TAMAK DUNIA: SUMBER KEHANCURAN
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great Powers”, Paul Kennedy menutup dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”. Dalam buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran Amerika Serikat: Tahun 1985, utangnya sudah mencapai 1.823 milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD. Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan telah mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS. Dengan politik unilateralnya, ambisi kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar. Duit ditebar untuk menaklukkan negara-negara lain.
Tapi, bagaimana pun, untuk sementara ini, AS masih menjadi negara terkuat. Dalam kata-kata Paul Kennedy, “For all its economic and perhaps military decline, it remains, in Pierre Hassner’s world, “the decisive actor in every type of balance and issue… because it has so much power for good or evil.”
Nabi Muhammad saw menunjukkan sebuah rumus kehancuran peradaban, dalam satu sabda beliau: "Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit "al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud).
Umat Islam digambarkan oleh Rasulullah SAW, ketika itu jumlahnya banyak. Tapi, banyaknya tidak berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak pada sikap “hubbud-dunya”, penyakit tamak terhadap dunia. Kebangkitan dan kehinaan suatu umat atau bangsa adalah merupakan sunnatullah. Jika umat Islam tidak kembali kepada Islam, terjangkit penyakit hubbud-dunya, maka selamanya umat ini akan terus terhinakan. Pada saatnya nanti Allah akan memusnahkan umat seperti itu dan menggantikannya dengan umat atau generesi yang lain.
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agama Allah, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang Allah mencintai mereka, dan merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang kepada orang-orang mukmin, dan tidak menghinakan diri kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak takut pada celaan orang-orang yang suka mencela.” (QS al-Maidah:54)
Manusia-manusia yang “tamak dunia” tidak memiliki sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau berjihad di jalan Allah! Mereka hanya mementingkan syahwat dunia, mengejar dunia demi keuntungan dan kesenangan dirinya. “Tamak dunia” menjauhkan manusia dari sikap cinta pengorbanan yang menjadi salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau peradaban.
Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya, Limaadzaa Taa’kkharal Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama Ghairuhum menyebutkan, bagaimana besarnya sikap berkorban dari kaum Yahudi dan bangsa-bangsa Barat, sehingga mereka mampu mengalahkan kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20 tahun masih ada di kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi berperang melawan umat Islam. Bangsa Yahudi mampu menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan milisi berani mati demi merebut Tanah Palestina.
Tengoklah sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800 tahun (711-1492) memimpin negeri ini. Mengapa Kota Jerualem bisa diduduki Pasukan Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat peradabannya? Mengapa bangsa Mongol yang sangat biadab dan barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215? Bisa disimpulkan: “tamak dunia” adalah sumber utama kehancuran peradaban Islam saat itu.
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds, dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa, ulama, dan masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci J
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great Powers”, Paul Kennedy menutup dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”. Dalam buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran Amerika Serikat: Tahun 1985, utangnya sudah mencapai 1.823 milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD. Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan telah mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS. Dengan politik unilateralnya, ambisi kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar. Duit ditebar untuk menaklukkan negara-negara lain.
Tapi, bagaimana pun, untuk sementara ini, AS masih menjadi negara terkuat. Dalam kata-kata Paul Kennedy, “For all its economic and perhaps military decline, it remains, in Pierre Hassner’s world, “the decisive actor in every type of balance and issue… because it has so much power for good or evil.”
Nabi Muhammad saw menunjukkan sebuah rumus kehancuran peradaban, dalam satu sabda beliau: "Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit "al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud).
Umat Islam digambarkan oleh Rasulullah SAW, ketika itu jumlahnya banyak. Tapi, banyaknya tidak berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak pada sikap “hubbud-dunya”, penyakit tamak terhadap dunia. Kebangkitan dan kehinaan suatu umat atau bangsa adalah merupakan sunnatullah. Jika umat Islam tidak kembali kepada Islam, terjangkit penyakit hubbud-dunya, maka selamanya umat ini akan terus terhinakan. Pada saatnya nanti Allah akan memusnahkan umat seperti itu dan menggantikannya dengan umat atau generesi yang lain.
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agama Allah, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang Allah mencintai mereka, dan merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang kepada orang-orang mukmin, dan tidak menghinakan diri kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak takut pada celaan orang-orang yang suka mencela.” (QS al-Maidah:54)
Manusia-manusia yang “tamak dunia” tidak memiliki sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau berjihad di jalan Allah! Mereka hanya mementingkan syahwat dunia, mengejar dunia demi keuntungan dan kesenangan dirinya. “Tamak dunia” menjauhkan manusia dari sikap cinta pengorbanan yang menjadi salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau peradaban.
Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya, Limaadzaa Taa’kkharal Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama Ghairuhum menyebutkan, bagaimana besarnya sikap berkorban dari kaum Yahudi dan bangsa-bangsa Barat, sehingga mereka mampu mengalahkan kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20 tahun masih ada di kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi berperang melawan umat Islam. Bangsa Yahudi mampu menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan milisi berani mati demi merebut Tanah Palestina.
Tengoklah sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800 tahun (711-1492) memimpin negeri ini. Mengapa Kota Jerualem bisa diduduki Pasukan Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat peradabannya? Mengapa bangsa Mongol yang sangat biadab dan barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215? Bisa disimpulkan: “tamak dunia” adalah sumber utama kehancuran peradaban Islam saat itu.
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds, dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa, ulama, dan masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci J
erusalem di tangan pasukan salib. Penyakit tamak dunia merajalela, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di kalangan ulama. Umat Islam mengabaikan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Mereka membiarkan kemunkaran merajalela, karena sibuk memikirkan kejayaan dan keuntungan pribadi dan kelompoknya. Satu lagi, penyakit kronis ketika itu: umat Islam terjebak dalam perpecahan antar-mazhab yang sangat parah. Mereka tidak peduli dengan Islam, dan hanya sibuk memikirkan kejayaan kelompoknya dengan mencaci-maki kelompok lainnya.
Tokoh Islam, Mohammad Natsir, jauh-jauh sebelumnya pernah mengingatkan bahaya ”tamak dunia” yang sedang mengancam negara Indonesia. Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, Mohammad Natsir menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan hilangnya budaya cinta pengorbanan pada manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.”
Di tahun 1980-an, Natsir juga pernah berpesan kepada para sejumlah cendekiawan Muslim yang mewawancarainya: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia...Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”
Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan bahaya ”tamak dunia”. Sejarah sudah membuktikan. Kini, kita bisa menilai: apakah bangsa Indonesia – bangsa Muslim terbesar di dunia ini -- sedang menuju proses kebangkitan atau sedang menggali kuburnya sendiri? Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
Tokoh Islam, Mohammad Natsir, jauh-jauh sebelumnya pernah mengingatkan bahaya ”tamak dunia” yang sedang mengancam negara Indonesia. Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, Mohammad Natsir menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan hilangnya budaya cinta pengorbanan pada manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.”
Di tahun 1980-an, Natsir juga pernah berpesan kepada para sejumlah cendekiawan Muslim yang mewawancarainya: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia...Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”
Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan bahaya ”tamak dunia”. Sejarah sudah membuktikan. Kini, kita bisa menilai: apakah bangsa Indonesia – bangsa Muslim terbesar di dunia ini -- sedang menuju proses kebangkitan atau sedang menggali kuburnya sendiri? Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
Ini keyakinan kami! Mohon dihormati! Kami orang Muslim, meyakini Tuhan Satu, yaitu Allah SWT, yang tidak punya anak (QS Al Ikhlas). Kami dilarang syirik, karena syirik adalah ketidakberadaban serius dan kejahatan terhadap Tuhan Allah (QS 31:13). Menuduh Allah punya anak adalah keterlaluan dan dimurkai Allah (QS 19:88-91). Syirik membawa kepada kekufuran. Amal orang-orang kafir sia-sia dan seperti fatamorgana (QS 2:217, 24:39). Kami menghormati keyakinan yang berbeda. Kami tidak mengganggu. Jika kami tidak ikut campur dalam perbuatan syirik umat lain, mohon jangn tuduh kami TIDAK TOLERAN. Hormatilah keyakinan kami!!!
|Adian Husaini|
|Adian Husaini|
MENGAPA BARAT MASIH TAKUT TERHADAP ISLAM
Ada sebuah tulisan menarik di Harian International Herald Tribune (20 Juli 2004) yang ditulis oleh Craig S. Smith. Judulnya: Europe fears threat from its converts to Islam. Artikel itu bercerita tentang dua pemuda Perancis, bernama David dan Jerome yang masuk Islam dan akhirnya ditahan karena tuduhan terlibat jaringan terorisme internasional. Kasus dua bersaudara itu diangkat sebagai representasi, betapa perlunya masyarakat Eropa mencermati dan waspada terhadap kecenderungan meningkatnya konversi penduduk asli Eropa ke dalam Islam, setelah peristiwa 11 September 2001. Tahun 2003, dinas rahasia Perancis, memperkirakan, ada sekitar 30.000-50.000 orang Perancis yang masuk Islam. Islam kabarnya merupakan agama yang paling cepat berkembang di Eropa.
Sebagai sebuah artikel populer di media massa, sebenarnya terdapat aspek generalisasi yang berlebihan dalam menarik satu kesimpulan. Tetapi, dilihat dari sisi pembentukan opini publik di dunia Barat, tulisan semacam ini tampaknya dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan terhadap Islam. Kampanye internasional anti-terorisme yang kini lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam ternyata tidak berhasil menahan laju perkembangan Islam di Eropa.
Tulisan-tulisan seperti ini tampaknya dibuat untuk memperkuat kembali kesadaran Barat terhadap bahaya Islam, yang terus-menerus dibangun oleh media massa dan sebagian politisi Barat, sejak kekalahan komunisme. Era Perang Dingin berakhir, berganti dengan era Perang melawan Islam (tertentu).
Fakta perkembangan Islam di Eropa itu menunjukkan, kampanye anti-terorisme oleh Barat, terutama, AS, yang menjadikan al-Qaidah sebagai musuh utama dunia internasional, ternyata tidak terlalu berhasil.
Bahkan, di Arab Saudi, menurut laporan Newsweek edisi 28 Juni 2004, simpatisan Osama bin Laden ternyata cukup tinggi. Sebuah polling rahasia yang dilakukan oleh pemerintah Saudi menunjukkan, 49 persen responden mendukung gagasan Osama. Fenomena itu bisa dipahami, mengingat dunia internasional semakin jelas menyaksikan bagaimana berbagai paradoks dan kebrutalan ditunjukkan oleh AS, khususnya dalam kasus Palestina dan Irak. Terbongkarnya kebrutalan tentara-tentara AS terhadap tawanan Irak di penjara Abu Gharib semakin membuka mata umat manusia terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa, kampanye anti-terorisme sebenarnya tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi Barat untuk mempertahankan hegemoninya.
Sebuah buku berjudul Western State Terrorism (ed. Alexander George), mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di University of Pensylvania dan Gerry OSullivan menulis sebuah artikel berjudul Terrorism as Ideology and Cultural Industry. Mereka menyebut terorisme, sebagai industri multinasional, dimana terdapat hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS, Israel, dan Inggris. Contoh bagaimana biasnya penggunaan istilah teroris adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, ketika itu, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.
Salah satu peran penting untuk mendukung operasi industri terorisme dimainkan oleh lembaga-lembaga studi quasi pemerintah, seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Georgetown, AS.
Institusi-institusi semacam ini beserta para pakar di dalamnya bekerja bersama agensi-agensi pemerintah untuk memberikan perspektif
Ada sebuah tulisan menarik di Harian International Herald Tribune (20 Juli 2004) yang ditulis oleh Craig S. Smith. Judulnya: Europe fears threat from its converts to Islam. Artikel itu bercerita tentang dua pemuda Perancis, bernama David dan Jerome yang masuk Islam dan akhirnya ditahan karena tuduhan terlibat jaringan terorisme internasional. Kasus dua bersaudara itu diangkat sebagai representasi, betapa perlunya masyarakat Eropa mencermati dan waspada terhadap kecenderungan meningkatnya konversi penduduk asli Eropa ke dalam Islam, setelah peristiwa 11 September 2001. Tahun 2003, dinas rahasia Perancis, memperkirakan, ada sekitar 30.000-50.000 orang Perancis yang masuk Islam. Islam kabarnya merupakan agama yang paling cepat berkembang di Eropa.
Sebagai sebuah artikel populer di media massa, sebenarnya terdapat aspek generalisasi yang berlebihan dalam menarik satu kesimpulan. Tetapi, dilihat dari sisi pembentukan opini publik di dunia Barat, tulisan semacam ini tampaknya dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan terhadap Islam. Kampanye internasional anti-terorisme yang kini lebih banyak ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam ternyata tidak berhasil menahan laju perkembangan Islam di Eropa.
Tulisan-tulisan seperti ini tampaknya dibuat untuk memperkuat kembali kesadaran Barat terhadap bahaya Islam, yang terus-menerus dibangun oleh media massa dan sebagian politisi Barat, sejak kekalahan komunisme. Era Perang Dingin berakhir, berganti dengan era Perang melawan Islam (tertentu).
Fakta perkembangan Islam di Eropa itu menunjukkan, kampanye anti-terorisme oleh Barat, terutama, AS, yang menjadikan al-Qaidah sebagai musuh utama dunia internasional, ternyata tidak terlalu berhasil.
Bahkan, di Arab Saudi, menurut laporan Newsweek edisi 28 Juni 2004, simpatisan Osama bin Laden ternyata cukup tinggi. Sebuah polling rahasia yang dilakukan oleh pemerintah Saudi menunjukkan, 49 persen responden mendukung gagasan Osama. Fenomena itu bisa dipahami, mengingat dunia internasional semakin jelas menyaksikan bagaimana berbagai paradoks dan kebrutalan ditunjukkan oleh AS, khususnya dalam kasus Palestina dan Irak. Terbongkarnya kebrutalan tentara-tentara AS terhadap tawanan Irak di penjara Abu Gharib semakin membuka mata umat manusia terhadap apa yang sebenarnya terjadi. Bahwa, kampanye anti-terorisme sebenarnya tidak lepas dari kepentingan politik dan ekonomi Barat untuk mempertahankan hegemoninya.
Sebuah buku berjudul Western State Terrorism (ed. Alexander George), mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di University of Pensylvania dan Gerry OSullivan menulis sebuah artikel berjudul Terrorism as Ideology and Cultural Industry. Mereka menyebut terorisme, sebagai industri multinasional, dimana terdapat hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS, Israel, dan Inggris. Contoh bagaimana biasnya penggunaan istilah teroris adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, ketika itu, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades.
Salah satu peran penting untuk mendukung operasi industri terorisme dimainkan oleh lembaga-lembaga studi quasi pemerintah, seperti Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Georgetown, AS.
Institusi-institusi semacam ini beserta para pakar di dalamnya bekerja bersama agensi-agensi pemerintah untuk memberikan perspektif
tertentu tentang terorisme kepada masyarakat. Mereka juga merupakan alat penting bagi propaganda pemerintah Barat. They are also important vehicles for spesific pieces of government propaganda, tulis Herman dan Sullivan.
Lembaga-lembaga ini mendapatkan alokasi dana yang sengat besar. Pada pertengahan 1980-an, CSIS, Hoover Institution, American Enterprise Institute (AEI), dan Heritage Foundation, masing-masing mendapatkan anggaran lebih dari 10 juta USD (sekitar Rp 90 milyar) per tahun. CSIS, yang aktif mengadakan diskusi di berbagai negara, memiliki kecenderungan kuat ke kelompok sayap kanan. Bahkan, pada awal 1970-an, CSIS memiliki peran penting dalam melakukan destabilisasi rezim Allende di Chili. Setelah menguraikan peran CSIS dalam kasus terorisme, kedua penulis ini menyimpulkan: The CSIS is a truly multinational member of the terrorism industry.
Adakah hubungan CSIS di AS dengan CSIS di Indonesia?
Lembaga lain yang menjadi bagian penting dari industri terorisme, tentu saja, adalah pers. Pers, atau media massa, bertugas membentuk imej tentang siapa yang harus dipersepsikan sebagai teroris dan siapa yang dipersepsikan sebagai pemberantas teroris. Siapa yang harus dicap sebagai penjahat dan siapa yang dicap sebagai orang baik. Lihatlah, meskipun kejahatan Ariel Sharon begitu nyata, tetapi nyaris tidak ada pers yang secara konsisten menyebut Ariel Sharon sebagai ekstrimis, teroris, militan Yahudi, dan sebagainya. Begitu juga dengan Presiden George Bush.
Sudah jelas berbagai kesalahannya dan tanggung jawabnya terhadap terbunuhnya puluhan ribu nyawa manusia tidak berdosa di Afghanistan, Irak, Palestina, dan sebagainya. Hubungannya dengan kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi pun sangat jelas.
Tetapi, adakah pers di Indonesia yang mau secara konsisten menjuluki Bush sebagai ekstrimis atau militan Barat?
Pada akhirnya, semua kepalsuan dan standar ganda itu sulit untuk ditutup-tutupi. Dunia pun semakin terbuka. Dan itulah memang konskuensi dari cara berpikir peradaban Barat. Marvin Perry memulai kata pengantar untuk bukunya Western Civilization: a Brief HistoryWestern civilization is a grand but tragic drama. Menurut Perry, peradaban Barat adalah peradaban yang besar, tetapi merupakan drama yang tragis. Meskipun sukses dalam pengembangan berbagai bidang kehidupan, tetapi kurang berhasil dalam menyelesaikan penyakit sosial dan konflik antar negara. Sains Barat, meskipun sukses dalam mengembangkan berbagai sarana kehidupan, tetapi sekaligus juga memproduksi senjata pemusnah massal.
Disamping mempromosikan perlindungan hak asasi manusia, Barat pun memproduksi rejim-rejim totaliter yang menindas kebebasan individu dan martabat manusia. Juga, meskipun Barat berkomitmen untuk mempromosikan konsep kesetaraan manusia, namun sekaligus Barat juga melakukan praktik rasisme yang brutal.
Dalam buku Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002), yang menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah manusia, seperti Sopocles (495-406 SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-322 SM), Confucius (551-479), Adam Smith (1723-1790), Immanuel Kant (1724-1804), Karl Marx (1818-1883), Nelson Mandela, Edward Said (1935-2003), dimuat tulisan Prof. Syed Naquib al-Attas, berjudul The Dewesternization of Knowledge. Tulisan ini membongkar sebab-musabab bahaya yang ditimbulkan peradaban Barat terhadap umat manusia.
Al-Attas memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan.
Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. (Many challenges have arisen in the midst of mans confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than todays challenge posed by Western Civilization).
Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari si
Lembaga-lembaga ini mendapatkan alokasi dana yang sengat besar. Pada pertengahan 1980-an, CSIS, Hoover Institution, American Enterprise Institute (AEI), dan Heritage Foundation, masing-masing mendapatkan anggaran lebih dari 10 juta USD (sekitar Rp 90 milyar) per tahun. CSIS, yang aktif mengadakan diskusi di berbagai negara, memiliki kecenderungan kuat ke kelompok sayap kanan. Bahkan, pada awal 1970-an, CSIS memiliki peran penting dalam melakukan destabilisasi rezim Allende di Chili. Setelah menguraikan peran CSIS dalam kasus terorisme, kedua penulis ini menyimpulkan: The CSIS is a truly multinational member of the terrorism industry.
Adakah hubungan CSIS di AS dengan CSIS di Indonesia?
Lembaga lain yang menjadi bagian penting dari industri terorisme, tentu saja, adalah pers. Pers, atau media massa, bertugas membentuk imej tentang siapa yang harus dipersepsikan sebagai teroris dan siapa yang dipersepsikan sebagai pemberantas teroris. Siapa yang harus dicap sebagai penjahat dan siapa yang dicap sebagai orang baik. Lihatlah, meskipun kejahatan Ariel Sharon begitu nyata, tetapi nyaris tidak ada pers yang secara konsisten menyebut Ariel Sharon sebagai ekstrimis, teroris, militan Yahudi, dan sebagainya. Begitu juga dengan Presiden George Bush.
Sudah jelas berbagai kesalahannya dan tanggung jawabnya terhadap terbunuhnya puluhan ribu nyawa manusia tidak berdosa di Afghanistan, Irak, Palestina, dan sebagainya. Hubungannya dengan kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi pun sangat jelas.
Tetapi, adakah pers di Indonesia yang mau secara konsisten menjuluki Bush sebagai ekstrimis atau militan Barat?
Pada akhirnya, semua kepalsuan dan standar ganda itu sulit untuk ditutup-tutupi. Dunia pun semakin terbuka. Dan itulah memang konskuensi dari cara berpikir peradaban Barat. Marvin Perry memulai kata pengantar untuk bukunya Western Civilization: a Brief HistoryWestern civilization is a grand but tragic drama. Menurut Perry, peradaban Barat adalah peradaban yang besar, tetapi merupakan drama yang tragis. Meskipun sukses dalam pengembangan berbagai bidang kehidupan, tetapi kurang berhasil dalam menyelesaikan penyakit sosial dan konflik antar negara. Sains Barat, meskipun sukses dalam mengembangkan berbagai sarana kehidupan, tetapi sekaligus juga memproduksi senjata pemusnah massal.
Disamping mempromosikan perlindungan hak asasi manusia, Barat pun memproduksi rejim-rejim totaliter yang menindas kebebasan individu dan martabat manusia. Juga, meskipun Barat berkomitmen untuk mempromosikan konsep kesetaraan manusia, namun sekaligus Barat juga melakukan praktik rasisme yang brutal.
Dalam buku Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002), yang menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah manusia, seperti Sopocles (495-406 SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-322 SM), Confucius (551-479), Adam Smith (1723-1790), Immanuel Kant (1724-1804), Karl Marx (1818-1883), Nelson Mandela, Edward Said (1935-2003), dimuat tulisan Prof. Syed Naquib al-Attas, berjudul The Dewesternization of Knowledge. Tulisan ini membongkar sebab-musabab bahaya yang ditimbulkan peradaban Barat terhadap umat manusia.
Al-Attas memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan.
Tetapi, belum pernah, mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. (Many challenges have arisen in the midst of mans confusion throughout the ages, but none perhaps more serious and destructive to man than todays challenge posed by Western Civilization).
Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari si
stem keilmuan Barat itu sendiri, yang disebarkan ke seluruh dunia. Knowledge yang disebarkan Barat itu, menurut al-Attas, pada hakekatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism); bahkan knowledge yang untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam the Three Kingdom of Nature yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral.
Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia.
Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). Dengan karakteristiknya semacam itu, maka menurut al-Attas, peradaban Barat juga merupakan tantangan terbesar bagi kaum Muslim. Dan secara konseptual, antara keduanya terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen. Ia juga mengingatkan, bahwa dalam melihat Islam, Barat tidak bersikap pasif, tetapi sangat aktif memerangi Islam dalam berbagai bidang. Dalam sebuah risalahnya kepada kaum Muslimin, al-Attas mengingatkan: Shahadan, maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristian Barat dan orang Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi.
Di antara berbagai peradaban yang eksis saat ini, memang hanya Islam yang pernah menaklukkan Barat. Dalam buku terkenalnya, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Huntington menyimpulkan: Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done that at least twice. (Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menampatkan keberlangsungan peradaban Barat dalam keraguan, dan ini telah terjadi sekurangnya dua kali).
Dalam kilasan sejarahnya, Islam pernah menaklukkan Barat selama beratus-ratus tahun. Islam pernah menduduki Spanyol selama hampir 800 tahun (711-1492). Kekuatan Islam, yang ketika itu diwakili oleh Turki Uthmani, selama beratus-ratus tahun menjadi momok yang sangat menakutkan bagi Barat. Selama dua kali (1529 dan 1683) kota Vienna dikepung oleh Turki Uthmani, yang ketika itu menjadi The Superpower of the World.
Jatuhnya Konstantinopel, tahun 1453, oleh Turki Uthmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fatih, juga merupakan pukulan berat bagi Barat. Konstantine adalah nama Kaisar Romawi yang dianggap begitu besar jasanya bagi perkembangan agama Kristen. Dialah yang membangun imperium Romawi Timur. Dia juga yang dikenal memelopori penyelenggaraan Konsili Nicea, 325, yang kemudian merumuskan doktrin-doktrin pokok dalam Teologi Kristen. Setelah runtuhnya imperium Romawi Barat, maka Imperium Romawi Timur masih tetap bertahan sampai masuknya pasukan Islam di bawah pimpinan al-Fatih pada 1453. Selama dua bulan, sejak 6 April sampai 29 Mei 1453, pasukan al-Fatih (yang ketika itu berumur 29 tahun), mengepung Konstantinopel yang dikenal memiliki pertahanan sangat kuat. Meskipun mengalami perpecahan dalam paham keagamaan dengan Kristen Ortodoks di Romawi Timur, Paus Nicholas V di Roma, mengirimkan tiga kapal perang untuk membantu melawan pasukan al-Fatih. Jadi, meskipun Kristen bersatu, mereka tetap kalah. Begitu juga yang terjadi dalam Perang Salib. Meskipun Barat sudah bersatu padu, tetap kalah melawan Islam.
Memori kolektif sejarah Barat memang menyimpan kenangan pahit dan kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam. Apalagi, begitu banyak sarjana Barat yang mengakui bahwa peradaban Barat sedang mengalami kemunduran. Tahun 1917, filosof Jerman Oswald Spengler menulis du
Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia.
Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). Dengan karakteristiknya semacam itu, maka menurut al-Attas, peradaban Barat juga merupakan tantangan terbesar bagi kaum Muslim. Dan secara konseptual, antara keduanya terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen. Ia juga mengingatkan, bahwa dalam melihat Islam, Barat tidak bersikap pasif, tetapi sangat aktif memerangi Islam dalam berbagai bidang. Dalam sebuah risalahnya kepada kaum Muslimin, al-Attas mengingatkan: Shahadan, maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristian Barat dan orang Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi.
Di antara berbagai peradaban yang eksis saat ini, memang hanya Islam yang pernah menaklukkan Barat. Dalam buku terkenalnya, Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Huntington menyimpulkan: Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done that at least twice. (Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menampatkan keberlangsungan peradaban Barat dalam keraguan, dan ini telah terjadi sekurangnya dua kali).
Dalam kilasan sejarahnya, Islam pernah menaklukkan Barat selama beratus-ratus tahun. Islam pernah menduduki Spanyol selama hampir 800 tahun (711-1492). Kekuatan Islam, yang ketika itu diwakili oleh Turki Uthmani, selama beratus-ratus tahun menjadi momok yang sangat menakutkan bagi Barat. Selama dua kali (1529 dan 1683) kota Vienna dikepung oleh Turki Uthmani, yang ketika itu menjadi The Superpower of the World.
Jatuhnya Konstantinopel, tahun 1453, oleh Turki Uthmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fatih, juga merupakan pukulan berat bagi Barat. Konstantine adalah nama Kaisar Romawi yang dianggap begitu besar jasanya bagi perkembangan agama Kristen. Dialah yang membangun imperium Romawi Timur. Dia juga yang dikenal memelopori penyelenggaraan Konsili Nicea, 325, yang kemudian merumuskan doktrin-doktrin pokok dalam Teologi Kristen. Setelah runtuhnya imperium Romawi Barat, maka Imperium Romawi Timur masih tetap bertahan sampai masuknya pasukan Islam di bawah pimpinan al-Fatih pada 1453. Selama dua bulan, sejak 6 April sampai 29 Mei 1453, pasukan al-Fatih (yang ketika itu berumur 29 tahun), mengepung Konstantinopel yang dikenal memiliki pertahanan sangat kuat. Meskipun mengalami perpecahan dalam paham keagamaan dengan Kristen Ortodoks di Romawi Timur, Paus Nicholas V di Roma, mengirimkan tiga kapal perang untuk membantu melawan pasukan al-Fatih. Jadi, meskipun Kristen bersatu, mereka tetap kalah. Begitu juga yang terjadi dalam Perang Salib. Meskipun Barat sudah bersatu padu, tetap kalah melawan Islam.
Memori kolektif sejarah Barat memang menyimpan kenangan pahit dan kekhawatiran terhadap kebangkitan Islam. Apalagi, begitu banyak sarjana Barat yang mengakui bahwa peradaban Barat sedang mengalami kemunduran. Tahun 1917, filosof Jerman Oswald Spengler menulis du
a jilid buku berjudul Der Untergang des Abenlandes (The Decline of the West). Buku populer The Rise and Fall of the Great Powers, ditutup Paul Kennedy dengan bab The United States: the Problem of Number One in Relative Decline.
Sebenarnya merupakan hal yang mudah dipahami, bahwa Barat akan selalu berusaha mempertahankan eksistensinya, dengan menekan bangkitnya peradaban lain, terutama Islam. Kekhawatiran terhadap Islam akan mudah sekali dibangkitkan. Masyarakat Barat, yang secara nominal beragama Kristen, tidak risau jika warga mereka menjadi ateis, Budha, Hindu, atau mengikuti berbagai aliran keagamaan dari Cina. Tetapi, mereka tampak begitu peduli dan risau jika warganya masuk Islam.
Yang justru sulit dipahami, adalah, bahwa ada saja kalangan sarjana Muslim yang justru habis-habisan menjiplak pandangan hidup Barat untuk memimpikan adanya kebangkitan Islam. Mereka berpikir, untuk maju, jangan tanggung-tanggung dalam menjiplak Barat. Ambil semuanya apapun yang dari Barat. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan: Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus. (There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilizaton with both its rose and its thorn).
Banyak yang bermimpi, bahwa dengan mengikuti sekularisme dan liberalisme Barat, Islam akan maju dan mujur. Padahal, yang terjadi bukan mujur, tetapi malah babak belur. Wallahu alam. (KL, 23 Juli 2004).
oOo
Sebenarnya merupakan hal yang mudah dipahami, bahwa Barat akan selalu berusaha mempertahankan eksistensinya, dengan menekan bangkitnya peradaban lain, terutama Islam. Kekhawatiran terhadap Islam akan mudah sekali dibangkitkan. Masyarakat Barat, yang secara nominal beragama Kristen, tidak risau jika warga mereka menjadi ateis, Budha, Hindu, atau mengikuti berbagai aliran keagamaan dari Cina. Tetapi, mereka tampak begitu peduli dan risau jika warganya masuk Islam.
Yang justru sulit dipahami, adalah, bahwa ada saja kalangan sarjana Muslim yang justru habis-habisan menjiplak pandangan hidup Barat untuk memimpikan adanya kebangkitan Islam. Mereka berpikir, untuk maju, jangan tanggung-tanggung dalam menjiplak Barat. Ambil semuanya apapun yang dari Barat. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan: Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus. (There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilizaton with both its rose and its thorn).
Banyak yang bermimpi, bahwa dengan mengikuti sekularisme dan liberalisme Barat, Islam akan maju dan mujur. Padahal, yang terjadi bukan mujur, tetapi malah babak belur. Wallahu alam. (KL, 23 Juli 2004).
oOo
*NKRI Adil dan Beradab*
Oleh: Dr. Adian Husaini
------------------------------------
Merespon esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi
------------------------------------
YANG SEPATUTNYA DILAKUKAN BUKAN MENOLAK SYARIAT, TETAPI MERUMUSKAN DAN MENGAKTUALKAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN, SECARA ADIL DAN BERADAB.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1294311914042089&id=153825841424041
Oleh: Dr. Adian Husaini
------------------------------------
Merespon esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi
------------------------------------
YANG SEPATUTNYA DILAKUKAN BUKAN MENOLAK SYARIAT, TETAPI MERUMUSKAN DAN MENGAKTUALKAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN, SECARA ADIL DAN BERADAB.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1294311914042089&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
NKRI Adil dan Beradab Oleh: Dr Adian Husaini, pendiri Pesantren at-Taqwa, Cilodong, Depok, Jawa Barat, dan Ketua Program Doktor Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun, Bogor. Merespon esai...
TUHAN DALAM TEORI
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Seorang remaja Amerika suatu hari keluar rumah untuk jalan-jalan bersama tiga orang kawannya. Sewaktu pamitan, ibunya berpesan: “Semoga Tuhan bersama kalian”. Anaknya dengan ringan menjawab: “Tuhan boleh ikut asal mau di bagasi”. Dalam perjalanan, mobil yang dinaiki anaknya mengalami kecelakaan hebat. Anak remaja itu meninggal dunia, mobilnya hancur, tapi bagasinya masih utuh.
Bagi seorang mukmin kisah ini sudah membuktikan adanya Tuhan. Tapi kisah kecelakaan maut itu hanya sekelumit dari jutaan kisah ateisme yang melanda masyarakat Barat. Asalnya adalah buah pikiran para intelektual yang menjadi teori. Buah pikiran itu lalu dipraktikkan dalam dunia pendidikan dan hasilnya adalah lahirnya pandangan hidup masyarakat.
Namun satu setengah dekade lalu, dosen dan mahasiswa di beberapa universitas di Barat mulai siuman. Pada tahun 1990, Jeff, misalnya, seorang mahasiswa pascasarjana program pendidikan matematika University of New York di Bufallo mengeluh. Ia sering seminar di fakultasnya tentang asas filosofis teori konstruksi dalam pendidikan matematika. Namun di situ worldview yang dominan adalah sikap agnostic (inkar Tuhan) dan faham relativisme postmodern (alias ragu pada kebenaran).
Sebagai seorang Katholik, Jeff terdorong untuk mengikuti saran Francis Schaeffer agar setiap komunitas intelektual melibatkan sudut pandang Kristen. Jeff lalu mencoba menawarkan ide dalam seminar itu. “Tuhan yang berwujud Trinitas, adanya berbagai macam bahasa dan kemampuan manusia berkomunikasi dengan bahasa perlu dipertimbangkan sebagai komponen kunci untuk memahami ide-ide matematis”, katanya. Tak pelak lagi, kawan-kawan sekelasnya resisten alias menolak. Alasan mereka, karena agnostisisme adalah jawaban tepat perihal Tuhan. Bagi mereka tidak mungkin aspek teologi bersatu dengan teori tentang konstruksi ilmu pengetahuan manusia.
Di Northern Illinois University kasusnya mirip. Dave yang menyelesaikan dissertasinya di situ pun gelisah. Pasalnya para mahasiswa dan dosen umumnya berfaham konstruksionisme yang didasari pada relativisme intelektual dan moral. Konstruksionisme adalah teori ilmu pengetahuan dalam sosiologi dan teori komunikasi yang mengkaji perkembangan pemahaman yang tercipta secara bersama tentang dunia.
Kegelisahan ini dia tuangkan dalam bab pendahuluan dissertasinya. Ia lalu diuji oleh empat orang Kristen dan seorang Yahudi Orthodok. Tapi herannya keempat penguji Kristen itu sepakat dengan Dave. Sedangkan penguji Yahudi justru yang menganggap tidak ada masalah dan bahkan sepakat dengan relativisme intelektual dan moral.
Sikap agnostic atau inkar dan ragu akan wujud Tuhan dalam kehidupan intelektual Amerika adalah wajar. Karena negara itu adalah negara sekuler liberal dan bukan negara agama. Itulah masalahnya. Sekuler karena memisahkan agama dari ranah sosial, intelektual dan politik. Liberal karena semua orang bebas beragama dan juga bebas tidak beragama.
Namun, kerancuan ilmu sekuler mulai disadari. Seorang pakar studi Islam dari Georgetown University, John L Esposito dalam Seminar Islamic Philosophy and Science di Penang Malaysia tahun 1989 mengakui hal itu. John menyatakan bahwa Barat kini mengalami deadlock, karena telah menarik dua garis lurus dari makna dua realitas: empiris dan rasio. Dua garis lurus itu tidak akan pernah bertemu. Dua garis itu ini dalam bahasa Descartes disebut extended substance dan rational substance. Artinya realitas itu ada dua yang empiris-nyata dan yang rasional. Esposito mungkin juga setuju bahwa deadlock itu karena dikotomi ilmu dan agama, atau agama dan politik.
Kembali ke soal teori berfikir. Dengan worldview ateis Lev Vygotsky, psikolog asal Rusia menggambarkan proses psikologis fikiran manusia. Ia memperkenalkan konsep zona perkembangan proximal (terdekat) atau proximal development. Artinya, dalam proses pembelajaran seorang anak ada sebuah area di mana anak tersebut harus diberikan bantuan eksternal untuk dapat belajar. Ini merupakan pelengkap dari cara-cara tradisional yang disebut perkembangan aktual (actual development),
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Seorang remaja Amerika suatu hari keluar rumah untuk jalan-jalan bersama tiga orang kawannya. Sewaktu pamitan, ibunya berpesan: “Semoga Tuhan bersama kalian”. Anaknya dengan ringan menjawab: “Tuhan boleh ikut asal mau di bagasi”. Dalam perjalanan, mobil yang dinaiki anaknya mengalami kecelakaan hebat. Anak remaja itu meninggal dunia, mobilnya hancur, tapi bagasinya masih utuh.
Bagi seorang mukmin kisah ini sudah membuktikan adanya Tuhan. Tapi kisah kecelakaan maut itu hanya sekelumit dari jutaan kisah ateisme yang melanda masyarakat Barat. Asalnya adalah buah pikiran para intelektual yang menjadi teori. Buah pikiran itu lalu dipraktikkan dalam dunia pendidikan dan hasilnya adalah lahirnya pandangan hidup masyarakat.
Namun satu setengah dekade lalu, dosen dan mahasiswa di beberapa universitas di Barat mulai siuman. Pada tahun 1990, Jeff, misalnya, seorang mahasiswa pascasarjana program pendidikan matematika University of New York di Bufallo mengeluh. Ia sering seminar di fakultasnya tentang asas filosofis teori konstruksi dalam pendidikan matematika. Namun di situ worldview yang dominan adalah sikap agnostic (inkar Tuhan) dan faham relativisme postmodern (alias ragu pada kebenaran).
Sebagai seorang Katholik, Jeff terdorong untuk mengikuti saran Francis Schaeffer agar setiap komunitas intelektual melibatkan sudut pandang Kristen. Jeff lalu mencoba menawarkan ide dalam seminar itu. “Tuhan yang berwujud Trinitas, adanya berbagai macam bahasa dan kemampuan manusia berkomunikasi dengan bahasa perlu dipertimbangkan sebagai komponen kunci untuk memahami ide-ide matematis”, katanya. Tak pelak lagi, kawan-kawan sekelasnya resisten alias menolak. Alasan mereka, karena agnostisisme adalah jawaban tepat perihal Tuhan. Bagi mereka tidak mungkin aspek teologi bersatu dengan teori tentang konstruksi ilmu pengetahuan manusia.
Di Northern Illinois University kasusnya mirip. Dave yang menyelesaikan dissertasinya di situ pun gelisah. Pasalnya para mahasiswa dan dosen umumnya berfaham konstruksionisme yang didasari pada relativisme intelektual dan moral. Konstruksionisme adalah teori ilmu pengetahuan dalam sosiologi dan teori komunikasi yang mengkaji perkembangan pemahaman yang tercipta secara bersama tentang dunia.
Kegelisahan ini dia tuangkan dalam bab pendahuluan dissertasinya. Ia lalu diuji oleh empat orang Kristen dan seorang Yahudi Orthodok. Tapi herannya keempat penguji Kristen itu sepakat dengan Dave. Sedangkan penguji Yahudi justru yang menganggap tidak ada masalah dan bahkan sepakat dengan relativisme intelektual dan moral.
Sikap agnostic atau inkar dan ragu akan wujud Tuhan dalam kehidupan intelektual Amerika adalah wajar. Karena negara itu adalah negara sekuler liberal dan bukan negara agama. Itulah masalahnya. Sekuler karena memisahkan agama dari ranah sosial, intelektual dan politik. Liberal karena semua orang bebas beragama dan juga bebas tidak beragama.
Namun, kerancuan ilmu sekuler mulai disadari. Seorang pakar studi Islam dari Georgetown University, John L Esposito dalam Seminar Islamic Philosophy and Science di Penang Malaysia tahun 1989 mengakui hal itu. John menyatakan bahwa Barat kini mengalami deadlock, karena telah menarik dua garis lurus dari makna dua realitas: empiris dan rasio. Dua garis lurus itu tidak akan pernah bertemu. Dua garis itu ini dalam bahasa Descartes disebut extended substance dan rational substance. Artinya realitas itu ada dua yang empiris-nyata dan yang rasional. Esposito mungkin juga setuju bahwa deadlock itu karena dikotomi ilmu dan agama, atau agama dan politik.
Kembali ke soal teori berfikir. Dengan worldview ateis Lev Vygotsky, psikolog asal Rusia menggambarkan proses psikologis fikiran manusia. Ia memperkenalkan konsep zona perkembangan proximal (terdekat) atau proximal development. Artinya, dalam proses pembelajaran seorang anak ada sebuah area di mana anak tersebut harus diberikan bantuan eksternal untuk dapat belajar. Ini merupakan pelengkap dari cara-cara tradisional yang disebut perkembangan aktual (actual development),
yaitu proses mengetahui secara mandiri tanpa dibantu.
Teori Vygotsky ini bagi komunitas peneliti pendidikan matematika adalah upaya mengkaitkan ilmu dengan interaksi sosial. Tapi ini juga merupakan kritik terhadap penganut aliran konstruksionis radikal yang mengklain bahwa ilmu itu dapat muncul dari dalam fikiran seseorang ketika ia menafsirkan pengalaman dan lingkungannya. (1978, pp. 88-91). Pandangan Vygotsky berkembang di lingkungan budaya Marxist Soviet antara tahun 1915 dan 1935. Sudah barang terntu pandangan ini berasal dari sistim pemikiran dialektika Hegel. Hegel mengingkari hubungan agama wahyu , termasuk wujud Tuhan, dengan teori tentang perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia. (Lihat McTaggart, J. M. E.. Studies in the Hegelian dialectic (2d reprinted ed.), Kitchener, Ontario: Batoche Books. 2000, 222-225).
Nampaknya yang disoal Jeff dan Dave adalah teori-teori semacam Vygotsky ini. Maka waja jika disana ada gugatan akademis terhadap konsep mengetahui yang dikotomis dan ateis itu. Logikanya seperti sebuah premis jika-maka. Jika ilmu pengetahuan bisa dikembangkan berdasarkan worldview sekuler, mengapa tidak bisa dikembangkan dengan worldview religius. Begitu misi yang dibawa Jeff dan Dave. Jika agama menjanjikan kesalehan perilaku maka disana mesti ada kesalehan berfikir. Dengan kata lain jika teori konstruksionisme Vygotsky bisa diterima maka teori yang berbasis pada keyakinan suatu agama juga harus diterima.
Logika inilah yang ditangkap Howell, R.W. dan Bradley, W.J. Keduanya lalu mengedit dan menerbitkan kumpulan makalah tentang proses berfikir yang ia beri judul Mathematics in a Postmodern Age: A Christian Perspective , Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company (2001). Intinya buku ini menawarkan worldview Kristen untuk dipakai menguji berbagai sudut pandang yang secara epistemologis teapat. Misalnya untuk menguji bagaimana anak-anak mengetahui dengan merujuk informasi dari firman sang Pencipta.
Dalam Islam istilah ilm telah memiliki konotasi dan denotasi iman. Iman memiliki konsekuensi amal. Obyek ‘ilm adalah semua realitas wujud, baik empiris maupun non empiris. Karena luasnya makna ilm maka obyek ilm pun tidak terbatas. Ilm pun tidak terdefinisikan, meski dapat digambarkan. Tuhan berada di semua obyek ilmu, karena semua itu bagian dari ciptaannya. Maka dari itu pertanyaan dimana posisi Tuhan dalam epistemologi Islam adalah absurd, apalagi dalam kehidupan sosial.
Nampaknya kisah kecelakaan itu bisa bersifat metaforis. Maksudnya, jika “menaruh” tuhan di bagasi saja telah membawa maut, maka membuang “tuhan” dari fikiran, sekolahan, lembaga pendidikan dan masyarakat juga akan membawa kematian peradaban. Mungkin, karena keprihatinan situasi itu maka Dogulas Haddows menulis essai berjudul Hipster: The Dead End of Western Civilization.
----------------------
Tulisan pernah dimuat di Jurnal Islamia Vol. IX No. 1 tahun 2014
Teori Vygotsky ini bagi komunitas peneliti pendidikan matematika adalah upaya mengkaitkan ilmu dengan interaksi sosial. Tapi ini juga merupakan kritik terhadap penganut aliran konstruksionis radikal yang mengklain bahwa ilmu itu dapat muncul dari dalam fikiran seseorang ketika ia menafsirkan pengalaman dan lingkungannya. (1978, pp. 88-91). Pandangan Vygotsky berkembang di lingkungan budaya Marxist Soviet antara tahun 1915 dan 1935. Sudah barang terntu pandangan ini berasal dari sistim pemikiran dialektika Hegel. Hegel mengingkari hubungan agama wahyu , termasuk wujud Tuhan, dengan teori tentang perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia. (Lihat McTaggart, J. M. E.. Studies in the Hegelian dialectic (2d reprinted ed.), Kitchener, Ontario: Batoche Books. 2000, 222-225).
Nampaknya yang disoal Jeff dan Dave adalah teori-teori semacam Vygotsky ini. Maka waja jika disana ada gugatan akademis terhadap konsep mengetahui yang dikotomis dan ateis itu. Logikanya seperti sebuah premis jika-maka. Jika ilmu pengetahuan bisa dikembangkan berdasarkan worldview sekuler, mengapa tidak bisa dikembangkan dengan worldview religius. Begitu misi yang dibawa Jeff dan Dave. Jika agama menjanjikan kesalehan perilaku maka disana mesti ada kesalehan berfikir. Dengan kata lain jika teori konstruksionisme Vygotsky bisa diterima maka teori yang berbasis pada keyakinan suatu agama juga harus diterima.
Logika inilah yang ditangkap Howell, R.W. dan Bradley, W.J. Keduanya lalu mengedit dan menerbitkan kumpulan makalah tentang proses berfikir yang ia beri judul Mathematics in a Postmodern Age: A Christian Perspective , Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company (2001). Intinya buku ini menawarkan worldview Kristen untuk dipakai menguji berbagai sudut pandang yang secara epistemologis teapat. Misalnya untuk menguji bagaimana anak-anak mengetahui dengan merujuk informasi dari firman sang Pencipta.
Dalam Islam istilah ilm telah memiliki konotasi dan denotasi iman. Iman memiliki konsekuensi amal. Obyek ‘ilm adalah semua realitas wujud, baik empiris maupun non empiris. Karena luasnya makna ilm maka obyek ilm pun tidak terbatas. Ilm pun tidak terdefinisikan, meski dapat digambarkan. Tuhan berada di semua obyek ilmu, karena semua itu bagian dari ciptaannya. Maka dari itu pertanyaan dimana posisi Tuhan dalam epistemologi Islam adalah absurd, apalagi dalam kehidupan sosial.
Nampaknya kisah kecelakaan itu bisa bersifat metaforis. Maksudnya, jika “menaruh” tuhan di bagasi saja telah membawa maut, maka membuang “tuhan” dari fikiran, sekolahan, lembaga pendidikan dan masyarakat juga akan membawa kematian peradaban. Mungkin, karena keprihatinan situasi itu maka Dogulas Haddows menulis essai berjudul Hipster: The Dead End of Western Civilization.
----------------------
Tulisan pernah dimuat di Jurnal Islamia Vol. IX No. 1 tahun 2014
Jadi sejatinya liberalisme dalam bidang sosial dan politik dalam peradaban Barat telah memarginalkan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan politik secara perlahan-lahan. Agama tidak diberi tempat diatas kepentingan sosial dan politik.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1308750562598224&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1308750562598224&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
Ideologi dan Teologi Liberal Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi Kata-kata liberal diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari...
Non-Muslim di Pentas Politik
Oleh: Dr Syamsuddin Arif
Akhir-akhir ini sering muncul pertanyaan di masyarakat mengenai boleh tidaknya umat Islam mendukung calon bupati, walikota, atau gubernur non-Muslim. Silang pendapat antara kelompok yang berbeda kepentingan pun terjadi. Yang melarang berpegang pada ayat al-Qur’an surat al-Māʾidah ayat 51 (“Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali-mu”) dan surat an-Nisāʾ ayat 144 (“Janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai wali-wali, seraya meninggalkan orang-orang beriman”). Sementara yang membolehkan tak mau kalah. Tafsir aṭ-Ṭabarī dan Ibn Katsīr dirujuk lantas menyimpulkan kata “awliyāʾ” dalam ayat di atas artinya bukan pemimpin, tetapi sekutu atau aliansi, sehingga yang dilarang itu bersekutu dan beraliansi dengan orang kafir, bukan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Namun, benarkah begitu?
Tiga Persoalan
Dalam tradisi intelektual Islam, ada tiga persoalan yang selalu dibicarakan terkait kepemimpinan politik dalam negara. Pertama, soal pemimpin yang kurang layak (imāmatul mafḍūl). Kedua, soal pemimpin yang suka maksiat (imāmatul fāsiq). Dan ketiga, soal pemimpin non-Muslim (imāmatul kāfir). Kecuali yang disebut terakhir, persoalan-persoalan kepemimpinan politik ini timbul karena banyak kasus yang menjadi khalifah, wazir, sultan, atau amir sepanjang sejarah Islam itu umumnya ‘kurang layak’ (mafḍūl) daripada yang benar-benar layak (fāḍil). Lebih banyak yang ‘kurang taat’ (fāsiq) daripada yang sholeh. Tentu saja dengan pengecualian para Khulafā’ Rāsyidūn (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –riḍwānullāhi ʿalayhim) dan beberapa orang yang mengikuti teladan mereka semisal ʿUmar bin ʿAbdil ʿAzīz.
Jadi memang secara historis acapkali terjadi kesenjangan antara ‘apa yang semestinya’ (das Sollen) dan ‘apa nyatanya’ (das Sein). Idealnya, seorang pemimpin itu bertaqwa, berilmu, pemberani, dan seterusnya. Namun realitasnya yang dilantik menjadi khalifah, sultan, wazir atau amir –terutama pada zaman Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyyah dan sesudahnya– itu seringkali memiliki kekurangan, kelemahan dan kesalahan. Maka sebagian teolog membolehkan orang yang kurang kompeten menjadi pemimpin meskipun ada orang yang lebih kompeten dan lebih pantas daripadanya. Inilah yang disebut imāmatu’l -mafḍūl. (Lihat: Imam Abū ’l-Ḥasan al-Asyʿarī, Maqālāt al-Islāmiyyīn, ed. H. Ritter, cet. Devlet Istanbul, 1929-33, hlm. 461, dan Ibn Ḥazm, al-Faṣl fī ’l-milal wa ’l-ahwā’ wa ’n-niḥal, ed. M.I. Naṣr dan ʿA.ʿUmayrah, Dār al-Jīl Beirut, 1416/1996, juz 5, hlm. 5-9).
Sama halnya dengan imāmatu’l-fāsiq. Yakni kasus dimana seseorang yang masih suka melanggar hukum agama –entah berkat keturunan ataupun dengan kudeta militer– naik menjadi penguasa (khalifah, sultan, amir). Sebagian ulama mengakui legitimasinya dan menganjurkan umat Islam tunduk padanya selagi sang penguasa itu masih memeluk Islam, masih melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak menyuruh rakyat melawan perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sikap positif ini demi menghindari bencana yang lebih besar (berdasarkan kaidah akhaffu ḍararayni) yaitu timbulnya konflik horizontal dan pertumpahan darah. Pertimbangan menarik diberikan oleh Imam Aḥmad ketika ditanya mengenai dua calon pemimpin Muslim yang satu hebat tetapi masih suka maksiat dan yang satu baik tetapi lemah: “Pendosa yang memiliki kapabilitas memimpin itu kapabilitasnya berguna bagi umat Islam dan perbuatan dosanya merugikan dirinya sendiri (fa-quwwatuhu li’l-muslimīn wa fujūruhu ʿalā nafsihi), sedangkan orang baik yang tidak punya kapabilitas memimpin maka kebaikannya untuk dirinya dan kelemahannya akan merugikan umat Islam.” (Lihat kitab Ibn Taymiyyah, as-Siyāsah as-Syarʿiyyah fī iṣlāhi r-rāʿī wa r-raʿiyyah (cet. Dār al-Jīl Beirut 1413/1993, hlm. 27).
Normatif dan Historis
Soal pemimpin non-Muslim jarang sekali dibicarakan karena memang secara normatif maupun historis hal itu tidak boleh dan tidak pernah terjadi. Secara normatif, larangan memilih orang kafir sebagai pemimpin sesungguhnya telah ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawī yang merupakan ‘pentolan’ mazh
Oleh: Dr Syamsuddin Arif
Akhir-akhir ini sering muncul pertanyaan di masyarakat mengenai boleh tidaknya umat Islam mendukung calon bupati, walikota, atau gubernur non-Muslim. Silang pendapat antara kelompok yang berbeda kepentingan pun terjadi. Yang melarang berpegang pada ayat al-Qur’an surat al-Māʾidah ayat 51 (“Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali-mu”) dan surat an-Nisāʾ ayat 144 (“Janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai wali-wali, seraya meninggalkan orang-orang beriman”). Sementara yang membolehkan tak mau kalah. Tafsir aṭ-Ṭabarī dan Ibn Katsīr dirujuk lantas menyimpulkan kata “awliyāʾ” dalam ayat di atas artinya bukan pemimpin, tetapi sekutu atau aliansi, sehingga yang dilarang itu bersekutu dan beraliansi dengan orang kafir, bukan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Namun, benarkah begitu?
Tiga Persoalan
Dalam tradisi intelektual Islam, ada tiga persoalan yang selalu dibicarakan terkait kepemimpinan politik dalam negara. Pertama, soal pemimpin yang kurang layak (imāmatul mafḍūl). Kedua, soal pemimpin yang suka maksiat (imāmatul fāsiq). Dan ketiga, soal pemimpin non-Muslim (imāmatul kāfir). Kecuali yang disebut terakhir, persoalan-persoalan kepemimpinan politik ini timbul karena banyak kasus yang menjadi khalifah, wazir, sultan, atau amir sepanjang sejarah Islam itu umumnya ‘kurang layak’ (mafḍūl) daripada yang benar-benar layak (fāḍil). Lebih banyak yang ‘kurang taat’ (fāsiq) daripada yang sholeh. Tentu saja dengan pengecualian para Khulafā’ Rāsyidūn (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –riḍwānullāhi ʿalayhim) dan beberapa orang yang mengikuti teladan mereka semisal ʿUmar bin ʿAbdil ʿAzīz.
Jadi memang secara historis acapkali terjadi kesenjangan antara ‘apa yang semestinya’ (das Sollen) dan ‘apa nyatanya’ (das Sein). Idealnya, seorang pemimpin itu bertaqwa, berilmu, pemberani, dan seterusnya. Namun realitasnya yang dilantik menjadi khalifah, sultan, wazir atau amir –terutama pada zaman Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyyah dan sesudahnya– itu seringkali memiliki kekurangan, kelemahan dan kesalahan. Maka sebagian teolog membolehkan orang yang kurang kompeten menjadi pemimpin meskipun ada orang yang lebih kompeten dan lebih pantas daripadanya. Inilah yang disebut imāmatu’l -mafḍūl. (Lihat: Imam Abū ’l-Ḥasan al-Asyʿarī, Maqālāt al-Islāmiyyīn, ed. H. Ritter, cet. Devlet Istanbul, 1929-33, hlm. 461, dan Ibn Ḥazm, al-Faṣl fī ’l-milal wa ’l-ahwā’ wa ’n-niḥal, ed. M.I. Naṣr dan ʿA.ʿUmayrah, Dār al-Jīl Beirut, 1416/1996, juz 5, hlm. 5-9).
Sama halnya dengan imāmatu’l-fāsiq. Yakni kasus dimana seseorang yang masih suka melanggar hukum agama –entah berkat keturunan ataupun dengan kudeta militer– naik menjadi penguasa (khalifah, sultan, amir). Sebagian ulama mengakui legitimasinya dan menganjurkan umat Islam tunduk padanya selagi sang penguasa itu masih memeluk Islam, masih melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak menyuruh rakyat melawan perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sikap positif ini demi menghindari bencana yang lebih besar (berdasarkan kaidah akhaffu ḍararayni) yaitu timbulnya konflik horizontal dan pertumpahan darah. Pertimbangan menarik diberikan oleh Imam Aḥmad ketika ditanya mengenai dua calon pemimpin Muslim yang satu hebat tetapi masih suka maksiat dan yang satu baik tetapi lemah: “Pendosa yang memiliki kapabilitas memimpin itu kapabilitasnya berguna bagi umat Islam dan perbuatan dosanya merugikan dirinya sendiri (fa-quwwatuhu li’l-muslimīn wa fujūruhu ʿalā nafsihi), sedangkan orang baik yang tidak punya kapabilitas memimpin maka kebaikannya untuk dirinya dan kelemahannya akan merugikan umat Islam.” (Lihat kitab Ibn Taymiyyah, as-Siyāsah as-Syarʿiyyah fī iṣlāhi r-rāʿī wa r-raʿiyyah (cet. Dār al-Jīl Beirut 1413/1993, hlm. 27).
Normatif dan Historis
Soal pemimpin non-Muslim jarang sekali dibicarakan karena memang secara normatif maupun historis hal itu tidak boleh dan tidak pernah terjadi. Secara normatif, larangan memilih orang kafir sebagai pemimpin sesungguhnya telah ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawī yang merupakan ‘pentolan’ mazh
ab Syāfiʿī dan diakui otoritasnya sebagai ahli fiqih dan ahli hadis sekaligus, misalnya, sangat eksplisit menyatakan bahwa syarat-syarat menjadi pemimpin (syurūṭ al-imāmah) itu mesti akil baligh (kawnuhu mukallafan), orang Islam (musliman –bukan kafir!), adil, merdeka (bukan budak), laki-laki, berilmu (ʿāliman), berijtihad (mujtahidan), pemberani, mempunyai visi dan kompetensi (dzā raʾyin wa kafāʾah), dan sehat pendengaran maupun penglihatan (Lihat: Rawḍat aṭ-Ṭālibīn, ed. Syeikh ʿĀdil ʿAbdul Mawjūd dan ʿAlī M. Muʿawwaḍ, cet. Dār ʿĀlam al-Kutub, Riyadh 1423/2003, jilid 7, hlm. 262). Pernyataan senada akan kita temukan dalam literatur fiqih rujukan di kalangan Nahdlatul Ulama seperti kitab al-Iqnāʿ fī ḥalli alfāẓ Abī Syujāʿ karya al-Khaṭīb as-Syarbīnī (cet. Muṣṭafā al-Bāb al-Ḥalabī Kairo, 1359/1940, juz 2, hlm. 246).
Pun secara historis, Rasūlullāh saw tidak pernah menunjuk orang kafir (walaupun mereka itu warganegara Madinah) sebagai gubernur (dulu istilahnya ʿāmil dan wālī) ataupun panglima (amīr). Demikian juga para khulafāʾ sesudahnya dari Sayyidina Abu Bakar hingga zaman Ottoman (Usmaniyyah) tidak pernah seorang pun mengangkat orang kafir sebagai gubernur atau panglima militer –sama halnya penguasa Singapura tidak membenarkan orang Melayu warganegara itu memegang tampuk kekuasaan apalagi dalam ketentaraan. Sepanjang sejarah Islam, orang-orang non-Muslim memang dijamin keselamatannya dan dilindungi hak-haknya sebagai warganegara karena mereka itu ahlu dzimmah, kecuali jika mereka berkhianat atau melanggar perjanjian.
Relasi Non-Muslim
Apa maksud kalimat “jangan kalian jadikan orang-orang kafir itu awliyāʾ (teman, kawan, rekan, sekutu)?” Menurut Fakhruddīn ar-Rāzī dalam tafsirnya, menjalin aliansi dengan non-Muslim (muwālāt al-kāfir) mengandung tiga pengertian. Pertama, meridhoi kekufuran mereka, dan ini jelas dilarang, karena merestui kekufuran itu kufur (ar-riḍā bil kufri kufrun). Kedua, bergaul dengan mereka secara baik (al-muʿāsyarah al-jamīlah) di dunia sesuai kenyataan, dan ini tidak dilarang. Ketiga, berpihak atau condong kepada mereka (ar-rukūn ilayhim), mengulurkan bantuan (al-maʿūnah), mendukung mereka (al-muẓāharah), dan membela kepentingan mereka (an-nuṣrah), dan ini tindakan pun dilarang (manhiyyun ʿanhu), kendati tidak membuat pelakunya kafir (Lihat: at-Tafsīr al-Kabīr, juz 7, jilid 3, cet. Dār al-Fikr Beirut 1425/2005, hlm.1603-1604).
Memang secara linguistik, menjadikan mereka sebagai awliyāʾ atau wali-wali itu berarti dua hal: yaitu, memberikan dukungan dan pembelaan –jika lafaznya dibaca walāyah (dengan fathah), dan menyerahkan mandat atau memberi kekuasaan –jika lafaznya dibaca wilāyah (dengan kasrah). Demikian menurut ar-Rāghib al-Iṣfahāni dalam kitab Mufradāt Alfāẓ al-Qurʾān (ed. Ṣafwān ʿAdnān Dāwūdī, cet. Dār al-Qalam Damaskus, 1412/1992, hlm. 885). Maka secara politis dan geografis, muwālatul kuffār tidak hanya berarti menjalin kerjasama atau beraliansi, tetapi juga menyerahkan “wilayah” umat Islam kepada non-Muslim.
Non-Muslim yang Adil?
Ada orang menukil sebuah “riwayat” (yang bukan Qur’an dan bukan pula hadis) dari kitab Ibnu Taymiyyah bahwa “Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin”. Memang benar, adalah ketentuan Allah (sunnatullāh) yang berlaku universal –kapanpun dan dimanapun– bahwa pemerintah yang adil akan langgeng dan pemerintah yang zalim akan jatuh, meskipun kita semua tahu bahwa kekuasaan itu milik Allah semata, yang bisa diberikan kepada siapapun dan dicabut dari siapapun. Allah berikan kekuasaan kepada Firʿaun yang angkuh, kejam, dan kufur, dan Allah jualah yang mencabutnya tanpa ampun. Juga benar bahwa suatu negeri sekali-kali tidak akan dibinasakan oleh Allah secara zalim, selagi penduduknya masih melakukan perbaikan (QS Hūd 117).
Perlu diketahui bahwa syarat keislaman mendahului syarat keadilan, sebagaimana syarat keimanan mendahului syarat kecantikan (dalam soal pernikahan, contohnya, dimana Allah berfirman: “Sesungguhnya seorang budak wanita yang beriman itu lebih baik [untuk dinikahi] daripada wanita
Pun secara historis, Rasūlullāh saw tidak pernah menunjuk orang kafir (walaupun mereka itu warganegara Madinah) sebagai gubernur (dulu istilahnya ʿāmil dan wālī) ataupun panglima (amīr). Demikian juga para khulafāʾ sesudahnya dari Sayyidina Abu Bakar hingga zaman Ottoman (Usmaniyyah) tidak pernah seorang pun mengangkat orang kafir sebagai gubernur atau panglima militer –sama halnya penguasa Singapura tidak membenarkan orang Melayu warganegara itu memegang tampuk kekuasaan apalagi dalam ketentaraan. Sepanjang sejarah Islam, orang-orang non-Muslim memang dijamin keselamatannya dan dilindungi hak-haknya sebagai warganegara karena mereka itu ahlu dzimmah, kecuali jika mereka berkhianat atau melanggar perjanjian.
Relasi Non-Muslim
Apa maksud kalimat “jangan kalian jadikan orang-orang kafir itu awliyāʾ (teman, kawan, rekan, sekutu)?” Menurut Fakhruddīn ar-Rāzī dalam tafsirnya, menjalin aliansi dengan non-Muslim (muwālāt al-kāfir) mengandung tiga pengertian. Pertama, meridhoi kekufuran mereka, dan ini jelas dilarang, karena merestui kekufuran itu kufur (ar-riḍā bil kufri kufrun). Kedua, bergaul dengan mereka secara baik (al-muʿāsyarah al-jamīlah) di dunia sesuai kenyataan, dan ini tidak dilarang. Ketiga, berpihak atau condong kepada mereka (ar-rukūn ilayhim), mengulurkan bantuan (al-maʿūnah), mendukung mereka (al-muẓāharah), dan membela kepentingan mereka (an-nuṣrah), dan ini tindakan pun dilarang (manhiyyun ʿanhu), kendati tidak membuat pelakunya kafir (Lihat: at-Tafsīr al-Kabīr, juz 7, jilid 3, cet. Dār al-Fikr Beirut 1425/2005, hlm.1603-1604).
Memang secara linguistik, menjadikan mereka sebagai awliyāʾ atau wali-wali itu berarti dua hal: yaitu, memberikan dukungan dan pembelaan –jika lafaznya dibaca walāyah (dengan fathah), dan menyerahkan mandat atau memberi kekuasaan –jika lafaznya dibaca wilāyah (dengan kasrah). Demikian menurut ar-Rāghib al-Iṣfahāni dalam kitab Mufradāt Alfāẓ al-Qurʾān (ed. Ṣafwān ʿAdnān Dāwūdī, cet. Dār al-Qalam Damaskus, 1412/1992, hlm. 885). Maka secara politis dan geografis, muwālatul kuffār tidak hanya berarti menjalin kerjasama atau beraliansi, tetapi juga menyerahkan “wilayah” umat Islam kepada non-Muslim.
Non-Muslim yang Adil?
Ada orang menukil sebuah “riwayat” (yang bukan Qur’an dan bukan pula hadis) dari kitab Ibnu Taymiyyah bahwa “Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin”. Memang benar, adalah ketentuan Allah (sunnatullāh) yang berlaku universal –kapanpun dan dimanapun– bahwa pemerintah yang adil akan langgeng dan pemerintah yang zalim akan jatuh, meskipun kita semua tahu bahwa kekuasaan itu milik Allah semata, yang bisa diberikan kepada siapapun dan dicabut dari siapapun. Allah berikan kekuasaan kepada Firʿaun yang angkuh, kejam, dan kufur, dan Allah jualah yang mencabutnya tanpa ampun. Juga benar bahwa suatu negeri sekali-kali tidak akan dibinasakan oleh Allah secara zalim, selagi penduduknya masih melakukan perbaikan (QS Hūd 117).
Perlu diketahui bahwa syarat keislaman mendahului syarat keadilan, sebagaimana syarat keimanan mendahului syarat kecantikan (dalam soal pernikahan, contohnya, dimana Allah berfirman: “Sesungguhnya seorang budak wanita yang beriman itu lebih baik [untuk dinikahi] daripada wanita
musyrik [yang cantik] betapa pun kalian mengaguminya ” QS al-Baqarah 221).
Syarat keadilan bagi seorang pemimpin negeri Muslim yang dimaksud adalah mampu menahan diri tidak melakukan dosa-dosa besar maupun tindakan-tindakan biasa yang bisa menjatuhkan reputasinya (Lihat: ad-Damyāṭī, Iʿānatu ’ṭ-Ṭālibīn ʿalā Fatḥi ’l-Muʿīn, cet. al-Maʿārif Bandung, t.t., hlm.211-212). Sementara menurut al-Baghdādi, dalam konteks politik kenegaraan, syarat ‘adil’ untuk menjadi pemimpin itu artinya yang bersangkutan terpercaya, dapat diterima kesaksiannya baik sebagai penerima maupun penyampai laporan (mimman yajūzu qabūlu syahādatihi taḥammulan wa adā’an). Lihat kitabnya, Uṣūluddīn, cet. Devlet Matbaasi Istanbul 1928, hlm. 277.
Kesimpulan
Bagi umat Islam, baik ‘pilkada’ maupun ‘pilkara’ (pemilihan kepala negara) bukan semata-mata urusan politik, akan tetapi urusan agama. Itulah sebabnya masalah kepemimpinan politik dibahas dalam kitab-kitab ʿaqāʾid dan ilmu uṣūluddīn. Sebutlah misalnya kitab ʿaqā’id an-Nasafī yang telah disalin dan diterjemahkan di kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 (sekitar tahun 1590 Masehi). Dinyatakan pada paragraf sebelum akhir bahwa umat Islam wajib mempunyai pemimpin yang tugasnya menegakkan Syariʿat, membangun benteng pertahanan, menyiapkan tentara, mengumpulkan zakat, menjaga keamanan dan ketertiban dengan memberantas para penjahat, pencuri dan perampok, menyelenggarakan ibadah jumʿat, merayakan hari-hari besar Islam, menyelesaikan sengketa di masyarakat, mengurus sistem peradilan dan sebagainya. Dan tujuan ‘pilkada’ maupun ‘pilkara’ bagi umat Islam adalah agar si pemimpin menjalankan misi profetik yaitu memelihara agama dan mengatur urusan-urusan dunia (al-imāmah mawḍūʿah li-khilāfati’n-nubuwwah fī ḥirāsati’d-dīn wa siyāsasti’d-dunyā). Inilah prinsipnya sebagaimana dinyatakan oleh al-Māwardī dalam al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, ed. Khālid al-ʿAlīmī (cet. Dār al-Kitāb al-ʿArabī Beirut 1415/1994, hlm. 29). Wallāhu aʿlam.[]
Koran Republika (Kamis, 17/03/2016)
Syarat keadilan bagi seorang pemimpin negeri Muslim yang dimaksud adalah mampu menahan diri tidak melakukan dosa-dosa besar maupun tindakan-tindakan biasa yang bisa menjatuhkan reputasinya (Lihat: ad-Damyāṭī, Iʿānatu ’ṭ-Ṭālibīn ʿalā Fatḥi ’l-Muʿīn, cet. al-Maʿārif Bandung, t.t., hlm.211-212). Sementara menurut al-Baghdādi, dalam konteks politik kenegaraan, syarat ‘adil’ untuk menjadi pemimpin itu artinya yang bersangkutan terpercaya, dapat diterima kesaksiannya baik sebagai penerima maupun penyampai laporan (mimman yajūzu qabūlu syahādatihi taḥammulan wa adā’an). Lihat kitabnya, Uṣūluddīn, cet. Devlet Matbaasi Istanbul 1928, hlm. 277.
Kesimpulan
Bagi umat Islam, baik ‘pilkada’ maupun ‘pilkara’ (pemilihan kepala negara) bukan semata-mata urusan politik, akan tetapi urusan agama. Itulah sebabnya masalah kepemimpinan politik dibahas dalam kitab-kitab ʿaqāʾid dan ilmu uṣūluddīn. Sebutlah misalnya kitab ʿaqā’id an-Nasafī yang telah disalin dan diterjemahkan di kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 (sekitar tahun 1590 Masehi). Dinyatakan pada paragraf sebelum akhir bahwa umat Islam wajib mempunyai pemimpin yang tugasnya menegakkan Syariʿat, membangun benteng pertahanan, menyiapkan tentara, mengumpulkan zakat, menjaga keamanan dan ketertiban dengan memberantas para penjahat, pencuri dan perampok, menyelenggarakan ibadah jumʿat, merayakan hari-hari besar Islam, menyelesaikan sengketa di masyarakat, mengurus sistem peradilan dan sebagainya. Dan tujuan ‘pilkada’ maupun ‘pilkara’ bagi umat Islam adalah agar si pemimpin menjalankan misi profetik yaitu memelihara agama dan mengatur urusan-urusan dunia (al-imāmah mawḍūʿah li-khilāfati’n-nubuwwah fī ḥirāsati’d-dīn wa siyāsasti’d-dunyā). Inilah prinsipnya sebagaimana dinyatakan oleh al-Māwardī dalam al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, ed. Khālid al-ʿAlīmī (cet. Dār al-Kitāb al-ʿArabī Beirut 1415/1994, hlm. 29). Wallāhu aʿlam.[]
Koran Republika (Kamis, 17/03/2016)
*BARAT*
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Suatu hari David Thomas, pendeta dan Profesor teologi di Selly Oak College, Universitas Birmingham, Inggris ditanya seorang mahasiswanya yang Muslim: “Are you happy with the Western civilization?” “No, not at all” jawabnya tegas. “Why?”, tanyanya. Sebab, paparnya, Barat dan orang-orang Barat maju dan berkembang bukan karena Kristen. Bos pabrik cokelat Cadbury, katanya mencontohkan, menyumbang dana jutaan Poundsterling untuk membangun perpustakaan Selly Oak bukan karena ia seorang Kristen, tapi karena ia kaya dan punya dana sosial lebih.
Jawaban Thomas mengungkap fakta sejarah. Barat bukan Kristen. Sejarawan Barat seperti Onians, R.B, Arthur, W.H.A, Jones, W.T.C, atau William McNeill, umumnya menganggap “Ionia is the cradle of Western civilization” dan Bukan Kristen. Agama Kristen malahan telah ter-Baratkan. Thomas sepertinya ingin mengatakan bahwa Barat tidak lahir dari pandangan hidup Kristen.
Sosoknya mulai nampak ketika marah dan protes terhadap otoritas gereja. Agama dipaksa duduk manis di ruang gereja dan tidak boleh ikut campur dalam ruang publik. Diskursus teologi hanya boleh dilakukan dengan bisik-bisik. Tapi orang boleh teriak anti agama. Hegemoni diganti dengan hegemoni. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Teriakan Nietzsche “God is dead” masih terdengar hingga saat ini. Dalam The Gay Science ia mengatakan, “ketika kami mendengar “tuhan yang tua itu mati” kami para filosof dan “jiwa-jiwa yang bebas” merasa seakan-akan fajar telah menyingsing menyinari kita”.
Kematian tuhan di Barat ditandai oleh penutupan diskursus metafisika tempat teologi bersemayam. Tuhan bukan lagi supreme being. Tidak ada lagi yang absolute. Semua relatif. Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar maka orang lain berhak menghakimi itu salah. Tuhan tidak lagi bisa diwakili. Ia telah mati. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Mengapa tuhan perlu dibunuh? Kalau Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat, Nietzsche menganggap tuhan sebagai tirani jiwa (tyrant of the soul). Beriman pada tuhan tidak bebas dan bebas berarti tanpa iman. Sebab beriman berarti sanggup menerima perintah, larangan atau peraturan yang mengikat. Barat adalah alam pikiran pandangan hidup.
Sejarah Barat adalah sejarah pencarian “kebenaran”. Tapi mencari kebenaran di Barat lebih penting dari kebenaran itu sendiri. Mencari untuk mencari, ilmu untuk ilmu, seni untuk seni. Sesudah “membunuh tuhan” Barat mengangkat tuhan baru yakni logocentrisme atau rasionalisme.
Tidak puas dengan tuhan baru mereka mengangkat liberalisme. Namun kini liberalisme seperti moncong bedil. Pandangan-pandangan yang tidak “setuju” harus keluar atau berhadapan. “You are with us or against us”.
Liberalisme membawa gagasan kepelbagaian (multiplicities), kesamarataan, (equal representation) dan keraguan yang menyeluruh (total doubt). Barat kini adalah sosok yang tanpa wajah. Atau seperti kata Ziauddin Sardar wajah yang tanpa kebenaran (no truth), tanpa realitas (no reality), tanpa makna (no meaning). There is no comfort in the truth. Setting alam pikiran Barat ini dihukumi Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah (the end of History).
Diskursus tentang God-man & God-world relation di abad pertengahan kini sudah tidak relevan. Humanisme telah mendominasi dan menyingkirkan teisme. Akibatnya, teologi tanpa metafisika, agama tanpa spiritualitas atau bahkan religion without god.
Teologi (theos dan logos) secara etimologis tidak lagi memiliki akar ketuhanan. Istilah teologi pembebasan, teologi emansipasi, teologi menstruasi dan sebagainya tidak lagi berurusan dengan Tuhan. Agama bagi postmodernisme tidak lebih dari sebuah narasi besar (grand narrative) yang dapat diotak-atik oleh permainan bahasa. Makna realitas tergantung kepada kekuatan dan kreatifitas imaginasi dan fantasi. Feeling is everything kata Goethe.
Kebenaran itu relatif dan menjadi hak dan milik semua. Kebenaran adalah ilusi verbal yang diterima masyarakat atau tidak beda dari kebohongan yang disepakati. Etika harus di- globalkan agar tidak ada orang yang merasa p
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Suatu hari David Thomas, pendeta dan Profesor teologi di Selly Oak College, Universitas Birmingham, Inggris ditanya seorang mahasiswanya yang Muslim: “Are you happy with the Western civilization?” “No, not at all” jawabnya tegas. “Why?”, tanyanya. Sebab, paparnya, Barat dan orang-orang Barat maju dan berkembang bukan karena Kristen. Bos pabrik cokelat Cadbury, katanya mencontohkan, menyumbang dana jutaan Poundsterling untuk membangun perpustakaan Selly Oak bukan karena ia seorang Kristen, tapi karena ia kaya dan punya dana sosial lebih.
Jawaban Thomas mengungkap fakta sejarah. Barat bukan Kristen. Sejarawan Barat seperti Onians, R.B, Arthur, W.H.A, Jones, W.T.C, atau William McNeill, umumnya menganggap “Ionia is the cradle of Western civilization” dan Bukan Kristen. Agama Kristen malahan telah ter-Baratkan. Thomas sepertinya ingin mengatakan bahwa Barat tidak lahir dari pandangan hidup Kristen.
Sosoknya mulai nampak ketika marah dan protes terhadap otoritas gereja. Agama dipaksa duduk manis di ruang gereja dan tidak boleh ikut campur dalam ruang publik. Diskursus teologi hanya boleh dilakukan dengan bisik-bisik. Tapi orang boleh teriak anti agama. Hegemoni diganti dengan hegemoni. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Teriakan Nietzsche “God is dead” masih terdengar hingga saat ini. Dalam The Gay Science ia mengatakan, “ketika kami mendengar “tuhan yang tua itu mati” kami para filosof dan “jiwa-jiwa yang bebas” merasa seakan-akan fajar telah menyingsing menyinari kita”.
Kematian tuhan di Barat ditandai oleh penutupan diskursus metafisika tempat teologi bersemayam. Tuhan bukan lagi supreme being. Tidak ada lagi yang absolute. Semua relatif. Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar maka orang lain berhak menghakimi itu salah. Tuhan tidak lagi bisa diwakili. Ia telah mati. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Mengapa tuhan perlu dibunuh? Kalau Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat, Nietzsche menganggap tuhan sebagai tirani jiwa (tyrant of the soul). Beriman pada tuhan tidak bebas dan bebas berarti tanpa iman. Sebab beriman berarti sanggup menerima perintah, larangan atau peraturan yang mengikat. Barat adalah alam pikiran pandangan hidup.
Sejarah Barat adalah sejarah pencarian “kebenaran”. Tapi mencari kebenaran di Barat lebih penting dari kebenaran itu sendiri. Mencari untuk mencari, ilmu untuk ilmu, seni untuk seni. Sesudah “membunuh tuhan” Barat mengangkat tuhan baru yakni logocentrisme atau rasionalisme.
Tidak puas dengan tuhan baru mereka mengangkat liberalisme. Namun kini liberalisme seperti moncong bedil. Pandangan-pandangan yang tidak “setuju” harus keluar atau berhadapan. “You are with us or against us”.
Liberalisme membawa gagasan kepelbagaian (multiplicities), kesamarataan, (equal representation) dan keraguan yang menyeluruh (total doubt). Barat kini adalah sosok yang tanpa wajah. Atau seperti kata Ziauddin Sardar wajah yang tanpa kebenaran (no truth), tanpa realitas (no reality), tanpa makna (no meaning). There is no comfort in the truth. Setting alam pikiran Barat ini dihukumi Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah (the end of History).
Diskursus tentang God-man & God-world relation di abad pertengahan kini sudah tidak relevan. Humanisme telah mendominasi dan menyingkirkan teisme. Akibatnya, teologi tanpa metafisika, agama tanpa spiritualitas atau bahkan religion without god.
Teologi (theos dan logos) secara etimologis tidak lagi memiliki akar ketuhanan. Istilah teologi pembebasan, teologi emansipasi, teologi menstruasi dan sebagainya tidak lagi berurusan dengan Tuhan. Agama bagi postmodernisme tidak lebih dari sebuah narasi besar (grand narrative) yang dapat diotak-atik oleh permainan bahasa. Makna realitas tergantung kepada kekuatan dan kreatifitas imaginasi dan fantasi. Feeling is everything kata Goethe.
Kebenaran itu relatif dan menjadi hak dan milik semua. Kebenaran adalah ilusi verbal yang diterima masyarakat atau tidak beda dari kebohongan yang disepakati. Etika harus di- globalkan agar tidak ada orang yang merasa p
aling baik. Baik buruk tidak perlu berasal dari apa kata Tuhan, akal manusia boleh menentukan sendiri.
Barat adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam, Hindu, bahkan Jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan species. Masing-masing memiliki karakter dan elemennya sendiri-sendiri.
Jika elemen-elemen suatu pandangan hidup dimasuki oleh elemen pandangan hidup lain, maka akan terjadi con-fusion alias kebingungan. Margaret Marcus (Maryam Jameelah), malah mengingatkan jika pandangan hidup Barat menelusup kedalam sistem kepercayaan Islam, tidak lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa.
Benar, ketika elemen-elemen Barat yang anti Kristen dipinjam anak-anak muda Muslim, maka mulut yang membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran ateis. Tuhan yang Maha Kuasa, bisa menjadi “Tuhan yang maha lemah”, al-Qur’an yang suci dan sakral tidak beda dari karya William Shakespear, karena ia sama-sama keluar dari mulut manusia.
Jika umat Islam ingin maju seperti Barat maka ia akan menjadi seperti Barat dan bukan seperti Islam. Dan suatu hari nanti akan ingat keluhan David Thomas atau tangisan Tertulian yang sudah lapuk “Apalah artinya Athena tanpa Jerussalem”. Maksudnya apa artinya kemajuan ilmu pengetahuan jika tanpa didukung agama. Apa arti ilmu tanpa iman.
Barat adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam, Hindu, bahkan Jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan species. Masing-masing memiliki karakter dan elemennya sendiri-sendiri.
Jika elemen-elemen suatu pandangan hidup dimasuki oleh elemen pandangan hidup lain, maka akan terjadi con-fusion alias kebingungan. Margaret Marcus (Maryam Jameelah), malah mengingatkan jika pandangan hidup Barat menelusup kedalam sistem kepercayaan Islam, tidak lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa.
Benar, ketika elemen-elemen Barat yang anti Kristen dipinjam anak-anak muda Muslim, maka mulut yang membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran ateis. Tuhan yang Maha Kuasa, bisa menjadi “Tuhan yang maha lemah”, al-Qur’an yang suci dan sakral tidak beda dari karya William Shakespear, karena ia sama-sama keluar dari mulut manusia.
Jika umat Islam ingin maju seperti Barat maka ia akan menjadi seperti Barat dan bukan seperti Islam. Dan suatu hari nanti akan ingat keluhan David Thomas atau tangisan Tertulian yang sudah lapuk “Apalah artinya Athena tanpa Jerussalem”. Maksudnya apa artinya kemajuan ilmu pengetahuan jika tanpa didukung agama. Apa arti ilmu tanpa iman.
DR. ADIAN HUSAINI:
Adab Hubungan Guru & Anak Didik, Perenungan kasus Guru Budi di sampang
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1689028351198238&id=212684542165967
Adab Hubungan Guru & Anak Didik, Perenungan kasus Guru Budi di sampang
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1689028351198238&id=212684542165967
Facebook
Adian Husaini
Adab Hubungan Guru & Anak Didik, Perenungan kasus Guru Budi di sampang
The meaning of īmān
by Al-Ḥabīb Prof. Sayyīd Muḥammad Naquīb al-Aṭṭaṣ
1. Religion (islām) and belief (īmān) are not identical, but they are mutually inseparable and indispensable. Belief in the sense we mean is to have faith, not quite in the sense faith is understood in English, but in the sense that it involves the becoming true to the trust by which God has confided in one, not by profession of belief with the tongue only, without the assent of the heart and the action of the body in conformity with it; and this is more than knowledge, which is prior to faith, so that it is also verification by deeds in accordance with what is known to be the truth. The ‘truth’ here means what has come down by way of revelation to the Prophet about the nature and reality of God, of His creation, of human destiny, of the relation between man and God and man’s individual responsibility and freedom.
2. To all Muslims īmān and taṣdīq means ‘having faith and belief in what the Prophet brought’, and that īmān and islām are inseparable. The authority for affirming this meaning of taṣdīq is not merely based on Arabic grammar; and the authoritative interpretation of it should have been sought by the non-muslim from relevant Muslims sources such as, to quote three of them, al-Ash‘arī’s Kitāb al-Luma‘ fī’l-Radd ‘alā Ahl al-Zaygh wa’l-Bida‘, Bāb al-Kalām fī’l-Īmān (Arabic text, chapter eight); al-Ghazzālī’s Kitāb Qawā‘id al-‘Aqā’id (Iḥyā, first part), Al-Faṣl al-Rābi‘ fī’l-Īmān wa’l-Islām; and al-Taftāzānī’s Sharḥ al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah, the chapter on Īmān. This last reference has apparently been translated into Malay by al-Rānīrī.
3. Īmān implies consciousness of God and remembrance of Him that brings about a condition of tranquility in the soul; it is freedom from worry resulting from doubt; freedom from disquietude and from fear that refers to ultimate destiny; it is inward security that comes about when the soul is submissive to God; and being submissive to God is freedom, which causes to arise in the soul the consciousness of peace called islām.
4. The root amina conveys the meaning of becoming secure, becoming free from fear. The infinitive noun of amina: amnu, means security, freedom from fear. The fear that is meant here is the fear of the unknown, of utter solitude and incommunicability, of death and what lies beyond, a foreboding of dread—in short it is the fear that refers to ultimate destiny.
5. According to what has been and still is verified by “those who have faith (āmanū) and whose heart are rendered tranquil (taṭma’innu) by remembrance (dhikr) of God, for surely in the remembrance of God are hearts made tranquil”, faith (īmān) and remembrance (dhikr) are necessary for the attainment of that stable and peaceful calmness of heart that is called ṭuma’ninah.
6. In this most fundamental concept in life—the concept of knowledge—Islām is at variance with Western civilization, in that for Islām (a) knowledge includes faith and true belief (īmān); and that (b) the purpose for seeking knowledge is to inculculate goodness or justice in man as man and individual self, and not merely in man as citizen or integral part of society: it is man’s value as a real man, as spirit, that is stressed, rather than his value as a physical entity measured in terms of the pragmatic or utilitarian sense of his usefulness to state and society and the world.
by Al-Ḥabīb Prof. Sayyīd Muḥammad Naquīb al-Aṭṭaṣ
1. Religion (islām) and belief (īmān) are not identical, but they are mutually inseparable and indispensable. Belief in the sense we mean is to have faith, not quite in the sense faith is understood in English, but in the sense that it involves the becoming true to the trust by which God has confided in one, not by profession of belief with the tongue only, without the assent of the heart and the action of the body in conformity with it; and this is more than knowledge, which is prior to faith, so that it is also verification by deeds in accordance with what is known to be the truth. The ‘truth’ here means what has come down by way of revelation to the Prophet about the nature and reality of God, of His creation, of human destiny, of the relation between man and God and man’s individual responsibility and freedom.
2. To all Muslims īmān and taṣdīq means ‘having faith and belief in what the Prophet brought’, and that īmān and islām are inseparable. The authority for affirming this meaning of taṣdīq is not merely based on Arabic grammar; and the authoritative interpretation of it should have been sought by the non-muslim from relevant Muslims sources such as, to quote three of them, al-Ash‘arī’s Kitāb al-Luma‘ fī’l-Radd ‘alā Ahl al-Zaygh wa’l-Bida‘, Bāb al-Kalām fī’l-Īmān (Arabic text, chapter eight); al-Ghazzālī’s Kitāb Qawā‘id al-‘Aqā’id (Iḥyā, first part), Al-Faṣl al-Rābi‘ fī’l-Īmān wa’l-Islām; and al-Taftāzānī’s Sharḥ al-‘Aqā’id al-Nasafiyyah, the chapter on Īmān. This last reference has apparently been translated into Malay by al-Rānīrī.
3. Īmān implies consciousness of God and remembrance of Him that brings about a condition of tranquility in the soul; it is freedom from worry resulting from doubt; freedom from disquietude and from fear that refers to ultimate destiny; it is inward security that comes about when the soul is submissive to God; and being submissive to God is freedom, which causes to arise in the soul the consciousness of peace called islām.
4. The root amina conveys the meaning of becoming secure, becoming free from fear. The infinitive noun of amina: amnu, means security, freedom from fear. The fear that is meant here is the fear of the unknown, of utter solitude and incommunicability, of death and what lies beyond, a foreboding of dread—in short it is the fear that refers to ultimate destiny.
5. According to what has been and still is verified by “those who have faith (āmanū) and whose heart are rendered tranquil (taṭma’innu) by remembrance (dhikr) of God, for surely in the remembrance of God are hearts made tranquil”, faith (īmān) and remembrance (dhikr) are necessary for the attainment of that stable and peaceful calmness of heart that is called ṭuma’ninah.
6. In this most fundamental concept in life—the concept of knowledge—Islām is at variance with Western civilization, in that for Islām (a) knowledge includes faith and true belief (īmān); and that (b) the purpose for seeking knowledge is to inculculate goodness or justice in man as man and individual self, and not merely in man as citizen or integral part of society: it is man’s value as a real man, as spirit, that is stressed, rather than his value as a physical entity measured in terms of the pragmatic or utilitarian sense of his usefulness to state and society and the world.