MUSTANIR ONLINE
3.2K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
Liberalisasi Islam di Indonesia bagian 3 👆
Liberalisasi Islam di Indonesia bagian 4 👆
Liberalisasi Islam di Indonesia bagian 5 👆
Liberalisasi Islam di Indonesia bagian 6 👆
Mintalalah kepada Allah rasa ridho terhadap segala qadha Nya, dan berkah dari segala taqdirNya. Sehingga anda tidak menginginkan agar karunia Allah yang dipercepat itu untuk diakhirkan atau sebaliknya karunia Allah yang diperlambat itu untuk dipercepat. Dengan sikap ini hidup kita jadi nikmat.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Worldview Koruptor
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Beberapa bulan lalu sebuah dialog di televisi swasta membahas perilaku korupsi penegak hukum dan koruptor. Hadir dalam acara itu para guru besar dibidang hukum dan advokat. Yang muncul disitu pertanyaan mengapa hakim dan jaksa korupsi? Padahal mereka adalah penegak hukum dan sangat luas ilmu hukumnya. Mereka adalah pejabat yang tinggi tanggung jawabnya.

Host acara itu lalu mengarahkan pertanyaan itu kepada para guru besar: Apa yang Bapak ajarkan pada mereka sehingga mereka itu korupsi? Para guru besar itupun bersungut-sungut lalu menjawab “tidak ada yang salah dalam mata kuliah mereka.” Lalu dimana letak salahnya? Mengapa demikian dst..dst. menjadi kompleks.

Mungkin jika pakar bidang administrasi Negara hadir dia akan menuding undang-undang yang lemah. Pakar ekonomi akan mengkritik gaji pegawai yang rendah. Advokat akan berkilah korupsi atau tidak itu tergantung pasalnya. Para sosiolog atau psikolog akan mungkin lebih tegas “orang korupsi karena mental pegawai”. Dibalik layar sayup-sayup para koruptor lain berguman singkat “dia lagi apes”. Itulah realitas bangsa ini.

Pendapat-pendapat diatas tentu subyekif. Namun semua pasti sepakat jika perbuatan korupsi didahului oleh pikiran yang korup. Orang pasti berfikir sebelum berbuat. Pikiran manusia itulah sebenarnya yang disebut worldview. Definisinya adalah cara pandang orang terhadap hidup dan kehidupan. Pandangan orang terhadap makna realitas dan makna kebenaran (Naquib al-Attas). Pikiran yang menjadi motor perbuatan (Alparslan).

Dari perspektif agama worldview adalah kepercayaan pada Tuhan beserta segala implikasi dan konsekuensinya dalam kehidupan. Sebab seperti ditegaskan Thomas Wall: “kepercayaan pada Tuhan adalah inti dari semua worldview”. Artinya kalau orang itu benar-benar percaya pada Tuhan dibalik harta ada rezeki, dibalik kekuasaan ada amanah, dibalik perbuatan ada dosa dan pahala. Kalau orang percaya pada Tuhan, ia pasti yakin bahwa baik-buruk, salah-benar, harta-rezeki berasal dari Tuhan. Itulah worldview.

Jika orang itu tidak percaya pada Tuhan, harta adalah harta. Di balik harta tidak ada apa-apa. Darimana asalnya dan bagaimana memperolehnya tidak penting. Yang penting setiap orang harus bertahan hidup. Hidup dengan segala cara asal tidak menyakiti sesama. Hidup hanya sekali dan setelah itu selesai. Perbuatan di dunia hanya akan berakibat di dunia. Ukuran baik-buruk, salah-benar adalah manusia penentunya. Itulah worldview koruptor.

Tapi masalahnya mengapa orang beragama masih juga korupsi? Jawaban lumrah tentu ia korup bukan karena perintah agamanya. Menurut sabda Nabi tidak ada orang mencuri dan pada saat yang sama dia beriman (al-Hadith). Lalu apakah keimanan orang tidak dapat mencegahnya dari perbuatan korupsi?

Masalahnya sungguh kompleks. Agama hanya dainggap sebagai dogma. Beragama berarti menjalankan ritual semata. Masjid, gereja dsb adalah tempatnya. Di ruang publik agama tidak boleh angkat bicara. Porno atau tidak porno tidak boleh diukur dari agama. Ambisi berpolitik tidak boleh dicampur nawaitu dalam ibadah, apalagi dicampur istighatsah.

Disaat agama dikerdilkan, dan ketika keberagamaan dimarginalkan hasrat menjadi kaya raya merupakan tujuannya. Worldview pemeluk agama diisi oleh cara pandang materialistis, hedonistis, pragmatis, empirisistis, dan rasionalistis. Cara hidup sekuler telah mencokok arah hidup pemeluk agama-agama. Cinta harta merasuki rongga-rongga pikiran para pemeluk agama. Begitulah worldview pemeluk agama dikuasai worldview sekuler.

Akibatnya mind-set mereka berubah. Agar menjadi kaya dan hidup enak di dunia orang harus meninggalkan moral dan akhlaq ajaran agama. Yang tetap bertahan pada keimanan agamanya dianggap bodoh dan tidak cerdas.

Ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris, Maret 2010, di Nottingham saya mendengar berita menarik. Professor Richard Lynn dari Ulster University, Irlandia Utara, Professor Helmuth Nyborg dari Universitas Aarhus, Denmark dan Professor John Harvey Sussex, Inggeris, menerbitkan hasil riset mereka. Riset itu dilakukan di 137 negara d
i dunia, termasuk Indonesia. Menarik karena risetnya mengkaji sebuah hypothesis adanya korelasi negatif antara IQ dan Iman. Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:

Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheist.

Bukan hanya itu Verhage (1964) dan Bell (2002) di Belanda, Kanazawa (2009) di Amerika Serikat memperoleh hasil serupa. Dari mereka bertiga ini sekurangnya diperoleh empat temuan. Pertama ada hubungan korelasi negative antara kecerdasan dan keimanan. Kedua, orang elit yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum. Ketiga, dikalangan pelajar semakin berumur dan semakin berilmu semakin turun keimanan mereka. Keempat, sepanjang abad dua puluh meningkatnya masyarakat yang cerdas diikuti oleh menurunnya keimanan.

Implikasi dari hypothesis diatas jelas, orang cerdas adalah yang meninggalkan agamanya. Tapi masalahnya apakah orang tidak beragama itu karena saking cerdasnya? Jika jawabnya iya, maka matrik kecerdasannya itu hanya sebatas masalah dunia. Apakah orang yang taat beragama dan pada saat yang sama bisa hidup makmur di dunia tidak bisa dianggap lebih cerdas dari yang hanya mikir dunia saja.

Dr.David Rosmarin, psikiatri Rumah Sakit McLean di Massachussetts menulis paper. Disitu disimpulkan orang yang percaya pada Tuhan cenderung lebih tenang dan tidak gelisah menghadapi hidup yang serba tidak pasti. (Lihat International Herald Tribune, 19 Oktober 2011, hal.8). Tentu dibanding orang yang tidak percaya Tuhan. Jika demikian maka benarlah sabda Nabi “orang cerdas (al-kaysu) adalah orang yang bekerja di dunia untuk tujuan akherat”. Wallau A’lam
FILSAFAT TAFSIR
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Seorang dosen universitas Islam kenamaan suatu ketika ditanya mahasiswanya tentang status Alquran dalam kajian sains dan humaniora. Jawabnya, "Sains adalah sains, kitab suci adalah kitab suci. Biarkanlah Alquran sebagai firman Tuhan di atas sana." Jawaban ini maksudnya Alquran adalah kitab suci yang sulit dipahami dan tidak ada hubungannya dengan sains dan humaniora. Ini membingungkan.

Baru-baru ini seorang aktivis parpol tertentu mengomentari pemahaman surah al-Maidah ayat 51 dalam kaitannya dengan haramnya memilih pemimpin non-Muslim. Ia menyatakan, "Yang tahu makna atau tafsir surah itu hanya Tuhan, kita sebagai manusia tidak tahu." Ini juga pernyataan yang sama bingungnya dengan yang pertama. Seakan-akan Alquran itu kitab suci yang mustahil dipahami manusia.

Pandangan dosen tadi berindikasi adanya paham sekuler pada dirinya. Tampaknya ia yakin bahwa kebenaran sains dan humaniora dapat dibuktikan secara empiris sementara kebenaran kitab suci atau teologi tidak bisa. Seakan hal-hal yang empiris tidak mungkin dimasuki agama, dan sebaliknya. Ia seperti lupa bahwa banyak ayat kauniyah dalam Alquran bisa dibuktikan secara empiris. Mungkin ia juga tidak mendalami bahwa banyak ayat kauniyyah dalam Alquran yang memerlukan ta'wil al-ilmi.

Pandangan aktivis parpol itu seperti terpengaruh oleh mitologi Yunani atau mungkin ia baru membaca filsafat hermeneutika postmodern. Di zaman Yunani memang ada kisah bahwa pesan dewa-dewi di Olympus itu "tidak dapat dipahami manusia". Karena itu, orang terpaksa memahaminya melalui Hermes atau penyair Homer.

Singkatnya, cara penafsiran pesan dewa-dewi ini kemudian dijadikan metode penafsiran para filosof. Plato menggunakan hermeneutika alegoris, yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekadar pengertian literal. Selain itu, Stoic juga menerapkan doktrin inner logos dan outer logos (inner word and outer word). Sementara, Aristotle memakai tafsir menekankan pada teori logika dan semantik.

Metode hermeneutika yang pertama digunakan kalangan teolog Kristen untuk menafsirkan Bible adalah metode alegoris. Namun, perkembangan selanjutnya ketika hermeneutika berubah menjadi filsafat, interpretasi objek tafsirnya bukan hanya pesan dewa-dewi, wahyu Tuhan, tapi juga teks sastra. Untuk teks sastra, hermeneutika diperlukan. Namun, untuk teks wahyu, filsafat tafsir ini akan memunculkan banyak masalah.

Boleh jadi yang mengatakan firman Tuhan tidak bisa dipahami oleh manusia secara mutlak terinspirasi oleh wacana di kalangan Katolik. Robert M Robinson, seorang tokoh Katolik AS, menulis begini:

"It is very common today for people to say "We cannot understand the Bible alike". Such a statement is often offered in defense of the more than 400 different denominations that exist in the world."

Ini berarti Bible tidak bisa dipahami sama oleh semua orang. Di sini para cendekiawan Muslim lalu meng-copy-paste dan mengatakan "satu ayat seribu tafsir", "tidak ada tafsir tunggal", "yang tahu makna Alquran yang sesungguhnya hanyalah Tuhan", dan seterusnya.

Suatu ketika saya coba sampaikan tren cendekiawan Muslim ini kepada al-Attas. Beliau spontan menjawab, "Tidak ada perintah dalam Alquran agar manusia memahami Alquran seperti yang dimaksud oleh Allah. Kita juga tidak diperintah untuk mengenal Allah dengan hakikat yang sesungguhnya," demikian seterusnya.

Jika Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu tidak dapat dipahami oleh umatnya, maka berarti Nabi telah dianggap gagal membawa risalahnya. Jika Alquran tidak dapat dipahami oleh umat Islam, mustahil peradaban Islam tegak berdiri dan berkembang selama 7-10 abad lamanya.

Selain itu, pemahaman manusia dengan tafsir yang bermacam-macam tidak berarti Alquran sulit dipahami. Tafsir-tafsir itu menunjukkan bahwa Alquran dapat dipahami dari berbagai aspek. Tafsir-tafsir yang bertentangan antara satu dengan lainnya hanya sedikit. Itu pun tidak pernah mengubah hal-hal yang bersifat muhkamat atau thawabit.

Al-Attas bahkan menganggap tafsir Quran sebagai karya ilmi
ah dengan metode ilmiah dan mendekati sifat sebuah ilmu pasti. Sebab, jika orang menafsirkan Alquran, ia harus merujuk bahasa Arab, ayat Alquran yang lain, dan hadis. Maka al-Attas tegas bahwa, "Dalam tafsir tidak ada ruang bagi perkiraan; tidak ada ruang untuk interpretasi berdasarkan pada pemahaman subjektif, atau pemahaman yang hanya didasarkan kepada ide tentang relativisme historis …." Maka dari itu, untuk menakwilkan sebuat ayat aturan-aturan yang ketat, ia harus bersesuaian dengan ayat-ayat lain yang muhkamat (yang jelas) dan harus didukung oleh hadis-hadis nabi yang sahih.

Ini berbeda dari upaya pemahaman kitab suci dengan teori filsafat tafsir yang disebut hermeneutika itu. Hermeneutika adalah takwil dari luar teks dan lepas dari makna bahasa. Fredrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) memahami Bible dengan intuisi untuk memahami psikologi pengarang. Sementara, hermeneutika Wilhelm Dilthey (1833-1911) menggunakan "teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan". Ini tafsir yang mementingkan sejarah daripada teks Alquran.

Selain itu, Martin Heidegger (1889-1976) juga sama. Ia menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan dan bukan apa yang tertulis dalam teks. Gadamer dalam karyanya, Truth and Method, menganggap hermeneutika sebagai metode interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter.

Lebih-lebih teori Jurgen Habermas (1929- ) yang menekankan pemahaman kepada kepentingan sosial (social interest) termasuk kepentingan kekuasaan (power interest). Ricoeur (1913- ) seorang Katolik Prancis, berangkat dari teori sendiri bahwa teks berbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghasilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum, dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Asumsi Recour, teks tidak dapat dipahami jika sudah terlepas dari kondisi asal penulisnya.

Intinya, teks keagamaan (wahyu) dalam pandangan liberal tidak dapat dipahami oleh penulisnya. Ini relevan dengan teori hermeneutika di Barat yang berangkat dari ujaran bahwa firman dewa-dewi atau firman Tuhan tidak bisa dipahami dan berakhir dengan teori interpretasi yang sarat dengan kepentingan. Maka, Ernest Gellner menyimpulkan bahwa kebenaran objektif akan digantikan oleh kebenaran hermeneutika, sebab kebenaran hermeneutika lebih mengutamakan subjektivitas objek yang dikaji dan pengkajinya, dan bahkan subjektivitas pembaca atau pendengar.

Upaya cendekiawan Muslim untuk "mengadopsi" filsafat hermeneutika sebagai alternatif tafsir Alquran masih harus dikaji lebih serius. Metode tafsir dalam tradisi intelektual Islam tidak bisa dibandingkan dengan metode hemeneutika dalam tradisi Yunani ataupun Kristen, apalagi diganti. Sebab, makna realitas dan kebenaran yang menjadi acuan konsep dan teori para hermeneut berbeda jauh dari teori dan konsep Islam.

Jadi, jika Muslim tidak paham makna Alquran, ia tidak perlu bilang "hanya Allah yang tahu". Jika Muslim tidak mampu menafsirkan makna Alquran, ia tidak perlu minta tolong Hermes, Habermas, Gaddamer, Paul Ricour, dsb. Ia hanya perlu bertanya kepada ayat-ayat lain, kepada Rasulullah SAW, dan para ulama yang rasikhun fil ilmi.
INTEGRASI GENDER STUDI ISLAM: PERLUKAH?
Oleh: Dr. Henri Shalahuddin

Paham kesetaraan gender—meskipun penuh kontroversi—terus dicobakan di Indonesia. Dengan sokongan pendanaan melimpah dari berbagai lembaga asing dan anggaran negara, gerakan gender tampak semakin bergairah merambah berbagai lini kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, maupun pendidikan.

Artikel "Perkuliahan Responsif Gender" di harian Republika yang ditulis oleh Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA dan Koordinator Tim Ahli Pengarusutamaan Gender di Sembilan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) pada 1 Oktober 2016 lalu menarik untuk dicermati. Menurut kedua penulisnya, "perkuliahan responsif gender" merupakan bagian kebutuhan pengembangan kultur akademis yang relevan. Tujuannya untuk pengembangan sikap dan perilaku adil gender, khususnya di lingkungan PTKI.

Gagasan itu sepintas tampak menarik. Padahal, jika ditelaah—dalam perspektif pemikiran Islam—gagasan itu sangat bermasalah. Patut dipertanyakan, misalnya, apakah langkah itu merupakan solusi terhadap problem yang ada atau justru menjadi problem baru di dunia akademis? Berikut ini adalah ringkasan hasil penelitian penulis tentang sejarah studi wanita dan pengalaman sebuah PTKI yang melakukan integrasi gender kedalam mata kuliah keislaman.

Sejarah dan "Tabiat" Studi Wanita
Sejarah berdirinya studi wanita tidak bisa dipisahkan dari peran sarjana feminis Amerika Utara ketika merancang disiplin akademis ini (Women in Indonesia: Gender, Equity and Development, 2002: 81). Gagasan studi wanita pertama kali dilontarkan Sheila Tobias di sebuah Konferensi Wanita, Cornell University, pada Januari 1969. Gagasan Tobias mendapat sambutan dari beberapa college dan universitas sebagai jawaban atas gerakan feminis dekade 1950-an dan 1960-an untuk menawarkan studi tentang hak-hak sipil dan pelajar, isu-isu tentang hak dan status perempuan di masyarakat, diskriminasi di ruang publik dan domestik, serta bias gender dalam budaya dan pendidikan. Materi studi ini pada awalnya ditawarkan untuk berbagai disiplin ilmu, kemudian menjadi kursus yang terpisah secara khusus, dan kemudian disebut kajian wanita.

Sejak tahun 1970, studi wanita mulai banyak diminati di Amerika Serikat. Dan pada tahun 1979 terdapat 80 program yang ditawarkan untuk sarjana muda di bidang kajian wanita, 21 program untuk tingkat MA, dan 5 program untuk tingkat PhD. Kemudian, pada tahun 1971 didirikan pengajaran kajian wanita di Universitas Toronto.

Banyak penerbit yang mendukung disiplin kajian ini dengan penuh semangat. Dari 1970-1976 penerbitan karya-kaya feminis membanjiri pasaran dengan jumlah spektakuler, misalnya: Jurnal Feminist Studies, Women's Studies, Signs, Quest, Sex Roles, Women's Studies Newsletter, Canadian Resources for Feminist Research, Atlantis, dan Canadian Women (The Feminist Mistake: The Radical Impact of Feminism on Church and Culture, 2005:142).

Di awal sejarahnya, studi wanita di Amerika Serikat ditolak dan diragukan validitasnya sebagai disiplin akademis. Bahkan, hingga awal tahun 1970-an, semua universitas dan college di Amerika Serikat menolak aktivitas dan tulisan feminis yang ada dalam departemen akademik studi wanita.

Pada waktu itu, feminisme tidaklah dipandang sebagai sebuah gerakan dan teori akademik yang memerlukan kajian intelektual. Namun, bersamaan dengan semakin kokohnya perjuangan feminis menyebarkan ide-ide wacana gender, secara perlahan kajian wanita di kelas-kelas mulai bertambah dan berkembang pada akhir tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an.

Studi wanita merupakan pergerakan feminis popular yang berhubungan erat dengan perubahan masyarakat mencakup perubahan undang-undang, sosial, ekonomi, serta politik dan budaya. Sebagai contoh dibuatnya UU tentang pelecehan seksual, tingkah laku dalam keluarga, wanita karier dan tugas-tugas keibuan. Hal-hal tersebut hampir menjadi isu-isu yang tidak terpikirkan pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, khususnya di bidang akademik. Feminis telah memainkan peranan penting dalam perubahan ini, dan kelas-kelas studi wanita telah membantu dalam pe
mbentukan ide, analisis baru, serta diskusi tentang peran wanita dalam masyarakat.

Pada akhir 1970-an hingga 1980-an, studi wanita mulai mengubah kurikulumnya dan menantang kalangan homofobia dengan memberikan jawaban berbasis studi seksualitas dan budaya lesbian. Para akademisi feminis mengarahkan isu ras dan bias kelas dalam program kajian wanita dengan mengganti kandungan kurikulum yang memfokuskan studi wanita di luar kulit putih (women of color) dan kelas pekerja wanita. Dalam dekade 1990-an, kurikulum studi wanita diperluas hingga meliputi kajian tentang wanita cacat serta komunitas transgender dan biseksual. (An Introduction to Women's Studies: Gender In a Transnational World, 2002: xvii).

Perspektif gender dalam Studi Islam
Tujuan studi Islam berbasis gender sebenarnya untuk menata ulang pemahaman teks-teks agama yang dituduh sebagai sumber kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, tidak sedikit aktivis gender yang melecehkan fikih dengan menuduhnya menjadi penyebab utama terjadinya ketidakadilan dan kekerasan seksual terhadap perempuan (lihat: Islam dan Konstruksi Seksualitas, 2002: 201). Aturan ibadah yang disusun dalam kitab-kitab fikih dicurigai sangat diskriminatif karena melarang mutlak perempuan menjadi imam bagi laki-laki, menjadi muazin, khatib Jumat dan lain-lain (lihat, Membina Keluarga Mawaddah Wa Rahmah dalam Bingkai Sunah Nabi, 2003: 137)

Sebagian aktivis gender juga menyatakan bahwa teks Alquran dan hadis mempunyai standar ganda dalam menempatkan perempuan. Oleh karena itu, metode feminis dalam studi Islam diharapkan bisa mengungkap bagaimana ketertindasan perempuan dilestarikan dalam syariah dan fikih (lihat, Modul Belajar Bersama: Islam dan Gerakan Perempuan, 2007:33). Hal ini, menurut pegiat gender lainnya, disebabkan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa wahyu yang sejak awalnya mengalami bias gender, baik dalam kosakata (mufradat) maupun dalam strukturnya (lihat, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur'an, 2001:277)

Padahal, bukanlah perkara yang sederhana untuk mengintegrasikan agama dan feminisme. Menurut Rita M Gross, agama dan feminisme mempunyai tema kajian yang sama kompleksnya dan sama-sama membangkitkan emosi. Feminisme dan agama adalah sistem kepercayaan yang saling bertentangan dan sarat emosi yang memberi pengaruh langsung terhadap kehidupan orang banyak (lihat, Feminism and Religion: An Introduction, 1996: 5)

Tanpa diintegrasikan dengan studi agama, sebenarnya studi wanita sendiri mempunyai masalah yang sangat kompleks. Hal ini diakui oleh Inderpal Grewal dan Caren Kaplan. Menurut mereka, rata-rata kendala feminis dalam menjalankan kurikulum studi wanita adalah memilih dan memutuskan isu-isu gender yang dianggap urgent bagi perempuan di seluruh dunia dari masa ke masa (internasionalisasi kurikulum gender).

Hingga kini, internasionalisasi kajian wanita dilakukan dengan dua cara. Pertama, menekankan kesamaan di antara perempuan di seluruh dunia. Isu-isu yang disetujui difokuskan pada masalah keibuan dan struktur keluarga. Walaupun isu tersebut dialami semua perempuan dan disuarakan untuk kepentingan mereka, tetapi ia juga berkaitan erat dengan keberagaman budaya, kelas, bangsa, dan orientasi seksual sehingga menghasilkan perbedaan pandangan tentang arti ibu dan struktur keluarga.

Kedua, yaitu pendekatan yang lebih hierarkis dengan melihat budaya Barat sebagai model ideal sehingga budaya-budaya lain harus dipahami dari sudut pandang Barat. Pendekatan ini melahirkan program women and development. Walaupun demikian, banyak kalangan feminis yang tidak mampu membantah bahwa program-program pembangunan di negara-negara termiskin, tidak menyebabkan peningkatan kehidupan wanita. Sebaliknya, wibawa dan pengaruh wanita dalam rumah tangga semakin merosot (lihat, An Introduction to Women's Studies: Gender In a Transnational World, 2002: vii-viii)

Hingga kini, masalah internasionalisasi kurikulum berbasis gender masih dipertikaikan dan memunculkan banyak pertanyaan. Misalnya, subjek apakah yang seharusnya dikaji dan ditinggalkan? Apakah isu-isu perempuan di Amerika Serikat dan E
ropa bisa dianggap inklusif untuk merumuskan isu-isu perempuan di negara-negara lain, sekaligus menjadi solusi yang ideal? (ibid, xix).

Masuknya perspektif gender ke dalam studi Islam pada awalnya sarat dengan intrik dan strategi. Salah satu mantan ketua PSW di sebuah PTKI di Indonesia menyatakan bahwa awalnya istilah yang digunakan bukanlah "teologi feminis" dalam studi Islam, tetapi "perspektif perempuan dalam agama" atau "analisis gender dalam agama". Sebab, penggunaan istilah "teologi feminis" akan menimbulkan penolakan di kalangan umat Islam di Indonesia. Sebab, kata "teologi" lebih identik untuk agama Kristen, sedangkan "feminisme" lebih dipahami sebagai ideologi kebebasan perempuan Barat yang free-sex, aborsi, dan anti-institusi keluarga (lihat, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, 2002: 5-7).

Meskipun demikian, integrasi gender dalam studi Islam di beberapa PTKI sejauh ini cenderung menggunakan perspektif feminis Barat yang ekstrem. Agama dan kitab suci dianggap mengajarkan kebencian terhadap wanita dan melegitimasi hak istimewa untuk laki-laki. Sejarah munculnya feminisme yang dilatarbelakangi marginalisasi perempuan di Barat telah memunculkan semangat antagonisme terhadap agama dan laki-laki. Ideologi ekstrem seperti ini banyak dijumpai dalam corak baru studi Islam berbasis gender yang dikembangkan oleh beberapa PTKI.

Penelitian penulis terhadap buku panduan perkuliahan berbasis gender di sebuah PTKI, mendapati beberapa masalah, di antaranya:

(i)
Cenderung memaksakan keterkaitan antara bahan mata kuliah dan perspektif gender. Hal ini berdampak pada bergesernya karakter studi Islam yang didasarkan teks-teks wahyu perlahan-lahan bergeser kepada realitas sosial dan modernitas. Dalam mata kuliah 'ulum Alquran I, misalnya, diuraikan bahwa di antara judul yang dikaji adalah teori evolusi syariah dengan pendekatan gender. Tafsir Amina Wadud juga dikenalkan sebagai metodologi tafsir Alquran. Kurikulum usul al-fiqh yang seharusnya dimaksudkan untuk membahas konsep, sumber, dan metode istinbat hukum Islam didekonstruksi dengan perspektif gender melalui pendekatan kesejarahan. Konsekuensinya, arah perkuliahan akhirnya digiring untuk mengkritik dan menafsirkan ulang hukum Islam yang bersifat qat'i (final) dan tsabit (permanen).

(ii)
Munculnya perubahan tabiat dasar dan tujuan mata kuliah yang awalnya berfokus kepada pencapaian skill kebahasaan, berubah sekadar menjadi pengamat. Materi bahasa Arab yang seharusnya bertujuan mencapai kemahiran membaca, bertutur, dan menulis, akhirnya dipaksakan mempelajari hal-hal di luar maksud pembelajaran, seperti membahas latar belakang patriarkisme bangsa Arab dan bias gender dalam kaidah bahasa Arab.

(iii)
Kurangnya SDM yang mampu memahami bidang studi Islam dan gender secara komprehensif, sehingga berdampak pada penentuan buku-buku rujukan. Penulis menjumpai empat kasus buku, di mana satu buku dijadikan rujukan untuk tiga hingga enam jenis mata kuliah (lihat, Pengarusutamaan Gender Dalam Kurikulum IAIN, 2004).

Walhasil, sekiranya perkuliahan responsif gender merupakan program wajib pemerintah yang harus diterapkan, hendaknya kuliah itu tidak menyasar hal-hal yang kontraproduktif. Kuliah lebih baik difokuskan pada penguatan institusi keluarga, mendorong kebijakan yang memberikan jaminan kesehatan untuk kehamilan dan persalinan, insentif bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai balita, menghukum sindikat rumah sakit yang membujuk pasien melakukan operasi caesar tanpa alasan yang dibenarkan, sedangkan bagi wanita karier diberikan cuti melahirkan minimal setahun bergaji, memberi masa kerja yang lebih fleksibel, dan lain-lain yang membawa kemaslahatan luas bagi bangsa dan negara.

Menjadikan pola pikir feminis Barat sebagai kiblat studi gender adalah kekeliruan yang sangat mendasar. Dalam Islam dan tradisi masyarakat Indonesia, perempuan ditempatkan pada tempat terhormat, sebagai hamba Allah yang setara kedudukannya dengan laki-laki, meskipun dengan peran yang berbeda. Kekeliruan dasar dan arah studi gender di Perguruan Tinggi Islam akan berdamp
ak pada hilangnya adab pribadi, keluarga, dan masyarakat. Bukan manusia yang adil dan beradab yang dituju, tetapi manusia tak beradab. Na'udzubillah.
Document from Eko Heru Prayitno
Share 'KONSEP ISLAM BENAR-ADIAN.pdf'