BLASPHEMY
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam suatu symposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Orangnya energik dan simpatik. Ia salah seorang peneliti pada Rand Coorporation, NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca 11 Sept. Banyak buku diterbitkan oleh NGO ini. Di saat coffee break ia sengaja menghampiri saya dan langsung “menembak”, What is wrong with Ahmadiyah in Indonesia? Saya katakan “itu adalah kasus penistaan agama (religious blasphemy)”. Oh no, that was the problem of freedom of speech ……bla…bla…bla.
Memang ia banyak tahu tentang Indonesia dan bahkan saya merasa pertanyaannya seperti ingin ikut campur urusan umat Islam. Saya lalu teringat makalah David E Kaplan, Hearts, Minds and Dollars, “Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi dalam Islam”. Kelihatannya, Rabasa ditugaskan untuk proyek yang disebut dalam makalah David itu.
“Baik, kalau begitu bagaimana dengan keberatan umat Kristiani terhadap aliran Jehovah yang dianggap sesat? Itu kan juga kasus penistaan agama?!!” tanya saya. Dia, yang berkulit putih itu menjadi sedikit memerah seperti menahan sesuatu. “Ya tapi orang Kristen tidak melaporkan kasus ini ke pemerintah”, jawabnya. Disini saya faham bahwa dia keberatan dengan campur tangan pemerintah dalam urusan agama. Tentu ini mindset yang tipikal orang Barat sekuler. Agama tidak boleh masuk ruang publik dan tidak boleh menyatu dengan kekuasaan, apapun bentuknya. Padahal, yang saya tahu, aliran Children of God dan Jehovah Witnesses dilarang kejaksaan Agung atas permintaan Ditjen Bimas Kristen karena dianggap sempalan Kristen. Ini bisa dipastikan merupakan hasil dari laporan para orang-orang Kristen.
Tapi kemudian saya katakan, kalau kita serahkan penyelesaian urusan blasphemy kemasyarakat, akan mengakibatkan chaos, atau kegaduhan. Anda tahun sendiri bagaimana masyarakat main hakim sendiri terhadap penganut Ahmadiyah di daerah-daerah. Dan jumlah mereka cukup banyak. Mengapa mereka begitu karena pemerintah tidak campur tangan. Saya juga sampaikan bahwa penganut Ahmadiyah sendiri menganggap siapapun yang tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah kafir. Jadi, bukan hanya umat Islam yang menganggap Ahmadiyah salah, tapi Ahmadiyah justru menganggap umat Islam selain mereka itu salah. Ini tentu sudah merusak arti benar dan salah dalam ranah akidah dan syariah Islam. Rabasa ternyata tidak banyak tahu tentang kepercayaan Ahmadiyah. Akhirnya dia mengalihkan pembicaraan, let’s talk something else”, katanya.
Blasphemy atau blasfemie (bhs. Perancis) adalah istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata blasphemy dalam Online Etymology Dictionary, © 2001 Douglas Harper berasal dari bahasa Latin blasphemia atau bahkan dari Yunani blasphēmein. Artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.
Secara definitif blasphemy adalah kejahatan menghina atau menista atau menunjukkan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan, agama, ajarannya serta tulisan-tulisan-tulisan mengnainya. Juga berarti sikap menghina terhadap sesuatu yang dianggap sakral. (Merriam-Webster's Dictionary of Law, © 1996). Menurut The American Heritage blasphemy adalah aktifitas, pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan, irreligius, mengenai Tuhan atau sesuatu lainnya yang sakral.
Dalam the Random House Dictionary dan juga The American Heritage menganggap seseorang sebagai Tuhan atau mengaku memiliki kualitas seperti Tuhan termasuk blasphemy. Pengertian Easton Bible Dictionary (1897) bahkan lebih detail lagi. Blasphemy termasuk mengingkari adanya Roh Kudus, Bible, kemessiahan Jesus atau menganggap mukjizat Jesus itu sebagai kekuatan setan.
Masalahnya ketika para pemeluk agama merasa agamanya dinistakan, para pemikir liberal sekuler menganggap para pemeluk agama-agama telah membatasi kebebasan berpendapat mereka. Agama, menurut mereka menggunakan dalih blasph
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam suatu symposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Orangnya energik dan simpatik. Ia salah seorang peneliti pada Rand Coorporation, NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca 11 Sept. Banyak buku diterbitkan oleh NGO ini. Di saat coffee break ia sengaja menghampiri saya dan langsung “menembak”, What is wrong with Ahmadiyah in Indonesia? Saya katakan “itu adalah kasus penistaan agama (religious blasphemy)”. Oh no, that was the problem of freedom of speech ……bla…bla…bla.
Memang ia banyak tahu tentang Indonesia dan bahkan saya merasa pertanyaannya seperti ingin ikut campur urusan umat Islam. Saya lalu teringat makalah David E Kaplan, Hearts, Minds and Dollars, “Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi dalam Islam”. Kelihatannya, Rabasa ditugaskan untuk proyek yang disebut dalam makalah David itu.
“Baik, kalau begitu bagaimana dengan keberatan umat Kristiani terhadap aliran Jehovah yang dianggap sesat? Itu kan juga kasus penistaan agama?!!” tanya saya. Dia, yang berkulit putih itu menjadi sedikit memerah seperti menahan sesuatu. “Ya tapi orang Kristen tidak melaporkan kasus ini ke pemerintah”, jawabnya. Disini saya faham bahwa dia keberatan dengan campur tangan pemerintah dalam urusan agama. Tentu ini mindset yang tipikal orang Barat sekuler. Agama tidak boleh masuk ruang publik dan tidak boleh menyatu dengan kekuasaan, apapun bentuknya. Padahal, yang saya tahu, aliran Children of God dan Jehovah Witnesses dilarang kejaksaan Agung atas permintaan Ditjen Bimas Kristen karena dianggap sempalan Kristen. Ini bisa dipastikan merupakan hasil dari laporan para orang-orang Kristen.
Tapi kemudian saya katakan, kalau kita serahkan penyelesaian urusan blasphemy kemasyarakat, akan mengakibatkan chaos, atau kegaduhan. Anda tahun sendiri bagaimana masyarakat main hakim sendiri terhadap penganut Ahmadiyah di daerah-daerah. Dan jumlah mereka cukup banyak. Mengapa mereka begitu karena pemerintah tidak campur tangan. Saya juga sampaikan bahwa penganut Ahmadiyah sendiri menganggap siapapun yang tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah kafir. Jadi, bukan hanya umat Islam yang menganggap Ahmadiyah salah, tapi Ahmadiyah justru menganggap umat Islam selain mereka itu salah. Ini tentu sudah merusak arti benar dan salah dalam ranah akidah dan syariah Islam. Rabasa ternyata tidak banyak tahu tentang kepercayaan Ahmadiyah. Akhirnya dia mengalihkan pembicaraan, let’s talk something else”, katanya.
Blasphemy atau blasfemie (bhs. Perancis) adalah istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata blasphemy dalam Online Etymology Dictionary, © 2001 Douglas Harper berasal dari bahasa Latin blasphemia atau bahkan dari Yunani blasphēmein. Artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.
Secara definitif blasphemy adalah kejahatan menghina atau menista atau menunjukkan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan, agama, ajarannya serta tulisan-tulisan-tulisan mengnainya. Juga berarti sikap menghina terhadap sesuatu yang dianggap sakral. (Merriam-Webster's Dictionary of Law, © 1996). Menurut The American Heritage blasphemy adalah aktifitas, pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan, irreligius, mengenai Tuhan atau sesuatu lainnya yang sakral.
Dalam the Random House Dictionary dan juga The American Heritage menganggap seseorang sebagai Tuhan atau mengaku memiliki kualitas seperti Tuhan termasuk blasphemy. Pengertian Easton Bible Dictionary (1897) bahkan lebih detail lagi. Blasphemy termasuk mengingkari adanya Roh Kudus, Bible, kemessiahan Jesus atau menganggap mukjizat Jesus itu sebagai kekuatan setan.
Masalahnya ketika para pemeluk agama merasa agamanya dinistakan, para pemikir liberal sekuler menganggap para pemeluk agama-agama telah membatasi kebebasan berpendapat mereka. Agama, menurut mereka menggunakan dalih blasph
emy, penistaaan, bid’ah, musyrik, tabu dsb. untuk membungkam kebebasan berpikir mereka. Sedangkan dalih yang digunakan agamawan hanya bersumber dari persepsi para agamawan yang terbatas. Semenatara para pemeluk agama melihat orang-orang itu tidak mempunyai pengetahuan otoritatif untuk berbicara soal agama. Perbedaan pendapat ini nampaknya tidak punya jalan rekonsiliasi. Inilah Clash of worldview atau dalam bahasa Peter Berger collision of consciousness.
Benar, inti masalahnya ada pada perbedaan worldview. Di Barat pandangan agama dan alam pikiran masyarakat Barat khususnya masyarakat ilmiyah (scientific community) tidak pernah bertemu alias bentrok atau clash. Standar kebenaran alam pikiran masyarakat Barat sendiri selalu berubah-rubah. John Milton, sastrawan dan penulis politik Inggeris pernah bentrok dengan parlemen. Itu gara-gara brosur buatannya yang dianggap liar, tidak bertanggung jawab, tidak masuk akal dan illegal. Tapi menurut Milton itu pendapat individu. Pendapat individu yang berbeda-beda adalah modal bagi kesatuan bangsa. Oleh sebab itu menggali kebenaran dan ide-ide cemerlang tidak dapat dicapai kecuali dengan merujuk pendapat banyak orang, bukan segelintir orang.
Namun, yang akan menentukan sesuatu itu benar dan salah, menurut Milton bukan individu tapi gabungan pendapat individu-individu. Namun meski mayoritas telah bersuara, setiap individu dibebaskan untuk menemukan kebenaran mereka sendiri-sendiri. Tapi anehnya kata Milton jika fakta-fakta dibiarkan telanjang, kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam kompetisi terbuka. Masalah utama dalam teori Milton adalah standar kebenaran. Kebenaran, disatu sisi ditentukan oleh mayoritas, disisi lain oleh pasar bebas, tapi disisi lain juga tergantung pada individu masing-masing untuk menerima atau menolak.
Teori Milton kabur, tapi itu justru kondusif untuk membela kebebasan berpendapat. Meskipun dalam realitasnya tidak selalu begitu. Noam Chomsky mencoba merumuskan begini:”Jika anda percaya pada kebebasan berbicara, anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung pendapat yang tidak kau sukai”. (If you're in favor of freedom of speech, that means you're in favor of freedom of speech precisely for views you despise). Tapi kenyataannya Stalin dan Hitler yang mengaku mendukung kebebasan berbicara hanya mendukung pendapat yang mereka sukai. Sama, orang-orang yang tidak suka agama tentu akan membela pendapat yang mereka sukai, meski tidak disukai agamawan. Itulah poin konfliknya.
Kembali ke soal blasphemy. Sekurangnya ada dua sumber blasphermy di Barat baik individual maupun kelompok. Pertama dari luar agama dan kedua dari dalam agama. Masalahnya kemudian ketika suatu agama dinistakan oleh orang di luar agama atau diluar otoritas siapa yang berhak memvonis? Dan jika dari dalam agama itu sendiri, siapa pula yang berhak menghukuminya? Pertanyaan yang sama mungkin bisa diajukan. Ketika suatu negara dihina atau diserang oleh orang dari lular negara atau dari dalam negara itu, siapa yang berhak mengadili??
Baik mengikuti teori Milton maupun Chomsky blasmphemy tetap saja tidak dapat dibenarkan. Dalam teori Milton menista agama dapat menjadi illegal alias haram karena hanya pendapat segelintir orang dan tidak dapat dipegang kebebarannya. Dan jika mengikuti teori Chomsky orang-orang diluar komunitas agama atau yang tidak otoritatif tidak dapat berpendapat semau mereka karena harus menghormati apapun kepercayaan agama-agama meski tidak mereka sukai. Anta ta’iq wa ana ma’I famata nattifiq. Itulah clash of worldview.
Benar, inti masalahnya ada pada perbedaan worldview. Di Barat pandangan agama dan alam pikiran masyarakat Barat khususnya masyarakat ilmiyah (scientific community) tidak pernah bertemu alias bentrok atau clash. Standar kebenaran alam pikiran masyarakat Barat sendiri selalu berubah-rubah. John Milton, sastrawan dan penulis politik Inggeris pernah bentrok dengan parlemen. Itu gara-gara brosur buatannya yang dianggap liar, tidak bertanggung jawab, tidak masuk akal dan illegal. Tapi menurut Milton itu pendapat individu. Pendapat individu yang berbeda-beda adalah modal bagi kesatuan bangsa. Oleh sebab itu menggali kebenaran dan ide-ide cemerlang tidak dapat dicapai kecuali dengan merujuk pendapat banyak orang, bukan segelintir orang.
Namun, yang akan menentukan sesuatu itu benar dan salah, menurut Milton bukan individu tapi gabungan pendapat individu-individu. Namun meski mayoritas telah bersuara, setiap individu dibebaskan untuk menemukan kebenaran mereka sendiri-sendiri. Tapi anehnya kata Milton jika fakta-fakta dibiarkan telanjang, kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam kompetisi terbuka. Masalah utama dalam teori Milton adalah standar kebenaran. Kebenaran, disatu sisi ditentukan oleh mayoritas, disisi lain oleh pasar bebas, tapi disisi lain juga tergantung pada individu masing-masing untuk menerima atau menolak.
Teori Milton kabur, tapi itu justru kondusif untuk membela kebebasan berpendapat. Meskipun dalam realitasnya tidak selalu begitu. Noam Chomsky mencoba merumuskan begini:”Jika anda percaya pada kebebasan berbicara, anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung pendapat yang tidak kau sukai”. (If you're in favor of freedom of speech, that means you're in favor of freedom of speech precisely for views you despise). Tapi kenyataannya Stalin dan Hitler yang mengaku mendukung kebebasan berbicara hanya mendukung pendapat yang mereka sukai. Sama, orang-orang yang tidak suka agama tentu akan membela pendapat yang mereka sukai, meski tidak disukai agamawan. Itulah poin konfliknya.
Kembali ke soal blasphemy. Sekurangnya ada dua sumber blasphermy di Barat baik individual maupun kelompok. Pertama dari luar agama dan kedua dari dalam agama. Masalahnya kemudian ketika suatu agama dinistakan oleh orang di luar agama atau diluar otoritas siapa yang berhak memvonis? Dan jika dari dalam agama itu sendiri, siapa pula yang berhak menghukuminya? Pertanyaan yang sama mungkin bisa diajukan. Ketika suatu negara dihina atau diserang oleh orang dari lular negara atau dari dalam negara itu, siapa yang berhak mengadili??
Baik mengikuti teori Milton maupun Chomsky blasmphemy tetap saja tidak dapat dibenarkan. Dalam teori Milton menista agama dapat menjadi illegal alias haram karena hanya pendapat segelintir orang dan tidak dapat dipegang kebebarannya. Dan jika mengikuti teori Chomsky orang-orang diluar komunitas agama atau yang tidak otoritatif tidak dapat berpendapat semau mereka karena harus menghormati apapun kepercayaan agama-agama meski tidak mereka sukai. Anta ta’iq wa ana ma’I famata nattifiq. Itulah clash of worldview.
MELURUSKAN SEJARAH INDONESIA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tidak ada yang tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu memahami masa lalunya. Al-Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat terdahulu. Dan umat Islam diminta bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam menyongsong masa depannya. Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads, menulis: No civilization can prosper or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past
Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini: Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.
Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Kabah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S. Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.
Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yang menulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa diselesaikan dengan hukum Eropa.
Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori receptio in complexu. Teori ini pada intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Hingga abad ke-19, teori ini masih berlaku. Snouck Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori receptie, yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof. Hazairin menyebut teori receptie Snouck Hurgronje ini sebagai teori Iblis. (Lihat, Rifyal Kabah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).
Islam, memang telah menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari masyarakat Melayu-Nusantara. Dalam buku klasik-nya, Islam and Secularism, Prof. Syed Muhammad Naquib al-
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tidak ada yang tidak setuju, bahwa sejarah adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu memahami masa lalunya. Al-Quran dipenuhi oleh berbagai cerita umat-umat terdahulu. Dan umat Islam diminta bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam menyongsong masa depannya. Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads, menulis: No civilization can prosper or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past
Menyadari arti penting sejarah, kaum penjajah juga secara serius merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1990), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini: Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.
Dalam kasus hukum, misalnya, sudah menjadi kenyataan, hukum Islam merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Bahkan, para pejuang Islam di Indonesia, sejak dulu sudah bercita-cita dan sudah menerapkan hukum Islam. Dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia, Dr. Rifyal Kabah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya. Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Islam telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S. Lev, Rifyal mencatat bahwa Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.
Sebuah buku yang ditulis F.V.A. Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel Belanda yang menulis, bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, pembantu dekat Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, menyampaikan pesan, Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antar orang Eropa diselesaikan dengan hukum Eropa.
Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori receptio in complexu. Teori ini pada intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Hingga abad ke-19, teori ini masih berlaku. Snouck Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori receptie, yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof. Hazairin menyebut teori receptie Snouck Hurgronje ini sebagai teori Iblis. (Lihat, Rifyal Kabah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).
Islam, memang telah menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari masyarakat Melayu-Nusantara. Dalam buku klasik-nya, Islam and Secularism, Prof. Syed Muhammad Naquib al-
Attas bahkan mencatat, bahwa dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan bahasa Muslim kedua terbesar yang digunakan oleh umat Islam.
Sebab itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat: Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness.
Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini sejak lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda yang kemudian diikuti oleh kaum Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu, kekuatan penjajah berusaha keras mendidik kaum terpelajar dan elite bangsa ini agar bersikap anti-pati terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Mereka ketakutan jika Islam sampai digunakan sebagi ideologi atau sumber tatatan hukum dan budaya bangsa.
Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: Suara Azan dan Lonceng Gereja. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren. (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.
Prof. Snouck Hurgronje memang telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada yang melanjutkan. Upaya memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus dilakukan. Islam dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agar menjadi liberal dan modern. Islam juga dicitrakan sebagai unsur asing dari bangsa ini. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan budaya pun, unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk menggusur Islam.
Kasus lain yang menggambarkan adanya rekayasa penjajah Belanda untuk mengarahkan sejarah Indonesia sesuai dengan keinginan Belanda, dapat dilihat pada kasus penokohan RA Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul Kartini da
Sebab itu, tulis al-Attas, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat: Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness.
Upaya untuk memisahkan Islam dengan peradaban Melayu-Indonesia ini sejak lama dilakukan oleh kaum orientalis Belanda yang kemudian diikuti oleh kaum Islamofobia di Indonesia pasca penjajahan. Sejak dulu, kekuatan penjajah berusaha keras mendidik kaum terpelajar dan elite bangsa ini agar bersikap anti-pati terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Mereka ketakutan jika Islam sampai digunakan sebagi ideologi atau sumber tatatan hukum dan budaya bangsa.
Tahun 1938, M. Natsir pernah menulis sebuah artikel berjudul: Suara Azan dan Lonceng Gereja. Artikel ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938, yang juga menyinggung petingnya peran pendidikan Barat dalam menjauhkan kaum Muslim dari agamanya. Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam, Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren. (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda.
Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.
Prof. Snouck Hurgronje memang telah tiada. Namun, jalan pikirannya tetap ada yang melanjutkan. Upaya memisahkan dan menjauhkan Islam dari Indonesia terus dilakukan. Islam dicitrakan sebagai barang rongsokan yang harus di-Baratkan, agar menjadi liberal dan modern. Islam juga dicitrakan sebagai unsur asing dari bangsa ini. Bukan hanya dalam aspek hukum, tetapi dalam aspek pendidikan dan budaya pun, unsur-unsur liberalisme Barat dan nativisme dibangkitkan untuk menggusur Islam.
Kasus lain yang menggambarkan adanya rekayasa penjajah Belanda untuk mengarahkan sejarah Indonesia sesuai dengan keinginan Belanda, dapat dilihat pada kasus penokohan RA Kartini sebagai tokoh wanita Indonesia. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul Kartini da
n Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut, tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur Haluan Etika C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur Haluan Etika C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang
diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.
Memang, banyak wanita lain yang telah berbuat untuk Indonesia. Bukan sekedar bercita-cita. Dewi Sartika (1884-1947), misalnya, bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penok
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.
Memang, banyak wanita lain yang telah berbuat untuk Indonesia. Bukan sekedar bercita-cita. Dewi Sartika (1884-1947), misalnya, bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penok
👍1
an Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk menaklukkan Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan pribumi Muslim sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan minder sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak anak didik Snouck langsung atau pun tidak yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat.
Dan akhirnya, seperti dikatakan oleh Muhammad Asad, umat Islam di wilayah Melayu-Indonesia tidak akan pernah mengalami kebangkitan, ketika mereka sudah kehilangan kebanggaannya terhadap peradabannya sendiri, dan terputus dari serahnya. Ketika itulah, umat Islam hanya akan menjadi satelit dan pengekor pada peradaban lain. Untuk itulah, kaum Muslim perlu sangat serius melihat sejarahnya sendiri dan juga sejarah bangsanya. (***)
Dan akhirnya, seperti dikatakan oleh Muhammad Asad, umat Islam di wilayah Melayu-Indonesia tidak akan pernah mengalami kebangkitan, ketika mereka sudah kehilangan kebanggaannya terhadap peradabannya sendiri, dan terputus dari serahnya. Ketika itulah, umat Islam hanya akan menjadi satelit dan pengekor pada peradaban lain. Untuk itulah, kaum Muslim perlu sangat serius melihat sejarahnya sendiri dan juga sejarah bangsanya. (***)
👍1
ohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara.
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya. (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya. (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan. (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukk
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya. (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya. (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan. (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukk
👍1
KENANG-KENANGAN HIDUP
Penulis: Buya Hamka
*Harga diskon Rp. 150.000,-* dari harga normal Rp. 185.000,-)--
Sinopsis:
Buku kenang-kenangan hidup adalah buku buah karya seorang ulama kharismatik asal sumatra yaitu Buya Hamka, ditulis dengan ciri khas bahasa melayu, buku ini menceritakan perjalanan hidup buya hamka dari masa kecil sampai remaja, buku kenang-kenangan hidup ini benar-benar akan membuka mata kita tentang siapa sebenarnya Buya Hamka, mengerahui perjalanan hidupnya akan menginspirasi untuk bekal hidup meniti kehidupan dikemudian kelak.
-----------------------------
KENANG-KENANGAN HIDUP
Penulis: Buya Hamka
Berat buku: 1 Kg
Isi: HVS, 656 halaman
Sampul: Hard Cover.
Harga diskon Rp. 150.000,- dari harga normal Rp. 185.000,-)
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Buya Hamka
*Harga diskon Rp. 150.000,-* dari harga normal Rp. 185.000,-)--
Sinopsis:
Buku kenang-kenangan hidup adalah buku buah karya seorang ulama kharismatik asal sumatra yaitu Buya Hamka, ditulis dengan ciri khas bahasa melayu, buku ini menceritakan perjalanan hidup buya hamka dari masa kecil sampai remaja, buku kenang-kenangan hidup ini benar-benar akan membuka mata kita tentang siapa sebenarnya Buya Hamka, mengerahui perjalanan hidupnya akan menginspirasi untuk bekal hidup meniti kehidupan dikemudian kelak.
-----------------------------
KENANG-KENANGAN HIDUP
Penulis: Buya Hamka
Berat buku: 1 Kg
Isi: HVS, 656 halaman
Sampul: Hard Cover.
Harga diskon Rp. 150.000,- dari harga normal Rp. 185.000,-)
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
KAMUS NAHWU SHOROF
Disusun dalam bentuk kamus ditambah kelebihan lainnya membuat buku ini benar-benar sangat memudahkan bagi segenap pelajar mempelajari Nahwu Shorof.
Adapun kelebihan-kelebihan KAMUS NAHWU SHOROF ini adalah sebagai berikut:
1. Alfabetik/Abjadi
2. Modern
3. Aplikatif
4. Komparatif
Penulis: Kamerun AS Rahman, M.Pd.I
Harga: Rp. 99.000,-
Xii+662 Halaman
16,5 x 24,5, Hard Cover
Berat: 1 Kg.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Disusun dalam bentuk kamus ditambah kelebihan lainnya membuat buku ini benar-benar sangat memudahkan bagi segenap pelajar mempelajari Nahwu Shorof.
Adapun kelebihan-kelebihan KAMUS NAHWU SHOROF ini adalah sebagai berikut:
1. Alfabetik/Abjadi
2. Modern
3. Aplikatif
4. Komparatif
Penulis: Kamerun AS Rahman, M.Pd.I
Harga: Rp. 99.000,-
Xii+662 Halaman
16,5 x 24,5, Hard Cover
Berat: 1 Kg.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
Sinopsis:
Buku ini adalah kritik terhadap buku Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh salah seorang pakar tafsir di Indonesia, M. Quraish Shihab. Penulis menyoroti beberapa hal dari karya tafsir tersebut, yang dianggap perlu untuk dikoreksi. Di antaranya tentang jilbab, tentang ahli Kitab, tentang kecenderungan tasyayyu’ (Syiah), dan lain sebagainya.
Mengoreksi secara ilmiah sebuah karya tulis adalah tradisi dalam khazanah keilmuan Islam. Tradisi tersebut tentu saja bertujuan untuk mengoreksi dan membangun dialektika keilmuan, agar kekeliruan bisa diluruskan dengan cara yang bermartabat. Karena itu, polemik terhadap sebuah karya tulis adalah hal biasa, selama masing-masing pihak memiliki hujjah yang kuat dan mengedepankan cara-cara yang santun dalam menyampaikan pendapatnya.
Buku ini awalnya adalah disertasi penulis di Universitas Kebangsaan Malaysia. Sebuah karya yang diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, tentu saja buku ini sudah diujikan secara ilmiah. Kami sajikan dengan kemasan yang lebih popular dan ringan, agar buku ini mudah untuk dibaca.
Pendapat Ust Abdul Somad (UAS) tentang buku ini:
“Saya selalu ditanya orang tentang Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh Prof. Qurasih Shihab. Hampir tidak pernah saya jawab. Lalu saya katakan, coba Tanya Ustadz Afrizal Nur, karena beliau menulis tentang itu, disertasi doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia. Alhamdulillah sekarang sudah terbit bukunya, “Tafsir Al Mishbah dalam Sorotan”. Buku ini amat sangat mendidik, isinya tidak diragukan karena disertasi doktor; ilmiah, tidak menghujat, tidak mencaci maki, murni ilmiah, keilmuan."
Ustad Abdul Somad (UAS), Lc,.MA, Datuk Seri Ulama Setia Negara
------------------------------------------
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
No ISBN: 9789795928171
Cover: Soft Cover
Ukuran: 25x15
Harga: Rp 63.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Dr. Afrizal Nur
Sinopsis:
Buku ini adalah kritik terhadap buku Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh salah seorang pakar tafsir di Indonesia, M. Quraish Shihab. Penulis menyoroti beberapa hal dari karya tafsir tersebut, yang dianggap perlu untuk dikoreksi. Di antaranya tentang jilbab, tentang ahli Kitab, tentang kecenderungan tasyayyu’ (Syiah), dan lain sebagainya.
Mengoreksi secara ilmiah sebuah karya tulis adalah tradisi dalam khazanah keilmuan Islam. Tradisi tersebut tentu saja bertujuan untuk mengoreksi dan membangun dialektika keilmuan, agar kekeliruan bisa diluruskan dengan cara yang bermartabat. Karena itu, polemik terhadap sebuah karya tulis adalah hal biasa, selama masing-masing pihak memiliki hujjah yang kuat dan mengedepankan cara-cara yang santun dalam menyampaikan pendapatnya.
Buku ini awalnya adalah disertasi penulis di Universitas Kebangsaan Malaysia. Sebuah karya yang diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, tentu saja buku ini sudah diujikan secara ilmiah. Kami sajikan dengan kemasan yang lebih popular dan ringan, agar buku ini mudah untuk dibaca.
Pendapat Ust Abdul Somad (UAS) tentang buku ini:
“Saya selalu ditanya orang tentang Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh Prof. Qurasih Shihab. Hampir tidak pernah saya jawab. Lalu saya katakan, coba Tanya Ustadz Afrizal Nur, karena beliau menulis tentang itu, disertasi doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia. Alhamdulillah sekarang sudah terbit bukunya, “Tafsir Al Mishbah dalam Sorotan”. Buku ini amat sangat mendidik, isinya tidak diragukan karena disertasi doktor; ilmiah, tidak menghujat, tidak mencaci maki, murni ilmiah, keilmuan."
Ustad Abdul Somad (UAS), Lc,.MA, Datuk Seri Ulama Setia Negara
------------------------------------------
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
No ISBN: 9789795928171
Cover: Soft Cover
Ukuran: 25x15
Harga: Rp 63.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
TOLERANSI
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada tanggal 17 Nopember tahun 2010, saya diberi tugas Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk mengikuti program Public Diplomacy Campaign ke Austria. Saya menyampaikan kuliah umum di dua universitas yaitu Universität Vienna dan Universität Salzburg.
Di Universität Vienna diadakan di Departement Kajian Ketimuran (Oriental Studies). Dihadiri oleh sekitar 50 orang diantaranya terdapat seorang mahasiswa dan mahasiswi berkebangsaan Arab. Temanya tentang moderasi dan toleransi. Saya menyampaikan toleransi umat Islam Indonesia terhadap kepelbagaian agama, termasuk terhadap pemeluk agama Kristen.
Seorang peserta bertanya, mengapa di Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini dan negara Eropa lainnya tidak. “Saya dan keluarga saya dan saya kira juga kebanyakan keluarga Austria disini tidak tahan bertetangga dengan keluarga Muslim”, lanjutnya. Saya terkejut mendengar pertanyaan dan pernyataan orang Barat yang tulus itu.
Agak lama saya berfikir, tapi kemudian saya ketemu jawabnya. “saya kira anda di Barat terlalu kaku berpegang pada faham sekulerisme sehingga tidak toleran pada agama. Apapun yang berbau agama anda tolak, apalagi kalau hal itu masuk kedalam ruang publik.
“Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Barat adalah masuknya agama ke ruang-ruang publik”, kata saya. Di Indonesia kami telah terbiasa mendengar seorang pendeta berceraham di TV publik dan toleran terhadap perayaan agama selain Islam di ruang publik. Kami selalu menyaksikan perayaan Natal di stadion atau tempat-tempat public yang disiarkan secara nasional oleh stasiun TV. Saya hanya menyatakan bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah bisa berarti eksklusif.
Universität Salzburg acaranya di handle oleh Fakultas Systematiche Theologie. Mahasiswa Pasca, dosen dan masyarakat umum yang berjumlah sekitar 100 orang menyimak kuliah umum yang bertema Democracy Islam Human Right. Kuliah saya berjudul Redefining Moderate Muslim, Appraising Religio-Political Thought of Indonesian Muslims.
Di acara dinner dengan para dosen saya utarakan problem liberalisasi pemikiran keagamaan yang kami alami di Indonesia. Disini saya sekali lagi juga terkejut. Ternyata para dosen itu mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia Islam. Mereka bahkan merasakan hal yang sama. Saya bertanya apakah mereka setuju dengan faham-faham feminism dan kesetaraan gender, pluralism agama, liberalisasi pemikiran. Ternyata tidak.
Untuk mengetahui kebenaran pandangan mereka saya mencoba pancing dengan ide global theology yang diutarakan oleh John Hick. Ternyata salah seorang dosen systematic theology bernama Profesor Hans Joachim Sander sangat benci pada John Hick. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang. Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika.
Bahkan dia terus terang “Liberalisme itu omong kosong”. Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama. Mereka malah mengetahui nama-nama pemikir Islam yang liberal seperti Nasr Hamid dan Arkoun yang mengingkari otentisitas al-Quran.
Dari pertanyaan hadirin di Wienna jelas yang tidak toleran terhadap agama adalah masyarakat Barat sekuler. Tapi anehnya, yang kini dituduh eksklusif adalah orang-orang beragama. Cara pandang mereka masih dipengaruhi alam pikiran abad ke 16 dan 17, dimana sekte-sekte agama di Eropa waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling menyalahkan. Konflik pun bermuara pada pembunuhan.
Andrew Sullivan di The New York Times Magazine menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama Eropa abad 16 dan 17 berlumuran darah. Bahkan lebih banyak dibanding di dunia Islam. Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang.
Yang jadi sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh mis
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada tanggal 17 Nopember tahun 2010, saya diberi tugas Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk mengikuti program Public Diplomacy Campaign ke Austria. Saya menyampaikan kuliah umum di dua universitas yaitu Universität Vienna dan Universität Salzburg.
Di Universität Vienna diadakan di Departement Kajian Ketimuran (Oriental Studies). Dihadiri oleh sekitar 50 orang diantaranya terdapat seorang mahasiswa dan mahasiswi berkebangsaan Arab. Temanya tentang moderasi dan toleransi. Saya menyampaikan toleransi umat Islam Indonesia terhadap kepelbagaian agama, termasuk terhadap pemeluk agama Kristen.
Seorang peserta bertanya, mengapa di Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini dan negara Eropa lainnya tidak. “Saya dan keluarga saya dan saya kira juga kebanyakan keluarga Austria disini tidak tahan bertetangga dengan keluarga Muslim”, lanjutnya. Saya terkejut mendengar pertanyaan dan pernyataan orang Barat yang tulus itu.
Agak lama saya berfikir, tapi kemudian saya ketemu jawabnya. “saya kira anda di Barat terlalu kaku berpegang pada faham sekulerisme sehingga tidak toleran pada agama. Apapun yang berbau agama anda tolak, apalagi kalau hal itu masuk kedalam ruang publik.
“Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Barat adalah masuknya agama ke ruang-ruang publik”, kata saya. Di Indonesia kami telah terbiasa mendengar seorang pendeta berceraham di TV publik dan toleran terhadap perayaan agama selain Islam di ruang publik. Kami selalu menyaksikan perayaan Natal di stadion atau tempat-tempat public yang disiarkan secara nasional oleh stasiun TV. Saya hanya menyatakan bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah bisa berarti eksklusif.
Universität Salzburg acaranya di handle oleh Fakultas Systematiche Theologie. Mahasiswa Pasca, dosen dan masyarakat umum yang berjumlah sekitar 100 orang menyimak kuliah umum yang bertema Democracy Islam Human Right. Kuliah saya berjudul Redefining Moderate Muslim, Appraising Religio-Political Thought of Indonesian Muslims.
Di acara dinner dengan para dosen saya utarakan problem liberalisasi pemikiran keagamaan yang kami alami di Indonesia. Disini saya sekali lagi juga terkejut. Ternyata para dosen itu mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia Islam. Mereka bahkan merasakan hal yang sama. Saya bertanya apakah mereka setuju dengan faham-faham feminism dan kesetaraan gender, pluralism agama, liberalisasi pemikiran. Ternyata tidak.
Untuk mengetahui kebenaran pandangan mereka saya mencoba pancing dengan ide global theology yang diutarakan oleh John Hick. Ternyata salah seorang dosen systematic theology bernama Profesor Hans Joachim Sander sangat benci pada John Hick. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang. Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika.
Bahkan dia terus terang “Liberalisme itu omong kosong”. Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama. Mereka malah mengetahui nama-nama pemikir Islam yang liberal seperti Nasr Hamid dan Arkoun yang mengingkari otentisitas al-Quran.
Dari pertanyaan hadirin di Wienna jelas yang tidak toleran terhadap agama adalah masyarakat Barat sekuler. Tapi anehnya, yang kini dituduh eksklusif adalah orang-orang beragama. Cara pandang mereka masih dipengaruhi alam pikiran abad ke 16 dan 17, dimana sekte-sekte agama di Eropa waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling menyalahkan. Konflik pun bermuara pada pembunuhan.
Andrew Sullivan di The New York Times Magazine menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama Eropa abad 16 dan 17 berlumuran darah. Bahkan lebih banyak dibanding di dunia Islam. Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang.
Yang jadi sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh mis
teri itu. Padahal konflik agama selama ini, jikapun ada, tidak sebesar konflik politik. Tidak sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan. Jumlah yang mati sia-sia pun lebih banyak konflik politik.
Untuk memojokkan agama Jack Nelson-Pallmeyer melacak kandungan al-Quran dan Bible. Ia lalu menulis buku berjudul “Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Quran”. Kesimpulannya menurutnya bahwa kedua kitab ini memerintahkan pembunuhan.
Padahal konflik antar agama itu sebenarnya bukan karena agama itu. Konflik yang sebenarnya justru antara agama karena dibenturkan dengan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme gagal dan diganti dengan pluralisme. Sikap eksklusif itu diganti menjadi sikap inklusif dan pluralis.
Secara teologis agama yang banyak itu, oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick. Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia.
Setahun sebelumnya ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris saya benar-benar melihat praktek pluralism. Di Leed, saya melewati sebuah gereja. Di depan gereja itu tertulis, “All race, all nation, all religion but one god”. Saya lalu segera menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology. Dalam perjalanan saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang pendeta berkulit hitam. Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata bagi dia itu benar “Nothing wrong with religious pluralism” katanya.
Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di Selly Oak College, Birmingham, disitu terpasang gambar Jesus tapi kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu adalah wujud nyata dari pluralisme yang berupaya mencari kesamaan Tuhan agama-agama. Masalahnya, jika agama-agama itu memilik Tuhan yang sama, apalagi yang harus ditolerir.
Untuk memojokkan agama Jack Nelson-Pallmeyer melacak kandungan al-Quran dan Bible. Ia lalu menulis buku berjudul “Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Quran”. Kesimpulannya menurutnya bahwa kedua kitab ini memerintahkan pembunuhan.
Padahal konflik antar agama itu sebenarnya bukan karena agama itu. Konflik yang sebenarnya justru antara agama karena dibenturkan dengan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme gagal dan diganti dengan pluralisme. Sikap eksklusif itu diganti menjadi sikap inklusif dan pluralis.
Secara teologis agama yang banyak itu, oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick. Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia.
Setahun sebelumnya ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris saya benar-benar melihat praktek pluralism. Di Leed, saya melewati sebuah gereja. Di depan gereja itu tertulis, “All race, all nation, all religion but one god”. Saya lalu segera menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology. Dalam perjalanan saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang pendeta berkulit hitam. Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata bagi dia itu benar “Nothing wrong with religious pluralism” katanya.
Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di Selly Oak College, Birmingham, disitu terpasang gambar Jesus tapi kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu adalah wujud nyata dari pluralisme yang berupaya mencari kesamaan Tuhan agama-agama. Masalahnya, jika agama-agama itu memilik Tuhan yang sama, apalagi yang harus ditolerir.
Mengapa pendidikan Barat tidak ada pelajaran menghapal? Karena memang mereka tidak punya teks untuk dihapal. Maka dari itu, selain tidak menghapal, mereka juga anti dg menghapal.
Pendidikan Islam justru diawali dg menghapal. Sebab, kewajiban seorang muslim yg pertama dan utama adalah shalat. Dalam shalat ada gerakan dan bacaan. Shalat tanpa membaca surat al-Fatihah tidak sah shalatnya. Maka, menghapal surat al-Fatihah hukumnya wajib.
Membaca dan menghapal teks al-Quran mendapat pahala tiap hurufnya. Bahkan membaca dg terbata2 tanpa tahu artinya juga dapat pahala 2, pahala membaca dan pahala usaha kerasnya. Anak2 yg hapal al-Quran akan memakaikan mahkota ke kepala orang tuanya di surga. Artinya, sang penghapal akan berada di surga dan orang tuanya akan dibawanya masuk pula ke surga, meskipun mungkin sebelumnya ia berada di neraka. Bisa menghapal al-Quran merupakan kompetensi yg didambakan semua orang Islam yg berakal.
Kehebatan ulama2 kita jaman dahulu sering diukur dg kekuatan hapalan. Imam Syafii hapal al-Quran umur 6 th dan kitab al-Muwatta, karangan gurunya, umur 10 th. Imam Malik ketika dibawakan 30 hadits, sekali diperdengarkan, 29 hadits langsung hapal. Seorang disebut gelar al-Hafidz (bukan hafidz Quran krn hafidz Quran sdh menjadi hal yg biasa dlm masyarakat Islam kala itu) adalah mereka yg hapal 100.000 hadits beserta sanadnya. Orang membuat klasifikasi berdasarkan jumlah hapalan hadits.
Lalu ada pejabat tinggi bidang pendidikan yg bilang dunia tidak membutuhkan anak2 yg jago menghapal. Mungkin benar bagi dunia yg materialistis. Sudah bagus anak2 menghapal di sekolah dasar jadi cerdas, meringankan tugas dia sbg menteri. Alih2 didukung, malah dibuat demotivasi. Ketika menjadi pejabat publik, sebaiknya karakter sektarian atau sekedar dunia yg digelutinya saja ditinggalkan. Mesti diperluas cakrawalanya. Kalau kemarin2 hanya dari A sd D, sekarang harus ditambah dari E sd Z. Mengecilkan dunia pendidikan dari A sd Z menjadi A cuma sampai D, adalah langkah keliru.
Sebenarnya pandai menghapal juga termasuk salah satu bentuk kecerdasan. Ciri2 orang cerdas itu hapal sesuatu. Dalam film2 Hollywood juga sering digambarkan tokoh yg cerdas jago dalam menghapal. Bahkan karena mereka sekuker, kemampuan menghapal itu digunakan juga utk mencari keuntungan perjudian di kasino2.
Ada pakar (bukan) pendidikan menyebut bahwa menghapal bukan termasuk belajar. Dia hanya mengumpulkan informasi2 saja, tidak membentuk pemahaman. Kalaulah jadi pandai karena kebiasaan saja, seperti otot tangan yg dilatih beban lama2 jadi kuat dan membesar.
Keunikan manusia adalah, ketika otak bekerja maka ia akan membuat simpul2 dendrit terhubung. Makin banyak terhubung makin banyak pengetahuan. Wajar kalau ia makin cerdas. Hanya anak kecil yg belum berakal yg menghapal hanya sekedar menghapal.
Kata "Pakar" ini juga, salah kalau dibilang dari kecil rajin menghapal akan ingat sampai dewasa. Kalau tidak dihapal terus ya hilang. Memang tidak salah. Lha wong dihapal saja bisa hilang hapalannya apalagi tidak. Ada2 saja bapak ini....
Kalau hapalan tidak penting buat anak2 sekolah, saya menunggu kebijakan pemerintah bahwa semua ujian, termasuk ujian nasional (kemarin katanya mau dihapus, eh belum lama diralat, nggak jadi) open book!
Kita juga tahu bahwa pemahaman itu penting. Tp dg mengatakan bahwa menghapal tidak penting, apalagi bilang menghapal tidak dibutuhkan, maka pemahaman ini harus diluruskan. Pendidikan di indonesia, tidak sama dg pendidikan di Barat. "Kita kan hidup di Indonesia, bukan di sana. Mereka bukan kita..." kata Utha Likumahuwa.
Saudara2ku kaum muslim, banyak keuntungan menghapal, terutama menghapal al-Quran, doa2 dan dzikir. Banyak orang sakit, sekarat, hati sedang galau, pikiran sedang kacau dan sebagainya, tidak ada quran, tp mulutnya bisa komat kamit membaca quran, doa dan dzikir. Kemudian hati menjadi tenang. Bayangkan jika seseorang berada di rumah sakit dalam.kondisi kritis tidak bisa apa2. Ia hanya bisa memandangi langit2 kamar. Mungkin sdg menunggu malaikat maut mencabut nyawa. Ia ingin sekali turun dari tempat tidur, berw
Pendidikan Islam justru diawali dg menghapal. Sebab, kewajiban seorang muslim yg pertama dan utama adalah shalat. Dalam shalat ada gerakan dan bacaan. Shalat tanpa membaca surat al-Fatihah tidak sah shalatnya. Maka, menghapal surat al-Fatihah hukumnya wajib.
Membaca dan menghapal teks al-Quran mendapat pahala tiap hurufnya. Bahkan membaca dg terbata2 tanpa tahu artinya juga dapat pahala 2, pahala membaca dan pahala usaha kerasnya. Anak2 yg hapal al-Quran akan memakaikan mahkota ke kepala orang tuanya di surga. Artinya, sang penghapal akan berada di surga dan orang tuanya akan dibawanya masuk pula ke surga, meskipun mungkin sebelumnya ia berada di neraka. Bisa menghapal al-Quran merupakan kompetensi yg didambakan semua orang Islam yg berakal.
Kehebatan ulama2 kita jaman dahulu sering diukur dg kekuatan hapalan. Imam Syafii hapal al-Quran umur 6 th dan kitab al-Muwatta, karangan gurunya, umur 10 th. Imam Malik ketika dibawakan 30 hadits, sekali diperdengarkan, 29 hadits langsung hapal. Seorang disebut gelar al-Hafidz (bukan hafidz Quran krn hafidz Quran sdh menjadi hal yg biasa dlm masyarakat Islam kala itu) adalah mereka yg hapal 100.000 hadits beserta sanadnya. Orang membuat klasifikasi berdasarkan jumlah hapalan hadits.
Lalu ada pejabat tinggi bidang pendidikan yg bilang dunia tidak membutuhkan anak2 yg jago menghapal. Mungkin benar bagi dunia yg materialistis. Sudah bagus anak2 menghapal di sekolah dasar jadi cerdas, meringankan tugas dia sbg menteri. Alih2 didukung, malah dibuat demotivasi. Ketika menjadi pejabat publik, sebaiknya karakter sektarian atau sekedar dunia yg digelutinya saja ditinggalkan. Mesti diperluas cakrawalanya. Kalau kemarin2 hanya dari A sd D, sekarang harus ditambah dari E sd Z. Mengecilkan dunia pendidikan dari A sd Z menjadi A cuma sampai D, adalah langkah keliru.
Sebenarnya pandai menghapal juga termasuk salah satu bentuk kecerdasan. Ciri2 orang cerdas itu hapal sesuatu. Dalam film2 Hollywood juga sering digambarkan tokoh yg cerdas jago dalam menghapal. Bahkan karena mereka sekuker, kemampuan menghapal itu digunakan juga utk mencari keuntungan perjudian di kasino2.
Ada pakar (bukan) pendidikan menyebut bahwa menghapal bukan termasuk belajar. Dia hanya mengumpulkan informasi2 saja, tidak membentuk pemahaman. Kalaulah jadi pandai karena kebiasaan saja, seperti otot tangan yg dilatih beban lama2 jadi kuat dan membesar.
Keunikan manusia adalah, ketika otak bekerja maka ia akan membuat simpul2 dendrit terhubung. Makin banyak terhubung makin banyak pengetahuan. Wajar kalau ia makin cerdas. Hanya anak kecil yg belum berakal yg menghapal hanya sekedar menghapal.
Kata "Pakar" ini juga, salah kalau dibilang dari kecil rajin menghapal akan ingat sampai dewasa. Kalau tidak dihapal terus ya hilang. Memang tidak salah. Lha wong dihapal saja bisa hilang hapalannya apalagi tidak. Ada2 saja bapak ini....
Kalau hapalan tidak penting buat anak2 sekolah, saya menunggu kebijakan pemerintah bahwa semua ujian, termasuk ujian nasional (kemarin katanya mau dihapus, eh belum lama diralat, nggak jadi) open book!
Kita juga tahu bahwa pemahaman itu penting. Tp dg mengatakan bahwa menghapal tidak penting, apalagi bilang menghapal tidak dibutuhkan, maka pemahaman ini harus diluruskan. Pendidikan di indonesia, tidak sama dg pendidikan di Barat. "Kita kan hidup di Indonesia, bukan di sana. Mereka bukan kita..." kata Utha Likumahuwa.
Saudara2ku kaum muslim, banyak keuntungan menghapal, terutama menghapal al-Quran, doa2 dan dzikir. Banyak orang sakit, sekarat, hati sedang galau, pikiran sedang kacau dan sebagainya, tidak ada quran, tp mulutnya bisa komat kamit membaca quran, doa dan dzikir. Kemudian hati menjadi tenang. Bayangkan jika seseorang berada di rumah sakit dalam.kondisi kritis tidak bisa apa2. Ia hanya bisa memandangi langit2 kamar. Mungkin sdg menunggu malaikat maut mencabut nyawa. Ia ingin sekali turun dari tempat tidur, berw
udhu, mengambil mushaf dan mengaji, tp tentu tidak bisa. Dg dia hapal al Quran maka pikirannya akan menelusuri lembar demi lembar mushaf al Quran yg sdh dihapalnya itu. Dan ketika malaikat akan mencabut nyawa, ia sdh siap dalam keadaan bersih dan suci.
Rajin menghapal di waktu muda juga mencegah kepikunan di kala tua. Banyak orang sdh tua menjadi pikun krn malas menghapal di waktu muda terutama al-Quran. Sampai2 istrinya pun lupa. Sebuah anekdot, seorang bapak tua memanggil istrinya dg panggilan mesra, "sayangku", "manisku", "adindaku", dan semisalnya. Ada anak muda heran, sdh setua itu rumah tangga pasangan tsb, si bapak kok masih mesra. Maka ditanyakanlah apa resepnya oleh anak muda itu ke bapak tsb. Jawabnya, "Ssst...jangan bilang2, saya sdh 3 bulan ini lupa nama istri saya..."
Ada pula bapak2 yg sdh tua, istrinya protes. "Pak, kenapa sih sdh seminggu ini Bapak tidak cium kening saya sebelum berangkat kerja?" Dalam hati sang bapak kaget, "Loh, siapa yg selama seminggu ini aku cium keningnya..."
Makanya rajin menghapal, biar tua nggak cepat pikun....
- Dr. Budi Handrianto -
Rajin menghapal di waktu muda juga mencegah kepikunan di kala tua. Banyak orang sdh tua menjadi pikun krn malas menghapal di waktu muda terutama al-Quran. Sampai2 istrinya pun lupa. Sebuah anekdot, seorang bapak tua memanggil istrinya dg panggilan mesra, "sayangku", "manisku", "adindaku", dan semisalnya. Ada anak muda heran, sdh setua itu rumah tangga pasangan tsb, si bapak kok masih mesra. Maka ditanyakanlah apa resepnya oleh anak muda itu ke bapak tsb. Jawabnya, "Ssst...jangan bilang2, saya sdh 3 bulan ini lupa nama istri saya..."
Ada pula bapak2 yg sdh tua, istrinya protes. "Pak, kenapa sih sdh seminggu ini Bapak tidak cium kening saya sebelum berangkat kerja?" Dalam hati sang bapak kaget, "Loh, siapa yg selama seminggu ini aku cium keningnya..."
Makanya rajin menghapal, biar tua nggak cepat pikun....
- Dr. Budi Handrianto -
*Dilema Kaum Muslimin*
Prof. Dr. Muhammad An Naquib Al Atthas
Bina Ilmu cet. 1, 1986, New, Ori, Stok Lawas, Mulus.
viii + 176 hlm hvs.
Stok 7 eks.
Harga Rp. 105.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Prof. Dr. Muhammad An Naquib Al Atthas
Bina Ilmu cet. 1, 1986, New, Ori, Stok Lawas, Mulus.
viii + 176 hlm hvs.
Stok 7 eks.
Harga Rp. 105.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...