MUSTANIR ONLINE
3.24K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
*TAFSIR AL AZHAR*
Penulis: Prof. Dr. Hamka.
----------------------------------------
*DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET* menjadi 2.327.000,- (Harga normal Rp. 2.727.000,-)
-----------------------------------------

Sinopsis:
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliau di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab.

Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
Tafsir Al-Azhar
Penulis: Buya Hamka

*DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET* menjadi 2.327.000,- (Harga normal Rp. 2.727.000,-)
1 set berisi 9 jilid (plus box) dengan berat 16Kg.

Pemesanan silahkan SMS/whatsapp 087878147997.

Syukran....
Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku dan memberi salam kepadaku. Kemudian berkata, ’Wahai Muhammad, hal itu terserah padamu. Jika engkau menghendaki aku meratakan mereka dengan Al Akhasyaibain maka akan aku lakukan.”

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1324511154355498&id=153825841424041
Ada pula yang ragu apakah al-Quran benar-benar wahyu Allah, sedangkan ia percaya rukun Iman. Kini malah ada wanita Muslimah berjilbab, tapi protes mengapa Tuhan begitu maskulin. Malah tidak aneh jika seorang ahli tahajjud dengan keningnya yang hitam, juga seorang Marxist.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1326597620813518&id=153825841424041
SEJARAH TOLERANSI ISLAM PADA KAUM KAFIR
Oleh: Dr. Adian Husaini

**
”There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire”
(Karen Armstrong)
**

Pada tahun 1973, cendekiawan Muslim, H. Zainal Abidin Ahmad (ZAA), menerbitkan bukunya yang berjudul Piagam Nabi Muhammad S.A.W.: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Dalam bukunya, ZAA banyak mengutip pendapat Prof. Hamidullah, seorang pakar manuskrip kuno. (Lihat juga, Muhammad Hamidullah, The Prophet’s Establishing a State and His Succession, (Pakistan Hijra Council, 1988).

Melalui riset yang sangat serius mulai tahun 1961 sampai tahun 1973, ZAA akhirnya berhasil menyajikan sebuah buku yang memuat Piagam Madinah dalam berbagai versi bahasa. Istilah Konsitusi Madinah diberikan oleh seorang orientalis, W. Montgomery Watt. Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menlu Pakistan, dan wakil Ketua Mahkamah Internasional, memberikan nama negara Madinah sebagai “Republik Madinah”. Buku ZAA ini memaparkan, bahwa Piagam Madinah sejatinya merupakan kontitusi negara tertulis pertama di dunia, mendahului Magna Charta di Inggris selama enam abad; dan mendahului Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis selama 12 abad.
Konstitusi Madinah diawali dengan ungkapan: “Bismillahirrahmanirrahiim. Haadzaa kitaabun min Muhammadin Nabiy Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bainal mu’miniina wal-muslimiina min quraisyin wa-yatsriba wa man tabi’ahum falahiqa bihim wa jaahada ma’ahum.” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah Piagam tertulis dari Nabi Muhammad saw kepada orang-orang mukmin dan muslim, baik yang berasal dari suku Quraisy maupun suku Yatsrib, dan kepada segenap warga yang ikut bersama mereka, yang telah membentuk kepentingan bersama dengan mereka dan telah berjuang bersama mereka).

Piagam Madinah ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu negara pun di dunia yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antara umat beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sudah jelas mengatur hubungan tersebut. Misalnya (terjemah oleh ZAA): Pasal 16: “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.” Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudi memikul beaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.” Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah satu bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.

Sampai dengan wafatnya, Nabi Muhammad saw telah melakukan interaksi intensif dengan seluruh kelompok agama (paganis, Yahudi, Nasrani), budaya-budaya dominan, dan kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu (Persia dan Romawi). Ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, menggambarkan bagaimana kaum Muslim telah digembleng dan diberi pedoman yang sangat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di luar Islam.

Bahkan, al-Quran juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain – tanpa perlu mengubah istilah ‘kafir’. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan, "Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani).

Umar Melanjutkan
Prestasi Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar bin Khattab yang pada
tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya.
Karen Armstrong mencatat: “Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. (Lihat, Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228.).

Toleransi Islam terhadap kaum Yahudi dan agama lain sebenarnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah. Setelah diusir dari Spanyol, kaum Yahudi ditampung dan dilindungi di wilayah Turki Utsmani. Sebagai contoh, di Jerusalem, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Agung (Suleiman the Magnificent -- 1520-1566), Yahudi hidup berdampingan dengan kaum Muslim. Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535, David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Uthmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisi-posisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat: “Here we are not in exile, as in our own country.” (Kami di sini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri). (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 325-326.)
Karen Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstrong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di al-Andalus. Musnahnya Yahudi Spanyol telah menimbulkan penyesalan seluruh dunia dan dipandang sebagai bencana terbesar yang menimpa Israel sejak kehancuran (Solomon) Temple. Abad ke-15 juga telah menyaksikan meningkatnya persekusi anti-Semitik di Eropa, dimana kaum Yahudi dideportasi dari berbagai kota. (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 326-327).

Begitu besar jasa Islam terhadap Barat, sampai-sampai Tim Wallace-Murphy dalam bukunya, "What Islam Did for Us", mencatat: “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid).

Dengan tetap memegang teguh keyakinan akan kebenaran Islam sebagai agama yang diridhai Allah SWT, dan tanpa mengubah istilah ‘kafir’ yang sudah baku dalam al-Quran, umat Islam telah terbukti dalam sejarah, berhasil mewujudkan kehidupan harmonis dalam bermasyarakat dan bernegara, serta mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.
Kini, tugas besar kita, sebagai umat Islam, adalah berjuang untuk menjadi umat terbaik, sehingga kembali menjadi teladan kehidupan bagi umat manusia lainnya. Wallahu A’lam.
---------------------------------------------
NB. Lebih jauh tentang Sejarah Toleransi Islam, lihat buku “Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam”, (Jakarta: GIP, 2018). Silakan hubungi SMS/whatsapp ke 087878147997.
PERNYATAAN SIKAP PIMPINAN PUSAT BADAN KERJASAMA PONDOK PESANTREN INDONESIA (BKsPPI) TENTANG TERMINOLOGI "KAFIR"

1. Diksi 'kafir' merupakan diksi yang sudah baku dalam syariat Islam, yang bermakna tertutupnya jiwa seseorang dari kebenaran Islam yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Diksi ini digunakan dalam ayat-ayat Al-Qur'an baik yang diturunkan di Makkah, maupun di Madinah;

2. Secara makna, setiap agama juga memiliki keyakinan 'kafir' yang sama terhadap siapa pun yang tidak mempercayai kebenaran agama yang dianut masing-masing, dan toleransi justru dibangun di atas saling menghargai iman yang memang berbeda dan tidak boleh disatukan;

3. Umat Islam menolak paham saling mengkafirkan sesama umat Islam, namun hal ini tidak bisa menjadi justifikasi untuk menghilangkan makna kafir bagi non-Muslim yang wajib dibahas dalam ragam forum ilmiah, baik ta'lim, tabligh, khutbah jum'at, maupun di ruang-ruang pendidikan umat Islam karena menyangkut bab aqidah sebagai pondasi iman, dan karena sedikit kasus-kasus yang muncul ditujukan justru kepada Muslim, sehingga diskursus ini dipandang tidak kontekstual;

4. Bangsa Indonesia dari agama mana pun terbukti dalam sejarah yang panjang, bebas untuk mencalonkan diri mereka di wilayah politik, namun Umat Islam juga memiliki panduan politik bagaimana memilih sosok Muslim yang taat,siddiq, amanah, dan profesional;

5. Umat Islam tidak pernah terbiasa dan tidak pernah dibiasakan untuk menyebut kafir kepada Non-Muslim di ruang publik, justru umat Islam wajib menghadirkan adab atau akhlak terbaik kepada Non-Muslim, sehingga mengangkat isu 'kafir' dalam forum ilmiah Bahtsul Masail dipandang tidak memiliki justifikasi yang kuat;

6. Terdapat hal-hal yang lebih penting untuk diprioritaskan bagi keutuhan bangsa Indonesia akhir-akhir ini seperti munculnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dibangun di atas Naskah Akademik yang sarat bermuatan Ideologi Trans Nasional Feminisme Radikal;

7. Sebagai warga negara (muwathin) Indonesia dalam perspektif kebangsaan (muwathanah), umat Islam diberikan hak untuk menggunakan hukum Islam dalam beberapa hal yang dilindungi seperti dalam masalah hukum pernikahan, pewarisan, dan sejenisnya;

8. Negara tidak boleh sampai mengintervensi kandungan keyakinan pemahaman agama yang harus steril dari kepentingan politik praktis dan sesaat;

9. Dalam situasi politik menuju 17 April 2019 ini, hendaknya para ulama dapat bersama-sama menciptakan situasi yang kondusif untuk keutuhan bangsa dan negara Indonesia, terutama untuk mengamalkan pesan Nabi Muhammad Saw.:

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , و المهاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نهَى اللهُ عَنْهُ

_“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah.”_ (HR. al-Bukhari No. 10 dan Muslim No. 40 )
10. Masalah kemusliman dan kekufuran adalah masalah aqidah yang jelas garis perbedaannya, tidak boleh mencampur dan mengaburkan antara haq dan batil.
11. Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhoi Allah, mencari agama di luar Islam adalah kesesatan dan ditolak oleh Allah.
12. Menolak segala macam upaya untuk meragukan, mengaburkan dan mengubah ajaran Islam yang telah ditetapkan Allah dalam Al Qur'an.
13. Menghimbau kepada seluruh masyarakat, ormas-ormas Islam dan pesantren untuk mewaspadai segala macam bentuk progam liberalisasi ajaran Islam yang menyesatkan umat.

Bogor, 04 Maret 2019 M/27 Jumadil Akhir 1440 H.

TTD
PIMPINAN PUSAT BKsPPI
Ketua
Prof.Dr.KH.Didin Hafidhuddin, MS.
Sekum
Dr.H.Akhmad Alim, Lc.,MA.
IJMA'
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada tanggal 27-28 Mei 2013 yang lalu Gerakan Fathullah Gulen mengadakan perhelatan besar di Istanbul. Acara yang diadakan di Istanbul Convention Center itu dihadiri oleh sekitar 5000 peserta dari 80 negara. Acaranya tidak seserius seminar karena jumlah pesertanya yang cukup banyak, dan tidak sesederhana Tabligh Akbar atau istighatsah karena materinya cukup penting dan berbobot.

Konferensi dua hari dengan tema Ijma wa al-Wa’yu al-jama’i (Ijma’ dan Kesadaran Bersama) menghadirkan kurang lebih 18 pembicara dari negara-negara Arab, India, Tunis, Maroko, Sudan, Qatar, Negeria, dan Turkey sendiri. Diantaranya adalah Prof. Dr. Ali Juma mantan Mufti Besar Mesir, Rashid al-Ghannushi, Tunisia, Prof. Dr. Isam al-Bashir, Sudan, Prof. Dr. Sayfu’d-Din Abdul Fattah, Cairo University, Prof. Dr. Muhammad Babaammi, Aljazair, Mukhtar ash-Shinqitee, Qatar, Prof. Dr. Abdul Majid Najjar, Tunisia dan beberapa ulama dan intelektual asal Turkey sendiri.

Diantara yang topic penting yang diangkat adalah sbb: Ijma Sebagai Sumber Ilmu, Kebenaran Ijma, Pentingnya Ijma Para Sahabat Nabi, Praktek Ijma’ di Zaman Umar, Khulafa al-Rasyidun dan Masyarakat Rasyid, Ijma’ Politik di zaman Sahabat, Institusionalisasi Ijma’, Standar Nilai dan Metode Training bagi Menciptakan Kultur Ijma, Aspek Spiritual dalam Kultur Ijma’, Dinamika Melahirkan Generasi Ijma’.

Dalam Key Note Speech-nya Ali Jum’ah membuka pernyataan yang cukup menarik. Semua bidang umat Islam kini bermasalah, bidang politik misalnya hingga kini belum mencapai periode anak-anak sekalipun. Bidang ekonomi Islam kini masih memerlukan kerja yang lebih keras lagi, dan sebagainya. Maka dari itu kita sangat membutuhkan kesadaran bersama dalam bentuk Ijma’.

Ijma’ dalam tradisi Fiqih berarti kesepakatan semua mujtahid dari ummat Muhammad saw pada zaman tertentu sesudah zaman Nabi Muhammad dalam masalah syariah. Disini tauladan yang diambil para ulama adalah Ijma’ yang dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidun (para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk).

Ijma’ yang diakukan oleh para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk dasarnya adalah keimanan, ketaqwaan, keikhlasan, ilmu pengetahuan, kesabaran, kesungguhan, kesadaran individu terhadap jama’ah. Artinya para khalifah yang mendapat petunjuk itu (khulafa’ al-rasyidun) itu didukung oleh masyarakat yang mendapat petunjuk pula (mujtama’ al-rasyid).

Maka kesepakatan (Ijma’) masyarakat di zaman tabi’in untuk memilih pemimpin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali itu adalah termasuk ijma’, dan itu tidak salah karena mendapat petunjuk Allah. Sebab Rasulullah telah meramalkan “Ummatku tidak akan berijma’ (bersepakat) dalam kesesatan.” Mazhab atau kelompok apapun yang menyalahkan ijma’ tersebut maka maka kelompok itu telah menyalahkan Nabi.

Tidak ada yang menafikan bahwa ‘ijma adalah sumber ilmu dalam Islam, dan kini umat Islam kini perlu melakukannya. Namun, persoalannya bagaimana ber-ijma’ di zaman sekarang ini. Ijma’ dalam masalah Fiqih adalah wajib menurut Abdul Hamid Mazkur. Tapi kini tantangannya tidak hanya dalam bidang Fiqih, bidang-bidang lain juga memerlukan ‘ijma.

Sayfu’d-Din Abdul Fattah, guru besar Universitas Kairo, menawarkan trilogi ijma. Pertama memaknai ulang kata ummah, kedua mengkaitkan ijma dengan pembaharuan, dan ketiga pelembagaan pelaksanaan Ijma’. Ketiga komponen ijma’ ini perlu diperjelas sebelum umat Islam melakukan suatu ijma’. Ini akan dapat menentukan apakah suatu kesepakatan dapat disebut Ijma’ atau tidak.

Kata ummah perlu dimaknai ulang, sebab ummah tidak sama dengan nation, kata Prof. Abbadi dari Maroko. Sedangkan ruang lingkup ijma’, menurut Prof. Abd. Hamid Mazkur dapat diperluas kepada masalah-masalah kemanusiaan dan bahkan keilmuan. Disini Abdul Majid Najjar dari Tunis mengusulkan agar universitas dijadikan tempat ijma’ para cendekiawan dalam masalah-masalah keilmuan. Sudah tentu, katanya, prosedur dan syarat ijma’ yang ditetapkan fuqaha harus ditepati.

Majid, bahkan menawarkan agar perlemen Negara Islam dijadikan lembaga ijma’. Jika ada ada angota non-Muslim di dalamnya maka ia harus berdasarkan keahli
an dalam bidang tertentu.

Semua pembicara seperti sepakat bahwa umat Islam perlu melakukan ‘ijma dalam bidang politik, budaya, ekonomi, kemanusiaan dan lain sebagainya. Untuk itu konferensi rekomendasi, diantaranya, agar konferensi seperti ini diadaka disetiap Negara Islam. Yang terpenting adalah agar ummat Islam seluruh dunia menciptakan organisasi khusus dan pusat-pusat studi keilmuan untuk mendukung proses ijma’ dalam berbagai bidang.
PERLUKAH UJIAN NASIONAL?
Oleh: Dr. Adian Husaini

Menurut hemat saya, ini bukan masalah pokok pendidikan kita. Ujian nasional bisa perlu, jika materi yang diujikan adalah hal-hal yang fardhu ain bagi siswa muslim. Seperti iman, ibadah wajib, akhlak mulia, dan baca Al Qur'an. Semua siswa muslim wajib lulus ujian hal-hal yang fardhu ain tersebut.

Tapi bisa juga itu tidak perlu dibuat UJIAN secara nasional oleh pemerintah pusat, sehingga perlu anggaran yang besar. Ujian itu bisa dilakukan oleh sekolah/pesantren masing-masing. Yang diutamakan adalah kompetensi nya. Bukan nilai2 formalitasnya.... Jadi, misalnya, secara nasional, di manapun, siswa SD yang muslim, harus TIDAK DILULUSKAN, jika belum bisa sholat yang benar, dan tidak bisa ngaji Al Qur'an. Begitu ketentuan UUD 1945 pasal 31 (C).

Karena itu, kurikulum pendidikan kita harus memberikan kesempatan para siswa/mahasiswa muslim untuk menguasai ilmu-ilmu fardhu ain, sebelum ilmu-ilmu fardhu kifayah, juga mendahulukan adab sebelum ilmu.

Masalah pendidikan kita bukan hanya bagaimana bisa cari makan, tapi yang lebih mendasar adalah bagaimana menjadi manusia yang baik. Manusia yang baik pasti bisa cari makan. Apalagi jika berjuang di jalan Allah, sudah pasti ditolong oleh Allah. Sebaliknya, yang bisa cari makan, belum tentu manusia yang baik. Wallaahu A'lam.
Di dunia ini setidaknya terdapat empat golongan orang dalam berislam: Golongan pertama orang Islam yang berilmu Islam, menjalankan Islam, berakhlaq Islam dan sangat perduli dengan urusan umat Islam. Golongan kedua, orang Islam yang sedikit berilmu Islam, menjalankan Islam, tapi tidak perduli dengan nasib umat Islam. Golongan ketiga, orang Islam yang tidak mempunyai ilmu Islam, tidak menjalankan syariat Islam dan tidak perduli terhadap urusan Islam. Golongan keempat, orang Islam yang belajar Islam, menjalankan sebagian syariat Islam, suka mengkritik dan terkadang benci terhadap Islam dan umat Islam, dan tidak perduli terhadap urusan umat Islam. Sayangnya, golongan pertama adalah minoritas, sedangkan golongan kedua dan ketiga mayoritas, dan golongan keempat sedikit jumlahnya tapi besar bahayanya. Rasulullah bersabda :"Barangsiapa tidak perduli terhadap urusan umat Islam, maka ia bukan dari golongan kita" (al-Hadith)
- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi -
"PERGURUAN TINGGI IDEAL DÌ ERA DISRUPSI"
Penulis: Dr. Adian Husaini

Sinopsis:
Saat ini kita memasuki Era disrupsi. Mau tidak mau, era ini memaksa terjadinya perubahan cepat, masif, dan kacau. Pilihannya dua: berubah atau punah.

Dunia Pendidikan Tinggi pun bergegas-gegas menyongsong perubahan. MOOCs (Massive Open Online Courses) makin marak. Sebab, lebih mudah, praktis, murah dan legal. Kedepan, KOMPETENSI -- bukan gelar formal -- yang lebih bernilai!

Disrupsi juga menggoncang iman dan akhlak mulia. Tantangan pembinaan iman taqwa makin berat. Tetapi, peluang justru sangat terbuka bagi Pondok-pondok Pesantren untuk mewujudkan Perguruan Tinggi ideal, sesuai dengan misi pesantren dan Tujuan Pendidikan Tinggi (UU no 12/2012). Bagaimana detilnya, silakan baca buku ini.

Buku ini bukan hanya kumpulan teori. Tapi konsep Pendidikan Tinggi ideal ini sedang diaplikasikan.

Ingat pesan Nabi kita, bahwa setiap anak lahir dalam fitrahnya. Orang tua si anak itu yang mendidik mereka menjadi "Yahudi", "Nasrani" atau "Majuzi". Mau kita jadikan apa anak kita?
------------------------
"PERGURUAN TINGGI IDEAL DÌ ERA DISRUPSI"
Penulis: Dr. Adian Husaini

Harga Rp. 125.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...
NURANI HOMO
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi - Direktur INSISTS

Asal muasal praktek homo (hubungan sejenis) di zaman ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan feminism dan kesetaraan gender di Barat. Kelompok yang paling keras memperjuangkan hal ini adalah feminis radikal libertarian dan radikal.

Dalam bukunya The Myth of ….Orgasm Ann Koedt banyak bicara kepuasan seks ini seperti memberi berargumentasi begini: "jika laki-laki berhak memperoleh kepuasan seksualnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan wanita, maka wanita pun berhak memperoleh kepuasan seksualnya tanpa laki-laki". Maka tak pelak lagi sejak 1970 Lesbianisme benar-benar muncul sebagai gerakan perempuan.

Jika kondisi para wanita di Barat demikian, maka tidak aneh jika kemudian laki-laki merespon. Kira-kira para lelaki disana akan sesumbar: "jika para wanita telah dapat memperoleh kepuasan seks mereka sendiri, maka kami pun dapat mendapatkan kepuasan seks kami sendiri". Itu semua merupakan embrio dari praktek dan prilaku homo alias hubungan sejenis alias lesbi dan gay.

Tapi argumen feminis tentang praktek homoseks ini membingungkan dan tidak normal. Para feminis sepakat bahwa ge rak an mereka berdasarkan keyakinan bah wa gender ditentukan oleh konstruk social. Artinya seseorang itu menjadi laki-laki atau perempuan karena masyarakat meng ingin kan demikian. Mengapa laki-laki macho dan masculine sedang perempuan itu feminin adalah karena masyarakat. Itu lah diantara alasannya mengapa gerakan femenisme dan kesetaraan gender men coba merubah masyarakat agar memperlakukan laki-laki dan perempuan setara.

Anehnya, ketika kini mereka membela kaum lesbi, gay, biseksual dan transgender, keyakinan mereka itu berubah. Sese orang menjadi homo itu adalah bawaan sejak lahir dan tidak dapat diubah. Misi yang mereka perjuangkan pun berganti ya itu agar pelaku homo, biseksual dan transgender ini diterima oleh masyarakat. Mengapa harus minta diterima masyara kat jika mereka lahir karena konstruk social.

Di kalangan psikolog di Amerika peru bahan yang terjadi lebih aneh lagi. Jika sebelum ini mereka sepakat bahwa peri kalu homoseks dan lesbi itu dianggap ab normal, maka kini mereka sepakat bahwa perilaku itu diangap normal belaka. Tidak puas dianggap normal kini berkembang menjadi tuntutan agar mereka dibolehkan menikah dengan sesama jenis.

Islam mengajarkan bahwa jenis kela min laki-laki dan perempuan itu dicipta kan demi kelestarian jenis manusia de ngan segala martabat kemanusiaannya (QS. an- Nisa [4]: 1). Perilaku seks yang menyimpang seperti homoseksual, lesbia nisme dan seks diluar pernikahan justru akan memusnahkan jenis makhluq manusia.

Maka jika orang al-Qur'an difahami dengan akal yang cerdas maka LGBT ti dak hanya menjijikkan, tapi bertentang an dengan naluri manusia normal. Me nikah seperti diatur dalam pasal 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 adalah "… .ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Jika ada yang masih berdalih "tidak ada larangan khusus dalam al-Qur'an", maka kita perlu faham mengapa Islam mengajarkan agar laki-laki diperlakukan seperti laki-laki dan perempuan seperti perempu an. Nabi saw. melaknat laki-laki yang me nyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki (HR. al-Bukhari). Na bi saw. juga memerintahkan kaum muslim agar me ngeluarkan kaum waria dari rumah-rumah mereka. Dalam riwa yat Abu Daud di ceritakan bahwa Beliau saw. pernah me merintahkan para saha bat mengusir se orang waria dan mengasingkannya ke Baqi'.

Dalam kasus kaum Nabi Luth Allah telah memperingatkan "Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk memuas kan nafsu syahwat kamu Dengan meninggalkan perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum Yang melampaui batas". (Su rah Al-'Araf : 80 81). Adapun mengenai hukumnya Nabi pun bersabda : Ba rangsiapa yang mendapatinya mela kukan amalan kaum Luth, maka bunuhlah pembuat dan yang kena buat"(Al-Mustad rak ' Ala Sahihain : 4/395 : hadis no : 8049). Sedangkan mereka yang melakukan amalan
musahaqah (lesbian), hukuman yang dikenakan kepada pelakunya adalah dengan dijatuhkan hukuman takzir. (Qanun Jinayah Syar'iyyah : m/s 38)

Berkaitan dengan perilaku homo ini Nabi bersabda "Apabila seorang lelaki men datangi lelaki lain (liwat), maka ke duaduanya adalah berzina"(Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra : 8/233 : hadis No : 16810). Selain dianggap berzina para pe laku homoseks ini dimurkai Allah. Nabi SAW bersabda "Empat golongan berada dalam kemur kaan Allah di pagi dan pe tang, iaitu lelaki yang menyerupai perempuan, pe rempuan yang menyerupai lelaki, me re ka yang melakukan setubuh dengan bina tang dan mereka yang melakukan setubuh sesama lelaki (homoseksual)"(Kanz Al-'Ummal : 12/31 : Hadith no : 43982.).

Jadi, lesbi dan homoseks sama dengan zina dan lebih keji. Jika alasannya karena sejak lahir telah ditakdirkan men jadi lesbi dan homoseks, mengapa Allah menganggap ini pelanggaran syariatnya? Jika Allah ridho dengan para pelaku homo dan lesbi, mestinya Allah menurunkan ke hidupan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Tapi mengapa pula jika cemburu mereka saling membunuh? Me ngapa pula Allah malah mengazab me reka dengan HIV dan penyakit rumit lain nya. Mengapa? Disini nurani homo disoal dan dipersoalkan!!.

----------
Tulisan ini dimuat di Jurnal Islamia-Republika 18 Februari 2016 dan Republika Online 19 Februari 2016.
MISI PAUS FRANSISKUS
Oleh: Dr. Adian Husaini

Joseph F. OCallaghan, dalam bukunya, A History of Medieval Spain, (London: Cornell University Press, 1975), menulis, bahwa setelah kejatuhan Granada, 30 Maret 1492, kaum Muslim Spanyol dibaptis secara paksa. Cisneros, seorang Uskup di Granada, pada 1499 memerintahkan pembakaran al-Quran dan memaksa sekitar 50.000 Muslim untuk masuk Kristen. Pada 11 Februari 1502, Raja Ferdinan dan Ratu Isabella mengeluarkan sebuah keputusan (edict) yang menginstruksikan seluruh Muslim untuk masuk Kristen atau meninggalkan Spanyol. Sebagian besar Muslim terpaksa menjadi Kristen (moriscos). Puncak pengusiran Muslim terjadi pada abad ke-17.

Kejatuhan Granada menjadi titik balik perburuan Muslim di berbagai bagian dunia. Mereka disebut “Moors dan dianggap sebagai penghalang bagi misi Kristen. Alfonso DAlbuquerque menaklukkan Malaka tahun 1511 dengan semboyan ‘Military Crusading Order of Christ . (IJ Maureen K.C. Chew, dalam buku The Journey of the Catholic Church in Malaysia (1511-1996), (Kuala Lumpur: Catholic Research Center, 2000). Sesaat setelah mendarat di Ambon, Maluku, 1546, St. Francis Xavier (Fransiskus Xaverius) menulis surat kepada seorang temannya di Goa, menggambarkan kondisi Muslim di sana.

Menurut Fransiskus Xaverius, kaum Muslim tidak tahu tentang agama mereka. Ia menyebut ‘Islam’ sebagai sekte jahat Muhammad. Fransiskus optimis, jika dikirimkan misi ke Maluku, maka kaum Muslim akan bisa dihancurkan dalam waktu singkat. (The best thing about these Moors is that they know nothing about their erroneous sect. For want of one to preach the truth to them, these Moors have not become Christians If a dozen of them came each year, this evil sect of Mohammed would be destroyed in a short time. All would become Christians, and God our Lord would thus not be so much offended as he is now, since there is no one to reproach them from their vices and sins of infidelity. (Adolf Heuken SJ, Be my Witness to the Ends of the Earth!: The Catholic Church in Indonesia before the 19th Century, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2002).

Stephen Neill, dalam bukunya A History of Christian Missions, (New York: Penguin Books, 1964), menyebutkan, bahwa Fransiskus Xaverius adalah pengikut pertama Ignatius Loyola, pendiri Serikat Jesuit. Ia dipandang sebagai misionaris Katolik paling terkenal dan terbesar dalam sejarah. Ia pergi ke India tahun 1542, bukan sebagai misionaris biasa tetapi sebagai perwakilan Raja Portugal yang dipersenjatai secukupnya. Pada saat yang sama, sebagai sebagai utusan resmi Gereja (Apostolic Nuncio), ia mendapat otoritas yang sangat besar dari Paus.
*

Apakah semangat Fransiskus Xaverius ini yang mengilhami pemilihan nama Paus Fransiskus oleh Kardinal Bergoglio? Usai terpilih sebagai Paus baru, 14 Maret 2013, Jorge Mario Bergoglio mengakui, pemilihan nama Fransiskus adalah sebagai penghargaan terhadap dua orang kudus Katolik, yaitu Santo Fransiskus dari Asisi serta Santo Fransiskus Xaverius.
Banyak media mengaitkan pemilihan nama itu terkait dengan kesederhanaan gaya hidup Paus Fransiskus dan kedekatannya dengan kaum miskin. Santo Fransiskus dari Asisi (lahir 5 Juli 1182) dikenal dengan sikap hidup kepapaan mirip pertapa dan juga keberaniannya dalam menjalankan misi terhadap kaum Muslim. Bagi kaum Katolik, sosok Santo Fransiskus dari Asisi ini memang legendaris. Di Indonesia ada sebuah seminari bernama Seminari Santo Fransiskus berlokasi di Sibiru-biru no. 01, Delitua Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Pada 25 Januari lalu, blog seminari ini menyiarkan sebuah artikel bertajuk Misi ke Tengah Kaum Muslimin Menurut St. Fransiskus Asissi. (http://seminarisantofraniskus.blogspot.com/2013/01/misi-ke-tengah-kaum-muslimin-menurut-st.html).

Menurut artikel ini, Fransiskus Asisi adalah orang pertama yang meletakkan dasar hidup religius dalam hubungannya dengan misi ke tengah kaum muslimin. Pandangannya tertuang dalam Anggaran Dasar Tanpa Bula pasal 16, yang diberi judul Mereka yang Pergi ke Tengah Kaum Muslimin dan Orang tak Beriman. Pasal ini menyatakan: “Tuhan berfirman: Lihat
, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala. Sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan bersahaja seperti merpati. supaya orang percaya akan Allah yang mahakuasa, Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, pencipta segala sesuatu, dan akan Putera, penebus dan penyelamat, dan supaya dibaptis dan menjadi kristen; sebab siapa yang tidak dilahirkan kembali dari air dan Roh Kudus, tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”

Diserukan juga kepada kaum Katolik: “Di mana pun semua saudara berada, hendaklah ingat bahwa mereka telah menyerahkan diri dan memasrahkan tubuhnya kepada Tuhan Yesus Kristus. Maka Demi cinta kasih kepada-Nya mereka harus siap menyerahkan diri kepada musuh, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan; sebab Tuhan berfirman: Siapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya untuk hidup yang kekal.

Para saudara yang diutus, entah ke mana pun itu, harus menyadari bahwa mereka menyerahkan diri dan memasrahkan hidup kepada Yesus Kristus. Dan karena kasih kepada Kristus itu, mereka harus siap menyerahkan diri kepada musuh baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatanBermisi berarti menghadapi bahaya, berani mati, mengalami penderitaan seperti Yesus.

Demikian pedoman misi untuk kaum Muslim dari Santo Fransiskus Asisi yang mungkin sangat menginspirasi Paus Fransiskus. Sebuah situs (http://indonesia.ucanews.com/2013/03/18), menyebutkan, bahwa Paus Fransiskus akan memfokuskan perhatian pada Gereja di daerah-daerah misi, ketimbang di Eropa dan Barat yang jumlah anggota Gereja terus menyusut. Fernando Kardinal Filoni, Prefek Kongregasi Evangelisasi, mengatakan dalam pertemuan staf bahwa Paus Fransiskus telah menentukan visinya bagi Gereja di daerah-daerah misi, demikian sebuah laporan oleh kantor berita Vatikan Fides. Menurut Kardinal Filoni, pesan pertama Paus itu adalah pergi keluar merangkul mereka yang membutuhkan, dan mewartakan Injil.
****

Gereja Katolik telah belajar dari sejarah. Dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja mengubah cara pandang terhadap Muslim dan pemeluk agama lain. Dalam dokumen Konsili II, Nostra Atetate, disebutkan: Dengan penghargaan, Gereja memandang juga kepada umat Islam, yang menyembah Allah yang Mahaesa, Yang hidup dan ada, Yang Mahapengasih dan Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi Mengingat bahwa dalam peredaran jaman, telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit antara orang Kristen dan Islam, maka Konsili Suci mengajak semua pihak untuk melupakan yang sudah-sudah, dan mengusahakan dengan jujur saling pengertian dan melindungi lagi memajukan bersama-sama keadilan sosial, nilai-nilai moral serta perdamaian dan kebebasan untuk semua orang. (Lihat, Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II (Oleh Dr. J. Riberu), Jakarta, Dokpen MAWI, 1983).

Pada pekan kedua, Maret 2000, Paus Yohannes Paulus II secara terbuka menyatakan permintaan maaf kepada pemeluk berbagai agama atas kesalahan yang pernah dilakukan kaum Katolik di masa lalu. We ask pardon, kata Paus, for the division among Christians; for the violence which some of them used in the service of the truth; and for attitudes of diffidence and hostility adopted towards followers of other religions. (John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul IIs Papacy, (London: Penguin Books Ltd., 2005).

Meskipun sudah menyatakan permintaan maaf dan menghormati kaum Muslim, tetapi itu tidak berarti misi untuk membaptis kaum Muslim dihentikan. Sejarah misi kepada kaum Muslim dipelopori oleh tokoh-tokoh misionaris seperti Peter the Venerable (1094-1156M), Raymond Lull (c.1233-1315), Fransiskus Asisi, Henry Martin, Samuel Zwemmer, Paus Gregorius XV, Paus Urbanus VIII (1623-1644), Thomas the Jesus (Thomas a Jesu), dan seterusnya.

Dalam dokumen The Decree on the Missionary Activity of the Church (ad gentes), Konsili Vatikan II (1962-1965) disebutkan: “Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manus
ia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), dan tidak ada keselamatan selain Dia (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik kepada Dia, Yang dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja, yang adalah Tubuhnya, melalui pemandian Oleh sebab itu, karya misioner dewasa ini seperti juga selalu, tetap mempunyai keampuhannya dan tetap diperlukan seutuhnya). (Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II).

Tentang Islam, Paus Yohannes Paulus II dengan tegas menyatakan: Islam is not a religion of redemption. Islam bukan agama penyelamatan, kata Paus. Sebab, menurutnya, dalam Islam, tidak ada ruang untuk salib dan kebangkitan (there is no room for the Cross and the Resurrection). Tentang konsep Tuhan dalam Islam, Paus menyatakan: a God outside of the world, a God who is only Majesty, never Emmanuel (God-with-us). (The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul IIs Papacy, 195-198).

Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang bertajuk Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan: Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan kepada para bangsa (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.

Kini, kaum Muslim menunggu, bagaimana cara Paus Fransiskus akan menjalankan misi Gereja kepada kaum Muslim? (***)