MUSTANIR ONLINE
3.2K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
b hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan mereka. Hukum Islam diikuti pula oleh pemeluk Islam di wilayah-wilayah Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Ngampel, Mataram, dan juga Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup pada masa itu, seperti Sajinatul Hukum.

Dengan fakta-fakta tersebut, Prof. Muhammad Daud Ali, guru besar hukum Islam di Universitas Indonesia, menyimpulkan, bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri di dalam masyarakat. Sebagai hukum yang berdiri sendiri, hukum Islam telah ada dan berlaku di dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami Nusantara ini. (Lihat, Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam Juhaya S. Praja dkk, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1994), hal. 69-70.
Sebagai orang yang dihormati di berbagai kalangan, Syafii Maarif harusnya menjelaskan fakta-fakta sejarah tentang hukum Islam itu kepada kalangan non-Muslim dan orang-orang yang ketakutan terhadap syariah Islam; agar mereka paham dan tidak salah paham terhadap syariah Islam; bukannya malah menambah-nambah rasa syariah-fobia di kalangan non-Muslim. Sebab, syariah Islam memang bukan untuk menakut-nakuti.

Selain itu, harusnya Syafii Maarif mempertegas pemikirannya, pada bagian mana dari syariat Islam yang dia tidak setujui. Dia tidak perlu menyatakan, bahwa perda syariat bertentangan denan integrasi bangsa. Bagaimana mungkin pikiran seperti itu bisa hinggap pada benak seorang Profesor, sedangkan di Indonesia sudah begitu banyak hukum yang secara tegas merupakan pelaksanaan syariat Islam, seperti Bank Syariat, Asuransi Syariat, Reksadana Syariat, hukum perkawinan syariat, dan sebagainya. Jika meninggal dunia pun, tentu Syafii Maarif maunya dimakamkan secara syariat Islam, bukan secara hukum Amerika. Dan perda yang mengatur cara pemakaman dan perkawinan secara syariat Islam pasti tidak membahayakan integrasi bangsa, bukan?
Syafii memang ingin, agar perda anti maksiat diperjuangkan di bawah payung Pancasila, khususnya sila pertama. Syafii boleh saja berpendapat seperti itu. Tetapi, dia harusnya menghormati aspirasi kaum Muslim yang ingin pelaksanaan perda itu ditegaskan dalam format yang tegas. Jika mengaku demokrat, Syafii pun harus menghormati aspirasi semacam itu, dan jangan mencemooh dengan kata-kata dungu, bahlul, dan sebagainya. Dia harus berbesar hati menerima realitas bangsa yang plural dan bermacam-macam aspirasinya. Jika ingin diakui sebagai negarawan besar, harusnya Syafii mampu membaca realitas itu. Jangan aspirasi kaum PDS Kristen dia telan, sedangkan aspirasi kaum Muslim dia lecehkan dan dia perhinakan. Sayang, melalui kolomnya di Republika itu, Syafii Maarif justru memperhinakan dan mengecilkan dirinya sendiri.
Meskipun dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, dan pernah memimpin Muhammadiyah, Syafii Maarif bukanlah seorang pakar di bidang syariat Islam. Dia belum pernah menulis buku yang serius tentang itu. Dia memang guru besar sejarah, khususnya sejarah perpolitikan Islam di Indonesia. Karena itu, pendapat-pendapatnya tentang syariat Islam seringkali tidak sepenuhnya benar. Di dalam tulisannya itu pun Syafii membuat pernyataan yang sangat lemah argumentasinya. Sebagai contoh, dia tulis, Secara umum, bukankah isi syariah yang diwarisi sekarang ini sebagian besar adalah hasil ijtihad abad pertengahan yang pasti terikat dengan ruang dan waktu ?

Pernyataan Syafii Maarif ini terlalu gegabah bagi seorang bergelar professor. Hukum-hukum tentang zina, judi, jilbab, haji, shalat, zakat, puasa, dan sebagainya, sudah diberlakukan sejak zaman Nabi Muhammad saw. Para ulama berikutnya hanyalah melakukan sistematisasi dan melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah baru yang muncul di tengah masyarakat, dan bukan membuat syariah baru, yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. Jika yang dimaksud Syafii adalah kitab-kitab fiqih karya para ulama, maka itu pun sangat keliru.
Sebab, kegemilangan ilmu fiqih telah dicapai di masa imam-imam Mazhab.


Para Imam mazahab itu hidup di awal-awal sejarah Islam. Imam Abu Hanifah lahir tahun 699 M; Imam Maliki tahun 712 M; Imam Syafii tahun 767 M; dan Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 780 M. Jika Newton merumuskan teori gravitasi bukan berarti Newton yang menciptakan hukum gravitasi. Jika para ulama mazhab menggali dan merumuskan syariah Islam dalam kitabnya, dengan merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, bukan berarti ulama-ulama itu yang menciptakan hukum. Hukum itu tetap hukum Allah, sebagaimana hukum gravitasi.
Para Imam itulah yang kemudian menjadi rujukan umat Islam di berbagai dunia, tidak pandang waktu dan tempat. Karena sifatnya yang universal untuk manusia, hukum Islam tidak memandang waktu, tempat, dan budaya.


Khamr adalah haram untuk seluruh manusia, dimana pun dan kapan pun. Zina adalah haram, apakah untuk orang Yogya atau orang Arab. Zakat diwajibkan untuk seluruh Muslim di tempat mana pun dan kapan pun. Judi diharamkan untuk semua manusia. Seluruh ulama sepakat bahwa babi adalah haram, tidak pandang waktu dan tempat; tidak pandang, apakah di tempatnya banyak ternak babi atau ternak kambing. Riba diharamkan untuk semua manusia dan semua tempat. Menutup aurat diwajibkan untuk semua wanita Muslimah, tidak peduli, dimana pun dia berada; apakah di Yogya tempat tinggal Syafii Maarif atau di Amerika tempat tinggal Madonna.
Jadi, sangatlah sembarangan, jika Syafii Maarif menyatakan, bahwa syariah senantiasa terikat dengan ruang dan waktu. Tentu saja dalam pelaksanaan hukum ada perbedaan model dan gaya. Bisa saja model jilbab di Arab Saudi berbeda dengan di Bandung. Tetapi, semuanya wajib menutup seluruh aurat wanita, kecuali muka dan telapak tangan. Bisa saja merk khamr berbeda, antara vodka di Rusia dengan minuman Arak cap anjing di Indonesia. Tapi, semuanya adalah khamr dan hukumnya haram. Semuanya adalah syariah Islam, syariah yang satu. Umat Islam tidak pernah mengenal istilah syariah Arab, syariah Iran, syariah Pakistan, syariah Jawa, syariah Batak, syariah Padang, syariah India, syariah Papua, dan sebagainya.
Juga, sejarah Islam sebenarnya tidak mengenal istilah abad pertengahan sebagaimana dalam sejarah Barat. Bagi Barat, abad pertengahan adalah identik dengan zaman kemunduran dan zaman kegelapan (the dark ages). Jika Syafii Maarif menelaah dengan jeli sejarah Islam dan membandingkannya dengan sejarah Barat, maka tidak seharusnya dia mengikuti periodisasi sejarah sebagaimana yang dialami peradaban Barat. Ketika Barat berada dalam zaman kegelapannya, di abad pertengahan, justru kaum Muslim sedang berada dalam puncak-puncak ketinggian prestasi peradabannya. Ketika itulah, kaum Muslim memegang kendali dunia. Maka, istilah abad pertengahan dengan konotasi kemunduran seperti yang dialami peradaban Barat, tidak sepatutnya digunakan untuk sejarah umat Islam. Sebagai professor sejarah, Syafii Maarif harusnya memahami masalah ini.
Akan tetapi, di tengah berbagai kekeliruan dalam pola pikir Syafii Maarif, kita perlu memberikan apresiasi terhadap niatnya untuk membela Islam. Syafii tampak berbeda dengan orang seperti Dawam Rahardjo yang sudah tegas-tegas memposisikan dirinya sendiri di mana berada. Syafii dikenal sebagai orang yang hidup sederhana dan cukup tegas dalam masalah moralitas.


Sayangnya, dia banyak keliru dalam masalah pemikiran Islam. Satu hal yang perlu kita perhatikan dari kritik positif Syafii Maarif adalah seruannya agar orang-orang yang memperjuangkan syariah Islam benar-benar serius, bukan semata-mata untuk kepentingan isu politik sesaat. Dalam hal ini, kita tentu setuju, bahwa para penyeru syariah Islam seyogyanya menerapkannya untuk diri sendiri dan kelompoknya terlebih dahulu. Selain itu, Syafii juga benar, bahwa penerapan syariah memanglah sesuatu yang panjang dan komplek. Aspek legalitas syariah dalam bentuk hukum positif adalah salah satu aspek saja dari suksesnya penegakan syariah. Masih diperlukan unsur-unsur lain yang mendukungnya, seperti aparat hukum yang baik, sistem peradilan yang baik, dan juga kesiapan
masyarakat dalam menerima hukum Islam. Semua aspek itu harus dikerjakan secara simultan.
Kita memang heran, mengapa Syafii Maarif begitu sinis terhadap penerapan Syariah? Ada apa sebenarnya dengan Syafii Maarif? Tapi, kita doakan saja, semoga Professor Doktor Syafii Maarif meskipun di usianya yang senja bersedia ngaji lagi dengan baik kepada orang yang benar-benar ulama, agar tidak keliru cara berpikirnya dalam memandang Islam. Wallahu alam. (Depok, 13 Juli 2006).
Tuhan Kita: Allah!
Oleh: Adian Husaini




Salah satu pandangan yang senantiasa dilempar oleh kaum Pluralis Agama dalam 'mengelirukan' pemikiran kaum Muslim, adalah mengatakan, "semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang satu".

Mereka mengatakan, soal nama "Yang Satu" itu tidaklah penting. Yang Satu itu dapat dinamai Allah, God, Lord, Yahweh, The Real, The Eternal One, dan sebagainya. Bagi mereka, nama Tuhan tidak penting. Ada yang menulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang, Tuhan Segala agama."

Kita ingat, dulu, ada cendekiawan terkenal yang mengartikan kalimat syahadat dengan: "Tidak ada tuhan (dengan t kecil), kecuali Tuhan (dengan T besar).

Tradisi yang tidak tahu dan tidak mempersoalkan nama Tuhan bisa kita telusuri dari tradisi Yahudi. Kaum Yahudi, hingga kini, masih berspekulasi tentang nama Tuhan mereka.

Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The God of Judaism as the tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, Gods name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy."

Karena tidak memiliki tradisi sanad yang sampai kepada Nabi Musa a.s. maka kaum Yahudi tidak dapat membaca dengan pasti empat huruf "YHWH". Mereka hanya dapat menduga-duga, empat huruf konsonan itu dulunya dibaca Yahweh. Karena itu, kaum Yahudi Ortodoks tidak mau membaca empat huruf mati tersebut, dan jika ketemu dengan empat konsonan tersebut, mereka membacanya dengan Adonai (Tuhan).

Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang "nama Tuhan" yang sangat beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Mesir dan kawasan Timur Tengah lainnya, kaum Kristen menyebut nama Tuhan mereka dengan lafaz "Alloh", sama dengan orang Islam; di Indonesia mereka melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah"; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord".

Bagi orang Kristen, "Allah" bukanlah nama diri, seperti dalam konsep Islam. Tetapi, bagi mereka, "Allah" adalah sebutan untuk "Tuhan itu" (al-ilah). Jadi, bagi mereka, tidak ada masalah, apakah Tuhan disebut God, Lord, Allah, atau Yahweh. Yang penting, sebutan itu menunjuk kepada "Tuhan itu". Ini tentu berbeda dengan konsep Islam.

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kelompok-kelompok Kristen yang menolak penggunaan nama "Allah" untuk Tuhan mereka dan menggantinya dengan kata "Yahwe". Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi. Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.''

Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah".

Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." (Tentang kontroversi penggunaan nama Allah dalam Kristen, bisa dilihat dalam buku-buku I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-3).

Itulah tradisi Yahudi-Kristen dalam soal penyebutan nama Tuhan. Sayangnya, oleh sebagian kaum Muslim atau oriental
is Barat, tradisi Yahudi dan Kristen ini kemudian dibawa ke dalam Islam. Pada berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, kita menemukan tindakan yang tidak tepat, yaitu menerjemahkan semua lafaz Allah dalam Al-Quran menjadi "God". Dalam konsep Islam, Allah adalah nama diri (ismul 'alam/proper name)dari Dzat Yang Maha Kuasa.

Maka, seharusnya, lafaz "Allah" dalam Al-Quran tidak diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik diterjemahkan dengan "Tuhan", "God", atau "Lord".

Beberapa terjemahan Al-Quran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God. Misalnya, Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur'an -- menerjemahkan "Bismillah" dengan "In the name of God".

Begitu juga, "Alhamdulillah" diterjemahkan dengan "Praise be to God", dan "Qul Huwallahu ahad" diterjemahkan dengan "Say: He is God, the One and Only". Kasus yang sama penerjemahan nama Allah menjadi God juga bisa dilihat dalam Terjemah al-Quran bahasa Inggris yang dilakukan oleh J.M.

Rodwell (terbitan J.M. Dent Orion Publishing Group, London, 2002. Terbit pertama oleh Everyman tahun 1909). Harusnya, kata Allah dalam al-Quran tidak diterjemahkan, karena "Allah" adalah nama. Seperti halnya kita tidak boleh menerjemahkan kata "President Bush" dengan "Presiden semak", atau nama Menlu AS "Rice" dengan "Menteri Nasi".

Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sesuai dengan konsep Pandangan Hidup Islam (Islamic worldview) yang bersifat otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final.

Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).

Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath-Thahawi (239-321H), dan disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: "Naquulu fii tawqiidillaahi mu'taqidiina bitawfiqillaahi: Innallaaha waahidun laa syariikalahu." Dalam Kitab Aqidatul Awam yang biasa diajarkan di madrasah-madrasah Ibtidaiyah ditulis bait pertama kitab ini: "Abda'u bismillaahi wa-arrahmaaniwa bi-arahiimi daa'imil ihsani." Ayat pertama dalam al-Quran juga berbunyi "Bismillahirrahmaanirrahiimi", dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam Al-Quran.

Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad yang sampai pada Rasulullah saw maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah.

Dengan demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT melalui Al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" -- Tidak ada tuhan
selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah". Syahadat Islam ini tidak boleh diterjemahkan dengan "Tidak ada tuhan kecuali Tuhan dan Yang Terpuji adalah utusan Allah".

Kaum Muslim di seluruh dunia dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen Armstrong menulis dalam bukunya:

"Al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan." (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), 2001), hal. 199-200).

Bagi kaum Pluralis Agama, siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena biasanya mereka memandang, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu, tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah menuju Tuhan yang satu, siapa pun nama-Nya. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan, bahwa:

"... setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama." (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (1999), hal. xix).

Seorang Pluralis pendatang baru, juga menulis dalam buku terbarunya, "Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah."

Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah, adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, di kalangan Kristen saja, muncul perdebatan sengit tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai nama Tuhan. Sebagaimana kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama Tuhan' secara khusus. Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau menggunakan lafaz "Allah" sebagai nama Tuhan mereka.

Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan "Allah" sama dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh Al-Quran. (Al-Quran memang menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka akan menyebut "Allah". (Lihat QS 29:61, 43:87).

Tetapi, perlu dicatat, bahwa Al-Quran menggunakan kata yang sama namun dengan konsep yang berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata, Uza, Hubal, dan sebagainya. Karen Armstrong menyebut, ketika Islam datang, 'Allah' dianggap sebagai 'Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno'. (Lihat, Karen Armstrong, op cit, hal. 190).

Karena itu, dalam pandangan Islam, mereka melakukan tindakan syirik terhadap Allah. Sama dengan kaum Kristen, yang dalam pandangan Islam, juga telah melakukan tindakan syirik dengan mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad saw sesuai dengan ketentuan QS al-Kafirun menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara bergantian.

Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tentulah Nabi Muhammad saw akan memenuhi ajakan kafir Quraisy.

"Katakan, hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS 109).

QS al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa karena konsep Tuhan yang berbeda meskipun namanya sama, yaitu Allah -- dan cara beribadah yang tidak sama pula, maka tidak bisa dikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy menyambah Tuhan yang sam
a. Itu juga menunjukkan, bahwa konsep Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga cara (jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi Muhammad dilarang mengikuti ajakan kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian menyembah Tuhan masing-masing.

Sebagai Muslim, kita meyakini, Islam adalah agama yang benar. Tuhan kita Allah, yang nama-Nya diperkenalkan langsung dalam Al-Quran. Tidaklah patut kita membuat teori-teori yang berasal dari spekulasi akal, dengan menyama-nyamakan Allah dengan yang lain, atau menserikatkan Allah dengan yang lain, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Pluralis Agama. Wallahu a'lam. (Bojonegoro, 15 September 2006).
Tamsil Anjing untuk Penjual Kebenaran

Oleh: Adian Husaini




“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya maka dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga).

Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS al-Araf:175-176)

Menarik untuk merenungkan ayat Al-Quran tersebut. Ayat 175 surat al-Araf ini menceritakan tentang orang-orang yang telah didatangkan ayat-ayat Allah kepada mereka, tetapi dia kemudian melepaskan diri dari ayat-ayat itu.

Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka menjelaskan, bahwa orang-orang ini sudah terhitung pakar atau ahli dalam mengenal ayat-ayat Allah. Tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat Allah saja, kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu, maka pengetahuannya tentang ayat-ayat Allah itu satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia terlepas dari ayat-ayat itu. Ayat-ayat itu tanggal atau copot dari dirinya.

Dalam ayat ini, kata digunakan lafazh insalakha, arti asalnya ialah menyilih (ganti kulit. Bahasa Jawa: mlungsungi untuk ular). Atau, ketika orang menyembelih kambing, maka dia kuliti dan dia tanggalkan kulit kambing, sehingga tinggal badannya saja. Ini juga disebut insalakha.

Masih tulis Hamka dalam tafsirnya: Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih dan tahu tafsir, tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi. Allahu Akbar! Sebab akhlaknya telah rusak.
Maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat.

Kata Buya Hamka, rupanya karena hawa nafsu, maka ayat-ayat yang telah diketahui itu tidak lagi membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuat jadi gelap.

Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut syaitan, sehingga ayat-ayat yang dia kenal dan dia hafal itu bisa disalahgunakan. Dia pun bertambah lama bertambah sesat.
Seumpama ada seorang yang lama berdiam di Makkah dan telah disangka alim besar, tetapi karena disesatkan oleh syaitan, dia menjadi seorang pemabuk, dan tidak pernah bersembahyang lagi.
Maka, karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Quran yang dia hafal itu untuk mempertahankan kesesatannya, dengan jalan yang salah. Dia masih hafal ayat-ayat dan hadits itu, tetapi ayat dan hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia tinggal dalam keadaan telanjang. Naudzubillah min dzalik, demikian tulis Hamka dalam tafsir terkenalnya.

Terhadap manusia  jenis ini, al-Quran menggunakan perumpamaan dan sebutan yang sangat buruk, yaitu mereka diumpakan sebagai anjing. Hamka memberi uraian terhadap tamsil orang yang menukar kebenaran dengan kekufuran ini: Laksana anjing, selalu kehausan saja, selalu lidahnya terulur karena tidak puas-puas karena tamaknya.

Walaupun dia sudah dihalaukan pergi, lidahnya masih terulur, karena masih haus, karena masih merasa belum kenyang, dan walaupun dibiarkan saja, lidahnya diulurkannya juga.

Cobalah pelajari dengan seksama, mengapa maka binatang yang satu itu, anjing, selalu  mengulurkan lidah? Sebabnya ialah karena tidak pernah merasa puas. Lebih-lebih pada siang hari, di kala panas mendenting-denting.

Anjing mengulurkan lidah terus, karena selalu merasa  belum kenyang, karena hawanafsunya belum juga terpenuhi. 

Tamsil Al-Quran tentang anjing untuk orang-orang yang membuang kebenaran dan mengikuti kebatilan ini sangat penting untuk kita renungkan, mengingat kita melihat satu fenomena aneh di Indonesia, banyaknya orang-orang yang dulunya belajar agama di institusi-institusi pendidikan Islam, mengerti ayat-ayat Allah, tetapi akhirnya just
ru menjadi garda terdepan dalam melawan dan melecehkan ayat-ayat Allah sendiri.

Ini tidak bisa disalahkan pada lembaga pendidikannya begitu saja, tetapi perlu ditanyakan, mengapa ada manusia yang menjual kebenaran, membuang kebenaran yang telah diketahuinya, dan kemudian memilih menjadi anjing sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran.

Peringatan Allah SWT tersebut sangat penting untuk direnungkan oleh siapa saja. Oleh kita semua. Agar kita tidak masuk ke dalam kategori anjing yang menjulur-julurkan lidahnya.

Kita mengingatkan saudara-saudara kita, yang  mungkin lupa akan peringatan Allah tersebut. Agar kita tidak mudah menjual ayat-ayat Allah, membuangnya, bahkan tak segan-segan menjadi garda terdepan dalam menghujat dan memutarbalikkan kebenaran.

Kita, misalnya, berkewajiban mengingatkan orang yang mengerti ayat-ayat Allah, malah menjadi penghujat ayat-ayat Allah itu sendiri, hanya karena terpesona dan terkagum-kagum oleh satu atau dua tulisan kaum orientalis yang melakukan studi Al-Quran.

Belum lama ini (5 Juli 2005), seorang yang mengaku Islam Liberal yang berasal dari satu pelosok kampung di wilayah Bekasi meluncurkan tulisan yang memuji-muji habis-habisan orientalis dalam studi Al-Quran. Tulisan itu dia beri judul AI-Qur'an dan Orientalisme.

Bagi yang mengikuti studi Al-Quran dengan cermat, tulisan ini sebenarnya berkualitas sampah, tidak ada data-data ilmiah yang ditampilkan, tetapi hanya berupa puji-pujian tanpa bukti terhadap kaum orientalis. 

Tulisan ini sebenarnya sangat memalukan, bagi seorang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Timur Tengah. Tapi, tampak, bahwa rasa malu itu sudah hilang dari dirinya.

Tentang studi para orientalis terhadap Al-Quran, si penulis itu menyatakan:
Studi mereka tentang sejarah Alquran misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik.

Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Alquran.

Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum muslim adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan.

Saya pernah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah Alquran.

Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.

Cobalah kita simak kata-kata penulis yang juga dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadinamulya ini. Begitu tinggi dia menghargai orientalis dan sebaliknya mencurigai para ulama Islam.

Padahal, kita sudah diajarkan oleh Rasulullah saw untuk bersikap kritis terhadap sumber-sumber dari kaum Yahudi dan Kristen. Kita tidak  boleh menolak atau menerima begitu saja.

Tetapi, bukti-bukti menunjukkan, banyak orientalis yang memang melakukan studinya dengan tidak jujur.

Justru orientalis yang disebut oleh penulis itu termasuk ke dalam daftar orientalis yang licik dalam studi Al-Quran. Bahkan, sebagian orientalis sudah mengritik kajian mereka.

Sebutlah contoh John Wansbrough. Seorang orientalis bernama Juynboll secara mendasar telah mengkritik Wansbrough karena terlalu selektif dalam memilih sumber-sumber rujukan yang sesuai dengan pra-anggapan penelitiannya.

Wansbrough berpendapat, bahwa tidak ada teks Al-Quran yang fixed sebelum akhir abad ke-2 Hijriah atau awal abad ke-3 Hijriah. Tetapi, Juynboll membuktikan, bahwa Wansbrough berlaku curang karena tidak memasukkan literatur Islam sebelum abad ke-2 yang dapat menggoyahkan teorinya, seperti Kitab Al- Alim wa al-Mutaallim and Risala ila Utsman al-Baitti yang   keduanya ditulis oleh Abu Hanifah (150 H.).

Estelle Whellan juga telah meruntuhkan kesimpulan Wansbrough, dengan membuktikan  bahwa teks Al Quran telah menjadi teks yang tetap pada abad pertama Hijrah.

Karena itu, kita heran, bagaimana si penulis artikel tersebut berani menyatakan bahwa Sej
auh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.  Jelas kesimpulan yang ngawur.

Para orientalis sendiri tentu tertawa melihat kesimpulan penulis yang terlalu panjang dalam menjulurkan lidahnya. Apalagi, dia sendiri mengaku baru membaca sebagian karya para orientalis tersebut.

Belum tamat membacanya sudah memuji setinggi langit, dan taklid buta terhadap kajian orientalis.

Dalam film-film tentang zaman penjajahan Belanda, kita menyaksikan kaum pribumi para kaki tangan Belanda (londo ireng), tak jarang melakukan kekejaman melebihi orang Belanda sendiri terhadap kaum pribumi.
Biasanya, para londo ireng itu ingin, agar kesetiaanya kepada sang tuan tidak diragukan.

Untuk itu, ia menguliti dirinya sendiri, membuang seluruh identitas pribuminya, agar ia benar-benar tampak lebih Belanda ketimbang orang Belanda sendiri. 

Disamping rajin memuji-muji tuannya, ia juga tak segan-segan memasok informasi tentang orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan sang penjajah. Tentu saja, semua itu ada imbalannya.

Tentang Arthur Jeffery, Adnin Armas, kandidat doktor di ISTAC Kuala Lumpur, yang baru menerbitkan bukunya, Metode Bibel dalam Studi Al-Quran membuktikan ketidakjujuran orientalis yang satu ini dalam melakukan studi Al-Quran.

Misalnya, dikatakan Jeffery, bahwa ketika Uthman r.a. mengirim teks standar ke Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar, Ibnu Masud menolak menyerahkan mushafnya.

Dia marah karena teks yang dibuat Zaid ibn Thabit yang lebih muda,  lebih diprioritaskan dibandingkan mushafnya.

Padahal ketika Ibn Masud sudah menjadi Muslim, Zaid masih berada dalam pelukan orang-orang kafir.

Di sini tampak jelas kekeliruan atau ketidakjujuran Jeffery dalam menulis sejarah Al-Quran. Ia  tidak mengkaji secara menyeluruh sikap Abdullah ibn Masud.

Padahal,  Kitab al-Mashaahif yang diedit sendiri oleh Jeffery -- menunjukkan bahwa Ibn Masud meridhai kodifikasi yang dilakukan Uthman bin Affan. Ibnu Masud mempertimbangkan kembali pendapatnya yang  awal dan kembali kepada pendapat Uthman dan para Sahabat lainnya.

Ibnu Masud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya. Jadi, pendapat Jeffery menjadi naïf karena justru dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery, Ibnu Masud pada akhirnya menyetujui kebijakan Utsman, yang disokong oleh para Sahabat lainnya.

Bukti-bukti kekeliruan orientalis dalam melakukan studi Islam sudah banyak ditunjukkan oleh para cendekiawan Muslim atau oleh para orientalis sendiri.

Kaum Muslim juga maklum, bahwa tidak semua hasil studi mereka ditolak begitu saja. Ada yang bermanfaat untuk kaum Muslim. Tetapi, memuji mereka tanpa ilmu pengetahuan yang memadai adalah sikap naif yang tidak perlu dilakukan.

Tamsil Al-Quran tentang anjing yang menjulur-julurkan lidahnya perlu kita renungkan secara mendalam. sebagai Muslim tentu kita tidak menginginkan diri kita sendiri termasuk kategori anjing sebagaimana digambarkan dalam surat al-Araf tersebut.

Jika kita sudah memahami ayat-ayat Allah SWT, seyogyanya kita berusaha memahami dan mengamalkannya.

Dan sebagai orang yang berakal sehat, kita tentu sangat khawatir jika diri kita sampai masuk kategori anjing. Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang bangga menduduki posisi 'anjing'. Na'udzubillah min dzalika. (Jakarta, 8 Juli 2005).  
PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika anak-anak sekolah hobi tawuran hingga baku bunuh; di saat anak-anak remaja kecanduan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba); manakala kasus perkosaan biasa menimpa remaja wanita bahkan anak-anak dibawah umur, orang lalu bertanya salah siapa?

Jika orang mencari kesalahan tuduhan pertama tentu mengarah pada pendidikan sekolah. Tapi pihak sekolah pasti akan mengkritik pendidikan orang tua. Orang tua pun merasa tidak berdaya melawan pengaruh kehidupan masyarakat yang rusak. Seperti sebuah lingkaran, orang tidak segera menemukan sebab awalnya.
Kini solusi yang ditawarkan adalah pendidikan karakter (character education) yang dibebankan ke pundak sekolah. Di Amerika pendidikan ini sebenarnya bukan hal baru. Sebelum terjadi hura hara kekerasan di sekolah-sekolah Amerika, Horce Mann, tokoh pendidikan Amerika, sudah mendukung dan mengarahkan adanya program pendidikan karakter di sekolah. Tapi ia bersama tokoh pendidikan abad 20 ragu pendidikan karakter ini akan mengarah pendidikan moral. Sebab moral biasanya dikaitkan dengan keluarga dan gereja.

Meski dikhawatirkan menjadi pendidikan moral atau agama, tapi pada tahun 1980 dan 1990an pendidikan karakter di Amerika memperoleh perhatian kembali. Menurut Vessels, G. G ini untuk pencegahan dekadensi moral (Character and community development: A school lanning and teacher training handbook, 1998, hal.5). Tapi menurut Beach, W dan Lickona, T., ini bukan hanya mencegah tapi sudah harus memperbaiki moral yang sudah merosot. (Lihat Beach, W. Ethical education in American public schools. Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility).

Tapi karena inisiatif solusi ini tidak datang dari pendidik, penekanannya hanya pada perilaku standar dan kebiasaan yang positif. Perhatian kembali ini didukung oleh para politisi dan pemimpin Negara. Clinton, misalnya mengadakan lima konferensi tentang pendidikan karakter. Dilanjutkan oleh George W Bush yang menjadikan pendidikan karakter sebagai fokus utama dalam agenda reformasi pendidikan.

Tapi apa itu pendidikan karakter itu? Lockwood, A. T mengartikan pendidikan karakter sebagai program sekolah, untuk membentuk anak-anak muda secara sistematis dengan nilai-nilai yang diyakini dapat mengubah perilaku mereka. (Lockwood, A. T. Character education: Controversy and consensus 1997, hal. 5-6). Namun secara luas diartikan pula sebagai penanaman sifat sopan, sehat, kritis, dan sikap-sikap sosial seperti kewarganegaraan yang dapat diterima masyarakat.

Kekhawatiran Horace Mann terbukti. Pendidikan karakter dianggap sama dengan pendidikan moral atau sekurangnya mirip. Maka para penganut Protestan di Amerika segera mencium bau pendidikan moral dalam pendidikan karakter ini. Mereka pun protes. Ini mereka anggap sebagai penjelmaan dari program pendidikan agama dan nilai yang dianggap telah gagal di masa lalu.

Untuk itu arti pendidikan moral mulai dikaburkan dari nilai-nilai agama dan diartikan sebagai upaya sadar untuk membantu orang lain mencari pengetahuan, skill, tingkah laku, dan nilai untuk kepentingan pribadi dan sosial (Kirschenbaum, 100 ways to enhance values and morality in school and youth settings).

Tapi istilah dan konsep pendidikan karakter pun bukan tanpa masalah. Apa yang disebut baik dan perilaku baik itu di Barat relatif. Nilai baik buruk berubah seiring dengan perubahan kehidupan. Akhirnya pendidikan bukan untuk menanamkan nilai, tapi menggali nilai-nilai yang sesuai dengan nilai mereka yang boleh jadi bersifat lokal. Di Amerika karakter yang ditanamkan di sekolah sesuai dengan latar belakang dan perkembangan sosial dan ekonomi mereka sendiri.

Di Amerika isu sentralnya adalah nilai-nilai feminisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, humanisme dan sebagainya. Maka arah pendidikan karakter di sana adalah untuk mencetak sumber daya manusia yang pro gender, liberal, pluralis, demokratis, humanis agar sejalan dengan tuntutan sosial, ekonomi, dan politik di Amerika. Tapi herannya mengapa di Indonesia yang problemnya berbeda mes
ti harus menanamkan nilai-nilai dari negara asing?

Berhasilkah pendidikan karakter ini menyelesaikan masalah bangsa Amerika? Ternyata tidak. Pada tahun 2007 Kementerian Pendidikan Amerika Serikat melaporkan bahwa mayoritas pendidikan karakter telah gagal meningkatkan efektifitasnya. Bulan oktober 2010 sebuah penelitian menemukan bahwa program pendidikan karakter di sekolah-sekolah tidak dapat memperbaiki perilaku pelajar atau meningkatkan prestasi akademik.

Ternyata dibalik itu terdapat beberapa masalah. Pertama tidak ada kesepakatan dari konseptor dan programmer pendidikan karakter tentang nilai-nilai karakter apa yang bisa diterima bersama. Karakter kejujuran, kebaikan, kedermawanan, keberanian, kebebasan, keadilan, persamaan, sikap hormat dan sebagainya secara istilah bisa diterima bersama. Namun, ketika dijabarkan secara detail akan berbeda-berbeda dari satu bangsa dengan bangsa lain.

Masalah kedua, ketika harus menentukan tujuan pendidikan karakter terjadi konflik kepentingan antara kepentingan agama dan kepentingan ideologi. Ketiga, konsep karakter masih ambigu karena – merujuk pada wacana para psikolog – masih merupakan campuran antara kepribadian (personality) dan perilaku (behaviour).

Persoalan keempat dan terakhir arti karakter dalam perspektif Islam hanyalah bagian kecil dari akhlaq. Pendidikan karakter hanya menggarami lautan makna pendidikan akhlaq. Sebab akhlaq berkaitan dengan iman, ilmu dan amal.

Semua perilaku dalam Islam harus berdasarkan standar syariah dan setiap syariah berdimensi maslahat. Maslahat dalam syariah pasti sesuai dengan fitrah manusia untuk beragama (hifz al-din), berkepribadian atau berjiwa (hifz al-nafs), berfikir (hifz al-‘aql), berkeluarga (hifz al-nasl) dan berharta (hifz al-mal). Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan lain kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita sujudkan maslahat manusia untuk Tuhannya. Wallahu a’lam.*
Ukhuwwah Islamiyyah
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Memahami makna dan pelaksanaan persatuan Islam mesti merujuk kepada konsep din yang utuh. Artinya pandangan dikotomis dalam Islam, seperti dunia-akhirat, jiwa-raga, material-spiritual, obyektif-subyektif, juga tekstual-kontekstual dan lain sebagainya harus dihindari.

Model pemahaman yang dikotomis biasanya dilakukan oleh orientalis atau sekuleris, dan sudah barang tentu tidaklah menjamin pemahaman aspek yang lain apalagi keseluruhannya. Oleh sebab itu masalah persatuan umat harus diposisikan sebagai by-product dari proses ber-Islam dan harus dipahami dalam keseluruhan ke-Islaman, ke-Imanan dan ke-Ihsanan.
Oleh sebab itu aspek konseptual dalam ber-Islam harus secara fard ‘ain, sudah dipahami sebelum kita memahami konsep ‘persatuan’ umat Islam”. Jika tidak, kita akan terjerumus pada persoalan-persoalan furu’, persoalan teknikal, problem lokal dan hanya akan menghasilkan penyelesaian yang temporal dan parsial yang ujungnya adalah perselisihan.

Untuk dapat memahami esensi persatuan dalam Islam kita harus menggunakan terminologi yang tepat yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah. Karena setiap kata dalam al-Qur’an dan Sunnah memiliki dimensi yang luas yang sarat dengan nilai.

Kalau kita teliti al-Qur’an dengan seksama kita tidak akan mendapati kata-kata ‘persatuan’ atau ittihad. Karena kata-kata persatuan saja tidak memiliki nilai dan tujuan, artinya tidak ada kaitan langsung dengan Islam. Maka dari itu tidak terdapat perintah dalam al-Qur’an yang berbunyi ittahidu (bersatulah). Terminologi persatuan yang sarat dengan nilai itu dapat dirujuk pada ayat dibawah ini:
Dan berpeganglah (i’tasimu) kamu sekalian dengan dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai-cerai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan (allafa) antara hati kamu, lalu mejadikan kamu dengan nikmat Allah menjadi bersaudara, (ikhwana) dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran (3) : 103)
Pada ayat diatas kita dapati 3 kata kunci yang penting yaitu: i’tasimu, allafa dan ikhwana (ulfah, I’tisom dan ukhuwwah) yang kesemuanya merupakan suatu kesatuan proses.
‘Asoma artinya menjaga, memproteksi, mempertahankan. I’tasoma bi artinya menjaga agar tetap pada keadaan itu; mencari perlindungan, bertahan pada sesuatu (Hanswer, Arabic-English, Dictionary).

Tafsir dari kata-kata I’tasimu diatas ialah berpeganglah kamu pada kitab atau agamaNya (Dr. Muhammad Hasan al-Hamsi, al-Qur’an, Tafsir wa Bayan). Maka dari itu kata-kata I’tasoma atau I’tisom memiliki dimensi yang luas dan sarat dengan nilai, karena ia mengandung arti ber-Islam itu sendiri.
Kebalikan I’tisom (berpegang pada tali Allah) adalah tafarruq (berpecah belah). Dalam konteks sosial keagamaan kita makna ayat ini dapat dipahami dari 2 sisi: Pertama, Berarti bahwa agar tidak berpecah belah umat Islam harus menjaga, mempertahankan dan berpegang sekaligus pada Kitab dan Sunnah. Kedua, Ketika umat Islam telah berselisih atau berpecah maka penyelesaiannya adalah kembali kepada Kitab dan Sunnah Rasulullah.
Jika orang Islam telah ber-i’tisom maka selanjutnya Allah menjinakkan hati-hati mereka, sehingga dalam diri mereka timbul rasa kesamaan: Kesamaan din, aqidah dan syari’at. Dari kesamaan ini kemudian Allah menurunkan nikmatnya yaitu ukhuwwah atau persaudaraan. Ini dipertegas dalam al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” Dalam hadis juga dijelaskan bahwa: “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya”.

Dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan bahwa terminologi yang tepat untuk persatuan umat Islam adalah ukhuwwah yang asasnya adalah kesamaan dalam ber-i’tisom: kesamaan tempat kembali yaitu kitab dan sunnah, kesamaan tujuan mempertahankan agama Allah dan kesamaan segala sesuatu yang berkaitan dengan ber-islam itu sendiri.
Karena menggunakan istilah dari hubungan sedarah maka watak dasar ukhuww
ah hampir sama dengan hubungan sedarah, seperti yang ditegaskan dalam hadis Nabi:
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang mukmin dari orang mukmin yang lain, darahnya, hartanya, kehormatannya dan prasangka dengan prasangka buruk. (Hadith Riwayat, al-Hakim dari Ibn Abbas dari Ibn Abbas)
Watak seseorang dalam melindungi nyawa, harta, marwah keluarganya serta sikap husnudzdzan adalah “watak asasi manusia”, dan jika ini dilakukan karena alasan kesamaan agama ia menjadi ukhuwwah. Bahkan eratnya hubungan ukhuwwah ini oleh nabi diumpamakan sebagai suatu badan atau bangunan. Sabdanya:
Seumpama saling kasih mengasihi, saling berlemah lembut, dan saling sayang menyayangi orang beriman (mu’min) itu laksana satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit niscaya membuat anngota tubuh lainnya merasa sakit, demam dan tidak dapat tidur semalaman. Orang mu’min bagi mu’min yang lain adalah seperti bangunan, yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (H.R. Bukhari dan Muslim )
Hadis diatas menunjukkan bahwa gambaran hubungan ukhuwwah diantara orang-orang beriman adalah benar-benar asasi dan alami. Allah tidak mengkaitkan perpecahan dengan persatuan, tapi dengan persaudaraan yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan.

Perintah-perintah untuk tidak berpecah belah selalu dihubungkan dengan keimanan dan ketakwaan: Sebab itu bertakwalah pada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu. (al-Anfal: 1, lihat juga an-Nisa: 59, Ali Imran: 103).
Jadi, tidak ber-ukhuwwah tidak saja berarti tidak Islami tapi juga tidak manusiawi. Dan ini menunjukkan bahwa konsep Islam benar-benar sesuai dengan fitrah manusia, yaitu makhluk yang mengakui keberadaan Tuhan. Kemudian dengan fitrah-nya itu Allah menyempurnakannya dengan din yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu ukhuwwah secara umum meliputi tiga dimensi penting:
Pertama, dimensi keimanan (I’tiqadiyyah) yaitu dasar, asas atau tali pengikat segala bentuk hubungan ukhuwwah baik antar individu maupun antar individu dan masyarakat. Asas itu adalah i’tisom yang telah disebutkan diatas, yaitu hubungan dengan Allah sang pencipta.

Hubungan ini dasarnya adalah iman. Disini setiap individu dituntut untuk memahami dan memiliki ilmu berukhuwwah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan seandainya kamu berselisih akan sesuatu, maka kembalilah pada Allah dan Rasulnya, jika beriman kepada Allah dan hari akhir (An-Nisa’ : 59).

Persahabatan yang tidak karena Allah dan tidak merujuk kepada perintahNya bukanlah ukhuwwah. Karena itu istilah ukhuwwah wathaniyyah tidak relevan dan keluar dari konteks ini. (Hadis “Mencintai negara adalah sebagian dari iman” adalah hadis Dhaif)
Kedua, dimensi individual (fardiyyah) yakni ukhuwwah dalam bentuk nyata hubungan antar individu di masyarakat. Didalamnya terdapat etika hubungan, sikap mental, tutur kata, solidaritas, belas kasih, timbang rasa dan lain-lain yang telah disebutkan diatas.

Keseluruhan bentuk hubungan individu ini tidak lepas dari asas dimensi keimanan. Karena itu Rasulullah menjelaskan hubungan antara iman dan sikap-sikap kita dalam ber-ukhuwwah dalam sabdanya: Yang paling kokoh pertalian iman ialah kasih sayang pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah (HR.Ahmad)
Ketiga, dimensi sosial (ijtima’iyyah), yakni ukhuwwah dalam bentuk hubungan individu dengan masyarakatnya. Disini kesalehan individual harus disempurnakan dengan kesalehan sosial.

Bersikap lemah lembut dengan tetangga, kawan, saudara dan lain-lain tidak cukup jika tidak disertai kepedulian terhadap urusan umat Islam secara keseluruhan. Sabdanya: Barangsiapa tidak perduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka. (H.R. al-Hakim dari Hudzaifah dan ath-Thabrani dari Abu Dzar)
Jadi esensi ber-ukhuwwah adalah menyeluruh (syamil) mengandung proses beriman dan bertakwa, berbelas kasih antara individu dan peduli terhadap keadaan umat secara keseluruhan.

Ketiga dimensi ini tidak dapat dipisah-pisahkan, ia adalah suatu kesatuan. Jika terjadi perselisihan dalam proses pengamalan ketiga dimensi ini, maka penyelesaian psikologisnya adalah dengan apa yang
disebut ulfah (saling menjinakkan).

Jika seorang muslim tidak mau dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya maka ia tidak dapat dapat berukhuwwah. Kemampuan dan kemauan sesorang untuk menjinakkan dan dijinakkan hatinya adalah tanda keimanannya.
Sebab dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya yang terlebih dekat kedudukannya kepadaKu ialah yang terbaik akhlaknya dari pada kamu, yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana mereka itu menjinakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka". (H.R. Tabrani dari Jabir). Lihat hadis-hadis senada dibawah ini :
Sabda Nabi yang lain: “Orang mukmin itu ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya. (HR. Ahmad dan Tabrani dari Abu Hurairah dan sahih).

Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan amat dimarahi oleh Allah diantara kamu ialah orang-orang yang menyebar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara. (H.R. Tabrani dari Abu Hurairah).

Maka sangat bertentangan dengan hadis ini jika seseorang itu dianggap dekat dengan Allah tapi tidak dapat dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya.
Pemahaman kita terhadap makna ukhuwwah belumlah menunjukkan kesatuan tekstual dan kontekstual. Para cendekiawan kita dan juga masyarakat luas, di satu sisi, masih terjebak pada analisa terhadap realitas konflik umat Islam, dan tanpa mencoba mencari letak kesalahannya dari asas dimana bangunan ukhuwwah itu berdiri.

Dan di sisi lain kita terjebak pada pemahaman nas (al-Qur’an dan Hadis) yang sempit dan sepihak yang terkadang disesuaikan dengan kepentingan golongan. Yang terakhir ini dalam al-Qur’an dicap sebagai: Yucharrifun al-kalima ‘an mawadi’ihi. (Mengalihkan kata-kata dari konteksnya).

Ukhuwwah antar sesama umat Islam di Indonesia masih tergolong lemah, hal ini disebabkan oleh kurang sempurnanya pemahaman masyarakat terhadap esensi ukhuwwah yang pokok utamanya adalah aqidah.
Dimensi keimanan atau aqidah dalam ber-ukhuwwah masih tertutupi oleh aspek syari’at-nya, sehingga yang lebih sering muncul adalah masalah furu’iyyah dan ini mengandung potensi konflik sangat besar.

Akibatnya dimensi individual dan sosial dalam berukhuwwah terpengaruh oleh aspek syariat tadi. Fiqih yang dipelajari dan dikembangkan adalah Fiqih dalam hubungannya dengan ahkam al-syakhsiyyah dan masih sedikit yang berhubungan dengan ahwal ijtima’iyyah atau siyayasah syar’iyyah dimana ukhuwwah Islamiyyah merupakan aspek terpentingnya. Apa yang kemudian nampak adalah bahwa kesalehan individual lebih diutamakan daripada kesalehan sosial, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan.

Kurangnya aktifitas silaturrahmi diantara pemimpin umat Islam memberi sumbangan terbesar kepada lemahnya ukhuwwah ini. Karena dalam masyarakat yang paternalistik ini sikap masyarakat adalah produk dari sikap pemimpinnya. Karena itu proses ulfah menjadi sulit dilaksanakan.

Maka dari itu yang sangat urgen dilaksanakan saat ini adalah memperbanyak frekuensi silaturrahmi antar pemimpin golongan, partai dan kelompok, dengan agenda saling memahami, mencari kesamaan dari perbedaan-perbedaan yang ada, dengan niat yang ikhlas, lillah.