Di dalam salam itu terdapat doa "semoga eselamatan, Rahmat dan berkah Allah bagi anda" dan sesuai ajaran Nabi Muslim tidak boleh mengucapkannya kepada non Muslim. Kalaupun boleh hanya "semoga keselamatan diberikan kepada yang mengikuti petunjuk". Mengucapkan salam agama lain dengan menyebut tuhan agama lain, tentu dilarang. Alasannya 1) Berarti Muslim mengakui/mempercayai Tuhan Agama lain 2) jika tidak meyakini tidak ada gunanya mendoakan penganut Agama lain. 3) Agama lain tidak mengharap Muslim mengucapkan itu. Jadi untuk apa?
- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi -
- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi -
Inilah hakikat negara Yahudi Israel yg dibongkar kejahatannya oleh seorang cendekiawan Yahudi, Dr Israel Shahak. Silakan dibaca artikel lama berikut....
*********************
YAHUDI-YAHUDI "NYELENEH"
Oleh : Dr Adian Husaini
Meskipun banyak mendapat kritik tajam dalam al-Quran, ada saja diantara kaum Yahudi yang nyeleneh. Ia tidak seperti Yahudi kebanyakan. Di masa Rasulullah SAW, ada Abdullah bin Salam dan Mukhairiq, dua orang pemuka Yahudi yang akhirnya menerima kebenaran Islam. Namun, keduanya menjadi bahan olok-olokan oleh kaumnya. Mukhairiq bahkan akhirnya gugur sebagai syuhada dalam Parang Uhud.
Di masa modern ini, ada juga sejumlah Yahudi yang nyeleneh. Di antara mereka ada yang masuk Islam dan menjadi cendekiawan Muslim yang hebat. Ada juga yang belum sampai masuk Islam. Tapi, memberikan kritik-kritik yang keras terhadap ajaran agama Yahudi dan kekejaman negara Israel. Salah satu tokoh Yahudi jenis yang kedua adalah Prof. Dr. Israel Shahak,seorang pakar biokimia dari Hebrew University.
Prof. Dr. Israel Shahak memang bukan Yahudi biasa. Dia tidak seperti sebagaimana kebanyakan Yahudi lainnya, yang mendukung atau hanya bengong saja menyaksikan kejahatan kaumnya. Suatu ketika, saat dia berada di Jerusalem, pakar biokimia dari Hebrew University ini menjumpai kasus yang mengubah pikiran dan jalan hidupnya. Saat itu, hari Sabtu (Sabath) Shahak berusaha meminjam telepon seorang Yahudi untuk memanggil ambulan, demi menolong seorang non-Yahudi yang sedang dalam kondisi kritis.
Di luar dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi itu pun akhirnya tidak tertolong lagi. Prof. Shahak kemudian membawa kasus ini ke Dewan Rabbi Yahudi – semacam majlis ulama Yahudi – di Jerusalem. Dia menanyakan, apakah menurut agama Yahudi, tindakan si Yahudi yang tidak mau menyelamatkan orang non-Yahudi itu dapat dibenarkan oleh agama Yahudi. Lagi-lagi, Prof. Shahak terperangah. Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The Rabbinical Court of Jerusalem) menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan orang non-Yahudi ke ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai ”tindakan yang mulia”. Prof. Shahak menulis:”The answered that the Jew in question had behaved correctly indeed piously.”
Kasus itulah yang mengantarkan Prof. Shahak untuk melakukan pengkajian lebih jauh tentang agama Yahudi dan realitas negara Israel. Hasilnya, keluar sebuah buku berjudul Jewish History, Jewish Religion(London: Pluto Press, 1994). Dalam penelitiannya, ia mendapati betapa rasialisnya agama Yahudi dan juga negara Yahudi (Israel). Karena itulah, dia sampai pada kesimpulan, bahwa negara Israel memang merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Katanya, “In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond.”
Sebagai satu ”negara Yahudi” (a Jewish state), negara Israel adalah milik eksklusif bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai ”Jewish”, tidak peduli dimana pun ia berada. Shahak menulis: “Israel ’belongs’ to persons who are defined by the Israeli authorities as ‘Jewish’, irrespective of where they live, and to them alone.” Shahak menggugat, kenapa yang dipersoalkan hanya orang-orang yang bersikap anti-Yahudi. Sementara realitas pemikiran dan sikap Yahudi yang sangat diskriminatif terhadap bangsa lain justru diabaikan.
Kaum Yahudi, misalnya, dilarang memberikan pertolongan kepada orang non-Yahudi yang berada dalam bahaya. Cendekiawan besar Yahudi, Maimonides, memberikan komentar terhadap salah satu ayat Kitab Talmud: “It is forbidden to save them if they are at the point of death; if, for example, one of them is seen falling into the sea, he should not be rescued.” Jadi, kata Maimonides, adalah terlarang untuk menolong orang non-Yahudi yang berada di ambang kematian. Jika, misalnya, ada orang non-Yahudi yang tenggelam di laut, maka dia tidak perlu ditolong. Israel Shahak juga menunjukkan keanehan ajaran agama Yahudi yang menerapkan diskriminasi terhadap kasus perzinahan. Jika ada laki-laki Yahudi yang berzina deng
*********************
YAHUDI-YAHUDI "NYELENEH"
Oleh : Dr Adian Husaini
Meskipun banyak mendapat kritik tajam dalam al-Quran, ada saja diantara kaum Yahudi yang nyeleneh. Ia tidak seperti Yahudi kebanyakan. Di masa Rasulullah SAW, ada Abdullah bin Salam dan Mukhairiq, dua orang pemuka Yahudi yang akhirnya menerima kebenaran Islam. Namun, keduanya menjadi bahan olok-olokan oleh kaumnya. Mukhairiq bahkan akhirnya gugur sebagai syuhada dalam Parang Uhud.
Di masa modern ini, ada juga sejumlah Yahudi yang nyeleneh. Di antara mereka ada yang masuk Islam dan menjadi cendekiawan Muslim yang hebat. Ada juga yang belum sampai masuk Islam. Tapi, memberikan kritik-kritik yang keras terhadap ajaran agama Yahudi dan kekejaman negara Israel. Salah satu tokoh Yahudi jenis yang kedua adalah Prof. Dr. Israel Shahak,seorang pakar biokimia dari Hebrew University.
Prof. Dr. Israel Shahak memang bukan Yahudi biasa. Dia tidak seperti sebagaimana kebanyakan Yahudi lainnya, yang mendukung atau hanya bengong saja menyaksikan kejahatan kaumnya. Suatu ketika, saat dia berada di Jerusalem, pakar biokimia dari Hebrew University ini menjumpai kasus yang mengubah pikiran dan jalan hidupnya. Saat itu, hari Sabtu (Sabath) Shahak berusaha meminjam telepon seorang Yahudi untuk memanggil ambulan, demi menolong seorang non-Yahudi yang sedang dalam kondisi kritis.
Di luar dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi itu pun akhirnya tidak tertolong lagi. Prof. Shahak kemudian membawa kasus ini ke Dewan Rabbi Yahudi – semacam majlis ulama Yahudi – di Jerusalem. Dia menanyakan, apakah menurut agama Yahudi, tindakan si Yahudi yang tidak mau menyelamatkan orang non-Yahudi itu dapat dibenarkan oleh agama Yahudi. Lagi-lagi, Prof. Shahak terperangah. Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The Rabbinical Court of Jerusalem) menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan orang non-Yahudi ke ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai ”tindakan yang mulia”. Prof. Shahak menulis:”The answered that the Jew in question had behaved correctly indeed piously.”
Kasus itulah yang mengantarkan Prof. Shahak untuk melakukan pengkajian lebih jauh tentang agama Yahudi dan realitas negara Israel. Hasilnya, keluar sebuah buku berjudul Jewish History, Jewish Religion(London: Pluto Press, 1994). Dalam penelitiannya, ia mendapati betapa rasialisnya agama Yahudi dan juga negara Yahudi (Israel). Karena itulah, dia sampai pada kesimpulan, bahwa negara Israel memang merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Katanya, “In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond.”
Sebagai satu ”negara Yahudi” (a Jewish state), negara Israel adalah milik eksklusif bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai ”Jewish”, tidak peduli dimana pun ia berada. Shahak menulis: “Israel ’belongs’ to persons who are defined by the Israeli authorities as ‘Jewish’, irrespective of where they live, and to them alone.” Shahak menggugat, kenapa yang dipersoalkan hanya orang-orang yang bersikap anti-Yahudi. Sementara realitas pemikiran dan sikap Yahudi yang sangat diskriminatif terhadap bangsa lain justru diabaikan.
Kaum Yahudi, misalnya, dilarang memberikan pertolongan kepada orang non-Yahudi yang berada dalam bahaya. Cendekiawan besar Yahudi, Maimonides, memberikan komentar terhadap salah satu ayat Kitab Talmud: “It is forbidden to save them if they are at the point of death; if, for example, one of them is seen falling into the sea, he should not be rescued.” Jadi, kata Maimonides, adalah terlarang untuk menolong orang non-Yahudi yang berada di ambang kematian. Jika, misalnya, ada orang non-Yahudi yang tenggelam di laut, maka dia tidak perlu ditolong. Israel Shahak juga menunjukkan keanehan ajaran agama Yahudi yang menerapkan diskriminasi terhadap kasus perzinahan. Jika ada laki-laki Yahudi yang berzina deng
an wanita non-Yahudi, maka wanita itulah yang dihukum mati, bukan laki-laki Yahudi, meskipun wanita itu diperkosa.
Tidak banyak orang Yahudi yang berani bersuara keras terhadap agama dan negaranya, seperti halnya Prof. Israel Shahak, sehingga dia memang bisa dikategorikan Yahudi yang nyeleneh.
Yahudi lain yang nyeleneh, bahkan kemudian menjadi seorang Muslim yang hebat adalah Margareth Marcus. Ia seorang Yahudi Amerika yang sangat tekun dalam mempelajari berbagai agama dan pemikiran-pemikiran modern. Akhirnya, sinar hidayah datang padanya, dan mengantarkannya menjadi seorang Muslimah. Ia kemudian berganti nama menjadi Maryam Jameela. Sejak remaja, Margareth Marcus sudah berbeda dengan kebanyakan teman sebayanya. Dia sama sekali tidak menyentuh rokok atau minuman keras. Pesta-pesta dan dansa-dansa pun dia jauhi. Ia hanya tertarik dengan buku dan perpustakaan.
Ia bercerita tentang kisah ketertarikannya kepada Islam. Pada tahun kedua di Universitas New York, Margareth mengikuti mata kuliah tentang Yudaisme dan Islam. Dosennya seorang rabbi Yahudi. Pada setiap kuliah, sang dosen selalu menjelaskan, bahwa segala yang baik dalam Islam sebenarnya diambil dari Perjanjian Lama (Bibel Yahudi), Talmud, dan Midrash. Kuliah itu juga diselingi pemutaran film dan slide propaganda Zionis. Tapi, kuliah yang menyudutkan Islam itu justru berdampak sebaliknya bagi Margareth. Dia justru semakin melihat kekeliruan ajaran Yahudi dan semakin tertarik dengan Islam.
Margareth Marcus kemudian memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Dalam salah satu tulisannya, Margareth menulis: ”… saya percaya bahwa Islam adalah jalan hidup yang unggul dan merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran.” Namun, Margareth mengaku keheranan, banyak orang Islam sendiri yang tidak meyakini keunggulan Islam. Ia menulis tentang hal ini: ”Berkali-kali saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Islam yang belajar pada universitas-universitas di New York yang berusaha meyakinkan saya bahwa Kemal Attaturk adalah orang Islam yang baik, dan bahwa Islam harus menerima kriteria filsafat kontemporer, sehingga bila ada akidah Islam dan periabadatannya yang menyimpang dari kebudayaan Barat modern, maka hal itu harus dicampakkan. Pemikiran demikian dipuji sebagai ”liberal”, ”berpandangan ke depan”, dan ”progresif”. Sedang orang-orang yang berpikiran seperti kita dicap sebagai ”reaksioner dan fanatik”, yakni orang-orang yang menolak untuk menghadapi kenyataan masa kini.”
Sebelum resmi menyatakan diri sebagai Muslimah, Margareth Marcus telah menulis berbagai artikel yang membela Islam di sejumlah jurnal internasional. Ia dengan tegas memberikan kritik-kritiknya terhadap paham-paham modern. Dalam suratnya kepada Maududi, 5 Desember 1960, ia menulis:
”Pada tahun lalu saya telah berketetapan hati untuk membaktikan kehidupan saya guna berjuang melawan filsafat-filsafat materialistik, sekularisme, dan nasionalisme yang sekarang masih merajalela di dunia. Aliran-aliran tersebut tidak hanya mengancam kehidupan Islam saja, tetapi juga mengancam seluruh umat manusia.”
Setelah masuk Islam, Margareth kemudian memilih untuk berhijrah ke Pakistan, setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya. Maryam Jameela pun termasuk sedikit diantara kaum Yahudi yang memiliki sikap kejujuran dan keberanian untuk menerima Islam. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah beberapa kaum Yahudi yang nyeleneh tersebut. (2009).
Tidak banyak orang Yahudi yang berani bersuara keras terhadap agama dan negaranya, seperti halnya Prof. Israel Shahak, sehingga dia memang bisa dikategorikan Yahudi yang nyeleneh.
Yahudi lain yang nyeleneh, bahkan kemudian menjadi seorang Muslim yang hebat adalah Margareth Marcus. Ia seorang Yahudi Amerika yang sangat tekun dalam mempelajari berbagai agama dan pemikiran-pemikiran modern. Akhirnya, sinar hidayah datang padanya, dan mengantarkannya menjadi seorang Muslimah. Ia kemudian berganti nama menjadi Maryam Jameela. Sejak remaja, Margareth Marcus sudah berbeda dengan kebanyakan teman sebayanya. Dia sama sekali tidak menyentuh rokok atau minuman keras. Pesta-pesta dan dansa-dansa pun dia jauhi. Ia hanya tertarik dengan buku dan perpustakaan.
Ia bercerita tentang kisah ketertarikannya kepada Islam. Pada tahun kedua di Universitas New York, Margareth mengikuti mata kuliah tentang Yudaisme dan Islam. Dosennya seorang rabbi Yahudi. Pada setiap kuliah, sang dosen selalu menjelaskan, bahwa segala yang baik dalam Islam sebenarnya diambil dari Perjanjian Lama (Bibel Yahudi), Talmud, dan Midrash. Kuliah itu juga diselingi pemutaran film dan slide propaganda Zionis. Tapi, kuliah yang menyudutkan Islam itu justru berdampak sebaliknya bagi Margareth. Dia justru semakin melihat kekeliruan ajaran Yahudi dan semakin tertarik dengan Islam.
Margareth Marcus kemudian memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Dalam salah satu tulisannya, Margareth menulis: ”… saya percaya bahwa Islam adalah jalan hidup yang unggul dan merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran.” Namun, Margareth mengaku keheranan, banyak orang Islam sendiri yang tidak meyakini keunggulan Islam. Ia menulis tentang hal ini: ”Berkali-kali saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Islam yang belajar pada universitas-universitas di New York yang berusaha meyakinkan saya bahwa Kemal Attaturk adalah orang Islam yang baik, dan bahwa Islam harus menerima kriteria filsafat kontemporer, sehingga bila ada akidah Islam dan periabadatannya yang menyimpang dari kebudayaan Barat modern, maka hal itu harus dicampakkan. Pemikiran demikian dipuji sebagai ”liberal”, ”berpandangan ke depan”, dan ”progresif”. Sedang orang-orang yang berpikiran seperti kita dicap sebagai ”reaksioner dan fanatik”, yakni orang-orang yang menolak untuk menghadapi kenyataan masa kini.”
Sebelum resmi menyatakan diri sebagai Muslimah, Margareth Marcus telah menulis berbagai artikel yang membela Islam di sejumlah jurnal internasional. Ia dengan tegas memberikan kritik-kritiknya terhadap paham-paham modern. Dalam suratnya kepada Maududi, 5 Desember 1960, ia menulis:
”Pada tahun lalu saya telah berketetapan hati untuk membaktikan kehidupan saya guna berjuang melawan filsafat-filsafat materialistik, sekularisme, dan nasionalisme yang sekarang masih merajalela di dunia. Aliran-aliran tersebut tidak hanya mengancam kehidupan Islam saja, tetapi juga mengancam seluruh umat manusia.”
Setelah masuk Islam, Margareth kemudian memilih untuk berhijrah ke Pakistan, setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya. Maryam Jameela pun termasuk sedikit diantara kaum Yahudi yang memiliki sikap kejujuran dan keberanian untuk menerima Islam. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah beberapa kaum Yahudi yang nyeleneh tersebut. (2009).
Worldview Koruptor
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Beberapa bulan lalu sebuah dialog di televisi swasta membahas perilaku korupsi penegak hukum dan koruptor. Hadir dalam acara itu para guru besar dibidang hukum dan advokat. Yang muncul disitu pertanyaan mengapa hakim dan jaksa korupsi? Padahal mereka adalah penegak hukum dan sangat luas ilmu hukumnya. Mereka adalah pejabat yang tinggi tanggung jawabnya.
Host acara itu lalu mengarahkan pertanyaan itu kepada para guru besar: Apa yang Bapak ajarkan pada mereka sehingga mereka itu korupsi? Para guru besar itupun bersungut-sungut lalu menjawab “tidak ada yang salah dalam mata kuliah mereka.” Lalu dimana letak salahnya? Mengapa demikian dst..dst. menjadi kompleks.
Mungkin jika pakar bidang administrasi Negara hadir dia akan menuding undang-undang yang lemah. Pakar ekonomi akan mengkritik gaji pegawai yang rendah. Advokat akan berkilah korupsi atau tidak itu tergantung pasalnya. Para sosiolog atau psikolog akan mungkin lebih tegas “orang korupsi karena mental pegawai”. Dibalik layar sayup-sayup para koruptor lain berguman singkat “dia lagi apes”. Itulah realitas bangsa ini.
Pendapat-pendapat diatas tentu subyekif. Namun semua pasti sepakat jika perbuatan korupsi didahului oleh pikiran yang korup. Orang pasti berfikir sebelum berbuat. Pikiran manusia itulah sebenarnya yang disebut worldview. Definisinya adalah cara pandang orang terhadap hidup dan kehidupan. Pandangan orang terhadap makna realitas dan makna kebenaran (Naquib al-Attas). Pikiran yang menjadi motor perbuatan (Alparslan).
Dari perspektif agama worldview adalah kepercayaan pada Tuhan beserta segala implikasi dan konsekuensinya dalam kehidupan. Sebab seperti ditegaskan Thomas Wall: “kepercayaan pada Tuhan adalah inti dari semua worldview”. Artinya kalau orang itu benar-benar percaya pada Tuhan dibalik harta ada rezeki, dibalik kekuasaan ada amanah, dibalik perbuatan ada dosa dan pahala. Kalau orang percaya pada Tuhan, ia pasti yakin bahwa baik-buruk, salah-benar, harta-rezeki berasal dari Tuhan. Itulah worldview.
Jika orang itu tidak percaya pada Tuhan, harta adalah harta. Di balik harta tidak ada apa-apa. Darimana asalnya dan bagaimana memperolehnya tidak penting. Yang penting setiap orang harus bertahan hidup. Hidup dengan segala cara asal tidak menyakiti sesama. Hidup hanya sekali dan setelah itu selesai. Perbuatan di dunia hanya akan berakibat di dunia. Ukuran baik-buruk, salah-benar adalah manusia penentunya. Itulah worldview koruptor.
Tapi masalahnya mengapa orang beragama masih juga korupsi? Jawaban lumrah tentu ia korup bukan karena perintah agamanya. Menurut sabda Nabi tidak ada orang mencuri dan pada saat yang sama dia beriman (al-Hadith). Lalu apakah keimanan orang tidak dapat mencegahnya dari perbuatan korupsi?
Masalahnya sungguh kompleks. Agama hanya dainggap sebagai dogma. Beragama berarti menjalankan ritual semata. Masjid, gereja dsb adalah tempatnya. Di ruang publik agama tidak boleh angkat bicara. Porno atau tidak porno tidak boleh diukur dari agama. Ambisi berpolitik tidak boleh dicampur nawaitu dalam ibadah, apalagi dicampur istighatsah.
Disaat agama dikerdilkan, dan ketika keberagamaan dimarginalkan hasrat menjadi kaya raya merupakan tujuannya. Worldview pemeluk agama diisi oleh cara pandang materialistis, hedonistis, pragmatis, empirisistis, dan rasionalistis. Cara hidup sekuler telah mencokok arah hidup pemeluk agama-agama. Cinta harta merasuki rongga-rongga pikiran para pemeluk agama. Begitulah worldview pemeluk agama dikuasai worldview sekuler.
Akibatnya mind-set mereka berubah. Agar menjadi kaya dan hidup enak di dunia orang harus meninggalkan moral dan akhlaq ajaran agama. Yang tetap bertahan pada keimanan agamanya dianggap bodoh dan tidak cerdas.
Ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris, Maret 2010, di Nottingham saya mendengar berita menarik. Professor Richard Lynn dari Ulster University, Irlandia Utara, Professor Helmuth Nyborg dari Universitas Aarhus, Denmark dan Professor John Harvey Sussex, Inggeris, menerbitkan hasil riset mereka. Riset itu dilakukan di 137 negara d
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Beberapa bulan lalu sebuah dialog di televisi swasta membahas perilaku korupsi penegak hukum dan koruptor. Hadir dalam acara itu para guru besar dibidang hukum dan advokat. Yang muncul disitu pertanyaan mengapa hakim dan jaksa korupsi? Padahal mereka adalah penegak hukum dan sangat luas ilmu hukumnya. Mereka adalah pejabat yang tinggi tanggung jawabnya.
Host acara itu lalu mengarahkan pertanyaan itu kepada para guru besar: Apa yang Bapak ajarkan pada mereka sehingga mereka itu korupsi? Para guru besar itupun bersungut-sungut lalu menjawab “tidak ada yang salah dalam mata kuliah mereka.” Lalu dimana letak salahnya? Mengapa demikian dst..dst. menjadi kompleks.
Mungkin jika pakar bidang administrasi Negara hadir dia akan menuding undang-undang yang lemah. Pakar ekonomi akan mengkritik gaji pegawai yang rendah. Advokat akan berkilah korupsi atau tidak itu tergantung pasalnya. Para sosiolog atau psikolog akan mungkin lebih tegas “orang korupsi karena mental pegawai”. Dibalik layar sayup-sayup para koruptor lain berguman singkat “dia lagi apes”. Itulah realitas bangsa ini.
Pendapat-pendapat diatas tentu subyekif. Namun semua pasti sepakat jika perbuatan korupsi didahului oleh pikiran yang korup. Orang pasti berfikir sebelum berbuat. Pikiran manusia itulah sebenarnya yang disebut worldview. Definisinya adalah cara pandang orang terhadap hidup dan kehidupan. Pandangan orang terhadap makna realitas dan makna kebenaran (Naquib al-Attas). Pikiran yang menjadi motor perbuatan (Alparslan).
Dari perspektif agama worldview adalah kepercayaan pada Tuhan beserta segala implikasi dan konsekuensinya dalam kehidupan. Sebab seperti ditegaskan Thomas Wall: “kepercayaan pada Tuhan adalah inti dari semua worldview”. Artinya kalau orang itu benar-benar percaya pada Tuhan dibalik harta ada rezeki, dibalik kekuasaan ada amanah, dibalik perbuatan ada dosa dan pahala. Kalau orang percaya pada Tuhan, ia pasti yakin bahwa baik-buruk, salah-benar, harta-rezeki berasal dari Tuhan. Itulah worldview.
Jika orang itu tidak percaya pada Tuhan, harta adalah harta. Di balik harta tidak ada apa-apa. Darimana asalnya dan bagaimana memperolehnya tidak penting. Yang penting setiap orang harus bertahan hidup. Hidup dengan segala cara asal tidak menyakiti sesama. Hidup hanya sekali dan setelah itu selesai. Perbuatan di dunia hanya akan berakibat di dunia. Ukuran baik-buruk, salah-benar adalah manusia penentunya. Itulah worldview koruptor.
Tapi masalahnya mengapa orang beragama masih juga korupsi? Jawaban lumrah tentu ia korup bukan karena perintah agamanya. Menurut sabda Nabi tidak ada orang mencuri dan pada saat yang sama dia beriman (al-Hadith). Lalu apakah keimanan orang tidak dapat mencegahnya dari perbuatan korupsi?
Masalahnya sungguh kompleks. Agama hanya dainggap sebagai dogma. Beragama berarti menjalankan ritual semata. Masjid, gereja dsb adalah tempatnya. Di ruang publik agama tidak boleh angkat bicara. Porno atau tidak porno tidak boleh diukur dari agama. Ambisi berpolitik tidak boleh dicampur nawaitu dalam ibadah, apalagi dicampur istighatsah.
Disaat agama dikerdilkan, dan ketika keberagamaan dimarginalkan hasrat menjadi kaya raya merupakan tujuannya. Worldview pemeluk agama diisi oleh cara pandang materialistis, hedonistis, pragmatis, empirisistis, dan rasionalistis. Cara hidup sekuler telah mencokok arah hidup pemeluk agama-agama. Cinta harta merasuki rongga-rongga pikiran para pemeluk agama. Begitulah worldview pemeluk agama dikuasai worldview sekuler.
Akibatnya mind-set mereka berubah. Agar menjadi kaya dan hidup enak di dunia orang harus meninggalkan moral dan akhlaq ajaran agama. Yang tetap bertahan pada keimanan agamanya dianggap bodoh dan tidak cerdas.
Ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris, Maret 2010, di Nottingham saya mendengar berita menarik. Professor Richard Lynn dari Ulster University, Irlandia Utara, Professor Helmuth Nyborg dari Universitas Aarhus, Denmark dan Professor John Harvey Sussex, Inggeris, menerbitkan hasil riset mereka. Riset itu dilakukan di 137 negara d
i dunia, termasuk Indonesia. Menarik karena risetnya mengkaji sebuah hypothesis adanya korelasi negatif antara IQ dan Iman. Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:
Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheist.
Bukan hanya itu Verhage (1964) dan Bell (2002) di Belanda, Kanazawa (2009) di Amerika Serikat memperoleh hasil serupa. Dari mereka bertiga ini sekurangnya diperoleh empat temuan. Pertama ada hubungan korelasi negative antara kecerdasan dan keimanan. Kedua, orang elit yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum. Ketiga, dikalangan pelajar semakin berumur dan semakin berilmu semakin turun keimanan mereka. Keempat, sepanjang abad dua puluh meningkatnya masyarakat yang cerdas diikuti oleh menurunnya keimanan.
Implikasi dari hypothesis diatas jelas, orang cerdas adalah yang meninggalkan agamanya. Tapi masalahnya apakah orang tidak beragama itu karena saking cerdasnya? Jika jawabnya iya, maka matrik kecerdasannya itu hanya sebatas masalah dunia. Apakah orang yang taat beragama dan pada saat yang sama bisa hidup makmur di dunia tidak bisa dianggap lebih cerdas dari yang hanya mikir dunia saja.
Dr.David Rosmarin, psikiatri Rumah Sakit McLean di Massachussetts menulis paper. Disitu disimpulkan orang yang percaya pada Tuhan cenderung lebih tenang dan tidak gelisah menghadapi hidup yang serba tidak pasti. (Lihat International Herald Tribune, 19 Oktober 2011, hal.8). Tentu dibanding orang yang tidak percaya Tuhan. Jika demikian maka benarlah sabda Nabi “orang cerdas (al-kaysu) adalah orang yang bekerja di dunia untuk tujuan akherat”. Wallau A’lam
Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheist.
Bukan hanya itu Verhage (1964) dan Bell (2002) di Belanda, Kanazawa (2009) di Amerika Serikat memperoleh hasil serupa. Dari mereka bertiga ini sekurangnya diperoleh empat temuan. Pertama ada hubungan korelasi negative antara kecerdasan dan keimanan. Kedua, orang elit yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum. Ketiga, dikalangan pelajar semakin berumur dan semakin berilmu semakin turun keimanan mereka. Keempat, sepanjang abad dua puluh meningkatnya masyarakat yang cerdas diikuti oleh menurunnya keimanan.
Implikasi dari hypothesis diatas jelas, orang cerdas adalah yang meninggalkan agamanya. Tapi masalahnya apakah orang tidak beragama itu karena saking cerdasnya? Jika jawabnya iya, maka matrik kecerdasannya itu hanya sebatas masalah dunia. Apakah orang yang taat beragama dan pada saat yang sama bisa hidup makmur di dunia tidak bisa dianggap lebih cerdas dari yang hanya mikir dunia saja.
Dr.David Rosmarin, psikiatri Rumah Sakit McLean di Massachussetts menulis paper. Disitu disimpulkan orang yang percaya pada Tuhan cenderung lebih tenang dan tidak gelisah menghadapi hidup yang serba tidak pasti. (Lihat International Herald Tribune, 19 Oktober 2011, hal.8). Tentu dibanding orang yang tidak percaya Tuhan. Jika demikian maka benarlah sabda Nabi “orang cerdas (al-kaysu) adalah orang yang bekerja di dunia untuk tujuan akherat”. Wallau A’lam
You Must Believe……
Kisah ini diceritakan teman saya pak Steve Sudjatmiko. Beberapa tahun lalu, profesor-profesor di Amerika Serikat berkumpul. Mereka mengeluhkan, mengapa pada generasi sekarang tidak muncul ilmuwan-ilmuwan atau tokoh hebat sekaliber Einstein, Newton, Kennedy, dan sebagainya. Lalu mereka berdiskusi apa penyebab kemunduran bangsa Amerika saat ini dibanding sebelumnya. Akhirnya dari diskusi tersebut keluar satu kesimpulan bahwa mereka harus membenahi dunia pendidikan dasar. Maka pergilah profesor-profesor tersebut mengunjungi satu sekolah dan mereka melakukan survei di sana.
Murid-murid sekolah diminta menjawab soal dan hasilnya diteliti. Dari hasil tes tersebut seorang profesor paling senior mendatangi sang guru. Terjadilah dialog seperti ini :
“Kami mau bertanya kepada bu guru tentang dua anak ini. Dari 40 siswa di kelas kenapa dua anak ini bisa ranking 39 dan 40?”
“Iya prof, mereka memang anak yang bandel. Suka bolos dan bodoh. Pantas saja mereka ranking paling akhir.”
“Wah, ibu salah,” kata sang profesor. “Dari hasil tes kami, dua anak ini terbukti sangat cerdas. Dia calon ilmuwan besar.”
“Coba ibu perhatikan dua anak ini. Kami akan datang setahun lagi untuk melihat hasilnya.”
Selepas tim profesor itu pergi maka sang guru mulai memperhatikan dua anak yang selama ini dinilainya bandel dan jarang diperhatikan. Kalau tidak masuk, langsung ditelpon atau dikunjungi rumahnya. Ketika hasil ulangan jelek, sang ibu guru dengan penuh ketekunan mengajari kembali dua anak tersebut sehingga mereka mengerti. Dan akhirnya sesuai janji, tahun berikutnya profesor-profesor tersebut datang lagi ke sekolah tersebut.
“Bagaimana hasilnya, bu?” tanya para professor tersebut.
“Betul prof. Seperti professor bilang, anak ini termasuk cerdas. Dari tahun lalu mereka ranking 39 dan 40, sekarang menjadi rangking 3 dan 4. Bagaimanya professor bisa tahu anak ini cerdas?” tanya sang ibu guru.
Profesor tersebut menjawab, “Sebetulnya kami telah berbohong dalam mengadakan tes. Kami tidak melakukan apa-apa. Kami hanya ingin tahu, kalau seorang guru tekun mendidik dan percaya bahwa anak didiknya bisa, maka mereka akan bisa. Dan inilah hasilnya.”
Subhanallah. Rupanya ketekunan dan kepercayaan saja kuncinya. Anak-anak itu tetap sama. Itulah yang terjadi ketika Master Shifu akan mendidik Panda menjadi jagoan, Pendekar Naga dalam film animasi terkenal The Kungfu Panda. Saat Master Oogway memilih Panda sebagai Pendekar Naga yang bakal menandingi penjahat Tai Lung, semua meragukan termasuk calon gurunya Master Shifu. Master Oogway hanya mengatakan, “There are no accident. You must believe…” lalu beliau pergi diikuti hembusan angin.
Kita tidak mungkin berhasil mendidik dan mengembangkan anak didik kita sebelum mempercayai kemampuan yang dimiliki oleh anak tersebut, dan -tentu saja kita percaya kemampuan kita mendidik anak tersebut. Kita yakin Allah pasti menciptakan manusia masing2 punya bakat dan keunggulan. Cara master Shifu melatih Panda menjadi seorang Dragon Warrior sangat menarik. Bagaimana mungkin, dengan badan yang begitu besar Panda menjadi seorang jagoan kung fu. Master Shifu menemukan kegemaran Panda yang doyan makan bakpao menjadi “titik masuk” untuk melatih kungfu. Dengan kegigihan Panda berlatih sesuai dengan keinginannya, ditambah dengan kepercayaan luar biasa Master Shifu atas kemampuan Panda, jadilah Panda seorang jagoan kungfu yang berhasil mengalahkan Tai Lung.
Setiap anak didik mempunyai keunikan tersendiri. Mereka mempunyai kelebihan masing-masing. Tugas seorang guru adalah membantu menemukan, mengembangkan dan memotivasi sang anak agar tercapai cita-citanya. Kita bisa berkaca pada tokoh-tokoh besar, pada dasarnya mereka mempunyai seorang mentor. Mike Tyson, anak jalanan bisa menjadi petinju hebat karena ada seorang Cus D’Amato yang memperhatikan dan memgembangkan bakatnya. Seorang guru pun dalam mendidik muridnya harus seperti itu, penuh percaya diri, memberi motivasi dan mengajarkan ilmunya.
Pandangilah murid-murid kita satu persatu. Bayangkan si A kelak jadi peraih hadiah Nobel, bayangkan si B jadi presi
Kisah ini diceritakan teman saya pak Steve Sudjatmiko. Beberapa tahun lalu, profesor-profesor di Amerika Serikat berkumpul. Mereka mengeluhkan, mengapa pada generasi sekarang tidak muncul ilmuwan-ilmuwan atau tokoh hebat sekaliber Einstein, Newton, Kennedy, dan sebagainya. Lalu mereka berdiskusi apa penyebab kemunduran bangsa Amerika saat ini dibanding sebelumnya. Akhirnya dari diskusi tersebut keluar satu kesimpulan bahwa mereka harus membenahi dunia pendidikan dasar. Maka pergilah profesor-profesor tersebut mengunjungi satu sekolah dan mereka melakukan survei di sana.
Murid-murid sekolah diminta menjawab soal dan hasilnya diteliti. Dari hasil tes tersebut seorang profesor paling senior mendatangi sang guru. Terjadilah dialog seperti ini :
“Kami mau bertanya kepada bu guru tentang dua anak ini. Dari 40 siswa di kelas kenapa dua anak ini bisa ranking 39 dan 40?”
“Iya prof, mereka memang anak yang bandel. Suka bolos dan bodoh. Pantas saja mereka ranking paling akhir.”
“Wah, ibu salah,” kata sang profesor. “Dari hasil tes kami, dua anak ini terbukti sangat cerdas. Dia calon ilmuwan besar.”
“Coba ibu perhatikan dua anak ini. Kami akan datang setahun lagi untuk melihat hasilnya.”
Selepas tim profesor itu pergi maka sang guru mulai memperhatikan dua anak yang selama ini dinilainya bandel dan jarang diperhatikan. Kalau tidak masuk, langsung ditelpon atau dikunjungi rumahnya. Ketika hasil ulangan jelek, sang ibu guru dengan penuh ketekunan mengajari kembali dua anak tersebut sehingga mereka mengerti. Dan akhirnya sesuai janji, tahun berikutnya profesor-profesor tersebut datang lagi ke sekolah tersebut.
“Bagaimana hasilnya, bu?” tanya para professor tersebut.
“Betul prof. Seperti professor bilang, anak ini termasuk cerdas. Dari tahun lalu mereka ranking 39 dan 40, sekarang menjadi rangking 3 dan 4. Bagaimanya professor bisa tahu anak ini cerdas?” tanya sang ibu guru.
Profesor tersebut menjawab, “Sebetulnya kami telah berbohong dalam mengadakan tes. Kami tidak melakukan apa-apa. Kami hanya ingin tahu, kalau seorang guru tekun mendidik dan percaya bahwa anak didiknya bisa, maka mereka akan bisa. Dan inilah hasilnya.”
Subhanallah. Rupanya ketekunan dan kepercayaan saja kuncinya. Anak-anak itu tetap sama. Itulah yang terjadi ketika Master Shifu akan mendidik Panda menjadi jagoan, Pendekar Naga dalam film animasi terkenal The Kungfu Panda. Saat Master Oogway memilih Panda sebagai Pendekar Naga yang bakal menandingi penjahat Tai Lung, semua meragukan termasuk calon gurunya Master Shifu. Master Oogway hanya mengatakan, “There are no accident. You must believe…” lalu beliau pergi diikuti hembusan angin.
Kita tidak mungkin berhasil mendidik dan mengembangkan anak didik kita sebelum mempercayai kemampuan yang dimiliki oleh anak tersebut, dan -tentu saja kita percaya kemampuan kita mendidik anak tersebut. Kita yakin Allah pasti menciptakan manusia masing2 punya bakat dan keunggulan. Cara master Shifu melatih Panda menjadi seorang Dragon Warrior sangat menarik. Bagaimana mungkin, dengan badan yang begitu besar Panda menjadi seorang jagoan kung fu. Master Shifu menemukan kegemaran Panda yang doyan makan bakpao menjadi “titik masuk” untuk melatih kungfu. Dengan kegigihan Panda berlatih sesuai dengan keinginannya, ditambah dengan kepercayaan luar biasa Master Shifu atas kemampuan Panda, jadilah Panda seorang jagoan kungfu yang berhasil mengalahkan Tai Lung.
Setiap anak didik mempunyai keunikan tersendiri. Mereka mempunyai kelebihan masing-masing. Tugas seorang guru adalah membantu menemukan, mengembangkan dan memotivasi sang anak agar tercapai cita-citanya. Kita bisa berkaca pada tokoh-tokoh besar, pada dasarnya mereka mempunyai seorang mentor. Mike Tyson, anak jalanan bisa menjadi petinju hebat karena ada seorang Cus D’Amato yang memperhatikan dan memgembangkan bakatnya. Seorang guru pun dalam mendidik muridnya harus seperti itu, penuh percaya diri, memberi motivasi dan mengajarkan ilmunya.
Pandangilah murid-murid kita satu persatu. Bayangkan si A kelak jadi peraih hadiah Nobel, bayangkan si B jadi presi
den RI tahun 2050, bayangkan si C jadi sekjen PBB tahun sekian dsb. Kalau kita yakin anak didik kita bakal jadi orang hebat maka insya Allah mereka kelak akan jadi orang hebat. Kalau pun nggak jadi presiden, dg keyakinan didikan kita spt itu, paling tidak ia jadi seorang menteri. Not bad.
Terakhir, tidak ada kata kebetulan. Yang ada hanyalah kesungguhan murid yang dibimbing sang guru dg penuh keyakinan. Seperti kata Master Oogway, “There are no accident….”
-Dr. Budi Handrianto-
Terakhir, tidak ada kata kebetulan. Yang ada hanyalah kesungguhan murid yang dibimbing sang guru dg penuh keyakinan. Seperti kata Master Oogway, “There are no accident….”
-Dr. Budi Handrianto-
Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal CS
Penulis: Hartono Ahmad Jaiz
Sinopsis;
Liberal maknanya bebas. Kyai adalah julukan ahli agama atau ulama, ustadz di kalangan tradisional (khususnya NU). Kyai liberal adalah kyai yang berpandangan bebas dalam memahami teks-teks agama Islam. Apa jadinya jika tokoh yang harus dijadikan panutan umat dalam kehidupan agama namun bertindak dan berpikir bebas? Yang terjadi adalah kebingungan di masyarakat.
Sosok yang paling fenomenal sebagai kyai liberal adalah almarhum Gus Dur. Dialah ikon, sebagai bapak pluralisme, tokoh humanisme, pembela kaum minoritas, guru bangsa dan sebagainya. Namun sejarah juga mencatat Gus Dur adalah satu-satunya tokoh dari umat Islam yang berani menyuarakan bahwa Al-Qur''an merupakan kitab suci yang porno. Satu pihak diangkat-angkat (non-muslim) giliran kepentingan umat Islam justru diinjak-injak.
Ternyata yang liberal di kalangan kyai juga banyak, berarti faham liberal juga sudah menyebar di kalangan NU. Siapa saja mereka? Dan apa bahayanya buat umat Islam? Silakan pembaca menelaah buku ini!
---------------------
Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal CS
Penulis: Hartono Ahmad Jaiz
Harga Rp. 65.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Hartono Ahmad Jaiz
Sinopsis;
Liberal maknanya bebas. Kyai adalah julukan ahli agama atau ulama, ustadz di kalangan tradisional (khususnya NU). Kyai liberal adalah kyai yang berpandangan bebas dalam memahami teks-teks agama Islam. Apa jadinya jika tokoh yang harus dijadikan panutan umat dalam kehidupan agama namun bertindak dan berpikir bebas? Yang terjadi adalah kebingungan di masyarakat.
Sosok yang paling fenomenal sebagai kyai liberal adalah almarhum Gus Dur. Dialah ikon, sebagai bapak pluralisme, tokoh humanisme, pembela kaum minoritas, guru bangsa dan sebagainya. Namun sejarah juga mencatat Gus Dur adalah satu-satunya tokoh dari umat Islam yang berani menyuarakan bahwa Al-Qur''an merupakan kitab suci yang porno. Satu pihak diangkat-angkat (non-muslim) giliran kepentingan umat Islam justru diinjak-injak.
Ternyata yang liberal di kalangan kyai juga banyak, berarti faham liberal juga sudah menyebar di kalangan NU. Siapa saja mereka? Dan apa bahayanya buat umat Islam? Silakan pembaca menelaah buku ini!
---------------------
Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal CS
Penulis: Hartono Ahmad Jaiz
Harga Rp. 65.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
*CIRI-CIRI ORANG JAHIL*
Dari perilakunya, sifat orang bodoh adalah mengabaikan akibat, terlalu percaya diri pada orang yang belum dikenalnya, ujub, banyak ngomong, cepat menjawab, suka berpaling, kosong dari pengetahuan, tergesa-gesa, sembrono, lalai, dan angkuh. Jika kaya hura-hura, jika miskin putus asa, jika berkata-kata kotor, jika diminta pelit, jika meminta memaksa, jika diterangkan tidak paham, jika tertawa ngakak, dan jika menangis meraung-raung. Apabila kita tilik kerusakan ini pada diri manusia, kita akan mendapatinya pada kebanyakan manusia, sampai-sampai tidak diketahui lagi orang yang bijak di antara orang-orang yang bodoh. (Kitab al-Mustatraf fi kulli fann Muistazraf)
Dari perilakunya, sifat orang bodoh adalah mengabaikan akibat, terlalu percaya diri pada orang yang belum dikenalnya, ujub, banyak ngomong, cepat menjawab, suka berpaling, kosong dari pengetahuan, tergesa-gesa, sembrono, lalai, dan angkuh. Jika kaya hura-hura, jika miskin putus asa, jika berkata-kata kotor, jika diminta pelit, jika meminta memaksa, jika diterangkan tidak paham, jika tertawa ngakak, dan jika menangis meraung-raung. Apabila kita tilik kerusakan ini pada diri manusia, kita akan mendapatinya pada kebanyakan manusia, sampai-sampai tidak diketahui lagi orang yang bijak di antara orang-orang yang bodoh. (Kitab al-Mustatraf fi kulli fann Muistazraf)
MA'RIFAT
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“Barangsiapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. ini memang bukan sabda Nabi, tapi atsar sahabat yang seringkali dinisbatkan kepada Ali bin Abi Talib. Istilah ‘arafa’ memang lebih tepat diterjemahkan menjadi “mengenal”. Perkenalan dalam bahasa Arab disebut ta’aruf.
Mengenal Tuhan dalam wacana ulama salaf dikaitkan perjanjian Tuhan (mitsaq) dengan calon manusia di alam arwah. Di sana arwah Allah swt telah berdialog dengan ruh calon manusia. Allah bertanya pada calon anak manusia “bukankah Aku ini Tuhanmu”. “benar kami menyaksikan” jawab ruh itu. Disitu ruh manusia resmi “mengenal” Tuhannya. Itulah rahasianya mengapa sejarah umat manusia selalu diwarnai oleh aktifitas mempercayai dan meyakini adanya kekuatan Tuhan.
Untuk lebih mengenal Tuhannya umat Islam dibekali dengan amalan peribadatan. Dalam sebuah hadith Qudsi Allah berfirman ”Aku adalah simpanan yang tersembunyi dan Aku suka dikenal; Aku ciptakan makhluq agar aku dikenal”. Dalam al-Zariyat 56 Allah berfirman “dan Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk menyembah”. Mungkin karena hadith itu maka ibn Abbas menafsirkan ayat “hanya untuk menyembah atau beribadah” dengan hanya untuk mengenal Tuhan.
Tafsir ibn Abbas bisa difahami begini: jika seorang hamba mencintai Tuhannya, maka ia akan beribadah sekuat-kuatnya untuk meraih cintaNya. Maka ibadah itu sejatinya adalah jalan-jalan yang bertujuan untuk mendekat (taqarrub) dan mengenal Tuhan.
Tapi manusia kebanyakan berjiwa kotor. Maka untuk itu nasehat Imam al-Ghazali manusia harus membersihkan hatinya. Caranya mudah yaitu tidak mengumbar syahwat, melepaskan diri dari segala keterkaitan dengannya, dan mengosongkan hati dari segala kesibukan duniawi, selalu cinta pada Allah. (Ihya, hal. 3/12-16;l Kimia Kebahagiaan, hal. 516)
Mengapa hati mesti disucikan? Manurut al-Ghazzali karena hati manusia itu juga tempat ma’rifah dan tawhid dan harus disiapkan agar dapat menerima masuknya ilmu dari Tuhan. Sebab terkadang ilmu masuk pada hati melalui ilham dari Tuhan, dengan cara spontanitas dan al-mukasyafah. (Ihya', hal. 3/7).
Maka ibadah mendekat dan mengenal Tuhan harus berbekal cinta. Ibadah dengan bekal cinta pada Allah itu berbuah keyakinan, dan keyakinan yang tinggi itu menjadi cahaya hati. Hati orang ‘arif billah yang bercahaya menurut Dzunnun al-Mashri (w. 155 H), tidak menghilangkan sifat wara'-nya (keperwiraan), tidak meremehkan hukum-hukum syariat, dan karamahNya tidak merusak ketaatannya pada Allah." (Risalah Qusyairiyah, hal. 143). Jadi ketaatan seorang ‘abid meningkat menjadi kecintaan seorang ‘arif.
Namun menjadi seorang menjadi ‘arif ada tiga tingkatan. Pertama tingkat orang awam; kedua tingkat adalah ulama yang mencapai ma’rifat melalui logikanya, dan terakhir adalah wali yang keimanannya sudah tingkatan ihsan. (M.Abdul Mun'im Khofaji, at-Turats ar-Ruhi littashawwuf al-Islami fi Misr, hal. 40). Untuk para wali yang memperoleh al-Kasyf, ia akan melihat sesuatu yang nyata (batin) seperti melihat dengan mata kepalanya (ra'yal ain). (Thusi, Alluma', hal. 422)
Ma’rifat tingkat kedua itu biasa disebut ‘ilm. Ilmu adalah pengetahuan yang biasa diperoleh dengan pancaindera dan nalar melalui I'tibar atau istibshar disebut ilmu. Ma’rifat pada tingkat ketiga (ma’rifah) diperoleh tidak dengan cara ilmiyah bahkan yang bersangkutan tidak tahu bagaimana ia datang.
Ma’rifah jenis ini disebut ilham. Ilham bisa dimiliki siapa saja, namun yang tertinggi dimiliki oleh para wali atau para sufi yang berislam pada tingkat ihsan. Pengetahuan sejenis ilham tapi pada tingkat yang tertinggi disebut wahyu, yang khusus diberikan kepada para nabi.
Mengenal Allah dengan cara-cara sufi perlu dikembangkan untuk mereka-mereka yang sibuk dengan urusan dunia. Hal ini dengan cara menjadikan segala usahanya untuk ibadah pada Allah, mengkaitkan segala cintanya hanya untuk Allah, dan menghilangkan segala ingatannya kecuali ingat Allah.
Orang yang berma’rifah dengan cara begitu, niscaya tidak akan pernah khawatir akan segala masalah yang menimpanya di dunia. Jika ia mendapatkan b
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“Barangsiapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya”. ini memang bukan sabda Nabi, tapi atsar sahabat yang seringkali dinisbatkan kepada Ali bin Abi Talib. Istilah ‘arafa’ memang lebih tepat diterjemahkan menjadi “mengenal”. Perkenalan dalam bahasa Arab disebut ta’aruf.
Mengenal Tuhan dalam wacana ulama salaf dikaitkan perjanjian Tuhan (mitsaq) dengan calon manusia di alam arwah. Di sana arwah Allah swt telah berdialog dengan ruh calon manusia. Allah bertanya pada calon anak manusia “bukankah Aku ini Tuhanmu”. “benar kami menyaksikan” jawab ruh itu. Disitu ruh manusia resmi “mengenal” Tuhannya. Itulah rahasianya mengapa sejarah umat manusia selalu diwarnai oleh aktifitas mempercayai dan meyakini adanya kekuatan Tuhan.
Untuk lebih mengenal Tuhannya umat Islam dibekali dengan amalan peribadatan. Dalam sebuah hadith Qudsi Allah berfirman ”Aku adalah simpanan yang tersembunyi dan Aku suka dikenal; Aku ciptakan makhluq agar aku dikenal”. Dalam al-Zariyat 56 Allah berfirman “dan Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk menyembah”. Mungkin karena hadith itu maka ibn Abbas menafsirkan ayat “hanya untuk menyembah atau beribadah” dengan hanya untuk mengenal Tuhan.
Tafsir ibn Abbas bisa difahami begini: jika seorang hamba mencintai Tuhannya, maka ia akan beribadah sekuat-kuatnya untuk meraih cintaNya. Maka ibadah itu sejatinya adalah jalan-jalan yang bertujuan untuk mendekat (taqarrub) dan mengenal Tuhan.
Tapi manusia kebanyakan berjiwa kotor. Maka untuk itu nasehat Imam al-Ghazali manusia harus membersihkan hatinya. Caranya mudah yaitu tidak mengumbar syahwat, melepaskan diri dari segala keterkaitan dengannya, dan mengosongkan hati dari segala kesibukan duniawi, selalu cinta pada Allah. (Ihya, hal. 3/12-16;l Kimia Kebahagiaan, hal. 516)
Mengapa hati mesti disucikan? Manurut al-Ghazzali karena hati manusia itu juga tempat ma’rifah dan tawhid dan harus disiapkan agar dapat menerima masuknya ilmu dari Tuhan. Sebab terkadang ilmu masuk pada hati melalui ilham dari Tuhan, dengan cara spontanitas dan al-mukasyafah. (Ihya', hal. 3/7).
Maka ibadah mendekat dan mengenal Tuhan harus berbekal cinta. Ibadah dengan bekal cinta pada Allah itu berbuah keyakinan, dan keyakinan yang tinggi itu menjadi cahaya hati. Hati orang ‘arif billah yang bercahaya menurut Dzunnun al-Mashri (w. 155 H), tidak menghilangkan sifat wara'-nya (keperwiraan), tidak meremehkan hukum-hukum syariat, dan karamahNya tidak merusak ketaatannya pada Allah." (Risalah Qusyairiyah, hal. 143). Jadi ketaatan seorang ‘abid meningkat menjadi kecintaan seorang ‘arif.
Namun menjadi seorang menjadi ‘arif ada tiga tingkatan. Pertama tingkat orang awam; kedua tingkat adalah ulama yang mencapai ma’rifat melalui logikanya, dan terakhir adalah wali yang keimanannya sudah tingkatan ihsan. (M.Abdul Mun'im Khofaji, at-Turats ar-Ruhi littashawwuf al-Islami fi Misr, hal. 40). Untuk para wali yang memperoleh al-Kasyf, ia akan melihat sesuatu yang nyata (batin) seperti melihat dengan mata kepalanya (ra'yal ain). (Thusi, Alluma', hal. 422)
Ma’rifat tingkat kedua itu biasa disebut ‘ilm. Ilmu adalah pengetahuan yang biasa diperoleh dengan pancaindera dan nalar melalui I'tibar atau istibshar disebut ilmu. Ma’rifat pada tingkat ketiga (ma’rifah) diperoleh tidak dengan cara ilmiyah bahkan yang bersangkutan tidak tahu bagaimana ia datang.
Ma’rifah jenis ini disebut ilham. Ilham bisa dimiliki siapa saja, namun yang tertinggi dimiliki oleh para wali atau para sufi yang berislam pada tingkat ihsan. Pengetahuan sejenis ilham tapi pada tingkat yang tertinggi disebut wahyu, yang khusus diberikan kepada para nabi.
Mengenal Allah dengan cara-cara sufi perlu dikembangkan untuk mereka-mereka yang sibuk dengan urusan dunia. Hal ini dengan cara menjadikan segala usahanya untuk ibadah pada Allah, mengkaitkan segala cintanya hanya untuk Allah, dan menghilangkan segala ingatannya kecuali ingat Allah.
Orang yang berma’rifah dengan cara begitu, niscaya tidak akan pernah khawatir akan segala masalah yang menimpanya di dunia. Jika ia mendapatkan b
ala’ atau cobaan di dunia ia faham bahwa Allah sedang mengujinya. Ia pun sabar karena cobaan pasti berakhir dengan kelulusan dan ganjaran.
Jika seorang ‘arfi billah mendapatkan nikmat dan karunia Allah swt, ia juga tahu ini juga ujian dari Allah swt, apakah hamba akan bersyukur atau kufur. Ia pun besyukur, sebab ia merasa cintanya tidak sebanding dengan nikmatNya. Disini nasehat Umar ibn Khattab menjadi relevan:”Di dunia ini ada dua kendaraan yang akan membawa seseorang hidup dengan selamat yaitu sabar dan syukur”
Jika seorang ‘arfi billah mendapatkan nikmat dan karunia Allah swt, ia juga tahu ini juga ujian dari Allah swt, apakah hamba akan bersyukur atau kufur. Ia pun besyukur, sebab ia merasa cintanya tidak sebanding dengan nikmatNya. Disini nasehat Umar ibn Khattab menjadi relevan:”Di dunia ini ada dua kendaraan yang akan membawa seseorang hidup dengan selamat yaitu sabar dan syukur”
AL-GHAZALI DIMATA M. NATSIR
Oleh: Dr. Adian Husaini
Mohammad Natsir (1908-1993) dikenal sebagai pejuang Islam Indonesia yang pada 2008 mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Natsir juga seorang pemikir dan pelopor pendidikan Islam. Tulisan-tulisannya yang dihimpun dalam buku Capita Selecta menunjukkan ketinggian keilmuan M. Natsir. Meskipun hanya mengenyam pendidikan formal setingkat AMS (Algemene Middelbare School), setingkat SMA sekarang, tetapi Natsir memiliki kacintaan yang sangat tinggi dalam mencari ilmu.
Tumbuh dalam asuhan pendidikan keagamaan oleh A. Hassan, seorang tokoh modernis, Natsir mampu mengembangkan pemikirannya jauh melampui lingkungan pendidikan formalnya. Pada sekitar tahun 1930-an, dalam usia sekitar tiga puluhan, Natsir telah aktif menulis tentang berbagai persoalan keilmuan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah dengan berbagai kalangan. Melalui tulisan-tulisannya, ketika itu, tampak Natsir sudah membaca berbagai literatur tentang aqidah, sejarah, ilmu kalam, tasawuf, filsafat, syariah, perbandingan agama, dan sebagainya. Hampir dalam setiap tulisannya, Natsir mampu meramu dengan baik, sumber-sumber dari kalangan Muslim maupun karya-karya orientalis Barat. Ambillah satu contoh sebuah artikel berjudul ”Muhammad al-Ghazali (450-505 H, 1058-1111)”, yang dimuat di majalah Pedoman Masyarakat, April 1937.
Dalam artikel ini, Natsir memaparkan keagungan pemikiran dan kiprah al-Ghazali dibandingkan dengan prestasi ilmuwan-ilmuwan Barat. Kitab Maqashidul Falasifah-nya al-Ghazali, misalnya, sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin pada abad ke-12 M. Di sini, Natsir juga menguraikan teori kausalitas al-Ghazali yang mendahului teori David Hume (1711-1776) tujuh ratus tahun sebelumnya. Natsir membantah bahwa David Hume lah sarjana pertama yang mengungkap teori kausalitas (causaliteitleer). Natsir tidak menolak jasa David Hume dalam soal ini. Tetapi, tulisnya, ”jangan dilupakan, bahwa 700 tahun sebelum David Hume, telah pernah seorang filosof Muslim di daerah Timur yang mengupas masalah ini dalam Kitabnya, Tahafutul Falasifah.”
Setelah mengupas sedikit teori kausalitas al-Ghazali, Natsir mengingatkan: ”Aneh! Hal ini rupanya tidak hendak diingat orang. Dan kalau kita ketahui bahwa seorang filosof Barat sebagai Immanuel Kant mengakui, bahwa David Hume-lah yang membukakan matanya, dapatlah kita mengira-ngirakan betapa besar kadarnya kekuatan ruhani Ghazali dibandingkan dengan filosof-filosof yang masyhur di Barat itu.”
Kemudian, secara khusus, Natsir memberi komentar terhadap pemikiran al-Ghazali: ”Kalau Imam Ghazali oleh karena ini tidak dinamakan seorang filosof-’aqli, maka itu tidak berarti bahwa akalnya kurang dipakai dibandingkan dengan filosof yang lain-lain. Tak kurang Al-Ghazali mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam sekali dalam kitabnya yang tersebut di atas. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan tak kurang pula menyusun ilmu-ilmu yang tahan uji dibandingkan dengan karangan-karangan filosof yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman akalnya dan memakai akal itu sebagai salah satu nikmat yang dikurniakan Allah kepada manusia. Tapi dalam pada itu ia tidak hendak lupa, bahwa akal ini pun dapat bekerja hanya sampai kepada suatu batas yang tak dapat dilampaui. Apabila filosof yang lain masih terus juga menurunkan akal itu ke mana-mana, di bawa oleh akal itu sendiri, walaupun sudah bukan medan pekerjaannya lagi, -- serta menjadikan akal sebagai hakim yang menghabiskan dalam semua hal --, pada saat yang demikian itu Imam Ghazali tidak enggan berkata dengan khusyu’ ”wallahu a’lam!” – ”Allah yang lebih mengetahui!” – dan kembali kepada Kitab (Al-Quran), Yang tak syak lagi menjadi petunjuk bagu mereka yang takwa.”
Melalui artikel yang pendek tersebut, Natsir menguraikan jasa-jasa besar al-Ghazali bagi umat Islam, disamping juga kontroversi terhadap pemikirannya dan apresiasi para ilmuwan Barat terhadapnya. Terhadap kontroversi terhadap pemikiran al-Ghazali,
Oleh: Dr. Adian Husaini
Mohammad Natsir (1908-1993) dikenal sebagai pejuang Islam Indonesia yang pada 2008 mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Natsir juga seorang pemikir dan pelopor pendidikan Islam. Tulisan-tulisannya yang dihimpun dalam buku Capita Selecta menunjukkan ketinggian keilmuan M. Natsir. Meskipun hanya mengenyam pendidikan formal setingkat AMS (Algemene Middelbare School), setingkat SMA sekarang, tetapi Natsir memiliki kacintaan yang sangat tinggi dalam mencari ilmu.
Tumbuh dalam asuhan pendidikan keagamaan oleh A. Hassan, seorang tokoh modernis, Natsir mampu mengembangkan pemikirannya jauh melampui lingkungan pendidikan formalnya. Pada sekitar tahun 1930-an, dalam usia sekitar tiga puluhan, Natsir telah aktif menulis tentang berbagai persoalan keilmuan dan terlibat dalam perdebatan ilmiah dengan berbagai kalangan. Melalui tulisan-tulisannya, ketika itu, tampak Natsir sudah membaca berbagai literatur tentang aqidah, sejarah, ilmu kalam, tasawuf, filsafat, syariah, perbandingan agama, dan sebagainya. Hampir dalam setiap tulisannya, Natsir mampu meramu dengan baik, sumber-sumber dari kalangan Muslim maupun karya-karya orientalis Barat. Ambillah satu contoh sebuah artikel berjudul ”Muhammad al-Ghazali (450-505 H, 1058-1111)”, yang dimuat di majalah Pedoman Masyarakat, April 1937.
Dalam artikel ini, Natsir memaparkan keagungan pemikiran dan kiprah al-Ghazali dibandingkan dengan prestasi ilmuwan-ilmuwan Barat. Kitab Maqashidul Falasifah-nya al-Ghazali, misalnya, sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin pada abad ke-12 M. Di sini, Natsir juga menguraikan teori kausalitas al-Ghazali yang mendahului teori David Hume (1711-1776) tujuh ratus tahun sebelumnya. Natsir membantah bahwa David Hume lah sarjana pertama yang mengungkap teori kausalitas (causaliteitleer). Natsir tidak menolak jasa David Hume dalam soal ini. Tetapi, tulisnya, ”jangan dilupakan, bahwa 700 tahun sebelum David Hume, telah pernah seorang filosof Muslim di daerah Timur yang mengupas masalah ini dalam Kitabnya, Tahafutul Falasifah.”
Setelah mengupas sedikit teori kausalitas al-Ghazali, Natsir mengingatkan: ”Aneh! Hal ini rupanya tidak hendak diingat orang. Dan kalau kita ketahui bahwa seorang filosof Barat sebagai Immanuel Kant mengakui, bahwa David Hume-lah yang membukakan matanya, dapatlah kita mengira-ngirakan betapa besar kadarnya kekuatan ruhani Ghazali dibandingkan dengan filosof-filosof yang masyhur di Barat itu.”
Kemudian, secara khusus, Natsir memberi komentar terhadap pemikiran al-Ghazali: ”Kalau Imam Ghazali oleh karena ini tidak dinamakan seorang filosof-’aqli, maka itu tidak berarti bahwa akalnya kurang dipakai dibandingkan dengan filosof yang lain-lain. Tak kurang Al-Ghazali mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam sekali dalam kitabnya yang tersebut di atas. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan tak kurang pula menyusun ilmu-ilmu yang tahan uji dibandingkan dengan karangan-karangan filosof yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman akalnya dan memakai akal itu sebagai salah satu nikmat yang dikurniakan Allah kepada manusia. Tapi dalam pada itu ia tidak hendak lupa, bahwa akal ini pun dapat bekerja hanya sampai kepada suatu batas yang tak dapat dilampaui. Apabila filosof yang lain masih terus juga menurunkan akal itu ke mana-mana, di bawa oleh akal itu sendiri, walaupun sudah bukan medan pekerjaannya lagi, -- serta menjadikan akal sebagai hakim yang menghabiskan dalam semua hal --, pada saat yang demikian itu Imam Ghazali tidak enggan berkata dengan khusyu’ ”wallahu a’lam!” – ”Allah yang lebih mengetahui!” – dan kembali kepada Kitab (Al-Quran), Yang tak syak lagi menjadi petunjuk bagu mereka yang takwa.”
Melalui artikel yang pendek tersebut, Natsir menguraikan jasa-jasa besar al-Ghazali bagi umat Islam, disamping juga kontroversi terhadap pemikirannya dan apresiasi para ilmuwan Barat terhadapnya. Terhadap kontroversi terhadap pemikiran al-Ghazali,
Natsir menulis, bahwa itu: ”... ialah suatu hal yang galib diterima oleh setiap orang yang berjalan di muka bumi merintis jalan baru, yang mendengarkan suara keyakinan yang teguh yang berbisik di dalam hati, dan tidak hendak turut-turut ke hilir ke udik, seperti pucuk aru dihembus angin.”
Penguasaan Natsir terhadap pemikiran-pemikiran para pemikir Muslim klasik bisa dilihat dalam berbagai artikelnya dalam buku Capita Selecta yang mengupas sosok dan pemikiran Ibnu Thufail, Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Abu Nasr Al-Farabi, Ikhwan as-Shafa, juga kupasannya tentang aliran Mu’tazailah dan Ahli Sunnah. Meskipun sangat memahami seluk beluk peradaban Barat, melalui berbagai tulisannya yang mengupas keagungan sejarah peradaban dan pemikir Muslim, Natsir menyampaikan pesan yang jelas kepada kaum Muslim: ”Jangan merasa rendah diri melihat kehebatan peradaban Barat!” (***).
Penguasaan Natsir terhadap pemikiran-pemikiran para pemikir Muslim klasik bisa dilihat dalam berbagai artikelnya dalam buku Capita Selecta yang mengupas sosok dan pemikiran Ibnu Thufail, Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Abu Nasr Al-Farabi, Ikhwan as-Shafa, juga kupasannya tentang aliran Mu’tazailah dan Ahli Sunnah. Meskipun sangat memahami seluk beluk peradaban Barat, melalui berbagai tulisannya yang mengupas keagungan sejarah peradaban dan pemikir Muslim, Natsir menyampaikan pesan yang jelas kepada kaum Muslim: ”Jangan merasa rendah diri melihat kehebatan peradaban Barat!” (***).
TAFSIR AL WASITH
Penulis: Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili
*Harga diskon: Rp. 550.000,-*
Harga normal: Rp 822.000.-
*Free Ongkir wilayah Jawa & Madura*
Sinopsis:
Salah satu cara untuk menambah pengetahuan dan pemahaman kaum muslimin terhadap dinul Islam adalah dengan membaca literaturnya, yaitu tafsir Al-Qur’an. Buku ini hadir untuk memenuhi hal itu. Sebab, buku ini merupakan rujukan tafsir terbaik secara bobot dan kualitas.
Dalam tafsir yang terdiri dari 3 jilid ini, Anda akan mendapatkan poin-poin bahasan penting yaitu:
1. Tafsir ini bersandar pada prinsip-prinsip tafsir bil-ma
2. Tafsir ini menjelaskan kandungan ayat secara terperinci dan menyeluruh, serta dengan gaya bahasa sederhana dan mudah dicerna.
3. Tafsir ini menjelaskan sebab turunnya ayat (azbabun nuzul ayat) yang shahih dan terpercaya.
4. Tafsir ini berpedoman pada kitab-kitab induk tafsir dengan berbagai manhaj-Nya.
5. Tafsir ini menghapus riwayat-riwayat Israiliyat.
6. Sebuah referensi tafsir Al-Qur’an terbaik untuk menambah literatur keislaman Anda.
________________
Tafsir Al Wasith
Penulis: Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Harga normal: Rp 822.000.-
*Harga diskon: Rp. 550.000,-*
1 set berisi 3 jilid.
*Free ongkir untuk pulau Jawa dan Madura*. Berat total 4kg.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili
*Harga diskon: Rp. 550.000,-*
Harga normal: Rp 822.000.-
*Free Ongkir wilayah Jawa & Madura*
Sinopsis:
Salah satu cara untuk menambah pengetahuan dan pemahaman kaum muslimin terhadap dinul Islam adalah dengan membaca literaturnya, yaitu tafsir Al-Qur’an. Buku ini hadir untuk memenuhi hal itu. Sebab, buku ini merupakan rujukan tafsir terbaik secara bobot dan kualitas.
Dalam tafsir yang terdiri dari 3 jilid ini, Anda akan mendapatkan poin-poin bahasan penting yaitu:
1. Tafsir ini bersandar pada prinsip-prinsip tafsir bil-ma
tsur dan tafsir bir-ra
yi.2. Tafsir ini menjelaskan kandungan ayat secara terperinci dan menyeluruh, serta dengan gaya bahasa sederhana dan mudah dicerna.
3. Tafsir ini menjelaskan sebab turunnya ayat (azbabun nuzul ayat) yang shahih dan terpercaya.
4. Tafsir ini berpedoman pada kitab-kitab induk tafsir dengan berbagai manhaj-Nya.
5. Tafsir ini menghapus riwayat-riwayat Israiliyat.
6. Sebuah referensi tafsir Al-Qur’an terbaik untuk menambah literatur keislaman Anda.
________________
Tafsir Al Wasith
Penulis: Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Harga normal: Rp 822.000.-
*Harga diskon: Rp. 550.000,-*
1 set berisi 3 jilid.
*Free ongkir untuk pulau Jawa dan Madura*. Berat total 4kg.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
*AL ISLAM*
Syaikh Said Hawwa
*--Harga Diskon Rp. 190.000,-*(harga normal Rp. 273.000).
Sinopsis:
Islam adalah agama yang sempurna dan ‘syamil’ menyeluruh. Ia membahas kehidupan empiris dan gaib secara integral, memadukan keshalihan jiwa dan baiknya kehidupan dalam sistem yang selaras dengan fitrah, dan masih berjuta keistimewaan lainnya yang disandang oleh agama para nabi dan rasul ini.
Ironisnya, islam yang begitu sempurna dan indah, hanya sekedar dikagumi banyak orang, sementara pemeluknya yang sekarang berada dalam keterbelakangan, berupaya mencari solusi dan pedoman dalam sistem lain. Padahal tiada jalan untuk meraih kejayaan, melainkan bersama islam. Mereka bagaikan seekor unta yang mati kehausan, padahal di punggungnya terdapat air yang segar.
Buku Al-islam ini sangat anda perlukan, karena ia membedah ajaran islam secara mendalam, komperehensif dan lugas yang dilandasi Al-qur`an dan As-sunnah, dan argumen-argumen logika. Setelah melahap buku ini anda akan berkata “sungguh islam adalah agama yang menyeluruh aspek kehidupan. Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menerapkan dan memperjuangkannya”.
ng harus dibawa.
Penulis, seorang mujahid dakwah yang dengan pengalamannya di medan harakah Islamiyah telah menuliskan bekal apa saja yang harus dimiliki oleh seorang jundullah. Terutama yang disoroti adalah tentang intelektualitas dan akhlak seorang jundullah, suatu aspek yang sangat penting dan mendasar. Uraian kajiannya komprehensif sehingga dengannya seseorang siap menjadi jundullah; golongan yang akan selalu dimenangkan Allah dalam medan kehidupan.
--------------------------------
Al Islam
ISBN: 9786022504764
Berat Produk: 1.5 kg
Ukuran: 25cm x 17.3cm (704 halaman)
Sampul: Hard Cover
Harga Diskon Rp. 190.000,- (harga normal Rp. 273.000,-)
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Syaikh Said Hawwa
*--Harga Diskon Rp. 190.000,-*(harga normal Rp. 273.000).
Sinopsis:
Islam adalah agama yang sempurna dan ‘syamil’ menyeluruh. Ia membahas kehidupan empiris dan gaib secara integral, memadukan keshalihan jiwa dan baiknya kehidupan dalam sistem yang selaras dengan fitrah, dan masih berjuta keistimewaan lainnya yang disandang oleh agama para nabi dan rasul ini.
Ironisnya, islam yang begitu sempurna dan indah, hanya sekedar dikagumi banyak orang, sementara pemeluknya yang sekarang berada dalam keterbelakangan, berupaya mencari solusi dan pedoman dalam sistem lain. Padahal tiada jalan untuk meraih kejayaan, melainkan bersama islam. Mereka bagaikan seekor unta yang mati kehausan, padahal di punggungnya terdapat air yang segar.
Buku Al-islam ini sangat anda perlukan, karena ia membedah ajaran islam secara mendalam, komperehensif dan lugas yang dilandasi Al-qur`an dan As-sunnah, dan argumen-argumen logika. Setelah melahap buku ini anda akan berkata “sungguh islam adalah agama yang menyeluruh aspek kehidupan. Karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menerapkan dan memperjuangkannya”.
ng harus dibawa.
Penulis, seorang mujahid dakwah yang dengan pengalamannya di medan harakah Islamiyah telah menuliskan bekal apa saja yang harus dimiliki oleh seorang jundullah. Terutama yang disoroti adalah tentang intelektualitas dan akhlak seorang jundullah, suatu aspek yang sangat penting dan mendasar. Uraian kajiannya komprehensif sehingga dengannya seseorang siap menjadi jundullah; golongan yang akan selalu dimenangkan Allah dalam medan kehidupan.
--------------------------------
Al Islam
ISBN: 9786022504764
Berat Produk: 1.5 kg
Ukuran: 25cm x 17.3cm (704 halaman)
Sampul: Hard Cover
Harga Diskon Rp. 190.000,- (harga normal Rp. 273.000,-)
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Ada narasi yang berbeda beda dalam menunjukkan kesetiaan terhadap NKRI dan Pancasila antara sesama umat Islam, antara para tokoh politik, pejabat dan kelompok nasionalis sekuler. Perbedaan itu mengakibatkan stigmatisasi yang tidak akurat sehingga saling curiga antara anak bangsa tidak bisa dihindarkan. Solusinya ada ditangan penguasa, tapi penguasa harus mampu membawa narasi yang lebih kuat yang secara konseptual relevan dengan Worldview bangsa yaitu Pancasila dan secara praktikal dapat dilaksanakan secara adil dan beradab, serta dapat dibela dan dipertahankan. Jika tidak maka bangsa ini akan mengalami chaos yang sulit diselesaikan.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
ORIENTALIS DAN DIABOLISME PEMIKIRAN
Penulis: Dr. Syamsuddin Arif
Tulisan-tulisan Dr. Syamsuddin Arif tentang pemikiran Islam dan pemikiran Barat telah membuka cakrawala baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. Melalui berbagai tulisannya, ia telah membuktikan sebagai sosok intelektual yang memegang teguh nilai-nilai akademis ilmiah yang tinggi dan sekaligus memegang teguh posisinya sebagai seorang Muslim. Kemunculan Dr. Syamsuddin Arif dalam blantika pemikiran Islam di Indonesia telah mematahkan mitos kaum orientalis dan murid-muridnya di Indonesia, bahwa menjadi sarjana Muslim yang baik tidak harus disertai dengan melepaskan sikapnya sebagai Muslim. Bagi cendikiawan Betawi ini, seorang Muslim bisa menjadi good scholar dan good Muslim pada waktu yang sama. Karena itulah, buku Dr. Syamsuddin Arif ini sangat penting untuk dibaca oleh kaum Muslim di Indonesia.
-Adian Husaini-
---------------
Harga: Rp. 98.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997
Syukran...
Penulis: Dr. Syamsuddin Arif
Tulisan-tulisan Dr. Syamsuddin Arif tentang pemikiran Islam dan pemikiran Barat telah membuka cakrawala baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. Melalui berbagai tulisannya, ia telah membuktikan sebagai sosok intelektual yang memegang teguh nilai-nilai akademis ilmiah yang tinggi dan sekaligus memegang teguh posisinya sebagai seorang Muslim. Kemunculan Dr. Syamsuddin Arif dalam blantika pemikiran Islam di Indonesia telah mematahkan mitos kaum orientalis dan murid-muridnya di Indonesia, bahwa menjadi sarjana Muslim yang baik tidak harus disertai dengan melepaskan sikapnya sebagai Muslim. Bagi cendikiawan Betawi ini, seorang Muslim bisa menjadi good scholar dan good Muslim pada waktu yang sama. Karena itulah, buku Dr. Syamsuddin Arif ini sangat penting untuk dibaca oleh kaum Muslim di Indonesia.
-Adian Husaini-
---------------
Harga: Rp. 98.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997
Syukran...