Worldview Pancasila
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pancasila sebenarnya bukan hanya sekedar dasar Negara atau bernegara, tapi filosofi dasar dari Negara dan bernegara. Soekarno menyebut Pancasila sebagai philosophische grondslag” (filosofi dasar). Filosofi dasar sebenarnya tidak lain dari “Weltanschauung” (pandangan hidup) atau bahasa Inggeris-nya Worldview.
Worldview atau Weltanschauung adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral (Ninian Smart). Secara praktis worldview berarti asas setiap perilaku manusia, sebab setiap aktifitas manusia mencerminkan pandangan hidupnya. (Alparslan Acikgence). Worldview dapat pula disejajarkan dengan paradigm yaitu seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan Ilmiyah (Thomas Kuhn).
Jika Pancasila adalah sebuah worldview bangsa Indonesia, maka ia harus berfungsi menjadi motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Pancasila harus menjadi asas setiap perilaku bangsa Indonesia. Jika menjadi paradigma maka Pancasila harus memandu tindakan keseharian bangsa Indonesia.
Namun perlu diingat bahwa sebagai worldview Pancasila perlu meminjam penjelasan kepada agama-agama. Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, maksudnya adalah Tuhan dalam konsepsi agama-agama. Bukan sembarang Tuhan, bukan tuhan para penganut diest, atau theist, Tuhan orang-orang komunis atau tuhan aliran-aliran spiritual apapun. Jika tidak meminjam kepada agama-agama, Pancasila sendiri akan menjadi agama. Ini bertentangan dengan konsep awalnya.
Bagi Muslim sila kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa berarti tauhid. Seorang Muslim yang beriman kepada Tuhan Allah adalah seorang mukmin. Dalam teori worldview, keimanan kepada Tuhan berimplikasi kepada seluruh kehidupan seseorang. Maka dari itu, menjadi Mukmin dapat menjamin seseorang menjadi seorang Pancasilais sejati. Sebab iman dalam Islam adalah induk kebaikan. Implikasi dan implementasi serta bukti dari keimanan dalam Islam adalah berbuat baik kepada sesama manusia.
Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa keimanan dibuktikan dengan 77 cabang jenis amal-amal ritual dan sosial. Seorang mukmin, misalnya, harus menghormati tetangga dan tamunya, berbuat baik pada siapapun, menyantuni fakir miskin, menghindarkan mara bahaya bagi orang lain, menyambung hubungan persaudaraan dan persahabatan; berkata yang baik-baik pada orang lain atau diam dan masih banyak lagi yang lainnya.
Jika semua cabang iman yang berjumlah 77 itu diperinci, maka keempat sila, selain yang pertama, hanyalah cabang-cabang dari keimanan seorang Muslim. Seorang yang telah mencapai tingkat mukmin pasti tidak akan melakukan tindak kekerasan, penganiayaan apalagi pembunuhan yang tanpa sebab. Al-Qur’an mengajarkan bahwa membunuh seorang manusia tanpa sebab maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya memelihara seorang manusia sama darajatnya dengan memelihara kehidupan manusia semuanya (al-Maidah 32). Maka tidak sejalan dengan teori worldview jika seorang Mukmin dituduh teroris, dan orang-orang atheis mengklaim Pancasilais.
Seorang Mukmin itu pasti berilmu dan berakhlaq. Ia mempunyai ilmu tentang mana yang benar (haqq) dan mana yang salah (batil). Ilmu seorang mukmin selalu disertai amal baik yang berbasis akhlaq. Maka dengan ilmunya itu seorang mukmin akan bersikap adil dan beradab dalam segala tindakannya menghadapi masalah politik, ekonomi social dan budaya. Disini sila kemanusiaan yang adil dan beradab sudah pasti menjadi amalan seorang mukmin.
Seorang mukmin adalah orang yang menghargai orang lain, menyambung hubungan silaturrahmi dengan sesama, menolong orang yang dalam kesusahan dan sebagainya. Oleh karena itu seorang mukmin tidak perlu diragukan lagi rasa persatuan, kesatuan dan persaudaraannya. Sejarah telah membuktikan bahwa persatuan nusantara tidak lepas dari peran para ulama.
Untuk sila keempat yang sangat tipikal mendasari sistim kenegaraan Indonesia adalah asas kerakyatan dan per
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pancasila sebenarnya bukan hanya sekedar dasar Negara atau bernegara, tapi filosofi dasar dari Negara dan bernegara. Soekarno menyebut Pancasila sebagai philosophische grondslag” (filosofi dasar). Filosofi dasar sebenarnya tidak lain dari “Weltanschauung” (pandangan hidup) atau bahasa Inggeris-nya Worldview.
Worldview atau Weltanschauung adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral (Ninian Smart). Secara praktis worldview berarti asas setiap perilaku manusia, sebab setiap aktifitas manusia mencerminkan pandangan hidupnya. (Alparslan Acikgence). Worldview dapat pula disejajarkan dengan paradigm yaitu seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan Ilmiyah (Thomas Kuhn).
Jika Pancasila adalah sebuah worldview bangsa Indonesia, maka ia harus berfungsi menjadi motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Pancasila harus menjadi asas setiap perilaku bangsa Indonesia. Jika menjadi paradigma maka Pancasila harus memandu tindakan keseharian bangsa Indonesia.
Namun perlu diingat bahwa sebagai worldview Pancasila perlu meminjam penjelasan kepada agama-agama. Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, maksudnya adalah Tuhan dalam konsepsi agama-agama. Bukan sembarang Tuhan, bukan tuhan para penganut diest, atau theist, Tuhan orang-orang komunis atau tuhan aliran-aliran spiritual apapun. Jika tidak meminjam kepada agama-agama, Pancasila sendiri akan menjadi agama. Ini bertentangan dengan konsep awalnya.
Bagi Muslim sila kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa berarti tauhid. Seorang Muslim yang beriman kepada Tuhan Allah adalah seorang mukmin. Dalam teori worldview, keimanan kepada Tuhan berimplikasi kepada seluruh kehidupan seseorang. Maka dari itu, menjadi Mukmin dapat menjamin seseorang menjadi seorang Pancasilais sejati. Sebab iman dalam Islam adalah induk kebaikan. Implikasi dan implementasi serta bukti dari keimanan dalam Islam adalah berbuat baik kepada sesama manusia.
Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa keimanan dibuktikan dengan 77 cabang jenis amal-amal ritual dan sosial. Seorang mukmin, misalnya, harus menghormati tetangga dan tamunya, berbuat baik pada siapapun, menyantuni fakir miskin, menghindarkan mara bahaya bagi orang lain, menyambung hubungan persaudaraan dan persahabatan; berkata yang baik-baik pada orang lain atau diam dan masih banyak lagi yang lainnya.
Jika semua cabang iman yang berjumlah 77 itu diperinci, maka keempat sila, selain yang pertama, hanyalah cabang-cabang dari keimanan seorang Muslim. Seorang yang telah mencapai tingkat mukmin pasti tidak akan melakukan tindak kekerasan, penganiayaan apalagi pembunuhan yang tanpa sebab. Al-Qur’an mengajarkan bahwa membunuh seorang manusia tanpa sebab maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh umat manusia. Sebaliknya memelihara seorang manusia sama darajatnya dengan memelihara kehidupan manusia semuanya (al-Maidah 32). Maka tidak sejalan dengan teori worldview jika seorang Mukmin dituduh teroris, dan orang-orang atheis mengklaim Pancasilais.
Seorang Mukmin itu pasti berilmu dan berakhlaq. Ia mempunyai ilmu tentang mana yang benar (haqq) dan mana yang salah (batil). Ilmu seorang mukmin selalu disertai amal baik yang berbasis akhlaq. Maka dengan ilmunya itu seorang mukmin akan bersikap adil dan beradab dalam segala tindakannya menghadapi masalah politik, ekonomi social dan budaya. Disini sila kemanusiaan yang adil dan beradab sudah pasti menjadi amalan seorang mukmin.
Seorang mukmin adalah orang yang menghargai orang lain, menyambung hubungan silaturrahmi dengan sesama, menolong orang yang dalam kesusahan dan sebagainya. Oleh karena itu seorang mukmin tidak perlu diragukan lagi rasa persatuan, kesatuan dan persaudaraannya. Sejarah telah membuktikan bahwa persatuan nusantara tidak lepas dari peran para ulama.
Untuk sila keempat yang sangat tipikal mendasari sistim kenegaraan Indonesia adalah asas kerakyatan dan per
musyawaratan serta perwakilan. Musyawarah adalah ajaran Islam untuk menyelesaikan masalah. (QS Ali Imran 159; al-Syura 38). Tafsir dari ajaran ini meliputi sikap-sikap menghargai pendapat lain, komitmen melaksanakan hasil musyawarah, bersikap lembah lembut dalam bermusyawarah dan lain sebagainya.
Para founding father negeri ini dikenal dengan tradisi bermusyawarah untuk mencapai kompromi. Susunan sila-sila Pancasila sekalipun merupakan hasil musyawarah mereka. Bahkan negeri ini berdiri tegak merdeka hasil dari musyawarah.
Sila terakhir, keadilan social pun telah tercakup dalam rukun Islam. Rukun Islam yang ritualistik itu sebenarnya berdimensi sosial yang tinggi. Shalat bertujuan untuk mengelakkan perbuatan munkar; puasa untuk menekan nafsu syahwat hewani, zakat untuk memberi solusi problem sosial dari 8 jenis masyarakat. Ritual haji yang mabrur menghasilkan manusia tanpa cacat dosa pada Tuhan maupun dosa pada manusia.
Disini dapat dikatakan bahwa di dalam Pancasila terkandung worldview Islam. Bahkan tidak tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bahasa kehidupan bangsa Indonesia adalah bahasa Islam atau bahasa Arab. Istilah kunci (technical term) di dalam Pancasila seperti “adil”, “adab”, “rakyat”, “musyawarah” dan “wakil” adalah bahasa Islam dan secara konseptual harus dilacak dari bahasa Islam.
Maka bukti apakah seseorang itu Pancasilais atau tidak, dapat dilacak terutamanya dari sila pertama. Seorang yang melakukan kejahatan seperti korupsi, membunuh, berzina, menipu dan lain-lain adalah orang yang melecehkan sila pertama Pancasila. Jadi orang yang tidak mengamalkan sila pertama itu tidak religius sekaligus tidak Pancasilais. Sebab orang yang sanggup meninggalkan sila pertama akan dengan mudah meninggalkan sila-sila yang lain.
Sebaliknya barangsiapa yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, pasti akan menjalankan kepercayaannya itu dengan konsekuen. Orang yang mengaku dirinya Pancasilais mestinya religius. Dalam Islam orang yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa disebut orang yang beriman (Mukmin). Seorang yang telah mencapai derajat Mukmin ia pasti mengamalkan sila-sila kehidupan ini dengan sangat baik, apalagi sila-sila dalam Pancasila. Maka seorang Mukmin adalah seorang Pancasilais sejati. Wallahu a’lam.
Para founding father negeri ini dikenal dengan tradisi bermusyawarah untuk mencapai kompromi. Susunan sila-sila Pancasila sekalipun merupakan hasil musyawarah mereka. Bahkan negeri ini berdiri tegak merdeka hasil dari musyawarah.
Sila terakhir, keadilan social pun telah tercakup dalam rukun Islam. Rukun Islam yang ritualistik itu sebenarnya berdimensi sosial yang tinggi. Shalat bertujuan untuk mengelakkan perbuatan munkar; puasa untuk menekan nafsu syahwat hewani, zakat untuk memberi solusi problem sosial dari 8 jenis masyarakat. Ritual haji yang mabrur menghasilkan manusia tanpa cacat dosa pada Tuhan maupun dosa pada manusia.
Disini dapat dikatakan bahwa di dalam Pancasila terkandung worldview Islam. Bahkan tidak tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bahasa kehidupan bangsa Indonesia adalah bahasa Islam atau bahasa Arab. Istilah kunci (technical term) di dalam Pancasila seperti “adil”, “adab”, “rakyat”, “musyawarah” dan “wakil” adalah bahasa Islam dan secara konseptual harus dilacak dari bahasa Islam.
Maka bukti apakah seseorang itu Pancasilais atau tidak, dapat dilacak terutamanya dari sila pertama. Seorang yang melakukan kejahatan seperti korupsi, membunuh, berzina, menipu dan lain-lain adalah orang yang melecehkan sila pertama Pancasila. Jadi orang yang tidak mengamalkan sila pertama itu tidak religius sekaligus tidak Pancasilais. Sebab orang yang sanggup meninggalkan sila pertama akan dengan mudah meninggalkan sila-sila yang lain.
Sebaliknya barangsiapa yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, pasti akan menjalankan kepercayaannya itu dengan konsekuen. Orang yang mengaku dirinya Pancasilais mestinya religius. Dalam Islam orang yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa disebut orang yang beriman (Mukmin). Seorang yang telah mencapai derajat Mukmin ia pasti mengamalkan sila-sila kehidupan ini dengan sangat baik, apalagi sila-sila dalam Pancasila. Maka seorang Mukmin adalah seorang Pancasilais sejati. Wallahu a’lam.
PEMIMPIN AMANAH
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Phil
Pendiri dan Pembina INSISTS
Konon dulu pemimpin atau raja-raja pada abad Pertengahan di Barat adalah seorang bishop. Pemimpin politik adalah agamawan. Mereka dipilih setelah diketahui umum bahwa mereka berasal dari tujuh turunan keluarga yang tidak cacat moral. Namun, hingga abad 19 kreteria pemimpin seperti itu mulai pudar sehingga sulit diperoleh. Tidak ada lagi pemimpin bermoral bishop dan tidak ada bishop berkualitas politisi. Agama dan politik pun bercerai.
Sejalan dengan denigrasi agama di abad sekuler dan boleh jadi dipicu oleh pikiran Niccolò Machiavelli (1469–1527) abad 19 dianggap awal pencarian kriteria pemimpin ideal tanpa faktor agama. Thomas Carlyle, misalnya, menulis buku Heroes and Hero Worship (1841) untuk mengidentifikas bakat, skill dan ciri-ciri fisik orang yang menjadi penguasa. Francis Galton dalam bukunya Hereditary Genius (1869) menguji kualitas pemimpin pada keluarga-keluarga orang berpengaruh. Ia menemukan bahwa keluarga pemimpin berbakat pemimpin. Artinya pemimpin itu dilahirkan. Namun, ini dibantah oleh teori Cecil Rhodes (1853-1902) yang masih percaya bahwa karakter dan instink peimimpin itu bisa dididik.
Tapi sekalipun karakteristik pemimpin ditemukan (tahun 1940-an) namun suatu kriteria tidak bisa berlaku untuk semua jenis masyarakat. Untuk itu para pakar menggunakan teori yang telah dirintis oleh McGrath (1962) teori Functional Leadership Model. Pemimpin ini dipilih sesuai dengan yang dikehendaki rakyat atau organisasi yaitu untuk melayani.
Pada abad yang sama Bernard Bass (1978) mengembangkan teori yang disebut Transactional dan transformational leadership. Yang pertama adalah pemimpin yang diberi kekuasaan oleh kelompok atau rakyat untuk mengerjakan suatu tugas tertentu. kedua adalah pemimpin yang visioner yang bertugas menstimulasi dan menanamkan visi kepada rakyat. Bagaimanapun teori tentang kepemiminan hingga abad 21 ini masih gagal menemukan rumusan sifat-sifat ideal seorang pemimpin.
Kini sering terjadi tiba-tiba seorang pemimpin muncul atau terpilih diluar kriteria pemimpin. Politik dan politisi kini menjadi pemilik criteria, bukan pakar. Intelektualitas, nilai-nilai, kecakapan sosial, kepakaran dan kecakapan dalam problem solving dan mungkin juga kenegarawanan seiringkali absen dari diri pemimpin terpilih. Kepentingan politik pun berada didepan sebagai penentu.
Maka mungkin putus asa dengan criteria ideal pemimpin, Oxford School Leadership menemukan teori baru kepemimpinan yang disebut Neo-emergent theory. Dalam teori dianggap paling mutakhir ini pemimpin itu dipromosikan oleh informasi yang diciptakan oleh stakeholdernya melalui media masa atau media social. Namun yang dipromosikan bukan karakter sesungguhnya dari pemimpin yang diinginkan, tapi untuk mengangkat popularitas dan elektabilitas. Teori ini digambarkan sebagai berikut:
“the press, blogs and other sources report their own views of leaders, which may be based on reality, but may also be based on a political command, a payment, or an inherent interest of the author, media, or leader. Therefore, one can argue that the perception of all leaders is created and in fact does not reflect their true leadership qualities at all.”
Teori Neo-emergent itu mungkin bisa disebut teori pencitraan atau pemimpin ala media masa atau social (sosmed). Demokrasi bisa berubah menjadi mediakrasi (kuasa media). Media pun sudah dibawah petunjuk kekuatan politik, pemodal, konglomerat dan sebangsanya.
Logika postmodern memang tidak lagi memakai sillogisme, tapi bahasa dan makna penentu segalanya. Maka tidak heran Akbar S Ahmed menyimpulkan bahwa ide-ide postmodernisme dipicu oleh media. Media bisa bermain-main dengan makna. Koruptor bisa tiba-tiba menjadi pelopor. Culas bisa menjadi lugas dan tegas. Tukang maki menjadi pemimpin bernyali. Pakar barter menjadi berkarakter dan sebagainya.
Logika bahasa Postmodern dalam media diracik dengan faham humanisme menghasilkan pemimpin yang unik. Pemimpin yang keras meledak-ledak, aneh-aneh dan dianggap gila itu pemimpin berkarakter. Berkarakte
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Phil
Pendiri dan Pembina INSISTS
Konon dulu pemimpin atau raja-raja pada abad Pertengahan di Barat adalah seorang bishop. Pemimpin politik adalah agamawan. Mereka dipilih setelah diketahui umum bahwa mereka berasal dari tujuh turunan keluarga yang tidak cacat moral. Namun, hingga abad 19 kreteria pemimpin seperti itu mulai pudar sehingga sulit diperoleh. Tidak ada lagi pemimpin bermoral bishop dan tidak ada bishop berkualitas politisi. Agama dan politik pun bercerai.
Sejalan dengan denigrasi agama di abad sekuler dan boleh jadi dipicu oleh pikiran Niccolò Machiavelli (1469–1527) abad 19 dianggap awal pencarian kriteria pemimpin ideal tanpa faktor agama. Thomas Carlyle, misalnya, menulis buku Heroes and Hero Worship (1841) untuk mengidentifikas bakat, skill dan ciri-ciri fisik orang yang menjadi penguasa. Francis Galton dalam bukunya Hereditary Genius (1869) menguji kualitas pemimpin pada keluarga-keluarga orang berpengaruh. Ia menemukan bahwa keluarga pemimpin berbakat pemimpin. Artinya pemimpin itu dilahirkan. Namun, ini dibantah oleh teori Cecil Rhodes (1853-1902) yang masih percaya bahwa karakter dan instink peimimpin itu bisa dididik.
Tapi sekalipun karakteristik pemimpin ditemukan (tahun 1940-an) namun suatu kriteria tidak bisa berlaku untuk semua jenis masyarakat. Untuk itu para pakar menggunakan teori yang telah dirintis oleh McGrath (1962) teori Functional Leadership Model. Pemimpin ini dipilih sesuai dengan yang dikehendaki rakyat atau organisasi yaitu untuk melayani.
Pada abad yang sama Bernard Bass (1978) mengembangkan teori yang disebut Transactional dan transformational leadership. Yang pertama adalah pemimpin yang diberi kekuasaan oleh kelompok atau rakyat untuk mengerjakan suatu tugas tertentu. kedua adalah pemimpin yang visioner yang bertugas menstimulasi dan menanamkan visi kepada rakyat. Bagaimanapun teori tentang kepemiminan hingga abad 21 ini masih gagal menemukan rumusan sifat-sifat ideal seorang pemimpin.
Kini sering terjadi tiba-tiba seorang pemimpin muncul atau terpilih diluar kriteria pemimpin. Politik dan politisi kini menjadi pemilik criteria, bukan pakar. Intelektualitas, nilai-nilai, kecakapan sosial, kepakaran dan kecakapan dalam problem solving dan mungkin juga kenegarawanan seiringkali absen dari diri pemimpin terpilih. Kepentingan politik pun berada didepan sebagai penentu.
Maka mungkin putus asa dengan criteria ideal pemimpin, Oxford School Leadership menemukan teori baru kepemimpinan yang disebut Neo-emergent theory. Dalam teori dianggap paling mutakhir ini pemimpin itu dipromosikan oleh informasi yang diciptakan oleh stakeholdernya melalui media masa atau media social. Namun yang dipromosikan bukan karakter sesungguhnya dari pemimpin yang diinginkan, tapi untuk mengangkat popularitas dan elektabilitas. Teori ini digambarkan sebagai berikut:
“the press, blogs and other sources report their own views of leaders, which may be based on reality, but may also be based on a political command, a payment, or an inherent interest of the author, media, or leader. Therefore, one can argue that the perception of all leaders is created and in fact does not reflect their true leadership qualities at all.”
Teori Neo-emergent itu mungkin bisa disebut teori pencitraan atau pemimpin ala media masa atau social (sosmed). Demokrasi bisa berubah menjadi mediakrasi (kuasa media). Media pun sudah dibawah petunjuk kekuatan politik, pemodal, konglomerat dan sebangsanya.
Logika postmodern memang tidak lagi memakai sillogisme, tapi bahasa dan makna penentu segalanya. Maka tidak heran Akbar S Ahmed menyimpulkan bahwa ide-ide postmodernisme dipicu oleh media. Media bisa bermain-main dengan makna. Koruptor bisa tiba-tiba menjadi pelopor. Culas bisa menjadi lugas dan tegas. Tukang maki menjadi pemimpin bernyali. Pakar barter menjadi berkarakter dan sebagainya.
Logika bahasa Postmodern dalam media diracik dengan faham humanisme menghasilkan pemimpin yang unik. Pemimpin yang keras meledak-ledak, aneh-aneh dan dianggap gila itu pemimpin berkarakter. Berkarakte
r dianggap bermoral dan berakhlaq.
Kata character sendiri bermasalah sebab ia sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan. Berkarakter bisa diartikan ber “peran” dan bukan suatu sifat yang melekat erat dalam diri. Sifat inilah yang diletakkan oleh media kepada seseorang yang akan didaulat sebagai pemimpin.
Bahkan bermoral pun bermasalah pula. Dalam Oxford English Dictionary moral adalah perilaku baik-buruk. Standar baik buruk itu bersumber dari kesepakatan manusia (human convention). Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi ber-moral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, dan tidak selalu religius.
Kata akhlaq serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim). Jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berfikir, berkehendak dan berplerilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya. Fitrah seseorang itu adalah bertuhan, beragama dan tentu berislam.
Seorang yang tidak percaya kepada Tuhan mustahil bisa berbuat adil. Sebab kekafiran sendiri sudah merupakan kezaliman pada diri sendiri. Jika seorang kafir merasa lebih baik dari penganut agama hanya karena tidak korupsi, akan orang baik tapi penipu, pemeras, pezina, pembunuh dan bahkan penentang Tuhan.
Pemimpin yang tegas, keras menindak pelanggaran, berani dengan siapapun yang dianggap salah, berani mengambil resiko dan sebagainya boleh saja dianggap berkarakter. Tapi ketika ia membolehkan perjudian, pelacuran, menuman keras sebagai sumber APBD, dan berani mencemooh ulama yang tidak setuju dengannya ia sudah tidak ber-akhlaq, meskipun tetap berkarakter.
Matrik pemimpin berakhlaq bukan lagi manusia, tapi Tuhan melalui agama. Puncak berakhlaq adalah bersikap adil terhadap Tuhan dan terhadap manusia. Artinya meletakkan dirinya sebagai hambaNya, beribadah, berbuat baik karena dan atas petunjuk Tuhan. Adil terhadap manusia adalah membimbing, memperlakukan dan mengatur manusia agar terjaga hartanya, jiwanya, akalnya, keluarganya dan terakhir agamanya.
Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan lain kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita sujudkan maslahat manusia untuk Tuhan. Maka dari itu perbuatan, perkataan dan pikiran pemimpin, kata Umar bin Khattab, harus sama. Itulah amanah. Jika tidak maka dia khianat dan pengkhianatan paling keji, manurut Ali bin Abi Thalib adalah pengkhianatan pemimpin.
Kata character sendiri bermasalah sebab ia sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan. Berkarakter bisa diartikan ber “peran” dan bukan suatu sifat yang melekat erat dalam diri. Sifat inilah yang diletakkan oleh media kepada seseorang yang akan didaulat sebagai pemimpin.
Bahkan bermoral pun bermasalah pula. Dalam Oxford English Dictionary moral adalah perilaku baik-buruk. Standar baik buruk itu bersumber dari kesepakatan manusia (human convention). Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi ber-moral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, dan tidak selalu religius.
Kata akhlaq serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim). Jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berfikir, berkehendak dan berplerilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya. Fitrah seseorang itu adalah bertuhan, beragama dan tentu berislam.
Seorang yang tidak percaya kepada Tuhan mustahil bisa berbuat adil. Sebab kekafiran sendiri sudah merupakan kezaliman pada diri sendiri. Jika seorang kafir merasa lebih baik dari penganut agama hanya karena tidak korupsi, akan orang baik tapi penipu, pemeras, pezina, pembunuh dan bahkan penentang Tuhan.
Pemimpin yang tegas, keras menindak pelanggaran, berani dengan siapapun yang dianggap salah, berani mengambil resiko dan sebagainya boleh saja dianggap berkarakter. Tapi ketika ia membolehkan perjudian, pelacuran, menuman keras sebagai sumber APBD, dan berani mencemooh ulama yang tidak setuju dengannya ia sudah tidak ber-akhlaq, meskipun tetap berkarakter.
Matrik pemimpin berakhlaq bukan lagi manusia, tapi Tuhan melalui agama. Puncak berakhlaq adalah bersikap adil terhadap Tuhan dan terhadap manusia. Artinya meletakkan dirinya sebagai hambaNya, beribadah, berbuat baik karena dan atas petunjuk Tuhan. Adil terhadap manusia adalah membimbing, memperlakukan dan mengatur manusia agar terjaga hartanya, jiwanya, akalnya, keluarganya dan terakhir agamanya.
Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan lain kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita sujudkan maslahat manusia untuk Tuhan. Maka dari itu perbuatan, perkataan dan pikiran pemimpin, kata Umar bin Khattab, harus sama. Itulah amanah. Jika tidak maka dia khianat dan pengkhianatan paling keji, manurut Ali bin Abi Thalib adalah pengkhianatan pemimpin.
Tersedia buku-buku bermutu diperuntukkan khusus untuk para remaja muslim. Ditulis oleh para novelis, dokter, ustadz yang sudah tidak asing lagi.
1. Gaul Bebas Kenapa Enggak?
Rp 50.000,-
2. Tuhan, Izinkan Aku Pacaran Edisi Revital
Rp 39.000,-
3. Jomblo's Diary
Rp 43.000,-
4. Lupakan Mantanmu!
Rp 44.000,-
5. Lo Gue Butuh Tau LGBT
Rp 39.000,-
6. Jangan Berdakwah Nanti Masuk Surga
Rp 65.000,-
7. Islam Gak Liberal
Rp 45.000,-
8. Sosmed Addict: Kecanduan yang Tak Perlu
Rp 45.000,-
9. Healty Lifestyle
Rp 45.000,-
10. Kemenangan Mimpi
Rp 39.000,-
Pemesanan silahkan hubungi via sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
1. Gaul Bebas Kenapa Enggak?
Rp 50.000,-
2. Tuhan, Izinkan Aku Pacaran Edisi Revital
Rp 39.000,-
3. Jomblo's Diary
Rp 43.000,-
4. Lupakan Mantanmu!
Rp 44.000,-
5. Lo Gue Butuh Tau LGBT
Rp 39.000,-
6. Jangan Berdakwah Nanti Masuk Surga
Rp 65.000,-
7. Islam Gak Liberal
Rp 45.000,-
8. Sosmed Addict: Kecanduan yang Tak Perlu
Rp 45.000,-
9. Healty Lifestyle
Rp 45.000,-
10. Kemenangan Mimpi
Rp 39.000,-
Pemesanan silahkan hubungi via sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
RADIKALISME ATAU EKSTRIMISME ?
Oleh: DR. ADIAN HUSAINI
Menyusul terjadinya kasus pengeboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, akhir-akhir ini banyak digelar diskusi dan seminar tentang terorisme dan radikalisme. Opini yang ingin dibentuk : aksi-aksi terorisme bersumber dari pemahaman agama yang radikal. Padahal, banyak yang berkata, terorisme tidak ada hubungannya dengan agama tertentu. Tapi, ada yang berkesimpulan, untuk membendung terorisme, maka pemahaman agama yang radikal harus dicegah atau diberantas.
Sedikit banyak muncul suasana antagonis antara pemerintah dengan sebagian umat Islam. Setidaknya, muncul situasi saling curiga antar komunitas bangsa, bahkan sesama umat Islam pun tercipta kondisi semacam itu. Mungkin tanpa sadar, ada yang terseret pada situasi adu-domba satu sama lain. Saling tuding, saling cerca, dan saling benci, terjadi hanya karena perbedaan pandangan tentang Islam, terorisme, demokrasi, dan sebagainya. Yang satu dituduh radikal, yang lain dituduh antek Barat. Yang satu pro-thaghut, yang lain dicap antek-teroris.
Situasi seperti inikah yang dikehendaki oleh umat Islam dan pemerintah Indonesia? Tentu tidak! Kita mendambakan negeri ini sebagai negeri yang aman, adil dan makmur; negeri yang besar, yang disegani oleh bangsa-bangsa lain, sehingga tidak mudah harta kekayaan alam kita dicuri oleh bangsa lain; tidak mudah didekte oleh bangsa lain, sehingga hakekat kemerdekaan yang dicita-citakan pendiri bangsa bisa diwujudkan.
Di tengah situasi seperti ini, muncul pemikiran bahwa radikalisme keagamaan harus diberantas? Pertanyaannya, secara akademis, perlu dirumuskan, apa definisi radikalisme dan siapa saja yang disebut kaum radikal tersebut? Kita perlu berfikir jernih tentang masalah ini, lepas dari tekanan politik atau gelombang besar opini global yang menempatkan kaum radikal atau militan sebagai pihak yang jahat dan bertanggungjawab atas segala kekacauan di muka bumi. Menyusul berakhirnya Perang Dingin, 1990, dimunculkan wacana bahwa musuh dunia yang utama adalah kaum fundamentalis Islam. Keluarlah buku-buku yang mendefinisikan apa itu fundamentalis Islam dan siapa saja mereka.
Apa yang terjadi? Perang melawan fundamentalis akhirnya tidak banyak membawa hasil. Definisi fundamentalis seringkali kabur dan dilebarkan kemana-mana. Dunia tidak semakin damai. Harapan dunia yang aman setelah komunis runtuh, tidak terwujud. Upaya menemukan musuh baru bagi dunia Barat setelah komunis runtuh terus dilakukan oleh kalangan tertentu di Barat. Samuel P. Huntington, dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, secara terang-terangan menulis: “It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics.” Jadi, kata Huntington, adalah manusiawi untuk membenci. Demi tujuan menentukan jati diri dan membangkitkan motivasi, masyarakat memang perlu adanya musuh.
Tiga tahun setelah peristiwa 11 September 2001, Huntington kembali menegaskan perlunya musuh baru bagi Amerika Serikat dan Barat. Dan katanya, musuh itu sudah ketemu, yaitu kaum Islam militan. Dalam bukunya, Who Are We? (2004), Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam…This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity.”
Setelah itu, entah ada hubungan dengan pemikiran Huntington atau tidak, terjadilah “perburuan Islam militan” atau “Islam radikal”. Tetapi, lagi-lagi, sebagaimana dalam kebijakan perang melawan fundamentalisme, definisi ”radikalisme” itu sendiri tidak diselesaikan secara akademis. Siapakah kaum radika
Oleh: DR. ADIAN HUSAINI
Menyusul terjadinya kasus pengeboman hotel JW Marriot dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, akhir-akhir ini banyak digelar diskusi dan seminar tentang terorisme dan radikalisme. Opini yang ingin dibentuk : aksi-aksi terorisme bersumber dari pemahaman agama yang radikal. Padahal, banyak yang berkata, terorisme tidak ada hubungannya dengan agama tertentu. Tapi, ada yang berkesimpulan, untuk membendung terorisme, maka pemahaman agama yang radikal harus dicegah atau diberantas.
Sedikit banyak muncul suasana antagonis antara pemerintah dengan sebagian umat Islam. Setidaknya, muncul situasi saling curiga antar komunitas bangsa, bahkan sesama umat Islam pun tercipta kondisi semacam itu. Mungkin tanpa sadar, ada yang terseret pada situasi adu-domba satu sama lain. Saling tuding, saling cerca, dan saling benci, terjadi hanya karena perbedaan pandangan tentang Islam, terorisme, demokrasi, dan sebagainya. Yang satu dituduh radikal, yang lain dituduh antek Barat. Yang satu pro-thaghut, yang lain dicap antek-teroris.
Situasi seperti inikah yang dikehendaki oleh umat Islam dan pemerintah Indonesia? Tentu tidak! Kita mendambakan negeri ini sebagai negeri yang aman, adil dan makmur; negeri yang besar, yang disegani oleh bangsa-bangsa lain, sehingga tidak mudah harta kekayaan alam kita dicuri oleh bangsa lain; tidak mudah didekte oleh bangsa lain, sehingga hakekat kemerdekaan yang dicita-citakan pendiri bangsa bisa diwujudkan.
Di tengah situasi seperti ini, muncul pemikiran bahwa radikalisme keagamaan harus diberantas? Pertanyaannya, secara akademis, perlu dirumuskan, apa definisi radikalisme dan siapa saja yang disebut kaum radikal tersebut? Kita perlu berfikir jernih tentang masalah ini, lepas dari tekanan politik atau gelombang besar opini global yang menempatkan kaum radikal atau militan sebagai pihak yang jahat dan bertanggungjawab atas segala kekacauan di muka bumi. Menyusul berakhirnya Perang Dingin, 1990, dimunculkan wacana bahwa musuh dunia yang utama adalah kaum fundamentalis Islam. Keluarlah buku-buku yang mendefinisikan apa itu fundamentalis Islam dan siapa saja mereka.
Apa yang terjadi? Perang melawan fundamentalis akhirnya tidak banyak membawa hasil. Definisi fundamentalis seringkali kabur dan dilebarkan kemana-mana. Dunia tidak semakin damai. Harapan dunia yang aman setelah komunis runtuh, tidak terwujud. Upaya menemukan musuh baru bagi dunia Barat setelah komunis runtuh terus dilakukan oleh kalangan tertentu di Barat. Samuel P. Huntington, dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, secara terang-terangan menulis: “It is human to hate. For self definition and motivation people need enemies: competitors in business, rivals in achievement, opponents in politics.” Jadi, kata Huntington, adalah manusiawi untuk membenci. Demi tujuan menentukan jati diri dan membangkitkan motivasi, masyarakat memang perlu adanya musuh.
Tiga tahun setelah peristiwa 11 September 2001, Huntington kembali menegaskan perlunya musuh baru bagi Amerika Serikat dan Barat. Dan katanya, musuh itu sudah ketemu, yaitu kaum Islam militan. Dalam bukunya, Who Are We? (2004), Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam…This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity.”
Setelah itu, entah ada hubungan dengan pemikiran Huntington atau tidak, terjadilah “perburuan Islam militan” atau “Islam radikal”. Tetapi, lagi-lagi, sebagaimana dalam kebijakan perang melawan fundamentalisme, definisi ”radikalisme” itu sendiri tidak diselesaikan secara akademis. Siapakah kaum radika
l yang harus diperangi? Mengapa mereka disebut radikal? Sejumlah kajian di Indonesia sudah secara terbuka menyebut beberapa kelompok Islam berpaham radikal. Pemetaan-pemetaan telah banyak dilakukan, sebagian umat Islam dicap radikal, sebagian lain dicap moderat, dan sebagainya. Mirip dengan situasi di zaman penjajahan.
Tapi, di masa penjajahan Belanda, kata ‘radikal’ bermakna positif bagi pejuang kemerdekaan RI. Bahkan, tahun 1918, di Indonesia terbentuk apa yang disebut sebagai “Radicale Concentratie”, yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, dan Indische Sociaal Democratische Vereniging. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat. ‘Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada akar kata “akar” ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik”.
Namun, dalam aplikasinya untuk kelompok-kelompok Islam, kata radikal mendapatkan makna khusus. Tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” Ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir.
Menurut buku ini, kriteria ‘Islam radikal’ adalah : (1) mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.
Tentang ideologi ‘Islam radikal’, buku ini mengutip pendapat John L. Esposito (dari bukunya, Islam: The Straight Path), yang lebih suka menggunakan istilah ‘Islam revivalis’. Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Keempat, karena idelogi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak. Kelima, mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final. Keenam, mereka berkeyakinan, bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.
Kita bertanya, apakah salah jika seorang Muslim meyakini agamanya sebagai satu kebenaran dan tata aturan sistem kehidupan yang sempurna? Bukankah menjamurnya lembaga-lembaga ekonomi syariah juga dijiwai dengan pemikiran dan semangat yang sama? Jika kita membaca pemikiran dan kiprah para pejuang Islam yang juga pendiri bangsa ini, seperti KH Wahid Hasjim, M. Natsir, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, dapat disimak bagaimana kuatnya keyakinan mereka pa
Tapi, di masa penjajahan Belanda, kata ‘radikal’ bermakna positif bagi pejuang kemerdekaan RI. Bahkan, tahun 1918, di Indonesia terbentuk apa yang disebut sebagai “Radicale Concentratie”, yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, dan Indische Sociaal Democratische Vereniging. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat. ‘Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada akar kata “akar” ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Sedangkan “radikalisme”, diartikan sebagai: “paham atau aliran yang radikal dalam politik”, “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis”, “sikap ekstrim di suatu aliran politik”.
Namun, dalam aplikasinya untuk kelompok-kelompok Islam, kata radikal mendapatkan makna khusus. Tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menerbitkan buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” Ada empat kelompok yang mendapat cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir.
Menurut buku ini, kriteria ‘Islam radikal’ adalah : (1) mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. (4) Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.
Tentang ideologi ‘Islam radikal’, buku ini mengutip pendapat John L. Esposito (dari bukunya, Islam: The Straight Path), yang lebih suka menggunakan istilah ‘Islam revivalis’. Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Keempat, karena idelogi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak. Kelima, mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final. Keenam, mereka berkeyakinan, bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.
Kita bertanya, apakah salah jika seorang Muslim meyakini agamanya sebagai satu kebenaran dan tata aturan sistem kehidupan yang sempurna? Bukankah menjamurnya lembaga-lembaga ekonomi syariah juga dijiwai dengan pemikiran dan semangat yang sama? Jika kita membaca pemikiran dan kiprah para pejuang Islam yang juga pendiri bangsa ini, seperti KH Wahid Hasjim, M. Natsir, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, dapat disimak bagaimana kuatnya keyakinan mereka pa
da agamanya dan gigihnya mereka dalam memperjuangkan cita-cita Islam di Indonesia. Namun, mereka tetap berupaya memperjuangkannya secara konstitusional.
Karena itu, sebenarnya, penggunaan istilah “radikalisme” dan “Islam radikal” untuk menunjuk kepada jenis pemahaman Islam tertentu, akan sangat problematis. Istilah ini lebih banyak bernuansa politis, ketimbang akademis. Apalagi, jika istilah ini digunakan hanya untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam tertentu. Sebab, istilah ”radikalisme” tidak memiliki padanan dalam konsep pemikiran Islam. Lebih tepat sebenarnya digunakan istilah ”ekstrimisme” dalam Islam. Istilah ini ada padanan katanya dalam kosa kata pemikiran Islam, yaitu ”tatharruf” atau ”ghuluw.” Yakni, sikap berlebih-lebihan dalam agama, yang memang dilarang oleh Nabi Muhammad saw.
Penggunaan istilah yang tepat diperlukan untuk menghindarkan pandangan kaum Muslim bahwa upaya untuk memerangi kaum ”Islam radikal” adalah pesanan AS dan sekutu-sekutunya. Dalam rangka perang melawan Islam militan atau Islam radikal, mantan Menhan AS, Paul Wolfowits menyatakan: “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap bahwa kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara Muslim moderat.” (Dikutip dari buku Siapakah Muslim Moderat? (ed). Suaidi Asy’ari, Ph.D. (2008).
Pada akhirnya, kita percaya, umat Islam Indonesia dan Presiden Haji Susilo Bambang Yudhoyono, tidak mau diadu domba. Sebab, kita bersaudara! (***) (Artikel ini, dengan sedikit editing telah dimuat di Harian Republika, Selasa 8/9/2009).
Karena itu, sebenarnya, penggunaan istilah “radikalisme” dan “Islam radikal” untuk menunjuk kepada jenis pemahaman Islam tertentu, akan sangat problematis. Istilah ini lebih banyak bernuansa politis, ketimbang akademis. Apalagi, jika istilah ini digunakan hanya untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam tertentu. Sebab, istilah ”radikalisme” tidak memiliki padanan dalam konsep pemikiran Islam. Lebih tepat sebenarnya digunakan istilah ”ekstrimisme” dalam Islam. Istilah ini ada padanan katanya dalam kosa kata pemikiran Islam, yaitu ”tatharruf” atau ”ghuluw.” Yakni, sikap berlebih-lebihan dalam agama, yang memang dilarang oleh Nabi Muhammad saw.
Penggunaan istilah yang tepat diperlukan untuk menghindarkan pandangan kaum Muslim bahwa upaya untuk memerangi kaum ”Islam radikal” adalah pesanan AS dan sekutu-sekutunya. Dalam rangka perang melawan Islam militan atau Islam radikal, mantan Menhan AS, Paul Wolfowits menyatakan: “Untuk memenangkan perjuangan yang lebih dahsyat ini, adalah sebuah kesalahan kalau menganggap bahwa kita yang memimpin. Tapi kita harus semaksimal mungkin mendorong suara-suara Muslim moderat.” (Dikutip dari buku Siapakah Muslim Moderat? (ed). Suaidi Asy’ari, Ph.D. (2008).
Pada akhirnya, kita percaya, umat Islam Indonesia dan Presiden Haji Susilo Bambang Yudhoyono, tidak mau diadu domba. Sebab, kita bersaudara! (***) (Artikel ini, dengan sedikit editing telah dimuat di Harian Republika, Selasa 8/9/2009).
BIOGRAFI RASULULLAH
Penulis: Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad
Karya kontemporer terlengkap tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad s.a.w. sejak beliau dilahirkan hingga wafat dengan pemaparan secara terperinci setiap episode kehidupan yang beliau jalani beserta perjuangan beliau dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Dilengkapi dengan penjelasan kondisi sosial-keagamaan Jazirah Arab dan sekitarnya pada masa sebelum Islam hingga beliau diutus menjadi Rasul. Sejarah hidup Rasulullah s.a.w. merupakan medan kajian yang sangat kaya akan materi keilmuan, wawasan keagamaan, hikmah, dan pendidikan. Munculnya sekian banyak buku tentang sejarah hidup Rasulullah, baik yang ditulis oleh para ulama klasik maupun modern merupakan bukti dari kekayaan tersebut.
Karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad ini merupakan salah satu buku biografi karya seorang ulama modern yang tak layak dipandang sebelah mata. Ada banyak keunggulan dan hal baru ditawarkan oleh buku ini. Salah satunya adalah bahwa buku ini hanya memuat materi-materi sejarah dari sumber-sumber yang otentik dan terpercaya.
Fakta-fakta sejarah yang terjadi pun tidak hanya dipaparkan begitu saja, melainkan juga dicermati dan dianalisa sedemikian rupa. Sehingga, pembaca tidak hanya menyaksikan rentetan peristiwa demi peristiwa, tetapi juga akan menemukan banyak pengetahuan tentang nilai-nilai moral, pendidikan, dan hukum-hukum syariat dari berbagai macam peristiwa tersebut.
Perpaduan antara buku sejarah dan keilmuan inilah yang mengantarkan buku ini sebagai buku sirah Nabi s.a.w. di beberapa lembaga pendidikan dan perguruan tinggi di Timur Tengah.
--------------------
Judul buku: Biografi Rasulullah
Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik
Penulis: Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad
ISBN: 979-3715-56-1
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Sampul: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Jumlah Hlm: xxiv + 1020 = 1044 Hlm
Berat: 1.5 Kg
Harga: Rp. 215.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
-admin-
Penulis: Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad
Karya kontemporer terlengkap tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad s.a.w. sejak beliau dilahirkan hingga wafat dengan pemaparan secara terperinci setiap episode kehidupan yang beliau jalani beserta perjuangan beliau dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Dilengkapi dengan penjelasan kondisi sosial-keagamaan Jazirah Arab dan sekitarnya pada masa sebelum Islam hingga beliau diutus menjadi Rasul. Sejarah hidup Rasulullah s.a.w. merupakan medan kajian yang sangat kaya akan materi keilmuan, wawasan keagamaan, hikmah, dan pendidikan. Munculnya sekian banyak buku tentang sejarah hidup Rasulullah, baik yang ditulis oleh para ulama klasik maupun modern merupakan bukti dari kekayaan tersebut.
Karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad ini merupakan salah satu buku biografi karya seorang ulama modern yang tak layak dipandang sebelah mata. Ada banyak keunggulan dan hal baru ditawarkan oleh buku ini. Salah satunya adalah bahwa buku ini hanya memuat materi-materi sejarah dari sumber-sumber yang otentik dan terpercaya.
Fakta-fakta sejarah yang terjadi pun tidak hanya dipaparkan begitu saja, melainkan juga dicermati dan dianalisa sedemikian rupa. Sehingga, pembaca tidak hanya menyaksikan rentetan peristiwa demi peristiwa, tetapi juga akan menemukan banyak pengetahuan tentang nilai-nilai moral, pendidikan, dan hukum-hukum syariat dari berbagai macam peristiwa tersebut.
Perpaduan antara buku sejarah dan keilmuan inilah yang mengantarkan buku ini sebagai buku sirah Nabi s.a.w. di beberapa lembaga pendidikan dan perguruan tinggi di Timur Tengah.
--------------------
Judul buku: Biografi Rasulullah
Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik
Penulis: Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad
ISBN: 979-3715-56-1
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Sampul: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Jumlah Hlm: xxiv + 1020 = 1044 Hlm
Berat: 1.5 Kg
Harga: Rp. 215.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
-admin-
Karena terkena sihir, di masa Nabi Musa a.s. banyak orang yang tidak bida membedakan antara “tongkat” dengan “ular”.
Karena terkena sihir, banyak yang tidak bisa membedakan, mana ilmuwan sejati dan mana ilmuwan yang tidak sejati: Imam Syafii dicaci maki, Nurcholish Madjid dipuja-puji.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1100588440042235&id=212684542165967
Karena terkena sihir, banyak yang tidak bisa membedakan, mana ilmuwan sejati dan mana ilmuwan yang tidak sejati: Imam Syafii dicaci maki, Nurcholish Madjid dipuja-puji.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1100588440042235&id=212684542165967
JEBAKAN ROMAN
Oleh: Adian Husaini
Dalam Novel yang saya tulis: ”Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat”, ada sosok penting yang menjadi salah satu pemegang kendali cerita, yaitu Roman. Manusia satu ini menyamar sebagai mahasiswa di sebuah Institut Studi Lintas Agama, tempat Kemi – santri liberal yang mengkhianati petuah gurunya. Roman, seorang residivis, pemimpin satu kelompok penjahat kerah putih yang berulangkali berhasil membobol mesin ATM sejumlah bank.
Selain tampan, gagah dan perlente, Roman juga berotak encer. Ia berngalaman dalam dunia bisnis dan politik internasional. Ia tahu ada dana yang luar biasa besar untuk proyek-proyek liberalisasi di dunia Muslim. Dana itu hanya bisa dicairkan dengan merekrut santri-santri dan intelektual Muslim yang cerdas, yang digunakan sebagai ujung tombak proyek-proyek liberalisasi. Di sinilah otak bisnis Roman berjalan. Ia membangun jaringan yang luas di kalangan yayasan-yayasan asing, pemerintah, dan LSM-LSM lokal.
Sejumlah alumni pesantren direkrutnya. Mereka diberi tugas membuat proposal, memberikan pelatihan, dan membuat laporan kepada LSM-LSM yang dikendalikan Roman. Kemi adalah salah satu santri yang menjadi korban skenario Roman. Ia terjebak dalam aktivitas liberalisasi dengan mendapatkan imbalan beasiswa kuliah gratis dan biaya hidup bulanan. Pikiran Kemi sudah terlanjur liberal. Ia terjerat oleh pikirannya sendiri. Ia terjerat oleh jerat-jerat liberal yang dipasang Roman.
Berikut ini petikan dialog dan cerita tentang Roman dan Kemi, saat Kemi dianggap gagal merekrut Rahmat, santri cerdas yang dikirim Kyai-nya untuk menyadarkan Kemi dan membongkar jaringan liberalisme. Saat itu, di sebuah tempat, Kemi diadili oleh Roman dan tiga anggota sindikatnya. Roman membentak Kemi:
”Kemi, sekarang masalahnya sudah jelas. Kamu harus tanggung jawab. Kyai Dulpikir, salah satu andalan kita tewas gara-gara Rahmat. Ini harus ada perhitungan. Rahmat sudah membahayakan posisi kita..
”Ya Kemi, cara kamu menjebak Rahmat sudah terbukti gagal. Kamu terlalu lembek sama dia,” kata seorang lagi, sambil berdiri berkacak pinggang.
Kemi belum mengenal tiga orang yang malam itu di bawa Roman. Undangan rapat dari Roman diterimanya mendadak. Dia pikir, itu rapat kelompok diskusi seperti biasa. Ternyata, teman-teman sekelompok, hanya dia yang datang. Roman justru membawa tiga orang lain yang penampilannya jauh dari citra sosok intelektual.
”Beri saya sedikit waktu lagi. Prosesnya kan sedang berjalan. Ini belum final,” tutur Kemi, agak memelas.
”Sekarang masalahnya sudah terlalu jauh. Semua menjadi kocar-kacir. Proyek-proyek kita terganggu, gara-gara kasus ini. Citra kelompok kita tercoreng, gara-gara Ustad kampungan teman kamu itu. Tidak ada pilihan lain, Rahmat harus kita bereskan!” kata Roman.
”Apa kamu bilang?” teriak Kemi tidak percaya. Dibereskan bagaimana?”
”Kamu diam saja Kemi! Kamu sudah gagal. Kamu nggak perlu tahu. Ini urusan kami.
Tugas kamu buat proposal, memberikan pelatihan, dan buat laporan!”
”Tapi, saya minta jangan sampai ada apa-apa dengan Rahmat. Bagaimana pun dia teman saya!” Kemi menatap Roman.
”Kamu sudah gagal. Sekarang, Rahmat menjadi urusan kami. Kamu tidak usah turut campur lagi! Kefir, ambil HP Kemi, kasih HP lain!” perintah Roman pada salah satu yang dia panggil Kefir….
Kemi merasa tak berkutik. Ia ingin berontak. Tapi, lidahnya kelu. Tiga orang lain yang dihadapinya juga wajah-wajah baru yang berbadan kekar. Tampang mereka ”sangar”. Seorang menampakkan tatto babi di lengan kirinya. Seorang lagi menampilkan tatto ular di lehernya.
”Roman, kita kan mahasiswa, bagaimana bisa seperti ini? Yang kita lakukan selama ini kan gerakan intelektual?” Kemi masih mencoba melobi Roman.
”Aku memang mahasiswa, tapi beda sama kamu. Apa kamu tidak sadar dari mana uang yang kamu terima selama ini, setiap bulan? Memang itu gratisan, Kemi? Memang itu uang dari Mbah kamu? Di sini, tidak ada duit gratisan Kemi!… ”Kemi, biar kamu sekarang tahu! Kami ini orang-orang profesional. Kami tidak begitu saja percaya kepada orang-orang model kalian!” ujar Roman.
Kemi makin kebingungan dengan sikap d
Oleh: Adian Husaini
Dalam Novel yang saya tulis: ”Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat”, ada sosok penting yang menjadi salah satu pemegang kendali cerita, yaitu Roman. Manusia satu ini menyamar sebagai mahasiswa di sebuah Institut Studi Lintas Agama, tempat Kemi – santri liberal yang mengkhianati petuah gurunya. Roman, seorang residivis, pemimpin satu kelompok penjahat kerah putih yang berulangkali berhasil membobol mesin ATM sejumlah bank.
Selain tampan, gagah dan perlente, Roman juga berotak encer. Ia berngalaman dalam dunia bisnis dan politik internasional. Ia tahu ada dana yang luar biasa besar untuk proyek-proyek liberalisasi di dunia Muslim. Dana itu hanya bisa dicairkan dengan merekrut santri-santri dan intelektual Muslim yang cerdas, yang digunakan sebagai ujung tombak proyek-proyek liberalisasi. Di sinilah otak bisnis Roman berjalan. Ia membangun jaringan yang luas di kalangan yayasan-yayasan asing, pemerintah, dan LSM-LSM lokal.
Sejumlah alumni pesantren direkrutnya. Mereka diberi tugas membuat proposal, memberikan pelatihan, dan membuat laporan kepada LSM-LSM yang dikendalikan Roman. Kemi adalah salah satu santri yang menjadi korban skenario Roman. Ia terjebak dalam aktivitas liberalisasi dengan mendapatkan imbalan beasiswa kuliah gratis dan biaya hidup bulanan. Pikiran Kemi sudah terlanjur liberal. Ia terjerat oleh pikirannya sendiri. Ia terjerat oleh jerat-jerat liberal yang dipasang Roman.
Berikut ini petikan dialog dan cerita tentang Roman dan Kemi, saat Kemi dianggap gagal merekrut Rahmat, santri cerdas yang dikirim Kyai-nya untuk menyadarkan Kemi dan membongkar jaringan liberalisme. Saat itu, di sebuah tempat, Kemi diadili oleh Roman dan tiga anggota sindikatnya. Roman membentak Kemi:
”Kemi, sekarang masalahnya sudah jelas. Kamu harus tanggung jawab. Kyai Dulpikir, salah satu andalan kita tewas gara-gara Rahmat. Ini harus ada perhitungan. Rahmat sudah membahayakan posisi kita..
”Ya Kemi, cara kamu menjebak Rahmat sudah terbukti gagal. Kamu terlalu lembek sama dia,” kata seorang lagi, sambil berdiri berkacak pinggang.
Kemi belum mengenal tiga orang yang malam itu di bawa Roman. Undangan rapat dari Roman diterimanya mendadak. Dia pikir, itu rapat kelompok diskusi seperti biasa. Ternyata, teman-teman sekelompok, hanya dia yang datang. Roman justru membawa tiga orang lain yang penampilannya jauh dari citra sosok intelektual.
”Beri saya sedikit waktu lagi. Prosesnya kan sedang berjalan. Ini belum final,” tutur Kemi, agak memelas.
”Sekarang masalahnya sudah terlalu jauh. Semua menjadi kocar-kacir. Proyek-proyek kita terganggu, gara-gara kasus ini. Citra kelompok kita tercoreng, gara-gara Ustad kampungan teman kamu itu. Tidak ada pilihan lain, Rahmat harus kita bereskan!” kata Roman.
”Apa kamu bilang?” teriak Kemi tidak percaya. Dibereskan bagaimana?”
”Kamu diam saja Kemi! Kamu sudah gagal. Kamu nggak perlu tahu. Ini urusan kami.
Tugas kamu buat proposal, memberikan pelatihan, dan buat laporan!”
”Tapi, saya minta jangan sampai ada apa-apa dengan Rahmat. Bagaimana pun dia teman saya!” Kemi menatap Roman.
”Kamu sudah gagal. Sekarang, Rahmat menjadi urusan kami. Kamu tidak usah turut campur lagi! Kefir, ambil HP Kemi, kasih HP lain!” perintah Roman pada salah satu yang dia panggil Kefir….
Kemi merasa tak berkutik. Ia ingin berontak. Tapi, lidahnya kelu. Tiga orang lain yang dihadapinya juga wajah-wajah baru yang berbadan kekar. Tampang mereka ”sangar”. Seorang menampakkan tatto babi di lengan kirinya. Seorang lagi menampilkan tatto ular di lehernya.
”Roman, kita kan mahasiswa, bagaimana bisa seperti ini? Yang kita lakukan selama ini kan gerakan intelektual?” Kemi masih mencoba melobi Roman.
”Aku memang mahasiswa, tapi beda sama kamu. Apa kamu tidak sadar dari mana uang yang kamu terima selama ini, setiap bulan? Memang itu gratisan, Kemi? Memang itu uang dari Mbah kamu? Di sini, tidak ada duit gratisan Kemi!… ”Kemi, biar kamu sekarang tahu! Kami ini orang-orang profesional. Kami tidak begitu saja percaya kepada orang-orang model kalian!” ujar Roman.
Kemi makin kebingungan dengan sikap d
an ucapan Roman. Sepengetahuannya, aktivitas kuliah dan kegiatan-kegiatan pelatihan yang dilakukannya didanai oleh sejumlah Yayasan semacam She-cooler Foundation. Setahu dia, kegiatan yang dia jalankan juga biasa-biasa saja. Tidak ada paksaan pada peserta untuk mengikuti jalan pikiran. Bahkan, seringkali suasana juga sangat kondusif, karena secara rasional paham-paham yang diseberkannya juga bersifat rasional.
Roman duduk tenang-tenang saja menyaksikan Kemi dalam kebingungan dan ketakutan.
”Kami sebenarnya kasihan dengan orang-orang seperti kalian, santri-santri kampung. Tapi, kami berterimakasih juga sama kalian, sudah membantu kami. Tanpa peran kalian, kami tidak dapat mencairkan dana-dana asing itu,” kata Roman.
”Apa maksud kamu, Roman?” Kemi makin kebingungan.
”Itulah Kemi, kamu ini pinter tapi juga bodho. Kami ini orang-orang profesional!” sahut Roman lagi.
”Okelah, Roman, tolong jelaskan dulu semuanya. Biar semuanya jelas. Kalau dari awal saya tahu semua akan seperti ini, saya pasti tidak mahu bergabung dengan kalian!”
”Ha-ha-ha… enak saja kamu. Tidak segampang itu Kemi… Masuk, keluar, lalu masuk lagi … Memang kelompok ini suatu super market, bisa keluar masuk seenaknya!”
Kemi mulai menangkap gelagat yang tidak baik. Ia memutar otak untuk bisa lolos dari kelompok ini. Ia tidak tahu persis siapa saja yang ada di rumah ini. Setahu dia, hanya Roman dan beberapa pembantu rumah serta penjaga kebon yang tinggal di situ. Selama ini dia tidak berpikir apa-apa tentang Roman, karena ia pun berstatus mahasiswa seperti dirinya. Memang ada yang agak aneh pada Roman. Meskipun mahasiswa, ia jarang sekali aktif di ruang kuliah dan mengikuti ujian. Yang pasti, penampilannya sangat mewah. Kepalanya botak, badannya kekar, dandanannya perlente. Jam, cincin, kalung emas, nyaris tak pernah lepas dari tubuhnya. Kemi tidak curiga, karena kampus Damai-Sejahtera juga banyak menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi, agama, dan status sosial.
”Baiklah, Kemi, daripada kamu penasaran, saya ceritakan saja apa sebenarnya! Ini sebagai ucapan terimakasih saya, karena bagaimana pun, kamu dan Siti sudah banyak jasanya bagi kami. Tanpa orang-orang seperti kalian, kami tidak banyak mendapat uang yang melimpah.”
Kemi belum paham benar maksud Roman. ”Apa maksud kamu selalu menyebut, ”orang-orang seperti kalian?”
”Ya, orang-orang seperti kamu, Siti, Farsan, Rahmat… santri-santri cerdas.”
”Untuk apa?”
”Ya untuk mencairkan dana-dana asing itu! Kamu ini ngerti atau pura-pura?”
Kemi benar-benar tidak paham masalah ini.
”Baik, dengarkan baik-baik… supaya kamu tidak penasaran! Kamu pasti tahu, sejak Perang Dingin berakhir, negara-negara Barat sudah mengubah politiknya. Mereka tidak lagi mengarahkan politiknya ke komunis. Tapi, berganti mengarah ke Islam. Di situ banyak dana yang tersedia untuk proyek-proyek menjinakkan Islam; sebagaimana dulu mereka lakukan pada komunis.”
”Hubungannya dengan saya?”
”Untuk proyek-proyek ”penjinakan Islam”, agar orang Islam tidak anti-Barat, maka mereka memerlukan santri-santri cerdas, intelektual-intelektual bidang studi Islam, tokoh-tokoh Islam, agar proyek-proyek itu mudah diterima oleh umat Islam. Tidak mungkin orang-orang bule itu sendiri yang turun ke masyarakat atau orang seperti saya datang ke pondok-pondok pesantren.”
”Jadi, dana-dana itu ada motif politiknya?”
”Ya iyalah Kemi…. kamu ini seperti tolol saja! Uang-uang itu mereka kumpulkan dari pajak rakyat mereka, dan harus mereka pertanggung jawabkan. Ini proyek besar. Di sana, banyak juga makelar-makelar proyek. Saya sudah menyelami peluang bisnis ini puluhan tahun…di berbagai negara. Ha-ha-ha, Kemi, ini bisnis besar.”
”Apa kamu bilang, ini bisnis? Bukankah yang kita perjuangkan selama ini adalah ide-ide yang mulia,yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan dan perdamaian umat manusia. Apa benar yang kamu katakan ini? Kalau begitu proyek-proyek HAM, kesetaraan gender, pluralisme, multikulturalisme, semua itu ditujukan untuk bisnis?”
”Ada juga yang tulus memperjuangkan itu semua. Ada yang yakin, itu semua akan membawa perdamaian. Tapi, lihat saja
Roman duduk tenang-tenang saja menyaksikan Kemi dalam kebingungan dan ketakutan.
”Kami sebenarnya kasihan dengan orang-orang seperti kalian, santri-santri kampung. Tapi, kami berterimakasih juga sama kalian, sudah membantu kami. Tanpa peran kalian, kami tidak dapat mencairkan dana-dana asing itu,” kata Roman.
”Apa maksud kamu, Roman?” Kemi makin kebingungan.
”Itulah Kemi, kamu ini pinter tapi juga bodho. Kami ini orang-orang profesional!” sahut Roman lagi.
”Okelah, Roman, tolong jelaskan dulu semuanya. Biar semuanya jelas. Kalau dari awal saya tahu semua akan seperti ini, saya pasti tidak mahu bergabung dengan kalian!”
”Ha-ha-ha… enak saja kamu. Tidak segampang itu Kemi… Masuk, keluar, lalu masuk lagi … Memang kelompok ini suatu super market, bisa keluar masuk seenaknya!”
Kemi mulai menangkap gelagat yang tidak baik. Ia memutar otak untuk bisa lolos dari kelompok ini. Ia tidak tahu persis siapa saja yang ada di rumah ini. Setahu dia, hanya Roman dan beberapa pembantu rumah serta penjaga kebon yang tinggal di situ. Selama ini dia tidak berpikir apa-apa tentang Roman, karena ia pun berstatus mahasiswa seperti dirinya. Memang ada yang agak aneh pada Roman. Meskipun mahasiswa, ia jarang sekali aktif di ruang kuliah dan mengikuti ujian. Yang pasti, penampilannya sangat mewah. Kepalanya botak, badannya kekar, dandanannya perlente. Jam, cincin, kalung emas, nyaris tak pernah lepas dari tubuhnya. Kemi tidak curiga, karena kampus Damai-Sejahtera juga banyak menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi, agama, dan status sosial.
”Baiklah, Kemi, daripada kamu penasaran, saya ceritakan saja apa sebenarnya! Ini sebagai ucapan terimakasih saya, karena bagaimana pun, kamu dan Siti sudah banyak jasanya bagi kami. Tanpa orang-orang seperti kalian, kami tidak banyak mendapat uang yang melimpah.”
Kemi belum paham benar maksud Roman. ”Apa maksud kamu selalu menyebut, ”orang-orang seperti kalian?”
”Ya, orang-orang seperti kamu, Siti, Farsan, Rahmat… santri-santri cerdas.”
”Untuk apa?”
”Ya untuk mencairkan dana-dana asing itu! Kamu ini ngerti atau pura-pura?”
Kemi benar-benar tidak paham masalah ini.
”Baik, dengarkan baik-baik… supaya kamu tidak penasaran! Kamu pasti tahu, sejak Perang Dingin berakhir, negara-negara Barat sudah mengubah politiknya. Mereka tidak lagi mengarahkan politiknya ke komunis. Tapi, berganti mengarah ke Islam. Di situ banyak dana yang tersedia untuk proyek-proyek menjinakkan Islam; sebagaimana dulu mereka lakukan pada komunis.”
”Hubungannya dengan saya?”
”Untuk proyek-proyek ”penjinakan Islam”, agar orang Islam tidak anti-Barat, maka mereka memerlukan santri-santri cerdas, intelektual-intelektual bidang studi Islam, tokoh-tokoh Islam, agar proyek-proyek itu mudah diterima oleh umat Islam. Tidak mungkin orang-orang bule itu sendiri yang turun ke masyarakat atau orang seperti saya datang ke pondok-pondok pesantren.”
”Jadi, dana-dana itu ada motif politiknya?”
”Ya iyalah Kemi…. kamu ini seperti tolol saja! Uang-uang itu mereka kumpulkan dari pajak rakyat mereka, dan harus mereka pertanggung jawabkan. Ini proyek besar. Di sana, banyak juga makelar-makelar proyek. Saya sudah menyelami peluang bisnis ini puluhan tahun…di berbagai negara. Ha-ha-ha, Kemi, ini bisnis besar.”
”Apa kamu bilang, ini bisnis? Bukankah yang kita perjuangkan selama ini adalah ide-ide yang mulia,yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan dan perdamaian umat manusia. Apa benar yang kamu katakan ini? Kalau begitu proyek-proyek HAM, kesetaraan gender, pluralisme, multikulturalisme, semua itu ditujukan untuk bisnis?”
”Ada juga yang tulus memperjuangkan itu semua. Ada yang yakin, itu semua akan membawa perdamaian. Tapi, lihat saja
faktanya. Apa AS dan sekutunya benar-benar tulus menginginkan perdamaian. Lihat proyek mereka di Iraq dan Afghanistan. Mereka mau damai atau mau minyak dan kekayaan alam? Tapi, itu terserah mereka. Itu urusan mereka. Bagi saya, semua ini peluang bisnis. Ini dagang saja! Saya ini pedagang,… ha-ha-ha…” Roman terbahak-bahak. Ia puas menyaksikan Kemi terus terbengong-bengong menyadari posisinya. Ia puas bisa memperdayai manusia-manusia seperti Kemi. Sambil terbahak-bahak, Roman menambah beban kebingungan untuk Kemi:
”Kemi, saya kasih tahu kelemahan kalian. Selain masalah uang, ternyata manusia-manusia seperti kalian mudah terpedaya oleh pujian! Mudah terlena oleh popularitas. Kalian orang kampung! Orang-orang sejenis kalian mudah takluk dengan pujian. Jika sudah bisa masuk televisi, dimuat di media massa, disanjung-sanjung sebagai cendekiawan yang toleran, inklusif, pluralis, dan sebagainya, kalian sudah termehek-mehek… ha-ha-ha…Kalian mau saja dikerjain, disuruh-suruh mengerjakan proyek-proyek mereka…”
”Kamu berarti yang mengatur semua ini! Kamu yang selama ini ngerjain kami?”
”Lho-lho-lho, jangan marah dulu Kemi. Jangan salahkan saya. Kalau saya jelas, saya pedagang. Saya jualan proposal. Saya tahu peluang bisnis! Saya taruh orang di mana-mana, ada di yayasan-yayasan mereka, ada di tempat kalian….ada di pemerintahan.”
”Jadi, Farsan itu orang kalian?”
”Dia juga pedagang… ha-ha-ha… Tapi ia bekerja sendiri…Dia juga licin, seperti belut.”
Kemi mulai paham. Ia terjebak. Ia terjebak utang. Farsan datang menolong. Ia diiming-imingi kuliah gratis; katanya, biar wawasannya bertambah, tidak lagi berwawasan sempit, tetapi sudah menjadi bagian dari masyarakat global.
Kekecewaannya pada Neng Cahaya Imani, karena cintanya tak terbalaskan, mengubah semua rencana awalnya menjadi ustad di pesantren. Soal uang, Kemi tidak serakah. Ia memang ikut menikmati. Ia telah larut dengan aktivitasnya karena berbagai pujian dan popularitas. Kemi mulai sadar akan posisinya. Ia dimanfaatkan oleh Roman untuk menarik dana-dana asing itu. Ternyata, Romanlah yang lebih banyak menikmati kucuran dananya. Ia diperalat…. diperalat untuk mengubah pemikiran para ustad, santri, dan mahasiswa, agar mereka meninggalkan ajaran-ajaran Islam dan ajaran klasik di pesantren untuk kemudian memeluk paham-paham baru yang tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam dan tradisi pesantren.
Kadangkala, tanda tanya memang sempat melintas di benak Kemi, untuk apa negara-negara Barat begitu bersemangat menyebarkan paham-paham sejenis pluralisme agama dan kesetaraan gender ke pesantren-pesantren? Apakah mereka juga berniat untuk amal jariyah? Apakah semua itu bukan bagian dari kebijakan global untuk mengokohkan hegemoni negara-negara Barat atas dunia ketiga? Banyak tanda tanya sempat muncul di benaknya. Tetapi, Kemi tidak berdaya, hanya untuk sekedar berpikir. Sebab, lidahnya sudah tersandera! Ia sudah terlanjur menjadi juru bicara! Ia sudah terlanjur populer. Ia sudah tertawan oleh mulutnya sendiri.
Kemi tertunduk lesu memikirkan semua yang telah dikerjakannya. Tidak mudah lagi mengubah jalan pemikirannya. Sebab, dalam banyak hal, ia sudah meyakini kebenaran ajaran-ajaran pluralisme, kesetaraan gender, di atas ajaran-ajaran Islam yang dia pelajari bertahun-tahun di pesantren. Bahkan, banyak kegiatan yang dilakukan Kemi bukan lagi karena uang, tetapi karena kesadaran dan kerelaannya sendiri. Pemikiran-pemikiran itu sebagian sudah diyakininya. Kemi tidak merasa salah dengan apa yang dilakukannya. Tapi, ia sama sekali tidak sadar, ada bisnis besar di balik semua keterlibatannya. Ia pernah mengatakan pada Rahmat, bahwa ia ikhlas menjadi liberal.
Ujung cerita di novel ini, Kemi akhirnya dihajar habis-habisan oleh anak buah Roman. Ia mengalami gegar otak. Nasibnya berujung ke sebuah rumah sakit jiwa di kawasan Bogor. Tentu, sebaiknya, bacalah novel Kemi, agar mendapatkan gambaran yang utuh tentang masalah manusia-manusia sejenis Kemi, yang mungkin ada di bumi Indonesia. [ Desember 2010 ]
”Kemi, saya kasih tahu kelemahan kalian. Selain masalah uang, ternyata manusia-manusia seperti kalian mudah terpedaya oleh pujian! Mudah terlena oleh popularitas. Kalian orang kampung! Orang-orang sejenis kalian mudah takluk dengan pujian. Jika sudah bisa masuk televisi, dimuat di media massa, disanjung-sanjung sebagai cendekiawan yang toleran, inklusif, pluralis, dan sebagainya, kalian sudah termehek-mehek… ha-ha-ha…Kalian mau saja dikerjain, disuruh-suruh mengerjakan proyek-proyek mereka…”
”Kamu berarti yang mengatur semua ini! Kamu yang selama ini ngerjain kami?”
”Lho-lho-lho, jangan marah dulu Kemi. Jangan salahkan saya. Kalau saya jelas, saya pedagang. Saya jualan proposal. Saya tahu peluang bisnis! Saya taruh orang di mana-mana, ada di yayasan-yayasan mereka, ada di tempat kalian….ada di pemerintahan.”
”Jadi, Farsan itu orang kalian?”
”Dia juga pedagang… ha-ha-ha… Tapi ia bekerja sendiri…Dia juga licin, seperti belut.”
Kemi mulai paham. Ia terjebak. Ia terjebak utang. Farsan datang menolong. Ia diiming-imingi kuliah gratis; katanya, biar wawasannya bertambah, tidak lagi berwawasan sempit, tetapi sudah menjadi bagian dari masyarakat global.
Kekecewaannya pada Neng Cahaya Imani, karena cintanya tak terbalaskan, mengubah semua rencana awalnya menjadi ustad di pesantren. Soal uang, Kemi tidak serakah. Ia memang ikut menikmati. Ia telah larut dengan aktivitasnya karena berbagai pujian dan popularitas. Kemi mulai sadar akan posisinya. Ia dimanfaatkan oleh Roman untuk menarik dana-dana asing itu. Ternyata, Romanlah yang lebih banyak menikmati kucuran dananya. Ia diperalat…. diperalat untuk mengubah pemikiran para ustad, santri, dan mahasiswa, agar mereka meninggalkan ajaran-ajaran Islam dan ajaran klasik di pesantren untuk kemudian memeluk paham-paham baru yang tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam dan tradisi pesantren.
Kadangkala, tanda tanya memang sempat melintas di benak Kemi, untuk apa negara-negara Barat begitu bersemangat menyebarkan paham-paham sejenis pluralisme agama dan kesetaraan gender ke pesantren-pesantren? Apakah mereka juga berniat untuk amal jariyah? Apakah semua itu bukan bagian dari kebijakan global untuk mengokohkan hegemoni negara-negara Barat atas dunia ketiga? Banyak tanda tanya sempat muncul di benaknya. Tetapi, Kemi tidak berdaya, hanya untuk sekedar berpikir. Sebab, lidahnya sudah tersandera! Ia sudah terlanjur menjadi juru bicara! Ia sudah terlanjur populer. Ia sudah tertawan oleh mulutnya sendiri.
Kemi tertunduk lesu memikirkan semua yang telah dikerjakannya. Tidak mudah lagi mengubah jalan pemikirannya. Sebab, dalam banyak hal, ia sudah meyakini kebenaran ajaran-ajaran pluralisme, kesetaraan gender, di atas ajaran-ajaran Islam yang dia pelajari bertahun-tahun di pesantren. Bahkan, banyak kegiatan yang dilakukan Kemi bukan lagi karena uang, tetapi karena kesadaran dan kerelaannya sendiri. Pemikiran-pemikiran itu sebagian sudah diyakininya. Kemi tidak merasa salah dengan apa yang dilakukannya. Tapi, ia sama sekali tidak sadar, ada bisnis besar di balik semua keterlibatannya. Ia pernah mengatakan pada Rahmat, bahwa ia ikhlas menjadi liberal.
Ujung cerita di novel ini, Kemi akhirnya dihajar habis-habisan oleh anak buah Roman. Ia mengalami gegar otak. Nasibnya berujung ke sebuah rumah sakit jiwa di kawasan Bogor. Tentu, sebaiknya, bacalah novel Kemi, agar mendapatkan gambaran yang utuh tentang masalah manusia-manusia sejenis Kemi, yang mungkin ada di bumi Indonesia. [ Desember 2010 ]
LEGENDA-LEGENDA BARAT
Oleh: Adian Husaini
Meskipun peradaban Barat berhasil mencapai kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, tetapi masyarakat Barat ternyata masih tetap terkenal sebagai pemuja legenda atau dongeng-dongeng. Kamus “The American Heritage Dictionary on the English Language”, mengartikan kata “legend” dengan “An unverifiable popular story handed down from the past.” Artinya, “legenda” adalah cerita masa lalu yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Kata ini berasal dari bahasa Latin “legere” yang artinya “to collect”, “to gather”, atau “to read”, yakni “mengumpulkan” atau “membaca”.
Lihatlah deretan judul film-film yang beredar di gedung-gedung biosksop dalam beberapa bulan ini. Penuh dengan cerita-cerita legenda. Film Troy yang bercerita tentang legenda kepahlawanan Achiles dan Agammemnon, di masa Yunani kuno, laris manis diserbu penonton di gedung-gedung bioskop Kuala Lumpur. Penonton harus rela antri untuk dapat menikmati film yang dibintangi oleh Brad Pitt, Orlando Bloom, dan Eric Bana ini.
Film Spiderman 2, juga bukan main hebatnya dalam menyerap penonton. Sampai-sampai penonton dilarang membawa handphone saat masuk ke dalam gedung bioskop (di Malaysia disebut Pawagam). Sementara, sampai 23 Juli 2004, film Spiderman 2 telah maraup keuntungan 15 juta USD (sekitar Rp 140 milyar), masih dibawah perolehan film legenda “Catwoman” yang maraup 16,7 juta USD.
Kini, sedang hangat-hangatnya masyarakat di sini dibuai oleh film King Arthur. Baru diedar bebarapa saat, sampai 23 Juli 2004, King Arthur sudah maraup keuntungan 3,04 juta USD. Film The Passion of The Christ yang begitu kontroversial, berhasil meraup keuntungan 19,2 juta USD, sampai bulan Februari 2004.
Film ini, meskipun didasarkan pada cerita Perjanjian Baru, tetapi juga dibumbui dengan berbagai cerita yang sulit diverifikasi kebenarannya. Film trilogi “The Lord of the Rings”, mampu maraup keuntungan lebih dari 2000 juta USD.
Jauh sebelumnya, berbagai film legenda semacam Rambo, Batman, Superman, dan sebagainya, yang ternyata juga menjadi film-film yang “laku dijual”. Dengan promosi yang sangat dahsyat, film-film itu pun dinikmati oleh banyak umat manusia di belahan dunia lainnya. Mengapa masyarakat Barat menyukai legenda, mitos-mitos, atau mimpi-mimpi? Padahal, ada yang menyebut bahwa cerita-cerita yang menjual mimpi biasanya diproduksi oleh masyarakat tertindas untuk menghibur diri dan membayangkan akan kejayaan di masa yang akan datang.
Cerita-cerita legenda itu biasanya dikaitkan dengan kisah kepahlawanan (epik) untuk membangkitkan moral. Apakah fenomena ini berkaitan dengan masyarakat Barat yang “sakit” dan sedang mengalami krisis dalam hidup? Sebagai peradaban yang sedang berkuasa, Barat terbukti tidak mampu menyelesaikan problema yang dihadapi umat manusia, bahkan probem dirinya sendiri. Mereka dihantui dengan berbagai kecemasan yang tidak berkesudahan. Itu semua karena mereka kehilangan pegangan hidup, setelah menempatkan manusia sebagai “tuhan”.
Terlepas dari hal itu, ada baiknya kita telaah kilasan sejarah tentang berbagai legenda tentang Islam yang hidup di kalangan masyarakat Barat, khususnya di abad pertengahan. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya berjudul “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (1999) mencatat banyak legenda menarik tentang Islam yang populer di kalangan masyarakat Barat di abad pertengahan. Bahkan, meskipun Barat menyerap banyak informasi langsung dari dunia Islam, saat Perang Salib (Crusade), legenda-legenda tentang Islam tetap hidup subur di kalangan masyarakat. “But Western Christian were more likely to hear legends, many of which were brought backs by the Franks who had been to the Holy Land,” tulis Cruz.
Misalnya, legenda bahwa Ida, seorang janda pasukan Salib, dikawini seorang Muslim (Sarancens) dan akhirnya menurunkan seorang anak bernama Zengi. Nama lengkapnya, Nuruddin Zengi. Dalam sejarah, ia adalah paman Shalahuddin al-Ayyubi, yang membalik sejarah Perang Salib, dengan keberhasilannya menaklukkan Edessa dari pasukan Salib (the Franks) pada 1144.
Legenda tentang Shalahu
Oleh: Adian Husaini
Meskipun peradaban Barat berhasil mencapai kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, tetapi masyarakat Barat ternyata masih tetap terkenal sebagai pemuja legenda atau dongeng-dongeng. Kamus “The American Heritage Dictionary on the English Language”, mengartikan kata “legend” dengan “An unverifiable popular story handed down from the past.” Artinya, “legenda” adalah cerita masa lalu yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Kata ini berasal dari bahasa Latin “legere” yang artinya “to collect”, “to gather”, atau “to read”, yakni “mengumpulkan” atau “membaca”.
Lihatlah deretan judul film-film yang beredar di gedung-gedung biosksop dalam beberapa bulan ini. Penuh dengan cerita-cerita legenda. Film Troy yang bercerita tentang legenda kepahlawanan Achiles dan Agammemnon, di masa Yunani kuno, laris manis diserbu penonton di gedung-gedung bioskop Kuala Lumpur. Penonton harus rela antri untuk dapat menikmati film yang dibintangi oleh Brad Pitt, Orlando Bloom, dan Eric Bana ini.
Film Spiderman 2, juga bukan main hebatnya dalam menyerap penonton. Sampai-sampai penonton dilarang membawa handphone saat masuk ke dalam gedung bioskop (di Malaysia disebut Pawagam). Sementara, sampai 23 Juli 2004, film Spiderman 2 telah maraup keuntungan 15 juta USD (sekitar Rp 140 milyar), masih dibawah perolehan film legenda “Catwoman” yang maraup 16,7 juta USD.
Kini, sedang hangat-hangatnya masyarakat di sini dibuai oleh film King Arthur. Baru diedar bebarapa saat, sampai 23 Juli 2004, King Arthur sudah maraup keuntungan 3,04 juta USD. Film The Passion of The Christ yang begitu kontroversial, berhasil meraup keuntungan 19,2 juta USD, sampai bulan Februari 2004.
Film ini, meskipun didasarkan pada cerita Perjanjian Baru, tetapi juga dibumbui dengan berbagai cerita yang sulit diverifikasi kebenarannya. Film trilogi “The Lord of the Rings”, mampu maraup keuntungan lebih dari 2000 juta USD.
Jauh sebelumnya, berbagai film legenda semacam Rambo, Batman, Superman, dan sebagainya, yang ternyata juga menjadi film-film yang “laku dijual”. Dengan promosi yang sangat dahsyat, film-film itu pun dinikmati oleh banyak umat manusia di belahan dunia lainnya. Mengapa masyarakat Barat menyukai legenda, mitos-mitos, atau mimpi-mimpi? Padahal, ada yang menyebut bahwa cerita-cerita yang menjual mimpi biasanya diproduksi oleh masyarakat tertindas untuk menghibur diri dan membayangkan akan kejayaan di masa yang akan datang.
Cerita-cerita legenda itu biasanya dikaitkan dengan kisah kepahlawanan (epik) untuk membangkitkan moral. Apakah fenomena ini berkaitan dengan masyarakat Barat yang “sakit” dan sedang mengalami krisis dalam hidup? Sebagai peradaban yang sedang berkuasa, Barat terbukti tidak mampu menyelesaikan problema yang dihadapi umat manusia, bahkan probem dirinya sendiri. Mereka dihantui dengan berbagai kecemasan yang tidak berkesudahan. Itu semua karena mereka kehilangan pegangan hidup, setelah menempatkan manusia sebagai “tuhan”.
Terlepas dari hal itu, ada baiknya kita telaah kilasan sejarah tentang berbagai legenda tentang Islam yang hidup di kalangan masyarakat Barat, khususnya di abad pertengahan. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya berjudul “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (1999) mencatat banyak legenda menarik tentang Islam yang populer di kalangan masyarakat Barat di abad pertengahan. Bahkan, meskipun Barat menyerap banyak informasi langsung dari dunia Islam, saat Perang Salib (Crusade), legenda-legenda tentang Islam tetap hidup subur di kalangan masyarakat. “But Western Christian were more likely to hear legends, many of which were brought backs by the Franks who had been to the Holy Land,” tulis Cruz.
Misalnya, legenda bahwa Ida, seorang janda pasukan Salib, dikawini seorang Muslim (Sarancens) dan akhirnya menurunkan seorang anak bernama Zengi. Nama lengkapnya, Nuruddin Zengi. Dalam sejarah, ia adalah paman Shalahuddin al-Ayyubi, yang membalik sejarah Perang Salib, dengan keberhasilannya menaklukkan Edessa dari pasukan Salib (the Franks) pada 1144.
Legenda tentang Shalahu
ddin al-Ayyubi – tokoh yang merebut kembali Jerusalem dari the Franks, 1187– bertebaran. Ada cerita tentang Eleanor of Aquitaine, istri Louis VII, yang memiliki affair dengan Shalahuddin. Ada juga legenda, bahwa Shalahuddin adalah keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga legenda bahwa Shalahuddin dibaptis pada akhir hayatnya.
Legenda, bahwa Dome of the Rock di Jerusalem menyimpan banyak berhala sesembahan kaum Muslim. Dan bahwa di Mekah, pendeta murtad bernama Nicholas, dijadikan sesembahan. Pidato Pope Urban II yang terkenal di The Council of Clermont, 25 November 1095, juga menyebarkan banyak legenda tentang Muslim. Di tengah konflik antar masyarakat Eropa ketika itu, Pope Urban II, menggalang sebuah legenda tentang musuh bersama bernama “Turks”. “The Turks”, kata Paus, “adalah bangsa terkutuk.” “Killing these godless monsters was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this vile race from our lands,” katanya.
Seruan The Pope, mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristen bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and the West, Norman Daniel menyebut: “The essence of crusading was to slay for God’s love.” . Maka, saat memasuki Jerusalem, 1099, the Franks melakukan tindakan yang sulit dipercaya. Mereka membantai sekitar 30.000 warganya, Muslim dan Yahudi, termasuk wanita dan anak-anak.
Fulcher of Chartress mencatat: “If you had been there your feet would have been stainen to the ankles in the blood of the slain.” Seorang tentara the Franks menulis dalam Gesta Francorum : “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.”
Sepanjang sejarah, hubungan Islam-Barat diwarnai dan memunculkan banyak legenda. Dokumen Chanson de Roland (sekitar tahun 1100) yang ditemukan di Inggris pada abad ke-19 memberikan gambaran bahwa kaum Muslim adalah penyembah berhala, pengecut, berperang demi kekayaan, tanah, dan perempuan. Dokumen ini bercerita tentang legenda kepahlawanan (epic) Charlemagne yang digambarkan berhasil menaklukkan seluruh Spanyol.
Padahal, pada 778, Charlemagne gagal menjalankan misi membantu gubernur Barcelona dan Saragossa melawan Khalifah Umayyah di Cordoba. Saat pulang, pasukan Charlemagne melakukan pembunuhan dan perampokan di Kota Pamplona. Pasukan Basque/Wascons (Kristen) melakukan pembalasan dan mengalahkan pasukan Charlemagne. “Uniknya” dalam Chanson de Roland, Charlemagne digambarkan telah berhasil menaklukkan semua Spanyol, kecuali Saragossa. Musuh utamanya, bukan pasukan Wascons, tetapi kaum Muslim (Saracens).
Cerita tentang Charlemagne sangat penting disimak dalam sejarah Eropa. Sebab, pada tahun 800, Paus Leo III membuat keputusan besar dalam politik kepausan, dengan meletakkan mahkota kerajaan kepada Charlemagne yang diangkat sebagai “Emperor of the Romans”. Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari Kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) ke Barat.
Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan kemudian juga memicu konflik politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: negara dan Gereja.
Legenda lain yang memberikan gambaran buruk tentang Islam adalah cerita tentang Aymeri of Narbonne dan putranya, William of Orange. Dalam legenda ini, Muslim digambarkan lebih buruk ketimbang yang ada dalam Chanson de Roland. Selain penyembah berhala, Muslim adalah pencipta segala kejahatan, musuh Tuhan, dan pemuja setan. Mereka memakan tawanan perang, mengkhianati perjanjian, dan menjual belikan wanita mereka sendiri. Mereka adalah manusia-manusia kejam, pengkhianat, dan menyembah banyak dewa, seperti Mahomet, Cahu, Apollyon, dan Tervagant.
Dalam banyak aspek, perang melawan terorisme juga diwarnai berbagai legenda. Legenda-legenda tentang ancaman Islam itu terus hidup di benak masyarakat Barat, sehingga begitu peristiwa 11 September
Legenda, bahwa Dome of the Rock di Jerusalem menyimpan banyak berhala sesembahan kaum Muslim. Dan bahwa di Mekah, pendeta murtad bernama Nicholas, dijadikan sesembahan. Pidato Pope Urban II yang terkenal di The Council of Clermont, 25 November 1095, juga menyebarkan banyak legenda tentang Muslim. Di tengah konflik antar masyarakat Eropa ketika itu, Pope Urban II, menggalang sebuah legenda tentang musuh bersama bernama “Turks”. “The Turks”, kata Paus, “adalah bangsa terkutuk.” “Killing these godless monsters was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this vile race from our lands,” katanya.
Seruan The Pope, mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristen bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and the West, Norman Daniel menyebut: “The essence of crusading was to slay for God’s love.” . Maka, saat memasuki Jerusalem, 1099, the Franks melakukan tindakan yang sulit dipercaya. Mereka membantai sekitar 30.000 warganya, Muslim dan Yahudi, termasuk wanita dan anak-anak.
Fulcher of Chartress mencatat: “If you had been there your feet would have been stainen to the ankles in the blood of the slain.” Seorang tentara the Franks menulis dalam Gesta Francorum : “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.”
Sepanjang sejarah, hubungan Islam-Barat diwarnai dan memunculkan banyak legenda. Dokumen Chanson de Roland (sekitar tahun 1100) yang ditemukan di Inggris pada abad ke-19 memberikan gambaran bahwa kaum Muslim adalah penyembah berhala, pengecut, berperang demi kekayaan, tanah, dan perempuan. Dokumen ini bercerita tentang legenda kepahlawanan (epic) Charlemagne yang digambarkan berhasil menaklukkan seluruh Spanyol.
Padahal, pada 778, Charlemagne gagal menjalankan misi membantu gubernur Barcelona dan Saragossa melawan Khalifah Umayyah di Cordoba. Saat pulang, pasukan Charlemagne melakukan pembunuhan dan perampokan di Kota Pamplona. Pasukan Basque/Wascons (Kristen) melakukan pembalasan dan mengalahkan pasukan Charlemagne. “Uniknya” dalam Chanson de Roland, Charlemagne digambarkan telah berhasil menaklukkan semua Spanyol, kecuali Saragossa. Musuh utamanya, bukan pasukan Wascons, tetapi kaum Muslim (Saracens).
Cerita tentang Charlemagne sangat penting disimak dalam sejarah Eropa. Sebab, pada tahun 800, Paus Leo III membuat keputusan besar dalam politik kepausan, dengan meletakkan mahkota kerajaan kepada Charlemagne yang diangkat sebagai “Emperor of the Romans”. Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari Kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) ke Barat.
Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan kemudian juga memicu konflik politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: negara dan Gereja.
Legenda lain yang memberikan gambaran buruk tentang Islam adalah cerita tentang Aymeri of Narbonne dan putranya, William of Orange. Dalam legenda ini, Muslim digambarkan lebih buruk ketimbang yang ada dalam Chanson de Roland. Selain penyembah berhala, Muslim adalah pencipta segala kejahatan, musuh Tuhan, dan pemuja setan. Mereka memakan tawanan perang, mengkhianati perjanjian, dan menjual belikan wanita mereka sendiri. Mereka adalah manusia-manusia kejam, pengkhianat, dan menyembah banyak dewa, seperti Mahomet, Cahu, Apollyon, dan Tervagant.
Dalam banyak aspek, perang melawan terorisme juga diwarnai berbagai legenda. Legenda-legenda tentang ancaman Islam itu terus hidup di benak masyarakat Barat, sehingga begitu peristiwa 11 September
2001 meletus, banyak kaum Muslim mengalami perlakuan tidak manusiawi di Barat. Banyak ilmuwan Barat yang telah membongkar berbagai legenda seputar masalah terorisme.
Siapa yang sebenarnya teroris? Syekh Ahmad Yassin (almarhum) atau Ariel Sharon? Tahun 1980-an, isu terorisme PLO menyita perhatian dunia internasional. Padahal, pada 1982, terjadi pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) oleh Tentara Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.
Kita ingat, bagaimana banyaknya cerita-cerita yang menyeramkan seputar Taliban di Afghanistan diproduksi dan ditulis. Tak lama kemudian, Taliban dihancurkan. Kita ingat, bagaimana legenda tentang senjata pemusnah massal dibuat, sebelum Irak diserang. Kini, sejumlah cendekiawan “neo-konservatif” seperti Bernard Lewis dan juga sejumlah media massa Barat banyak membuat cerita seputar “bahaya Wahabi dan Arab Saudi”. Apakah ini juga pertanda, rezim Wahabi di Arab Saudi berada dalam ancaman?
Majalah Newsweek 28 Juni 2004 menggunakan istilah “the demonizing of Saudi Arabia”. Dulu, Wahabisme disokong Barat (Inggris) untuk melawan Ottoman, dan selama puluh dekade, Barat berada di belakang Saudi. Hubungan khusus AS dan Arab Saudi sudah menjadi rahasia umum. Apakah akan terjadi suatu perubahan besar dalam kebijakan AS terhadap Saudi?
Mari kita lihat dan tunggu, apakah dalam waktu dekat akan beredar luas berbagai “legenda” – melalui surat kabar, majalah, film, dan sebagainya – tentang Arab Saudi dan keluarga kerajaan yang berlimpah dengan kekayaan itu. Sudah terbukti dalam sejarah, legenda sangat ampuh dalam membentuk persepsi masyarakat Barat. Wallahu a’lam. (KL, 30 Juli 2004).
Siapa yang sebenarnya teroris? Syekh Ahmad Yassin (almarhum) atau Ariel Sharon? Tahun 1980-an, isu terorisme PLO menyita perhatian dunia internasional. Padahal, pada 1982, terjadi pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) oleh Tentara Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.
Kita ingat, bagaimana banyaknya cerita-cerita yang menyeramkan seputar Taliban di Afghanistan diproduksi dan ditulis. Tak lama kemudian, Taliban dihancurkan. Kita ingat, bagaimana legenda tentang senjata pemusnah massal dibuat, sebelum Irak diserang. Kini, sejumlah cendekiawan “neo-konservatif” seperti Bernard Lewis dan juga sejumlah media massa Barat banyak membuat cerita seputar “bahaya Wahabi dan Arab Saudi”. Apakah ini juga pertanda, rezim Wahabi di Arab Saudi berada dalam ancaman?
Majalah Newsweek 28 Juni 2004 menggunakan istilah “the demonizing of Saudi Arabia”. Dulu, Wahabisme disokong Barat (Inggris) untuk melawan Ottoman, dan selama puluh dekade, Barat berada di belakang Saudi. Hubungan khusus AS dan Arab Saudi sudah menjadi rahasia umum. Apakah akan terjadi suatu perubahan besar dalam kebijakan AS terhadap Saudi?
Mari kita lihat dan tunggu, apakah dalam waktu dekat akan beredar luas berbagai “legenda” – melalui surat kabar, majalah, film, dan sebagainya – tentang Arab Saudi dan keluarga kerajaan yang berlimpah dengan kekayaan itu. Sudah terbukti dalam sejarah, legenda sangat ampuh dalam membentuk persepsi masyarakat Barat. Wallahu a’lam. (KL, 30 Juli 2004).
Kontradiksi
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Ada dua kesan yang terbersit dari wajah pendukung pluralisme agama: kontradiksi tapi percaya diri! Kontradiksi karena mulutnya berbunyi toleransi tapi sorot matanya menyiratkan relativisme. Percaya diri karena merasa berada di jantung wacana postmodernisme.
Sebenarnya, asal mula makna pluralism adalah toleransi. Dalam Oxford Advanced Learners’s Dictionary of Current English, terbit tahun 1948, makna itu jelas. Pluralisme adalah “suatu prinsip bahwa kelompok-kelompok bebeda tersebut dapat hidup bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat.” Tapi setengah abad kemudian prinsip berubah menjadi relativisme: curiga terhadap konsep “kebenaran”. Buktinya bisa dibaca pada Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn, terbit tahun 1995. Pluralisme adalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. Disinilah kontradiksi itu mulai nampak.
Memang pluralism adalah wacana postmodernisme dan artinya tidak lain kecuali relativisme. Akbar S Ahmed dalam Islam and Postmodernism tegas bahwa postmodernisme dipicu oleh semangat pluralisme (relativisme). Dan, tulisnya, postmodernisme itu dihadapkan secara berlawanan dengan fundamentalisme. Apa itu fundamentalisme? tidak jelas. Dari Cheryl Bernard dalam Civil Democratic Soicety kita baru mafhum artinya adalah keolompok yang menolak kebudayaan Barat. Jika demikian semakin jelas bahwa relativisme adalah faham anti agama-agama.
Tapi bagaimana cara menghadapi agama-agama? Jadikanlah agama sebagai masalah publik yang meresahkan! Buatlah bukti lalu stigma bahwa agama adalah sumber konflik dan kekerasan. Jika perlu konflik antar agama sekecil apapun harus dipublikasikan dan kalau perlu diada-adakan. Begitulah fatwa Bernard.
Hanya anehnya intoleransi dan kekerasan non fisik terhadap agama di Barat tidak dibahas. Di Barat, Muslim, misalnya, tidak mengalami kekerasan fisik, tapi tidak menikmati toleransi sama sekali. Bahkan Muslim kehilangan hampir semua hak asasi publiknya. Menara masjid diharamkan sekaligus suara azannya. Ibadah shalat oleh individu atau jamaah seperti Idul Adha diruang publik haram hukumnya, apalagi istighthah gaya para kyai pesantren.
Sementara di negeri Muslim, khususnya Indonesia, toleransi lebih menonjol. Penganut agama minoritas dapat menikmati kebebasan publik. Dentuman lonceng gereja bebas bersaing dengan suara bedug dan azan. Gebyar natal, nyepi, imlek, galungan bebas dirayakan diruang publik secara nasional, bersaing dengan Idul Fitri. Mimbar agama-agama di TV-TV publik menjadi tontonan yang jamak.
Dari negeri Muslim ini mestinya Barat belajar bertoleransi, dan bukan mengajarkan relativisme. Saya yakin itu. Sebab ketika saya memberi kuliah umum di Universtas Wienna seorang peserta bertanya:”Mengapa anda dapat hidup dengan toleransi seperti itu? Padahal kami disini bertentangga dengan Muslim atau penganut agama lain saja sangat tidak mudah”. Karena Barat sekuler dan seperti kata John Hick, Barat baru mengenal pluralitas agama-agama, jawab saya.
Memang Barat, Islam dan agama-agama perlu saling belajar bertoleransi. Jika pluralisme berarti toleransi maka demi pluralism kita tidak perlu menyamakan Tuhan semua agama dan konsep kepercayaan kepadaNya. Demi pluralisme Barat tidak perlu pergi ke masjid dan ikut sholat atau ikut dikhitan. Sebaliknya, demi pluralism (toleran) Muslim tidak perlu makan daging babi, minum arak, melegalkan praktek lesbi dan homoseks; Demi pluralisme orang Nasrani tidak perlu ikut tahlilan, nyumbang dana untuk kurban atau zakat dan orang Islam rame-rame ikut natalan. Demi pluralisme orang Hindu tidak perlu menghancurkan patung mereka.
Jika pluralisme diartikan relativisme, maka akal sehat akan menolak, karena alasan law of no-contradiction. Jika bagi seorang yang beragama Tuhan itu ada, sedangkan bagi seorang atheist tuhan itu tidak ada…; dan jika dalam ajaran suatu agama Tuhan itu Maha Esa sedangkan bagi penganut ajaran lain tuhan itu tiga atau lebih…; dan jika tuhan bagi suatu agama adalah satu dan tidak seperti manusia sedang dalam kep
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Ada dua kesan yang terbersit dari wajah pendukung pluralisme agama: kontradiksi tapi percaya diri! Kontradiksi karena mulutnya berbunyi toleransi tapi sorot matanya menyiratkan relativisme. Percaya diri karena merasa berada di jantung wacana postmodernisme.
Sebenarnya, asal mula makna pluralism adalah toleransi. Dalam Oxford Advanced Learners’s Dictionary of Current English, terbit tahun 1948, makna itu jelas. Pluralisme adalah “suatu prinsip bahwa kelompok-kelompok bebeda tersebut dapat hidup bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat.” Tapi setengah abad kemudian prinsip berubah menjadi relativisme: curiga terhadap konsep “kebenaran”. Buktinya bisa dibaca pada Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn, terbit tahun 1995. Pluralisme adalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. Disinilah kontradiksi itu mulai nampak.
Memang pluralism adalah wacana postmodernisme dan artinya tidak lain kecuali relativisme. Akbar S Ahmed dalam Islam and Postmodernism tegas bahwa postmodernisme dipicu oleh semangat pluralisme (relativisme). Dan, tulisnya, postmodernisme itu dihadapkan secara berlawanan dengan fundamentalisme. Apa itu fundamentalisme? tidak jelas. Dari Cheryl Bernard dalam Civil Democratic Soicety kita baru mafhum artinya adalah keolompok yang menolak kebudayaan Barat. Jika demikian semakin jelas bahwa relativisme adalah faham anti agama-agama.
Tapi bagaimana cara menghadapi agama-agama? Jadikanlah agama sebagai masalah publik yang meresahkan! Buatlah bukti lalu stigma bahwa agama adalah sumber konflik dan kekerasan. Jika perlu konflik antar agama sekecil apapun harus dipublikasikan dan kalau perlu diada-adakan. Begitulah fatwa Bernard.
Hanya anehnya intoleransi dan kekerasan non fisik terhadap agama di Barat tidak dibahas. Di Barat, Muslim, misalnya, tidak mengalami kekerasan fisik, tapi tidak menikmati toleransi sama sekali. Bahkan Muslim kehilangan hampir semua hak asasi publiknya. Menara masjid diharamkan sekaligus suara azannya. Ibadah shalat oleh individu atau jamaah seperti Idul Adha diruang publik haram hukumnya, apalagi istighthah gaya para kyai pesantren.
Sementara di negeri Muslim, khususnya Indonesia, toleransi lebih menonjol. Penganut agama minoritas dapat menikmati kebebasan publik. Dentuman lonceng gereja bebas bersaing dengan suara bedug dan azan. Gebyar natal, nyepi, imlek, galungan bebas dirayakan diruang publik secara nasional, bersaing dengan Idul Fitri. Mimbar agama-agama di TV-TV publik menjadi tontonan yang jamak.
Dari negeri Muslim ini mestinya Barat belajar bertoleransi, dan bukan mengajarkan relativisme. Saya yakin itu. Sebab ketika saya memberi kuliah umum di Universtas Wienna seorang peserta bertanya:”Mengapa anda dapat hidup dengan toleransi seperti itu? Padahal kami disini bertentangga dengan Muslim atau penganut agama lain saja sangat tidak mudah”. Karena Barat sekuler dan seperti kata John Hick, Barat baru mengenal pluralitas agama-agama, jawab saya.
Memang Barat, Islam dan agama-agama perlu saling belajar bertoleransi. Jika pluralisme berarti toleransi maka demi pluralism kita tidak perlu menyamakan Tuhan semua agama dan konsep kepercayaan kepadaNya. Demi pluralisme Barat tidak perlu pergi ke masjid dan ikut sholat atau ikut dikhitan. Sebaliknya, demi pluralism (toleran) Muslim tidak perlu makan daging babi, minum arak, melegalkan praktek lesbi dan homoseks; Demi pluralisme orang Nasrani tidak perlu ikut tahlilan, nyumbang dana untuk kurban atau zakat dan orang Islam rame-rame ikut natalan. Demi pluralisme orang Hindu tidak perlu menghancurkan patung mereka.
Jika pluralisme diartikan relativisme, maka akal sehat akan menolak, karena alasan law of no-contradiction. Jika bagi seorang yang beragama Tuhan itu ada, sedangkan bagi seorang atheist tuhan itu tidak ada…; dan jika dalam ajaran suatu agama Tuhan itu Maha Esa sedangkan bagi penganut ajaran lain tuhan itu tiga atau lebih…; dan jika tuhan bagi suatu agama adalah satu dan tidak seperti manusia sedang dalam kep