UMAT ISLAM TIDAK TOLERAN?
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada 1 Juli 2009, Dr. Marwa El-Sherbini, seorang Muslimah yang sedang hamil tiga bulan dibunuh oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa dibunuh dengan sangat biadab. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1566256830180928&id=153825841424041
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada 1 Juli 2009, Dr. Marwa El-Sherbini, seorang Muslimah yang sedang hamil tiga bulan dibunuh oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa dibunuh dengan sangat biadab. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1566256830180928&id=153825841424041
Qalbu
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Akhir-akhir ini pendidikan disoroti sebagai terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.
Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia meliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan praktis.
Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: Pertama, Letak iman, ilmu dan amal tersebut dalam jiwa manusia. Kedua, Bagaimana menanamkan itu semua kedalam diri manusia.
Sistem apa yang cocok untuk pengembangan anak dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistem pendidikan yang terpadu, perlu dipikirkan terus menerus dan seksama.
Namun, sebelum berpikir tentang metode atau sistem perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwa manusia yang akan menjadi obyek pendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis buku berjudul Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr wa al-Qalb wa al-Fuad wa al-Lub. (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar), Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb (akal pikiran).
Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyata berbeda artinya dari istilah qalb, hati atau kalbu. Fuad yang diIndonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang beriman. Ulul Albab adalah orang yang berakal pikiran tauhidi.
Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang dibedah dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang komprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.
Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata didalam mata. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah, cita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu pun masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb.
Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah inti atau pusat dari hati (qalb).
Jika sadr ada didalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “Maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”.
Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahaya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan.
Sebagai raja, qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka didalam qalb itu pun terdapat ilmu.
Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandangan. Ketika seseorang berpikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada di tengah-tengah hati, sedangkan hati di tengah-tengah sadar.
Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya keimanan dan sadr tempat cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahay
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Akhir-akhir ini pendidikan disoroti sebagai terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.
Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia meliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan praktis.
Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: Pertama, Letak iman, ilmu dan amal tersebut dalam jiwa manusia. Kedua, Bagaimana menanamkan itu semua kedalam diri manusia.
Sistem apa yang cocok untuk pengembangan anak dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistem pendidikan yang terpadu, perlu dipikirkan terus menerus dan seksama.
Namun, sebelum berpikir tentang metode atau sistem perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwa manusia yang akan menjadi obyek pendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis buku berjudul Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr wa al-Qalb wa al-Fuad wa al-Lub. (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar), Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb (akal pikiran).
Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyata berbeda artinya dari istilah qalb, hati atau kalbu. Fuad yang diIndonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang beriman. Ulul Albab adalah orang yang berakal pikiran tauhidi.
Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang dibedah dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang komprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.
Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata didalam mata. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah, cita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu pun masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb.
Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah inti atau pusat dari hati (qalb).
Jika sadr ada didalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “Maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”.
Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahaya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan.
Sebagai raja, qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka didalam qalb itu pun terdapat ilmu.
Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandangan. Ketika seseorang berpikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada di tengah-tengah hati, sedangkan hati di tengah-tengah sadar.
Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya keimanan dan sadr tempat cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahay
a ketauhidan.
Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berpikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman.
Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nurani (fuad) dan pikirannya (lubb) berjalan seimbang.
Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berpikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman.
Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nurani (fuad) dan pikirannya (lubb) berjalan seimbang.
Tafsir Mimpi: Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Penulis: Muhammad Ibnu Sirin
Sinopsis:
Mimpi memang seringkali disebut sebagai bunga tidur yang kehadirannya dianggap wajar saja. Namun, bagaimana jika mimpi tersebut membuat kita gelisah, senang berlebihan, bahkan sampai melupakan Allah SWT?
Agar mimpi tidak membawa dampak negatif bagi keseharian, kita perlu memahami tafsir nya. Namun, sebagai seorang Muslim, kita wajib memilih bagaimana cara kita menafsirkan mimpi.
Kita bisa menjadikan buku Tafsir Mimpi: Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah karya Muhammad Ibnu Sirin sebagai referensi untuk memahami seputar tafsir mimpi. Selain dibahas tentang tafsir berbagai jenis mimpi, penulis juga menjelaskan waktu mimpi yang benar, prinsip-prinsip takwil mimpi, dan sebagainya.
Pembahasannya dibuat menurut al-Qur’an dan As-Sunnah, 2 sumber terpercaya sebagai pedoman manusia dalam menjalani hidup. Oleh karena itu, buku ini memberikan manfaat yang luar biasa bagi kita, khususnya dalam memahami tafsir mimpi dan hal-hal yang berkaitan tentang mimpi.
--------------------------
Tafsir Mimpi: Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Penulis: Muhammad Ibnu Sirin
ISBN: 978-602-250-563-1
Berat: 1kg
Isi: 384 halaman
Sampul: Hard Cover
Harga Rp. 165.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Muhammad Ibnu Sirin
Sinopsis:
Mimpi memang seringkali disebut sebagai bunga tidur yang kehadirannya dianggap wajar saja. Namun, bagaimana jika mimpi tersebut membuat kita gelisah, senang berlebihan, bahkan sampai melupakan Allah SWT?
Agar mimpi tidak membawa dampak negatif bagi keseharian, kita perlu memahami tafsir nya. Namun, sebagai seorang Muslim, kita wajib memilih bagaimana cara kita menafsirkan mimpi.
Kita bisa menjadikan buku Tafsir Mimpi: Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah karya Muhammad Ibnu Sirin sebagai referensi untuk memahami seputar tafsir mimpi. Selain dibahas tentang tafsir berbagai jenis mimpi, penulis juga menjelaskan waktu mimpi yang benar, prinsip-prinsip takwil mimpi, dan sebagainya.
Pembahasannya dibuat menurut al-Qur’an dan As-Sunnah, 2 sumber terpercaya sebagai pedoman manusia dalam menjalani hidup. Oleh karena itu, buku ini memberikan manfaat yang luar biasa bagi kita, khususnya dalam memahami tafsir mimpi dan hal-hal yang berkaitan tentang mimpi.
--------------------------
Tafsir Mimpi: Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Penulis: Muhammad Ibnu Sirin
ISBN: 978-602-250-563-1
Berat: 1kg
Isi: 384 halaman
Sampul: Hard Cover
Harga Rp. 165.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
KAMUS AL-WAFI
ARAB - INDONESIA
INDONESIA ARAB
Oleh: Syaikh A. Thoha Husein al-Mujahid dan A. Atho’ilah Fathoni al-Khalil.
Jika sebelumnya kita telah mengenal kamus-kamus sekaliber Kamus Munawir, Kamus Mahmud Yunus, dan sejenisnya. Nah, kini saatnya Anda harus ‘bersua / bertatap muka’ dengan kamus dengan genre ‘termudah’ untuk dipakai. Siapa dia? Inilah “AL-WAFI”, spesial hadir untuk menemani kesibukan Anda dalam mempelajari ilmu Nahwu dan Sharaf.
MENGENAL KAMUS BAHASA ARAB
Kamus adalah sejenis buku rujukan yang menerangkan makna kata-kata. Ia berfungsi untuk membantu seseorang mengenal perkataan baru. Selain menerangkan maksud kata, kamus juga mungkin mempunyai pedoman sebutan, asal usul (etimologi) sesuatu perkataan dan juga contoh penggunaan bagi sesuatu perkataan. Untuk memperjelas kadang kala terdapat juga ilustrasi di dalam kamus. Biasanya hal ini terdapat dalam kamus bahasa Perancis.
Kata kamus diserap dari bahasa Arab qamus (قاموس), dengan bentuk jamaknya qawamis. Kata Arab itu sendiri berasal dari kata Yunani Ωκεανός (okeanos) yang berarti 'samudra'.
Bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an, bahasa yang di gunakan oleh Rasulullah - shallallahu 'alaihi wa sallam - dan para sahabatnya untuk berdialog dan menyampaikan wahyu dari Allah - Ta’ala -. Kosakata dalam bahasa Arab sangat banyak, sehingga tidak mungkin akan bisa menguasainya dalam waktu yang cepat. Untuk itu kehadiran kamus akan sangat membantu bagi kita untuk mengetahui arti dari tiap kata bahasa arab.
APA KATA TOKOH TENTANG KAMUS AL-WAFI?
"Alhamdulillah atas hadirnya kamus bahasa Arab yang disusun oleh dua orang bersaudara ini, yaitu A. Thoha Husein dan A. Atho'illah Fathoni. Kamus ini sangat memudahkan dan membantu umat Islam yang berkeinginan belajar bahasa Arab. Kamus ini juga merupakan salah satu sarana umat Islam untuk mengetahui bahasa Arab sebagai bahasa sumber umat agama Islam."
--Prof. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, Guru Besar IPB dan UIKA
-------------------------
Kamus Al-Wafi
Arab - Indonesia Kamus
Sampul: Hardcover,
Tebal: 1466 halaman,
Ukuran buku: 16,5 x 23,5 cm
Berat: 1,9 Kg.
Penulis: A. Husein Al-Mujahid Dan A. Atho'illah Fathoni Al-Khalil
KAMUS AL-WAFI ARAB - INDONESIA
Harga Rp. 243.000,-
KAMUS AL-WAFI INDONESIA-ARAB
Sampul: Hard Cover
Ukuran buku: 16,5 x 23,5 cm
Tebal: 1268 halaman
Berat: 1,6 Kg
Harga Rp. 220.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
ARAB - INDONESIA
INDONESIA ARAB
Oleh: Syaikh A. Thoha Husein al-Mujahid dan A. Atho’ilah Fathoni al-Khalil.
Jika sebelumnya kita telah mengenal kamus-kamus sekaliber Kamus Munawir, Kamus Mahmud Yunus, dan sejenisnya. Nah, kini saatnya Anda harus ‘bersua / bertatap muka’ dengan kamus dengan genre ‘termudah’ untuk dipakai. Siapa dia? Inilah “AL-WAFI”, spesial hadir untuk menemani kesibukan Anda dalam mempelajari ilmu Nahwu dan Sharaf.
MENGENAL KAMUS BAHASA ARAB
Kamus adalah sejenis buku rujukan yang menerangkan makna kata-kata. Ia berfungsi untuk membantu seseorang mengenal perkataan baru. Selain menerangkan maksud kata, kamus juga mungkin mempunyai pedoman sebutan, asal usul (etimologi) sesuatu perkataan dan juga contoh penggunaan bagi sesuatu perkataan. Untuk memperjelas kadang kala terdapat juga ilustrasi di dalam kamus. Biasanya hal ini terdapat dalam kamus bahasa Perancis.
Kata kamus diserap dari bahasa Arab qamus (قاموس), dengan bentuk jamaknya qawamis. Kata Arab itu sendiri berasal dari kata Yunani Ωκεανός (okeanos) yang berarti 'samudra'.
Bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an, bahasa yang di gunakan oleh Rasulullah - shallallahu 'alaihi wa sallam - dan para sahabatnya untuk berdialog dan menyampaikan wahyu dari Allah - Ta’ala -. Kosakata dalam bahasa Arab sangat banyak, sehingga tidak mungkin akan bisa menguasainya dalam waktu yang cepat. Untuk itu kehadiran kamus akan sangat membantu bagi kita untuk mengetahui arti dari tiap kata bahasa arab.
APA KATA TOKOH TENTANG KAMUS AL-WAFI?
"Alhamdulillah atas hadirnya kamus bahasa Arab yang disusun oleh dua orang bersaudara ini, yaitu A. Thoha Husein dan A. Atho'illah Fathoni. Kamus ini sangat memudahkan dan membantu umat Islam yang berkeinginan belajar bahasa Arab. Kamus ini juga merupakan salah satu sarana umat Islam untuk mengetahui bahasa Arab sebagai bahasa sumber umat agama Islam."
--Prof. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, Guru Besar IPB dan UIKA
-------------------------
Kamus Al-Wafi
Arab - Indonesia Kamus
Sampul: Hardcover,
Tebal: 1466 halaman,
Ukuran buku: 16,5 x 23,5 cm
Berat: 1,9 Kg.
Penulis: A. Husein Al-Mujahid Dan A. Atho'illah Fathoni Al-Khalil
KAMUS AL-WAFI ARAB - INDONESIA
Harga Rp. 243.000,-
KAMUS AL-WAFI INDONESIA-ARAB
Sampul: Hard Cover
Ukuran buku: 16,5 x 23,5 cm
Tebal: 1268 halaman
Berat: 1,6 Kg
Harga Rp. 220.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Buku Best Seller:
*TA'LIMUL MUTA'ALLIM*
Sinopsis:
Salah satu buku paling tua dalam jajaran literasi Islam yang membahas tarbiyah (pendidikan).
KETIKA ILMU TANPA ADAB, MAKA:
🗣 Keahlian retorika menjadi senjata untuk memenangkan debat, tanpa peduli benar atau keliru.
🥀 Ilmu mengolah alam menjadi alat keserakahan pribadi, tak peduli dampaknya bagi sesama.
🥊 Kekuasaan dan kepandaian menjadi kendaraan untuk melakukan korupsi dan kesewenang-wenangan.
🚥 Karenanya, para ulama menekankan PENTINGNYA ADAB SEBELUM ILMU.
⭐ Agar ilmu benar-benar hadir sebagai berkah dan rahmatan lil-alamin.
Buku ini adalah salah satu buku paling tua dalam jajaran literasi Islam yang membahas tarbiyah (pendidikan).
Buku wajib di beberapa pesantren yang menekankan pentingnya adab sebelum ilmu.
---------------------------------
✅ Buku Ta'limul Muta'allim
(soft cover, 166 hlm, 14x20 cm, 200 gram). Harga Rp. 53.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
*TA'LIMUL MUTA'ALLIM*
Sinopsis:
Salah satu buku paling tua dalam jajaran literasi Islam yang membahas tarbiyah (pendidikan).
KETIKA ILMU TANPA ADAB, MAKA:
🗣 Keahlian retorika menjadi senjata untuk memenangkan debat, tanpa peduli benar atau keliru.
🥀 Ilmu mengolah alam menjadi alat keserakahan pribadi, tak peduli dampaknya bagi sesama.
🥊 Kekuasaan dan kepandaian menjadi kendaraan untuk melakukan korupsi dan kesewenang-wenangan.
🚥 Karenanya, para ulama menekankan PENTINGNYA ADAB SEBELUM ILMU.
⭐ Agar ilmu benar-benar hadir sebagai berkah dan rahmatan lil-alamin.
Buku ini adalah salah satu buku paling tua dalam jajaran literasi Islam yang membahas tarbiyah (pendidikan).
Buku wajib di beberapa pesantren yang menekankan pentingnya adab sebelum ilmu.
---------------------------------
✅ Buku Ta'limul Muta'allim
(soft cover, 166 hlm, 14x20 cm, 200 gram). Harga Rp. 53.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Seni Interaksi Rasulullah
Penulis: Syekh Shalih Al-Munajjid
Sinopsis:
“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari diri-diri kalian. Sangat bersedih terhadap apa yang memberatkan kalian dan bersemangat (untuk memberikan hidayah) kepada kalian dan lemah lembut dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (At-Taubah: 128)
Mengikuti dan meneladani Rasulullah dalam setiap keadaan. Itulah bukti konkret keimanan sekaligus kecintaan kepada beliau. Siapa yang menjadikannya sebagai suri teladan berarti telah menempuh jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan yang ada di sisi Allah.
“Pada diri Rasulullah telah terhimpun sifat-sifat yang terpuji sepertimalu, dermawan, pemberani, berwibawa, sambutan yang baik, lemah lembut, memuliakan anak yatim, baik batinnya, jujur dalam ucapan, menjaga diri dari perkara yang mendatangkan maksiat, suci, bersih, suci dirinya dan segala sifat-sifat yang baik.” (Syekh Mushthafa Al-Adawi, Fiqhul Akhlaq: I/7)
Buku ini mengajak kita untuk mengetahui aspek-aspek dalam meneladani Rasulullah. Penulisnya—Syekh Al-Munajjid—menjelaskan secara rinci dengan contoh nyata bagaimana beliau berinteraksi dengan berbagai kalangan, seperti:
- keluarga, saudara, dan orang-orang di sekitarnya seperti tetangga;
- berbagai kelompok Sosial, baik kalangan miskin maupun kaya;
-kalangan yang membutuhkan pendekatan dakwah khusus, seperti para mualaf dan munafikin;
-wanita, anak-anak, hingga binatang.
Semuanya ditunjukkan dengan kasih sayang dan keteladanan Rasulullah yang paling tampak adalah sifat penyayang. Namun, sudahkah sifat ini melekat pada diri kita?
Rasulullah bersabda, “Tidaklah sifat kelemah lembutan itu ada pada sesuatu melainkan akan menjadikannya indah dan tidaklah tercabut dari sesuatu melainkan akan menjadikannya jelek.” (HR. Muslim dari Aisyah)
Setelah membaca buku ini, semoga kita dapat berhias dengan kasih sayang dalam interaksi kehidupan, sebagaimana teladan Rasulullah.
-------------------
Seni Interaksi Rasulullah
Penulis: Syekh Shalih Al-Munajjid
Ukuran: 17×24 cm
Tebal: 588 hlm
Berat: 1 kg
ISBN: 978-979-039-591-6
Harga: Rp 139.000,-
Pemesanan silahkan sms/WhatsApp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Syekh Shalih Al-Munajjid
Sinopsis:
“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari diri-diri kalian. Sangat bersedih terhadap apa yang memberatkan kalian dan bersemangat (untuk memberikan hidayah) kepada kalian dan lemah lembut dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (At-Taubah: 128)
Mengikuti dan meneladani Rasulullah dalam setiap keadaan. Itulah bukti konkret keimanan sekaligus kecintaan kepada beliau. Siapa yang menjadikannya sebagai suri teladan berarti telah menempuh jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan yang ada di sisi Allah.
“Pada diri Rasulullah telah terhimpun sifat-sifat yang terpuji sepertimalu, dermawan, pemberani, berwibawa, sambutan yang baik, lemah lembut, memuliakan anak yatim, baik batinnya, jujur dalam ucapan, menjaga diri dari perkara yang mendatangkan maksiat, suci, bersih, suci dirinya dan segala sifat-sifat yang baik.” (Syekh Mushthafa Al-Adawi, Fiqhul Akhlaq: I/7)
Buku ini mengajak kita untuk mengetahui aspek-aspek dalam meneladani Rasulullah. Penulisnya—Syekh Al-Munajjid—menjelaskan secara rinci dengan contoh nyata bagaimana beliau berinteraksi dengan berbagai kalangan, seperti:
- keluarga, saudara, dan orang-orang di sekitarnya seperti tetangga;
- berbagai kelompok Sosial, baik kalangan miskin maupun kaya;
-kalangan yang membutuhkan pendekatan dakwah khusus, seperti para mualaf dan munafikin;
-wanita, anak-anak, hingga binatang.
Semuanya ditunjukkan dengan kasih sayang dan keteladanan Rasulullah yang paling tampak adalah sifat penyayang. Namun, sudahkah sifat ini melekat pada diri kita?
Rasulullah bersabda, “Tidaklah sifat kelemah lembutan itu ada pada sesuatu melainkan akan menjadikannya indah dan tidaklah tercabut dari sesuatu melainkan akan menjadikannya jelek.” (HR. Muslim dari Aisyah)
Setelah membaca buku ini, semoga kita dapat berhias dengan kasih sayang dalam interaksi kehidupan, sebagaimana teladan Rasulullah.
-------------------
Seni Interaksi Rasulullah
Penulis: Syekh Shalih Al-Munajjid
Ukuran: 17×24 cm
Tebal: 588 hlm
Berat: 1 kg
ISBN: 978-979-039-591-6
Harga: Rp 139.000,-
Pemesanan silahkan sms/WhatsApp ke 087878147997.
Syukran...
MUKADDIMAH IBNU KHALDUN
Penulis: Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun,
Sinopsis:
Anugerah berupa kemuliaan diberikan kepada setiap hamba yang dikehendaki-Nya, di antaranya Ibnu Khaldun. Beliau bernama Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan, lahir di Tunisia, pada 1 Ramadhan 732 H yang bertepatan dengan 27 Mei 1332 M. Beliau merupakan sosok ulama’ multidisipliner (yang menguasai bermacam-macam bidang ilmu). Suatu kali dalam masa perenungannaya beliau menelorkan sebuah kitab yang diberi judul “al-‘Ibrar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min Dzawi al-Sulthan al-‘Akbar” (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa politik tentang Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka). Namun anehnya, mendadak yang populer di tengah umat adalah mukaddimahnya, bukan isi bukunya. Mengapa bisa demikian?
*APA KATA PAKAR TENTANG IBNU KHALDUN*
Berkata S. Colosia (Pakar Ekonomi Dunia), “Apabila pendapat-pendapat Ibnu Khaldun tentang kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat sejarah, maka pemahamannya terhadap peranan kerja, kepemilikan dan upah, menjadikannya pionir ilmuwan ekonomi modern.”
Berkata DR. Bryan S. Turner (Guru Besar Sosiologi, University of Aberdeen, Scotland), “Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui oleh dunia barat, terutama ahli-ahli sosiologi yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris.”
Berkata Prof.DR. Muhammad Nejatullah ash-Shiddiqy (Guru Besar Ekonomi, Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi), “Ibnu Khaldun adalah salah seorang Bapak Ilmu Ekonomi.”
Berkata Heinrich Simon (Ilmuwan asal Jerman), “Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial.”
Sebagian isi buku:
PERBEDAAN ANTARA PEDANG DAN PENA PADA BERBAGAI DAULAH
Pedang dan pena adalah alat bagi kepala negara untuk menangani berbagai urusan. Hanya saja kebutuhan kepada pedang pada masa awal daulah ketika warganya masih dalam tahap merintis pendirian kerajaan itu lebih besar dibandingkan kebutuhan kepada pena. Sebab, dalam kondisi tersebut pena hanyalah sebagai pelayan saja yang melaksanakan keputusan Sulthan. Sedangkan pedang adalah sekutu yang dapat membantu. Demikian juga pada masa akhir sebuah negara. Sebab, pada saat itu fanatisme telah melemah, sebagaimana telah kami sebutkan. Warganya menjadi sedikit karena negara dilanda kelemahan seperti telah kami kemukakan. Karenanya, daulah kembali membutuhkan bantuan orang-orang yang memiliki pedang. Kebutuhan kepada mereka untuk melindungi dan membela daulah menjadi lebih besar, sebagaimana pertama kali merintisnya. karenanya, pedang memiliki kelebihan di atas pena dalam kedua kondisi itu. Dengan demikian, para pemilik pedang lebih luas jabatannya, lebih banyak kenikmatannya dan lebih besar pemberian yang ia terima. (Bagaimana selengkapnya? Simak pada halaman 457 -458).
-----
Buku ini menjadi bukti terpenting betapa piawainya Ibnu Khaldun dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Keahliannya dalam sosiologi, filsafat, ekonomi, politik, dan budaya, tampak jelas dalam buku ini. Pada saat yang sama, Ibnu Khaldun juga tampak sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman, saat menguraikan tentang ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, dan lainnya.
Salah satu teorinya tentang ekonomi, apa yang disebut dengan “Model Dinamika”. Teori tersebut memberikan pandangan jelas bahwa semua faktor-faktor dinamika sosial, moral, politik, dan ekonomi meski berbeda, tapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya bagi kemajuan maupun kemunduran pemerintahan dan masyarakat dalam sebuah wilayah atau negara. Selain itu, Ibnu Khaldun juga telah menyumbangkan pemikiran tentang teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang dipadu menjadi teori ekonomi umum yang koheren yang disusun dalam kerangka sejarah.
Dalam soal politik, Ibnu Khaldun mengetengahkan teori tentang ashabiyah sebagai p
Penulis: Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun,
Sinopsis:
Anugerah berupa kemuliaan diberikan kepada setiap hamba yang dikehendaki-Nya, di antaranya Ibnu Khaldun. Beliau bernama Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan, lahir di Tunisia, pada 1 Ramadhan 732 H yang bertepatan dengan 27 Mei 1332 M. Beliau merupakan sosok ulama’ multidisipliner (yang menguasai bermacam-macam bidang ilmu). Suatu kali dalam masa perenungannaya beliau menelorkan sebuah kitab yang diberi judul “al-‘Ibrar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min Dzawi al-Sulthan al-‘Akbar” (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa politik tentang Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka). Namun anehnya, mendadak yang populer di tengah umat adalah mukaddimahnya, bukan isi bukunya. Mengapa bisa demikian?
*APA KATA PAKAR TENTANG IBNU KHALDUN*
Berkata S. Colosia (Pakar Ekonomi Dunia), “Apabila pendapat-pendapat Ibnu Khaldun tentang kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat sejarah, maka pemahamannya terhadap peranan kerja, kepemilikan dan upah, menjadikannya pionir ilmuwan ekonomi modern.”
Berkata DR. Bryan S. Turner (Guru Besar Sosiologi, University of Aberdeen, Scotland), “Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui oleh dunia barat, terutama ahli-ahli sosiologi yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris.”
Berkata Prof.DR. Muhammad Nejatullah ash-Shiddiqy (Guru Besar Ekonomi, Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi), “Ibnu Khaldun adalah salah seorang Bapak Ilmu Ekonomi.”
Berkata Heinrich Simon (Ilmuwan asal Jerman), “Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial.”
Sebagian isi buku:
PERBEDAAN ANTARA PEDANG DAN PENA PADA BERBAGAI DAULAH
Pedang dan pena adalah alat bagi kepala negara untuk menangani berbagai urusan. Hanya saja kebutuhan kepada pedang pada masa awal daulah ketika warganya masih dalam tahap merintis pendirian kerajaan itu lebih besar dibandingkan kebutuhan kepada pena. Sebab, dalam kondisi tersebut pena hanyalah sebagai pelayan saja yang melaksanakan keputusan Sulthan. Sedangkan pedang adalah sekutu yang dapat membantu. Demikian juga pada masa akhir sebuah negara. Sebab, pada saat itu fanatisme telah melemah, sebagaimana telah kami sebutkan. Warganya menjadi sedikit karena negara dilanda kelemahan seperti telah kami kemukakan. Karenanya, daulah kembali membutuhkan bantuan orang-orang yang memiliki pedang. Kebutuhan kepada mereka untuk melindungi dan membela daulah menjadi lebih besar, sebagaimana pertama kali merintisnya. karenanya, pedang memiliki kelebihan di atas pena dalam kedua kondisi itu. Dengan demikian, para pemilik pedang lebih luas jabatannya, lebih banyak kenikmatannya dan lebih besar pemberian yang ia terima. (Bagaimana selengkapnya? Simak pada halaman 457 -458).
-----
Buku ini menjadi bukti terpenting betapa piawainya Ibnu Khaldun dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Keahliannya dalam sosiologi, filsafat, ekonomi, politik, dan budaya, tampak jelas dalam buku ini. Pada saat yang sama, Ibnu Khaldun juga tampak sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman, saat menguraikan tentang ilmu hadits, fiqh, ushul fiqh, dan lainnya.
Salah satu teorinya tentang ekonomi, apa yang disebut dengan “Model Dinamika”. Teori tersebut memberikan pandangan jelas bahwa semua faktor-faktor dinamika sosial, moral, politik, dan ekonomi meski berbeda, tapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya bagi kemajuan maupun kemunduran pemerintahan dan masyarakat dalam sebuah wilayah atau negara. Selain itu, Ibnu Khaldun juga telah menyumbangkan pemikiran tentang teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang dipadu menjadi teori ekonomi umum yang koheren yang disusun dalam kerangka sejarah.
Dalam soal politik, Ibnu Khaldun mengetengahkan teori tentang ashabiyah sebagai p
erekat hubungan politik antarwarga dalam sebuah negara. Dengan keluasan wawasan ini, wajar jika banyak ilmuwan yang menulis tentang sosok Ibnu Khaldun, antara lain: Spengler yang menulis Economic Thought of Islam: Ibnu Khaldun, Ahmad Ali menulis Economics of Ibn Khaldun-A Selection, T.B. Irving menulis Ibn Khaldun on Agriculture, dan masih banyak lagi literatur lainnya.
-----------------------
Mukaddimah Ibnu Khaldun
Penulis: Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun,
Tebal buku 1087 halaman,
ukuran buku 17 x 24,5 cm,
berat buku 2,5 Kg,
Harga Rp. 260.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
-----------------------
Mukaddimah Ibnu Khaldun
Penulis: Syaikh Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun,
Tebal buku 1087 halaman,
ukuran buku 17 x 24,5 cm,
berat buku 2,5 Kg,
Harga Rp. 260.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
MEMAHAMI KONSEP JIHAD
Dr. Syamsuddin Arif
Tidak ada istilah paling sering disebut orang belakangan ini kecuali kata terorisme dan jihad. Pengaburan dan kejahilan sebagian orang membuat kesan seolah-olah dua kata ini sinonim atau sama artinya. Karena gagal atau salah memahami konsep jihad dan bahkan melupakan sama sekali konteks sejarah, hukum, rukun, syarat, dan adab-adabnya, terjadilah berbagai macam aksi dan reaksi yang merugikan, distorsi, dan disfungsi yang kontraproduktif.
Menurut Sayyid Sabiq, jihad berasal dari kata juhd, artinya 'upaya', 'usaha', 'kerja keras', dan 'perjuangan'. Seseorang dikatakan berjihad apabila ia berusaha mati-matian dengan mengerahkan segenap kemampuan fisik maupun materiil dalam memerangi dan melawan musuh agama (lihat Fiqh as-Sunnah, Beirut: Mu'assasat ar-Risalah, 1422 H/2002, 3:79). Dengan kata lain, berjihad sama dengan berperang (qital), seperti dimaksud dalam imperatif ini: jaahidi l-kuffar wa l-munafiqin (QS 9: 73 dan 66: 9).
Adapun hadis riwayat Imam al-Bayhaqi dan al-Baghdadi yang menyatakan perang melawan hawa nafsu adalah "jihad akbar", sebagian ulama seperti az-Zayn al-'Iraqi dan Ibn Hajar al-'Asqalani menilainya sebagai hadis lemah.
Dalam sejarah Islam, perintah jihad dalam arti qital turun di Madinah pada tahun kedua Hijriyah atau kurang lebih 14 tahun setelah beliau berdakwah, mengajak orang kepada Islam, memperkenalkan dan mengajarkannya secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Selama lebih dari satu dekade di Makkah, Rasulullah SAW diperintahkan menghindari konfrontasi dengan kaum pagan. Beliau disuruh bersabar dan memaafkan mereka yang tak henti-hentinya mengintimidasi dan meneror.
Seperti kita ketahui, teroris semacam Abu Jahl ibn Hisyam dan Abu Lahab tidak hanya menolak, tapi juga merintangi dan berusaha melumpuhkan dakwah Islam, sering kali bahkan dengan kekerasan dan penyiksaan. Namun, Allah SWT berfirman, "Maafkan mereka dan katakanlah salam perdamaian!" (QS 43: 89). "Beritahukan kaum beriman, hendaklah mereka mengampuni orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Allah." (QS 45: 14). Kaum Muslim pada masa itu juga dilarang membalas kekerasan dengan kekerasan. Mereka dipuji karena mampu bersabar dan membalas kejahatan dengan kebaikan (QS 13: 22).
Yang menjadi prioritas pada masa itu adalah pembinaan individu dan pembentukan jamaah Muslim yang solid (Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, Beirut, al-Maktabah al-'Ashriyyah, 1416 H/1995, jilid 3, hlm 213).
Penindasan, kezaliman, dan teror kaum kafir Quraisy terhadap komunitas Muslim mencapai klimaks ketika Rasulullah SAW dan para pengikutnya mulai dipersekusi. Saat itu di Makkah hampir tidak ada lagi ruang tersisa untuk kaum Muslim menghirup kebebasan beragama.
Sejumlah petinggi Quraisy telah berkonspirasi untuk menghabisi Nabi Muhammad SAW, once and for all. Hanya ada dua pilihan bagi kaum Muslim saat itu: bertahan di Makkah tetapi keluar dari Islam atau bertahan dalam Islam tetapi keluar dari Makkah. Dan mereka memilih kedua: hijrah ke Madinah (lihat Imam Ibn Katsir, as-Sirah an-Nabawiyyah, ed Mushthafa Abdul Wahid, Beirut, Dar al-Fikr, 1398 H/1978, jilid 2, hlm 213-266).
Di Madinah, Rasulullah SAW melakukan penataan ke dalam dan perluasan sayap dakwah Islam ke luar. Beliau mendirikan masjid, memimpin shalat Jumat, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, melakukan diplomasi, negosiasi, dan ekspedisi dakwah, baik dengan komunitas lokal (seperti kaum Yahudi dengan membuat Perjanjian Madinah), maupun komunitas internasional (dengan para kepala negara di sekelilingnya). Kemudian turun pula perintah azan, menyeru orang untuk shalat berjamaah, dan perintah berpuasa di bulan Ramadhan. Dan tidak lama kemudian turunlah perintah berjihad (QS 22: 39-41; 2: 190-193 dan 2: 216-218).
Dalam ayat tersebut dijelaskan mengapa dan untuk apa jihad dilakukan, yaitu apabila orang Islam diperangi, dizalimi, dihalau dari kampung halamannya sendiri, semata-mata karena agama yang diyakininya itu. Jihad diizinkan apabila jalan dakwah disekat, kaum Muslim dimusuhi dan diserang, dijajah dan dirampas hak asasin
Dr. Syamsuddin Arif
Tidak ada istilah paling sering disebut orang belakangan ini kecuali kata terorisme dan jihad. Pengaburan dan kejahilan sebagian orang membuat kesan seolah-olah dua kata ini sinonim atau sama artinya. Karena gagal atau salah memahami konsep jihad dan bahkan melupakan sama sekali konteks sejarah, hukum, rukun, syarat, dan adab-adabnya, terjadilah berbagai macam aksi dan reaksi yang merugikan, distorsi, dan disfungsi yang kontraproduktif.
Menurut Sayyid Sabiq, jihad berasal dari kata juhd, artinya 'upaya', 'usaha', 'kerja keras', dan 'perjuangan'. Seseorang dikatakan berjihad apabila ia berusaha mati-matian dengan mengerahkan segenap kemampuan fisik maupun materiil dalam memerangi dan melawan musuh agama (lihat Fiqh as-Sunnah, Beirut: Mu'assasat ar-Risalah, 1422 H/2002, 3:79). Dengan kata lain, berjihad sama dengan berperang (qital), seperti dimaksud dalam imperatif ini: jaahidi l-kuffar wa l-munafiqin (QS 9: 73 dan 66: 9).
Adapun hadis riwayat Imam al-Bayhaqi dan al-Baghdadi yang menyatakan perang melawan hawa nafsu adalah "jihad akbar", sebagian ulama seperti az-Zayn al-'Iraqi dan Ibn Hajar al-'Asqalani menilainya sebagai hadis lemah.
Dalam sejarah Islam, perintah jihad dalam arti qital turun di Madinah pada tahun kedua Hijriyah atau kurang lebih 14 tahun setelah beliau berdakwah, mengajak orang kepada Islam, memperkenalkan dan mengajarkannya secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Selama lebih dari satu dekade di Makkah, Rasulullah SAW diperintahkan menghindari konfrontasi dengan kaum pagan. Beliau disuruh bersabar dan memaafkan mereka yang tak henti-hentinya mengintimidasi dan meneror.
Seperti kita ketahui, teroris semacam Abu Jahl ibn Hisyam dan Abu Lahab tidak hanya menolak, tapi juga merintangi dan berusaha melumpuhkan dakwah Islam, sering kali bahkan dengan kekerasan dan penyiksaan. Namun, Allah SWT berfirman, "Maafkan mereka dan katakanlah salam perdamaian!" (QS 43: 89). "Beritahukan kaum beriman, hendaklah mereka mengampuni orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Allah." (QS 45: 14). Kaum Muslim pada masa itu juga dilarang membalas kekerasan dengan kekerasan. Mereka dipuji karena mampu bersabar dan membalas kejahatan dengan kebaikan (QS 13: 22).
Yang menjadi prioritas pada masa itu adalah pembinaan individu dan pembentukan jamaah Muslim yang solid (Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, Beirut, al-Maktabah al-'Ashriyyah, 1416 H/1995, jilid 3, hlm 213).
Penindasan, kezaliman, dan teror kaum kafir Quraisy terhadap komunitas Muslim mencapai klimaks ketika Rasulullah SAW dan para pengikutnya mulai dipersekusi. Saat itu di Makkah hampir tidak ada lagi ruang tersisa untuk kaum Muslim menghirup kebebasan beragama.
Sejumlah petinggi Quraisy telah berkonspirasi untuk menghabisi Nabi Muhammad SAW, once and for all. Hanya ada dua pilihan bagi kaum Muslim saat itu: bertahan di Makkah tetapi keluar dari Islam atau bertahan dalam Islam tetapi keluar dari Makkah. Dan mereka memilih kedua: hijrah ke Madinah (lihat Imam Ibn Katsir, as-Sirah an-Nabawiyyah, ed Mushthafa Abdul Wahid, Beirut, Dar al-Fikr, 1398 H/1978, jilid 2, hlm 213-266).
Di Madinah, Rasulullah SAW melakukan penataan ke dalam dan perluasan sayap dakwah Islam ke luar. Beliau mendirikan masjid, memimpin shalat Jumat, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, melakukan diplomasi, negosiasi, dan ekspedisi dakwah, baik dengan komunitas lokal (seperti kaum Yahudi dengan membuat Perjanjian Madinah), maupun komunitas internasional (dengan para kepala negara di sekelilingnya). Kemudian turun pula perintah azan, menyeru orang untuk shalat berjamaah, dan perintah berpuasa di bulan Ramadhan. Dan tidak lama kemudian turunlah perintah berjihad (QS 22: 39-41; 2: 190-193 dan 2: 216-218).
Dalam ayat tersebut dijelaskan mengapa dan untuk apa jihad dilakukan, yaitu apabila orang Islam diperangi, dizalimi, dihalau dari kampung halamannya sendiri, semata-mata karena agama yang diyakininya itu. Jihad diizinkan apabila jalan dakwah disekat, kaum Muslim dimusuhi dan diserang, dijajah dan dirampas hak asasin
ya. Apabila kaum kafir melancarkan 'udwan, muqatalah, zhulm, dan fitnah terhadap Islam dan umat Islam.
Oleh karena itu, tujuan jihad jelas, untuk mempertahankan diri dan menangkis serangan lawan, menegakkan agama Allah, melepaskan umat Islam dari belenggu penindasan, menjamin dan melindungi hak-hak mereka, mengakhiri kezaliman dan permusuhan, demi terciptanya kedamaian dan keadilan (QS 4: 75). Musuh tidak dicari, tapi kalau bertemu pantang lari. Begitulah prinsip yang diajarkan (QS 8: 15 dan 47: 4). Jihad hanya dihentikan jika musuh berhenti menyerang dan setuju berdamai, jika mereka berjanji tidak akan menekan dan memusuhi umat Islam lagi (QS 2: 193 dan 8: 61).
Sudah barang tentu, jihad memerlukan kalkulasi cermat dan persiapan matang (QS 8: 60), koordinasi yang mantap serta strategi yang tepat dan jitu (QS 61: 4 dan 3: 200). Berjihad tidak boleh sembrono atau asal-asalan, tidak boleh membabi-buta dan mengikuti hawa nafsu belaka.
Ada banyak perkara yang perlu diperhatikan oleh seorang mujahid. Pertama, niat yang betul, yakni li-i'la'i kalimatillah, bukan untuk gagah-gagahan, cari popularitas, dan tujuan duniawi lainnya. Kedua, harus di bawah komando seorang imam dan setelah ada deklarasi perang. Ketiga, harus seizin kedua orang tua.
Keempat, harus banyak berzikir, berdoa, dan bersabar. Kelima, harus memberi kesempatan terakhir kepada musuh sebelum berperang dengan mengajak mereka masuk Islam atau membayar jizyah. Keenam, dilarang membunuh kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Ketujuh, tidak boleh merusak lingkungan hidup, rumah ibadah, dan fasilitas umum (lihat Abu Bakr al-Jaza'iri, Minhajul Muslim, Kairo, Dar al-Aqidah, hlm 272-275).
Berjihad merupakan fardhu kifayah. Artinya, tidak perlu semuanya pergi ke medan perang. Harus ada juga yang ditugaskan membangun umat di sektor lain, terutama pendidikan (QS 9: 122). Jihad bisa menjadi fardhu ayn apabila kampung halaman kita diserang dan diduduki musuh (seperti terjadi pada zaman kolonial dahulu, sekarang, maupun mendatang).
Namun demikian, terdapat puluhan ayat Alquran dan hadis Nabi SAW yang menerangkan keutamaan jihad dan penghargaan yang akan diperoleh seorang mujahid, apalagi untuk mereka yang gugur sebagai syuhada (Imam an-Nawawi, Riyadh as-Shalihin, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1422 H/2002, 415-435).
Dalam konteks Indonesia dan negara Muslim lainnya dewasa ini, di mana Islam belum total direalisasikan, para tokoh gerakan Islam umumnya berpendapat agenda utama yang mesti didahulukan saat ini adalah membina individu dan organisasi Muslim serta membangun kekuatan umat pada semua lini.
Dengan kata lain, belum tiba masanya bagi orang Islam sekarang ini untuk melakukan konfrontasi militer melainkan dalam kasus-kasus yang kita semua maklum (lihat: Husayn ibn Muhammad ibn Ali Jabir, at-Thariq ila Jama'at al-Muslimin, Dar al-Wafa', 1407 H/1987). Wallahu a'lam. n
---------------
Artikel ini dimuat di Repulika Online 18 Januari 2016
Oleh karena itu, tujuan jihad jelas, untuk mempertahankan diri dan menangkis serangan lawan, menegakkan agama Allah, melepaskan umat Islam dari belenggu penindasan, menjamin dan melindungi hak-hak mereka, mengakhiri kezaliman dan permusuhan, demi terciptanya kedamaian dan keadilan (QS 4: 75). Musuh tidak dicari, tapi kalau bertemu pantang lari. Begitulah prinsip yang diajarkan (QS 8: 15 dan 47: 4). Jihad hanya dihentikan jika musuh berhenti menyerang dan setuju berdamai, jika mereka berjanji tidak akan menekan dan memusuhi umat Islam lagi (QS 2: 193 dan 8: 61).
Sudah barang tentu, jihad memerlukan kalkulasi cermat dan persiapan matang (QS 8: 60), koordinasi yang mantap serta strategi yang tepat dan jitu (QS 61: 4 dan 3: 200). Berjihad tidak boleh sembrono atau asal-asalan, tidak boleh membabi-buta dan mengikuti hawa nafsu belaka.
Ada banyak perkara yang perlu diperhatikan oleh seorang mujahid. Pertama, niat yang betul, yakni li-i'la'i kalimatillah, bukan untuk gagah-gagahan, cari popularitas, dan tujuan duniawi lainnya. Kedua, harus di bawah komando seorang imam dan setelah ada deklarasi perang. Ketiga, harus seizin kedua orang tua.
Keempat, harus banyak berzikir, berdoa, dan bersabar. Kelima, harus memberi kesempatan terakhir kepada musuh sebelum berperang dengan mengajak mereka masuk Islam atau membayar jizyah. Keenam, dilarang membunuh kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Ketujuh, tidak boleh merusak lingkungan hidup, rumah ibadah, dan fasilitas umum (lihat Abu Bakr al-Jaza'iri, Minhajul Muslim, Kairo, Dar al-Aqidah, hlm 272-275).
Berjihad merupakan fardhu kifayah. Artinya, tidak perlu semuanya pergi ke medan perang. Harus ada juga yang ditugaskan membangun umat di sektor lain, terutama pendidikan (QS 9: 122). Jihad bisa menjadi fardhu ayn apabila kampung halaman kita diserang dan diduduki musuh (seperti terjadi pada zaman kolonial dahulu, sekarang, maupun mendatang).
Namun demikian, terdapat puluhan ayat Alquran dan hadis Nabi SAW yang menerangkan keutamaan jihad dan penghargaan yang akan diperoleh seorang mujahid, apalagi untuk mereka yang gugur sebagai syuhada (Imam an-Nawawi, Riyadh as-Shalihin, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1422 H/2002, 415-435).
Dalam konteks Indonesia dan negara Muslim lainnya dewasa ini, di mana Islam belum total direalisasikan, para tokoh gerakan Islam umumnya berpendapat agenda utama yang mesti didahulukan saat ini adalah membina individu dan organisasi Muslim serta membangun kekuatan umat pada semua lini.
Dengan kata lain, belum tiba masanya bagi orang Islam sekarang ini untuk melakukan konfrontasi militer melainkan dalam kasus-kasus yang kita semua maklum (lihat: Husayn ibn Muhammad ibn Ali Jabir, at-Thariq ila Jama'at al-Muslimin, Dar al-Wafa', 1407 H/1987). Wallahu a'lam. n
---------------
Artikel ini dimuat di Repulika Online 18 Januari 2016
ISLAM MENILAI HAM
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Direktur INSISTS)
“In the modern world one concept which is most affected by the dominance of secularisme is that of freedom. The discussion of the concept of freedom in the West today is so deeply influenced by the Renaisance and post-Renaisance notion of man..that it is difficult to envisage the very meaning of freedom in the context of a traditional civilization such as Islam.” (S.H.Nasr).
Topik kebebasan dan hak asasi manusia adalah topik universal, namun ia tidak berarti netral. Sebab pembahasan mengenai kebebasan dan HAM pada umumnya hanya dalam perspektif manusia yang dalam peradaban Barat telah terbentuk dalam doktrin humanisme. Humanisme sendiri selalu dihadapkan atau berhadap-hadapan dengan agama. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Manusia lebih penting dari agama, dan sikap manusiawi seakan menjadi lebih mulia daripada sikap religius.
Dalam situasi seperti ini topik mengenai kebebasan beragama dipersoalkan. Akibatnya terjadi ketegangan dan perebutan makna kebebasan beragama antara agama dan humanisme. Humanisme tidak merujuk kepada agama dalam memaknai kebebasan beragama. Dan agama memaknai kebebasan dengan menggunakan acuan internal agama masing-masing.
Humanisme dianggap anti agama dan sebaliknya agama dapat dituduh anti kemanusiaan. Ketegangan ini perlu diselesaikan melalui kompromi ditingkat konsep dan kemudian dikembangkan pada tingkat sosial atau politik. Dan untuk itu agama-agama perlu membeberkan makna dan batasan atau tolok ukur kebebasannya masing-masing. Sementara itu prinsip-prinsip HAM perlu mempertimbangkan prinsip internal agama-agama.
Salah satu prestasi kemanusiaan setelah Perang Dunia ke II adalah konseptualisasi dan penyebaran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Deklarasi itu, bersamaan dengan dua Kovenan Internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, Cultural Right tahun 1966 secara umum kemudian dikenal sebagai International Bill of Human Right. Secara umum Deklarasi dan dua Kovenan itu merupakan usaha bersama untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, berkeadilan dan kerjasama internasional yang berguna bagi semua.
Namun dibanding dua Kovenan itu, Deklarasi itu sejak awal telah menuai banyak kritikan dan keberatan. Mungkin ini dikarenakan oleh situasi ketika Deklarasi itu disusun. Faktanya Deklarasi itu disusun oleh segelintir orang, tidak representatif dan umumnya didominasi oleh orang Barat, dan ketika itu orang-orang dari Afro-Asia sedang berada dibawah penguasa kolonial. Konsekuensinya, tidak banyak ide-ide yang masuk dan diperdebatkan serta didiskusikan khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Asia dan Afrika, lebih-lebih nilai-nilai keagamaan dari berbagai agama di dunia.
Akibatnya, agama-agama itu hampir secara keseluruhannya merasa tidak puas, meskipun tidak selalu diekspresikan secara terus terang. Ketidak-puasan kedua adalah ketika orang mulai berulang ulang mendesak agama-agama di dunia untuk mendukung atau mengakomodir Deklarasi atau dokumen lain yang berkaitan dengan HAM. Latar belakangnya, tampaknya adalah karena adanya asumsi bahwa agama adalah penghalang pelaksanaan dan penyebaran HAM. Agama akhirnya diletakkan secara vis a vis dengan HAM yang menekankan pada kebebasan dan keadilan.
Karena situasi itu maka tidak heran jika utusan berbagai masyarakat beragama seluruh dunia mengusulkan agar Deklarasi dan dua Kovenan itu direvisi dan syarat-syaratnya dibuat lebih adil dengan memasukkan konsep-konsep yang berdasarkan agama baik spiritualitas maupun tanggung jawab. Peluncuran acara Project on Religion and Human Right, pada bulan Juli tahun 1993 di New York merupakan tonggak penting dalam hal ini. (Lihat, Arvind Sharma, “Towards a Declaration of Human Right by the World Religion” dalam Joseph Runzo, Nancy M. Martin and Abind Sharma, eds., Human Right and Responsibilities in the World Religion (Oxford: Oneworld, 2003).
Perkem
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Direktur INSISTS)
“In the modern world one concept which is most affected by the dominance of secularisme is that of freedom. The discussion of the concept of freedom in the West today is so deeply influenced by the Renaisance and post-Renaisance notion of man..that it is difficult to envisage the very meaning of freedom in the context of a traditional civilization such as Islam.” (S.H.Nasr).
Topik kebebasan dan hak asasi manusia adalah topik universal, namun ia tidak berarti netral. Sebab pembahasan mengenai kebebasan dan HAM pada umumnya hanya dalam perspektif manusia yang dalam peradaban Barat telah terbentuk dalam doktrin humanisme. Humanisme sendiri selalu dihadapkan atau berhadap-hadapan dengan agama. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Manusia lebih penting dari agama, dan sikap manusiawi seakan menjadi lebih mulia daripada sikap religius.
Dalam situasi seperti ini topik mengenai kebebasan beragama dipersoalkan. Akibatnya terjadi ketegangan dan perebutan makna kebebasan beragama antara agama dan humanisme. Humanisme tidak merujuk kepada agama dalam memaknai kebebasan beragama. Dan agama memaknai kebebasan dengan menggunakan acuan internal agama masing-masing.
Humanisme dianggap anti agama dan sebaliknya agama dapat dituduh anti kemanusiaan. Ketegangan ini perlu diselesaikan melalui kompromi ditingkat konsep dan kemudian dikembangkan pada tingkat sosial atau politik. Dan untuk itu agama-agama perlu membeberkan makna dan batasan atau tolok ukur kebebasannya masing-masing. Sementara itu prinsip-prinsip HAM perlu mempertimbangkan prinsip internal agama-agama.
Salah satu prestasi kemanusiaan setelah Perang Dunia ke II adalah konseptualisasi dan penyebaran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Deklarasi itu, bersamaan dengan dua Kovenan Internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, Cultural Right tahun 1966 secara umum kemudian dikenal sebagai International Bill of Human Right. Secara umum Deklarasi dan dua Kovenan itu merupakan usaha bersama untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, berkeadilan dan kerjasama internasional yang berguna bagi semua.
Namun dibanding dua Kovenan itu, Deklarasi itu sejak awal telah menuai banyak kritikan dan keberatan. Mungkin ini dikarenakan oleh situasi ketika Deklarasi itu disusun. Faktanya Deklarasi itu disusun oleh segelintir orang, tidak representatif dan umumnya didominasi oleh orang Barat, dan ketika itu orang-orang dari Afro-Asia sedang berada dibawah penguasa kolonial. Konsekuensinya, tidak banyak ide-ide yang masuk dan diperdebatkan serta didiskusikan khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Asia dan Afrika, lebih-lebih nilai-nilai keagamaan dari berbagai agama di dunia.
Akibatnya, agama-agama itu hampir secara keseluruhannya merasa tidak puas, meskipun tidak selalu diekspresikan secara terus terang. Ketidak-puasan kedua adalah ketika orang mulai berulang ulang mendesak agama-agama di dunia untuk mendukung atau mengakomodir Deklarasi atau dokumen lain yang berkaitan dengan HAM. Latar belakangnya, tampaknya adalah karena adanya asumsi bahwa agama adalah penghalang pelaksanaan dan penyebaran HAM. Agama akhirnya diletakkan secara vis a vis dengan HAM yang menekankan pada kebebasan dan keadilan.
Karena situasi itu maka tidak heran jika utusan berbagai masyarakat beragama seluruh dunia mengusulkan agar Deklarasi dan dua Kovenan itu direvisi dan syarat-syaratnya dibuat lebih adil dengan memasukkan konsep-konsep yang berdasarkan agama baik spiritualitas maupun tanggung jawab. Peluncuran acara Project on Religion and Human Right, pada bulan Juli tahun 1993 di New York merupakan tonggak penting dalam hal ini. (Lihat, Arvind Sharma, “Towards a Declaration of Human Right by the World Religion” dalam Joseph Runzo, Nancy M. Martin and Abind Sharma, eds., Human Right and Responsibilities in the World Religion (Oxford: Oneworld, 2003).
Perkem
bangan selanjutnya adalah revisi Deklarasi pada ulang tahun ke 50 Deklarasi dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies di universitas McGill, Montreal. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions. Acara ini dilanjutkan di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris pada acara UNESCO. Dan yang terakhir adalah di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Pertemuan terakhir itu menghasilkan usulan baru Deklarasi Universal dengan beberapa komentar yang merepresentasikan dunia agama. Ini sekedar menunjukkan bahwa Deklarasi yang dianggap “Universal” itu ternyata masih belum mengakomodir aspirasi agama-agama. Ini berarti bahwa diperlukan suatu Deklarasi yang adil, yang memberi hak dan pegakuan kepada individu dan juga kelompok khususnya institusi agama dan Negara untuk memberi makna tentang hak, kebebasan, moralitas, keadilan dan kehormatan sekaligus mempraktekkannya dalam kehidupan nyata yang beradab.
Dalam kasus diatas, sejalan dengan tuntutan agama-agama, Islam juga mempunyai persoalannya sendiri terhadap Deklarasi Universal HAM. Bagi umat Islam dan Negara-negara Islam, Deklarasi itu secara umum dapat diterima. Namun yang sejak awal menjadi masalah bagi umat Islam adalah pasal 18 yakni pasal mengenai hak beragama dan hak mengganti agama. Problem ini telah sejak awal disadari umat Islam. Selain itu pasal 16 Deklarasi HAM tentang perkawinan beda agama juga tidak dapat diterima kalangan Muslim.
Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dengan HAM. Ia bahkan sangat menghormati HAM. Tapi, konsep-konsep Islam tentang HAM diambil dan dirumuskan berdasarkan al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Maka, pada 1981, dalam sebuah Konferensi di London, sekelompok cendekiawan dan pemimpin Islam mendeklarasikan sebuah Piagam bernama ”Universal Islamic Declaration of Right”. Deklarasi ini berisi 23 pasal mengenai HAM menurut Islam. Deklarasi London kemudian diikuti oleh Deklarasi Cairo yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990.
Keseluruhan pasal-pasal dalam Deklarasi Cairo itu dapat disarikan menjadi 5 poin: (1) HAM dalam Islam diderivasi dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam manusia dianggap sebagai makhluk yang mulia. (QS. 17:70), (2) HAM dalam Islam adalah karunia dari Tuhan, dan bukan pemberian dari manusia kepada manusia lain dengan kehendak manusia (artinya, hak asasi dalam Islam adalah innate/fitrah), (3) HAM dalam Islam bersifat komprehensif. Termasuk didalamnya hak-hak dalam politik, ekonomi, social dan budaya, (4) HAM dalam Islam tidak terpisahkan dari syariah, (5) HAM dalam Islam tidak absolut karena dibatasi oleh obyek-obyek syariah dan oleh tujuan untuk menjaga hak dan kepentingan masyarakat yang didalamnya terdapat individu-individu.
Islam mengakui dan meyakini, manusia adalah hamba Allah. Maka, semua hak dan kewajiban yang melekat dalam dirinya juga merupakan anugerah Allah. Seorang Muslim yang masih menghargai imannya, tidak akan melepas keyakinannya ini, dan kemudian menukar dengan paham lain yang mencampakkan keimanannya. (***)
Dalam kasus diatas, sejalan dengan tuntutan agama-agama, Islam juga mempunyai persoalannya sendiri terhadap Deklarasi Universal HAM. Bagi umat Islam dan Negara-negara Islam, Deklarasi itu secara umum dapat diterima. Namun yang sejak awal menjadi masalah bagi umat Islam adalah pasal 18 yakni pasal mengenai hak beragama dan hak mengganti agama. Problem ini telah sejak awal disadari umat Islam. Selain itu pasal 16 Deklarasi HAM tentang perkawinan beda agama juga tidak dapat diterima kalangan Muslim.
Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dengan HAM. Ia bahkan sangat menghormati HAM. Tapi, konsep-konsep Islam tentang HAM diambil dan dirumuskan berdasarkan al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Maka, pada 1981, dalam sebuah Konferensi di London, sekelompok cendekiawan dan pemimpin Islam mendeklarasikan sebuah Piagam bernama ”Universal Islamic Declaration of Right”. Deklarasi ini berisi 23 pasal mengenai HAM menurut Islam. Deklarasi London kemudian diikuti oleh Deklarasi Cairo yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990.
Keseluruhan pasal-pasal dalam Deklarasi Cairo itu dapat disarikan menjadi 5 poin: (1) HAM dalam Islam diderivasi dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam manusia dianggap sebagai makhluk yang mulia. (QS. 17:70), (2) HAM dalam Islam adalah karunia dari Tuhan, dan bukan pemberian dari manusia kepada manusia lain dengan kehendak manusia (artinya, hak asasi dalam Islam adalah innate/fitrah), (3) HAM dalam Islam bersifat komprehensif. Termasuk didalamnya hak-hak dalam politik, ekonomi, social dan budaya, (4) HAM dalam Islam tidak terpisahkan dari syariah, (5) HAM dalam Islam tidak absolut karena dibatasi oleh obyek-obyek syariah dan oleh tujuan untuk menjaga hak dan kepentingan masyarakat yang didalamnya terdapat individu-individu.
Islam mengakui dan meyakini, manusia adalah hamba Allah. Maka, semua hak dan kewajiban yang melekat dalam dirinya juga merupakan anugerah Allah. Seorang Muslim yang masih menghargai imannya, tidak akan melepas keyakinannya ini, dan kemudian menukar dengan paham lain yang mencampakkan keimanannya. (***)
KOMUNISME
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Di Barat ketika Katolik tidak bicara kehidupan di dunia, Protestan mulai menyoal "Mengapa agama tidak menjamin kemakmuran hidup". Mereka pun bekerja keras untuk hidup makmur. Hidup makmur tidak cukup, makmur harus dijamin oleh kapital yang besar dan bertahan lama. Mereka pun terbukti sukses. Max Weber mencatat, bahwa ternyata di abad ke 16, di Jerman, kapitalis dan pengusaha besar serta pekerja yang terampil di perusahaan-perusahaan modern adalah kaum Protestan.
Jadi kapitalis-kapitalis itu hanya ingin hidup makmur. Tapi makmur ternyata perlu sistim dan kekuasaan yang melibatkan masyarakat. Dari sini sistim sosial, sistim pasar, sistim pemerintahan pun berkembang bersama kapitalisme. Singkatnya lahirlah kapitalisme sebagai sistim ekonomi dan sosial. Tujuan akhirnya kemakmuran.
Kemakmuran gaya kapitalisme bukan tanpa cacat. Maka pada awal abad ke 19 lahirlah gerakan sosialisme. Robert Owen (1771-1858) di Inggris dan Saint Simon (1760-1825) di Perancis adalah diantara perumusnya. Ide dasarnya tetap bagaiman hidup makmur.
Tapi makmur ala sosialis mengutamakan kebersamaan. Sistim dikontrol dan dicengkeram penguasa. Pribadi dikalahkan oleh rakyat dan buruh. Sosialisme pun diikuti oleh komunisme. Paham yang dicetuskan oleh Karl Marx ini memusuhi kapitalisme dan segala sistimnya. Kapitalis-kapitalis itu dianggap menindas kaum buruh.
Pimpinan Negara adalah borjuis dan kaum buruh adalah proletar. Keduanya diteorikan sebagai musuh abadi. Jika kapitalis bersaing dengan sistim pasar bebas, komunis melawan dengan cara apapun. Jika kapitalis menciptakan persaingan dengan cara kejam, komunis tidak kalah kejamnya menciptakan konflik dan jika perlu pertumpahan darah untuk mencapai tujuan.
Jika kapitalis tidak lagi mementing kan Tuhan, kaum komunis mengingkari adanya Tuhan. Jika kapitalis dengan sis tim ekonominya menciptakan masya rakat elitis, komunis menciptakan masya rakat tanpa kelas. Masalahnya, kapitalisme menghasilkan pertumbuhan ekonomi tapi melupakan pemerataan. Sedangkan komunisme mengobesikan pemerataan tapi tidak memikirkan partumbuhan.
Kini kapitalisme menguasai sistim ekonomi Negara-negara Eropah dan bahkan sistim ekonomi dunia. Namun, kesejahteraan dan kemakmuran yang dibawa sistim ini ternyata hanya dinik mati oleh segelintir orang. Sistim eko nomi kapitalis ternyata berdampak buruk pada tata sosial-politik. Persaingan pasar berdampak pada persaingan politik dan persaingan politik-ekonomi berujung pada pertumpahan darah pula.
Sedangkan komunisme sebagai sistim social ekonomi, belum memberi kan apa-apa kepada rakyat yang diperjuangkannya. Obsesi untuk bisa makmur bersama gagal. Hampir semua Negara komunis adalah miskin (proletar), sedang kan para pemimpinnya ternyata tidak beda dari borjuis-borjuis kapitalis.
Cita-cita ideologi komunis adalah membela rakyat kecil. Tapi di negerinegeri yang rakyatnya telah makmur, komunis kehilangan misinya. Dalam kondisi seperti ini perjuangan komunis bukan lagi membela rakyat lemah, tapi menghancurkan kapitalisme.
Menghancurkan kapitalisme tidak perlu menunggu hingga ia matang, kata Lenin, tapi setiap ada kesempatan kaum buruh harus merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan ujung-ujungnya adalah pertumpahan darah. Kapitalisme dan komunisme sama-sama anyir berbau darah.
Diakui atau tidak kapitalisme telah terbukti membawa kemakmuran materi lebih baik dari komunisme. Namun, ia telah gagal membawa sistim sosial-po litik yang membawa ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani. Dengan kapitalisme dunia semakin tidak aman dan damai.
Jika komunisme ingin menggantikan peran kapitalisme dalam memakmurkan rakyat, maka komunisme akan mengganti kemakmuran dengan pemerataan. Pemerataan tidak akan menghasilkan kemakmuran. Jika komunisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan kemakmuran material kepada rakyat du nia, bagaimana mungkin dengan atheismenya ia akan menjanjikan ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani.
Di banyak negeri Islam, para tokohnya mengagumi sosialisme. Mereka berteriak seperti menemukan sesuatu "Islam adalah kiri". "Nabi adalah pelindung orang
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Di Barat ketika Katolik tidak bicara kehidupan di dunia, Protestan mulai menyoal "Mengapa agama tidak menjamin kemakmuran hidup". Mereka pun bekerja keras untuk hidup makmur. Hidup makmur tidak cukup, makmur harus dijamin oleh kapital yang besar dan bertahan lama. Mereka pun terbukti sukses. Max Weber mencatat, bahwa ternyata di abad ke 16, di Jerman, kapitalis dan pengusaha besar serta pekerja yang terampil di perusahaan-perusahaan modern adalah kaum Protestan.
Jadi kapitalis-kapitalis itu hanya ingin hidup makmur. Tapi makmur ternyata perlu sistim dan kekuasaan yang melibatkan masyarakat. Dari sini sistim sosial, sistim pasar, sistim pemerintahan pun berkembang bersama kapitalisme. Singkatnya lahirlah kapitalisme sebagai sistim ekonomi dan sosial. Tujuan akhirnya kemakmuran.
Kemakmuran gaya kapitalisme bukan tanpa cacat. Maka pada awal abad ke 19 lahirlah gerakan sosialisme. Robert Owen (1771-1858) di Inggris dan Saint Simon (1760-1825) di Perancis adalah diantara perumusnya. Ide dasarnya tetap bagaiman hidup makmur.
Tapi makmur ala sosialis mengutamakan kebersamaan. Sistim dikontrol dan dicengkeram penguasa. Pribadi dikalahkan oleh rakyat dan buruh. Sosialisme pun diikuti oleh komunisme. Paham yang dicetuskan oleh Karl Marx ini memusuhi kapitalisme dan segala sistimnya. Kapitalis-kapitalis itu dianggap menindas kaum buruh.
Pimpinan Negara adalah borjuis dan kaum buruh adalah proletar. Keduanya diteorikan sebagai musuh abadi. Jika kapitalis bersaing dengan sistim pasar bebas, komunis melawan dengan cara apapun. Jika kapitalis menciptakan persaingan dengan cara kejam, komunis tidak kalah kejamnya menciptakan konflik dan jika perlu pertumpahan darah untuk mencapai tujuan.
Jika kapitalis tidak lagi mementing kan Tuhan, kaum komunis mengingkari adanya Tuhan. Jika kapitalis dengan sis tim ekonominya menciptakan masya rakat elitis, komunis menciptakan masya rakat tanpa kelas. Masalahnya, kapitalisme menghasilkan pertumbuhan ekonomi tapi melupakan pemerataan. Sedangkan komunisme mengobesikan pemerataan tapi tidak memikirkan partumbuhan.
Kini kapitalisme menguasai sistim ekonomi Negara-negara Eropah dan bahkan sistim ekonomi dunia. Namun, kesejahteraan dan kemakmuran yang dibawa sistim ini ternyata hanya dinik mati oleh segelintir orang. Sistim eko nomi kapitalis ternyata berdampak buruk pada tata sosial-politik. Persaingan pasar berdampak pada persaingan politik dan persaingan politik-ekonomi berujung pada pertumpahan darah pula.
Sedangkan komunisme sebagai sistim social ekonomi, belum memberi kan apa-apa kepada rakyat yang diperjuangkannya. Obsesi untuk bisa makmur bersama gagal. Hampir semua Negara komunis adalah miskin (proletar), sedang kan para pemimpinnya ternyata tidak beda dari borjuis-borjuis kapitalis.
Cita-cita ideologi komunis adalah membela rakyat kecil. Tapi di negerinegeri yang rakyatnya telah makmur, komunis kehilangan misinya. Dalam kondisi seperti ini perjuangan komunis bukan lagi membela rakyat lemah, tapi menghancurkan kapitalisme.
Menghancurkan kapitalisme tidak perlu menunggu hingga ia matang, kata Lenin, tapi setiap ada kesempatan kaum buruh harus merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan ujung-ujungnya adalah pertumpahan darah. Kapitalisme dan komunisme sama-sama anyir berbau darah.
Diakui atau tidak kapitalisme telah terbukti membawa kemakmuran materi lebih baik dari komunisme. Namun, ia telah gagal membawa sistim sosial-po litik yang membawa ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani. Dengan kapitalisme dunia semakin tidak aman dan damai.
Jika komunisme ingin menggantikan peran kapitalisme dalam memakmurkan rakyat, maka komunisme akan mengganti kemakmuran dengan pemerataan. Pemerataan tidak akan menghasilkan kemakmuran. Jika komunisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan kemakmuran material kepada rakyat du nia, bagaimana mungkin dengan atheismenya ia akan menjanjikan ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani.
Di banyak negeri Islam, para tokohnya mengagumi sosialisme. Mereka berteriak seperti menemukan sesuatu "Islam adalah kiri". "Nabi adalah pelindung orang