JANGAN MENFITNAH BUYA HAMKA!
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pekan lalu, sebuah berita gembira saya terima. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta telah mendirikan sebuah pusat studi bernama Pusat Kajian Buya Hamka (PKBH). Dalam rangka menyongsong peringatan 100 tahun Hamka, yang akan jatuh pada 17 Februari 2008, PKBH akan menerbitkan sebuah buku berjudul Mengenang 100 Tahun Buya Hamka. Saya diminta berpartisipasi untuk menulis satu artikel dalam buku tersebut.
Bagi kita, nama Hamka tidaklah asing. Dalam beberapa kali catatan, kita mengulas atau mengutip pendapat-pendapat Hamka. Semasa hidupnya, Hamka telah menulis sekitar 118 karya dalam berbagai bidang, baik sastra, sejarah, tasauf, etika, tafsir, dan sebagainya. Karya besarnya adalah Tafsir al-Azhar, yang ditulisnya semasa dalam tahanan rezim Orde Lama. Atas karya-karyanya, Hamka diangkat sebagai guru besar bidang tasauf di PTAIN Yogyakarta (1958), mendapat gelar Dr. HC bidang agama dari Universitas Al-Azhar Mesir (1958) dan bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia.
Berbagai kalangan diminta menyumbangkan tulisannya untuk buku Mengenang 100 Tahun Buya Hamka. Diantaranya, Prof. Dr. A. Malik Fadjar, Ali Sadikin, Prof. KH Ali Yafie, Prof. Dr. Amin Rais, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Emha Ainun Najib, Harmoko (mantan Menteri era Orde Baru), KH Hasyim Muzadi, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Dr. M. Syafii Anwar, Henny Purwonegoro, Mieke Widjaya, dan banyak lagi yang lainnya. Jumlahnya sekitar 100 orang. Dengan penulisan buku seperti ini, barangkali panitia mengharapkan, akan tergambar sosok Hamka yang ketokohannya diakui oleh berbagai kalangan masyarakat dengan corak serta aliran pemikiran.
Harapan kita, mudah-mudahan buku itu nantinya akan memberikan gambaran yang benar terhadap sosok Hamka dan pemikirannya. Jangan sampai, sosok dan pemikiran Hamka dipersepsikan dengan keliru, sehingga menjadi fitnah bagi Hamka. Kita pernah membahas, bagaimana seorang doktor penyebar paham Pluralis Agama di Indonesia, dengan gegabah mengutip Tafsir al-Manar, dan menyebut Rasyid Ridha sebagai pendukung paham Pluralisme Agama. Meskipun sudah kita koreksi dan kita tunjukkan kekeliruannya, sang doktor itu enggan mengoreksi bukunya. Ilmuwan-ilmuwan model seperti ini, meskipun dikenal cerdik, sulit dipercaya lagi kejujurannya.
Kita juga pernah membahas, ada sejumlah penulis yang keliru entah sengaja atau tidak -- dalam mengungkapkan pemikiran Hamka. Bahkan, ada yang sengaja memanipulasi pendapat Hamka, sehingga, seolah-olah Hamka adalah seorang pendukung paham Pluralisme Agama. Sebagai contoh, sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Universitas Paramadina berjudul Bayang-bayang Fanatisisme: Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (2007). Buku ini diberi kata pengantar oleh Dawam Rahardjo, dengan editor Abd. Hakim dan Yudi Latif.
Seperti sejumlah buku terbitan Paramadina lainnya, buku berupa kumpulan tulisan berbagai penulis ini juga secara besar-besaran mempromosikan paham Pluralisme Agama. Sebagai misal, dalam artikelnya yang berjudul Mengapa Membumikan Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di Indonesia?, Muhammad Ali, dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, menulis:
Al-Quran juga menjelaskan dalam banyak ayat-ayatnya adanya persaudaraan hanafiyyah samhah dan persaudaraan kemanusiaan. Dalam konsep al-Quran, penganut agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah saudara seiman dan sebapak, Ibrahim, meskipun mereka saling berselisih dalam sejarahnya. Agama-agama mereka adalah satu dan berasal dari satu Tuhan. Lebih luas lagi bahkan, selain Yahudi dan Kristen, Islam juga bersaudara dengan seluruh penganut keberagamaan yang benar, yang tidak sombong dan tidak berbuat kerusakan. Tuhan menurunkan ratusan ribu nabi-nabi dan rasul-rasul yang tidak diceritakan siapa mereka. Karenanya tidak ada alasan untuk mengafirkan dan mengutuk masuk neraka Konfusianisme, Buddha, Mirza Ghulam Ahmad, dan penganut-penganut keyakinan lainnya. Apalagi al-Quran juga menjelaskan, tidak ada perbedaan antar para nabi dan perbedaan dan perselisihan antar-umat beragama harus diserahkan k
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pekan lalu, sebuah berita gembira saya terima. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta telah mendirikan sebuah pusat studi bernama Pusat Kajian Buya Hamka (PKBH). Dalam rangka menyongsong peringatan 100 tahun Hamka, yang akan jatuh pada 17 Februari 2008, PKBH akan menerbitkan sebuah buku berjudul Mengenang 100 Tahun Buya Hamka. Saya diminta berpartisipasi untuk menulis satu artikel dalam buku tersebut.
Bagi kita, nama Hamka tidaklah asing. Dalam beberapa kali catatan, kita mengulas atau mengutip pendapat-pendapat Hamka. Semasa hidupnya, Hamka telah menulis sekitar 118 karya dalam berbagai bidang, baik sastra, sejarah, tasauf, etika, tafsir, dan sebagainya. Karya besarnya adalah Tafsir al-Azhar, yang ditulisnya semasa dalam tahanan rezim Orde Lama. Atas karya-karyanya, Hamka diangkat sebagai guru besar bidang tasauf di PTAIN Yogyakarta (1958), mendapat gelar Dr. HC bidang agama dari Universitas Al-Azhar Mesir (1958) dan bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia.
Berbagai kalangan diminta menyumbangkan tulisannya untuk buku Mengenang 100 Tahun Buya Hamka. Diantaranya, Prof. Dr. A. Malik Fadjar, Ali Sadikin, Prof. KH Ali Yafie, Prof. Dr. Amin Rais, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Emha Ainun Najib, Harmoko (mantan Menteri era Orde Baru), KH Hasyim Muzadi, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Dr. M. Syafii Anwar, Henny Purwonegoro, Mieke Widjaya, dan banyak lagi yang lainnya. Jumlahnya sekitar 100 orang. Dengan penulisan buku seperti ini, barangkali panitia mengharapkan, akan tergambar sosok Hamka yang ketokohannya diakui oleh berbagai kalangan masyarakat dengan corak serta aliran pemikiran.
Harapan kita, mudah-mudahan buku itu nantinya akan memberikan gambaran yang benar terhadap sosok Hamka dan pemikirannya. Jangan sampai, sosok dan pemikiran Hamka dipersepsikan dengan keliru, sehingga menjadi fitnah bagi Hamka. Kita pernah membahas, bagaimana seorang doktor penyebar paham Pluralis Agama di Indonesia, dengan gegabah mengutip Tafsir al-Manar, dan menyebut Rasyid Ridha sebagai pendukung paham Pluralisme Agama. Meskipun sudah kita koreksi dan kita tunjukkan kekeliruannya, sang doktor itu enggan mengoreksi bukunya. Ilmuwan-ilmuwan model seperti ini, meskipun dikenal cerdik, sulit dipercaya lagi kejujurannya.
Kita juga pernah membahas, ada sejumlah penulis yang keliru entah sengaja atau tidak -- dalam mengungkapkan pemikiran Hamka. Bahkan, ada yang sengaja memanipulasi pendapat Hamka, sehingga, seolah-olah Hamka adalah seorang pendukung paham Pluralisme Agama. Sebagai contoh, sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Universitas Paramadina berjudul Bayang-bayang Fanatisisme: Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (2007). Buku ini diberi kata pengantar oleh Dawam Rahardjo, dengan editor Abd. Hakim dan Yudi Latif.
Seperti sejumlah buku terbitan Paramadina lainnya, buku berupa kumpulan tulisan berbagai penulis ini juga secara besar-besaran mempromosikan paham Pluralisme Agama. Sebagai misal, dalam artikelnya yang berjudul Mengapa Membumikan Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di Indonesia?, Muhammad Ali, dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, menulis:
Al-Quran juga menjelaskan dalam banyak ayat-ayatnya adanya persaudaraan hanafiyyah samhah dan persaudaraan kemanusiaan. Dalam konsep al-Quran, penganut agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah saudara seiman dan sebapak, Ibrahim, meskipun mereka saling berselisih dalam sejarahnya. Agama-agama mereka adalah satu dan berasal dari satu Tuhan. Lebih luas lagi bahkan, selain Yahudi dan Kristen, Islam juga bersaudara dengan seluruh penganut keberagamaan yang benar, yang tidak sombong dan tidak berbuat kerusakan. Tuhan menurunkan ratusan ribu nabi-nabi dan rasul-rasul yang tidak diceritakan siapa mereka. Karenanya tidak ada alasan untuk mengafirkan dan mengutuk masuk neraka Konfusianisme, Buddha, Mirza Ghulam Ahmad, dan penganut-penganut keyakinan lainnya. Apalagi al-Quran juga menjelaskan, tidak ada perbedaan antar para nabi dan perbedaan dan perselisihan antar-umat beragama harus diserahkan k
epada Tuhan saja. (hal. 256).
Kita tentu sulit memahami, apa sebenarnya isi kepala dosen ushuluddin UIN Jakarta yang sedang mengambil doktor di Hawai, USA, ini. Kaca mata apa dan konsep apa yang dipakai untuk membaca ayat-ayat al-Quran. Padahal, dalam surat al-Fatihah saja, sudah disebutkan ada jalan yang lurus (shirathal mustaqim), dan ada jalan orang-orang yang dimurkai Allah dan ada jalan orang-orang yang sesat. Begitu banyak ayat al-Quran yang menjelaskan, lengkap dengan ciri-cirinya, siapa yang disebut mukmin, siapa kafir, dan siapa munafik.
Kita tidak perlu menguraikan lebih jauh kekeliruan pemikiran dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini. Sebab, disamping sangat kacau, juga sangat naif. Kita hanya patut mengajukan pertanyaan kepada keluarga dan pimpinan UIN Jakarta, jika Muhammad Ali menyebut kaum Yahudi, Nasrani, dan sebagainya saudara seiman, bagaimana jika dia meninggal nanti, maka jenazahnya dikuburkan saja di pemakaman Yahudi atau Kristen? Atau jenazahnya ditaruh di bawah pohon sebagaimana tradisi satu agama suku di Indonesia?
Yang lebih menyedihkan adalah artikel berjudul Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah, ditulis oleh Ayang Utriza NWAY, seorang alumnus Fakultas Syariah UIN Jakarta, yang menyelesaikan masternya di Paris. Sebagaimana banyak penganut paham Pluralisme Agama, penulis ini juga menggunakan QS Al-Baqarah ayat 62 sebagai rujukan pendapatnya. Celakanya, dia mengutip pendapat Hamka dalam Tafsir al-Azhar secara serampangan, lalu membuat kesimpulan yang menyesatkan. Dia menulis dalam artikel ini:
Buya Hamka dengan sangat mengagumkan menafsirkan ayat ini. Ia menulis Kesan pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup berdampingan secara damai di antara pemeluk sekalian agama dan dunia ini [...]. Ayat ini sudah jelas menganjurkan persatuan agama, jangan agama dipertahankan sebagai golongan, melainkan hendaklah selalu menyiapkan jiwa mencari dengan otak dingin, manakah dia hakikat kebenaran. Iman kepada Allah dan Hari Akhirat, diikuti amal saleh. Kita tidak akan bertemu suatu ayat yang begini penuh dengan toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam al-Quran. Suatu hal yang amat perlu dalam dunia modern. Lebih jauh Buya Hamka mengutip hadits yang diriwayatkan dari Ibn Abi Hatim dari Salman al-Farisi yang bertanya kepada Rasulullah tentang agama mana yang paling benar dari semua agama yang pernah dimasuki olehnya: Majusi, Nasrani, dan Islam. Rasulullah menjawab dengan QS 2:62 tersebut. (hal. 306-307).
Lalu, penulis yang juga peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina ini, mengutip pendapat Hamka yang tidak setuju dengan pendapat Ibn Abbas bahwa QS 2:62 itu sudah dinasakh oleh QS 3:85.
Buya Hamka menyatakan: Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan (dihapus) oleh ayat 85 surat Ali Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk dia saja [...].
Yang kemudian sangat sembrono dan tidak etis, adalah kesimpulan yang dibuat oleh penulis, bahwa:
Ini berarti bahwa walaupun seseorang mengaku beragama Islam, yang hanya bermodalkan dua kalimat syahadat, tetapi tidak pernah menjalankan rukun Islam, maka ia tidak akan pernah mendapat ganjaran dari Allah, yaitu surga. Sebaliknya jika ada non-Muslim yang taat dan patuh menjalankan ajaran agamanya, walaupun tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia akan mendapatkan ganjaran dari Allah: surga. (hal. 307).
Sebenarnya, jika seorang peneliti dan penulis yang jujur dalam membaca penafsiran Hamka terhadap QS 2:62, pastilah tidak akan membuat kesimpulan seperti itu. Sebab, Hamka memang tidak menyimpulkan seperti itu. Dalam tafsirnya, Hamka menulis tentang hadits Ibn Abi Hatim sebagai berikut:
Telah meriwayatkan Ibnu Abi Hatim daripada Salman, berkata Salman, bahwasanya aku telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. dari hal pemeluk-pemeluk agama yang telah pernah aku masuki, lalu aku uraikan kepada beliau bagaimana cara sembahyang mereka masing-masing dan cara ibadah mereka masing-masing. Lalu aku minta kepada beliau ma
Kita tentu sulit memahami, apa sebenarnya isi kepala dosen ushuluddin UIN Jakarta yang sedang mengambil doktor di Hawai, USA, ini. Kaca mata apa dan konsep apa yang dipakai untuk membaca ayat-ayat al-Quran. Padahal, dalam surat al-Fatihah saja, sudah disebutkan ada jalan yang lurus (shirathal mustaqim), dan ada jalan orang-orang yang dimurkai Allah dan ada jalan orang-orang yang sesat. Begitu banyak ayat al-Quran yang menjelaskan, lengkap dengan ciri-cirinya, siapa yang disebut mukmin, siapa kafir, dan siapa munafik.
Kita tidak perlu menguraikan lebih jauh kekeliruan pemikiran dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini. Sebab, disamping sangat kacau, juga sangat naif. Kita hanya patut mengajukan pertanyaan kepada keluarga dan pimpinan UIN Jakarta, jika Muhammad Ali menyebut kaum Yahudi, Nasrani, dan sebagainya saudara seiman, bagaimana jika dia meninggal nanti, maka jenazahnya dikuburkan saja di pemakaman Yahudi atau Kristen? Atau jenazahnya ditaruh di bawah pohon sebagaimana tradisi satu agama suku di Indonesia?
Yang lebih menyedihkan adalah artikel berjudul Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah, ditulis oleh Ayang Utriza NWAY, seorang alumnus Fakultas Syariah UIN Jakarta, yang menyelesaikan masternya di Paris. Sebagaimana banyak penganut paham Pluralisme Agama, penulis ini juga menggunakan QS Al-Baqarah ayat 62 sebagai rujukan pendapatnya. Celakanya, dia mengutip pendapat Hamka dalam Tafsir al-Azhar secara serampangan, lalu membuat kesimpulan yang menyesatkan. Dia menulis dalam artikel ini:
Buya Hamka dengan sangat mengagumkan menafsirkan ayat ini. Ia menulis Kesan pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup berdampingan secara damai di antara pemeluk sekalian agama dan dunia ini [...]. Ayat ini sudah jelas menganjurkan persatuan agama, jangan agama dipertahankan sebagai golongan, melainkan hendaklah selalu menyiapkan jiwa mencari dengan otak dingin, manakah dia hakikat kebenaran. Iman kepada Allah dan Hari Akhirat, diikuti amal saleh. Kita tidak akan bertemu suatu ayat yang begini penuh dengan toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam al-Quran. Suatu hal yang amat perlu dalam dunia modern. Lebih jauh Buya Hamka mengutip hadits yang diriwayatkan dari Ibn Abi Hatim dari Salman al-Farisi yang bertanya kepada Rasulullah tentang agama mana yang paling benar dari semua agama yang pernah dimasuki olehnya: Majusi, Nasrani, dan Islam. Rasulullah menjawab dengan QS 2:62 tersebut. (hal. 306-307).
Lalu, penulis yang juga peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina ini, mengutip pendapat Hamka yang tidak setuju dengan pendapat Ibn Abbas bahwa QS 2:62 itu sudah dinasakh oleh QS 3:85.
Buya Hamka menyatakan: Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan (dihapus) oleh ayat 85 surat Ali Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk dia saja [...].
Yang kemudian sangat sembrono dan tidak etis, adalah kesimpulan yang dibuat oleh penulis, bahwa:
Ini berarti bahwa walaupun seseorang mengaku beragama Islam, yang hanya bermodalkan dua kalimat syahadat, tetapi tidak pernah menjalankan rukun Islam, maka ia tidak akan pernah mendapat ganjaran dari Allah, yaitu surga. Sebaliknya jika ada non-Muslim yang taat dan patuh menjalankan ajaran agamanya, walaupun tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia akan mendapatkan ganjaran dari Allah: surga. (hal. 307).
Sebenarnya, jika seorang peneliti dan penulis yang jujur dalam membaca penafsiran Hamka terhadap QS 2:62, pastilah tidak akan membuat kesimpulan seperti itu. Sebab, Hamka memang tidak menyimpulkan seperti itu. Dalam tafsirnya, Hamka menulis tentang hadits Ibn Abi Hatim sebagai berikut:
Telah meriwayatkan Ibnu Abi Hatim daripada Salman, berkata Salman, bahwasanya aku telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. dari hal pemeluk-pemeluk agama yang telah pernah aku masuki, lalu aku uraikan kepada beliau bagaimana cara sembahyang mereka masing-masing dan cara ibadah mereka masing-masing. Lalu aku minta kepada beliau ma
nakah yang benar. Maka beliau jawablah pertanyaanku itu dengan ayat: Innalladzina amanu wal-ladzina hadu dan seterusnya itu.
Artinya ialah bahwa perlainan cara sembahyang atau cara ibadah adalah hal lumrah bagi berbagai ragam pemeluk agama, karena syariat berubah sebab perubahan zaman. Tetapi manusia tidak boleh membeku disatu tempat, dengan tidak mau menambah penyelidikannya, sehingga bertemu dengan hakikat yang sejati, lalu menyerah kepada Tuhan dengan sebulat hati. Menyerah dengan hati puas. Itulah dia Islam. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu I, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) hal. 216).
Hamka sangat menekankan bahwa makna iman sejati adalah beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, dan beramal shalih. Jadi, formalitas Islam, atau mengaku-aku Islam saja tanpa diikuti dengan keyakinan yang mendalam dan amal shalih -- memang tidak menjamin keselamatan di akhirat. Siapa pun akan setuju dengan kesimpulan Hamka ini. Tetapi, perlu dicatat, Hamka sama sekali tidak berpendapat, bahwa kaum Yahudi, Kristen, Shabiin, dan lain-lain, semuanya akan masuk surga, tanpa perlu masuk Islam dan beriman kepada Nabi Muhammad saw dan beriman kepada al-Quran. Hamka menulis:
Beriman kepada Allah niscaya menyebabkan iman pula kepada segala wahyu yang diturunkan Allah kepada para RasulNya; tidak membeda-bedakan diantara satu Rasul dengan Rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang diturunkan. (Ibid, hal. 213).
Justru disinilah persolan bagi kaum Yahudi dan Kristen, karena mereka menolak kenabian Muhammad saw dan kebenaran al-Quran. Karena itu, dalam tafsirnya ini, Hamka juga mengutip hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Muslim:
Berkata Rasulullah s.a.w.: Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.
Lalu, selanjutnya, Hamka menjelaskan makna hadits Rasul saw tersebut:
Dengan hadits ini jelaslah bahwa kedatangan nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup sekalian Nabi (Khatimil Anbiyaa) membawa Al-Quran sebagai penutup sekalian Wahyu, bahwa kesatuan ummat manusia dengan kesatuan ajaran Allah digenap dan disempurnakan. Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka, orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa. Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. Sebab iman mereka kepada Allah tidak sempurna, mereka menolak kebenaran seorang daripada Nabi Allah. (Ibid, hal. 217-218).
Inilah penafsiran Hamka tentang QS 2:62, yang telah dikutip dan disimpulkan secara keliru oleh peneliti Paramadina yang mengaku pernah kuliah pasca sarjana di Universitas Al-Azhar Kairo. Kita sangat menyesalkan cara-cara seperti ini, yang jauh dari etika ilmiah. Apalagi, buku ini dimaksudkan untuk mengenang orang yang disanjung-sanjung oleh kaum liberal sebagai salah satu cendekiawan terkemuka di Indonesia. Kita gembira dengan banyaknya orang yang menulis tentang Hamka, tetapi kita berharap mereka jujur dan cermat dalam menulis. Pemikiran dan kiprah perjuangan Buya Hamka jelas amat sangat jauh bedanya dengan kaum Pluralis Agama yang menyatakan bahwa kaum Yahudi, Kristen, dan sebagainya, adalah saudara seiman mereka.
Jadi, kita memohon, jangan lagi menfitnah Buya Hamka! Nanti bisa celaka di dunia dan Akhir Masa. Wallahu Alam. (Jakarta, 28 Desember 2007).
----------------------------------------
Informasi buku-buku karya Buya Hamka:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1078096622291417&substory_index=0&id=212684542165967
Artinya ialah bahwa perlainan cara sembahyang atau cara ibadah adalah hal lumrah bagi berbagai ragam pemeluk agama, karena syariat berubah sebab perubahan zaman. Tetapi manusia tidak boleh membeku disatu tempat, dengan tidak mau menambah penyelidikannya, sehingga bertemu dengan hakikat yang sejati, lalu menyerah kepada Tuhan dengan sebulat hati. Menyerah dengan hati puas. Itulah dia Islam. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu I, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) hal. 216).
Hamka sangat menekankan bahwa makna iman sejati adalah beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, dan beramal shalih. Jadi, formalitas Islam, atau mengaku-aku Islam saja tanpa diikuti dengan keyakinan yang mendalam dan amal shalih -- memang tidak menjamin keselamatan di akhirat. Siapa pun akan setuju dengan kesimpulan Hamka ini. Tetapi, perlu dicatat, Hamka sama sekali tidak berpendapat, bahwa kaum Yahudi, Kristen, Shabiin, dan lain-lain, semuanya akan masuk surga, tanpa perlu masuk Islam dan beriman kepada Nabi Muhammad saw dan beriman kepada al-Quran. Hamka menulis:
Beriman kepada Allah niscaya menyebabkan iman pula kepada segala wahyu yang diturunkan Allah kepada para RasulNya; tidak membeda-bedakan diantara satu Rasul dengan Rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang diturunkan. (Ibid, hal. 213).
Justru disinilah persolan bagi kaum Yahudi dan Kristen, karena mereka menolak kenabian Muhammad saw dan kebenaran al-Quran. Karena itu, dalam tafsirnya ini, Hamka juga mengutip hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Muslim:
Berkata Rasulullah s.a.w.: Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.
Lalu, selanjutnya, Hamka menjelaskan makna hadits Rasul saw tersebut:
Dengan hadits ini jelaslah bahwa kedatangan nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup sekalian Nabi (Khatimil Anbiyaa) membawa Al-Quran sebagai penutup sekalian Wahyu, bahwa kesatuan ummat manusia dengan kesatuan ajaran Allah digenap dan disempurnakan. Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka, orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa. Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. Sebab iman mereka kepada Allah tidak sempurna, mereka menolak kebenaran seorang daripada Nabi Allah. (Ibid, hal. 217-218).
Inilah penafsiran Hamka tentang QS 2:62, yang telah dikutip dan disimpulkan secara keliru oleh peneliti Paramadina yang mengaku pernah kuliah pasca sarjana di Universitas Al-Azhar Kairo. Kita sangat menyesalkan cara-cara seperti ini, yang jauh dari etika ilmiah. Apalagi, buku ini dimaksudkan untuk mengenang orang yang disanjung-sanjung oleh kaum liberal sebagai salah satu cendekiawan terkemuka di Indonesia. Kita gembira dengan banyaknya orang yang menulis tentang Hamka, tetapi kita berharap mereka jujur dan cermat dalam menulis. Pemikiran dan kiprah perjuangan Buya Hamka jelas amat sangat jauh bedanya dengan kaum Pluralis Agama yang menyatakan bahwa kaum Yahudi, Kristen, dan sebagainya, adalah saudara seiman mereka.
Jadi, kita memohon, jangan lagi menfitnah Buya Hamka! Nanti bisa celaka di dunia dan Akhir Masa. Wallahu Alam. (Jakarta, 28 Desember 2007).
----------------------------------------
Informasi buku-buku karya Buya Hamka:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1078096622291417&substory_index=0&id=212684542165967
MENDUDUKKAN ORIENTALIS
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kajian berbagai bidang keilmuan, termasuk bidang Islamic Studies, harus diakui, Barat/orientalis telah mencapai tahap perkembangan besar dengan segala motifnya, baik motif keilmuan, keagamaan, ataupun motif politik-ekonomi. Karena itulah, sikap kritis sangat diperlukan.
Masalahnya adalah bagaimana dapat bersikap kritis? Apa metodologi dan bekal untuk bersikap kritis? Tanpa penguasaan yang baik terhadap kedua khazanah: Islam dan Barat, maka sulit diharapkan, akan muncul sikap kritis yang benar. Bisa-bisa yang terjadi sebaliknya: menyangka telah bersikap kritis, tetapi justru yang terjadi adalah mengkritisi Islam dengan cara pandang non-Muslim.
Al-Attas bahkan menyatakan bahwa kita tidak akan dapat mengetahui masalah yang dihadapi umat Islam jika tidak mengetahui perbedaan Islam dan Barat. Namun ia tidak berbicara Barat dalam pengertian politik. Apa yang ia tekankan adalah dalam aspek pemikiran atau secara umum aspek pandangan hidup.
Terdapat perbedaan bahkan pertentangan permanen antara pandangan hidup Islam dan Barat. Oleh sebab itu jika kita mempelajari pemikiran orang Barat, khususnya orientalis, kita perlu mengkaji pula pandangan hidup yang menjadi asumsi dasar pemikiran tersebut. Pandangan hidup yang dimaksud terdiri dari konsep Tuhan, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep kenabian, konsep alam dan lain-lain.
Pada dasarnya, tidak ada perubahan yang signifikan dan substansial antara orientalis dulu dan sekarang. Malah, Shireen T. Hunter, dalam satu tulisannya berjudul The Rise of Islamic Movements and The Western Response: Clash of Civilizations or Clash of Interests?”, menyebut, ilmuwan kontemporer seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran “neo-Orientalist” yang berbeda dengan aliran neo-Third-World. Pola pikir “neo-Orientalist” Lewis itulah yang mewarnai isi buku barunya, The Crisis of Islam, yang begitu banyak membela politik neo-Konservatif AS.
Singkatnya, kajian-kajian keislaman para orientalis bagaimanapun ilmiahnya, ia tetap berpijak pada pre-supposisi Barat, dan terkadang Kristen. Prinsip dasar bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan al-Qur’an adalah firman Allah tidak menjadi asas bagi kajian mereka.
Ini bisa dipahami, sebab dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad berarti mereka mengakui Islam sebagai agama terakhir. Mereka tidak mungkin pula mengakui al-Qur’an sebagai firman Allah.
Sebab al-Qur’an memuat banyak kecaman terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi dan Nasrani, seperti: "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam", (al-Maidah, 5: 17 dan juga 5: 72); "Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga".(al-Maidah (5: 73); "Dan karena ucapan mereka sesungguhnya kami telah membunuh Isa al-masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (al-Nisa 4: 157) dan berbagai ayat lainnya.
Kandungan al-Qur'an yang mengecam ajaran Yahudi dan Kristen seperti itu jelas akan menuai reaksi balik sepanjang masa. Seorang Kaisar Bizantin, Leo III (717-741 M.), misalnya, telah menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M) telah mengubah al-Qur’an (Arthur Jeffery, "Ghevond's Text of the Correspondence between Umar II and Leo III, Harvard Theological Review, p. 269-332).
Peter, pendeta di Maimuma, pada tahun 743 menyebut Rasulullah SAW sebagai nabi palsu. Yahya al-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (m. 750) juga menulis dalam bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen ortodoks bahwa Islam mengajarkan anti-Kristus.
John of Damascus berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh. Dengan liciknya, katanya, Muhammad bisa mengawini Khadijah sehingga mendapat kekayaan dan kesenangan. Dengan cerdasnya, Muhammad menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Muhammad memiliki hobi perang karena nafsu seksnya tidak
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kajian berbagai bidang keilmuan, termasuk bidang Islamic Studies, harus diakui, Barat/orientalis telah mencapai tahap perkembangan besar dengan segala motifnya, baik motif keilmuan, keagamaan, ataupun motif politik-ekonomi. Karena itulah, sikap kritis sangat diperlukan.
Masalahnya adalah bagaimana dapat bersikap kritis? Apa metodologi dan bekal untuk bersikap kritis? Tanpa penguasaan yang baik terhadap kedua khazanah: Islam dan Barat, maka sulit diharapkan, akan muncul sikap kritis yang benar. Bisa-bisa yang terjadi sebaliknya: menyangka telah bersikap kritis, tetapi justru yang terjadi adalah mengkritisi Islam dengan cara pandang non-Muslim.
Al-Attas bahkan menyatakan bahwa kita tidak akan dapat mengetahui masalah yang dihadapi umat Islam jika tidak mengetahui perbedaan Islam dan Barat. Namun ia tidak berbicara Barat dalam pengertian politik. Apa yang ia tekankan adalah dalam aspek pemikiran atau secara umum aspek pandangan hidup.
Terdapat perbedaan bahkan pertentangan permanen antara pandangan hidup Islam dan Barat. Oleh sebab itu jika kita mempelajari pemikiran orang Barat, khususnya orientalis, kita perlu mengkaji pula pandangan hidup yang menjadi asumsi dasar pemikiran tersebut. Pandangan hidup yang dimaksud terdiri dari konsep Tuhan, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep kenabian, konsep alam dan lain-lain.
Pada dasarnya, tidak ada perubahan yang signifikan dan substansial antara orientalis dulu dan sekarang. Malah, Shireen T. Hunter, dalam satu tulisannya berjudul The Rise of Islamic Movements and The Western Response: Clash of Civilizations or Clash of Interests?”, menyebut, ilmuwan kontemporer seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran “neo-Orientalist” yang berbeda dengan aliran neo-Third-World. Pola pikir “neo-Orientalist” Lewis itulah yang mewarnai isi buku barunya, The Crisis of Islam, yang begitu banyak membela politik neo-Konservatif AS.
Singkatnya, kajian-kajian keislaman para orientalis bagaimanapun ilmiahnya, ia tetap berpijak pada pre-supposisi Barat, dan terkadang Kristen. Prinsip dasar bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan al-Qur’an adalah firman Allah tidak menjadi asas bagi kajian mereka.
Ini bisa dipahami, sebab dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad berarti mereka mengakui Islam sebagai agama terakhir. Mereka tidak mungkin pula mengakui al-Qur’an sebagai firman Allah.
Sebab al-Qur’an memuat banyak kecaman terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi dan Nasrani, seperti: "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam", (al-Maidah, 5: 17 dan juga 5: 72); "Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga".(al-Maidah (5: 73); "Dan karena ucapan mereka sesungguhnya kami telah membunuh Isa al-masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (al-Nisa 4: 157) dan berbagai ayat lainnya.
Kandungan al-Qur'an yang mengecam ajaran Yahudi dan Kristen seperti itu jelas akan menuai reaksi balik sepanjang masa. Seorang Kaisar Bizantin, Leo III (717-741 M.), misalnya, telah menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M) telah mengubah al-Qur’an (Arthur Jeffery, "Ghevond's Text of the Correspondence between Umar II and Leo III, Harvard Theological Review, p. 269-332).
Peter, pendeta di Maimuma, pada tahun 743 menyebut Rasulullah SAW sebagai nabi palsu. Yahya al-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (m. 750) juga menulis dalam bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen ortodoks bahwa Islam mengajarkan anti-Kristus.
John of Damascus berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh. Dengan liciknya, katanya, Muhammad bisa mengawini Khadijah sehingga mendapat kekayaan dan kesenangan. Dengan cerdasnya, Muhammad menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Muhammad memiliki hobi perang karena nafsu seksnya tidak
tersalurkan. (Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam: "The Heresy of the Ishmaelites" (Leiden: E. J. Brill, 1972, hal. 67-95).
Seirama dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert). Bede menggambarkan Muhammad sebagai orang yang kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang nabi.
Sikap menghina Rasulullah SAW berlanjut pada zaman pertengahan Barat. Pada saat itu, Rasulullah SAW disebut sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam bahasa Perancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang sinonim dengan setan, berhala. Jadi, Muhammad bukan sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, Ia merupakan seorang penyembah berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh.
Gambaran buruk tersebut dimanipulasi oleh Paus Urbanus II untuk membakar semangat penganut agama Kristen dalam Perang Salib. Disebabkan provokasi Paus Urbanus II ini, ratusan ribu umat Islam disembelih sejak bermulanya perang salib pada tahun 1095.
Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat, image buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Qur’an sebagai karya setan. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang Jahat dan mengutuknya sebagai anak setan.
Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstrimis dan pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah SAW beserta al-Qur’an terus menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan: "Pada zaman skeptic kita ini, sangat sedikit yang dikritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada (In our skeptical times there is very little that is above criticism, and one day or other we may expect to hear that Muhammad never existed).
Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?" Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah buat-buatan. Muhammad adalah fiksi, karena selalu adanya asumsi bahwa setiap agama harus mepunyai pendiri.
Sikap para orientalis seperti itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.
Orientalis kontemporer tetap mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar, level, cara dan strategi yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad dan kebenaran al-Qur'an.
Penolakan seperti itu adalah loci communes (common places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dimengerti karena eksistensi agama mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena hal ini juga, wajar jika kajian mereka kepada Rasulullah SAW dan al-Qur’an tidak dibangun dari keimanan, sebagaimana sikap seorang Muslim.
Para orientalis yang mengkaji bidang teologi dan filsafat Islam sejak DB. MacDonald Alfred Gullimaune, Montgomery Watt atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines dan lain-lain mempunyai framework yang hampir sama.
Di antara asumsi yang umum mereka pegang erat-erat adalah bahwa filsafat, sains dan hal-hal yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah “carbon copy” dari pemikiran Yunani. Padahal diskursus filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan wacana yang bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang di zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam.
Sikap simpatik para orientalis terhadap Islam tidak serta merta menjadikan pemikiran mereka menjadi benar. Sebab, asumsi dan juga konsekuensi dari framework diatas adalah pengingkaran terhadap tradisi intelektual Islam yang berbasis pada wahyu. Transmisi
Seirama dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert). Bede menggambarkan Muhammad sebagai orang yang kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang nabi.
Sikap menghina Rasulullah SAW berlanjut pada zaman pertengahan Barat. Pada saat itu, Rasulullah SAW disebut sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam bahasa Perancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang sinonim dengan setan, berhala. Jadi, Muhammad bukan sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, Ia merupakan seorang penyembah berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh.
Gambaran buruk tersebut dimanipulasi oleh Paus Urbanus II untuk membakar semangat penganut agama Kristen dalam Perang Salib. Disebabkan provokasi Paus Urbanus II ini, ratusan ribu umat Islam disembelih sejak bermulanya perang salib pada tahun 1095.
Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat, image buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Qur’an sebagai karya setan. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang Jahat dan mengutuknya sebagai anak setan.
Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstrimis dan pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah SAW beserta al-Qur’an terus menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan: "Pada zaman skeptic kita ini, sangat sedikit yang dikritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada (In our skeptical times there is very little that is above criticism, and one day or other we may expect to hear that Muhammad never existed).
Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?" Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah buat-buatan. Muhammad adalah fiksi, karena selalu adanya asumsi bahwa setiap agama harus mepunyai pendiri.
Sikap para orientalis seperti itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.
Orientalis kontemporer tetap mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar, level, cara dan strategi yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad dan kebenaran al-Qur'an.
Penolakan seperti itu adalah loci communes (common places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dimengerti karena eksistensi agama mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena hal ini juga, wajar jika kajian mereka kepada Rasulullah SAW dan al-Qur’an tidak dibangun dari keimanan, sebagaimana sikap seorang Muslim.
Para orientalis yang mengkaji bidang teologi dan filsafat Islam sejak DB. MacDonald Alfred Gullimaune, Montgomery Watt atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines dan lain-lain mempunyai framework yang hampir sama.
Di antara asumsi yang umum mereka pegang erat-erat adalah bahwa filsafat, sains dan hal-hal yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah “carbon copy” dari pemikiran Yunani. Padahal diskursus filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan wacana yang bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang di zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam.
Sikap simpatik para orientalis terhadap Islam tidak serta merta menjadikan pemikiran mereka menjadi benar. Sebab, asumsi dan juga konsekuensi dari framework diatas adalah pengingkaran terhadap tradisi intelektual Islam yang berbasis pada wahyu. Transmisi
ilmu pengetahuan melalui sumber yang disebut khabar mutawatir tidak diakui oleh mereka sebagai valid.
Jadi, sekalipun pengetahuan mereka tentang sejarah pemikiran keislaman mendalam, namun kajian mereka tetap fragmentatif. Mereka tidak menghubungkan kajian mereka tentang Islam yang spesifik dengan prinsip yang umum dan universal.
Kajian mereka tentang hal-hal yang spesifik seperti tentang sejarah al-Qur’an, etika dalam Islam, politik dalam Islam dan lain-lain tidak dikaitkan dengan makna Islam sebagai suatu agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan tradisinya sendiri.
Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman, misalnya, tidak tercermin dalam tulisan-tulisan mereka. Ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki tidak mendorong pembacanya untuk beriman kepada Allah SWT. Tidak juga membuat mereka sendiri yakin dengan kebenaran Islam. Dan yang jelas mereka tidak bisa disebut sebagai ulama.
Sebagai penutup perlu dicatat bahwa Islam adalah agama dan pandangan hidup yang telah melahirkan peradaban yang gemilang. Untuk mempertahankan dan mengembangkan peradaban Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya unsur-unsur peradaban asing.
Sebaliknya untuk bersikap adil terhadap peradaban lain tidak berarti bersikap permisif terhadap masuknya segala macam unsur dari peradaban lain. Sebab adil dalam Islam adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Untuk mengetahui tempat segala sesuatu perlu ilmu keislaman yang luas, dan dengan ilmu itu orang akan bersikap kritis. Hikmah adalah barang milik mukmin yang hilang, namun seorang mukmin tidak dapat menemukan hikmah yang hilang itu kecuali ia mengetahui apa itu hikmah.
Jadi, sekalipun pengetahuan mereka tentang sejarah pemikiran keislaman mendalam, namun kajian mereka tetap fragmentatif. Mereka tidak menghubungkan kajian mereka tentang Islam yang spesifik dengan prinsip yang umum dan universal.
Kajian mereka tentang hal-hal yang spesifik seperti tentang sejarah al-Qur’an, etika dalam Islam, politik dalam Islam dan lain-lain tidak dikaitkan dengan makna Islam sebagai suatu agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan tradisinya sendiri.
Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman, misalnya, tidak tercermin dalam tulisan-tulisan mereka. Ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki tidak mendorong pembacanya untuk beriman kepada Allah SWT. Tidak juga membuat mereka sendiri yakin dengan kebenaran Islam. Dan yang jelas mereka tidak bisa disebut sebagai ulama.
Sebagai penutup perlu dicatat bahwa Islam adalah agama dan pandangan hidup yang telah melahirkan peradaban yang gemilang. Untuk mempertahankan dan mengembangkan peradaban Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya unsur-unsur peradaban asing.
Sebaliknya untuk bersikap adil terhadap peradaban lain tidak berarti bersikap permisif terhadap masuknya segala macam unsur dari peradaban lain. Sebab adil dalam Islam adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Untuk mengetahui tempat segala sesuatu perlu ilmu keislaman yang luas, dan dengan ilmu itu orang akan bersikap kritis. Hikmah adalah barang milik mukmin yang hilang, namun seorang mukmin tidak dapat menemukan hikmah yang hilang itu kecuali ia mengetahui apa itu hikmah.
SANG NABI, TELADAN ABADI
Oleh: Dr. Adian Husaini
“Sungguh, dalam diri dan kehidupan Rasul (Muhammad saw) itu ada teladan yang baik, bagi orang-orang yang berharap pada Allah, Hari Akhir, dan banyak berzikir kepada Allah.” (Lihat, QS al-Ahzab:21).
Nabi Muhammad saw memang manusia biasa; makan dan minum laiknya manusia lainnya; berdagang ke pasar, memimpin negara dan keluarga; bertetangga dengan muslim dan non-Muslim; guru dan sekaligus teman bagi para muridnya; komandan perang dan inspirator saat perang. Beliau uswatun hasanah, suri tauladan yang agung dan abadi sepanjang zaman.
Seribu emat ratus lebih telah berlalu. Sang Nabi terasa hadir dalam setiap derap langkah kehidupan umat Islam. Sang Nabi jadi teladan dalam semua aspek kehidupan umat Islam. Uniknya, selama 24 jam, langit tidak pernah sepi dari lantunan zikir dan shalawat dari 1,3 milyar lebih kaum muslimin yang menyebut namanya. Shalat kaum Muslim tidak sah jika tidak membaca shalawat untuk Nabi. Tidak ada satu manusia pun yang menduduki tempat terhormat seperti ini.
Tidak ada satu umat, bangsa, atau peradaban, yang memiliki suri teladan yang senantiasa ’up to date’ sebagaimana kaum Muslim yang senantiasa meneladani Muhammad saw dalam semua aspek kehidupan. Mulai tidur sampai tidur lagi, berusaha contoh Nabi. Bangun tidur, muslim ikut cara dan doa Nabi. Sejak usia dini, anak-anak Muslim cara Nabi masuk amar mandi; adab dan doanya pula dihafal luar kepala.
Muslim yang jadi kepala negara tak hilang cara bina negara mulia. Sebab, Nabi jadi sumber inspiras dan teladan bangun negara utama, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Beliau pemimpin negara. Beliau panglima perang. Nabi pun suami teladan. Dalam Kitab Uqudul Lujain Fi Huquqi al-Zaujain, dikutip satu hadits Nabi: ”Sebaik-baik kamu adalah yang baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang terbaik terhadap keluargaku.”
Itulah makna dan fakta kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah; model yang hidup sepanjang zaman. Meskipun sudah 1400 tahun berlalu, keteladannnya tetap hidup dan relevan. Ini unik. Hanya kaum muslim yang memiliki model lengkap sepanjang zaman. Sekagum-kagumnya kaum komunis terhadap Karl Marx, mereka tidak menjadikan Karl Marx sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka tidak akan bertanya, bagaimana cara Karl Marx tidur, bagaimana cara Karl Marx berkeluarga, bagaimana cara Karl Marx bertetangga, dan bagaimana cara Karl Marx memimpin negara.
Bagi bangsa Amerika, Thomas Jefferson dianggap sebagai “the prophet of this country”. Tapi, mereka tidak akan bertanya bagaimana cara Thomas Jefferson menggosok gosok gigi? Kaum Yahudi mengagungkan David dan Solomon. Tapi, anehnya, mereka menggambarkan sosok David dalam Bibel sebagai seorang pezina, yang berselingkuh dengan Batsheba, istri panglima perangnya sendiri. Bahkan, dengan liciknya David menjerumuskan suami Batsheba, Uria, dalam peperangan sehingga menemui ajalnya. Itu dilakukan agar David bisa mengawini Batsheba. Sosok Solomon juga digambarkan dalam Bibel sebagai penyembah berhala, karena terpengaruh oleh istri-istrinya. Tokoh dan pemimpin Yahudi, Yehuda, pun merupakan pezina yang menghamili menantunya sendiri bernama Tamar.
Kaum Nasrani sangat mengagungkan Yesus Kristus. Tetapi, mereka juga tidak menjadikan sosok Yesus sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab, Yesus sudah mereka angkat sebagai Tuhan, dan bukan lagi manusia. Karena itu, mereka tidak akan bertanya, bagaimana cara Yesus membina rumah tangga dan mengasuh anak. Sebab, Yesus dalam kepercayaan mereka, bukanlah manusia, tetapi Tuhan atau “anak Tuhan”.
Karena itulah al-Quran menjelaskan, bahwa salah satu karunia Allah yang sangat besar kepada kaum mukmin adalah diutusnya seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri. Rasul itu manusia, bukan malaikat, dan bukan anak Tuhan atau setengah Tuhan. Bedanya, Rasul yang mulia itu menerima wahyu dari Allah. Sebesar apa pun cinta kaum Muslim kepada Sang Nabi, tak pernah terlintas di benak kaum Muslim untuk mengangkatnya sebagai manusia setengah Tuhan atau anak Tuhan. (Lihat, QS Ali Imran: 164, al-Ka
Oleh: Dr. Adian Husaini
“Sungguh, dalam diri dan kehidupan Rasul (Muhammad saw) itu ada teladan yang baik, bagi orang-orang yang berharap pada Allah, Hari Akhir, dan banyak berzikir kepada Allah.” (Lihat, QS al-Ahzab:21).
Nabi Muhammad saw memang manusia biasa; makan dan minum laiknya manusia lainnya; berdagang ke pasar, memimpin negara dan keluarga; bertetangga dengan muslim dan non-Muslim; guru dan sekaligus teman bagi para muridnya; komandan perang dan inspirator saat perang. Beliau uswatun hasanah, suri tauladan yang agung dan abadi sepanjang zaman.
Seribu emat ratus lebih telah berlalu. Sang Nabi terasa hadir dalam setiap derap langkah kehidupan umat Islam. Sang Nabi jadi teladan dalam semua aspek kehidupan umat Islam. Uniknya, selama 24 jam, langit tidak pernah sepi dari lantunan zikir dan shalawat dari 1,3 milyar lebih kaum muslimin yang menyebut namanya. Shalat kaum Muslim tidak sah jika tidak membaca shalawat untuk Nabi. Tidak ada satu manusia pun yang menduduki tempat terhormat seperti ini.
Tidak ada satu umat, bangsa, atau peradaban, yang memiliki suri teladan yang senantiasa ’up to date’ sebagaimana kaum Muslim yang senantiasa meneladani Muhammad saw dalam semua aspek kehidupan. Mulai tidur sampai tidur lagi, berusaha contoh Nabi. Bangun tidur, muslim ikut cara dan doa Nabi. Sejak usia dini, anak-anak Muslim cara Nabi masuk amar mandi; adab dan doanya pula dihafal luar kepala.
Muslim yang jadi kepala negara tak hilang cara bina negara mulia. Sebab, Nabi jadi sumber inspiras dan teladan bangun negara utama, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Beliau pemimpin negara. Beliau panglima perang. Nabi pun suami teladan. Dalam Kitab Uqudul Lujain Fi Huquqi al-Zaujain, dikutip satu hadits Nabi: ”Sebaik-baik kamu adalah yang baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang terbaik terhadap keluargaku.”
Itulah makna dan fakta kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah; model yang hidup sepanjang zaman. Meskipun sudah 1400 tahun berlalu, keteladannnya tetap hidup dan relevan. Ini unik. Hanya kaum muslim yang memiliki model lengkap sepanjang zaman. Sekagum-kagumnya kaum komunis terhadap Karl Marx, mereka tidak menjadikan Karl Marx sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka tidak akan bertanya, bagaimana cara Karl Marx tidur, bagaimana cara Karl Marx berkeluarga, bagaimana cara Karl Marx bertetangga, dan bagaimana cara Karl Marx memimpin negara.
Bagi bangsa Amerika, Thomas Jefferson dianggap sebagai “the prophet of this country”. Tapi, mereka tidak akan bertanya bagaimana cara Thomas Jefferson menggosok gosok gigi? Kaum Yahudi mengagungkan David dan Solomon. Tapi, anehnya, mereka menggambarkan sosok David dalam Bibel sebagai seorang pezina, yang berselingkuh dengan Batsheba, istri panglima perangnya sendiri. Bahkan, dengan liciknya David menjerumuskan suami Batsheba, Uria, dalam peperangan sehingga menemui ajalnya. Itu dilakukan agar David bisa mengawini Batsheba. Sosok Solomon juga digambarkan dalam Bibel sebagai penyembah berhala, karena terpengaruh oleh istri-istrinya. Tokoh dan pemimpin Yahudi, Yehuda, pun merupakan pezina yang menghamili menantunya sendiri bernama Tamar.
Kaum Nasrani sangat mengagungkan Yesus Kristus. Tetapi, mereka juga tidak menjadikan sosok Yesus sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab, Yesus sudah mereka angkat sebagai Tuhan, dan bukan lagi manusia. Karena itu, mereka tidak akan bertanya, bagaimana cara Yesus membina rumah tangga dan mengasuh anak. Sebab, Yesus dalam kepercayaan mereka, bukanlah manusia, tetapi Tuhan atau “anak Tuhan”.
Karena itulah al-Quran menjelaskan, bahwa salah satu karunia Allah yang sangat besar kepada kaum mukmin adalah diutusnya seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri. Rasul itu manusia, bukan malaikat, dan bukan anak Tuhan atau setengah Tuhan. Bedanya, Rasul yang mulia itu menerima wahyu dari Allah. Sebesar apa pun cinta kaum Muslim kepada Sang Nabi, tak pernah terlintas di benak kaum Muslim untuk mengangkatnya sebagai manusia setengah Tuhan atau anak Tuhan. (Lihat, QS Ali Imran: 164, al-Ka
hfi:110).
Tantangan Kenabian
Sebagaimana para Nabi lainnya, tugas dan misi utama para Nabi adalah mengajak manusia untuk bertauhid, hanya menyembah Allah, dan meninggalkan sesembahan lainnya. (QS an-Nahl:36). Tegakkan Tauhid, tinggalkan kemusyrikan! Itulah misi utama kenabian. Manusia dibimbing untuk mengenal dan menyembah Tuhan yang sebenarnya. Misi utama dakwah inilah yang mendapatkan tantangan hebat dari berbagai kalangan musyrik dan kaum kafir.
Bisa dimaklumi, sejak awal menyampaikan misi dakwahnya, Nabi Muhammad saw telah menghadapi tantangan yang sangat keras dari kaum Yahudi dan Nasrani. Sebab, ajaran yang dibawanya membongkar dasar-dasar kepercayaan Yahudi dan Kristen. Bagi kaum Muslim, Nabi Isa adalah utusan Allah untuk kaum Bani Israel, yang secara tegas mengabarkan akan datangnya Nabi terakhir, yaitu Muhammad saw. Bahkan, orang-orang yang menuhankan Isa a.s. oleh Nabi Muhammad saw secara tegas dikatakan sebagai kaum kafir. (QS ash-Shaf:6, al-Maidah:72-75).
Dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet, Karen Armstrong mengungkap bagaimana sejarah kebencian kaum Kristen Barat terhadap Muhammad saw, yang berurat berakar dalam sejarah. Dalam legenda-leganda di zaman pertengahan di Barat, Muhammad digambarkan sebagai tukang sihir, penderita penyakit epilepsi (ayan), seorang yang dikuasai roh jahat, dan penipu berdarah dingin. Kehidupan seksnya digambarkan penuh birahi. Tokoh-tokoh Kristen Barat ketika itu berusaha menciptakan legenda bahwa Islam adalah pecahan Kristen. Konon, ada seorang ’heretic’ (Kristen yang menyimpang) bernama Sergius yang bertemu Muhammad dan mengajarkan versi Kristen yang menyimpang.
Karen Armstrong menyebut sikap Barat terhadap Islam yang tidak sehat sebagai ’schizophrenic’ dan ’Islamophile’. Paus Clement V (1305-1314) menyebut kehadiran Islam di wilayah Kristen sebagai satu penghinaan terhadap Tuhan. Di abad pertengahan, banyak orang Kristen Barat masih menganggap bahwa kaum Muslim adalah penyembah Muhammad sebagaimana kaum Kristen menyembah Kristus. Dalam karyanya, History of Charlemagne, Pseudo-Turpin menggambarkan kaum muslim (Saracen) sebagai penyembah dewa Mahomet, Apollo, dan Tervagant.
Pada abad ke-12, Peter the Venerable dari biara Cluny, mulai melakukan kajian yang lebih serius tentang Islam. Peter membentuk tim penerjemah yang menerjemahkan buku-buku Islam ke dalam bahasa Latin. Proyek terjemahan al-Quran dalam bahasa Latin pertama selesai tahun 1143 dibawah koordinasi Robert of Ketton. Peter terkenal dengan semboyannya agar dalam menghadapi kaum Muslim, jangan menggunakan kekerasan, senjata, atau kebencian. Tetapi, gunakanlah logika, kata-kata, dan kasih. Tetapi, orang seperti Peter the Venerable pun, menurut Armstrong juga mengidap mentalitas ’schizophrenic’ yang anti-Islam. Ketika Raja Louis VII dari Perancis memimpin Perang Salib II tahun 1147, Peter mengirim surat yang meminta Louis membunuh sebanyak mungkin kaum Muslim sebagaimana Moses dan Joshua membunuh kaum Amorit dan Kanaan.
Di era modern, rasa dengki dan permusuhan terhadap Nabi Muhammad saw pun tak pernah pupus. Masih segar dalam ingatan muslim sedunia, pada edisi 30 September 2005 lalu, koran Jyllands-Posten Denmark memuat 12 gambar kartun yang sangat menghina dan melecehkan Nabi Muhammad saw. Dalam satu kartu digambarkan Nabi tampil dalam sorban yang bentuknya mirip bom yang dipasang pada bagian kepalanya. Tentu, maksudnya, si pembuat kartun berusaha menggambarkan Nabi terakhir itu sebagai sosok teroris. Pada kartun lain, Nabi saw digambarkan sedang berteriak kepada sejumlah orang, “Berhenti, kita sudah kehabisan perawan!”
Beberapa waktu sebelumnya, Ratu Denmark, Margrethe II, juga sudah mengumumkan perang terhadap Islam. Kata Sang Ratu: “Selama beberapa tahun terakhir ini, kita terus ditantang Islam, baik secara lokal maupun global. Ini adalah sebuah tantangan yang harus kita tangani dengan serius. Selama ini kita terlalu lama mengambangkan masalah ini karena kita terlalu toleran dan malas… Kita harus menunjukkan perlawanan kita kepada Islam dan pada saatnya, kita juga harus siap menanggung resik
Tantangan Kenabian
Sebagaimana para Nabi lainnya, tugas dan misi utama para Nabi adalah mengajak manusia untuk bertauhid, hanya menyembah Allah, dan meninggalkan sesembahan lainnya. (QS an-Nahl:36). Tegakkan Tauhid, tinggalkan kemusyrikan! Itulah misi utama kenabian. Manusia dibimbing untuk mengenal dan menyembah Tuhan yang sebenarnya. Misi utama dakwah inilah yang mendapatkan tantangan hebat dari berbagai kalangan musyrik dan kaum kafir.
Bisa dimaklumi, sejak awal menyampaikan misi dakwahnya, Nabi Muhammad saw telah menghadapi tantangan yang sangat keras dari kaum Yahudi dan Nasrani. Sebab, ajaran yang dibawanya membongkar dasar-dasar kepercayaan Yahudi dan Kristen. Bagi kaum Muslim, Nabi Isa adalah utusan Allah untuk kaum Bani Israel, yang secara tegas mengabarkan akan datangnya Nabi terakhir, yaitu Muhammad saw. Bahkan, orang-orang yang menuhankan Isa a.s. oleh Nabi Muhammad saw secara tegas dikatakan sebagai kaum kafir. (QS ash-Shaf:6, al-Maidah:72-75).
Dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet, Karen Armstrong mengungkap bagaimana sejarah kebencian kaum Kristen Barat terhadap Muhammad saw, yang berurat berakar dalam sejarah. Dalam legenda-leganda di zaman pertengahan di Barat, Muhammad digambarkan sebagai tukang sihir, penderita penyakit epilepsi (ayan), seorang yang dikuasai roh jahat, dan penipu berdarah dingin. Kehidupan seksnya digambarkan penuh birahi. Tokoh-tokoh Kristen Barat ketika itu berusaha menciptakan legenda bahwa Islam adalah pecahan Kristen. Konon, ada seorang ’heretic’ (Kristen yang menyimpang) bernama Sergius yang bertemu Muhammad dan mengajarkan versi Kristen yang menyimpang.
Karen Armstrong menyebut sikap Barat terhadap Islam yang tidak sehat sebagai ’schizophrenic’ dan ’Islamophile’. Paus Clement V (1305-1314) menyebut kehadiran Islam di wilayah Kristen sebagai satu penghinaan terhadap Tuhan. Di abad pertengahan, banyak orang Kristen Barat masih menganggap bahwa kaum Muslim adalah penyembah Muhammad sebagaimana kaum Kristen menyembah Kristus. Dalam karyanya, History of Charlemagne, Pseudo-Turpin menggambarkan kaum muslim (Saracen) sebagai penyembah dewa Mahomet, Apollo, dan Tervagant.
Pada abad ke-12, Peter the Venerable dari biara Cluny, mulai melakukan kajian yang lebih serius tentang Islam. Peter membentuk tim penerjemah yang menerjemahkan buku-buku Islam ke dalam bahasa Latin. Proyek terjemahan al-Quran dalam bahasa Latin pertama selesai tahun 1143 dibawah koordinasi Robert of Ketton. Peter terkenal dengan semboyannya agar dalam menghadapi kaum Muslim, jangan menggunakan kekerasan, senjata, atau kebencian. Tetapi, gunakanlah logika, kata-kata, dan kasih. Tetapi, orang seperti Peter the Venerable pun, menurut Armstrong juga mengidap mentalitas ’schizophrenic’ yang anti-Islam. Ketika Raja Louis VII dari Perancis memimpin Perang Salib II tahun 1147, Peter mengirim surat yang meminta Louis membunuh sebanyak mungkin kaum Muslim sebagaimana Moses dan Joshua membunuh kaum Amorit dan Kanaan.
Di era modern, rasa dengki dan permusuhan terhadap Nabi Muhammad saw pun tak pernah pupus. Masih segar dalam ingatan muslim sedunia, pada edisi 30 September 2005 lalu, koran Jyllands-Posten Denmark memuat 12 gambar kartun yang sangat menghina dan melecehkan Nabi Muhammad saw. Dalam satu kartu digambarkan Nabi tampil dalam sorban yang bentuknya mirip bom yang dipasang pada bagian kepalanya. Tentu, maksudnya, si pembuat kartun berusaha menggambarkan Nabi terakhir itu sebagai sosok teroris. Pada kartun lain, Nabi saw digambarkan sedang berteriak kepada sejumlah orang, “Berhenti, kita sudah kehabisan perawan!”
Beberapa waktu sebelumnya, Ratu Denmark, Margrethe II, juga sudah mengumumkan perang terhadap Islam. Kata Sang Ratu: “Selama beberapa tahun terakhir ini, kita terus ditantang Islam, baik secara lokal maupun global. Ini adalah sebuah tantangan yang harus kita tangani dengan serius. Selama ini kita terlalu lama mengambangkan masalah ini karena kita terlalu toleran dan malas… Kita harus menunjukkan perlawanan kita kepada Islam dan pada saatnya, kita juga harus siap menanggung resik
o mendapat sebutan yang tidak mengenakkan, karena kita tidak menunjukkan sikap toleran.” (Biografi Ratu Margrethe II, April 2003, dikutip dari Republika, 7/2/2006).
Konsili Vatikan II, 1962-1965, menjadi tonggak baru bagi Gereja Katolik dalam pendekatan terhadap agama-agama lain, termasuk kepada umat Islam. Doktrin Nostra Aetate memuat kata-kata simpatik terhadap umat Islam dan mengajak kaum Muslim melupakan konflik-konflik masa lalu. Tapi, secara teologis, tokoh Gereja Katolik tetap menegaskan perbedaan mendasar antara Islam dan Kristen.
Paus Benediktus XVI, yang mundur pada 2013, misalnya, dikenal tegas dan lugas pandangannya terhadap Islam. Dalam buku, The Rule of Benedict XVI (New York: HarperCollins Publisher, 2006), karya David Gibson, disebutkan, bahwa Paus Benediktus, yang ketika itu masih sebagai Kardinal Ratzinger, membuat pernyataan, bahwa Turki harus dicegah masuk Uni Eropa karena Turki lebih mewakili kultur Islam ketimbang kultur Kristen; juga karena sejarahnya yang penuh konflik dengan Eropa. Paus Benediktus ini dikenal sebagai sosok yang ingin mengembalikan identitas kekristenan Eropa.
Betapa pun berbagai kaum menolak kenabian Muhammad saw dan sebagian diantaranya melakukan tindakan caci-maki dan fitnah, bagi kaum Muslimin, Muhammad adalah utusan Allah SWT yang diutus untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Nabi Muhammad saw memang membawa rahmat, karena membawa agama Islam, yang mengandung ajaran-ajaran yang sesuai dengan fithrah manusia. Rasulullah, misalnya, menghalalkan perkawinan dan tidak memandang perkawinan sebagai penghalang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan, Rasulullah melarang sahabatnya yang hendak melakukan selibat – tidak kawin selamanya – dengan alasan agar bisa lebih tekun beribadah kepada Allah. Dalam Islam, nikah itu sendiri, dipandang sebagai sunnah Rasul, dan barangsiapa yang membenci sunnah Rasululllah, maka dia bukan termasuk golongan Nabi Muhammad saw.
Ajaran Nabi Muhammad saw ini memang berbeda dengan ajaran sejumlah agama yang melarang pemuka agamanya untuk menikah. Dalam Katolik, misalnya, masalah selibat – larangan kawin bagi pastur – masih terus menjadi bahan perdebatan. Dalam buku The Rule of Benedict XVI, David Gibson menyebutkan sebuah survei tentang selibat di kalangan pemeluk Katolik di AS. Pada tahun 1985, sebanyak 63 persen menyatakan, bahwa sebaiknya soal menikah atau tidak menikah adalah satu pilihan bagi pastor, bukan suatu paksaan. Tahun 2005, jumlah yang berpendapat seperti itu meningkat menjadi 75 persen; dan lebih dari 80 persen responden berpendapat, pastor yang sudah menikah dan keluar dari kepastoran sebaiknya diberi kesempatan menjadi pastor kembali.
Nabi Muhammad saw memang diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya:107). Sang Nabi akan tetap menjadi teladan abadi bagi manusia yang bersedia mendapatkan rahmat, sekalipun dimusuhi dan dibenci kaum musyrik. “Dialah Allah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas agama-agama lainnya, walaupun kaum musyrik benci.” (QS ash-Shaf: 9). (***)
Konsili Vatikan II, 1962-1965, menjadi tonggak baru bagi Gereja Katolik dalam pendekatan terhadap agama-agama lain, termasuk kepada umat Islam. Doktrin Nostra Aetate memuat kata-kata simpatik terhadap umat Islam dan mengajak kaum Muslim melupakan konflik-konflik masa lalu. Tapi, secara teologis, tokoh Gereja Katolik tetap menegaskan perbedaan mendasar antara Islam dan Kristen.
Paus Benediktus XVI, yang mundur pada 2013, misalnya, dikenal tegas dan lugas pandangannya terhadap Islam. Dalam buku, The Rule of Benedict XVI (New York: HarperCollins Publisher, 2006), karya David Gibson, disebutkan, bahwa Paus Benediktus, yang ketika itu masih sebagai Kardinal Ratzinger, membuat pernyataan, bahwa Turki harus dicegah masuk Uni Eropa karena Turki lebih mewakili kultur Islam ketimbang kultur Kristen; juga karena sejarahnya yang penuh konflik dengan Eropa. Paus Benediktus ini dikenal sebagai sosok yang ingin mengembalikan identitas kekristenan Eropa.
Betapa pun berbagai kaum menolak kenabian Muhammad saw dan sebagian diantaranya melakukan tindakan caci-maki dan fitnah, bagi kaum Muslimin, Muhammad adalah utusan Allah SWT yang diutus untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Nabi Muhammad saw memang membawa rahmat, karena membawa agama Islam, yang mengandung ajaran-ajaran yang sesuai dengan fithrah manusia. Rasulullah, misalnya, menghalalkan perkawinan dan tidak memandang perkawinan sebagai penghalang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan, Rasulullah melarang sahabatnya yang hendak melakukan selibat – tidak kawin selamanya – dengan alasan agar bisa lebih tekun beribadah kepada Allah. Dalam Islam, nikah itu sendiri, dipandang sebagai sunnah Rasul, dan barangsiapa yang membenci sunnah Rasululllah, maka dia bukan termasuk golongan Nabi Muhammad saw.
Ajaran Nabi Muhammad saw ini memang berbeda dengan ajaran sejumlah agama yang melarang pemuka agamanya untuk menikah. Dalam Katolik, misalnya, masalah selibat – larangan kawin bagi pastur – masih terus menjadi bahan perdebatan. Dalam buku The Rule of Benedict XVI, David Gibson menyebutkan sebuah survei tentang selibat di kalangan pemeluk Katolik di AS. Pada tahun 1985, sebanyak 63 persen menyatakan, bahwa sebaiknya soal menikah atau tidak menikah adalah satu pilihan bagi pastor, bukan suatu paksaan. Tahun 2005, jumlah yang berpendapat seperti itu meningkat menjadi 75 persen; dan lebih dari 80 persen responden berpendapat, pastor yang sudah menikah dan keluar dari kepastoran sebaiknya diberi kesempatan menjadi pastor kembali.
Nabi Muhammad saw memang diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya:107). Sang Nabi akan tetap menjadi teladan abadi bagi manusia yang bersedia mendapatkan rahmat, sekalipun dimusuhi dan dibenci kaum musyrik. “Dialah Allah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas agama-agama lainnya, walaupun kaum musyrik benci.” (QS ash-Shaf: 9). (***)
Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1082430591858020&id=212684542165967
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1082430591858020&id=212684542165967
AGAR POLITIK ISLAM MENANG
Oleh: Dr. Adian Husaini
Jumat (07/03/2014), usai khutbah Jumat di sebuah Masjid di kawasan Cibubur, seorang anak muda mendekati saya, dan bertanya, “Ustad, apakah benar ikut dalam pemilu ini haram hukumnya. Bahkan, ada yang mengatakan, ikut pemilu itu hukumnya kufur, karena berarti terlibat dalam demokrasi, yang merupakan sistem kufur?”
Berulang kali pertanyaan seperti ini saya terima. Benarkah seperti itu? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita ikuti dialog fiktif antara guru dan murid berikut ini. Mudah-mudahan dialog ini bisa kita ambil hikmahnya. Silakan mengikutinya.
Murid: Guru, saya dengar dari berita-berita, partai Islam diramalkan akan kalah dalam Pemilu 2014, bahkan mungkin akan semakin kecil perolehan suaranya. Apa benar begitu, Guru?
Guru: Baik kita sepakati dulu definisi partai Islam adalah partai yang berasaskan Islam. Memang, kalau hanya mendasarkan pada pemberitaan media massa pada umumnya, nasib partai-partai Islam seolah-olah kurang menggembirakan. Suara mereka kalah jauh dibandingkan dengan partai-partai sekuler. Banyak sebab yang diungkapkan. Kalau tidak ada perubahan yang signifikan dalam pembangunan citra partai Islam di tengah masyarakat – entah bagaimana caranya – bukan tidak mungkin perkiraan suara partai-partai Islam itu akan menjadi kenyataan. Dan nanti, akan dikampayekan, “ Lihat tuh… partai Islam sudah tidak laku! Masyarakat sudah lebih memilih partai sekuler!”
Murid: Lalu, apa yang harus dilakukan oleh partai Islam, Guru, agar selamat?
Guru: Saya mengusulkan, sebagai bagian taushiyah sesama Muslim, partai Islam perlu melakukan terobosan besar, tetapi semua itu tetap dilakukan dalam batas-batas etika Islam. Sebab, bagi Muslim, menjadi anggota legislatif itu bukan tujuan utama dan bukan segala-galanya. Saya minta maaf, menurut saya, kurang patut membuat iklan politik dengan bintang yang mengumbar aurat. Tujuan untuk meraih suara dari kalangan tertentu, menurut hemat saya, tidak harus dilakukan dengan cara menampilkan wakil dari kalangan tersebut. Saya paham, salah satu “ironi” dalam demokrasi, adalah tidak adanya penilaian kualitas suara. Yang dinilai hanya kuantitas. Suara kyai sama nilainya dengan suara penjahat. Suara pelacur sama hitungannya dengan suara wanita shalihah. Meskipun begitu, jika kita ingin menarik suara para pelacur tidak sepatutnya menampilkan sosok pelacur aktif sebagai bintang iklan partai Islam. Menurut saya, dan saya yakin, semua aktivis partai Islam sepakat, bahwa keridhaan Allah lebih penting ketimbang jumlah suara.
Murid: Guru, kalau partai Islam tidak dengan tegas menyuarakan Islam, apa masih perlu didukung?
Guru: Mendukung itu banyak bentuknya. Jika kita rajin memberikan taushiyah kepada tokoh-tokoh partai Islam, itu juga suatu dukungan. Begitu juga dengan dukungan doa. Dalam kaitan pemilu, pilihan kita hanya dua saja, ikut pemilu atau tidak. Jika ikut pemilu, maka kita harus memilih. Kita harus memilih yang ada; bukan yang kita inginkan keberadaannya. Nanti, kalau ada pilihan capres-cawapres, kita juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mungkin saja semua calonnya tidak ideal. Misalnya, calon yang satu tidak rajin solat, tetapi memiliki pandangan positif terhadap aspirasi Islam. Calon yang lain, kelihatan cukup rajin shalat, tetapi dikelilingi orang-orang yang sangat tidak aspiratif terhadap cita-cita Islam. Calon yang lain, rajin shalat, tidak korup, tetapi sangat lemah kemampuan intelektual dan leadershipnya sehingga peluang terpilih sangat kecil.
Murid: Kalau seperti itu, siapa yang harus didukung, Guru?
Guru: Sebenarnya, di sinilah tugas partai Islam untuk berjuang menampilkan calon-calon legislatif atau calon presiden yang ideal, sehingga laku dijual di tengah masyarakat. Calon seperti itu perlu disiapkan jauh-jauh sebelumnya. Saya yakin, masih ada tokoh yang layak dicalonkan, meskipun mungkin sekarang belum kelihatan. Dalam hal ini, perlu dipadukan aspek pragmatis dan idealis. Menurut saya, sudah saatnya partai Islam berani untuk mencalonkan sendiri calon presidennya. Pilih orang yang betul-betul mendekat
Oleh: Dr. Adian Husaini
Jumat (07/03/2014), usai khutbah Jumat di sebuah Masjid di kawasan Cibubur, seorang anak muda mendekati saya, dan bertanya, “Ustad, apakah benar ikut dalam pemilu ini haram hukumnya. Bahkan, ada yang mengatakan, ikut pemilu itu hukumnya kufur, karena berarti terlibat dalam demokrasi, yang merupakan sistem kufur?”
Berulang kali pertanyaan seperti ini saya terima. Benarkah seperti itu? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita ikuti dialog fiktif antara guru dan murid berikut ini. Mudah-mudahan dialog ini bisa kita ambil hikmahnya. Silakan mengikutinya.
Murid: Guru, saya dengar dari berita-berita, partai Islam diramalkan akan kalah dalam Pemilu 2014, bahkan mungkin akan semakin kecil perolehan suaranya. Apa benar begitu, Guru?
Guru: Baik kita sepakati dulu definisi partai Islam adalah partai yang berasaskan Islam. Memang, kalau hanya mendasarkan pada pemberitaan media massa pada umumnya, nasib partai-partai Islam seolah-olah kurang menggembirakan. Suara mereka kalah jauh dibandingkan dengan partai-partai sekuler. Banyak sebab yang diungkapkan. Kalau tidak ada perubahan yang signifikan dalam pembangunan citra partai Islam di tengah masyarakat – entah bagaimana caranya – bukan tidak mungkin perkiraan suara partai-partai Islam itu akan menjadi kenyataan. Dan nanti, akan dikampayekan, “ Lihat tuh… partai Islam sudah tidak laku! Masyarakat sudah lebih memilih partai sekuler!”
Murid: Lalu, apa yang harus dilakukan oleh partai Islam, Guru, agar selamat?
Guru: Saya mengusulkan, sebagai bagian taushiyah sesama Muslim, partai Islam perlu melakukan terobosan besar, tetapi semua itu tetap dilakukan dalam batas-batas etika Islam. Sebab, bagi Muslim, menjadi anggota legislatif itu bukan tujuan utama dan bukan segala-galanya. Saya minta maaf, menurut saya, kurang patut membuat iklan politik dengan bintang yang mengumbar aurat. Tujuan untuk meraih suara dari kalangan tertentu, menurut hemat saya, tidak harus dilakukan dengan cara menampilkan wakil dari kalangan tersebut. Saya paham, salah satu “ironi” dalam demokrasi, adalah tidak adanya penilaian kualitas suara. Yang dinilai hanya kuantitas. Suara kyai sama nilainya dengan suara penjahat. Suara pelacur sama hitungannya dengan suara wanita shalihah. Meskipun begitu, jika kita ingin menarik suara para pelacur tidak sepatutnya menampilkan sosok pelacur aktif sebagai bintang iklan partai Islam. Menurut saya, dan saya yakin, semua aktivis partai Islam sepakat, bahwa keridhaan Allah lebih penting ketimbang jumlah suara.
Murid: Guru, kalau partai Islam tidak dengan tegas menyuarakan Islam, apa masih perlu didukung?
Guru: Mendukung itu banyak bentuknya. Jika kita rajin memberikan taushiyah kepada tokoh-tokoh partai Islam, itu juga suatu dukungan. Begitu juga dengan dukungan doa. Dalam kaitan pemilu, pilihan kita hanya dua saja, ikut pemilu atau tidak. Jika ikut pemilu, maka kita harus memilih. Kita harus memilih yang ada; bukan yang kita inginkan keberadaannya. Nanti, kalau ada pilihan capres-cawapres, kita juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mungkin saja semua calonnya tidak ideal. Misalnya, calon yang satu tidak rajin solat, tetapi memiliki pandangan positif terhadap aspirasi Islam. Calon yang lain, kelihatan cukup rajin shalat, tetapi dikelilingi orang-orang yang sangat tidak aspiratif terhadap cita-cita Islam. Calon yang lain, rajin shalat, tidak korup, tetapi sangat lemah kemampuan intelektual dan leadershipnya sehingga peluang terpilih sangat kecil.
Murid: Kalau seperti itu, siapa yang harus didukung, Guru?
Guru: Sebenarnya, di sinilah tugas partai Islam untuk berjuang menampilkan calon-calon legislatif atau calon presiden yang ideal, sehingga laku dijual di tengah masyarakat. Calon seperti itu perlu disiapkan jauh-jauh sebelumnya. Saya yakin, masih ada tokoh yang layak dicalonkan, meskipun mungkin sekarang belum kelihatan. Dalam hal ini, perlu dipadukan aspek pragmatis dan idealis. Menurut saya, sudah saatnya partai Islam berani untuk mencalonkan sendiri calon presidennya. Pilih orang yang betul-betul mendekat
i kriteria pemimpin yang ideal dalam Islam. Bukan hanya karena tampan, kaya, atau populer. Ini semua perlu persiapan, perlu perencanaan, perhitungan, kesungguhan, dan yang terpenting, keyakinan akan kemenangan yang diraih dengan pertolongan Allah. Di partai-partai Islam sekarang, banyak orang-orang pintar, dan jika berpikir sunguh-sungguh, insyaAllah mampu mencari rumusan strategi yang baik.
Murid: Guru, saya sering mendengar sekarang, perjuangan melalui sistem demokrasi, lewat parlemen tidak membuahkan hasil. Bahkan, FIS di Aljazair dan juga Al Ikhwan al Muslimun di Mesir, setelah memenangkan Pemilu, akhirnya belum berhasil juga?
Guru: Kalau kita menilai sesuatu, harus dengan standar yang jelas. Apa yang dimaksud dengan “belum berhasil”? Apakah kalau belum berhasil meraih kekuasaan yang sempurna, lalu berarti perjuangan itu tidak ada hasilnya sama sekali? Banyak perjuangan para Nabi yang akhirnya berujung pada kekalahan melawan penguasa zalim, seperti Nabi Ibrahim. Apakah kita mengatakan, dengan begitu, bahwa perjuangan Nabi Ibrahim tidak ada hasilnya dan sia-sia? Tentu tidak! Ada juga gerakan-gerakan Islam yang berjuang tidak lewat pemilu dan mencitakan berdirinya negara Islam (khilafah Islamiyah), tapi sudah puluhan tahun belum juga terwujud khilafah tersebut, apakah lalu dikatakan, perjuangan mereka tidak ada hasilnya sama sekali alias sia-sia juga?
Di sinilah perlunya kita memahami masalah secara mendalam, meneliti secara hati-hati, sebelum menjatuhkan vonis, bahwa perjuangan tersebut adalah sia-sia atau bathil. Sebab, kadangkala yang kita nilai itu adalah orang-orang bahkan tokoh dan ulama yang juga bersungguh-sungguh dalam menegakkan cita-cita Islam. Bahkan, mungkin apa yang kita kerjakan sekarang ini, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. Lahum a’maaluhum, wa-lanaa a’maalunaa. Bagi mereka amal mereka, dan bagi kita amal kita sendiri.
Murid: Guru, partai-partai Islam itu kenapa sulit bersatu? Guru pernah bilang, mereka sedang dikeroyok untuk dimusnahkan?
Guru: Sebenarnya, yang berpecah belah itu bukan hanya partai Islam. Partai-partai sekuler juga terpecah belah. Inilah dunia manusia. Kita tidak bisa menemukan sosok atau kelompok ideal yang 100 persen sempurna. Pasti ada kekurangan dan kelemahannya. Betapa pun kondisinya, yang tetap perlu dijaga adalah silaturrahim-nya. Tapi, itu bukan berarti membenarkan perpecahan dalam Islam.
Sebab, jelas sekali, dalam QS Ali Imran:103, kita diperintahkan untuk berpegang pada “ikatan Allah” dan jangan berpecah belah, wa-laa tatafarraquu! Lebih jelas, dalam QS ash-Shaff: 4, bahwa Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi, laksana bangunan yang kokoh. Tentu, mafhum-mukhalafah-nya, Allah tidak cinta kepada kita, jika kita berjuang di Jalan Allah, tidak dalam barisan yang rapi; apalagi saling bermusuhan satu sama lain, saling jegal, saling caci, saling mengintai kelemahan saudara sendiri; yang lebih celaka, jika bersekutu dengan musuh untuk memerangi saudara sendiri. Jadi, berjuang di jalan Allah saja tidak cukup. Berjuang harus dalam barisan yang rapi; dalam ikatan yang kokoh. Lebih parah lagi, jika tidak berjuang; atau berjuang tetapi tidak berjuang di jalan Allah, tetapi di jalan thaghut atau jalan setan. Mari kita introspeksi, apakah kita berjuang di jalan Allah, karena Allah, untuk memperjuangkan kebenaran, demi tegaknya kalimah Allah; atau berjuang untuk kebanggaan diri sendiri atau lebih untuk kebanggaan kelompok!?
Murid: Guru, saya sering mendengar sekarang, perjuangan melalui sistem demokrasi, lewat parlemen tidak membuahkan hasil. Bahkan, FIS di Aljazair dan juga Al Ikhwan al Muslimun di Mesir, setelah memenangkan Pemilu, akhirnya belum berhasil juga?
Guru: Kalau kita menilai sesuatu, harus dengan standar yang jelas. Apa yang dimaksud dengan “belum berhasil”? Apakah kalau belum berhasil meraih kekuasaan yang sempurna, lalu berarti perjuangan itu tidak ada hasilnya sama sekali? Banyak perjuangan para Nabi yang akhirnya berujung pada kekalahan melawan penguasa zalim, seperti Nabi Ibrahim. Apakah kita mengatakan, dengan begitu, bahwa perjuangan Nabi Ibrahim tidak ada hasilnya dan sia-sia? Tentu tidak! Ada juga gerakan-gerakan Islam yang berjuang tidak lewat pemilu dan mencitakan berdirinya negara Islam (khilafah Islamiyah), tapi sudah puluhan tahun belum juga terwujud khilafah tersebut, apakah lalu dikatakan, perjuangan mereka tidak ada hasilnya sama sekali alias sia-sia juga?
Di sinilah perlunya kita memahami masalah secara mendalam, meneliti secara hati-hati, sebelum menjatuhkan vonis, bahwa perjuangan tersebut adalah sia-sia atau bathil. Sebab, kadangkala yang kita nilai itu adalah orang-orang bahkan tokoh dan ulama yang juga bersungguh-sungguh dalam menegakkan cita-cita Islam. Bahkan, mungkin apa yang kita kerjakan sekarang ini, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. Lahum a’maaluhum, wa-lanaa a’maalunaa. Bagi mereka amal mereka, dan bagi kita amal kita sendiri.
Murid: Guru, partai-partai Islam itu kenapa sulit bersatu? Guru pernah bilang, mereka sedang dikeroyok untuk dimusnahkan?
Guru: Sebenarnya, yang berpecah belah itu bukan hanya partai Islam. Partai-partai sekuler juga terpecah belah. Inilah dunia manusia. Kita tidak bisa menemukan sosok atau kelompok ideal yang 100 persen sempurna. Pasti ada kekurangan dan kelemahannya. Betapa pun kondisinya, yang tetap perlu dijaga adalah silaturrahim-nya. Tapi, itu bukan berarti membenarkan perpecahan dalam Islam.
Sebab, jelas sekali, dalam QS Ali Imran:103, kita diperintahkan untuk berpegang pada “ikatan Allah” dan jangan berpecah belah, wa-laa tatafarraquu! Lebih jelas, dalam QS ash-Shaff: 4, bahwa Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi, laksana bangunan yang kokoh. Tentu, mafhum-mukhalafah-nya, Allah tidak cinta kepada kita, jika kita berjuang di Jalan Allah, tidak dalam barisan yang rapi; apalagi saling bermusuhan satu sama lain, saling jegal, saling caci, saling mengintai kelemahan saudara sendiri; yang lebih celaka, jika bersekutu dengan musuh untuk memerangi saudara sendiri. Jadi, berjuang di jalan Allah saja tidak cukup. Berjuang harus dalam barisan yang rapi; dalam ikatan yang kokoh. Lebih parah lagi, jika tidak berjuang; atau berjuang tetapi tidak berjuang di jalan Allah, tetapi di jalan thaghut atau jalan setan. Mari kita introspeksi, apakah kita berjuang di jalan Allah, karena Allah, untuk memperjuangkan kebenaran, demi tegaknya kalimah Allah; atau berjuang untuk kebanggaan diri sendiri atau lebih untuk kebanggaan kelompok!?
SETELAH KITA PUASA
Oleh: Dr. Adian Husaini
SAAT bertemu dengan sesama Muslim, di Hari Raya Idul Fithri kita disunnahkan mengucapkan “Taqabbalallaahu minnaa waminkum. Ja’alanallaahu wa-iyyaakum minal’aaidin wal-faaiziin.” (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan anda. Dan Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang beruntung dan meraih kemenangan).
Tentu, setelah menunaikan segenap ibadah di bulan Ramadhan, kita berharap benar-benar “kembali kepada kebenaran”, dan kita termasuk golongan yang beruntung. Selepas Ramadhan, semoga kita bisa memiliki sifat-sifat dari kaum yang dijanjikan Allah tersebut: yaitu mencintai Allah, mengasihi sesama mukmin, memiliki sikap ‘izzah terhadap orang kafir, selalu berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang suka mencela. (QS 5:54).
Setelah kita berjihad melawan hawa nafsu selama Ramadhan, kita berharap, meningkatlah derajat taqwa kita. Secara pribadi, ketaqwaan ditunjukkan dengan sikap meningkatnya semangat kita dalam ibadah. Misalnya, kita makin bergiat dalam aktivitas thalabul ilmi, meningkatkan keilmuan kita, sehingga makin memahami ayat-ayat Allah Subhanahu Wata’ala dan semakin meningkat pula kecintaan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Salah satu indikator orang taqwa adalah keyakinan yang mendalam terhadap kehidupan akhirat (wabil-aakhirati hum yuuqinuun). Orang yang taqwa pasti yakin bahwa hidup di dunia ini hanya sebentar saja. Akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. Karena itu, orang yang taqwa pastilah orang yang bahagia hidupnya, sebab ia tidak akan bersedih yang berlebihan saat tertimpa musibah atau bersenang-senang di dunia sehingga lupa diri gara-gara mendapatkan satu kenikmatan duniawi.
Imam al-Ghazali, dalam kitabnya, Kimmiyatus-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) mensyaratkan perlunya setiap orang mengenal betul siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Bukan sekedar pengenalan fisik, tetapi mengenal siapa dia sebenarnya, dari mana asalnya, untuk apa dia hidup di dunia, dan mau kemana setelah hidup ini. Pengenalan secara mendalam akan hal ini akan membawa seseorang pada keyakinan dan prinsip serta sikap hidup yang bahagia; tidak mudah resah dengan apa yang terjadi di dunia.
Dunia ini hanya sementara. Manusia mengalami keresahan karena dua hal saja. Resah karena apa yang sudah terjadi, dan kedua, resah karena apa yang kemungkinan akan terjadi, yang dibayangkannya akan menyusahkan dirinya. Karena itulah, kita disuruh banyak-banyak berzikir kepada Allah, jika kita ingin memiliki hidup yang tenang, hidup yang bahagia. Yang lalu, dan sudah terjadi, pastilah terjadi karena izin Allah. Yang belum terjadi, masih belum tentu terjadi. Jika itu terjadi, pasti atas izin Allah jua. Jadi, untuk apa dibuat susah secara berkepanjangan?
Ada seorang aktivis dakwah yang mengaku resah karena tujuan dakwahnya belum tercapai. Kata dia, sebelum daulah Islam berdiri, dia tidak mungkin menerapkan Islam secara sempurna (kaffah). Padahal, Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan setiap Muslim untuk masuk Islam secara kaffah. Karena itulah, mewujudkan suatu negara Islam adalah sebuah kewajiban utama setiap Muslim. Berdosalah, katanya, orang-orang yang tidak terlibat dalam usaha untuk mendirikan daulah Islam, atau khilafah Islamiyah.
Tentu saja para ulama dan cendekiawan Islam memandang penting keberadaan sebuah negara Islam, sistem dan para pemimpinnya menerapkan ajaran Islam secara maksimal.
Dalam kitab-kitab fikih banyak dijelaskan hukum-hukum tertentu yang hanya boleh dijalankan oleh negara, seperti hukum potong tangan untuk pencuri, hukum rajam untuk pezina, dan hukum-hukum hudud lainnya. Jika hukum-hukum Islam itu dijalankan secara anarkis oleh tiap-tiap individu atau kelompok tentu akan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Karena itulah, keberadaan sebuah negara yang mengatur pelaksanaan hukum-hukum Islam memang menjadi sebuah keharusan.
Pentingnya sebuah negara juga disadari oleh banyak agama dan juga ideologi-ideologi sekuler seperti kapitalisme atau komunisme. Peran negara sangat penting untuk menunjang perk
Oleh: Dr. Adian Husaini
SAAT bertemu dengan sesama Muslim, di Hari Raya Idul Fithri kita disunnahkan mengucapkan “Taqabbalallaahu minnaa waminkum. Ja’alanallaahu wa-iyyaakum minal’aaidin wal-faaiziin.” (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan anda. Dan Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang beruntung dan meraih kemenangan).
Tentu, setelah menunaikan segenap ibadah di bulan Ramadhan, kita berharap benar-benar “kembali kepada kebenaran”, dan kita termasuk golongan yang beruntung. Selepas Ramadhan, semoga kita bisa memiliki sifat-sifat dari kaum yang dijanjikan Allah tersebut: yaitu mencintai Allah, mengasihi sesama mukmin, memiliki sikap ‘izzah terhadap orang kafir, selalu berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang suka mencela. (QS 5:54).
Setelah kita berjihad melawan hawa nafsu selama Ramadhan, kita berharap, meningkatlah derajat taqwa kita. Secara pribadi, ketaqwaan ditunjukkan dengan sikap meningkatnya semangat kita dalam ibadah. Misalnya, kita makin bergiat dalam aktivitas thalabul ilmi, meningkatkan keilmuan kita, sehingga makin memahami ayat-ayat Allah Subhanahu Wata’ala dan semakin meningkat pula kecintaan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Salah satu indikator orang taqwa adalah keyakinan yang mendalam terhadap kehidupan akhirat (wabil-aakhirati hum yuuqinuun). Orang yang taqwa pasti yakin bahwa hidup di dunia ini hanya sebentar saja. Akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. Karena itu, orang yang taqwa pastilah orang yang bahagia hidupnya, sebab ia tidak akan bersedih yang berlebihan saat tertimpa musibah atau bersenang-senang di dunia sehingga lupa diri gara-gara mendapatkan satu kenikmatan duniawi.
Imam al-Ghazali, dalam kitabnya, Kimmiyatus-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) mensyaratkan perlunya setiap orang mengenal betul siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Bukan sekedar pengenalan fisik, tetapi mengenal siapa dia sebenarnya, dari mana asalnya, untuk apa dia hidup di dunia, dan mau kemana setelah hidup ini. Pengenalan secara mendalam akan hal ini akan membawa seseorang pada keyakinan dan prinsip serta sikap hidup yang bahagia; tidak mudah resah dengan apa yang terjadi di dunia.
Dunia ini hanya sementara. Manusia mengalami keresahan karena dua hal saja. Resah karena apa yang sudah terjadi, dan kedua, resah karena apa yang kemungkinan akan terjadi, yang dibayangkannya akan menyusahkan dirinya. Karena itulah, kita disuruh banyak-banyak berzikir kepada Allah, jika kita ingin memiliki hidup yang tenang, hidup yang bahagia. Yang lalu, dan sudah terjadi, pastilah terjadi karena izin Allah. Yang belum terjadi, masih belum tentu terjadi. Jika itu terjadi, pasti atas izin Allah jua. Jadi, untuk apa dibuat susah secara berkepanjangan?
Ada seorang aktivis dakwah yang mengaku resah karena tujuan dakwahnya belum tercapai. Kata dia, sebelum daulah Islam berdiri, dia tidak mungkin menerapkan Islam secara sempurna (kaffah). Padahal, Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan setiap Muslim untuk masuk Islam secara kaffah. Karena itulah, mewujudkan suatu negara Islam adalah sebuah kewajiban utama setiap Muslim. Berdosalah, katanya, orang-orang yang tidak terlibat dalam usaha untuk mendirikan daulah Islam, atau khilafah Islamiyah.
Tentu saja para ulama dan cendekiawan Islam memandang penting keberadaan sebuah negara Islam, sistem dan para pemimpinnya menerapkan ajaran Islam secara maksimal.
Dalam kitab-kitab fikih banyak dijelaskan hukum-hukum tertentu yang hanya boleh dijalankan oleh negara, seperti hukum potong tangan untuk pencuri, hukum rajam untuk pezina, dan hukum-hukum hudud lainnya. Jika hukum-hukum Islam itu dijalankan secara anarkis oleh tiap-tiap individu atau kelompok tentu akan menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Karena itulah, keberadaan sebuah negara yang mengatur pelaksanaan hukum-hukum Islam memang menjadi sebuah keharusan.
Pentingnya sebuah negara juga disadari oleh banyak agama dan juga ideologi-ideologi sekuler seperti kapitalisme atau komunisme. Peran negara sangat penting untuk menunjang perk
embangan suatu agama atau ideologi. Perkembangan agama Kristen tidak bisa dilepaskan dari peran Kaisar Romawi Konstantin dan Kaisar Theodosius. Sulit membayangkan, bagaimana nasib Kapitalisme jika negara AS runtuh dan berantakan.
Ada yang menyebut agama dan negara ibarat dua sisi mata uang. Pentingnya peran negara juga bisa dilihat dari antusiasnya sejumlah aktivis dakwah atau kaum minisionaris Kristen yang mengikuti proses pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Di AS, kaum Kristen fundamentalis Kristen menitipkan suaranya pada calon-calon Presiden tertentu, meskipun mereka mengecam praktik-praktik kenegaraan yang sekuler. Di Indonesia pun fenomena semacam ini lazim terjadi.
Akan tetapi, umat Islam diajarkan bersikap adil terjadap negara. Jangan menempatkan peran negara di atas peran aqidah. Tidak boleh menempatkan peran negara secara berlebihan, sehingga, seolah-olah Islam sudah tidak ada lagi, setelah tidak ada negara Islam. Yang diwajibkan oleh Allah SWT adalah tiap-tiap Muslim berusaha menjadi orang yang bertaqwa secara maksimal; berusaha sekuat tenaga menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Orang Muslim bisa menjadi taqwa, di mana saja dan kapan saja; baik ia hidup di dalam sebuah negara yang menerapkan sistem Islam atau tidak. Orang Muslim di Indonesia bisa menjadi orang taqwa, baik di saat hidup di bawah pemerintahan penjajah Belanda yang kafir atau di bawah Kerajaan Demak. Orang Muslim di Jakarta, InsyaAllah bisa menjadi taqwa, apakah yang memimpin Jakarta adalah Foke-Nara atau Jokowi-Ahok. Akan tetapi, tentu saja, jika pemimpinnya Muslim dan taqwa, mereka akan mendorong rakyatnya untuk menjadi taqwa. Jika pemimpin zalim dan kafir, tidak mungkin mereka akan menuntun rakyat ke arah jalan taqwa. Ironis sekali, dalam banyak acara Pilkadal (pilihan kepada daerah langsung) isu iman dan taqwa ini tidak dipentingkan. Hanya soal perut (ekonomi) yang ditonjolkan.
Jadi, yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat nanti adalah masalah iman dan amal ibadah seseorang; bukan soal dia ikut jamaah apa dan berapa besar kelompoknya! Karena itulah, kita patut mengevaluasi, apakah amal ibadah kita selama Ramadhan telah memberikan tambahan nilai yang signifikan bagi perbendaharaan amal baik kita di akhirat nanti? Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang bangkrut (muflis) karena banyaknya amal baik kita yang terpaksa diberikan kepada orang lain, sebab semasa hidup di dunia, kita banyak menzalimi orang lain!
****
Sebuah fenomena yang menyedihkan masih menggelayuti kehidupan umat Islam saat Ramadhan dan Idul Fithri tahun ini, yaitu fenomena perpecahan dan saling benci antar sesama Muslim. Di sejumlah daerah, antar aktivis organisasi Islam, perpecahan itu bahkan sudah meningkat, menjadi konflik dan bentrok fisik. Satu kelompok menuduh kelompok lain tidak menjalankan Sunnah, pegiat bid’ah, dan sebagainya, sehingga terus-menerus dicerca dan dicaci maki sebagai calon penghuni neraka. Tidak tahan dengan cercaan semacam itu, karena merasa massanya lebih banyak, kelompok yang satu menggalang dukungan massa untuk mengusir atau menghancurkan sarana-sarana fisik kelompok yang dianggap lebih lemah.
Anehnya, fenomena semacam ini juga terkadang menjangkiti orang-orang yang mengaku berjuang untuk Islam. Padahal, sesama Muslim diwajibkan saling mengasihi, saling menasehati, bukan saling mencaci-maki. Para dai sering berkhutbah, menyampaikan hadits Nabi, tidak beriman seorang diantara kamu, sampai ia mencintai apa yang baik untuk dirinya, juga baik untuk saudaranya. Katanya, sesama Mukmin itu saudara, seperti satu tubuh. Jika saudaranya tertimpa musibah, ia ikut merasa sakit. Jika saudaranya senang, ia pun turut senang. Itulah indahnya persaudaraan dalam Islam. Bahkan, kita diajarkan doa yang indah, yang selalu mendoakan saudara-saudara kita yang telah wafat, dan semoga Allah menghilangkan perasaan dendam kepada sesama Muslim.
Tapi, bagaimana faktanya di lapangan? Apakah ajaran ukhuwah itu sudah kita coba sekuat tenaga untuk dilaksanakan?
Sungguh aneh, di sejumlah kampus yang saya kunjungi, saya masih mend
Ada yang menyebut agama dan negara ibarat dua sisi mata uang. Pentingnya peran negara juga bisa dilihat dari antusiasnya sejumlah aktivis dakwah atau kaum minisionaris Kristen yang mengikuti proses pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Di AS, kaum Kristen fundamentalis Kristen menitipkan suaranya pada calon-calon Presiden tertentu, meskipun mereka mengecam praktik-praktik kenegaraan yang sekuler. Di Indonesia pun fenomena semacam ini lazim terjadi.
Akan tetapi, umat Islam diajarkan bersikap adil terjadap negara. Jangan menempatkan peran negara di atas peran aqidah. Tidak boleh menempatkan peran negara secara berlebihan, sehingga, seolah-olah Islam sudah tidak ada lagi, setelah tidak ada negara Islam. Yang diwajibkan oleh Allah SWT adalah tiap-tiap Muslim berusaha menjadi orang yang bertaqwa secara maksimal; berusaha sekuat tenaga menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Orang Muslim bisa menjadi taqwa, di mana saja dan kapan saja; baik ia hidup di dalam sebuah negara yang menerapkan sistem Islam atau tidak. Orang Muslim di Indonesia bisa menjadi orang taqwa, baik di saat hidup di bawah pemerintahan penjajah Belanda yang kafir atau di bawah Kerajaan Demak. Orang Muslim di Jakarta, InsyaAllah bisa menjadi taqwa, apakah yang memimpin Jakarta adalah Foke-Nara atau Jokowi-Ahok. Akan tetapi, tentu saja, jika pemimpinnya Muslim dan taqwa, mereka akan mendorong rakyatnya untuk menjadi taqwa. Jika pemimpin zalim dan kafir, tidak mungkin mereka akan menuntun rakyat ke arah jalan taqwa. Ironis sekali, dalam banyak acara Pilkadal (pilihan kepada daerah langsung) isu iman dan taqwa ini tidak dipentingkan. Hanya soal perut (ekonomi) yang ditonjolkan.
Jadi, yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat nanti adalah masalah iman dan amal ibadah seseorang; bukan soal dia ikut jamaah apa dan berapa besar kelompoknya! Karena itulah, kita patut mengevaluasi, apakah amal ibadah kita selama Ramadhan telah memberikan tambahan nilai yang signifikan bagi perbendaharaan amal baik kita di akhirat nanti? Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang bangkrut (muflis) karena banyaknya amal baik kita yang terpaksa diberikan kepada orang lain, sebab semasa hidup di dunia, kita banyak menzalimi orang lain!
****
Sebuah fenomena yang menyedihkan masih menggelayuti kehidupan umat Islam saat Ramadhan dan Idul Fithri tahun ini, yaitu fenomena perpecahan dan saling benci antar sesama Muslim. Di sejumlah daerah, antar aktivis organisasi Islam, perpecahan itu bahkan sudah meningkat, menjadi konflik dan bentrok fisik. Satu kelompok menuduh kelompok lain tidak menjalankan Sunnah, pegiat bid’ah, dan sebagainya, sehingga terus-menerus dicerca dan dicaci maki sebagai calon penghuni neraka. Tidak tahan dengan cercaan semacam itu, karena merasa massanya lebih banyak, kelompok yang satu menggalang dukungan massa untuk mengusir atau menghancurkan sarana-sarana fisik kelompok yang dianggap lebih lemah.
Anehnya, fenomena semacam ini juga terkadang menjangkiti orang-orang yang mengaku berjuang untuk Islam. Padahal, sesama Muslim diwajibkan saling mengasihi, saling menasehati, bukan saling mencaci-maki. Para dai sering berkhutbah, menyampaikan hadits Nabi, tidak beriman seorang diantara kamu, sampai ia mencintai apa yang baik untuk dirinya, juga baik untuk saudaranya. Katanya, sesama Mukmin itu saudara, seperti satu tubuh. Jika saudaranya tertimpa musibah, ia ikut merasa sakit. Jika saudaranya senang, ia pun turut senang. Itulah indahnya persaudaraan dalam Islam. Bahkan, kita diajarkan doa yang indah, yang selalu mendoakan saudara-saudara kita yang telah wafat, dan semoga Allah menghilangkan perasaan dendam kepada sesama Muslim.
Tapi, bagaimana faktanya di lapangan? Apakah ajaran ukhuwah itu sudah kita coba sekuat tenaga untuk dilaksanakan?
Sungguh aneh, di sejumlah kampus yang saya kunjungi, saya masih mend
apat berita adanya perpecahan dan saling jegal di antara sesama aktivis dakwah, hanya karena beda kelompok atau jamaah, yang memiliki tujuan yang sama, tetapi punya manhaj yang berbeda dalam mencapai tujuan. Padahal, jika sama-sama memahami, para aktivis dakwah dari berbagai kelompok itu sedang menghadapi tantangan yang sangat besar, di depan hidung mereka, yang andaikan mereka bersatu pun, belum tentu mereka menang. Tantangan itu adalah gerakan sekularisme dan liberalisme di kampus-kampus yang dirancang dan dilaksanakan dengan sistematis dan didukung kekuatan global.
Memang, pada akhirnya, perjuangan Islam akan memetik kemenangan – dengan izin Allah – jika mereka mampu melakukan kerja cerdas, kerja keras, dan kerja ikhlas. Yang terakhir ini tidaklah mudah. Keikhlasan memerlukan dasar keimanan yang kokoh, keyakinan akan kehidupan akhirat yang sangat mendalam, dan juga latihan-latihan jiwa yang sungguh-sungguh dan terus-menerus. Kita perlu keikhlasan dalam mengkritik dan juga sekaligus keikhlasan dalam menerima kritik. Dua hal itu tidaklah mudah. Sekali lagi, itu tidaklah mudah!
Tapi, kita tidak punya pilihan, jika ingin mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Rasa-rasanya pertolongan Allah tidak mungkin akan datang jika di dalam hati para aktivis dakwah masih diselimuti perasaan iri hati, dengki, kebencian, dan kesombongan. Di sinilah pentingnya latihan tazkiyyatun nafs (pensucian jiwa). Kita pasti memiliki perbedaan dengan banyak pihak. Tetapi, perbedaan itu tidak sepatutnya menanamkan sikap kebencian pada sesama. Betapa indahnya jika antar jamaah atau kelompok mau saling menjaga silaturrahim, menanamkan sikap saling memahami perbedaan, tanpa menghilangkan budaya taushiyah dalam kehidupan mereka. Sikap kritis tidak harus berdampak pada saling benci dan dendam, sehingga untuk saling tukar senyum dan tegur sapa pun terasa mahal.
Itulah pentingnya puasa Ramadhan dan semua ibadah yang kita jalani! Dan itulah sebenarnya tujuan hidup kita; bagaimana dengan ibadah yang kita lakukan, kita semakin dekat dengan Allah, semakin mencintai ajaran-ajaran Nabi-Nya, rindu untuk beramal shalih, dan membenci kemaksiatan dan kemunkaran, serta semakin merasakan kebahagiaan dan ketenangan dalam kehidupan dunia. Semua itu hanya bisa tercapai jika kita yakin dengan kehidupan akhirat.
Jika seorang pejuang Islam ingat akhirat, dia tidak akan bersikap tamak dan rakus dalam menghimpun jamaah; sebab di akhirat, yang dinilai oleh Allah bukan itu. Yang dinilai adalah kebenaran dan keikhlasannya dalam berjuang. Ada Nabi yang selama ratusan tahun hanya dapat sedikit pengikut. Seorang pejuang yang mukhlis justru akan berpikir keras untuk menambah sebanyak-banyak pengikut, demi bermegah-megahan dan berbangga-bangga dengan banyaknya anggota, karena tanggungjawab yang dipikulnya pun semakin berat.
Ada kisah indah, seorang mahasiswa S-3 Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor, menceritakan hasil kunjungannya ke sebuah pesantren, di mana Sang Kiai menolak bantuan materi yang diberikannya, dengan alasan takut santrinya akan bertambah dan ia tidak mampu lagi mengajarnya! Kisah semacam ini cukup langka. Tapi, bisa menjadi bahan introspeksi kita semua. Bahwa yang kita tuju sebenarnya keridhaan Allah, di dunia dan akhirat; bukan berbangga-bangga di dunia dan menebar kebencian pada sesama Muslim.
Akhirnya, apa pun yang sedang kita perjuangkan, semoga puasa Ramadhan kita tahun 1433 Hijriah benar-benar memberi makna yang mendalam bagi peningkatan derajat taqwa kita semua. Amin.*/Padangan, 24 Agustus 2012
Memang, pada akhirnya, perjuangan Islam akan memetik kemenangan – dengan izin Allah – jika mereka mampu melakukan kerja cerdas, kerja keras, dan kerja ikhlas. Yang terakhir ini tidaklah mudah. Keikhlasan memerlukan dasar keimanan yang kokoh, keyakinan akan kehidupan akhirat yang sangat mendalam, dan juga latihan-latihan jiwa yang sungguh-sungguh dan terus-menerus. Kita perlu keikhlasan dalam mengkritik dan juga sekaligus keikhlasan dalam menerima kritik. Dua hal itu tidaklah mudah. Sekali lagi, itu tidaklah mudah!
Tapi, kita tidak punya pilihan, jika ingin mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu Wata’ala. Rasa-rasanya pertolongan Allah tidak mungkin akan datang jika di dalam hati para aktivis dakwah masih diselimuti perasaan iri hati, dengki, kebencian, dan kesombongan. Di sinilah pentingnya latihan tazkiyyatun nafs (pensucian jiwa). Kita pasti memiliki perbedaan dengan banyak pihak. Tetapi, perbedaan itu tidak sepatutnya menanamkan sikap kebencian pada sesama. Betapa indahnya jika antar jamaah atau kelompok mau saling menjaga silaturrahim, menanamkan sikap saling memahami perbedaan, tanpa menghilangkan budaya taushiyah dalam kehidupan mereka. Sikap kritis tidak harus berdampak pada saling benci dan dendam, sehingga untuk saling tukar senyum dan tegur sapa pun terasa mahal.
Itulah pentingnya puasa Ramadhan dan semua ibadah yang kita jalani! Dan itulah sebenarnya tujuan hidup kita; bagaimana dengan ibadah yang kita lakukan, kita semakin dekat dengan Allah, semakin mencintai ajaran-ajaran Nabi-Nya, rindu untuk beramal shalih, dan membenci kemaksiatan dan kemunkaran, serta semakin merasakan kebahagiaan dan ketenangan dalam kehidupan dunia. Semua itu hanya bisa tercapai jika kita yakin dengan kehidupan akhirat.
Jika seorang pejuang Islam ingat akhirat, dia tidak akan bersikap tamak dan rakus dalam menghimpun jamaah; sebab di akhirat, yang dinilai oleh Allah bukan itu. Yang dinilai adalah kebenaran dan keikhlasannya dalam berjuang. Ada Nabi yang selama ratusan tahun hanya dapat sedikit pengikut. Seorang pejuang yang mukhlis justru akan berpikir keras untuk menambah sebanyak-banyak pengikut, demi bermegah-megahan dan berbangga-bangga dengan banyaknya anggota, karena tanggungjawab yang dipikulnya pun semakin berat.
Ada kisah indah, seorang mahasiswa S-3 Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor, menceritakan hasil kunjungannya ke sebuah pesantren, di mana Sang Kiai menolak bantuan materi yang diberikannya, dengan alasan takut santrinya akan bertambah dan ia tidak mampu lagi mengajarnya! Kisah semacam ini cukup langka. Tapi, bisa menjadi bahan introspeksi kita semua. Bahwa yang kita tuju sebenarnya keridhaan Allah, di dunia dan akhirat; bukan berbangga-bangga di dunia dan menebar kebencian pada sesama Muslim.
Akhirnya, apa pun yang sedang kita perjuangkan, semoga puasa Ramadhan kita tahun 1433 Hijriah benar-benar memberi makna yang mendalam bagi peningkatan derajat taqwa kita semua. Amin.*/Padangan, 24 Agustus 2012
Taqwa adalah suatu kondisi pikiran dan jiwa orang mukmin yang merasakan kehadiran Allah SWT di mana saja dia berada. Dia ridho dengan segala kondisi yang merupakan anugerah Allah. Dia takut untuk bermaksiat kepada Allah. Tapi sekaligus dia juga cinta dan penuh harap – tidak putus asa – dari rahmat Allah. Takwa itu indah. Taqwa itu nikmat. Dan taqwa itu suatu kebahagiaan. Karena itulah, kita diperintahkan untuk berjuang keras mencapai derajat yang mulia tersebut.
-Dr. Adian Husaini-
-Dr. Adian Husaini-
Orang-orang kaya akan merasa bahagia jika kekayaannya diraih dengan halal dan hartanya diserahkan untuk perjuangan menegakkan kebenaran. Sebab, dia sangat yakin dengan kehidupan akhirat. Dia bahagia saat menjalankan ibadah. Dia tenang, karena siap bertemu dengan Allah – Sang Khaliq – dan mempertanggungjawabkan seluruh harta yang dimilikinya: dari mana dia peroleh dan untuk apa digunakan!
-Dr. Adian Husaini-
-Dr. Adian Husaini-
KORUPSI ILMU
Oleh: Dr. Adian Husaini
Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA. Dia adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Lahir tanggal 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Semasa kecil, Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya sendiri.
Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan mengembangkan ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat, sastra, sejarah, politik, dan sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 1977, Hamka memenuhi permintaan untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia. Hamka juga aktif dalam kegiatan politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi jurkam dalam Pemilu 1955. Tapi, pada tahun 1981 ia meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI karena masalah fatwa Natal.
Kiprah Hamka dalam kelimuan juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya, seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.
Alkisah, Hamka, adalah seorang tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi, sebagaimana tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun, tulisan-tulisan Hamka bukan hanya berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat dengan ruh keimanan dan perjuangan serta memompakan semangat tinggi untuk mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan Islam.
Karena kegigihannya pula, HAMKA pernah dipenjara rejim Orde Lama. Tapi, di penjara, justru ia menghasilkan Tafsir Al-Azhar. Mohammad Natsir menghasilkan Capita Selecta dan berbagai buku lainnya. Sama dengan HAMKA, di penjara, Sayyid Quthb menghasilkan Fii Zhilalil Quran. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmuul Fatawa. Dan Ibnu Haistam menghasilkan teori optik. Mereka, adalah tipe ilmuwan, sekaligus ulama pejuang.
Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah).
Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.
Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang pertama kali harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. (Dikutip dari k
Oleh: Dr. Adian Husaini
Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA. Dia adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Lahir tanggal 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Semasa kecil, Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya sendiri.
Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan mengembangkan ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat, sastra, sejarah, politik, dan sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 1977, Hamka memenuhi permintaan untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia. Hamka juga aktif dalam kegiatan politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi jurkam dalam Pemilu 1955. Tapi, pada tahun 1981 ia meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI karena masalah fatwa Natal.
Kiprah Hamka dalam kelimuan juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya, seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.
Alkisah, Hamka, adalah seorang tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi, sebagaimana tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun, tulisan-tulisan Hamka bukan hanya berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat dengan ruh keimanan dan perjuangan serta memompakan semangat tinggi untuk mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan Islam.
Karena kegigihannya pula, HAMKA pernah dipenjara rejim Orde Lama. Tapi, di penjara, justru ia menghasilkan Tafsir Al-Azhar. Mohammad Natsir menghasilkan Capita Selecta dan berbagai buku lainnya. Sama dengan HAMKA, di penjara, Sayyid Quthb menghasilkan Fii Zhilalil Quran. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmuul Fatawa. Dan Ibnu Haistam menghasilkan teori optik. Mereka, adalah tipe ilmuwan, sekaligus ulama pejuang.
Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah).
Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.
Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.
Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang pertama kali harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. (Dikutip dari k
arya al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B. Iskandar).
Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hukum cambuk 10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Jafar al-Manshur.
Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mutazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.
Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su). Kata Nabi saw: Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.
Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ulama dunia.
Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat. (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Tetapi, ulama yang jahil, ia lebih berbahaya bagi umat manusia.
Sejatinya, kejahilan bisa dilihat dalam dua fenomena: kejahilan yang ringan dan kejahilan yang berat. Kedua kejahilan itulah yang sesungguhnya menjadi sumber penyebab kesalahan, penyimpangan, kesesatan dan juga kejahatan manusia di muka bumi ini.
Kejahilan ringan adalah kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (ignorance). Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq) sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebenaran. Rasulullah membiarkan seorang Badui (Arab Gunung) yang kencing di dalam masjid. Meski Umar begitu marah besar, Rasulullah SAW mencegah dan hanya meminta para sahabat untuk menyiram menggunakan ember.
Tapi ada kejahilan berat, yaitu kekacauann ilmu (confusion of knowedge). Kejahilan jenis ini terjadi bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena ilmu yang salah, ilmu yang kacau. Ilmu yang benar adalah yang seharusnya mengantarkan kepada keyakinan dan kebenaran yang hakiki. Tetapi, ilmu yang rusak, justru mengantarkan kepada keraguan. Para pemilik ilmun yang salah ini akan menolak kebenaran, meskipun telah sampai padanya informasi tentang kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang meyakinkan dan dari sumber-sumber yang terpercaya. Kepada mereka juga telah datang para Nabi utusan Allah serta para penyeru ke jalan Allah yang lurus, tetapi mereka berpaling. Kasus penolakan Walid bin Mughirah dan para pembesar Qurays tentang kebenaran Muhammad serta Al-Quran adalah contohnya.
Walid bin Mughirah adalah seorang cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Ia memutar balikkan kebenaran yang telah nyata tentang ajaran Muhammad dan mengatakan Al-Quran sebagai kata-kata Muhammad. Kejahilan yang dilakukan oleh para cendikiawan dan orang-orang cerdik-pandai seperti ini adalah bentuk kejahilan yang tidak dapat ditolelir. Sebab, mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah.
Kini, di Indonesia pada umumnya, terdapat fenomena ignorance pada kampus-kampus umum. B
Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hukum cambuk 10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Jafar al-Manshur.
Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mutazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.
Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su). Kata Nabi saw: Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.
Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ulama dunia.
Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat. (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Tetapi, ulama yang jahil, ia lebih berbahaya bagi umat manusia.
Sejatinya, kejahilan bisa dilihat dalam dua fenomena: kejahilan yang ringan dan kejahilan yang berat. Kedua kejahilan itulah yang sesungguhnya menjadi sumber penyebab kesalahan, penyimpangan, kesesatan dan juga kejahatan manusia di muka bumi ini.
Kejahilan ringan adalah kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (ignorance). Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq) sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebenaran. Rasulullah membiarkan seorang Badui (Arab Gunung) yang kencing di dalam masjid. Meski Umar begitu marah besar, Rasulullah SAW mencegah dan hanya meminta para sahabat untuk menyiram menggunakan ember.
Tapi ada kejahilan berat, yaitu kekacauann ilmu (confusion of knowedge). Kejahilan jenis ini terjadi bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena ilmu yang salah, ilmu yang kacau. Ilmu yang benar adalah yang seharusnya mengantarkan kepada keyakinan dan kebenaran yang hakiki. Tetapi, ilmu yang rusak, justru mengantarkan kepada keraguan. Para pemilik ilmun yang salah ini akan menolak kebenaran, meskipun telah sampai padanya informasi tentang kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang meyakinkan dan dari sumber-sumber yang terpercaya. Kepada mereka juga telah datang para Nabi utusan Allah serta para penyeru ke jalan Allah yang lurus, tetapi mereka berpaling. Kasus penolakan Walid bin Mughirah dan para pembesar Qurays tentang kebenaran Muhammad serta Al-Quran adalah contohnya.
Walid bin Mughirah adalah seorang cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Ia memutar balikkan kebenaran yang telah nyata tentang ajaran Muhammad dan mengatakan Al-Quran sebagai kata-kata Muhammad. Kejahilan yang dilakukan oleh para cendikiawan dan orang-orang cerdik-pandai seperti ini adalah bentuk kejahilan yang tidak dapat ditolelir. Sebab, mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah.
Kini, di Indonesia pada umumnya, terdapat fenomena ignorance pada kampus-kampus umum. B
anyak sarjana ilmu-ilmu umum yang tidak memahami ilmu-ilmu keislaman dengan baik. Mereka buta terhadap Ilmu-ilmu al-Quran, hadits, bahasa Arab, ilmu fiqih, dan sebagainya. Sementara di lingkungan Perguruan Tinggi Islam telah banyak terjadi confusion of knowledge dalam ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu perbandingan agama, misalnya, dirusak dengan cara menyebarkan paham relativisme kebenaran dan relativisme iman. Ulumul Quran dirusak dengan masuknya studi kritis terhadap al-Quran yang berujung kepada keraguan terhadap al-Quran.
Fenomena kerusakan ilmu ini, menurut Prof. Naquib al-Attas, disebut juga sebagai corruption of knowledge alias korupsi ilmu. Korupsi ilmu jauh lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.
Rasulullah saw bersabda,Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. [HR Muslim].
Rasulullah sendiri berkata seburuk-buruk makhluk adalah ulama jahat. Yang paling dikhawatirkan beliaua dalah munculnya orang-orang munafik yang canggih dalam berargumentasi (aliimil lisan). Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan. (***)
Fenomena kerusakan ilmu ini, menurut Prof. Naquib al-Attas, disebut juga sebagai corruption of knowledge alias korupsi ilmu. Korupsi ilmu jauh lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.
Rasulullah saw bersabda,Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. [HR Muslim].
Rasulullah sendiri berkata seburuk-buruk makhluk adalah ulama jahat. Yang paling dikhawatirkan beliaua dalah munculnya orang-orang munafik yang canggih dalam berargumentasi (aliimil lisan). Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan. (***)