BELA ISLAM BELA INDONESIA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Aksi Bela Islam (ABI) III, 2 Desember 2016—yang populer dengan sebutan Aksi 212—diakui sangat fantastis dan memesona. Meski tidak mengusung kata "Indonesia", ABI III terbukti membanggakan bagi Indonesia. Menurut kapolri, tidak sepotong ranting pun patah dalam aksi yang diikuti jutaan orang Indonesia itu.
Dua hari kemudian, 4 Desember 2016 (Aksi 412), digelar aksi yang mengangkat jargon "Kita Indonesia". Sulit menolak kesan bahwa Aksi 412 digelar sebagai "tandingan" atau "respons" terhadap Aksi 212. Kepada media, pemrakarsa Aksi 412 menyatakan, "Karena dalam beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dan prihatin dengan kondisi bangsa ini. Kami mencoba mengingatkan, jika kita bisa hidup bersama-sama dan Pancasila yang menjadi payung dalam kehidupan beragama di Indonesia."
Munculnya Aksi 412 telah mengangkat kembali wacana lama dalam dunia pemikiran politik keislaman di Indonesia, yaitu wacana "keislaman" dan "keindonesiaan". Sebagian kalangan masih tetap memandang bahwa "Islam" dan "Indonesia" adalah dua hal yang terpisah dan tidak bisa disatukan. Bahkan, umat Islam terkesan mendapat teror opini: "Anda tidak bisa menjadi Muslim yang baik dan pada saat yang sama juga menjadi orang Indonesia yang baik!"
Begitulah opini yang dikembangkan untuk memisahkan antara "Islam" dan "Indonesia".
Rekayasa penjajah
Tentu saja pembangunan opini semacam itu bukan hal baru. Penjajah Belanda sudah lama melakukannya. Islam diposisikan sebagai faktor potensial yang mengancam keberlangsungan pemerintah kolonial. Trisula penjajahan yang terkenal adalah gold, gospel, glory. Orientalis penjajah, Snouck Hurgronje, misalnya, dikenal sebagai pendukung upaya kristenisasi terhadap pribumi.
Dalam satu suratnya tertanggal: Leiden 28 Januari 1889—beberapa bulan sebelum Snouck sendiri datang ke Indonesia—Snouck menyatakan persetujuannya dengan pemikiran Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, 1984:241—242).
Hasil kajian Prof Uli Kozok terhadap kegiatan misionaris Kristen di daerah Batak menemukan kuatnya dukungan kolonial Belanda terhadap gerakan misionaris didasari oleh pandangan bahwa keislaman dipandang sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan penjajahan.
"Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda" (Prof Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain. Buku ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).
Bahkan, karena dianggap terlalu bermuatan ajaran Islam, sejarah menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pun sempat ditolak oleh kaum Kristen. JD Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: "Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya."
Senada dengan itu, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: "Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara" (Seperti dikutip oleh Karel A Steenbrink dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indones
Oleh: Dr. Adian Husaini
Aksi Bela Islam (ABI) III, 2 Desember 2016—yang populer dengan sebutan Aksi 212—diakui sangat fantastis dan memesona. Meski tidak mengusung kata "Indonesia", ABI III terbukti membanggakan bagi Indonesia. Menurut kapolri, tidak sepotong ranting pun patah dalam aksi yang diikuti jutaan orang Indonesia itu.
Dua hari kemudian, 4 Desember 2016 (Aksi 412), digelar aksi yang mengangkat jargon "Kita Indonesia". Sulit menolak kesan bahwa Aksi 412 digelar sebagai "tandingan" atau "respons" terhadap Aksi 212. Kepada media, pemrakarsa Aksi 412 menyatakan, "Karena dalam beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dan prihatin dengan kondisi bangsa ini. Kami mencoba mengingatkan, jika kita bisa hidup bersama-sama dan Pancasila yang menjadi payung dalam kehidupan beragama di Indonesia."
Munculnya Aksi 412 telah mengangkat kembali wacana lama dalam dunia pemikiran politik keislaman di Indonesia, yaitu wacana "keislaman" dan "keindonesiaan". Sebagian kalangan masih tetap memandang bahwa "Islam" dan "Indonesia" adalah dua hal yang terpisah dan tidak bisa disatukan. Bahkan, umat Islam terkesan mendapat teror opini: "Anda tidak bisa menjadi Muslim yang baik dan pada saat yang sama juga menjadi orang Indonesia yang baik!"
Begitulah opini yang dikembangkan untuk memisahkan antara "Islam" dan "Indonesia".
Rekayasa penjajah
Tentu saja pembangunan opini semacam itu bukan hal baru. Penjajah Belanda sudah lama melakukannya. Islam diposisikan sebagai faktor potensial yang mengancam keberlangsungan pemerintah kolonial. Trisula penjajahan yang terkenal adalah gold, gospel, glory. Orientalis penjajah, Snouck Hurgronje, misalnya, dikenal sebagai pendukung upaya kristenisasi terhadap pribumi.
Dalam satu suratnya tertanggal: Leiden 28 Januari 1889—beberapa bulan sebelum Snouck sendiri datang ke Indonesia—Snouck menyatakan persetujuannya dengan pemikiran Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, 1984:241—242).
Hasil kajian Prof Uli Kozok terhadap kegiatan misionaris Kristen di daerah Batak menemukan kuatnya dukungan kolonial Belanda terhadap gerakan misionaris didasari oleh pandangan bahwa keislaman dipandang sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan penjajahan.
"Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda" (Prof Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain. Buku ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).
Bahkan, karena dianggap terlalu bermuatan ajaran Islam, sejarah menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pun sempat ditolak oleh kaum Kristen. JD Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: "Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya."
Senada dengan itu, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: "Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara" (Seperti dikutip oleh Karel A Steenbrink dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indones
ia [2009]).
Usaha penggusuran bahasa Melayu dalam tataran kenegaraan ini masih terus berlanjut hingga era kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang sudah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dipaksa untuk menerima slogan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" sebagai landasan pendidikan nasional. Padahal, bangsa Indonesia lebih mudah memahami kata "iman, ilmu, dan amal" sebagai slogan resmi pendidikan nasional.
Lapis pelitur
Menyadari potensi Islam sebagai faktor penting perlawanan terhadap misi Kristen dan penjajahan, para orientalis Belanda telah lama merumuskan teori "lapis pelitur". Adalah pakar sejarah Melayu Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mengungkap teori tersebut. Dianggap laksana "pelitur", kedatangan Islam di Indonesia dikatakan tidak meresap ke dalam kayu. Jasad kayu—yakni jati diri bangsa Indonesia—tetap Hindu, Buddha dan animis. Pandangan semacam itu, menurut al-Attas, "Tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam, lagi hanya merupakan angan-angan belaka" (SM Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1995: 41).
Buya Hamka menyebutkan, upaya membenturkan Islam dari keindonesiaan dilakukan dengan mengangkat tokoh-tokoh Hindu-Buddha sebagai simbol pemersatu bangsa. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Hamka menyebutkan bahwa dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga.
Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit, sedangkan Islam adalah kekuatan yang menghancurkan Majapahit. Maka, berbagai simbol keindonesiaan kemudian dijauhkan dari Islam. Indonesia disimbolkan dengan patung dan candi, bukan kitab dan masjid.
Bahkan, majalah Media Hindu edisi Oktober 2011 menurunkan laporan utama berjudul "Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit". Ditegaskan pada bahasan utama: "Kembali pada Hindu, sebagai satu-satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi negara adidaya."
Ditulis dalam majalah ini: "Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi negara adidaya. Satu-satunya agama yang dapat menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini."
Jadi, simpul Media Hindu: "Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan jati diri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju."
Dengan cara pandang seperti ini, maka untuk menjadi Indonesia harus dilakukan dengan menjauhkan diri dari simbol-simbol Islam. Berikutnya, simbol tokoh pendidikan nasional dijauhkan dari sosok KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Simbol kemajuan wanita Indonesia dijauhkan dari sosok Ratu Syafiatuddin, Laksamana Malahayati, atau Ratu Siti Aisyah dari Bone. Walhasil, berbagai upaya untuk memisahkan antara Islam dan keindonesiaan masih terus berjalan hingga kini.
Padahal, menurut Buya Hamka, kebangsaan Indonesia justru makin kokoh jika disatukan dengan keislaman. "Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana."
Begitulah paparan d
Usaha penggusuran bahasa Melayu dalam tataran kenegaraan ini masih terus berlanjut hingga era kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang sudah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dipaksa untuk menerima slogan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" sebagai landasan pendidikan nasional. Padahal, bangsa Indonesia lebih mudah memahami kata "iman, ilmu, dan amal" sebagai slogan resmi pendidikan nasional.
Lapis pelitur
Menyadari potensi Islam sebagai faktor penting perlawanan terhadap misi Kristen dan penjajahan, para orientalis Belanda telah lama merumuskan teori "lapis pelitur". Adalah pakar sejarah Melayu Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mengungkap teori tersebut. Dianggap laksana "pelitur", kedatangan Islam di Indonesia dikatakan tidak meresap ke dalam kayu. Jasad kayu—yakni jati diri bangsa Indonesia—tetap Hindu, Buddha dan animis. Pandangan semacam itu, menurut al-Attas, "Tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam, lagi hanya merupakan angan-angan belaka" (SM Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1995: 41).
Buya Hamka menyebutkan, upaya membenturkan Islam dari keindonesiaan dilakukan dengan mengangkat tokoh-tokoh Hindu-Buddha sebagai simbol pemersatu bangsa. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Hamka menyebutkan bahwa dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga.
Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit, sedangkan Islam adalah kekuatan yang menghancurkan Majapahit. Maka, berbagai simbol keindonesiaan kemudian dijauhkan dari Islam. Indonesia disimbolkan dengan patung dan candi, bukan kitab dan masjid.
Bahkan, majalah Media Hindu edisi Oktober 2011 menurunkan laporan utama berjudul "Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit". Ditegaskan pada bahasan utama: "Kembali pada Hindu, sebagai satu-satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi negara adidaya."
Ditulis dalam majalah ini: "Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi negara adidaya. Satu-satunya agama yang dapat menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini."
Jadi, simpul Media Hindu: "Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan jati diri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju."
Dengan cara pandang seperti ini, maka untuk menjadi Indonesia harus dilakukan dengan menjauhkan diri dari simbol-simbol Islam. Berikutnya, simbol tokoh pendidikan nasional dijauhkan dari sosok KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Simbol kemajuan wanita Indonesia dijauhkan dari sosok Ratu Syafiatuddin, Laksamana Malahayati, atau Ratu Siti Aisyah dari Bone. Walhasil, berbagai upaya untuk memisahkan antara Islam dan keindonesiaan masih terus berjalan hingga kini.
Padahal, menurut Buya Hamka, kebangsaan Indonesia justru makin kokoh jika disatukan dengan keislaman. "Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana."
Begitulah paparan d
an imbauan Buya Hamka. Penyesalan dan dendam tentang pengislaman nusantara seyogianya tidak perlu dipelihara. Apalagi, kemudian mengikuti kemauan dan skenario penjajah untuk mengerdilkan peran Islam dan memosisikan Islam sebagai agama yang "antibudaya bangsa", sebab budaya bangsa sudah dipersepsikan identik dengan kehinduan atau kebuddhaan.
Hukum adat dan hukum sekuler warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu bangsa, sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini, sebagian kalangan masih saja berpikir bahwa Islam bukanlah jati diri bangsa Indonesia. Islam dianggap tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekuler di luar agama. Padahal, sekularisme adalah pengalaman lokal bangsa Eropa yang pernah mengalami trauma sejarah dominasi pemuka agama dalam kehidupan politik kenegaraan.
Islam dan Indonesia
Fakta sejarah menunjukkan, babak terpenting dalam perjalanan sejarah nusantara adalah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Atas jasa para ulama dan pendakwah Islam, berbagai suku di wilayah nusantara disatukan dengan agama Islam dan dengan bahasa Melayu.
Prof Naquib al-Attas menyebutkan, dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu di wilayah nusantara, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan "bahasa Muslim" kedua terbesar (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan pemeluknya ke arah terbentuknya kesadaran nasional penduduk kawasan ini. Al-Attas mencatat masalah ini: "The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego" (Ibid, hlm 178).
Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, umat Islam senantiasa menduduki garda terdepan. Indonesia adalah amanah dari Allah SWT. Ketika penjajah akan kembali ke Indonesia, 1945, maka KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad yang mewajibkan kaum Muslimin mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jadi, bagi Muslim Indonesia, keislaman dan keindonesiaan telah menyatu. Jika seorang menjadi Muslim yang baik maka secara otomatis ia menjadi orang Indonesia yang baik. Dalam istilah Buya Hamka: "Saya akan berusaha hidup sebagai Muslim sejati, niscaya tidak dapat lain, saya akan menjadi Pancasilais sejati" (lihat, Hamka, Hak Asasi Manusia dalam Islam & Deklarasi PBB, Selangor, Pustaka Dini, 2005). (***)
Hukum adat dan hukum sekuler warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu bangsa, sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini, sebagian kalangan masih saja berpikir bahwa Islam bukanlah jati diri bangsa Indonesia. Islam dianggap tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekuler di luar agama. Padahal, sekularisme adalah pengalaman lokal bangsa Eropa yang pernah mengalami trauma sejarah dominasi pemuka agama dalam kehidupan politik kenegaraan.
Islam dan Indonesia
Fakta sejarah menunjukkan, babak terpenting dalam perjalanan sejarah nusantara adalah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Atas jasa para ulama dan pendakwah Islam, berbagai suku di wilayah nusantara disatukan dengan agama Islam dan dengan bahasa Melayu.
Prof Naquib al-Attas menyebutkan, dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu di wilayah nusantara, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan "bahasa Muslim" kedua terbesar (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan pemeluknya ke arah terbentuknya kesadaran nasional penduduk kawasan ini. Al-Attas mencatat masalah ini: "The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego" (Ibid, hlm 178).
Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, umat Islam senantiasa menduduki garda terdepan. Indonesia adalah amanah dari Allah SWT. Ketika penjajah akan kembali ke Indonesia, 1945, maka KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad yang mewajibkan kaum Muslimin mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jadi, bagi Muslim Indonesia, keislaman dan keindonesiaan telah menyatu. Jika seorang menjadi Muslim yang baik maka secara otomatis ia menjadi orang Indonesia yang baik. Dalam istilah Buya Hamka: "Saya akan berusaha hidup sebagai Muslim sejati, niscaya tidak dapat lain, saya akan menjadi Pancasilais sejati" (lihat, Hamka, Hak Asasi Manusia dalam Islam & Deklarasi PBB, Selangor, Pustaka Dini, 2005). (***)
ISLAM, KOMUNIS DAN PANCASILA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan memaknai Pancasila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia. Pergulatan pemikiran itu secara intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan Islam dan sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia. Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi komunisme di Indonesia.
Mantan Wakil Kepala BIN, As'ad Said Ali, menulis dalam bukunya, Negara Pancasila, (hlm. 170-171), bahwa munculnya semangat para tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis Konstituante, antara lain juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis (melalui Partai Komunis Indonesia/PKI) ke dalam blok pendukung Pancasila.
"Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif," tulis As'ad dalam bukunya tersebut.
Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi "kebebasan beragama". Termasuk dalam cakupan "kebebasan beragama" adalah "kebebasan untuk tidak beragama."
Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI 1945-1946 dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1950). Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah. Dalam Sidang Konstituante itu mengingatkan: "Saudara ketua, sama-sama tokh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umum nya dan pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!." (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 480-481).
Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela Pancasila kemudian dipandang oleh kubu Islam sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Ir. Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa "Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal."
Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan Islam: "Betapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu "grootste gemene deler" yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam."
Dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: "Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana." Kasman berkomentar: "Itu artinya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa Pancasila itu dapat dan boleh saja bersegi ateis dan politeis, pun dapat/ boleh saja berpihak ke syaitan dan neraka." Begitulah sikap para tokoh Islam dalam sidang Konstituante yang memang merupakan forum untuk merumuskan dasar negara yang baru. Tapi, ketika forum itu di bubarkan dan dikeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, Kasman dan para tokoh Islam lain nya, menerimanya karena telah sah secara konstitusional. (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 536-540).
D
Oleh: Dr. Adian Husaini
Sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan memaknai Pancasila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia. Pergulatan pemikiran itu secara intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan Islam dan sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia. Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi komunisme di Indonesia.
Mantan Wakil Kepala BIN, As'ad Said Ali, menulis dalam bukunya, Negara Pancasila, (hlm. 170-171), bahwa munculnya semangat para tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis Konstituante, antara lain juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis (melalui Partai Komunis Indonesia/PKI) ke dalam blok pendukung Pancasila.
"Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif," tulis As'ad dalam bukunya tersebut.
Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi "kebebasan beragama". Termasuk dalam cakupan "kebebasan beragama" adalah "kebebasan untuk tidak beragama."
Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI 1945-1946 dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1950). Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah. Dalam Sidang Konstituante itu mengingatkan: "Saudara ketua, sama-sama tokh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umum nya dan pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!." (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 480-481).
Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela Pancasila kemudian dipandang oleh kubu Islam sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Ir. Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa "Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal."
Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan Islam: "Betapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu "grootste gemene deler" yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam."
Dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: "Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana." Kasman berkomentar: "Itu artinya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa Pancasila itu dapat dan boleh saja bersegi ateis dan politeis, pun dapat/ boleh saja berpihak ke syaitan dan neraka." Begitulah sikap para tokoh Islam dalam sidang Konstituante yang memang merupakan forum untuk merumuskan dasar negara yang baru. Tapi, ketika forum itu di bubarkan dan dikeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, Kasman dan para tokoh Islam lain nya, menerimanya karena telah sah secara konstitusional. (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 536-540).
D
alam bukunya, Renungan dari Tahanan, Kasman menulis: "… seluruh rakyat Indonesia, termasuk seluruh umat Islam yang meliputi mayoritas mutlak dari rakyat Indonesia itu kini harus mengindahkan Dekrit Presiden itu sepenuh-penuhnya." (Lihat, Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967), hlm. 34).
Memang, Ir. Sakirman pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dengan menyebutkan adanya rumusan sila kelima yang diajukan Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang berbeda dengan rumusan risalah sidang BPUPK, yaitu (5) "Ke-Tuhanan yang berkebudayaan atau Ke-Tuhanan yang berbudi luhur atau Ke-Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain." Sakirman juga mengakui, bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila "Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup." (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hlm. 275.
Fakta komunisme
Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha untuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.
Golongan Islam melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama se-Indonesia tanggal 8- 11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan: (1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya, (2)
Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam, (3) Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll; tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut, (4) Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme, (5) Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia, (6) Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu'in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957).
Dalam sambutannya untuk Muktamar tersebut, mantan wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di Indonesia, terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat. "Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan ideologi yang belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin… Apabila kaum Ulama kita tidak menilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme," kata Hatta dalam sambutannya. Hatta mengajak agar Ulama berusaha menegakkan keadilan Islam. Kata Hatta lagi, "Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia.
Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera."
Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah perjuangan umat Islam, bisa dikatakan sudah mendarah daging di berbagai penjuru dunia. Sebab, kekejaman komunisme di berbagai belahan dunia sudah terbukti. Di Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka yang aktif melawan komun
Memang, Ir. Sakirman pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dengan menyebutkan adanya rumusan sila kelima yang diajukan Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang berbeda dengan rumusan risalah sidang BPUPK, yaitu (5) "Ke-Tuhanan yang berkebudayaan atau Ke-Tuhanan yang berbudi luhur atau Ke-Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain." Sakirman juga mengakui, bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila "Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup." (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hlm. 275.
Fakta komunisme
Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha untuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.
Golongan Islam melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama se-Indonesia tanggal 8- 11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan: (1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya, (2)
Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam, (3) Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll; tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut, (4) Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme, (5) Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia, (6) Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu'in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957).
Dalam sambutannya untuk Muktamar tersebut, mantan wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di Indonesia, terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat. "Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan ideologi yang belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin… Apabila kaum Ulama kita tidak menilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme," kata Hatta dalam sambutannya. Hatta mengajak agar Ulama berusaha menegakkan keadilan Islam. Kata Hatta lagi, "Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia.
Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera."
Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah perjuangan umat Islam, bisa dikatakan sudah mendarah daging di berbagai penjuru dunia. Sebab, kekejaman komunisme di berbagai belahan dunia sudah terbukti. Di Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka yang aktif melawan komun
isme, sejak zaman Orde Lama sampai zaman kini adalah Taufik Ismail. Berbagai buku yang menjelaskan bahaya dan kegagalan komunisme ditulis oleh Taufik Ismail, termasuk buku-buku saku yang disebarluaskan secara gratis kepada masyarakat luas.
Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: "Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita."
Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: "Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah." Satu lagi tulisannya: "Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang."
Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987). Buku saku lain tentang komunis me yang ditulis oleh Taufiq Ismail adalah Komunisme=Narkoba dan Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal Sial yang Gagal (Jakarta: Infinitum, 2007).
Sepatutnya, bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang; Tuhan disingkirkan, jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai berkampanye tentang perlunya "kebebasan beragama" harus mencakup juga "kebebasan untuk tidak beragama". Dalam kondisi seperti ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan. Jangan sampai elite-elite muslim lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya; sibuk saling caci; tanpa sadar komunisme dalam kemasan baru semakin mendapat simpati masyarakat. Na'udzubillahi min dzalika.
Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: "Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita."
Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: "Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah." Satu lagi tulisannya: "Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang."
Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987). Buku saku lain tentang komunis me yang ditulis oleh Taufiq Ismail adalah Komunisme=Narkoba dan Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal Sial yang Gagal (Jakarta: Infinitum, 2007).
Sepatutnya, bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang; Tuhan disingkirkan, jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai berkampanye tentang perlunya "kebebasan beragama" harus mencakup juga "kebebasan untuk tidak beragama". Dalam kondisi seperti ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan. Jangan sampai elite-elite muslim lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya; sibuk saling caci; tanpa sadar komunisme dalam kemasan baru semakin mendapat simpati masyarakat. Na'udzubillahi min dzalika.
RENUNGAN KEMERDEKAAN
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan, Mohammad Natsir – Pahlawan Nasional dan Pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia -- menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan.
“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”
Peringatan Moh. Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa. Bahwa, baru beberapa tahun saja kemerdekaan berlalu, banyak orang Indonesia sudah kehilangan orientasi, egois, serba pamrih, dan tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Mereka berpikir, bahwa perjuangan sudah selesai, dan seolah-olah tujuan bangsa sudah tercapai. Sudah merdeka. Cukup!. Maka, tiap tahun rakyat dihibur dengan pesta-pesta 17 Agustusan. Menurut mereka, sekarang bukan saat untuk berjuang, tetapi saatnya untuk menikmati hasil perjuangan.
Sikap cepat berpuas diri dan ingin cepat-cepat menikmati hasil perjuangan itulah yang dikritik oleh Natsir. Kata Natsir, jika bangsa ini tidak mau tenggelam dihantam gelombang tantangan zaman, maka bangsa ini tidak boleh berhenti ”mendayung”. Untuk itu, Natsir berseru:
”Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkejauh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini... Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.” (M. Natsir, Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008, cet. Ke-2).
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan, Mohammad Natsir – Pahlawan Nasional dan Pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia -- menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan.
“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”
Peringatan Moh. Natsir hampir 60 tahun lalu itu perlu dicermati oleh para elite bangsa. Bahwa, baru beberapa tahun saja kemerdekaan berlalu, banyak orang Indonesia sudah kehilangan orientasi, egois, serba pamrih, dan tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Mereka berpikir, bahwa perjuangan sudah selesai, dan seolah-olah tujuan bangsa sudah tercapai. Sudah merdeka. Cukup!. Maka, tiap tahun rakyat dihibur dengan pesta-pesta 17 Agustusan. Menurut mereka, sekarang bukan saat untuk berjuang, tetapi saatnya untuk menikmati hasil perjuangan.
Sikap cepat berpuas diri dan ingin cepat-cepat menikmati hasil perjuangan itulah yang dikritik oleh Natsir. Kata Natsir, jika bangsa ini tidak mau tenggelam dihantam gelombang tantangan zaman, maka bangsa ini tidak boleh berhenti ”mendayung”. Untuk itu, Natsir berseru:
”Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkejauh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini... Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.” (M. Natsir, Capita Selecta 2, (Jakarta: PT Abadi, 2008, cet. Ke-2).
FAKTOR KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.
Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor tersebut adalah sbb:
Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.
Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.” Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.
Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesuda
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Setelah mengetahui asas kebangkitan peradaban Islam kini kita perlu mengkaji sebab-sebab kemunduran dan kejatuhannya. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran dan bahkan menguji letak kelemahan, kekuatan, kemungkinan dan tantangan (SWOT). Kemunduran suatu peradaban tidak dapat dikaitkan dengan satu atau dua faktor saja. Karena peradaban adalah sebuah organisme yang sistemik, maka jatuh bangunnya suatu perdaban juga bersifat sistemik. Artinya kelemahan pada salah satu organ atau elemennya akan membawa dampak pada organ lainnya. Setidaknya antara satu faktor dengan faktor lainnya – yang secara umum dibagi menjadi faktor eksternal dan internal – berkaitan erat sekali. Untuk itu, akan dipaparkan faktor-faktor ekternal terlebih dahulu dan kemudian faktor internalnya.
Untuk menjelaskan faktor penyebab kemunduran umat Islam secara eksternal kita rujuk paparan al-Hassan yang secara khusus menyoroti kasus kekhalifahan Turkey Uthmani, kekuatan Islam yang terus bertahan hingga abad ke 20. Faktor-faktor tersebut adalah sbb:
Faktor ekologis dan alami, yaitu kondisi tanah di mana negara-negara Islam berada adalah gersang, atau semi gersang, sehingga penduduknya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan tertentu. Kondisi ekologis ini memaksa mereka untuk bergantung kepada sungai-sungai besar, seperti Nil, Eufrat dan Tigris. Secara agrikultural kondisi ekologis seperti ini menunjukkan kondisi yang miskin. Kondisi ini juga rentan dari sisi pertahanan dari serangan luar. Faktor alam yang cukup penting adalah Pertama, Negara-negara Islam seperti Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain mengalami berbagai bencana alam. Antara tahun 1066-1072 di Mesir terjadi paceklik (krisis pangan) disebabkan oleh rusaknya pertanian mereka. Demikian pula di tahun 1347-1349 terjadi wabah penyakit yang mematikan di Mesir, Syria dan Iraq. Kedua, letak geografis yang rentan terhadap serangan musuh. Iraq, Syria, Mesir merupakan target serangan luar yang terus menerus. Sebab letak kawasan itu berada di antara Barat dan Timur dan sewaktu-waktu bisa menjadi terget invasi pihak luar.
Faktor eksternal. Faktor eksternal yang berperan dalam kajatuhan peradaban Islam adalah Perang Salib, yang terjadi dari 1096 hingga 1270, dan serangan Mongol dari tahun 1220-1300an. “Perang Salib”, menurut Bernard Lewis, “pada dasarnya merupakan pengalaman pertama imperialisme barat yang ekspansionis, yang dimotivasi oleh tujuan materi dengan menggunakan agama sebagai medium psikologisnya.” Sedangkan tentara Mongol menyerang negara-negara Islam di Timur seperti Samarkand, Bukhara dan Khawarizm, dilanjutkan ke Persia (1220-1221). Pada tahun 1258 Mongol berhasil merebut Baghdad dan diikuti dengan serangan ke Syria dan Mesir. Dengan serangan Mongol maka kekhalifahan Abbasiyah berakhir.
Hilangnya Perdagangan Islam Internasional dan munculnya kekuatan Barat. Pada tahun 1492 Granada jatuh dan secara kebetulan Columbus mulai petualangannya. Dalam upayanya mencari rute ke India ia menempuh jalur yang melewati negara-negara Islam. Pada saat yang sama Portugis juga mencari jalan ke Timur dan juga melewati negara-negara Islam. Di saat itu kekuatan ummat Islam baik di laut maupun di darat dalam sudah memudar. Akhirnya pos-pos pedagangan itu dengan mudah dikuasai mereka. Pada akhir abad ke 16 Belanda, Inggris dan Perancis telah menjelma menjadi kekuatan baru dalam dunia perdagangan. Selain itu, ternyata hingga abad ke 19 jumlah penduduk bangsa Eropa telah meningkat dan melampaui jumlah penduduk Muslim diseluruh wilayah kekhalifahan Turkey Uthmani. Penduduk Eropa Barat waktu itu berjumlah 190 juta, jika ditambah dengan Eropa timur menjadi 274 juta; sedangkan jumlah penduduk Muslim hanya 17 juta. Kuantitas yang rendah inipun tidak dibarengi oleh kualitas yang tinggi.
Sebagai tambahan, meskipun Barat muncul sebagai kekuatan baru, Muslim bukanlah peradaban yang mati seperti peradaban kuno yang tidak dapat bangkit lagi. Peradaban Islam terus hidup dan bahkan berkembang secara perlahan-lahan dan bahkan dianggap sebagai ancaman Barat. Sesuda
h kekhalifahan Islam jatuh, negara-negara Barat menjajah negara-negara Islam. Pada tahun 1830 Perancis mendarat di Aljazair, pada tahun 1881 masuk ke Tunisia. Sedangkan Inggris memasuki Mesir pada tahun 1882. Akibat dari jatuhnya kekhalifahan Turki Uthmani sesudah Perang Dunia Pertama, kebanyakan negara-negara Arab berada dibawah penjajahan Inggris dan Perancis, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialis melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagai kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan tehnik divide et impera sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negeri-negeri kecil.
Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:
Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.
Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.
Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:
…..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang, …. jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban.
Lebih lanjut ia menyatakan:
Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.
Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa, 2) penindasan penguasa dan ketidak adilan 3) Despotisme atau kezaliman 4) orient
Itulah di antara faktor-faktor eksternal yang dapat diamati. Namun analisa al-Hassan di atas berbeda dari analisa Ibn Khaldun. Bagi Ibn Khaldun justru letak geografis dan kondisi ekologis negara-negara Islam merupakan kawasan yang berada di tengah-tengah antara zone panas dan dingin sangat menguntungkan. Di dalam zone inilah peradaban besar lahir dan bertahan lama, termasuk Islam yang bertahan hingga 700 tahun, India, China, Mesir dll. Menurut Ibn Khaldun faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:
Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah dan memakan riba.
Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elit penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral dan penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke negara lain (braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanimse rekrutmen yang terganggu. Semua itu bermuara pada turunnya produktifitas pekerja dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengertahuan dan ketrampilan.
Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha. Secara gamblang Ibn Khaldun menyatakan:
…..mata pencaharian mereka yang mapan telah hilang, …. jika ini terjadi terus menerus, maka semua sarana untuk membangun peradaban akan rusak,dan akhirnya mereka benar-benar akan berhenti berusaha. Ini semua mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban.
Lebih lanjut ia menyatakan:
Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi seperti hewan.
Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Contoh yang nyata adalah pengamatannya terhadap peradaban Islam di Andalusia. Disana merosotnya moralitas penguasa diikuti oleh menurunnya kegiatan keilmuan dan keperdulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Di Baghdad keperdulian al-Ma’mun, pendukung Mu’tazilah dan al-Mutawakkil pendukung Ash’ariyyah merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan ilmu pengetahuan saat itu. Secara ringkas jatuhnya suatu peradaban dalam pandangan Ibn Khaldun ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa, 2) penindasan penguasa dan ketidak adilan 3) Despotisme atau kezaliman 4) orient
asi kemewahan masyarakat 5) Egoisme 6) Opportunisme 7) Penarikan pajak secara berlebihan 8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat 9) Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dan 10) Penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.
Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo.
Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh para sejarawan Muslim tentang kemunduran peradaban Islam. Jika al-Hassan memfokuskan pengamatannya pada masa-masa terakhir kejatuhan kekuasaan Islam pada abad ke 16 hingga abad ke 20, Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. Kini masih diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.
Kesepuluh poin ini lebih mengarah kepada masalah-masalah moralitas masyarakat khususnya penguasa. Nampaknya, Ibn Khaldun berpegang pada asumsi bahwa karena kondisi moral di atas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khususnya sains. Menurutnya “ketika Maghrib dan Spanyol jatuh, pengajaran sains di kawasan Barat kekhalifahan Islam tidak berjalan.” Namun dalam kasus jatuhnya Baghdad, Basra dan Kufah ia tidak menyatakan bahwa sains dan kegiatan saintifik berhenti atau menurun, tapi berpindah ke bagian Timur kekhalifahan Baghdad, yaitu Khurasan dan Transoxania atau ke Barat yaitu Cairo.
Itulah sebagian pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh para sejarawan Muslim tentang kemunduran peradaban Islam. Jika al-Hassan memfokuskan pengamatannya pada masa-masa terakhir kejatuhan kekuasaan Islam pada abad ke 16 hingga abad ke 20, Ibn Khaldun mengamati peristiwa-peristiwa sejarah pada abad ke 15 dan sebelumnya. Kini masih diperlukan redifinisi tentang kemunduran ummat Islam secara umum dan mendasar, agar kita dapat memberikan solusi yang tepat.
*NASDEM DALAM SOROTAN*
Adnin Armas
*Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR RI,* Viktor Bungtilu Laiskodat, asal daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur pada pemilihan umum legislatif 2014, telah membuat kriteria *partai politik pendukung ekstrimis.* Viktor menyebut empat partai, yaitu Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN sebagai *partai pendukung kelompok ekstrimis, pendukung khilafah, dan tidak boleh didukung.*
Pernyataan barbar Viktor, *Ketua Fraksi NASDEM di DPR* itu disampaikan dalam acara Deklarasi Calon Bupati Kabupaten Kupang pada 1 Agustus 2017.
Ironinya, pernyataan gila *Ketua Fraksi NASDEM di DPR* itu masih dibela oleh NASDEM dan pendukungnya. Hingga saat ini, tidak ada permintaan maaf dan penyesalan dari Viktor ataupun dari KETUM NASDEM.
Viktor berpendapat partai Gerindra sebagai *Partai Pertama pendukung ekstrimis.* Viktor sama sekali tidak memandang nasionalisme Prabowo Subianto. Padahal Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri pernah berpasangan dengan Prabowo Subianto pada pilpres 2009.
*Partai Kedua Pendukung Ekstrimis,* menurut *Viktor, Ketua Fraksi NASDEM di DPR*, adalah Partai Demokrat. Viktor berarti tidak memandang Jenderal TNI (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Presiden Republik Indonesia 2 periode 2004-2009 dan 2009-2014. Jika ucapan kebencian Ketua Fraksi NASDEM di DPR itu dijadikan pegangan, maka bagi Viktor, Indonesia dipimpin oleh Presiden yang ekstrimis selama 10 tahun. (2004-2014). Ini sesungguhnya pernyataan busuk dan pembodohan bukan saja kepada konstituen NASDEM, tapi juga kepada rakyat Indonesia.
Partai Ketiga, bagi Viktor adalah PKS. Banyak pejabat negara, bupati, walikota, gubernur, menteri, wakil ketua MPR, berasal dari PKS. Pernyataan Viktor berarti penghinaan kepada PKS sekaligus Viktor menanamkan ketidakpercayaan kepada para pejabat negara.
Partai Keempat yang dituduh Viktor adalah PAN. Saat ini, Ketua MPR, berasal dari PAN. Berarti Viktor menganggap Ketua MPR tidak Pancasilais. Bukankah pernyataan *ketua Fraksi NASDEM di DPR* itu yang sesungguhnya tidak Pancasilais.
Partai NASDEM pernah berkoalisi dengan partai Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN di berbagai pilkada yang sudah terjadi. Artinya, pernyataan Viktor meludahi dirinya sendiri dan partainya. Apakah NASDEM di pilkada serentak 2018 akan berkoalisi dengan partai Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN? Jika NASDEM tidak minta maaf dan NASDEM *masih berkoalisi di pilkada serentak 2018 dengan keempat partai pendukung ekstrimis berarti NASDEM meludahi dirinya sendiri.*
Selama ini, dia juga berteman dekat dengan sesama anggota DPR yang berasal dari keempat partai itu. Artinya, Viktor melakukan pembodohan dan ia punya sikap kemunafikan tinggi. Dihadapan massanya, ia melakukan pembodohan publik dengan menyatakan keempat partai itu adalah ekstrimis. Di depan teman temannya DPR yang berasal dari keempat partai itu, ia bermanis muka.
Slogan Restorasi yang digaungkan NASDEM telah dihancurkan sendiri oleh Ketua Fraksi NASDEM di DPR.
Adnin Armas
*Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR RI,* Viktor Bungtilu Laiskodat, asal daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur pada pemilihan umum legislatif 2014, telah membuat kriteria *partai politik pendukung ekstrimis.* Viktor menyebut empat partai, yaitu Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN sebagai *partai pendukung kelompok ekstrimis, pendukung khilafah, dan tidak boleh didukung.*
Pernyataan barbar Viktor, *Ketua Fraksi NASDEM di DPR* itu disampaikan dalam acara Deklarasi Calon Bupati Kabupaten Kupang pada 1 Agustus 2017.
Ironinya, pernyataan gila *Ketua Fraksi NASDEM di DPR* itu masih dibela oleh NASDEM dan pendukungnya. Hingga saat ini, tidak ada permintaan maaf dan penyesalan dari Viktor ataupun dari KETUM NASDEM.
Viktor berpendapat partai Gerindra sebagai *Partai Pertama pendukung ekstrimis.* Viktor sama sekali tidak memandang nasionalisme Prabowo Subianto. Padahal Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri pernah berpasangan dengan Prabowo Subianto pada pilpres 2009.
*Partai Kedua Pendukung Ekstrimis,* menurut *Viktor, Ketua Fraksi NASDEM di DPR*, adalah Partai Demokrat. Viktor berarti tidak memandang Jenderal TNI (Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Presiden Republik Indonesia 2 periode 2004-2009 dan 2009-2014. Jika ucapan kebencian Ketua Fraksi NASDEM di DPR itu dijadikan pegangan, maka bagi Viktor, Indonesia dipimpin oleh Presiden yang ekstrimis selama 10 tahun. (2004-2014). Ini sesungguhnya pernyataan busuk dan pembodohan bukan saja kepada konstituen NASDEM, tapi juga kepada rakyat Indonesia.
Partai Ketiga, bagi Viktor adalah PKS. Banyak pejabat negara, bupati, walikota, gubernur, menteri, wakil ketua MPR, berasal dari PKS. Pernyataan Viktor berarti penghinaan kepada PKS sekaligus Viktor menanamkan ketidakpercayaan kepada para pejabat negara.
Partai Keempat yang dituduh Viktor adalah PAN. Saat ini, Ketua MPR, berasal dari PAN. Berarti Viktor menganggap Ketua MPR tidak Pancasilais. Bukankah pernyataan *ketua Fraksi NASDEM di DPR* itu yang sesungguhnya tidak Pancasilais.
Partai NASDEM pernah berkoalisi dengan partai Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN di berbagai pilkada yang sudah terjadi. Artinya, pernyataan Viktor meludahi dirinya sendiri dan partainya. Apakah NASDEM di pilkada serentak 2018 akan berkoalisi dengan partai Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN? Jika NASDEM tidak minta maaf dan NASDEM *masih berkoalisi di pilkada serentak 2018 dengan keempat partai pendukung ekstrimis berarti NASDEM meludahi dirinya sendiri.*
Selama ini, dia juga berteman dekat dengan sesama anggota DPR yang berasal dari keempat partai itu. Artinya, Viktor melakukan pembodohan dan ia punya sikap kemunafikan tinggi. Dihadapan massanya, ia melakukan pembodohan publik dengan menyatakan keempat partai itu adalah ekstrimis. Di depan teman temannya DPR yang berasal dari keempat partai itu, ia bermanis muka.
Slogan Restorasi yang digaungkan NASDEM telah dihancurkan sendiri oleh Ketua Fraksi NASDEM di DPR.
Tafsir Sesat; 58 Essai Kritis Wacana Islam Di Indonesia
Penulis: Fahmi Salim MA
"Kaum sekuler liberal ingin umat memandang sesuatu dengan kaca mata Barat, mendengar dengan kuping Barat, dan berfikir dengan framework Barat. Meraka hendak memaksakan filsafat Barat dalam soal bagaimana kita harus hidup, pandangan Barat tentang agama, konsep barat tentang sekularisme, dan berbagai teori Barat dalam bidang hukum, sosial, politik, bahasa, dan kebudayaan!"
(Dr. Yusuf al-Qaradhawi)
----------------
Tafsir Sesat; 58 Essai Kritis Wacana Islam Di Indonesia
Penulis: Fahmi Salim MA
Harga: Rp 95.000,-
Pemesanan sms/whatsapp 087878147997
Syukran... 👇
Penulis: Fahmi Salim MA
"Kaum sekuler liberal ingin umat memandang sesuatu dengan kaca mata Barat, mendengar dengan kuping Barat, dan berfikir dengan framework Barat. Meraka hendak memaksakan filsafat Barat dalam soal bagaimana kita harus hidup, pandangan Barat tentang agama, konsep barat tentang sekularisme, dan berbagai teori Barat dalam bidang hukum, sosial, politik, bahasa, dan kebudayaan!"
(Dr. Yusuf al-Qaradhawi)
----------------
Tafsir Sesat; 58 Essai Kritis Wacana Islam Di Indonesia
Penulis: Fahmi Salim MA
Harga: Rp 95.000,-
Pemesanan sms/whatsapp 087878147997
Syukran... 👇
HARGA PROMO!
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-)
Paket Ensiklopedia Anak Muslim ini akan membantu anak-anak mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan nikmat yang Allah karuniakan. Selain itu, juga membimbing mereka untuk menjadi anak saleh yang dirindukan surga.
Ensiklopedia Anak Muslim ini terdiri dari 12 Jilid, yaitu:
-AIR, karunia Allah
-BUMI, Amanah Allah
-ALLAH SEMESTA, Kebesaran Allah
-PAHLAWANKU, Berani Karena Benar
-IMAN, Mengantarmu Menuju SUrga
-HEWAN, Pesona Fauna Ciptaan Allah
-TUBUHKU, Anugerah Ciptaan Allah
-TRANSPORTASI & TEKNOLOGI, Kemudahan bagi Manusia
-MAKANNAN, Rezeki dari Allah
-ISLAM, Rahmat tak Terhingga dari Allah
-KESEHATAN, Nikmat dari Allah
------------------------------------
HARGA PROMO!
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-).
Pemesanan silahlan SMS/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-)
Paket Ensiklopedia Anak Muslim ini akan membantu anak-anak mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan nikmat yang Allah karuniakan. Selain itu, juga membimbing mereka untuk menjadi anak saleh yang dirindukan surga.
Ensiklopedia Anak Muslim ini terdiri dari 12 Jilid, yaitu:
-AIR, karunia Allah
-BUMI, Amanah Allah
-ALLAH SEMESTA, Kebesaran Allah
-PAHLAWANKU, Berani Karena Benar
-IMAN, Mengantarmu Menuju SUrga
-HEWAN, Pesona Fauna Ciptaan Allah
-TUBUHKU, Anugerah Ciptaan Allah
-TRANSPORTASI & TEKNOLOGI, Kemudahan bagi Manusia
-MAKANNAN, Rezeki dari Allah
-ISLAM, Rahmat tak Terhingga dari Allah
-KESEHATAN, Nikmat dari Allah
------------------------------------
HARGA PROMO!
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-).
Pemesanan silahlan SMS/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
BERPIKIR DENGAN HATI
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Suatu ketika al-Ghazzali melakukan perjalanan panjang. Dalam perjalanannya itu ia membawa serta seluruh buku bacaannya. Konon di tengah jalan tiba-tiba datang segerombolan orang merampok seluruh bawaan al-Ghazzali, termasuk buku-bukunya. Padahal ia belum membaca seluruh isi buku itu. Yang telah ia baca pun belum seluruhnya dihafal.
Kejadian itu benar-benar telah menyadarkan al-Ghazzali, bahwa ilmu itu ada di dalam dada dan bukan dalam tulisan (al-‘ilm fi-s-sudur la fi-s-sutur). Sejak kejadian itu al-Ghazzali bertekad untuk selalu mengingat apa yang telah ia baca. Yang menarik tentu bukan peristiwa perampokannya, tapi kesimpulan al-Ghazzali tentang letak ilmu. Benarkah mengetahui dan pengetahuan itu ada di dalam dada? Apa bedanya ilmu darima’rifah.
Bicara ilmu adalah bicara obyeknya (realitas atau wujud) dan luas obyek ilmu adalah seluas realitas atau wujud. Maka dari itu realitas bagi Ghazzali dan juga para ulama adalah empiris dan non-empiris.
Realitas empiris pun dibagi sekurangnya menjadi tiga: realitas individual, realitas pembicaraan, dan realitas pikiran. Yangpertama adalah wujud yang riil dan empiris, yang kedua adalah wujud dalam pembicaraan yang bersifat verbal dan indikatif, dan yang ketiga adalah wujuddalam pikiran yang bersifat kognitif dan formal. Diatas dari segala realitas tersebut diatas adalah Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak.
Lalu bagaimana proses mengetahuinya? Bagi al-Ghazzali untuk realitas empiris dimulai dari kajian terhadap hal-hal yang khusus yang dapat dipahami dan dikomunikasikan dengan bahasa.
Ketika wujud individual dipahami oleh akal kita, bentuk (surah) dari realitas individual tersebut tercetak dalam mata, lalu pada imaginasi kita dan kemudian menjadi wujud dalam pikiran kita.
Ketika bentuk realitas atau wujud individual itu hadir dalam pikiran, ia menjadi ilmu, sebab obyek yang diketahui berhubungan dengan representasi dalam pikiran tersebut, persis seperti bayangan kita yang tercermin dalam kaca.
Jadi proses mengetahui mengharuskan adanya tiga hal yaitu: obyek ilmu pengetahuan, penerima dan proses kognisinya yang melibatkan penginderaan. Ketika realitas atau wujud empiris ada dalam pikiran ia tetap bernama realitas.
Demikian pula keimanan yang tidak empiris di dalam dada itu dapat disebut realitas juga. Jika realitas empiris – melalui proses – dapat tercermin dalam pikiran, maka Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak, yaitu Tuhan dapat pula tercermin dalam diri manusia.
Dengan jalan empiris saja manusia telah dapat mengetahui dirinya sendiri, alam semesta dan Tuhannya. Wujud Tuhan dapat diketahui secara induktif dari ciptaanNya. Ilmu-ilmu empiris itu tentang ciptaan Tuhan itu merupakan aspek-aspek yang saling berhubungan dan membentuk kesatuan.
Pada maqam yang tertinggi orang akan sampai pada pandangan bahwa realitas dan kebenaran itu hanya satu dan tidak plural. Artinya dalam akalnya hanya ada satu realitas atau wujud, yaitu Wujud Mutlak, Aktor (fa’il) dari segala wujud yang plural yang nisbi.
Jikapun tidak dengan jalan empiris Tuhan dapat diketahui dengan mata hati. Sebab dalam diri manusia telah terdapat naluri (fitrah) mengenal tuhan (ma’rifatullah). Naluri itu diciptakan oleh Tuhan sebelum manusia lahir melalui syahadah awal (mithaq).
Syahadah inilah bekal manusia memperoleh ma’rifah. Nietzsche menuduh fitrah ini hanya pikiran dan khayalan. Dan khayalan itu, menurutnya, harus dibunuh agar orang dapat berpikir saintifik. God is dead artinya fitrah itu telah mati. Memang pengetahuan tentang ini bagi al-Ghazzali tidak dimiliki orang awam, termasuk Nietzsche.
Pengetahuan tentang Tuhan dengan jalan non-empiris dicapai dengan mata hati yang penuh cinta. Dalam Ihya ia menyatakan: “…metode terbaik untuk memperoleh kebenaran dan sekaligus kecintaan pada Allah adalah dengan metode deduktif dari ma’rifah tentang Allah kepada pengetahuan tentang realitas. Tapi ini adalah metode yang rumit dan tidak dipahami orang awam” (Ihya’, hal. 2619, vol. IV).
Jadi ternyata tempat ‘ilm dan ma’rifah adalah sama, yaitu di dalam hati (qalb), di dad
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Suatu ketika al-Ghazzali melakukan perjalanan panjang. Dalam perjalanannya itu ia membawa serta seluruh buku bacaannya. Konon di tengah jalan tiba-tiba datang segerombolan orang merampok seluruh bawaan al-Ghazzali, termasuk buku-bukunya. Padahal ia belum membaca seluruh isi buku itu. Yang telah ia baca pun belum seluruhnya dihafal.
Kejadian itu benar-benar telah menyadarkan al-Ghazzali, bahwa ilmu itu ada di dalam dada dan bukan dalam tulisan (al-‘ilm fi-s-sudur la fi-s-sutur). Sejak kejadian itu al-Ghazzali bertekad untuk selalu mengingat apa yang telah ia baca. Yang menarik tentu bukan peristiwa perampokannya, tapi kesimpulan al-Ghazzali tentang letak ilmu. Benarkah mengetahui dan pengetahuan itu ada di dalam dada? Apa bedanya ilmu darima’rifah.
Bicara ilmu adalah bicara obyeknya (realitas atau wujud) dan luas obyek ilmu adalah seluas realitas atau wujud. Maka dari itu realitas bagi Ghazzali dan juga para ulama adalah empiris dan non-empiris.
Realitas empiris pun dibagi sekurangnya menjadi tiga: realitas individual, realitas pembicaraan, dan realitas pikiran. Yangpertama adalah wujud yang riil dan empiris, yang kedua adalah wujud dalam pembicaraan yang bersifat verbal dan indikatif, dan yang ketiga adalah wujuddalam pikiran yang bersifat kognitif dan formal. Diatas dari segala realitas tersebut diatas adalah Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak.
Lalu bagaimana proses mengetahuinya? Bagi al-Ghazzali untuk realitas empiris dimulai dari kajian terhadap hal-hal yang khusus yang dapat dipahami dan dikomunikasikan dengan bahasa.
Ketika wujud individual dipahami oleh akal kita, bentuk (surah) dari realitas individual tersebut tercetak dalam mata, lalu pada imaginasi kita dan kemudian menjadi wujud dalam pikiran kita.
Ketika bentuk realitas atau wujud individual itu hadir dalam pikiran, ia menjadi ilmu, sebab obyek yang diketahui berhubungan dengan representasi dalam pikiran tersebut, persis seperti bayangan kita yang tercermin dalam kaca.
Jadi proses mengetahui mengharuskan adanya tiga hal yaitu: obyek ilmu pengetahuan, penerima dan proses kognisinya yang melibatkan penginderaan. Ketika realitas atau wujud empiris ada dalam pikiran ia tetap bernama realitas.
Demikian pula keimanan yang tidak empiris di dalam dada itu dapat disebut realitas juga. Jika realitas empiris – melalui proses – dapat tercermin dalam pikiran, maka Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak, yaitu Tuhan dapat pula tercermin dalam diri manusia.
Dengan jalan empiris saja manusia telah dapat mengetahui dirinya sendiri, alam semesta dan Tuhannya. Wujud Tuhan dapat diketahui secara induktif dari ciptaanNya. Ilmu-ilmu empiris itu tentang ciptaan Tuhan itu merupakan aspek-aspek yang saling berhubungan dan membentuk kesatuan.
Pada maqam yang tertinggi orang akan sampai pada pandangan bahwa realitas dan kebenaran itu hanya satu dan tidak plural. Artinya dalam akalnya hanya ada satu realitas atau wujud, yaitu Wujud Mutlak, Aktor (fa’il) dari segala wujud yang plural yang nisbi.
Jikapun tidak dengan jalan empiris Tuhan dapat diketahui dengan mata hati. Sebab dalam diri manusia telah terdapat naluri (fitrah) mengenal tuhan (ma’rifatullah). Naluri itu diciptakan oleh Tuhan sebelum manusia lahir melalui syahadah awal (mithaq).
Syahadah inilah bekal manusia memperoleh ma’rifah. Nietzsche menuduh fitrah ini hanya pikiran dan khayalan. Dan khayalan itu, menurutnya, harus dibunuh agar orang dapat berpikir saintifik. God is dead artinya fitrah itu telah mati. Memang pengetahuan tentang ini bagi al-Ghazzali tidak dimiliki orang awam, termasuk Nietzsche.
Pengetahuan tentang Tuhan dengan jalan non-empiris dicapai dengan mata hati yang penuh cinta. Dalam Ihya ia menyatakan: “…metode terbaik untuk memperoleh kebenaran dan sekaligus kecintaan pada Allah adalah dengan metode deduktif dari ma’rifah tentang Allah kepada pengetahuan tentang realitas. Tapi ini adalah metode yang rumit dan tidak dipahami orang awam” (Ihya’, hal. 2619, vol. IV).
Jadi ternyata tempat ‘ilm dan ma’rifah adalah sama, yaitu di dalam hati (qalb), di dad
a. Berarti tempat aktifitas zikir, fikir, ‘ilm, iman, amal, cinta dan akhlaq adalah sama yaitu qalb.
Jika semua aktifitas itu seimbang maka sampailah seseorang itu pada derajat yaqin. Bangunan trilogi iman, ilmu, amal adalah paradigma keilmuan Islam yang kuat. Karena itu ilmu dalam Islam berdimensi amal dan amal berdimensi ilmu, keduanya bersumber pada iman.
Maka al-Ghazzali tegas “Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong”. Jadi, Muslim yang mengatakan “Hatinya di Mekkah otaknya di Jerman atau di New York”, berarti imannya tanpa ilmu, ilmunya tanpa iman. Hatinya berzikir tapi pikirannya (boleh jadi) sekuler-liberal.
Jika semua aktifitas itu seimbang maka sampailah seseorang itu pada derajat yaqin. Bangunan trilogi iman, ilmu, amal adalah paradigma keilmuan Islam yang kuat. Karena itu ilmu dalam Islam berdimensi amal dan amal berdimensi ilmu, keduanya bersumber pada iman.
Maka al-Ghazzali tegas “Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong”. Jadi, Muslim yang mengatakan “Hatinya di Mekkah otaknya di Jerman atau di New York”, berarti imannya tanpa ilmu, ilmunya tanpa iman. Hatinya berzikir tapi pikirannya (boleh jadi) sekuler-liberal.
DUALISME
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam sebuah acara talk-show di sebuah stasiun TV Inggris tahun 90an ditampilkan isu pelacuran. Panelisnya pendidik, pastur, tokoh masyarakat dan beberapa pelacur. Hampir semua menyoroti profesi pelacur dengan nada sinis. Pelacur adalah sampah masyarakat. Pelacur mesti dijauhkan dari anak-anak. Merusak adat kesopanan sosial, dan seterusnya.
Tapi yang menarik giliran pelacur angkat bicara. “Saya memang pelacur. Dan saya melakukan ini karena saya janda. Saya menjalani profesi ini untuk menghidupi tiga orang anak saya. Kalian boleh saja mencemooh. Tapi siapa yang peduli jika anak-anak saya kelaparan, siapa! siapa!” ia berteriak lantang. “Supaya kalian semua tahu, lanjutnya, saya memang pelacur tapi hati saya tetap suci”. Hadirin pun bersorak.
Nampaknya orang bersorak bukan karena ia pelacur, tapi karena ia dualis. Menjadi pelacur dan merasa suci. Dua sifat yang kontradiktif. Yang saya heran justru mengapa mereka bersorak. Sebab doktrin dualisme sudah lama berakar di dalam pemikiran Barat. Asal usul terdekatnya adalah filsafat akal (philosophy of mind) yang digemari Descartes, Kant, Leibniz, Christian Wolf dan lain-lain.
Menurut Christian Wolff misalnya “The dualists (dualistae) are those who admit the existence of both material and immaterial substances” tapi wujud materi dan jiwa terpisah. Pengertian ini disepakati Pierre Bayle dan Leibniz.
Bahkan konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur. Dunia dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Thomas Hyde menemukan doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum Persiarum, 1700). Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan dualisme Yunani. Tuhan akhirnya dianggap sebagai person dan juga materi.
Bagi orang Mesir kuno Rē adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran. Lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan. Deva dalam agama Hindu adalah tuhan baik, musuhnya adalah asura tuhan jahat.
Di Babylonia peperangan antara Marduk dan Tiamat adalah mitos yang mewarnai worldview mereka. Mitologi Yunani selalu menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di Jerman perang antara Ases dan Vanes, meski berakhir damai.
Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas tak terbatas, berhenti-gerak, baik-buruk dan sebagainya. Empedocles setuju dengan Pythagoras, baginya dunia ini dikuasai oleh dua hal, cinta dan kebencian. Plato dalam dialog-dialognya memisahkan jiwa dari raga, inteligible dari sensible.
Tapi apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekedar persepsi yang menyimpang? Sebab nilai-nilai monistis (kesatuan) dalam realitas juga ada dan riil. Heraclitus dan Parmenides mengkritik dualisme Pythagoras.
Banyak itu pun berasal dari yang satu yang abadi. Yang dianggap saling berlawanan itu sebenarnya membentuk kesatuan dan tidak bisa dipisahkan. Aristotle ikut-ikutan. Dualisme Plato juga tidak benar. Jika jiwa diartikan bentuk (form) dari raga alami yang berpotensi hidup maka jiwa adalah pasangan raga. Jadi jiwa dan raga adalah suatu kesatuan. Tapi Aristotle ternyata masih dualis juga. Ia memisahkan akal dari jiwa.
Dalam kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud. Marduk ternyata turunan dari Tiamat. Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Leviathan ternyata diciptakan Tuhan. Pemberontak Mahabharata adalah dari keluarga yang sama.
Dalam agama Zoroaster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau Ohrmazd sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra Mainyu atau Ahriman. Tapi dalam kitab Gathas, kebaikan dan kejahatan adalah saudara kembar dan memilih salah satu karena kehendak.
Para pemikir Kristen mulanya memilih ikut Plato, tapi mulai abad ke 13 mereka pindah ikut Aristotle dengan beberapa modifikasi. Di zaman Renaissance dualisme Plato kembali menjadi pilihan. Tapi pada abad ke 17 Descartes memodifikasinya. Baginya yang riil itu adalah akal sebagai substansi yang berpikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menemp
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam sebuah acara talk-show di sebuah stasiun TV Inggris tahun 90an ditampilkan isu pelacuran. Panelisnya pendidik, pastur, tokoh masyarakat dan beberapa pelacur. Hampir semua menyoroti profesi pelacur dengan nada sinis. Pelacur adalah sampah masyarakat. Pelacur mesti dijauhkan dari anak-anak. Merusak adat kesopanan sosial, dan seterusnya.
Tapi yang menarik giliran pelacur angkat bicara. “Saya memang pelacur. Dan saya melakukan ini karena saya janda. Saya menjalani profesi ini untuk menghidupi tiga orang anak saya. Kalian boleh saja mencemooh. Tapi siapa yang peduli jika anak-anak saya kelaparan, siapa! siapa!” ia berteriak lantang. “Supaya kalian semua tahu, lanjutnya, saya memang pelacur tapi hati saya tetap suci”. Hadirin pun bersorak.
Nampaknya orang bersorak bukan karena ia pelacur, tapi karena ia dualis. Menjadi pelacur dan merasa suci. Dua sifat yang kontradiktif. Yang saya heran justru mengapa mereka bersorak. Sebab doktrin dualisme sudah lama berakar di dalam pemikiran Barat. Asal usul terdekatnya adalah filsafat akal (philosophy of mind) yang digemari Descartes, Kant, Leibniz, Christian Wolf dan lain-lain.
Menurut Christian Wolff misalnya “The dualists (dualistae) are those who admit the existence of both material and immaterial substances” tapi wujud materi dan jiwa terpisah. Pengertian ini disepakati Pierre Bayle dan Leibniz.
Bahkan konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur. Dunia dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Thomas Hyde menemukan doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum Persiarum, 1700). Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan dualisme Yunani. Tuhan akhirnya dianggap sebagai person dan juga materi.
Bagi orang Mesir kuno Rē adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran. Lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan. Deva dalam agama Hindu adalah tuhan baik, musuhnya adalah asura tuhan jahat.
Di Babylonia peperangan antara Marduk dan Tiamat adalah mitos yang mewarnai worldview mereka. Mitologi Yunani selalu menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di Jerman perang antara Ases dan Vanes, meski berakhir damai.
Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas tak terbatas, berhenti-gerak, baik-buruk dan sebagainya. Empedocles setuju dengan Pythagoras, baginya dunia ini dikuasai oleh dua hal, cinta dan kebencian. Plato dalam dialog-dialognya memisahkan jiwa dari raga, inteligible dari sensible.
Tapi apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekedar persepsi yang menyimpang? Sebab nilai-nilai monistis (kesatuan) dalam realitas juga ada dan riil. Heraclitus dan Parmenides mengkritik dualisme Pythagoras.
Banyak itu pun berasal dari yang satu yang abadi. Yang dianggap saling berlawanan itu sebenarnya membentuk kesatuan dan tidak bisa dipisahkan. Aristotle ikut-ikutan. Dualisme Plato juga tidak benar. Jika jiwa diartikan bentuk (form) dari raga alami yang berpotensi hidup maka jiwa adalah pasangan raga. Jadi jiwa dan raga adalah suatu kesatuan. Tapi Aristotle ternyata masih dualis juga. Ia memisahkan akal dari jiwa.
Dalam kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud. Marduk ternyata turunan dari Tiamat. Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Leviathan ternyata diciptakan Tuhan. Pemberontak Mahabharata adalah dari keluarga yang sama.
Dalam agama Zoroaster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau Ohrmazd sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra Mainyu atau Ahriman. Tapi dalam kitab Gathas, kebaikan dan kejahatan adalah saudara kembar dan memilih salah satu karena kehendak.
Para pemikir Kristen mulanya memilih ikut Plato, tapi mulai abad ke 13 mereka pindah ikut Aristotle dengan beberapa modifikasi. Di zaman Renaissance dualisme Plato kembali menjadi pilihan. Tapi pada abad ke 17 Descartes memodifikasinya. Baginya yang riil itu adalah akal sebagai substansi yang berpikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menemp
ati ruang (extended substance).
Teori ini dikenal dengan Cartesian dualism. Tujuannya agar fakta-fakta di dunia materi (fisika) dapat dijelaskan secara matematis geometris dan mekanis. Kant dalam The Critique of Pure Reason mengkritik Descartes, tapi dia punya doktrin dualismenya sendiri. Pendek kata Neo-Platonisme, Cartesianisme dan Kantianisme adalah filsafat yang mencoba merenovasi doktrin dualisme. Tapi terjebak pada dualisme yang lain.
Perang antara monisme dan dualisme, sejatinya adalah pencarian konsep ke-esa-an (tauhid). Peperangan itu digambarkan dengan jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The Revolt Against Dualism. Fichte dan Hegel, misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin monisme, tapi bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga, tidak jelas. Nampaknya, karena arogansi akal yang tanpa wahyu (unaided reason) maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa dan raga dianggap dua entitas.
Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain, karena beda komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci. Atau sebaliknya, jiwa selalu dianggap baik dan raga pasti jahat.
Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahat itu timbul. Dalam Islam kerja raga adalah suruhan jiwa (innama al-a’mal bi al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa membawa kesehatan raga.
Dualis dikalangan antropolog pasti memandang manusia dari dua sisi: akal dan nafsu, jiwa dan raga, kebebasan dan taqdir (qadariyyah & jabariyyah). Dalam filsafat ilmu, dualisme pasti merujuk kepada dikotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif.
Kebenaran pun menjadi dua kebenaran obyektif dan sobyektif. Bahkan di zaman postmo kebenaran ada dua absolute dan relatif. Dalam Islam konsep tauhid inherent dalam semua konsep, tentunya asalkan sang sobyek berpikir tauhidi.
Nampaknya doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern, termasuk pelacur itu. Pernyataan pelacur itu tidak beda dari dialog dua sejoli dalam film Indecent Proposal, ”I slept with him but my heart is with you”.
Seorang dualis bisa saja berpesan “lakukan apa saja asal dengan niat baik”. Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran liberal akan berkata ‘jalankan syariat sesuka hatimu yang penting mencapai maqasid syariah”.
Kekacauan berpikir inilah kemudian yang melahirkan istilah “penjahat yang santun”, “koruptor yang dermawan”, “ateis yang baik”, “Pelacur yang moralis”, dan seterusnya.
Mungkin akibat ajaran dualisme pula Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata ”Hati saya di Mekkah, tapi otak saya di Chicago”. Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi pikirannya menghujatNya.
Teori ini dikenal dengan Cartesian dualism. Tujuannya agar fakta-fakta di dunia materi (fisika) dapat dijelaskan secara matematis geometris dan mekanis. Kant dalam The Critique of Pure Reason mengkritik Descartes, tapi dia punya doktrin dualismenya sendiri. Pendek kata Neo-Platonisme, Cartesianisme dan Kantianisme adalah filsafat yang mencoba merenovasi doktrin dualisme. Tapi terjebak pada dualisme yang lain.
Perang antara monisme dan dualisme, sejatinya adalah pencarian konsep ke-esa-an (tauhid). Peperangan itu digambarkan dengan jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The Revolt Against Dualism. Fichte dan Hegel, misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin monisme, tapi bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga, tidak jelas. Nampaknya, karena arogansi akal yang tanpa wahyu (unaided reason) maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa dan raga dianggap dua entitas.
Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain, karena beda komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci. Atau sebaliknya, jiwa selalu dianggap baik dan raga pasti jahat.
Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahat itu timbul. Dalam Islam kerja raga adalah suruhan jiwa (innama al-a’mal bi al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa membawa kesehatan raga.
Dualis dikalangan antropolog pasti memandang manusia dari dua sisi: akal dan nafsu, jiwa dan raga, kebebasan dan taqdir (qadariyyah & jabariyyah). Dalam filsafat ilmu, dualisme pasti merujuk kepada dikotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif.
Kebenaran pun menjadi dua kebenaran obyektif dan sobyektif. Bahkan di zaman postmo kebenaran ada dua absolute dan relatif. Dalam Islam konsep tauhid inherent dalam semua konsep, tentunya asalkan sang sobyek berpikir tauhidi.
Nampaknya doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern, termasuk pelacur itu. Pernyataan pelacur itu tidak beda dari dialog dua sejoli dalam film Indecent Proposal, ”I slept with him but my heart is with you”.
Seorang dualis bisa saja berpesan “lakukan apa saja asal dengan niat baik”. Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran liberal akan berkata ‘jalankan syariat sesuka hatimu yang penting mencapai maqasid syariah”.
Kekacauan berpikir inilah kemudian yang melahirkan istilah “penjahat yang santun”, “koruptor yang dermawan”, “ateis yang baik”, “Pelacur yang moralis”, dan seterusnya.
Mungkin akibat ajaran dualisme pula Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata ”Hati saya di Mekkah, tapi otak saya di Chicago”. Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi pikirannya menghujatNya.
KHASANAH ISLAM DI NUSANTARA
Oleh: Dr Adian Husaini
Hari Kamis (27/8/2015) lalu, sebuah masjid di kawasan perkantoran Jalan Gatot Subroto Jakarta meminta saya mengisi kajian dhuhur dengan tema mengkaji isu “Fikih Kebinekaan dan Islam Nusantara”. Tidak dinafikan, dua isu tersebut menyita perhatian banyak kalangan muslim sejak awal Agustus lalu, sejalan dengan digelarnya Muktamar NU dan Muhammadiyah, Agustus 2015. Bahkan, kedua isu itu sudah menjadi bahan diskusi yang hangat dan panas di berbagai media massa.
Setelah membaca sejumlah artikel dan buku yang mempromosikan gagasan “Islam Nusantara” saya memahami bahwa ada sejumlah maksud dan gagasan yang baik untuk menjaga keberlangsungan dakwah dan mengembangkan eksistensi Islam di bumi Nusantara. Itu terlepas dari penggunaan istilah yang kontroversial. Saya menyarankan, istilah “Islam Nusantara” diganti dengan “Islam di Nusantara” atau “Budaya/Peradaban Islam Nusantara”.
Sebab, “Islam” dalam makna khusus (istilahan) adalah nama satu agama tertentu. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), menjelaskan, bahwa dalam soal makna Islam, hanya ada satu agama wahyu yang otentik, dan namanya sudah diberikan oleh Allah, yaitu Islam. Kata al-Attas: “Islam, then, is not merely a verbal noun signifying ‘submission’; it is also the name of particular religion descriptive of true submission, as well as the definition of religion: submission to God.
Karena langsung diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, maka nama “Islam” tidak bisa diganti-ganti dengan nama lain, seperti Mohamedanism, Arabism, Hagarism, dan sebagainya, sebagaimana yang telah diupayakan oleh para orientalis selama ratusan tahun. Itulah kenapa nama Islam berbeda dengan nama-nama adama lain, seperti Judaism, Catholicism, Hinduism, Buddhism, Protestantism, Confucianism, Jainism, Shintoism, dan sebagainya.
Sesuai dengan sifat ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang lintas zaman dan lintas budaya, sampai Hari Kiamat, maka aqidah dan ritual dalam Islam pun tidak tunduk oleh budaya, meskipun kaum Muslim ada yang berusaha melakukan proses Islamisasi budaya. Itu bisa dibuktikan hingga kini. Di mana saja, umat Islam bisa shalat dengan cara yang sama. Umat Islam bisa shalat di masjid mana saja. Mereka bisa saling makmum, satu dengan lainnya. Kecuali, tentu saja, masjid pengikut aliran sesat yang menganggap kaum Muslim di luar kelompoknya merupakan kaum sesat.
Bukan nama SOTO
Karena merupakan “genuine revealed religion”, maka selama ini para cendekiawan Muslim sedunia, pada umumnya, tidak menggunakan istilah “Islam Indonesia”, “Islam Amerika”, “Islam China”, “Islam Timor Leste”, “Islam Kutub Utara” dan sebagainya. Sebab, kaum Muslim memang merupakan umat dengan satu al-Quran, satu kiblat, dan satu panutan (uswah hasanah). Kaum Muslim di mana pun menyelenggarakan jenazah dengan cara yang sama; baik di daerah yang harga tanahnya murah atau yang teramat mahal. Muslim AS tidak mengkafani jenazah muslim dengan bendera AS, dan menyanyikan lagu kebangsaan negaranya saat menurunkan jezanah ke liang lahat. Hingga kini, belum ditemukan, kaum Muslim jualan kain kafan bercorak batik Pekalongan.
Jadi, karena Islam merupakan nama agama yang langsung diberikan oleh Allah, menurut hemat saya, sebaiknya kita berhati-hati dalam memberikan istilah. Itu sekedar pikiran dan saran. Toh, selama ini, sudah ratusan tahun, kita terbiasa menggunakan istilah “Islam” untuk menyebut nama agama kita. Tidak perlu nantinya berbagai daerah di Nusantara ini tergerak hatinya menggunakan istilah Islam yang beraneka ragam, seperti “Islam Betawi”, “Islam Lamongan”, “Islam Madura”, “Islam Makassar”, “Islam Medan”, dan sebagainya, seperti nama-nama SOTO yang terkenal di Nusantara. Nama Islam tidak bisa disamakan kedudukannya dengan nama-nama SOTO di Nusantara, yang terus berkembang aneka jenisnya.
Jadi, sekali lagi, “Islam” dalam makna khusus (bukan makna bahasa/lughatan), adalah nama satu agama. Dan nama itu tidak dibuat oleh manusia, tetapi sudah diwahyukan (revealed). K
Oleh: Dr Adian Husaini
Hari Kamis (27/8/2015) lalu, sebuah masjid di kawasan perkantoran Jalan Gatot Subroto Jakarta meminta saya mengisi kajian dhuhur dengan tema mengkaji isu “Fikih Kebinekaan dan Islam Nusantara”. Tidak dinafikan, dua isu tersebut menyita perhatian banyak kalangan muslim sejak awal Agustus lalu, sejalan dengan digelarnya Muktamar NU dan Muhammadiyah, Agustus 2015. Bahkan, kedua isu itu sudah menjadi bahan diskusi yang hangat dan panas di berbagai media massa.
Setelah membaca sejumlah artikel dan buku yang mempromosikan gagasan “Islam Nusantara” saya memahami bahwa ada sejumlah maksud dan gagasan yang baik untuk menjaga keberlangsungan dakwah dan mengembangkan eksistensi Islam di bumi Nusantara. Itu terlepas dari penggunaan istilah yang kontroversial. Saya menyarankan, istilah “Islam Nusantara” diganti dengan “Islam di Nusantara” atau “Budaya/Peradaban Islam Nusantara”.
Sebab, “Islam” dalam makna khusus (istilahan) adalah nama satu agama tertentu. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), menjelaskan, bahwa dalam soal makna Islam, hanya ada satu agama wahyu yang otentik, dan namanya sudah diberikan oleh Allah, yaitu Islam. Kata al-Attas: “Islam, then, is not merely a verbal noun signifying ‘submission’; it is also the name of particular religion descriptive of true submission, as well as the definition of religion: submission to God.
Karena langsung diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, maka nama “Islam” tidak bisa diganti-ganti dengan nama lain, seperti Mohamedanism, Arabism, Hagarism, dan sebagainya, sebagaimana yang telah diupayakan oleh para orientalis selama ratusan tahun. Itulah kenapa nama Islam berbeda dengan nama-nama adama lain, seperti Judaism, Catholicism, Hinduism, Buddhism, Protestantism, Confucianism, Jainism, Shintoism, dan sebagainya.
Sesuai dengan sifat ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang lintas zaman dan lintas budaya, sampai Hari Kiamat, maka aqidah dan ritual dalam Islam pun tidak tunduk oleh budaya, meskipun kaum Muslim ada yang berusaha melakukan proses Islamisasi budaya. Itu bisa dibuktikan hingga kini. Di mana saja, umat Islam bisa shalat dengan cara yang sama. Umat Islam bisa shalat di masjid mana saja. Mereka bisa saling makmum, satu dengan lainnya. Kecuali, tentu saja, masjid pengikut aliran sesat yang menganggap kaum Muslim di luar kelompoknya merupakan kaum sesat.
Bukan nama SOTO
Karena merupakan “genuine revealed religion”, maka selama ini para cendekiawan Muslim sedunia, pada umumnya, tidak menggunakan istilah “Islam Indonesia”, “Islam Amerika”, “Islam China”, “Islam Timor Leste”, “Islam Kutub Utara” dan sebagainya. Sebab, kaum Muslim memang merupakan umat dengan satu al-Quran, satu kiblat, dan satu panutan (uswah hasanah). Kaum Muslim di mana pun menyelenggarakan jenazah dengan cara yang sama; baik di daerah yang harga tanahnya murah atau yang teramat mahal. Muslim AS tidak mengkafani jenazah muslim dengan bendera AS, dan menyanyikan lagu kebangsaan negaranya saat menurunkan jezanah ke liang lahat. Hingga kini, belum ditemukan, kaum Muslim jualan kain kafan bercorak batik Pekalongan.
Jadi, karena Islam merupakan nama agama yang langsung diberikan oleh Allah, menurut hemat saya, sebaiknya kita berhati-hati dalam memberikan istilah. Itu sekedar pikiran dan saran. Toh, selama ini, sudah ratusan tahun, kita terbiasa menggunakan istilah “Islam” untuk menyebut nama agama kita. Tidak perlu nantinya berbagai daerah di Nusantara ini tergerak hatinya menggunakan istilah Islam yang beraneka ragam, seperti “Islam Betawi”, “Islam Lamongan”, “Islam Madura”, “Islam Makassar”, “Islam Medan”, dan sebagainya, seperti nama-nama SOTO yang terkenal di Nusantara. Nama Islam tidak bisa disamakan kedudukannya dengan nama-nama SOTO di Nusantara, yang terus berkembang aneka jenisnya.
Jadi, sekali lagi, “Islam” dalam makna khusus (bukan makna bahasa/lughatan), adalah nama satu agama. Dan nama itu tidak dibuat oleh manusia, tetapi sudah diwahyukan (revealed). K