agar masuk negeri yang dijanjikan seraya bersujud dan mengucapkan hithah, yakni memohon ampunan. Tapi mereka mengganti perintah itu dengan cara melata di atas anusnya dan mengatakan hinthah, yakni sebutir biji di rambut. (QS. 2:58-59)

5. Menuduh Nabi Musa mengolok-olok mereka saat mereka disuruh menyembelih sapi betina. (QS. 2:67)

6. Menulis Alkitab dengan tangan mereka, lalu mengatakan ini dari Allah. (QS. 2:79)

7. Memutar-mutar lidahnya untuk menyakinkan bahwa yang dibacanya itu adalah wahyu yang asli. (QS. 3:78)

8. Merubah Firman Allah. (QS.2:75)

9. Menyembah patung sapi saat ditinggal Nabi Musa mengambil Taurat. (QS.2: 51 dan 92)

10. Mengatakan Tangan Allah terbelenggu. (QS.5:64)

11. Menuduh Allah itu faqir. (QS. 3:181)

12. Menyuruh Nabi Musa dan Tuhannya berperang untuk mereka (QS.5:24)

Di samping itu, sosok nabi yang seharusnya dijadikan suri tauladan, justru dinistakan. Nabi Ibrahim dalam Kejadian pasal 12:10-16 dan 20:1-14, dikisahkan sebagai orang yang hina, menjijikkan dan rakus harta benda. Beliau dituduh menjual isterinya yang cantik demi meraih keuntungan. Kitab suci mereka tidak pernah menceritakan beliau sebagai Nabi pemberani yang menghancurkan patung meskipun harus dilemparkan kedalam api, menyeru ayah dan kaumnya meninggalkan kemusyrikan. Kisah memilukan juga menimpa Nabi Luth. Dalam Kejadian Pasal 19:30-38, beliau dikisahkan menzinahi kedua putrinya dalam keadaan mabuk.

Islam adalah musuh permanen bagi Yahudi dan Nasrani. Sebab Islam adalah satu-satunya agama yang kitab sucinya mengoreksi langsung kesalahan dua agama itu. Ibarat seorang adik, ia berani membongkar kejahatan kedua kakaknya. Oleh sebab itu, kedengkian mereka tidak akan padam dan masih eksis dalam kajian-kajian mereka. Contoh kedengkian intelektual ini seperti klaim bahwa Al-Quran banyak dipengaruhi kosa kata Ibrani, seperti diungkapkan Adnin Armas dalam bukunya Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran. Klaim ini dicetuskan oleh Abraham Geiger (1810-1874), seorang rabi dan pendiri Yahudi Liberal di Jerman dalam karyanya, Apa yang telah Muhammad pinjam dari Yahudi?

Jauh sebelumnya, Imam Syafi’i telah menolak tudingan semisal itu dan menguatkan bahwa Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Sebab semua lafadz dalam Al-Quran mustahil tidak dipahami oleh semua orang Arab, meskipun sebagian lafadz itu ada yang tidak dimengerti oleh sebagian orang Arab. Hal ini mengingat luasnya samudera bahasa Arab, bukan karena kata itu tidak berasal dari bahasa Arab. Karena kata-kata yang dituduhkan asing itu telah menjadi bahasa Arab, dikenal dan telah digunakan oleh masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Quran.

Anehnya, virus Geiger kini berkembang subur di sebagian umat. Pengacauan studi Islam dan maraknya franchise-franchise hermeneutika untuk menafsirkan Al-Quran di sebagian institusi pendidikan tinggi Islam sangat potensial melemahkan akidah dan ukhuwah. Fenomena ini perlu dipertimbangkan para tokoh umat di samping fatwa tentang pemboikotan produk Israel dan Amerika.
Lalu, al-Quran memerintahkan kita berpuasa, bersusah payah beribadah, pagi, siang dan malam, supaya menjadi orang yang taqwa! Seruan ini memang khusus bagi orang yang beriman. Orang kafir-materialis-sekularis-liberalis jelas tidak terkena seruan ini. Sebab, tatapan mata dan pikiran mereka hanya terhenti pada aspek materi dan dunia ini saja. Mereka merasa hebat dan merasa berhak mengatur Tuhan, sehingga hukum dan aturan Tuhan dicerca, karena – kata mereka — tidak sesuai dengan konsep Hak Asasi Manusia.

Orang mukmin tentu berbeda dalam melihat realitas wujud yang ada. Tatapan mata dan pikirannya menembus batas-batas benda yang kasat mata. Ramadhan dilihatnya bukan sekedar bulan-bulan biasa yang datang silih berganti setiap tahun. Ramadhan dilihatnya sebagai bulan mulia, dimana pintu-pintu rahmat, ampunan, dan barokah Allah dibuka seluas-luasnya. Orang mukmin-muttaqin beriman kepada hal yang ghaib, meskipun tidak tertangkap panca indera.

Maka, memang sudah seharusnya, orang mukmin merindukan status taqwa. Sebab, status taqwa adalah posisi yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia. Allah sudah memberitahukan kepada kita semua:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang taqwa.” (QS 49:13).
Bukan presiden, bukan menteri, bukan gubernur, dan bukan anggota DPR, yang pasti mulia. Tapi,siapa pun, dan apa pun status dan profesinya, — jika dia bertaqwa – maka pastilah dia menjadi yang termulia di mata Allah SWT.

Menjadi orang yang taqwa memang luarrrr biasa tinggi derajatnya. Dan orang taqwa pastilah orang yang bahagia. Allah SWT sudah memerintahkan kita: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa.” (QS 3:102). “Maka, bertaqwalah kepada Allah semampu kamu.” (QS 64:16). “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar.” (QS 33:70). “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dan memberikan rizki dari arah yang tidak dia perhitungkan.” (QS 65:2-3).

Itulah beberapa perintah Allah agar kita semua benar-benar berusaha menjadi orang yang taqwa. Dijanjikan kepada kita dan bangsa kita, jika kita bertaqwa, maka kita akan mendapatkan berbagai kucuran barokah dari langit dan bumi. (QS 7:96). Maka, jika begitu mulia dan nikmatnya menjadi orang yang taqwa, tentu rugilah kiranya, jika puasa dan ibadah kita tidak mampu mengantarkan kita pada suatu derajat taqwa. Rasulullah saw mengajari kita untuk berdoa, agar kita menjadi orang yang taqwa: “Allahumma inni as-aluka al-huda, wat-tuqa, wal-‘afafa, wal-ghina.” (Ya, Allah aku memohon kepadamu akan petunjuk, ketaqwaan, kesucian dan kemuliaan diri, serta perasaan cukup). (HR Muslim).

Jadi, taqwa adalah suatu kondisi pikiran dan jiwa orang mukmin yang merasakan kehadiran Allah SWT di mana saja dia berada. Dia ridho dengan segala kondisi yang merupakan anugerah Allah. Dia takut untuk bermaksiat kepada Allah. Tapi sekaligus dia juga cinta dan penuh harap – tidak putus asa – dari rahmat Allah. Takwa itu indah. Taqwa itu nikmat. Dan taqwa itu suatu kebahagiaan. Karena itulah, kita diperintahkan untuk berjuang keras mencapai derajat yang mulia tersebut.

Manusia yang bertaqwa pasti manusia yang bahagia. Hidupnya jauh dari perasaan takut, resah, dan sedih. Tatkala kenikmatan dikucurkan kepadanya, dia bersyukur; dia tidak lupa diri; tidak gembira yang berlebihan. Tatkala musibah melanda, dia sabar; dia yakin, bahwa tidak ada sesuatu pun terjadi tanpa izin dan ketentuan Allah SWT. Dia tidak resah dengan nikmat yang diraih oleh saudara-saudara, tetangga, kawan kerja, atau rival politiknya.

Manusia akan sampai kepada derajat taqwa jika dirinya dipenuhi kecintaan dan keridhaan kepada Allah SWT. Imam al-Ghazali, dalam kitabnya al-Mahabbah, menulis: “Tiap-tiap yang indah itu dicinta. Tetapi yang indah mutlak hanyalah Satu. Maha Esa. Bahagialah orang yang telah sempurna mahabbahnya akan Di
a. Kesempurnaan mahabbah-nya itu adalah karena dia menginsafi tanasub (persesuaian) batin antara dirinya dan Dia.” (Dikutip oleh KH Abdullah bin Nuh dalam terjemah dan pengantarnya atas karya Imam al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, (Bogor: Yayasan Islamic Center al-Ghazaly, 2010:v).

Tetapi, Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa semua bentuk ketaqwaan dan kecintaan kepada Allah adalah buah dari ilmu. Kata al-Ghazali: “Ketahuilah saudara-saudaraku – semoga Allah membahagiakan kita semua dengan keridhaan-Nya – bahwa ibadah itu adalah buah ilmu.Faedah umur. Hasil usaha hamba-hamba Allah yang kuat-kuat. Barang berharga para aulia. Jalan yang ditempuh oleh mereka yang bertaqwa. Bagian untuk mereka yang mulia. Tujuan orang yang berhimmah. Syiar dari golongan terhormat. Pekerjaan orang-orang yang berani berkata jujur. Pilihan mereka yang waspada. Dan jalan kebahagiaan menuju sorga.” (al-Ghazali, Minhajul Abidin (Terj. KH Abdullah bin Nuh), 2010:3).

Jadi, kata al-Ghazali, keindahan cinta kepada Allah itu hanya akan dinikmati oleh orang-orang yang bertaqwa. Itulah bahagia (sa’adah). Di dunia ini pun kita sudah dapat meraih bahagia, dengan cara mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Bahagia bukan sesuatu yang sifatnya temporal, kondisional, dan tergantung pada faktor-faktor eksternal kebendaan sebagaimana dipahami oleh kaum sekular. Kamus The Oxford English Dictionary (1963) mendefinisikan bahagia (happiness) sebagai: ”Good fortune or luck in life or in particular affair; success, prosperity.”
Jadi, dalam pandangan ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka, menurut pandangan ini, tidak ada kebahagiaan yang abadi, yang tetap dalam jiwa manusia.
Prof. Naquib al-Attas menggambarkan kondisi kejiwaan masyarakat Barat-sekular sebagai berikut: “Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.”

Tokoh panutan mereka adalah Sisyphus. Seorang yang pekerjaannya setiap hari mengangkat batu ke atas bukit. Sesampai di atas, dia gelindingkan lagi batu itu ke bawah. Sesampai di bawah, dia angkat lagi ke atas bukit. Begitu seterusnya. Katanya, dia mencari dan terus mencari. Kebenaran dan kebahagiaan tidak pernah dia temukan secara permanen. Bahkan, dia sendiri tidak percaya, dirinya bisa meyakini sesuatu.

Cobalah simak fenomena Sisyphus itu di era modern saat ini. Ada cendekiawan yang bangga bahwa setelah dia belajar Islam sampai ke manca negara, akhirnya dia mengaku, bahwa dia tidak tahu kebenaran. Kata dia, hanya Tuhan yang tahu kebenaran. Dia mengajak manusia untuk meragukan kemampuan akalnya sendiri dalam memahami dan menemukan kebenaran. Kata dia lagi, semua hasil pikiran manusia itu relatif. Yang mutlak hanya Tuhan.

Anehnya, manusia seperti ini bangga dengan pendapatnya. Mengaku tidak tahu kebenaran justru bangga! Itu sangat aneh dan merugi tentunya. Betapa tidak! Dengan doktrinnya sendiri, dia sudah mengunci dirinya sendiri dari kebenaran. Bahkan, sesungguhnya, dia telah menghina Nabi Muhammad saw. Jika dia mengatakan, bahwa hanya Allah yang tahu kebenaran, sama saja dengan dia mengatakan, bahwa Nabi Muhammad saw juga tidak tahu kebenaran, sebab beliau juga manusia. Bahkan, tanpa sadar, dia pun sebenarnya telah menghina Tuhan. Sebab, itu berarti, sama saja menuduh Tuhan telah menurunkan Kitab-Nya yang tidak bisa dipahami oleh manusia.

Dalam tataran nilai-nilai moral, pengikut jalan Sisyphus ini juga tidak percaya adanya suatu nilai moral yang mutlak benar. Semua dipandang temporal dan kondisional. Yang baik di satu tempat dan waktu tertentu, belum tentu baik di tempat dan waktu yang lain. Begitu juga dalam soal “bahagia”. Golongan ini menganut asas bahagia yang kondisional dan temporal. Mereka mendefinisikan bahagia sebagai perolehan atas suatu kenikmatan. Menurut mereka, orang akan meraih bahagia jika dia bisa makan enak, mendengar suara indah, melihat pemandangan yang indah, maraih posisi jabatan yang tinggi. Jadi, bahagia, ba
gi mereka, identik dengan pemenuhan syahwat keduniaan. Kata mereka: anda bahagia jika anda berhasil melampiaskan seluruh syahwat-syahwat keduniaan!

Islam bukanlah agama yang mengharamkan pemenuhan syahwat dunia, sebagaimana diajarkan sejumlah agama. Islam bukan agama ekstrim yang melarang manusia menikmati syahwat-syahwat dunia. Tapi, Islam juga tidak memerintahkan umatnya untuk melampiaskan syahwatnya semaunya sendiri. Islam memerintahkan umatnya untuk bertindak adil, mengendalikan diri dalam pemenuhan syahwat, sesuai dengan aturan Allah SWT. Syahwat mata, telinga, perut, seksual, boleh dipenuhi dalam batas dan aturan-aturan tertentu. Rasululllah saw pernah menegur sebagian sahabatnya yang mereka hendak puasa terus-menerus atau tidak mau menikah dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Itulah hakekat pengendalian diri. Di sinilah shaum Ramadhan memiliki arti yang sangat penting, yakni sebagai upaya latihan pengendalian diri atau mengendalikan hawa nafsu. Sabda Rasululullah saw: “al-Mujaahid man jaahada nafsahu” (HR Tirmidzi, shahih menurut al-Iraqi). Jadi, menahan berbagai syahwat dunia di bulan Ramadhan adalah salah satu bentuk jihad fi-sabilillah. Dengan latihan yang serius dan terus-menerus sebulan penuh, maka diharapkan naiklah derajat ketaqwaan kita. Maka, seharusnya, buah orang yang puasa adalah taqwa, takut untuk bermaksiat kepada Allah. Pejabat yang taqwa harusnya semakin takut menzalimi rakyatnya, atau membiarkan rakyatnya sengsara, sementara dia bergelimang kekayaan dari hasil uang negara yang bukan menjadi haknya.

Para pejabat seperti ini tidak mungkin meraih maqam taqwa dan bahagia. Orang-orang yang hidupnya bergantung pada pujian orang – baik ustad, kyai, ulama atau selebritis – tentulah tidak mungkin akan meraih bahagia. Sebab, pujian itu hanya sesaat saja. Pujian itu suatu ketika akan sirna. Jika dia dipuji karena kecantikannya, maka suatu ketika akan muncul manusia lain yang lebih cantik; atau kecantikannya pun semakin memudar. Seorang pejabat tidak akan selamanya diberi hormat.

Apalagi pejabat yang berakhlak bejat. Dia dihormat karena pangkat; bukan karena harkat dan akhlak. Saat menjabat dia dihormati; dan saat kedudukannya hilang, dia bukan siapa-siapa lagi!

Itu semua adalah syahwat dunia. Sifatnya sesaat, kondisional dan temporal. Itu bukan bahagia, dalam makna yang hakiki. Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (sa’adah/happiness) sebagai berikut:

”Kesejahteraan” dan ”kebahagiaan” itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu – yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.” (SMN al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).

Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah r.a. merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Orang-orang kaya akan merasa bahagia jika kekayaannya diraih dengan halal dan hartanya diserahkan untuk perjuangan menegakkan kebenaran. Sebab, dia sangat yakin dengan kehidupan akhirat. Dia bahagia saat menjalankan ibadah. Dia tenang, karena siap bertemu dengan Allah – Sang Khaliq – dan mempertanggungjawabkan seluruh harta yang dimilikinya: dari mana dia peroleh dan untuk apa digunakan!
Seorang muslimah, dia merasa bahagia saat mentaati suaminya – selama tidak bertentangan dengan aturan Allah SWT. Dia tidak merasa tertekan atau menderita.

Beda halnya dengan aktivis kesetaraan gender yang memand
ang bentuk ketaatan pada suami sebagai suatu diskriminasi dan penindasan perempuan. Seorang suami merasa bahagia tatkala bepergian membelanjakan hartanya untuk anak dan istrinya.

Meskipun dia harus bekerja siang malam membanting tulang. Perasaan bahagia yang kekal akan terjaga selama dilandasi suatu keyakinan yang kokoh kepada Allah SWT.

Jalan terjal dan mendaki

Tentu saja, untuk meraih kebahagiaan tersebut, perlu jalan terjal dan mendaki. Imam al-Ghazali menggambarkan kesukaran jalan menuju bahagia tersebut: “Ternyata ini jalan yang amat sukar. Banyak tanjakan dan pendakiannya. Sangat payah dan jauh perjalanannya. Besar bahayanya. Tidak sedikit pula halangan dan rintangannya. Samar dimana tempat celaka dan akan binasanya. Banyak lawan dan penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.”

Memang sudah begitu adanya! Sebab, kata al-Ghazali, Rasulullah saw sudah bersabda:

“Ingatlah, sorga itu dikepung oleh segala macam kesukaran atau hal-hal yang tidak disukai (al-makaarih); dan neraka itu dikepung oleh hal-hal yang disukai manusia (al-syahawaat).” (HR Thabrani, shahih).

Jadi, memang tidak mudah untuk meraih derajat taqwa dan bahagia. Perlu perjuangan berat. Jalan menuju ke sana mendaki dan tajam. Tapi, tidak ada pilihan lain. Mau sorga atau neraka. Waktu terus bergulir. Tidak memberikan pilihan lain. Kata Imam Al-Ghazali:

“Namun waktu telah berlalu, tak dapat dipanggil kembali. Pendeknya siapa yang sigap, dialah yang beruntung. Bahagia selama-lamanya dan sekekal-kekalnya. Tetapi siapa yang terlewat, maka rugi dan celakalah dia. Kalau begitu, Demi Allah, perkara ini sulit dan bahayanya besar. Karena itu makin jarang saja yang memilih jalan ini. Di antara yang telah memilihnya pun jarang sekali yang benar-benar menempuhnya. Dan diantara yang menempuhnya juga makin jarang pula yang sampai kepada tujuannya serta berhasil mencapai apa yang dikejarnya. Mereka yang berhasil itulah yang merupakan orang-orang yang dipilih Allah ‘Azza wa Jalla untuk ma’rifat dan mahabbah kepada-Nya. Diberi-Nya taufiq dan peliharaan terhadap mereka. Dan disampaikan-Nya dengan penuh karunia kepada keridhaan dan sorga-Nya. Kita mohon semoga Allah SWT memasukkan kita ke dalam golongan yang beruntung memperoleh rahmat-Nya.” (Ibid, hal. 4-5).

Ya! Semoga kita semua termasuk orang-orang yang terus berusaha dan berusaha serta tidak berputus asa untuk menjadi orang yang taqwa, sehingga kita mampu mendaki ke puncak tangga “bahagia” – di dunia dan akhirat. Semoga Ramadhan 1432 Hijriah ini benar-benar menjadi Ramadhan terindah dalam sejarah kehidupan yang sudah kita lalui dan kita diberi kesempatan maraih berkah Ramadhan kembali di masa yang akan datang. Amin.*/Depok, 10 Ramadhan 2011/10 Agustus 2011).
SABAR MEMBEBASKAN AL-AQSA
Oleh: Adian Husaini

Saat dunia menyaksikan kejahatan dan kedegilan Israel terhadap relawan Gaza, banyak SMS yang sampai pada saya: ”Apa yang bisa kita lakukan untuk melawan Israel”. Ketika saya jawab, ”Minimal kita berdoa,” dia bertanya lagi, ”Apa hanya doa saja?” Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sering muncul dalam benak umat Islam –bahkan umat manusia di berbagai belahan dunia — saat kita menyaksikan begitu biadabnya Israel menindas bangsa Palestina.

Kita sangat bersyukur ada sebagian kaum muslim yang tergabung dalam relawan Gaza yang dengan sangat kreatif dan berani melakukan terobosan besar dalam menunjukkan kepada dunia, betapa biadabnya kaum Zionis Yahudi. Upaya-upaya seperti ini terbukti sangat efektif. Para relawan itu melakukan perjuangan dengan cerdas dan berani. Mereka juga bersedia mempertaruhkan dirinya demi sebuah cita-cita mulia, membantu perjuangan saudara-saudara kita di Palestina.

Namun, kita sadar, bahwa masalah Palestina bukan soal kecil. Ini masalah besar. Yang sedang kita hadapi adalah bangsa Yahudi, sebuah bangsa yang telah terkenal dengan kecerdikan dan kejahatannya dalam sejarah. Bangsa ini juga begitu banyak disebutkan dalam al-Quran, khususnya tentang kejahatan-kejahatan dan watak degil mereka dalam sejarah.

Perjuangan membebaskan Palestina bukanlah kali pertama dilakukan umat Islam. Sejarah menunjukkan, perjuangan membebaskan diri dari suatu penindasan seringkali membutuhkan waktu yang panjang. Kita ingat, kemerdekaan Indonesia harus dicapai setelah ratusan tahun harus berjuang melawan penjajah Belanda. Dalam kaitan inilah, kita perlu meningat, bahwa syarat penting untuk meraih kemenangan dalam perjuangan adalah sabar dalam berjuang. “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan perkuatlah kesabaranmu dan bersiap-siagalah dan bertaqwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu meraih kemenangan.” (QS Ali Imran:200).

Perjuangan mewujudkan suatu kemenangan, apalagi kemenangan perjuangan Islam terkadang memerlukan waktu yang panjang. Untuk dapat menaklukkan Konstantinopel, umat Islam membutuhkan waktu sekitar 800 tahun. Rasulullah saw wafat sekitar tahun 636 M. Semasa hidup, beliau pernah mengabarkan bahwa umat Islam suatu ketika akan menaklukkan Konstantinopel. Ternyata, penaklukan Konstantinopel baru terjadi pada tahun 1453 M. Pada tahun 1099 M, kota Jerusalem jatuh ke tangan pasukan Salib. Umat Islam merebut kembali kota Jerusalem baru pada tahun 1187 M. Itu artinya, umat Islam harus menunggu waktu selama 88 tahun untuk merebut kembali Jerusalem.

Kini, umat Islam diuji oleh Allah SWT, berupa penodaan dan penindasan kaum Yahudi di Palestina. Berulang kali kaum Yahudi merusak dan menodai kesucian Masjid al-Aqsa. Kini, mereka terus mengancam keberadaan Masjid al-Aqsa. Sejak tahun 1967, tempat suci umat Islam ini sudah direbut kaum Yahudi. Jadi, pendudukan Yahudi atas al-Aqsa kini sudah berlangsung 43 tahun. Hingga kini, belum tampak jelas, tanda-tanda untuk mengakhiri keangkuhan kaum Yahudi itu.

Tapi, kasus Jerusalem dan Masjid al-Aqsa sebenarnya merupakan cermin atas kondisi umat Islam sendiri. Umat Islam diperlakukan tidak semestinya, karena mereka lemah. Mengapa mereka lemah? Karena – seperti disebutkan Rasulullah saw – mereka terjangkit penyakit al-wahnu, yakni penyakit cinta dunia dan takut mati. Maka, jika umat Islam mau menang, penyakit itu harus dihapuskan. Tentu saja, ini bukan perkara mudah, karena menyangkut pola pikir dan budaya. Budaya hubbud-dunya telah merasuk dalam berbagai bidang kehidupan. Hubbud-dunya adalah pangkal segala kesalahan. Ketika penyakit ini merasuk, maka akan rusaklah segala tatanan kehidupan. Sebab, dunia, yang seharusnya dijadikan sebagai “ladang akhirat” telah dijadikan sebagai tujuan hidup. Jika hubbud-dunya telah merajalela, maka secara otomatis semangat untuk berjuang di jalan Allah akan memudar.

Inilah PR terbesar yang harus dikerjakan oleh umat Islam. Yakni, bagaimana menjadikan akhirat sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan dan membuang penyakit hubbud-dunya. Ini bukan pekerjaan mudah, karena menyangkut perubahan pemikiran
dan pendidikan. Dalam sejarah bisa dilihat, untuk membangkitkan satu generasi Shalahuddin, para ulama memerlukan waktu sekitar 50 tahun. Kembalinya Jerusalem ke tangan umat Islam pada 1187, didahului dengan sebuah proses perubahan sosial yang dipimpin oleh para ulama yang tinggi ilmunya dan zuhud kehidupannya.

Masalahnya, apakah umat Islam saat ini mempunyai ulama-ulama yang hebat semacam itu? Jika tidak, maka kewajiban utama umat Islam adalah mewujudkannya. Setelah itu, para ulama didukung untuk mendidik satu generasi yang tangguh, sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Maidah ayat 55. Yakni, generasi yang dicintai Allah dan mencintai Allah, berkasih sayang terjadap sesama mukmin, dan bersikap tegas terhadap kaum kafir, berjihad di jalan Allah, dan tidak takut terhadap berbagai celaan. Mereka yakin dan kokoh dengan keyakinan dan tujuan perjuangan.

Semua itu membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Perjuangan Islam membutuhkan kesabaran, kesungguhan, dan kecerdikan. Sebab, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Godaan untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan, bisa menghancurkan proses perjuangan. Godaan inilah yang menjadi penyebab hancurnya pasukan Islam, gara-gara sebagian pasukan panah tergoda oleh harta rampasan perang. Maka, keliru besar jika ada yang menyangka bahwa jika ada sebagian aktivis dakwah telah menduduki suatu jabatan tertentu di pemerintahan, dikatakan, bahwa mereka telah berhasil dalam dakwah.

Keliru juga jika menyangka bahwa pejuang dakwah yang hebat adalah yang rajin mengeluarkan pernyataan tentang perlunya berdiri sebuah negara Islam; sementara pada saat yang sama, dia tidak melakukan tindakan apa-apa untuk memajukan umat Islam dan melawan kemunkaran yang bercokol di sekitarnya.

Walhasil, perjuangan memerlukan kesabaran dan strategi yang matang. Perjuangan bisa berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nafsu untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan dapat menghancurkan tujuan perjuangan itu sendiri. Karena itulah, kita sangat berutang budi pada para ustad dan aktivis dakwah yang tidak pernah tersorot kamera TV atau liputan media massa, tetapi gigih mengajarkan aqidah Islam, baca tulis al-Quran, atau membendung gerakan-gerakan pemurtadan yang merusak umat Islam. Para pejuang Islam ini mungkin tidak menyadari, bahwa yang mereka kerjakan adalah sebuah langkah besar dalam menjaga aqidah dan eksistensi umat Islam.

Prof. Kasman Singodimedjo, seorang pejuang Islam di Indonesia, pernah menerbitkan sebuah buku menarik berjudul Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967). Buku itu ditulisnya saat mendekam dalam tahanan rezim Orde Lama. Dari ruang tahanan itulah, Kasman mengingatkan pentingnya kesabaran dan keberlanjutan dalam perjuangan. Beliau berpesan:

”Seorang muslim harus berjuang terus, betapa pun keadannya lebih sulit daripada sebelumnya. Ada pun kesulitan-kesulitan itu tidak membebaskan seorang muslim untuk berjuang terus, bahkan ia harus berjuang lebih gigih daripada waktu lampau, dengan strategi tertentu dan taktik yang lebih tepat dan sesuai. Pengalaman-pengalaman yang telah dialami hendaknya menjadi pelajaran yang akan banyak memberi hikmah dan manfaat kepadanya. Tidak usah seorang muslim berkecil hati. Tidak usah ia merasa perjuangannya yang lampau itu telah gagal, hanya memang belum sampai pada maksud dan tujuannya. Perjuangan Tengku Umar, Imam Bonjol, Diponegoro, HOS Tjokroaminoto, H.A. Salim, dan lainnya itu pun tidak gagal, hanya belum sampai pada tujuannya. Oleh sebab itu, Muslimin yang masih hidup sekarang ini harus meneruskan perjuangan Islam itu, dengan bertitik tolak kepada keadaan (situasi) dan fakta-fakta yang kini ada, dengan gaya/semangat baru, setidak-tidaknya ”to make the best of it”, menuju kepada baldatun ”tayibatun wa Rabbun gafur”, yakni suatu negara yang baik yang diampuni dan diridhai oleh Allah: adil, makmur, aman, sentausa, tertib, teratur, bahagia, damai.”

Dr. Mohammad Natsir, pada 17 Agustus 1951, juga menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir juga mengingatkan, b
ahwa perjuangan tiada mengenal kata berakhir. Ia mengingatkan munculnya gejala orang-orang yang cepat merasa puas dalam perjuangan dan suka menuntut imbalan atas jerih-payahnya. Ketika itu, hanya enam tahun setelah kemerdekaan, kondisinya sudah sangat berubah. Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan.

“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan ke muka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”

Moh. Natsir mengingatkan, jika tidak mau tenggelam dihantam gelombang tantangan zaman, maka kita tidak boleh berhenti “mendayung”:

“Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkejauh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini… Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai… Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.”

Kasus relawan Gaza yang diserbu dan dianiaya kaum Zionis telah memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Meskipun mereka gagal memasuki Gaza, tetapi mereka telah berani mempertaruhkan apa yang sangat mereka cintai, demi sebuah perjuangan membantu rakyat Palestina dan membebaskan al-Aqsa dari cengkeraman kaum Zionis. Perjuangan masih belum berhenti. Perjuangan membutuhkan kesabaran dan akan berlangsung terus, dari generasi demi generasi. Kita bisa belajar banyak pada relawan Gaza tersebut. [Depok, Juni 2010].
KECERDASAN DAN KEIMANAN
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris, Maret 2010, di Nottingham saya mendengar berita menarik. Tiga orang Professor menerbitkan hasil riset mereka. Mereka adalah Richard Lynn dari Ulster University, Irlandia Utara, Helmuth Nyborg dari Universitas Aarhus, Denmark dan John Harvey Sussex, Inggeris.
Riset itu meliputi 137 negara di dunia, termasuk Indonesia. Menarik karena risetnya mengkaji sebuah hypothesis adanya korelasi negatif antara IQ dan Iman atau antara kecerdasan dan keimanan. Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:
Semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheis.
Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religious.

Lynn dkk mengaku bukan peneliti pertama. Jauh sebelum itu Howells (1928) dan Sinclair (1928) sudah pernah menguji hypothesa yang sama untuk mahasiswa. Demikian pula Argyle tahun 50 an melakukan penelitian yang sama. Hasil yang mereka peroleh konon “mahasiswa cerdas lebih sedikit kemungkinan menerima kepercayaan ortodoks dan cenderung tidak mendukung sikap-sikap religius”.
Bukan hanya itu Verhage (1964) dan Bell (2002) di Belanda, Kanazawa (2009) di Amerika Serikat memperoleh hasil serupa. Dari mereka bertiga ini sekurangnya diperoleh empat temuan. Pertama ada hubungan korelasi negative antara kecerdasan dan keimanan. Kedua, orang elit yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum. Ketiga, dikalangan pelajar semakin berumur dan semakin berilmu semakin turun keimanan mereka. Keempat, sepanjang abad dua puluh meningkatnya masyarakat yang cerdas diikuti oleh menurunnya keimanan.
Sebagai tambahan survey Verhage terhadap 1538 sampel di Belanda (1964) menemukan bahwa agnostik dan ateis rata-rata memiliki IQ 4 point lebih tinggi dari orang beriman.

Setelah proses browsing di dunia maya, saya memperoleh beberapa data hasil penelitian tersebut. Untuk mengukur kecerdasan Lynn dkk memakai variable test IQ, sedangkan untuk keimanan atau religiusitas diukur dari prosentasi penganut ateisme.

Maka dari itu Lynn dkk membuat table yang mencantumkan tingkat IQ penduduk dari 137 negara tersebut dan prosentase penganut ateismenya. Di Jepang IQ penduduknya tinggi (102) dan penganut atheismnyua juga tinggi (65%). Demikian pula Israel (IQ 95-Atheis 15%), Hungary (IQ 98-Atheis 32%), Lithuania (IQ 91-Atheis 13%), Latvia (IQ 98-Atheis 20%); Kazkhstan (IQ 94 –Atheis 12%), Singapore (IQ 108-Atheis 13%), Vietnam (IQ 94-atheis 81%). Data-data Negara-negara itu semua mendukung hypothesis diatas. Negara yang IQ penduduknya tinggi jumlah penganut ateismenya juga tinggi.

Lynn juga mengemukakan table Negara-negara dengan IQ tinggi diatas 94 seperti Belgia (99), Ceko (98), Denmark (98), Estonia (99), Inggeris (100), Jepang (105), Jerman 99), Perancis 98), Swedia (99) dan Vietnam (94). Table itu kemudian disertai prosentase penganut atheism yang terbukti memang tinggi,yaitu diatas 40%.
Tapi masalahnya apakah korelasi itu betul-betul menunjukkan kausalitas. Apakah tingginya IQ di Ceko penyebab besarnya penganut ateisme (61%). Apakah orang menjadi komunis dan ateis karena semakin cerdas? Apakah ateisme disana bukan karena tersebarnya faham komunisme? Inilah poin yang tidak bisa dijelaskan oleh penelitian tersebut.
Demikian pula korelasi negatif itu tidak bisa menjelaskan kondisi negara Vietnam yang IQ nya lebih rendah dari Singapore tapi penganut atheismenya lebih tinggi (81%). Lebih-lebih untuk kasus Negara-negara lain. Di Irlandia misalnya IQ pendudukanya 92 tapi prosentasi penganut atheisnya hanya 5% saja.

Malaysia yang tercatat IQ penduduknya sama dengan Irlandia (92) tapi prosentase penganut atheisnya lebih kecil yaitu hanya 0.5%. Demikian pula Brueni (IQ 91-Atheis 0.5%), Thailand (IQ 91-Atheis 0.5%), dan Indonesia (IQ 87-Atheis 1.5%). Di negeri ASEAN kita justru bisa melihat fenomena orang-orang terpelajar yang cerdas-cerdas dan sukes dalam berkarir bukanlah orang-orang yang ateis atau rendah iman mereka.
Jadi penelitian ini mengandung dua masalah penting yaitu konsep dan metodologi. Secara konseptual orang tahu, kes
impulan sebuah penelitian kuantitatif berasal dari sebuah hypothesa. Hypothesa berasal dari cara pandang yang dipengaruhi worldview penelitinya. Latar belakang agama, budaya, ras dan kepercayaan termasuk disitu. Orang yang membuat penelitian tentang “Kepuasan Palanggan Komplek Prostitusi”, misalnya beda worldview nya dari orang yang meneliti tentang “Perbandingan Efektifitas Pendidikan Agama di Sekolah dan di Rumah”.

Worldview apapun sebenarnya berperan dalam cara berfikir seseorang, termasuk dalam kegiatan keilmuan atau menyusun desain penelitian (lihat Alparslan Ackgence, Islamic Science Towards Definition). Worldview peneliti di Barat pada umumnya adalah saintifik sekularistik atau setidaknya melihat segala sesuatu secara dichotomik. Artinya agama tidak lagi ada kaitannya dengan kegiatan kehidupan sehari-hari.
Situasi sosialnya memang demikian. Seiring dengan kemajuan sains dan teknologi di Barat agama menjadi tidak “laku” di masyarakat. Yang fenomenal banyak gereja yang kosong. Para pengurus gerejanya, mungkin, sudah putus asa, karena sepi jemaat. Jumlah jemaat gereja kalah banyak dibanding “jama’at” yang antri masuk bar. Gereja sebagai symbol keberagamaan dan keimanan sudah tidak banyak ditinggalkan.

Di Manchester terdapat nama gereja yang aneh, yaitu “A Church for those who don’t like to go to church” (Gereja untuk yang tidak suka pergi ke gereja). Di sana sinagog telah menjadi Jewish Museum. Bahkan Masjid Besar di Manchester masih mempertahankan tanda salib dan altar gereja. Gereja di daerah Aston dan City Center Bullring Birmingham sudah menjadi sarang burung dara. Gereja di Stratford Road Camp Hill Birmingham telah berubah menjadi Masjid Muath.

Itulah arti keluh kesah orang Barat yang masih obyektif “spirituality has gone to the east”. Persis seperti kata Prof.David Thomas, dosen teologi di universitas Birmingham, “West developed without Christianity”. Itulah setting sosial yang melahirkan hypothesis dan juga variable penelitian ini. Kalau kita boleh menyimpulkan semakin sekuler orang Barat itu maka semakin rendah kecerdasan spiritualitasnya.

Jika para peneliti berangkat dari situasi seperti diatas maka konsep religiusitas atau keimanan dalam penelitian ini bermasalah. Istilah religion, seperti kesimpulan W.Cantwell Smith tidak pernah definitif. Maka istilah religiusitas yang diambil dari konsep religion pun pasti kabur.

Jika makna religiusitas dan keimanan kabur maka variable pengukur keimanannya bermasalah. Keimanan atau religiusitas di Barat umumnya diukur dari frekuensi pergi ke gereja. Emanuel Kant mengaku tidak religious karena seumur hidupnya hanya sekali pergi ke gereja.

Tapi Kanazawa (2009) tidak mengukur dari situ. Ia mengukur keimanan atau religiusitas 14.277 remaja di Amerika Serikat hanya dengan pertanyaan: Apakah anda orang yang beriman? Jawabannya disusun menjadi 1) sangat beriman, 2) beriman, 3) tidak beriman dan 4) sangat tidak beriman. Apa yang diperoleh itu memang remaja yang menjawab sangat tidak beriman memiliki IQ tertinggi yaitu 103,09. Sementara yang mengatakan tidak beriman 99,34; yang mengatakan beriman 98,28 dan yang mengatakan sangat beriman 97,14.
Jadi kekaburan makna religion, dan juga keimanan menjadikan variable-nya bermasalah. Maka wajar jika metodologi untuk mengorek keimanan sungguh sangat superfisial. Bisa dibayangkan remaja yang tidak pernah tersentuh oleh masalah agama tiba-tiba ditanya keimanan. Tentu ia akan menjawab sekenanya. Akan tetapi apakah terdapat korelasi negatif bahwa semakin cerdas seseorang itu semakin tidak religius, tidak bisa dibuktikan.

Selain religiositas, makna IQ dan kecerdasan dapat pula dipertanyakan. Test IQ bisa saja mejadi ukuran. Tapi dalam kehidupan ini IQ saja tidak menentukan banyak hal. Faktor lain yang disebut kecerdasan spiritual (Spiritual Quotion) juga bisa jadi faktor penting. Meskipun demikian kecerdasan spiritual satu agama bisa beda variable-nya dari agama dan kepercayaan lain.

Pertanyaan mengapa orang Barat umumnya cerdas? Jawabnya karena banyak kemudahan, kemakmuran dan kualitas pendidikan yang tinggi. Tapi men
gapa orang Barat banyak yang ateis? Jawabnya bukan karena mereka itu cerdas, tapi lebih karena agama disana sengaja di marginalkan dan disingkirkan dari ruang publik bahkan dari sains.
Mungkin juga jawabannya karena agama (terutama agama Kristen & Yahudi) di Barat tidak mampu menjelaskan hal-hal yang saintifik tentang alam, manusia dan Tuhan. Worldview yang empirisistik dan rasionalistis tidak bisa menjelaskan agama yang metafisis dan agama yang metafisis tidak mampu menjelaskan itu semua secara saintifik. Wajar jika kemudian para saintis meninggalkan penjelasan teologi dan hanya bersandar pada akal.

Pertanyaan serupa dapat diajukan kepada penduduk Negara yang IQ nya rendah. Mereka tidak cerdas karena banyak hal. Lynn dkk, menemukan sebabnya karena kemiskinan, sedikitnya kota besar, pendidikan bermutu rendah, kurang media elektronik, banyak wabah penyakit, kesehatan bayi yang rendah, gizi yang buruk, tidak mampu mengatasi polusi dsb. Tapi apakah kurang cerdas itu menjadikan mereka religius atau sebaliknya karena mereka religius maka mereka menjadi tidak cerdas? Barber, peneliti lain meragukan adanya korelasi ini.

Jadi apa yang dianggap korelasi disini bisa jadi sekedar sesuatu yang terjadi secara simultan. Dalam bahasa awam terjadi secara kebetulan. Jika demikian maka kita juga bisa membuat hypothesa korelasi positif. Hypthesisnya misalnya begini: semakin banyak penduduk yang beriman dan berislam, semakin besar sumber minyak atau sumber alamnya di negeri itu.

Faktanya memang 63% cadangan minyak dan gas dunia, 70% hasil karet dunia, 65% cadangan timah dunia, 70% cadangan posfat dunia, 65% cadangan timah dunia, dan lain sebagainya ada dinegeri-negeri Islam.

Jika di Barat IQ tinggi cenderung ateis, bagaimana Lynn membaca fenomena di dunia Islam saat ini bahwa semakin cerdas dan semakin kaya seorang Muslim semakin dekat dengan Tuhannya alias semakin tinggi keimanannya.
Dalam Islam variable keimanan bukan sebatas pernyataan, tapi juga realisasinya dalam bentuk aksi atau amal. Amal menyangkut perilaku baik buruk alias akhlaq. Jika dijabarkan maknanya masing-masing akan sangat luas dan kompleks. Maka jika harus diteliti variable keimanan dalam Islam akan sangat kompleks. Itupun baru dapat diungkap sebagiannya.

Rasanya bukan utopia jika kita dapati di negeri-negeri Muslim sosok seperti ini. Seorang Muslim yang cerdas dengan IQ tinggi. Ia sukses menjadi pengusaha yang kaya. Pakaiannya berjas berdasi tidak seperti layaknya ulama, tapi tetap menjaga kesuciannya. Fikirannya terfokus pada bidang-bidang usaha, tapi hatinya selalu ingat kepadaNya. Waktunya khusus untuk berdagang, tapi shalat 5 waktunya tertib ditambah rawatib tanpa berselang.

Kekayaan perusahaannya sudah tak terhingga, ia tidak lupa berderma dan hukum halal-haram tetap ditaatitnya. Meski dunia bisnis adalah dunia yang yang penuh tipu daya, ia tetap berkata apa adanya. Meski dikiri kanannya penuh godaan maksiat, ia tetap selamat. Bukankah ini yang oleh Rasulullah dinamakan al-Kaisu, yaitu orang cerdas yang beramal di dunia tapi sekaligus untuk akheratnya.
Makna Akhlaq
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

“It’s better to be moralist rather than religious”. Lebih baik moralis daripada religious. Itulah salah satu cara orang liberal-sekuler-humanis membunuh agama. Di Barat sana agama memang pernah menjadi sumber fundamentalisme dan kekerasan. Disini, di negeri-negeri Islam tidak. Tapi untuk bisa diberi cap yang sama, agama direkayasa agar melakukan kekerasan. Ini misinya.

Caranya agama dihancurkan dari konsep dasarnya. Salah satunya adalah makna akhlaq. Yang sekuler berupaya mensekulerkan maknanya. Maka ber-akhlaq itu sama dengan bermoral. Yang liberal dan humanis berusaha menghapus konsepnya. Bagi mereka “Muslim tidak perlu ber-akhlaq, berbuat baik pada sesama itu lebih mulia”. Masalahnya apa bedanya moral dan akhlaq serta apa pula makna karakter dan etika itu.

Akhlaq adalah kata jama’ dari kata khulq. Akar katanya serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim).

Alasannya jelas, jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berpikir, berkehendak dan berperilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya.

Lalu mengapa manusia melawan fitrahnya? Karena kerja orang tua. Orang tua menanam benih kejahatan pada anaknya. Jika ia tanam benih kebaikan, maka sempurnakan fitrah anaknya.

Hadis Nabi jelas, orang tua berkuasa membuat anaknya Muslim atau kafir. Agar fitrah manusia itu sempurna Allah menurunkan fitrah yang lain yaitu al-Qur’an. Ibn Taymiyyah menyebutnya fitrah munazzalah. Dengan al-Qur’an fitrah manusia akan berkembang sempurna.

Fitrah manusia yang berkembang mengikuti al-Qur’an adalah Nabi Muhammad. Karena itulah maka pribadinya menjadi teladan umatnya. Jiwanya memancarkan cahaya. Perilakunya menjadi hukum dan tata etika. Nafasnya adalah dzikir yang berirama. Kalamnya meluncur penuh hikmah bijaksana.

Itulah makna kesimpulan Aisyah bahwa akhlaq Nabi adalah al-Qur’an (Khuluquhu al-Qur’an). Sebab jiwa Nabi tidak saja sesuai tapi tenggelam dalam samudera kebaikan dan kesempurnaan al-Qur’an.

Bagaimana al-Qur’an bisa menjadi akhlaq, bisa dijelaskan. Fakhruddin al-Razi. Misalnya, menulis buku Kitab al-Nafs wa al-Ruh, Fi ‘ilm al-Akhlaq. Didalamnya terdapat 32 pasal tentang akhlaq dan penyembuhan penyakitnya.
Jiwa manusia (nafs), misalnya, terbagi menjadi tiga tingkatan. Yang pertama adalah mereka yang tenggelam dengan Nur Ilahi disebut al-Muqarrabun. Kedua adalah mereka yang berorientasi ke langit dan terkadang ke bumi untuk urusan dunianya yang dinamakan al-Muqtasidun atau golongan kanan (ashab al-yamin).

Terakhir, dan terendah adalah yang tenggelam dalam cengkeraman hawa nafsu dan kenikmatan jasmani, disebut al-Zalimun atau golongan kiri (ashab al-syimal). Ilmu untuk mencapai yang pertama adalah olah batin (riyadah ruhaniyah). Ilmu untuk mencapai yang kedua adalah ilmu akhlaq. Makna akhlaq dilacak dari sumber perilaku manusia yang berupa aql, ruh, nafs, qalb dan cara kerjanya.

Berbeda dari akhlaq, istilah “moral” dalam Oxford English Dictionary dan kamus-kamus lain diartikan sebagai perilaku baik-buruk manusia. Prinsip-prinsipnya disebut etika atau filsafat moral. Ketika moral menjadi semangat atau sikap masyarakat ia disebut “etos”. Itu semua, termasuk baik buruk yang pastinya bersumber dari kesepakatan manusia (human convention).

Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi bermoral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, yang tidak selalu bersifat ilahi dan religious.

Orang ber-akhlaq dalam arti yang benar pasti bermoral, tapi tidak semua yang bermoral itu ber-akhlaq. Pemimpin yang tidak zalim, pembela kaum lemah, tidak korup dan sebagainya. bisa dianggap bermoral. Tapi ia tidak berakhlaq jika ia seorang lesbi/homo, pezina, korup, “peminum”, penjudi dan sebagainya. Saudagar kaya raya yang dermawan, zakatnya milyaran, pekerjanya ribuan, peran sosialnya lumayan, bisa
dianggap bermoral tinggi. Tapi jika ia adalah pengusaha narkoba atau prostitusi, atau rentenir ia tidak ber-akhlaq.

Kini akhlaq juga diganti dengan istilah “karakter” (Yunani: kharakter). Character diartikan sebagai ciri yang membedakan seseorang karena kekuatan moral atau reputasi. Tapi character juga dimaknai sebagai sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan.

Berkarakter baik bisa diartikan sebagai ber”peran” baik. Ia bukan sifat yang melekat erat dalam identitas diri. Bukan dorongan jiwa tapi dorongan masyarakat. Mungkin nampak sangat manusiawi, tapi tidak yang mesti berdimensi ilahi.

Maka berkarakter juga tidak mesti berakhlaq. Di masa lalu, misalnya, terdapat seorang gubernur yang dianggap berkarakter tinggi. Ia tegas, berdisiplin tinggi, konsisten, berwibawa dan berwawasan luas. Tapi ia membolehkan perjudian dan pelacuran menjadi sumber APBD. Siapapun menentangnya akan dicemooh. Ia berkarakter tapi tidak ber-akhlaq. Begitulah Muslim bisa bermoral dan berkarakter, tapi tidak mesti ber-akhlaq.

Tapi jika makna ber-akhlaq hanya dibatasi secara sempit maka ia akan sesempit makna moral. Ber-akhlaq yang sempit hanya berpedoman halal-haram atau wajib-sunnah. Hubungannya dengan Tuhan tidak disempurnakan dengan hubungan antar manusia (mu’amalah ma’annas).

Ibadahnya sempurna, pakaiannya sederhana, lidahnya fasih melantunkan ayat-ayatNya. Tapi, tindakan dan ucapannya menyakiti sesamanya atau orang-orang dibawahnya. Inilah makna ber-akhlaq yang salah. Maka jangan heran jika ada tokoh agama terjerumus skandal tahta, harta dan wanita.

Sebaliknya, bagi Muslim sekuler-liberal-humanis, standar halal-haram, wajib-sunnah ditinggalkan. Standar baik-buruk hanya dari kesepakatan manusia.

Akibatnya, meniru akhlaq Nabi pun menjadi aneh kalau tidak utopis. Berjanggut seperti Nabi kini dianggap seperti berpedang atau bersenjata. Menolak ajakan korupsi dianggap “sok suci”. Berdemo sambil bertakbir sama dengan “ngajak” perang. Menghukumi kesesatan dan kemaksiatan dianggap fundamentalis, teroris dan anti HAM. Berdakwah tidak boleh menggurui dan sebagainya.

Begitulah, karena sekularisme, liberalisme dan humanisme maka beragama menjadi tidak mudah, apalagi ber-akhlaq. Padahal Francis Fukyama mengingatkan bahwa ketahanan suatu bangsa tergantung pada keberagamaan masyarakat dan etikanya.

Dengan etika, katanya, ekonomi dan politik akan berfungsi dengan baik. Mungkin maksudnya akhlaq. Jauh sebelum itu ulama arif bijaksana juga telah mengingatkan “Bangsa-bangsa akan kekal jika masih ber-akhlaq. Jika hilang akhlaq-nya maka hilang pula bangsa itu.

al-Qur’an lebih tegas lagi jika suatu bangsa itu bertaqwa maka akan diturunkan berkah dari langit, dan jika tidak lagi ber-akhlaq maka pasti dihancurkan oleh Allah.

Jadi sesungguhnya bangsa ini sedang dihancurkan. Bukan oleh kekuatan militer. Tapi oleh upaya penghancuran moral dan bahkan akhlaq pemimpinnya, anak mudanya, anggota DPR-nya, hakim-hakimnya dan cendekiawan Muslimnya dan sebagainya.