MUSTANIR ONLINE
3.2K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
TUHAN
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada suatu hari saya naik bus dari Aston ke Universitas Birmingham Inggris. Disamping saya duduk seorang bule yang agak kusut. Ia melirik buku teologi yang sedang saya baca. Dan tiba-tiba: Hai mike! Ia menyapa dengan aksen khas Birmingham sambil senyum. Kemudian ia bertanya: Bisakah Tuhan menciptakan sesuatu yang Ia tidak dapat mengangkatnya?.

Saya tahu konsekuensi jawabannya. Baik jawaban positif maupun negatif hasilnya sama yaitu “Tuhan tidak berkuasa”. Ini pasti pertanyaan seorang sekuler atau ateis, pikir saya.

Ia bertanya dan tidak perlu jawaban. Untuk tidak memberi jawaban panjang kepadanya, saya melontarkan pertanyaan balik “Could you tell me what do you mean by God?” Benar saja sebelum menjawab pertanyaan saya dia sudah turun dari bus sambil meringis.

Pertanyaan apakah Tuhan bisa membuat lebih baik dari yang ada ini. pernah diajukan Peter Abelard. Dia sendiri bingung menjawabnya. Pertanyaan Bule itu mungkin hasil adopsi dari Peter. Tapi yang jelas bukan dari pikirannya sendiri. Apa makna Tuhan baginya kabur. Bertanya tanpa ilmu akhirnya menjadi seperti guyonan atau bahkan plesetan.

Di Barat diskursus tentang Tuhan memang marak dan terkadang mirip guyonan. Presedennya karena teologi bukan bagian dari tsawabit (permanen) tapi mutaghayyirat (berubah). Layaknya wacana furu dalam Fiqih. Ijtihad tentang Tuhan terbuka lebar untuk semua.

Siapa saja boleh bertanya apa saja. Akibatnya, para teolog pun kuwalahan. Pertanyaan-pertanyaan rasional dan protes-protes teologis gagal dijawab. Teolog kemudian digeser oleh doktrin Sola Scriptura. Kitab suci bisa dipahami tanpa otoritas teolog.

Sosiolog, psikolog, sejarawan, filosof, saintis dan bahkan orang awam pun berhak bicara tentang Tuhan. Hadis Nabi Idza wussida al-amru ila ghayri ahlihi fantadzir al-saah, (Jika suatu perkara diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu (kehancurannya) terbukti. Katholik pun terpolarisasi menjadi Protestan. Protestan menjadi Liberal dan al-Syiah itu barangkali lahirnya apa yang disebut dengan modern atheism.

Apa kata Michael Buckley dalam At The Origin of Modern Atheism meneguhkan sabda Nabi. Ateisme murni di awal era modern timbul karena otoritas teolog diambil alih oleh filosof dan saintis. Pemikir-pemikir yang ia juluki “Para pembela iman Kristiani baru yang rasionalistis” seperti Lessius, Mersenne, Descartes, Malebranche, Newton dan Clarke, itu justru melupakan realitas Yesus Kristus.



Dalam hal ini Newton tidak mau disalahkan, Trinitas telah merusak agama murni Yesus, katanya. Descartes hanya percaya Tuhan filsafat, bukan Tuhan teolog, Lalu siapa yang bermasalah? Bisa kedua-duanya.

Ini membingungkan. Pernyataan eksplisit bahwa Yesus itu Tuhan memang absen dari Bible. Ia dipahami hanya dari implikasi, sebab bahasa Bible itu susah, kata Duane A. Priebe. Konsep Tuhan akhirnya harus dicari dengan hermeneutik dan kritik terhadap teks Bible.

Akan tetapi malangnya kritik terhadap Bible (Biblical Criticism), bukan tanpa konsekuensi. Biblical Criticism, kata Buckley, justru melahirkan ateisme modern. Alasannya lugas dan logis. Ketika orang ragu akan teks Bible ia juga ragu akan isinya, akan kebenaran hakikat Tuhan dan tentang kebenaran eksistensi Tuhan itu sendiri. Hasil akhirnya adalah ateisme. Bukan hanya Biblenya yang problematik, tapi perangkat teologisnya tidak siap. Inilah masalah teologi.

Tapi ateisme modern bukan mengkufuri Tuhan, tapi Tuhan para teolog tuhan agama-agama. Yang problematik, kata Voltaire bukan Tuhan tapi doktrin-doktrin tentang Tuhan. Tuhan Yahudi dan Kristen, kata Newton problematik karena itu ia ditolak sains.

Bahkan bagi Hegel Tuhan Yahudi itu tiran dan Tuhan Kristen itu barbar dan lalim. Tuhan, akhirnya harus dibunuh. Nietzche pada tahun 1882 mendeklarasikan bahwa Tuhan sudah mati. Tapi ia tidak sendiri. Bagi Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin, Sigmund Freud, jika Tuhan belum mati, tugas manusia rasional untuk membunuhNya. Tapi Voltaire (1694-1778) tidak setuju Tuhan dibunuh. Tuhan harus ada, seandainya Tuhan tidak ada kita wajib menciptakannya
. Hanya saja Tuhan tidak boleh bertentangan dengan standar akal. Suatu guyonan yang menggelitik.

Belakangan Sartre (1905-1980) seorang filosof eksistensialis mencoba menetralisir, Tuhan bukan tidak hidup lagi atau tidak ada, Tuhan ada tapi tidak bersama manusia. “Tuhan telah berbicara pada kita tapi kini Ia diam”. Sartre lalu menuai kritik dari Martin Buber (1878-1965) seorang teolog Yahudi. Anggapan Sartre itu hanyalah kilah seorang eksistensialis. Tuhan tidak diam, kata Buber, tapi di zaman ini manusia memang jarang mendengar. Manusia terlalu banyak bicara dan sangat sedikit merasa. Filsafat hanya bermain dengan image dan metafora sehingga gagal mengenal Tuhan, katanya.

Itulah akibat memahami Tuhan tanpa pengetahuan agama, tulisnya geram. Filosof berkomunikasi dengan Tuhan hanya dengan pikiran, tapi tanpa rasa keimanan. Martin lalu menggambarkan “nasib” Tuhan di Barat melalui bukunya berjudul Eclipse of God. Saat Blaise Pascal (1623-1662) ilmuwan muda brilian dari Perancis meninggal, dibalik jaketnya ditemukan tulisan “Tuhan Abraham, Tuhan Ishak, Tuhan Yakub, bukan Tuhan para filosof dan ilmuwan.” Kesimpulan yang sangat cerdas. Inilah masalah bagi para filosof itu.

Begitulah, Barat akhirnya menjadi peradaban yang “maju” tanpa teks (kitab suci), tanpa otoritas teolog, dan last but not least tanpa Tuhan. Barat adalah peradaban yang meninggalkan Tuhan dari wacana keilmuan, wacana filsafat, wacana peradaban bahkan dari kehidupan publik. Tuhan, kata Diderot, tidak bisa jadi pengalaman sobyektif. Meskipun bisa bagi Kant (1724-1804) juga tidak menjadikan Tuhan “ada”. Berpikir dan beriman pada tuhan hasilnya sama. Kant gagal menemukan Tuhan. Kant mengaku sering ke gereja, tapi tidak masuk. Ia seumur-umur hanya dua kali masuk gereja : waktu dibaptis dan saat menikah. Maka dari itu Tuhan tidak bisa hadir dalam alam pikiran filsafatnya.

Muridnya, Herman Cohen pun berpikir sama. “Tuhan hanya sekedar ide”, katanya. Tuhan hanya nampak dalam bentuk mitos yang tidak pernah wujud. Tapi anehnya ia mengaku mencintai Tuhan. Lebih aneh lagi ia bilang “Kalau saya mencintai Tuhan”, katanya, “maka saya tidak memikirkanNya lagi.” Hatinya ke kanan pikirannya ke kiri. Pikirannya tidak membimbing hatinya, dan cintanya tidak melibatkan pikirannya.

Tuhan dalam perhelatan peradaban Barat memang problematik. Sejak awal era modern Francis Bacon (1561-1626) menggambarkan mindset manusia Barat begini : Theology is known by faith but philosophy should depend only upon reason. Maknanya, teologi di Barat tidak masuk akal dan berfilsafat tidak bisa melibatkan keimanan pada Tuhan.

Filsafat dan sains di Barat memang area non-teologis alias bebas Tuhan. Tuhan tidak lagi berkaitan dengan ilmu, dunia empiris. Tuhan menjadi seperti mitologi dalam khayalan. Akhirnya Barat kini, dalam bahasa Nietzche, sedang “menempuh ketiadaan yang tanpa batas”.

Tapi anehnya, kita tiba-tiba mendengar mahasiswa Muslim “mengusir” Tuhan dari kampusnya dan membuat plesetan tentang Allah gaya-gaya filosof Barat. Ini guyonan yang tidak lucu, dan wacana intelektual yang wagu. Seperti santri sarungan tapi di kepalanya topi cowboy Alaska yang kedodoran. Tidak bisa sujud tapi juga tidak bisa lari. Bagaikan parodi dalam drama kolosal yang berunsur western-tainment.

Konsep Tuhan dalam tradisi intelektual Islam tidak begitu. Konsep itu telah sempurna sejak selesainya tanzil. Bagi seorang pluralis ini jelas supremacy claim. Tapi faktanya Kalam dan falsafah tidak pernah lepas dari Tuhan. Mutakallim dan faylosof juga tidak mencari Tuhan baru, tapi sekedar menjelaskan. Penjelasan al-Quran dan Hadis cukup untuk membangun peradaban.

Ketika Islam berhadapan dengan peradaban dunia saat itu, konsep Tuhan, dan teks al-Quran tidak bermasalah. Hermeneutika allegoris Plato maupun literal Aristotle pun tidak diperlukan. Hujatan terhadap teks dan pelucutan otoritas teolog juga tidak terjadi. Justru kekuatan konsep-konsepnya secara sistemik membentuk suatu pandangan hidup (worldview).

Islam tidak ditinggalkan oleh peradaban yang dibangunnya sendiri. Itulah sebabnya ia berkembang menjadi per
adaban yang tangguh. Roger Garaudy yang juga bule itu paham, Islam adalah pandangan terhadap Tuhan, terhadap alam dan terhadap manusia yang membentuk sains, seni, individu dan masyarakat. Islam membentuk dunia yang bersifat ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Jika peradaban Islam dibangun dengan gaya-gaya Barat menghujat Tuhan itu berarti mencampur yang al-haq dengan yang al-batil alias sunt bona mixtra malis.
AGAMA
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat “Its like Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporternya yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepak bola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.

Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan its like religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta umat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama.

Tapi, di Barat agama bisa dipahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Quran araayta man ittakhadha ilaahahu hawaahu (QS. 25:43).

Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal.

Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.

F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “Rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “Apa yang kita lakukan dalam kesendirian”.

Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.

Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural.

Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa dipahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, p. 207).

Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstrasosial, ekstrasosiologis atau pun ekstrapsikologis. Aspek imanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.

Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Armstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan.

Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan. Konsep Tuhan, Agama, Ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.

Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrows God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.

Socrates pun pernah berkata: “Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”. Artinya “Saya beriman ta
pi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Apa arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu istilah ini dibuang.

Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas sobyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur bagi ateisme. Sebab tuhan bisa dibunuh.

Jika Imam al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia sudah menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).

Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan harus mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd.

Tuhan yang personal dan tirani itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru paham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan its really religion but without god.

Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak “Politik Islam, No” tapi lalu berbisik “Berpolitik, Yes”….”Money Politik laa siyyama (apalagi)”.

Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung”! kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi dan kita harus akur” kata profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “Ya akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”; “Gus! Maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis “Anda jangan menganggap agama anda paling benar”. Tak ketinggalan para ulama diperingati “Jangan mengatasnamakan Tuhan”.

Kini semua orang “harus” membiarkan pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan “Kalau anda tidak pluralis anda pasti teroris”

Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology-nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F. Schuon.

Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah. Syariat, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif.

Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Dalam Islam Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan membayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.
Press Release GNPF MUI
AKSI DAMAI BELA ISLAM "Tegakkan Keadilan melalui Supremasi Hukum"

Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) adalah sebuah gerakan yang bertujuan menegakkan hukum terhadap pelaku penodaan agama seperti yang telah dilakukan oleh Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama alias Ahok. Gerakan ini tidak punya kaitan organisatoris dengan lembaga Majelis Ulama Indonesia.

GNPF-MUI adalah gerakan NON POLITIK yang menjadi lokomotif gerakan Aksi Damai Bela Islam pada tanggal 4 november 2016 menuntut agar Gubernur DKI yang telah menistakan Islam harus ditangkap demi tegaknya supremasi hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan demi rasa keadilan terhadap ummat Islam seluruh Indonesia yang sangat kecewa dengan pernyataannya.
Dan kami tegaskan juga bahwa gerakan ini bukan gerakan anti kristen, bukan anti cina, bukan anti NKRI, bukan anti bhinneka tunggal ika, tapi gerakan tuntutan penegakan hukum yg adil thd penista Alquran dan Ulama .

Kepada Presiden Jokowi GNPF-MUI menuntut agar berlaku adil dan tidak melindungi Ahok yang jelas-jelas telah melakukan tindakan penodaan agama dan tidak melihat persoalan
Aksi Bela lslam ini hanya sebagai sesuatu yang dikhawatirkan akan mengarah pada People Power. Kepada penegak hukum khususnya Kepolisian Republik Indonesia agar tidak bersikap represif terhadap peserta demonstrasi damai ini dan tidak membendung peserta aksi yang datang dari berbagai penjuru Nusantara.

Aksi Damai Bela Islam ini akan dilaksanakan mulai dari Masjid Istiqlal setelah Shalat Jumat dengan melewati jalan Medan merdeka timur lalu ke Jl. medan merdeka selatan , terus kekanan ke Jl. Medan Merdeka barat kemudian berhenti dan orasi di depan Istana Negara.
Kepada para peserta unjuk rasa, GNPF-MUI mengimbau agar tidak membawa senjata tajam apapun dan tidak melakukan tindakan anarki, tidak merusak fasilitas umum, serta menjaga ketertiban dan kebersihan. Juga dianjurkan membawa kantong plastik sampah, air minum, alas shalat, payung, dan obat-obatan pribadi. Jika ada aksi kekerasan dan merusak fasilitas umum maka itu bukan dari pihak GNPF-MUI sehingga pihak keamanan dipersilahkan memproses secara hukum.

Kepada masyarakat muslim Jakarta GNPF-MUI juga menghimbau agar dapat memperhatikan saudaranya yang datang dari seluruh Indonesia untuk mengikuti Aksi Bela Islam pada hari Jumat 4 November 2016 dengan memberikan bantuan konsumsi, akomodasi dan transportasi sebagai wujud ukhuwah Islamiyah diantara kita.

Kepada seluruh peserta Aksi Damai Bela lslam diperbolehkan membawa bendera bendera komunitasnya masing-masing namun dianjurkan untuk lebih dominan membawa merah putih.

Pengurus GNPF-MUI
Pembina : Habib Rizieq Syihab
Ketua : KH. Bachtiar Nasir
Wakil 1 : KH. Misbahul Anam
Wakil 2 : KH. Muhammad Zaitun
Panglima Lapangan : Munarman SH.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸

Sejenak Pagi:

Ya Alloh, Ya Robbal Alamin...
Tidak ada siapapun yang mampu menggerakkan hati umat Islam kecuali Engkau Ya Alloh...
Tidak ada satupun yang mampu memberikan kekuatan kepada Umat Islam, kecuali Engkau Ya Alloh....

Kuatkan saudara2 kami, selamatkan mereka wahai Dzat Yang Maha Melindungi...

Mereka marah karena agamaMu, 
mereka teriak karena kemarahan atas ketidak adilan terhadap agamaMu...
Mereka berkumpul karena ingin Engkau catat sebagai hamba yang beriman, padahal sama sekali mereka tidak punya kekuatan, dan agamaMu tetaplah mulia selamanya bahkan tanpa pertolongan kami... 
Kami hanya ingin Engkau cintai, sebagaimana kami mencintaiMu dan mencintai agamaMu...

Duhai Dzat Yang Maha Melindungi, 
Maha Kuasa diatas segala kuasa, 
Maha Kuat diatas segala kekuatan, 
Maha Perkasa diatas segala keperkasaan...
Lindungi saudara-saudara kami, berilah kekuatan kepada saudara-saudara kami...

Saudara-saudara kami telah berangkat dan berkumpul di Jakarta, 
untuk membela agamaMu, 
membela kemuliaan Umat Muhammad, mengetuk hati para pemimpin Bangsa ini, agar tidak diam melindungi 1 orang manusia tak beretika lalu mengorbankan jutaan manusia...

Ini ketidak adilan Ya Rob, 
ini kemunafikan Ya Rob, 
ini penghinaan terhadap umat, dan agamaMu yang mulia ini....
Tuntun kami Ya Rob, Jagalah hati, jiwa, dan raga kami... kami hanya cinta kepadaMu dan rasul Mu.

Ya Alloh, utk para pemimpin & sdrku yg muslim yg lalai, sadarkanlah, bhw mrk semua pasti mati dan akan mempertanggung jawabkan dihadapanMu.
Ya Alloh, di Negeri yang mayoritas Muslim, di negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke binnekaan, semestinya kami tidak perlu turun ke jalan untuk menuntut ketidak adilan ini, semestinya bangsa ini aman, damai dan tentram dalam keharmonisan... seandainya negara hukum ini benar-benar berpijak diatas hukum dan menjunjung tinggi nilai2 keadilan..
Tapi karena ini tidak terjadi negeri yang kami cintai ini Ya Alloh, hukum hanya berlaku hanya untuk yang lemah, 
demi kepentingan hukum dilanggar, 
demi kekuasaan hukum tidak diindahkan... maka kami harus turun kejalan, kami harus teriak lantang menuntut semua ini, agar umat Islam pemilik bangsa ini tidak selamanya tertindas...

Kalau aksi damai ini, tidak diindahkan, kira2 apalagi cara kami untuk menjunjung nilai-nilai hukum di Negeri ini??

Lindungi kami, dan catatlah kami sebagai hambaMu Yang Engkau Ridhai, karena hanya itu harapan kami, dari semua ini....

Robbana Taqobbal Minna.
Ya Alloh terimalah dari kami (amalan kami), aamiin.

Semoga Bermanfaat.
😊👍
BLASPHEMY
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi


Dalam suatu symposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Orangnya energik dan simpatik. Ia salah seorang peneliti pada Rand Coorporation, NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca 11 Sept. Banyak buku diterbitkan oleh NGO ini. Di saat coffee break ia sengaja menghampiri saya dan langsung “menembak”, What is wrong with Ahmadiyah in Indonesia? Saya katakan “itu adalah kasus penistaan agama (religious blasphemy)”. Oh no, that was the problem of freedom of speech ……bla…bla…bla.

Memang ia banyak tahu tentang Indonesia dan bahkan saya merasa pertanyaannya seperti ingin ikut campur urusan umat Islam. Saya lalu teringat makalah David E Kaplan, Hearts, Minds and Dollars, “Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi dalam Islam”. Kelihatannya, Rabasa ditugaskan untuk proyek yang disebut dalam makalah David itu.

“Baik, kalau begitu bagaimana dengan keberatan umat Kristiani terhadap aliran Jehovah yang dianggap sesat? Itu kan juga kasus penistaan agama?!!” tanya saya. Dia, yang berkulit putih itu menjadi sedikit memerah seperti menahan sesuatu. “Ya tapi orang Kristen tidak melaporkan kasus ini ke pemerintah”, jawabnya. Disini saya faham bahwa dia keberatan dengan campur tangan pemerintah dalam urusan agama. Tentu ini mindset yang tipikal orang Barat sekuler. Agama tidak boleh masuk ruang publik dan tidak boleh menyatu dengan kekuasaan, apapun bentuknya. Padahal, yang saya tahu, aliran Children of God dan Jehovah Witnesses dilarang kejaksaan Agung atas permintaan Ditjen Bimas Kristen karena dianggap sempalan Kristen. Ini bisa dipastikan merupakan hasil dari laporan para orang-orang Kristen.

Tapi kemudian saya katakan, kalau kita serahkan penyelesaian urusan blasphemy kemasyarakat, akan mengakibatkan chaos, atau kegaduhan. Anda tahun sendiri bagaimana masyarakat main hakim sendiri terhadap penganut Ahmadiyah di daerah-daerah. Dan jumlah mereka cukup banyak. Mengapa mereka begitu karena pemerintah tidak campur tangan. Saya juga sampaikan bahwa penganut Ahmadiyah sendiri menganggap siapapun yang tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah kafir. Jadi, bukan hanya umat Islam yang menganggap Ahmadiyah salah, tapi Ahmadiyah justru menganggap umat Islam selain mereka itu salah. Ini tentu sudah merusak arti benar dan salah dalam ranah akidah dan syariah Islam. Rabasa ternyata tidak banyak tahu tentang kepercayaan Ahmadiyah. Akhirnya dia mengalihkan pembicaraan, let’s talk something else”, katanya.

Blasphemy atau blasfemie (bhs. Perancis) adalah istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata blasphemy dalam Online Etymology Dictionary, © 2001 Douglas Harper berasal dari bahasa Latin blasphemia atau bahkan dari Yunani blasphēmein. Artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.


Secara definitif blasphemy adalah kejahatan menghina atau menista atau menunjukkan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan, agama, ajarannya serta tulisan-tulisan-tulisan mengnainya. Juga berarti sikap menghina terhadap sesuatu yang dianggap sakral. (Merriam-Webster's Dictionary of Law, © 1996). Menurut The American Heritage blasphemy adalah aktifitas, pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan, irreligius, mengenai Tuhan atau sesuatu lainnya yang sakral.


Dalam the Random House Dictionary dan juga The American Heritage menganggap seseorang sebagai Tuhan atau mengaku memiliki kualitas seperti Tuhan termasuk blasphemy. Pengertian Easton Bible Dictionary (1897) bahkan lebih detail lagi. Blasphemy termasuk mengingkari adanya Roh Kudus, Bible, kemessiahan Jesus atau menganggap mukjizat Jesus itu sebagai kekuatan setan.


Masalahnya ketika para pemeluk agama merasa agamanya dinistakan, para pemikir liberal sekuler menganggap para pemeluk agama-agama telah membatasi kebebasan berpendapat mereka. Agama, menurut mereka menggunakan dalih bl
asphemy, penistaaan, bid’ah, musyrik, tabu dsb. untuk membungkam kebebasan berpikir mereka. Sedangkan dalih yang digunakan agamawan hanya bersumber dari persepsi para agamawan yang terbatas. Semenatara para pemeluk agama melihat orang-orang itu tidak mempunyai pengetahuan otoritatif untuk berbicara soal agama. Perbedaan pendapat ini nampaknya tidak punya jalan rekonsiliasi. Inilah Clash of worldview atau dalam bahasa Peter Berger collision of consciousness.


Benar, inti masalahnya ada pada perbedaan worldview. Di Barat pandangan agama dan alam pikiran masyarakat Barat khususnya masyarakat ilmiyah (scientific community) tidak pernah bertemu alias bentrok atau clash. Standar kebenaran alam pikiran masyarakat Barat sendiri selalu berubah-rubah. John Milton, sastrawan dan penulis politik Inggeris pernah bentrok dengan parlemen. Itu gara-gara brosur buatannya yang dianggap liar, tidak bertanggung jawab, tidak masuk akal dan illegal. Tapi menurut Milton itu pendapat individu. Pendapat individu yang berbeda-beda adalah modal bagi kesatuan bangsa. Oleh sebab itu menggali kebenaran dan ide-ide cemerlang tidak dapat dicapai kecuali dengan merujuk pendapat banyak orang, bukan segelintir orang.


Namun, yang akan menentukan sesuatu itu benar dan salah, menurut Milton bukan individu tapi gabungan pendapat individu-individu. Namun meski mayoritas telah bersuara, setiap individu dibebaskan untuk menemukan kebenaran mereka sendiri-sendiri. Tapi anehnya kata Milton jika fakta-fakta dibiarkan telanjang, kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam kompetisi terbuka. Masalah utama dalam teori Milton adalah standar kebenaran. Kebenaran, disatu sisi ditentukan oleh mayoritas, disisi lain oleh pasar bebas, tapi disisi lain juga tergantung pada individu masing-masing untuk menerima atau menolak.


Teori Milton kabur, tapi itu justru kondusif untuk membela kebebasan berpendapat. Meskipun dalam realitasnya tidak selalu begitu. Noam Chomsky mencoba merumuskan begini:”Jika anda percaya pada kebebasan berbicara, anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung pendapat yang tidak kau sukai”. (If you're in favor of freedom of speech, that means you're in favor of freedom of speech precisely for views you despise). Tapi kenyataannya Stalin dan Hitler yang mengaku mendukung kebebasan berbicara hanya mendukung pendapat yang mereka sukai. Sama, orang-orang yang tidak suka agama tentu akan membela pendapat yang mereka sukai, meski tidak disukai agamawan. Itulah poin konfliknya.

Kembali ke soal blasphemy. Sekurangnya ada dua sumber blasphermy di Barat baik individual maupun kelompok. Pertama dari luar agama dan kedua dari dalam agama. Masalahnya kemudian ketika suatu agama dinistakan oleh orang di luar agama atau diluar otoritas siapa yang berhak memvonis? Dan jika dari dalam agama itu sendiri, siapa pula yang berhak menghukuminya? Pertanyaan yang sama mungkin bisa diajukan. Ketika suatu negara dihina atau diserang oleh orang dari lular negara atau dari dalam negara itu, siapa yang berhak mengadili??

Baik mengikuti teori Milton maupun Chomsky blasmphemy tetap saja tidak dapat dibenarkan. Dalam teori Milton menista agama dapat menjadi illegal alias haram karena hanya pendapat segelintir orang dan tidak dapat dipegang kebebarannya. Dan jika mengikuti teori Chomsky orang-orang diluar komunitas agama atau yang tidak otoritatif tidak dapat berpendapat semau mereka karena harus menghormati apapun kepercayaan agama-agama meski tidak mereka sukai. Anta ta’iq wa ana ma’I famata nattifiq. Itulah clash of worldview.
Share 'jawaban terhadap penghujat alquran.pdf'
*Menafsirkan Makna*

Adnin Armas
(Direktur Eksekutif MIUMI)

Tafsir semantik dasar sebenarnya sudah mencukupi untuk memaknai pernyataan “dibohongi pakai Al Maidah 51”. Tulisan singkat ini ingin mendalami pernyataan tersebut dengan pendekatan *pragmatika* dan *chronotope*.

Dari *pragmatika* dapat dijelaskan komunikasi lisan terjadi secara langsung antara penutur dan pendengar yang bersifat memberikan peyakinan (directive) oleh Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI, kepada masyarakat di suatu tempat yang dikondisikan untuk itu. Penuturan bersifat penjelasan program pembangunan. Namun di dalam penuturan tersebut terselip pernyataan negatif yang disampaikan secara spontan dan langsung direspon oleh masyarakat sebagai spontan. Tidak ada *perulangan* dan *koreksi* dalam penuturan selanjutnya. Ini mengindikasikan penutur sangat yakin dan puas karena pesan yang disampaikan telah diterima. Artinya frasa “dibohongi pakai Al Maidah 51” adalah ungkapan yang mudah dimengerti dalam kelompok itu. Pada kenyataannya ketika lingkaran hermeneutika dikembangkan lebih luas melalui berbagai saluran komunikasi, dapat ditunjukkan bahwa frasa tersebut telah melukai perasaan keagamaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini menunjukkan frasa tersebut tidak diterima secara sosiologis dan antropologis oleh sebagian besar masyarakat.

Frasa “dibohongi pakai Al Maidah 51” merupakan konteks *chronotope*, yang harus dipahami secara kultural dalam ruang-waktu. Frasa merupakan penggalan kalimat yang bersifat negatif karena menggunakan kata ‘dibohongi’, menunjukkan ada pengalaman traumatik dari kehidupan sosial penutur. Mengingat penutur bukan beragama Islam, makna ‘dibohongi' ini menjadi tuduhan terhadap sistem keyakinan pemeluk agama lain, dan menjadi penghinaan agama. Pengalaman traumatik tersimpan dalam memori/ingatan, yang bisa berasal dari pengetahuan yang dipelajari sendiri, atau berasal dari pengalaman orang lain, atau suatu kejadian yang dialami sendiri yang diakibatkan oleh subyek pembohong atau obyek pembohongan tersebut. Bila frasa “dibohongi pakai Al Maidah 51” diungkapkan dengan mudah dan langsung mendapatkan tanggapan oleh pendengarnya, menunjukkan penggunaan frasa tersebut telah dipikirkan cukup lama (diakronik) oleh penutur dengan kesadaran penuh. Ada kekecewaan dan kekecewaan tersebut tersimpan dalam frasa negatif tersebut sebagai bentuk pengalaman traumatik.

Penggunaan kata ‘pakai’ tidak menjadi permasalahan karena berperan sebagai kata sandang. Permasalahan secara kebahasaan adalah tidak dijelaskan subyek kalimat/frasa, sehingga subyek menjadi tidak penting. Frasa “dibohongi pakai Al Maidah 51” menekankan pada obyek kalimat yaitu Al Maidah 51 yang merupakan bagian dari kitab suci Al Quran. Dalam komunikasi langsung makna yang secara cepat mengalir dari penutur kepada pendengar adalah “dibohongi [pakai] Al Maidah 51”, yang telah masuk dalam penistaan terhadap salah satu simbol agama.

Beberapa pemberatan secara hukum dalam permasalahan ini adalah frasa “dibohongi pakai Al Maidah 51” disampaikan oleh seorang pejabat publik, disampaikan dalam forum masyarakat yang bukan bersifat diskusi, dan disalurkan oleh media pemerintah daerah sendiri, sebelum disebarkan oleh individu lainnya.
ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK
Oleh: Dr. Adian Husaini

Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya berawal ketika pada 26 November 1988, Viking Penguin menerbitkan novel Salman Rushdie berjudul The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Novel ini segera memicu kemarahan umat Islam yang luar biasa di seluruh dunia. Memang, isi Novel ini amat sangat biadab. Rushdie menulis tentang Nabi Muhammad saw, Nabi Ibrahim, istri-istri Nabi (ummahatul mukminin) dan juga para sahabat Nabi dengan menggunakan kata-kata kotor yang sangat menjijikkan.

Dalam novel setebal 547 halaman ini, Nabi Muhammad saw, misalnya, ditulis oleh Rushdie sebagai ”Mahound, most pragmatic of Prophets.” Digambarkan sebuah lokasi pelacuran bernama The Curtain, Hijab, yang dihuni pelacur-pelacur yang tidak lain adalah istri-istri Nabi Muhammad saw. Istri Nabi yang mulia, Aisyah r.a., misalnya, ditulis oleh Rushdie sebagai ”pelacur berusia 15 tahun.” (The fifteen-year-old whore ’Ayesha’ was the most popular with the paying public, just as her namesake was with Mahound). (hal. 381).

Banyak penulis Muslim menyatakan, tidak sanggup mengutip kata-kata kotor dan biadab yang digunakan Rushdie dalam melecehkan dan menghina Nabi Muhammad saw dan istri-istri beliau yang tidak lain adalah ummahatul mukminin. Maka, reaksi pun tidak terhindarkan. Salman Rushdie dinilai melecehkan Islam, Nabi Muhammad dan al-Quran. Semua pihak yang terlibat dalam publikasinya yang sadar akan isi novel tersebut, harus dihukum mati. Pada 26 Februari 1989, Rabithah Alam Islami dalam sidangnya di Mekkah, yang dipimpin oleh ulama terkemuka Arab Saudi, Abd Aziz bin Baz, mengeluarkan pernyataan, bahwa Rushdie adalah orang murtad dan harus diadili secara in absentia di satu negara Islam dengan hukum Islam.

Pertemuan Menlu Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 13-16 Maret 1989 di Riyadh juga menyebut novel Rushdie sebagai bentuk penyimpangan terhadap Kebebasan Berekspresi. Prof. Alaeddin Kharufa, pakar syariah dari Muhammad Ibn Saud University, menulis sebuah buku khusus berjudul Hukm Islam fi Jaraim Salman Rushdie. Ia mengupas panjang lebar pandangan berbagai mazhab terhadap pelaku tindak pelecehan terhadap Nabi Muhammad saw. Menurut Prof. Kharufa, jika Rushdie menolak bertobat, maka setiap Muslim wajib menangkapnya selama dia masih hidup.

Prof. Mohammad Hashim Kamali, dalam bukunya Freedom of Expression in Islam, (Selangor: Ilmiah Publishers, 1998), menggambarkan cara Rushdie menggambarkan istri-istri Rasulullah saw sebagai “simply too outrageous and far below the standards of civilised discourse.” (Cara penggambaran Rushdie tentang istri-istri Nabi sangat memalukan dan jauh di bawah standar nilai-nilai yang beradab). Penghinaan Rushdie terhadap Allah dan al-Quran, tulis Hashim Kamali, “are not only blasphemous but also flippant.” (Tindakan Salman Rushdie itu bukan hanya penghinaan, tetapi juga kurang ajar).

Setelah protes merebak di berbagai belahan dunia, Salman Rushdie akhirnya meminta maaf kepada umat Islam. Katanya, “ As author of ‘The Satanic Verses,’ I recognize that Muslims in many parts of the world are genuinely distressed by the publication of my novel… I profoundly regret the distress that publication has occasioned to sincere followers of Islam.” (http://www.nytimes.com/books/99/04/18/specials/rushdie-regret.html).

Dalam ajaran Islam, pelecehan terhadap Nabi Muhammad saw termasuk kategori perbuatan kriminal kelas berat. Syaikhul Islam Ibn Taymiyah menulis kitab khusus berjudul “as-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul” (Pedang yang Terhunus untuk Penghujat Rasulullah saw). Tahun 2012, sebuah lembaga menawarkan hadiah Rp 31,4 milyar, untuk siapa saja yang bisa membunuh Salman Rushdie. (https://www.merdeka.com/dunia/harga-kepala-salman-rushdie-naik-menjadi-rp-314-miliar.html).

Salman Rushdie akhirnya menunai badai, karena mempermainkan ayat-ayat Allah dan melecehkan kehormatan Nabi Muhammad saw. Bagaimana dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)?

*****

Pada 18 November 2014, Forum Ulama Muda Jakarta (FUMJ) yang dipimpin KH Fahmi Sal
im MA, mengeluarkan taushiyah (nasehat) kepada kaum muslim Jakarta. Isinya, mengungkap fakta tentang buruknya pemikiran dan perilaku Ahok. Karena itu, Ahok dinilai FUMJ tidak memenuhi syarat sebagai Gubernur Jakarta, yaitu harus “bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Sesuai dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, Nomor: 07/Kpts/KPU-Prov-010/2011, bahwa bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta memiliki syarat-syarat antara lain: (1) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; (3) Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari Tim Pemeriksa Kesehatan; (4) Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.

Penjelasan FUMJ tentang Ahok dua tahun lalu itu perlu kita renungkan, karena disampaikan dengan bijak dan penuh hikmah. Jika direnungkan, kasus Ahok dalam soal penyebutan “QS al-Maidah 51”, tak lepas dari sikap mempermainkan ayat-ayat Allah. Tindakan Ahok itu telah menyulut aksi demo jutaan umat Islam di seluruh penjuru Indonesia. Jika ditelaah, kesembronoan Ahok dalam kasus “al-Maidah 51” itu sepertinya tak lepas dari pemikiran dan sikap-sikap Ahok sebelumnya dalam soal keagamaan.

Berikut ini fakta dan penjelasan FUMJ tentang buruknya gagasan dan perilaku Ahok tentang masalah keagamaan selama ini:

Ahok mengajukan gagasan perlunya lokalisasi pelacuran. (http://megapolitan.kompas.com/read/2016/02/12/19010091/Ahok.Saya.Setuju.Legalisasi.Lokalisasi.Prostitusi.tetapi.Kita.Munafik). Gagasan Ahok itu menunjukkan ia tidak memahami masalah dengan baik, dan tidak mengkajinya dengan mendalam, dari aspek keagamaan, sosial, budaya, dan kesehatan. Sementara selama ini sudah terbukti dampak buruk lokalisasi pelacuran terhadap masyarakat, sehingga Gubernur DKI Sutiyoso menutup lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak dan Walikota Surabaya Ibu Risma menutup lokalisasi Dolly. Sikap dan perilaku Ahok yang ceroboh dalam masalah yang sangat mendasar seperti ini sangat berbahaya jika dia memimpin DKI Jakarta. Itu menunjukkan, Ahok tidak memenuhi syarat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena mendukung lokalisasi pelacuran hanya dilihat dari kacamata ekonomi yang dibungkus seolah untuk mengontrol penyebaran virus HIV. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam yang dianut mayoritas warga DKI.
Dalam menyampaikan gagasannya, Ahok juga menggunakan kata-kata yang tidak santun, menuduh orang lain munafik dan sebagainya. (lihat http://www.merdeka.com/jakarta/merasa-disebut-munafik-aktivis-muhammadiyah-polisikan-ahok.html.). Sikap dan perilaku yang kasar, terkesan angkuh, sombong dan menimbulkan kontroversi. Hal ini jika dibiarkan akan mengganggu ketentraman masyarakat beragama, khususnya umat Islam. Pada akhirnya akan berimbas mengganggu ketahanan nasional karena DKI Jakarta adalah barometer nasional Indonesia. Ucapan dan perilaku Ahok tersebut juga menunjukkan bahwa dia tidak memahami kondisi sosial dan budaya masyarakat DKI Jakarta yang religius dan memiliki sensitivitas terhadap hal-hal keagamaan semacam ini.
Ahok juga telah menjadikan agama sebagai bahan olok-olok. Itu disampaikan Ahok saat memberikan sambutan dalam Pembukaan Rakerda I MUI DKI Jakarta 2014, di Balai Agung, Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2014): “Bapak Ibu jangan merasa saya musuh Islam. Dari kecil saya sejak lahir, 93% di sekeliling saya ada adalah muslim. Keluarga saya banyak yang muslim. Kalau persoalan saya enggak dapat hidayah, ya tanya sama Allah.”(http://news.detik.com/read/2014/11/12/095150/2745866/10/silaturahmi-dengan-mui-ahok-ada-yang-membenturkan-saya-lawan-islam?n991104466) Kata-kata Ahok itu jelas-jelas telah menjadikan agama sebagai permainan, sebab ia melecehkan arti hidayah dengan berbangga diri dalam keadaan tidak mendapatkan hidayah, lalu meminta orang lain menanyakan hal itu kepada Tuhan. Seakan-akan Allah telah salah karena
tidak memberi petunjuk kepadanya. Ini tidak etis disampaikan oleh orang yang mengaku beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengusahakan penghapusan kolom agama di KTP. Pernyataan Ahok tentang perlunya penghapusan kolom agama di KTP juga dinyatakan dengan sangat tegas dan kasar, bahkan cenderung melecehkan agama, khususnya agama Islam. Berita di Situs Kristen (http://reformata.com/news/view/7797/ahok-tak-perlu-kolom-agama-di-ktp), 20 Juni 2014, yang berjudul, “Ahok: Tak Perlu Kolom Agama Di KTP”, ia mengatakan: “Kenapa mesti ada kolom agama di KTP? Untuk apa? Apa gunanya saya tahu agama kamu? tanya Ahok.” Selanjutnya, ditulis:
“Indonesia mencantumkan kolom agama di KTP, kata dia, hanya karena pengaruh budaya Timur Tengah, yang penuh dengan sejarah penaklukan agama, sehingga menyebabkan memunculkan agama mayoritas dan minoritas. Dalam konteks seperti ini identifikasi agama diperlukan. Sama sekali berbeda dengan kondisi beragama di Indonesia. Menurut Ahok, Indonesia adalah negara berasas Pancasila dan UUD 1945. Agama mayoritas, Islam pun masuk ke Indonesia bukan melalui penaklukan agama. Sehingga identifikasi agama, tidak dibutuhkan di sini. Karena itu, kata dia, pelaksanaan ritual beragama di Indonesia seharusnya tergantung kepada individu masing-masing dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain, apalagi negara. Karena itu dia sangat mendukung calon presiden yang ingin menghapus kolom agama di KTP.”

Pernyataan Ahok tentang penghapusan kolom agama di KTP ini bukan masalah sederhana dan hanya dilemparkan dalam pernyataan yang tanpa pertimbangan yang matang. Padahal bagi umat Islam, identitas keagamaan di KTP sangat diperlukan dalam pernikahan, pengobatan, dalam pengurusan jenazah, dalam sumpah jabatan, masalah warisan dan masih banyak lagi. Ahok nampaknya tidak memahami agama mayoritas warganya yaitu Islam yang selalu melekatkan identitas agamanya, di mana saja dan untuk kepentingan apa saja. Sebab Islam bukan hanya agama privat saja, tetapi juga agama publik. Sesuai dengan pasal 29 UUD 1945, umat Islam berhak menjalankan ibadah baik secara privat maupun secara publik. Jika Ahok memaksa orang Islam agar beragama secara privat, maka dia sudah tidak toleran dengan penganut agama selain agamanya.

Untuk memperkuat pendapatnya, Ahok pun tak segan-segan melakukan kebohongan publik, dengan menyatakan, bahwa di Malaysia, kolom agama juga tidak disebutkan dalam KTP Malaysia. Padahal, pernyataan Ahok itu terbukti salah. Lihat http://dunia.news.viva.co.id/news/read/466596-ahok-salah–ktp-malaysia-masih-cantumkan-kolom-agama, juga http://www.bersamadakwah.com/2013/12/pembohongan-publik-ahok-sebut-ktp.html

Masalah keagamaan ini sudah diatur dalam UUD 1945 dan UU No 1/PNPS/1965, sehingga sebagai pemimpin wilayah, harusnya Ahok memahami hal itu, dan tidak memunculkan kontroversi yang sangat menyakitkan bagi umat Islam. Apalagi, selama ini, secara umum, masyarakat Indonesia dan umat Islam juga tidak mengalami masalah dalam soal pencantuman kolom agama di KTP.
Melarang pemotongan hewan qurban di sekolah dan melakukan kebohongan publik. Kasus pelarangan pemotongan hewan kurban di sekolah oleh Ahok jelas tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta nomor 67 Tahun 2014 pada point 4.a.1: “melarang kegiatan pemotongan hewan kurban dilokasi pendidikan dasar”. Tetapi, Ahok membantah dan bahkan berbohong dengan mengatakan, yang menandatangani instruksi itu adalah Jokowi bukan dirinya. Padahal, di situs resmi Pemprov DKI Jakarta, Insgub itu jelas ditandatangai oleh Ahok selaku Plt Gubernur DKI Jakarta pada 17 Juli 2014. Lihat http://beritapopuler.com/ahok-dan-kebohongan-berlapis-soal-larangan-potong-hewan-qurban/
Menelaah berbagai pemikiran, ucapan, dan perilaku Ahok tersebut, FUMJ kemudian menyimpulkan: “Pikiran-pikiran Ahok yang mengecilkan masalah agama dalam kehidupan, menunjukkan bahwa dia tidak memahami kondisi sosial-budaya masyarakat DKI Jakarta. Pemimpin seperti ini sangat berpotensi untuk menanamkan benih-benih perpecahan dan permusuhan di tengah masyarakat. Ini berarti Ahok tidak mengenal masyarakat yang dipimpinnya dan dapat dik
atakan bahwa dia tidak memenuhi syarat menjadi gubernur sesuai dengan keputusan KPU Nomor: 07/Kpts/KPU-Prov-010/2011, yaitu mengenal masyarakatnya,” tulis FUMJ dalam Taushiyahnya.

Salah satu kewajiban ulama adalah memberikan taushiyah kepada masyarakat. Para ulama muda di Jakarta di bawah kepemimpinan KH Fahmi Salim MA, jauh-jauh hari telah mengingatkan masyarakat muslim Jakarta tentang pemikiran dan sikap Ahok. Setelah melaksanakan tugasnya, ulama berserah diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari kasus Salman Rushdie, Ahok, dan sebagainya. Jangan sekali-kali mempermainkan ayat-ayat Allah! Apalagi, sampai memanipulasi makna ayat-ayat Allah untuk mendukung kekufuran dan kemusyrikan, demi sejumput kekuasaan yang menggiurkan.*/Depok, 7 November 2016
ADA APA DENGAN SYAFII MAARIF?
Oleh: Adian Husaini

Dalam berbagai tulisannya, ia memposisikan sebagai Bapak Bangsa. Namun, sebagaian justru banyak dianggap menyakiti kelompok Islam yang lain .

Dalam rapat pimpinan Dewan Dawah Islamiyah Indonesia (DDII), Rabu (12/7/2006) lalu, Ketua Umum DDII Hussein Umar tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya terhadap tulisan Syafii Maarif di Harian Republika sehari sebelumnya. Tulisan Syafii dalam kolom Resonansi itu berjudul Demi Keutuhan Bangsa. Seperti biasa, Syafii Maarif memposisikan sebagai Bapak Bangsa yang sangat peduli dengan keutuhan bangsa Indonesia. Ia menempatkan dirinya sebagai penyelamat bangsa.

Tentu saja, posisi itu ideal. Tapi, sayangnya, pada saat itulah, Syafii lupa, bahwa pada berbagai bagian tulisannya, dia justru telah menyinggung banyak kalangan, yang ironisnya adalah sahabat-sahabat dekatnya sendiri, dari kalangan kaum Muslim. Bahasa yang digunakan Syafii pun bukan bahasa yang arif, yang menunjukkan kedewasaan seorang Profesor yang usianya sudah mencapai 70 tahun lebih, tetapi justru bahasa yang bernada pelecehan dan kasar. Banyak kalangan belum lupa, bagaimana Syafii Maarif meluncurkan istilah preman berjubah untuk menunjuk kelompok yang tidak disukainya.

Dalam tulisannya di Republika kali ini, dia pun menggunakan istilah-istilah peyoratif yang kasar yang bernada memperhinakan kalangan-kalangan yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Misalnya, dia gunakan istilah-istilah otak-otak sederhana, kedunguan, kebahlulan, dan sebagainya. Istilah-istilah seperti itu harusnya dihindari oleh seorang Profesor yang sudah begitu kenyang makan asam garam dalam dunia pergerakan di Muhammadiyah. Apalagi, logika dan argumentasi Syafii Maarif dalam tulisannya itu juga banyak yang tidak tepat dan keliru. Marilah kita simak cara berpikir Syafii Maarif.

Secara umum, tulisan Syafii Maarif itu mencoba membenturkan antara upaya penerapan syariat Islam secara legal formal dengan keutuhan bangsa Indonesia. Syafii menulis, bahwa Keinginan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja dalam perda biasa, tidak dalam format Perda Syariah yang dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali.

Cobalah kita simak baik-baik ungkapan Syafii Maarif tersebut. Betapa keliru dan berbahayanya logika berpikir semacam itu. Logika ini juga aneh, ahistoris, dan sama dengan logika kaum misionaris Kristen yang aktif di Partai Damai Sejahtera (PDS) yang menggugat peberlakuan perda-perda yang bernuansa syariah. Orang seperti Syafii, aktivis PDS, dan sejenisnya telah terjebak ke dalam logika yang keliru, bahwa syariat Islam adalah hukum-hukum yang sifatnya lokal, temporal, dan hanya berlaku untuk satu golongan tertentu.

Sebaliknya, mereka berpikir, bahwa hukum-hukum kolonial Belanda dan hukum-hukum Barat lain adalah berlaku universal untuk seluruh umat manusia. Karena itulah, Syafii Maarif tidak menyoal pemberlakuan hukum kolonial, dan tidak menyatakannya bertentangan dengan integrasi bangsa Indonesia. Sebaliknya, perda Syariat Islam dikatakannya dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini sangat berbahaya. Bukanlah logika semacam ini sangat keliru. Bukankah Rasulullah saw diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Apakah bukan sesuatu yang paradoks, jika seorang yang mengaku Muslim tetapi justru menyatakan syariat Nabi Muhammad adalah ancaman bagi integrasi bangsa?
Dalam kasus Indonesia, hukum Islam sudah diberlakukan di kepulauan Nusantara, beratus-ratus tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda. Sebagai contoh, pada tahun 1628, Nuruddin ar-Raniri menulis Kitab Shirathal Mustaqim, yang merupakan kitab hukum pertama yang disebarkan ke seluruh Nusantara untuk menjadi pegangan umat Islam. Oleh Syekh Arsyad Banjar, kitab itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dalam sebuah Kitab berjudul Sabilul Muhtadin, serta dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa di daerah Kesultanan Banjar. Di daerah Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan pula beberapa kita