MUSTANIR ONLINE
3.24K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
*Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki Laki*
Penulis: Adnan Hasan Shalih Baharits
Sampul: Hard Cover
Isi: 488 Halaman

*Harga Diskon: Rp. 80.000,-* (harga normal Rp. 115.000,-

Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...
*Harga Diskon Rp 75.000,- (harga normal Rp. 129.000,-)*

*CAHAYA ZAMAN*
*Penulis: Dr. Aidh Al Qarni*

Kehidupan sekedar untuk hari ini karena kehidupan itu sendiri berlomba dengan waktu. Banyak hal hebat yang dapat kita lakukan baik itu untuk kehidupan kita di dunia maupun di akhirat. Memposisikan diri bahwa hidup kita hanya hari ini saja akan memacu diri menuju kekhusyuan beribadah. Kita juga akan terdorong untuk melakukan yang terbaik bagi kehidupan dunia ini karena merasa tidak ada waktu lagi yang tersedia di esok hari.

Aidh al-Qarni mengajak kita mengukir masa depan. Dengan goresan penanya ini seolah ia mengatakan, "Lihatlah peragaan sejarah oleh waktu, bagaimana manusia-manusia menjadi hebat atau tenggelam di dalamnya." ---------

Dr. Aidh al-Qarni adalah ulama kelahiran Saudi tahun 1379 H. Penulis buku-buku "best seller” ini mulai menuntut ilmu di madrasah ibtidaiyah Ali Salman, dan melanjutkan studi di Ma'had llmi sejak bangku murawassitah (setara SMP), hingga lulus sarjana strata 1 dan Magister di tempat yang sama. Salah satu karya ilmiahnya adalah "At-Bid'ah wa atsaruha fi ad-Diraayah wa ar-Riwayah". Disertasi doktoralnya berjudul "Al-Mufahhim ata Mukhtashar Shahih Muslim".

Kelebihan Syaikh al-Qami selain hafiz AI-Quran, ia adalah orang yang mendalami ilmu syariah dan dakwah, serta mendalami ilmu tafsir seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari, al-Qurthubi, bahkan tafsir Fi Zhilalil Qur'an karya Sayyjd Quthb. Sampai saat ini, ia terus menulis dan tetap konsisten untuk berdakwah. Buku-bukunya yang telah kami terbitkan adalah: Tersenyumlah, Berbahagialah, Majelis Orang-Orang Saleh, dan Khotbah Pilihan Aidh al-Qarni.

ISBN: 979-986-410-0
Dimensi: 16.0 x 23.5 cm.
Sampul: Hard Cover
Hal: 496 halaman.
Penerbit: Al Qalam
Harga Diskon Rp 75.000,- (harga normal Rp. 129.000,-)

Pemesanan silahkan sms/whatsapp 087878147997

Syukran...
SANG NABI, TELADAN ABADI
Oleh: Dr. Adian Husaini

“Sungguh, dalam diri dan kehidupan Rasul (Muhammad saw) itu ada teladan yang baik, bagi orang-orang yang berharap pada Allah, Hari Akhir, dan banyak berzikir kepada Allah.” (Lihat, QS al-Ahzab:21).

Nabi Muhammad saw memang manusia biasa; makan dan minum laiknya manusia lainnya; berdagang ke pasar, memimpin negara dan keluarga; bertetangga dengan muslim dan non-Muslim; guru dan sekaligus teman bagi para muridnya; komandan perang dan inspirator saat perang. Beliau uswatun hasanah, suri tauladan yang agung dan abadi sepanjang zaman.

Seribu emat ratus lebih telah berlalu. Sang Nabi terasa hadir dalam setiap derap langkah kehidupan umat Islam. Sang Nabi jadi teladan dalam semua aspek kehidupan umat Islam. Uniknya, selama 24 jam, langit tidak pernah sepi dari lantunan zikir dan shalawat dari 1,3 milyar lebih kaum muslimin yang menyebut namanya. Shalat kaum Muslim tidak sah jika tidak membaca shalawat untuk Nabi. Tidak ada satu manusia pun yang menduduki tempat terhormat seperti ini.

Tidak ada satu umat, bangsa, atau peradaban, yang memiliki suri teladan yang senantiasa ’up to date’ sebagaimana kaum Muslim yang senantiasa meneladani Muhammad saw dalam semua aspek kehidupan. Mulai tidur sampai tidur lagi, berusaha contoh Nabi. Bangun tidur, muslim ikut cara dan doa Nabi. Sejak usia dini, anak-anak Muslim cara Nabi masuk amar mandi; adab dan doanya pula dihafal luar kepala.

Muslim yang jadi kepala negara tak hilang cara bina negara mulia. Sebab, Nabi jadi sumber inspiras dan teladan bangun negara utama, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Beliau pemimpin negara. Beliau panglima perang. Nabi pun suami teladan. Dalam Kitab Uqudul Lujain Fi Huquqi al-Zaujain, dikutip satu hadits Nabi: ”Sebaik-baik kamu adalah yang baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang terbaik terhadap keluargaku.”

Itulah makna dan fakta kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah; model yang hidup sepanjang zaman. Meskipun sudah 1400 tahun berlalu, keteladannnya tetap hidup dan relevan. Ini unik. Hanya kaum muslim yang memiliki model lengkap sepanjang zaman. Sekagum-kagumnya kaum komunis terhadap Karl Marx, mereka tidak menjadikan Karl Marx sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka tidak akan bertanya, bagaimana cara Karl Marx tidur, bagaimana cara Karl Marx berkeluarga, bagaimana cara Karl Marx bertetangga, dan bagaimana cara Karl Marx memimpin negara.

Bagi bangsa Amerika, Thomas Jefferson dianggap sebagai “the prophet of this country”. Tapi, mereka tidak akan bertanya bagaimana cara Thomas Jefferson menggosok gosok gigi? Kaum Yahudi mengagungkan David dan Solomon. Tapi, anehnya, mereka menggambarkan sosok David dalam Bibel sebagai seorang pezina, yang berselingkuh dengan Batsheba, istri panglima perangnya sendiri. Bahkan, dengan liciknya David menjerumuskan suami Batsheba, Uria, dalam peperangan sehingga menemui ajalnya. Itu dilakukan agar David bisa mengawini Batsheba. Sosok Solomon juga digambarkan dalam Bibel sebagai penyembah berhala, karena terpengaruh oleh istri-istrinya. Tokoh dan pemimpin Yahudi, Yehuda, pun merupakan pezina yang menghamili menantunya sendiri bernama Tamar.

Kaum Nasrani sangat mengagungkan Yesus Kristus. Tetapi, mereka juga tidak menjadikan sosok Yesus sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Sebab, Yesus sudah mereka angkat sebagai Tuhan, dan bukan lagi manusia. Karena itu, mereka tidak akan bertanya, bagaimana cara Yesus membina rumah tangga dan mengasuh anak. Sebab, Yesus dalam kepercayaan mereka, bukanlah manusia, tetapi Tuhan atau “anak Tuhan”.

Karena itulah al-Quran menjelaskan, bahwa salah satu karunia Allah yang sangat besar kepada kaum mukmin adalah diutusnya seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri. Rasul itu manusia, bukan malaikat, dan bukan anak Tuhan atau setengah Tuhan. Bedanya, Rasul yang mulia itu menerima wahyu dari Allah. Sebesar apa pun cinta kaum Muslim kepada Sang Nabi, tak pernah terlintas di benak kaum Muslim untuk mengangkatnya sebagai manusia setengah Tuhan atau anak Tuhan. (Lihat, QS Ali Imran: 164, al-Ka
hfi:110).


Tantangan Kenabian
Sebagaimana para Nabi lainnya, tugas dan misi utama para Nabi adalah mengajak manusia untuk bertauhid, hanya menyembah Allah, dan meninggalkan sesembahan lainnya. (QS an-Nahl:36). Tegakkan Tauhid, tinggalkan kemusyrikan! Itulah misi utama kenabian. Manusia dibimbing untuk mengenal dan menyembah Tuhan yang sebenarnya. Misi utama dakwah inilah yang mendapatkan tantangan hebat dari berbagai kalangan musyrik dan kaum kafir.

Bisa dimaklumi, sejak awal menyampaikan misi dakwahnya, Nabi Muhammad saw telah menghadapi tantangan yang sangat keras dari kaum Yahudi dan Nasrani. Sebab, ajaran yang dibawanya membongkar dasar-dasar kepercayaan Yahudi dan Kristen. Bagi kaum Muslim, Nabi Isa adalah utusan Allah untuk kaum Bani Israel, yang secara tegas mengabarkan akan datangnya Nabi terakhir, yaitu Muhammad saw. Bahkan, orang-orang yang menuhankan Isa a.s. oleh Nabi Muhammad saw secara tegas dikatakan sebagai kaum kafir. (QS ash-Shaf:6, al-Maidah:72-75).

Dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet, Karen Armstrong mengungkap bagaimana sejarah kebencian kaum Kristen Barat terhadap Muhammad saw, yang berurat berakar dalam sejarah. Dalam legenda-leganda di zaman pertengahan di Barat, Muhammad digambarkan sebagai tukang sihir, penderita penyakit epilepsi (ayan), seorang yang dikuasai roh jahat, dan penipu berdarah dingin. Kehidupan seksnya digambarkan penuh birahi. Tokoh-tokoh Kristen Barat ketika itu berusaha menciptakan legenda bahwa Islam adalah pecahan Kristen. Konon, ada seorang ’heretic’ (Kristen yang menyimpang) bernama Sergius yang bertemu Muhammad dan mengajarkan versi Kristen yang menyimpang.

Karen Armstrong menyebut sikap Barat terhadap Islam yang tidak sehat sebagai ’schizophrenic’ dan ’Islamophile’. Paus Clement V (1305-1314) menyebut kehadiran Islam di wilayah Kristen sebagai satu penghinaan terhadap Tuhan. Di abad pertengahan, banyak orang Kristen Barat masih menganggap bahwa kaum Muslim adalah penyembah Muhammad sebagaimana kaum Kristen menyembah Kristus. Dalam karyanya, History of Charlemagne, Pseudo-Turpin menggambarkan kaum muslim (Saracen) sebagai penyembah dewa Mahomet, Apollo, dan Tervagant.

Pada abad ke-12, Peter the Venerable dari biara Cluny, mulai melakukan kajian yang lebih serius tentang Islam. Peter membentuk tim penerjemah yang menerjemahkan buku-buku Islam ke dalam bahasa Latin. Proyek terjemahan al-Quran dalam bahasa Latin pertama selesai tahun 1143 dibawah koordinasi Robert of Ketton. Peter terkenal dengan semboyannya agar dalam menghadapi kaum Muslim, jangan menggunakan kekerasan, senjata, atau kebencian. Tetapi, gunakanlah logika, kata-kata, dan kasih. Tetapi, orang seperti Peter the Venerable pun, menurut Armstrong juga mengidap mentalitas ’schizophrenic’ yang anti-Islam. Ketika Raja Louis VII dari Perancis memimpin Perang Salib II tahun 1147, Peter mengirim surat yang meminta Louis membunuh sebanyak mungkin kaum Muslim sebagaimana Moses dan Joshua membunuh kaum Amorit dan Kanaan.

Di era modern, rasa dengki dan permusuhan terhadap Nabi Muhammad saw pun tak pernah pupus. Masih segar dalam ingatan muslim sedunia, pada edisi 30 September 2005 lalu, koran Jyllands-Posten Denmark memuat 12 gambar kartun yang sangat menghina dan melecehkan Nabi Muhammad saw. Dalam satu kartu digambarkan Nabi tampil dalam sorban yang bentuknya mirip bom yang dipasang pada bagian kepalanya. Tentu, maksudnya, si pembuat kartun berusaha menggambarkan Nabi terakhir itu sebagai sosok teroris. Pada kartun lain, Nabi saw digambarkan sedang berteriak kepada sejumlah orang, “Berhenti, kita sudah kehabisan perawan!”

Beberapa waktu sebelumnya, Ratu Denmark, Margrethe II, juga sudah mengumumkan perang terhadap Islam. Kata Sang Ratu: “Selama beberapa tahun terakhir ini, kita terus ditantang Islam, baik secara lokal maupun global. Ini adalah sebuah tantangan yang harus kita tangani dengan serius. Selama ini kita terlalu lama mengambangkan masalah ini karena kita terlalu toleran dan malas… Kita harus menunjukkan perlawanan kita kepada Islam dan pada saatnya, kita juga harus siap menanggung resik
o mendapat sebutan yang tidak mengenakkan, karena kita tidak menunjukkan sikap toleran.” (Biografi Ratu Margrethe II, April 2003, dikutip dari Republika, 7/2/2006).

Konsili Vatikan II, 1962-1965, menjadi tonggak baru bagi Gereja Katolik dalam pendekatan terhadap agama-agama lain, termasuk kepada umat Islam. Doktrin Nostra Aetate memuat kata-kata simpatik terhadap umat Islam dan mengajak kaum Muslim melupakan konflik-konflik masa lalu. Tapi, secara teologis, tokoh Gereja Katolik tetap menegaskan perbedaan mendasar antara Islam dan Kristen.

Paus Benediktus XVI, yang mundur pada 2013, misalnya, dikenal tegas dan lugas pandangannya terhadap Islam. Dalam buku, The Rule of Benedict XVI (New York: HarperCollins Publisher, 2006), karya David Gibson, disebutkan, bahwa Paus Benediktus, yang ketika itu masih sebagai Kardinal Ratzinger, membuat pernyataan, bahwa Turki harus dicegah masuk Uni Eropa karena Turki lebih mewakili kultur Islam ketimbang kultur Kristen; juga karena sejarahnya yang penuh konflik dengan Eropa. Paus Benediktus ini dikenal sebagai sosok yang ingin mengembalikan identitas kekristenan Eropa.
Betapa pun berbagai kaum menolak kenabian Muhammad saw dan sebagian diantaranya melakukan tindakan caci-maki dan fitnah, bagi kaum Muslimin, Muhammad adalah utusan Allah SWT yang diutus untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Nabi Muhammad saw memang membawa rahmat, karena membawa agama Islam, yang mengandung ajaran-ajaran yang sesuai dengan fithrah manusia. Rasulullah, misalnya, menghalalkan perkawinan dan tidak memandang perkawinan sebagai penghalang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan, Rasulullah melarang sahabatnya yang hendak melakukan selibat – tidak kawin selamanya – dengan alasan agar bisa lebih tekun beribadah kepada Allah. Dalam Islam, nikah itu sendiri, dipandang sebagai sunnah Rasul, dan barangsiapa yang membenci sunnah Rasululllah, maka dia bukan termasuk golongan Nabi Muhammad saw.

Ajaran Nabi Muhammad saw ini memang berbeda dengan ajaran sejumlah agama yang melarang pemuka agamanya untuk menikah. Dalam Katolik, misalnya, masalah selibat – larangan kawin bagi pastur – masih terus menjadi bahan perdebatan. Dalam buku The Rule of Benedict XVI, David Gibson menyebutkan sebuah survei tentang selibat di kalangan pemeluk Katolik di AS. Pada tahun 1985, sebanyak 63 persen menyatakan, bahwa sebaiknya soal menikah atau tidak menikah adalah satu pilihan bagi pastor, bukan suatu paksaan. Tahun 2005, jumlah yang berpendapat seperti itu meningkat menjadi 75 persen; dan lebih dari 80 persen responden berpendapat, pastor yang sudah menikah dan keluar dari kepastoran sebaiknya diberi kesempatan menjadi pastor kembali.

Nabi Muhammad saw memang diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya:107). Sang Nabi akan tetap menjadi teladan abadi bagi manusia yang bersedia mendapatkan rahmat, sekalipun dimusuhi dan dibenci kaum musyrik. “Dialah Allah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas agama-agama lainnya, walaupun kaum musyrik benci.” (QS ash-Shaf: 9). (***)
“Kalau saya menonton film porno salahnya di mana?" Tentu kita merasa prihatin dg pernyataan tsb karena itu dilontarkan oleh seorang pejabat populis yg dipilih langsung oleh masyarakat. Ada sebagian, mungkin sebagian besar, rakyatnya yg mengidolakan dirinya. Kalau sang idola merasa nggak apa2 nonton film porno, bisa jadi mereka akan mengikutinya. Toh, bapak juga nonton, pikir mereka. Tidak sekedar idola, orang yg selama ini melakukan hal yg sama atau ingin melakukannya, serasa mendapat angin segar dan justifikasi atas perbuatannya.

Itulah apa yg disebut al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin sbg dosa kecil bisa menjadi dosa besar. Di poin ke-6 dikatakan dosa kecil bisa jadi dosa besar jika dilakukan oleh orang terkenal yg mempunyai pengikut. Mengapa menjadi dosa besar, karena selain menjadi dosa jariyah (dosanya terus mengalir), kalau pelaku awalnya ingin tobat belum tentu diterima. Sebab, bisa jadi dosanya sdh hilang, tp bagaimana dg dosa orang2 yg mengikutinya? Itulah mengapa ia mesti tanggung jawab....

Belum lagi jika alasan perbuatan itu yg dipakai dalil, yaitu "saya menonton film porno karena sdh dewasa dan sehat". Nanti bisa merembet kemana2, seperti di mana salahnya kalau saya minum "topi miring"? Saya sdh dewasa dan minum sedikit aja jadi nggak mabuk. Apa salahnya saya judi wong judinya di kawasan legal (di Genting Island misalnya), dan saya hanya utk bersenang2 saja, tidak utk cari uang.

Seorang jika melakukan kesalahan atau ada kekurangan pada dirinya biasanya malu atau enggan diketahui orang lain. Ia pasti menutup2inya dan kalaupun ada sesesikit mungkin orang yg tahu, misalnya keluarga atau temannyg sangat dekat. Orang jujur harus disertai sikap bertanggung jawab, tidak sekedar jujur atau lugu. Tugas seorang pemimpin adalah menekan sedapat mungkin utk tidak melakukan dosa. Tapi kalaupun terjadi, namanya juga manusia tempatnya salah dan alpa, dia pun harus merahasiakannya agar tidak diketahui pengikutnya. Namun mengapa pejabat ini justru menyampaikannya di depan media yg ditonton jutaan orang. Mengapa ia merasa perlu mengatakannya? Mengapa?

Itu yg kami merasa prihatin....

*Dr. Budi Handrianto*
*Harga Diskon Rp. 150.000,- (normal Rp. 218.000,-)*

*Dongeng 365 Hari (special for kids)*
Penulis: Emmy Soekresno

Sinopsis:
Kita sadar sebagai orang tua, anak-anak kita membutuhkan banyak referensi cerita. Buku yang cocok buat rerensi anak-anak kita, berisi tentang dongeng-dongeng untuk 1 tahun (365 hari). Jadi setiap hari kita bisa memberikan dongeng untuk 1 cerita. Kita tidak kan kehabisan ide cerita kepada anak-anak kita. Berisi gambar-gambar berwarna yang pastinya menarik bagi anak-anak kita.

Harga Diskon Rp. 150.000,- (normal Rp. 218.000,-)

Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...
Manhaj al-Fikri
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika saya menulis thesis di Birmingham, Dr. David Thomas menasehati saya “kalau anda mau obyektif anda harus keluar dari (cara pandang) Islam”. Saya terkejut tapi tidak langsung menjawab, sebab dia temperamental.

Pada temu-janji berikutnya saya baru menjawab “If I get out of Islamic framework I will be, epistemologically, no longer a Muslim”. Dia sekarang yang terperangah. Raut mukanya mendadak berubah, ia lalu tertawa ngakak, “ok..ok…forget it” katanya.

Saya tidak mengerti mengapa sesingkat itu jawabannya. Tapi saya menangkap dia kurang percaya diri. Cara pandangnya dikotomis. Subyek dan obyek dipisahkan secara paksa. Agar bisa obyektif maka saya (subyek) harus memisahkan diri dari obyek.

Memang dia sendiri, yang Katholik itu, dalam kuliah-kuliahnya, cenderung melihat sejarah Islam dari perspektif Kristen. Saya maklum. Tapi ketika dia sendiri memahami Kristen dari visi Kristen dia menjadi “curang”. Persoalannya adalah bagaimana dan dengan apa sesuatu itu dipahami.

Soal cara memahami alumni pesantren modern mungkin tidak akan lupa prinsip al-tariqat ahammu min al-maddah (metode lebih penting dari materi). Dan guru lebih penting dari metode (al-mudarrisu ahammu min al- Tariqah).

Pisau lebih penting dari mangga, tapi (keterampilan) pengupas lebih penting dari pisau. Itu prinsip bagaimana memahamkan sesuatu (pengajaran) di tingkat menengah. Di perguruan tinggi masalahnya bukan metode lagi, tapi metodologi.

Bukan hanya pisau tapi pisau analisa, framework, manhaj atau cara pandang. Inilah sebenarnya inti nasehat David. Di tingkat menengah, jika metode atau tariqah gagal, murid tidak paham.

Tapi di perguruan tinggi salah memilih framework atau manhaj membuat mahasiwa bingung kalau tidak tersesat. Prinsipnya mungkin berubah menjadi al-manhaj ahammu min al-maddah wa al-mudarris (framework lebih penting dari materi dan dosen).

Dalam kajian Islam suatu framework atau manhaj terkait pertama-tama dengan proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Suatu “metabolisme” dalam nutrisi spiritual. Kualitas ilmu, cara mencari, sumber ilmu yang benar, penalaran yang betul, manfaat yang jelas merupakan sebagian dari bangunan framework.

Jika ilmu itu cahaya al-haqq, seperti kata Waqi’ guru Imam Syafii, maka ilmu dan iman sumbernya sama. Siapa yang banyak ilmu mesti tebal imannya dan sebaliknya. Ia akan berilmu dengan imannya dan beriman dengan ilmunya.

Pemikir mesti ahli zikir dan irama zikir harus sejalan dengan kerja pikir. (Ali Imran: 190-191). Karena cahaya itu dari Allah, maka alam pikiran Muslim merupakan refleksi Ilmu Ilahi. Alam pikiran Muslim membentuk miniatur alam semesta yang terstruktur (microcosmos).

Pancaran pandangannya terhadap hidup dan kehidupan seluas pancaran cahaya pandangan hidup Islam (worldview). Itulah sebabnya mengapa Iqbal menyimpulkan Muslim tidak ditelan cakrawala seperti kafir, tapi justru menelannya. Alam pikiran Muslim yang diwarnai pandangan hidup Islam adalah framework.

Jika alam pikiran manusia adalah framework, maka Alparslan Acikgenc benar “Setiap peradaban perlu framework” untuk memahami dirinya sendiri. Barat, India, Kristen, Islam dan sebagainya punya framework.

Siapapun berhak memahami Islam, sebab Islam turun untuk umat manusia. Tapi, memahami Islam bukan hanya memahami data dan fakta sejarah. Framework kata Alparslan, tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis.

Artinya, bagaimana data dan fakta dalam peradaban Islam itu dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah) data dan fakta sebagai obyek kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subyek yang mikrokosmis tersebut [Lihat Fussilat, 53].

Ini firman Tuhan. Karena itu realitas alam pikiran Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiristis atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran sinar wahyu.
Tapi memahami Islam tidak bisa dengan framework apapun atau alam pikiran siapapun. Jika seorang ateis diizinkan memahami framework Islam, maka Nabi bisa jadi penipu. Kalau alam pikiran sekuler dipakai, shahadat menjadi manifesto sekulerisasi. Menurut alam pikiran liberal, Nabi, Umar ibn Khattab dan lain-lain adalah seorang tokoh liberal sejati dan seterusnya.

Begitulah, jika realitas obyek dipisahkan dari alam pikiran subyek atau jika realitas (haqiqah) data dan fakta tidak diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus). Jika afaq dipisahkan dari anfus (worldview), maka ia akan menjadi hampa, bak lagu tanpa irama. Begitulah, konsekuensi sebuah framework.

Itulah salah satu alasan mengapa Muslim tidak bisa memakai framework peradaban lain. Framework Barat itu problematis, kata Sayyid Hossein Nasr. Mereka melupakan beda rasio dan intelek.

Dalam Islam, istilah ‘aql sudah mencakup keduanya. Ratio (Latin) berarti pikiran manusia, tapi ‘aql-‘aqala mempunyai arti “mengikat”. Suatu bagian dalam diri manusia yang mengikat dirinya dengan Tuhannya. (makhluq dengan khaliq), yang menyatukan fisika dengan metafisika, fenomena dengan noumena, simbol dengan makna, afaq dan anfus, subyek dengan obyek, nisbi dengan mutlak dan seterusnya.

Karena anugerah ‘aql inilah maka manusia memiliki salah satu sifat Tuhan, yakni ‘alim. Barat yang rasionalistis itu telah membuang fakultas pengikat ini. Maka tidak salah jika Iqbal menyimpulkan, rasionalisme Barat hanya bisa menghasilkan superman, seperti Nietszhe, tapi nalar dan akal Islam menghasilkan insan kamil, seperti para ulama yang saleh.

Jadi, Muslim bisa menggunakan metode asing tapi bukan frameworknya. Muslim bisa menelan cakrawala pemikiran asing, tapi dengan Cakrawala Muslim. Muslim bisa pakai handphone produk Barat, misalnya, tapi tidak mesti harus menjadi sekuler-liberal. Orang Barat bisa pakai minyak dari Saudi tapi tidak perlu bersyahadat dan naik haji.

Sains Barat tidak sepenuhnya ditolak atau diterima. No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected, S.H.Nasr. Unsur asing perlu dicerna, diproses untuk diserap dan atau dibuang. Persis metabolisme tubuh manusia.

Matthew Melko, profesor sosiologi di Universitas Wright, Ohio, setuju One civilization rarely receive material from another without changing the nature of that to fit its own pattern. (lihat Stephen K.S. Civilization and World System).

Pattern adalah framework, alat cerna unsur-unsur asing. Jika ada yang berargumentasi bahwa “inti sekulerisasi adalah rasionalisasi, dan rasionalisasi sejalan dengan Islamisasi, maka sekulerisasi itu adalah Islamisasi”, maka ia telah salah menentukan framework.

Sebab dalam framework atau manhaj ini Kant, Nietsche, Derrida dkk. pun bisa menjadi figur yang “saleh”. Bagi yang setuju dengan gerakan gender dan feminisme, syariat Islam itu menindas wanita. Benturan Islam-Barat direduksi menjadi Sexual clash of Civilization.

Jadi jika Islam dipandang dari framework Barat, maka yang nampak bukan wajah asli Islam. F.Rosenthal sendiri mengakui “Anything lying outside one’s own experience cannot be comprehended in its true dimension”. Begitulah, menerima pandangan Alparslan bermakna menolak nasehat David.

Pengikut “profesional” Barat mungkin akur dengan Thomas. “Jangan melihat Islam dari dalam Islam, lihatlah dari (framework) Barat”. Tapi ketika mereka harus mendukung “proyek” pluralisme agama, terpaksa harus “selingkuh”, “Jangan melihat Kristen dari framework Islam”. Bagi yang arif akan terbesit di kedalaman dhomir mereka kesimpulan kreatif “Jangan mengikuti Barat dengan framework Barat, lihatlah Barat dengan manhaj Islam”.

Jadi, daripada mendengar nasehat David lebih baik membaca pengakuan Rosenthal yang jujur dan adil. “Suatu peradaban” katanya, “cenderung berjalan diatas konsep-konsep penting…Yang telah ada sejak kelahirannya… jika [konsep-konsep] itu tidak lagi digunakan secara benar, maka ia merupakan pertanda yang jelas bahwa peradaban itu telah mati”.

‘Ilm adalah salah satu konsep penting dan dominan dalam perada
ban Islam yang memberinya bentuk dan warna yang khas. Diatas konsep ‘ilm inilah peradaban Islam berjaya dan berjalan selama berabad-abad. Dan di kedalaman konsep ‘ilm inilah manhaj pemikiran Islam tersembunyi.
Ayat Alquran tentang orang munafiq yg mengolok-olok Nabi Shallallahu alaihi wasallam:

Firman Allah Subhanahu wata'ala:

{لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ}

Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman.

(At-Taubah: 66)

Maksudnya, karena ucapan yang kalian katakan itu, yaitu yang kalian keluarkan untuk memperolok-olok Nabi Shallallahu alaihi wasallam.

{إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً}

Jika kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran mereka bertobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain).

(At-Taubah: 66)

Yakni kalian tidak dimaafkan secara keseluruhan, tetapi sebagian dari kalian tetap harus diazab.

{بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ}

disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.

(At-Taubah: 66)

Artinya, berdosa karena telah mengeluarkan kata-kata yang kotor dan keji itu.

Tafsir Ibnu Katsir

___________________

Semoga bermanfaat
*SIDOGIRI MENOLAK PEMIKIRAN KH. SAID AQIL SIROJ*
Penulis: Tim Pustaka Sidogiri

“Mengenai beberapa pemikiran KH. Said Aqil Siradj yang keliru, sebenarnya saya sudah tabayun langsung kepada beliau. Akan tetapi, menurut saya, tetap perlu adanya buku tanggapan seperti ini, sebab, sebuah buku memang seharusnya ditanggapi dengan buku, supaya sama-sama bisa dibaca dengan seksama oleh masyarakat kita.

Yang perting bahwa adanya bukunya dilandasi oleh niat yang ikhlas dan tulus untuk tawashau bil-haq. Bukan untuk menjatuhkan, apalagi untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan. Kita sudah terbiasa berbeda pikiran tapi kita harus tetap saling menghormati satu sama lain sebagaimana teladan yang dicontohkan oleh para ulama salaf dulu.” Komentar dari KH. A. Nawawi Abd. Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.

Harga Rp. 110.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...

Note:
Dikirim dari Sidogiri. Pasuruan.
KORUPSI ILMU
Oleh: Dr. Adian Husaini

Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA. Dia adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Lahir tanggal 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Semasa kecil, Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya sendiri.

Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan mengembangkan ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat, sastra, sejarah, politik, dan sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 1977, Hamka memenuhi permintaan untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia. Hamka juga aktif dalam kegiatan politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi jurkam dalam Pemilu 1955. Tapi, pada tahun 1981 ia meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI karena masalah fatwa Natal.

Kiprah Hamka dalam kelimuan juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya, seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.

Alkisah, Hamka, adalah seorang tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi, sebagaimana tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun, tulisan-tulisan Hamka bukan hanya berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat dengan ruh keimanan dan perjuangan serta memompakan semangat tinggi untuk mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan Islam.

Karena kegigihannya pula, HAMKA pernah dipenjara rejim Orde Lama. Tapi, di penjara, justru ia menghasilkan Tafsir Al-Azhar. Mohammad Natsir menghasilkan Capita Selecta dan berbagai buku lainnya. Sama dengan HAMKA, di penjara, Sayyid Quthb menghasilkan Fii Zhilalil Quran. Ibnu Taimiyah menghasilkan Majmuul Fatawa. Dan Ibnu Haistam menghasilkan teori optik. Mereka, adalah tipe ilmuwan, sekaligus ulama pejuang.
Dalam ajaran Islam, ulama menempati posisi sentral. Kata Rasul saw: Ulama adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak juga dirham, melainkan mereka hanya mewariskan ilmu. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah).

Nabi juga memposisikan para ulama laksana bintang yang menjadi tempat umat mendapat bimbingan dan petunjuk. Melalui para ulama itulah, kini kita mewarisi risalah Nabi. Kita sekarang memahami Al-Quran dan tafsirnya, hadits Rasulullah saw, juga ilmu-ilmu keagamaan lainnya, melalui jasa para ulama. Melalui Imam Syafii, misalnya, kita memahami ilmu ushul fiqih, tentang bagaimana cara menetapkan hukum dalam Islam.

Maka, dalam sejarah Islam, ulama memegang peran yang sangat vital. Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi umara, maka Umar bin Khathab, Ali r.a., dan sebagainya menjalankan peran ulama yang aktif menasehati dan mengontrol penguasa.

Begitu juga ketika Umar r.a. menjadi penguasa, para sahabat lain menjalankan fungsi kontrol dengan sangat efektif. Sebagai pewaris Nabi, para ulama bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan Risalah Nabi. Para ulama itulah yang pertama kali harus mempertahankan dan menegakkan ajaran Tauhid. Dalam nasehatnya kepada Sultan Muhammad bin Malik Syah, Imam al-Ghazali menyatakan, Ketahuilah wahai Sultan, engkau adalah makhluk. Engkau diciptakan oleh Maha Pencipta yang menciptakan alam dan seluruh isinya. Dia Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. (Dikutip dari k
arya al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashaih al-Muluk, Terj. Arif B. Iskandar).

Selain mewarisi keilmuan dan risalah kenabian, para ulama di masa lalu juga sering menghadapi ujian kehidupan yang berat, sebagaimana dialami oleh para Nabi. Imam Malik pernah disiksa, karena pendapatnya bertentangan dengan gubernur Madinah ketika itu. Imam Abu Hanifah harus masuk penjara dan menjalani hukum cambuk 10 kali setiap hari, karena menolak berbagai tawaran jabatan tinggi dalam pemerintahan Abu Jafar al-Manshur.

Gara-gara menolak mengikuti pendapat Mutazilah tentang kemakhlukan Al-Quran, Imam Ahmad bin Hanbal akhirnya dijebloskan ke dalam penjara selama 28 bulan oleh Khalifah al-Makmun. Dua kakinya diikat dengan rantai besi, sehingga beliau harus shalat dalam keadaan kaki dirantai. Setiap hari beliau diinterogasi dan dipaksa meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan paham Muktazilah. Tetapi, beliau terus menolak dan bertahan dengan pendapatnya yang shahih, meskipun terus mendapat cambukan. Imam Ahmad akhirnya meninggal dalam usia 77 tahun pada 241 Hijriah. Sekitar 600 ribu orang menghadiri pemakamannya.

Keteguhan dan ketinggian ilmu para ulama itulah yang berjasa besar dalam menjaga kemurnian agama Islam yang kita warisi dewasa ini. Karena itu, betapa risaunya Rasulullah saw terhadap ulama-ulama yang jahat (al-ulama al-su). Kata Nabi saw: Seburuk-buruk manusia adalah ulama yang buruk.
Kerusakan ulama adalah kerusakan Islam. Ulama jahat adalah ulama yang bodoh tetapi berani memberi fatwa atau ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan dunia. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya, Ihya Ulumuddin, memberikan penjelasan panjang lebar seputar bahaya ulama-ulama jahat, yang disebutnya sebagai ulama dunia.

Rasulullah saw bersabda: Di akhir zaman akan ada para ahli ibadah yang bodoh dan para ulama yang jahat. (HR at-Tirmidzi). Ulama adalah orang yang faqih fid-din, dan sekaligus orang yang bertaqwa kepada Allah. Tetapi, ulama yang jahil, ia lebih berbahaya bagi umat manusia.

Sejatinya, kejahilan bisa dilihat dalam dua fenomena: kejahilan yang ringan dan kejahilan yang berat. Kedua kejahilan itulah yang sesungguhnya menjadi sumber penyebab kesalahan, penyimpangan, kesesatan dan juga kejahatan manusia di muka bumi ini.

Kejahilan ringan adalah kurangnya ilmu tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (ignorance). Mereka belum memperoleh informasi tentang kebenaran (al-Haq) sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali melakukan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebenaran. Rasulullah membiarkan seorang Badui (Arab Gunung) yang kencing di dalam masjid. Meski Umar begitu marah besar, Rasulullah SAW mencegah dan hanya meminta para sahabat untuk menyiram menggunakan ember.

Tapi ada kejahilan berat, yaitu kekacauann ilmu (confusion of knowedge). Kejahilan jenis ini terjadi bukan karena kekurangan ilmu, tetapi karena ilmu yang salah, ilmu yang kacau. Ilmu yang benar adalah yang seharusnya mengantarkan kepada keyakinan dan kebenaran yang hakiki. Tetapi, ilmu yang rusak, justru mengantarkan kepada keraguan. Para pemilik ilmun yang salah ini akan menolak kebenaran, meskipun telah sampai padanya informasi tentang kebenaran (al-Haq) dengan hujjah yang meyakinkan dan dari sumber-sumber yang terpercaya. Kepada mereka juga telah datang para Nabi utusan Allah serta para penyeru ke jalan Allah yang lurus, tetapi mereka berpaling. Kasus penolakan Walid bin Mughirah dan para pembesar Qurays tentang kebenaran Muhammad serta Al-Quran adalah contohnya.

Walid bin Mughirah adalah seorang cendikiawan Qurays yang sangat disegani. Ia memutar balikkan kebenaran yang telah nyata tentang ajaran Muhammad dan mengatakan Al-Quran sebagai kata-kata Muhammad. Kejahilan yang dilakukan oleh para cendikiawan dan orang-orang cerdik-pandai seperti ini adalah bentuk kejahilan yang tidak dapat ditolelir. Sebab, mereka bukan orang-orang awam yang bodoh, bahkan sesungguhnya mereka orang-orang yang cerdas dan mampu memahami yang benar dari yang salah.

Kini, di Indonesia pada umumnya, terdapat fenomena ignorance pada kampus-kampus umum. B
anyak sarjana ilmu-ilmu umum yang tidak memahami ilmu-ilmu keislaman dengan baik. Mereka buta terhadap Ilmu-ilmu al-Quran, hadits, bahasa Arab, ilmu fiqih, dan sebagainya. Sementara di lingkungan Perguruan Tinggi Islam telah banyak terjadi confusion of knowledge dalam ilmu-ilmu keagamaan. Ilmu perbandingan agama, misalnya, dirusak dengan cara menyebarkan paham relativisme kebenaran dan relativisme iman. Ulumul Quran dirusak dengan masuknya studi kritis terhadap al-Quran yang berujung kepada keraguan terhadap al-Quran.

Fenomena kerusakan ilmu ini, menurut Prof. Naquib al-Attas, disebut juga sebagai corruption of knowledge alias korupsi ilmu. Korupsi ilmu jauh lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.

Rasulullah saw bersabda,Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. [HR Muslim].

Rasulullah sendiri berkata seburuk-buruk makhluk adalah ulama jahat. Yang paling dikhawatirkan beliau adalah munculnya orang-orang munafik yang canggih dalam berargumentasi (aliimil lisan). Banyak hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat nanti, siksaan bagi orang alim yang jahat akan jauh lebih berat dibandingkan orang bodoh yang salah. Karena itu, jika kita hendak mengukur bagaimana kondisi umat Islam, lihatlah kualitas ulamanya! Jika orang-orang yang berposisi atau memposisikan diri -- sebagai ulama tidak memiliki kualifikasi yang ideal, baik dalam ilmu maupun amal, maka itu indikator yang paling absah untuk menyatakan bahwa umat Islam dalam kondisi yang memprihatinkan. (***)