BERMALAM DI SURGA. Harga 75rb. Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp ke 087878147997. Syukran...
Buku: Mengapa Malaikat dan Setan Di Rumah Kita? Harga 69rb. Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Syukran...
ISLAM MENILAI HAM
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Direktur INSISTS)
“In the modern world one concept which is most affected by the dominance of secularisme is that of freedom. The discussion of the concept of freedom in the West today is so deeply influenced by the Renaisance and post-Renaisance notion of man..that it is difficult to envisage the very meaning of freedom in the context of a traditional civilization such as Islam.” (S.H.Nasr).
Topik kebebasan dan hak asasi manusia adalah topik universal, namun ia tidak berarti netral. Sebab pembahasan mengenai kebebasan dan HAM pada umumnya hanya dalam perspektif manusia yang dalam peradaban Barat telah terbentuk dalam doktrin humanisme. Humanisme sendiri selalu dihadapkan atau berhadap-hadapan dengan agama. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Manusia lebih penting dari agama, dan sikap manusiawi seakan menjadi lebih mulia daripada sikap religius.
Dalam situasi seperti ini topik mengenai kebebasan beragama dipersoalkan. Akibatnya terjadi ketegangan dan perebutan makna kebebasan beragama antara agama dan humanisme. Humanisme tidak merujuk kepada agama dalam memaknai kebebasan beragama. Dan agama memaknai kebebasan dengan menggunakan acuan internal agama masing-masing.
Humanisme dianggap anti agama dan sebaliknya agama dapat dituduh anti kemanusiaan. Ketegangan ini perlu diselesaikan melalui kompromi ditingkat konsep dan kemudian dikembangkan pada tingkat sosial atau politik. Dan untuk itu agama-agama perlu membeberkan makna dan batasan atau tolok ukur kebebasannya masing-masing. Sementara itu prinsip-prinsip HAM perlu mempertimbangkan prinsip internal agama-agama.
Salah satu prestasi kemanusiaan setelah Perang Dunia ke II adalah konseptualisasi dan penyebaran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Deklarasi itu, bersamaan dengan dua Kovenan Internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, Cultural Right tahun 1966 secara umum kemudian dikenal sebagai International Bill of Human Right. Secara umum Deklarasi dan dua Kovenan itu merupakan usaha bersama untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, berkeadilan dan kerjasama internasional yang berguna bagi semua.
Namun dibanding dua Kovenan itu, Deklarasi itu sejak awal telah menuai banyak kritikan dan keberatan. Mungkin ini dikarenakan oleh situasi ketika Deklarasi itu disusun. Faktanya Deklarasi itu disusun oleh segelintir orang, tidak representatif dan umumnya didominasi oleh orang Barat, dan ketika itu orang-orang dari Afro-Asia sedang berada dibawah penguasa kolonial. Konsekuensinya, tidak banyak ide-ide yang masuk dan diperdebatkan serta didiskusikan khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Asia dan Afrika, lebih-lebih nilai-nilai keagamaan dari berbagai agama di dunia.
Akibatnya, agama-agama itu hampir secara keseluruhannya merasa tidak puas, meskipun tidak selalu diekspresikan secara terus terang. Ketidak-puasan kedua adalah ketika orang mulai berulang ulang mendesak agama-agama di dunia untuk mendukung atau mengakomodir Deklarasi atau dokumen lain yang berkaitan dengan HAM. Latar belakangnya, tampaknya adalah karena adanya asumsi bahwa agama adalah penghalang pelaksanaan dan penyebaran HAM. Agama akhirnya diletakkan secara vis a vis dengan HAM yang menekankan pada kebebasan dan keadilan.
Karena situasi itu maka tidak heran jika utusan berbagai masyarakat beragama seluruh dunia mengusulkan agar Deklarasi dan dua Kovenan itu direvisi dan syarat-syaratnya dibuat lebih adil dengan memasukkan konsep-konsep yang berdasarkan agama baik spiritualitas maupun tanggung jawab. Peluncuran acara Project on Religion and Human Right, pada bulan Juli tahun 1993 di New York merupakan tonggak penting dalam hal ini. (Lihat, Arvind Sharma, “Towards a Declaration of Human Right by the World Religion” dalam Joseph Runzo, Nancy M. Martin and Abind Sharma, eds., Human Right and Responsibilities in the World Religion (Oxford: Oneworld, 2003).
Perkem
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Direktur INSISTS)
“In the modern world one concept which is most affected by the dominance of secularisme is that of freedom. The discussion of the concept of freedom in the West today is so deeply influenced by the Renaisance and post-Renaisance notion of man..that it is difficult to envisage the very meaning of freedom in the context of a traditional civilization such as Islam.” (S.H.Nasr).
Topik kebebasan dan hak asasi manusia adalah topik universal, namun ia tidak berarti netral. Sebab pembahasan mengenai kebebasan dan HAM pada umumnya hanya dalam perspektif manusia yang dalam peradaban Barat telah terbentuk dalam doktrin humanisme. Humanisme sendiri selalu dihadapkan atau berhadap-hadapan dengan agama. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Manusia lebih penting dari agama, dan sikap manusiawi seakan menjadi lebih mulia daripada sikap religius.
Dalam situasi seperti ini topik mengenai kebebasan beragama dipersoalkan. Akibatnya terjadi ketegangan dan perebutan makna kebebasan beragama antara agama dan humanisme. Humanisme tidak merujuk kepada agama dalam memaknai kebebasan beragama. Dan agama memaknai kebebasan dengan menggunakan acuan internal agama masing-masing.
Humanisme dianggap anti agama dan sebaliknya agama dapat dituduh anti kemanusiaan. Ketegangan ini perlu diselesaikan melalui kompromi ditingkat konsep dan kemudian dikembangkan pada tingkat sosial atau politik. Dan untuk itu agama-agama perlu membeberkan makna dan batasan atau tolok ukur kebebasannya masing-masing. Sementara itu prinsip-prinsip HAM perlu mempertimbangkan prinsip internal agama-agama.
Salah satu prestasi kemanusiaan setelah Perang Dunia ke II adalah konseptualisasi dan penyebaran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Deklarasi itu, bersamaan dengan dua Kovenan Internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, Cultural Right tahun 1966 secara umum kemudian dikenal sebagai International Bill of Human Right. Secara umum Deklarasi dan dua Kovenan itu merupakan usaha bersama untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, berkeadilan dan kerjasama internasional yang berguna bagi semua.
Namun dibanding dua Kovenan itu, Deklarasi itu sejak awal telah menuai banyak kritikan dan keberatan. Mungkin ini dikarenakan oleh situasi ketika Deklarasi itu disusun. Faktanya Deklarasi itu disusun oleh segelintir orang, tidak representatif dan umumnya didominasi oleh orang Barat, dan ketika itu orang-orang dari Afro-Asia sedang berada dibawah penguasa kolonial. Konsekuensinya, tidak banyak ide-ide yang masuk dan diperdebatkan serta didiskusikan khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Asia dan Afrika, lebih-lebih nilai-nilai keagamaan dari berbagai agama di dunia.
Akibatnya, agama-agama itu hampir secara keseluruhannya merasa tidak puas, meskipun tidak selalu diekspresikan secara terus terang. Ketidak-puasan kedua adalah ketika orang mulai berulang ulang mendesak agama-agama di dunia untuk mendukung atau mengakomodir Deklarasi atau dokumen lain yang berkaitan dengan HAM. Latar belakangnya, tampaknya adalah karena adanya asumsi bahwa agama adalah penghalang pelaksanaan dan penyebaran HAM. Agama akhirnya diletakkan secara vis a vis dengan HAM yang menekankan pada kebebasan dan keadilan.
Karena situasi itu maka tidak heran jika utusan berbagai masyarakat beragama seluruh dunia mengusulkan agar Deklarasi dan dua Kovenan itu direvisi dan syarat-syaratnya dibuat lebih adil dengan memasukkan konsep-konsep yang berdasarkan agama baik spiritualitas maupun tanggung jawab. Peluncuran acara Project on Religion and Human Right, pada bulan Juli tahun 1993 di New York merupakan tonggak penting dalam hal ini. (Lihat, Arvind Sharma, “Towards a Declaration of Human Right by the World Religion” dalam Joseph Runzo, Nancy M. Martin and Abind Sharma, eds., Human Right and Responsibilities in the World Religion (Oxford: Oneworld, 2003).
Perkem
bangan selanjutnya adalah revisi Deklarasi pada ulang tahun ke 50 Deklarasi dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies di universitas McGill, Montreal. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions. Acara ini dilanjutkan di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris pada acara UNESCO. Dan yang terakhir adalah di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Pertemuan terakhir itu menghasilkan usulan baru Deklarasi Universal dengan beberapa komentar yang merepresentasikan dunia agama. Ini sekedar menunjukkan bahwa Deklarasi yang dianggap “Universal” itu ternyata masih belum mengakomodir aspirasi agama-agama. Ini berarti bahwa diperlukan suatu Deklarasi yang adil, yang memberi hak dan pegakuan kepada individu dan juga kelompok khususnya institusi agama dan Negara untuk memberi makna tentang hak, kebebasan, moralitas, keadilan dan kehormatan sekaligus mempraktekkannya dalam kehidupan nyata yang beradab.
Dalam kasus diatas, sejalan dengan tuntutan agama-agama, Islam juga mempunyai persoalannya sendiri terhadap Deklarasi Universal HAM. Bagi umat Islam dan Negara-negara Islam, Deklarasi itu secara umum dapat diterima. Namun yang sejak awal menjadi masalah bagi umat Islam adalah pasal 18 yakni pasal mengenai hak beragama dan hak mengganti agama. Problem ini telah sejak awal disadari umat Islam. Selain itu pasal 16 Deklarasi HAM tentang perkawinan beda agama juga tidak dapat diterima kalangan Muslim.
Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dengan HAM. Ia bahkan sangat menghormati HAM. Tapi, konsep-konsep Islam tentang HAM diambil dan dirumuskan berdasarkan al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Maka, pada 1981, dalam sebuah Konferensi di London, sekelompok cendekiawan dan pemimpin Islam mendeklarasikan sebuah Piagam bernama ”Universal Islamic Declaration of Right”. Deklarasi ini berisi 23 pasal mengenai HAM menurut Islam. Deklarasi London kemudian diikuti oleh Deklarasi Cairo yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990.
Keseluruhan pasal-pasal dalam Deklarasi Cairo itu dapat disarikan menjadi 5 poin: (1) HAM dalam Islam diderivasi dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam manusia dianggap sebagai makhluk yang mulia. (QS. 17:70), (2) HAM dalam Islam adalah karunia dari Tuhan, dan bukan pemberian dari manusia kepada manusia lain dengan kehendak manusia (artinya, hak asasi dalam Islam adalah innate/fitrah), (3) HAM dalam Islam bersifat komprehensif. Termasuk didalamnya hak-hak dalam politik, ekonomi, social dan budaya, (4) HAM dalam Islam tidak terpisahkan dari syariah, (5) HAM dalam Islam tidak absolut karena dibatasi oleh obyek-obyek syariah dan oleh tujuan untuk menjaga hak dan kepentingan masyarakat yang didalamnya terdapat individu-individu.
Islam mengakui dan meyakini, manusia adalah hamba Allah. Maka, semua hak dan kewajiban yang melekat dalam dirinya juga merupakan anugerah Allah. Seorang Muslim yang masih menghargai imannya, tidak akan melepas keyakinannya ini, dan kemudian menukar dengan paham lain yang mencampakkan keimanannya. (***)
Dalam kasus diatas, sejalan dengan tuntutan agama-agama, Islam juga mempunyai persoalannya sendiri terhadap Deklarasi Universal HAM. Bagi umat Islam dan Negara-negara Islam, Deklarasi itu secara umum dapat diterima. Namun yang sejak awal menjadi masalah bagi umat Islam adalah pasal 18 yakni pasal mengenai hak beragama dan hak mengganti agama. Problem ini telah sejak awal disadari umat Islam. Selain itu pasal 16 Deklarasi HAM tentang perkawinan beda agama juga tidak dapat diterima kalangan Muslim.
Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dengan HAM. Ia bahkan sangat menghormati HAM. Tapi, konsep-konsep Islam tentang HAM diambil dan dirumuskan berdasarkan al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Maka, pada 1981, dalam sebuah Konferensi di London, sekelompok cendekiawan dan pemimpin Islam mendeklarasikan sebuah Piagam bernama ”Universal Islamic Declaration of Right”. Deklarasi ini berisi 23 pasal mengenai HAM menurut Islam. Deklarasi London kemudian diikuti oleh Deklarasi Cairo yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990.
Keseluruhan pasal-pasal dalam Deklarasi Cairo itu dapat disarikan menjadi 5 poin: (1) HAM dalam Islam diderivasi dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam manusia dianggap sebagai makhluk yang mulia. (QS. 17:70), (2) HAM dalam Islam adalah karunia dari Tuhan, dan bukan pemberian dari manusia kepada manusia lain dengan kehendak manusia (artinya, hak asasi dalam Islam adalah innate/fitrah), (3) HAM dalam Islam bersifat komprehensif. Termasuk didalamnya hak-hak dalam politik, ekonomi, social dan budaya, (4) HAM dalam Islam tidak terpisahkan dari syariah, (5) HAM dalam Islam tidak absolut karena dibatasi oleh obyek-obyek syariah dan oleh tujuan untuk menjaga hak dan kepentingan masyarakat yang didalamnya terdapat individu-individu.
Islam mengakui dan meyakini, manusia adalah hamba Allah. Maka, semua hak dan kewajiban yang melekat dalam dirinya juga merupakan anugerah Allah. Seorang Muslim yang masih menghargai imannya, tidak akan melepas keyakinannya ini, dan kemudian menukar dengan paham lain yang mencampakkan keimanannya. (***)
Catatan Akhir Pekan ke-388
Oleh: Dr. Adian Husaini
MAKNA NATAL BAGI KRISTEN INDONESIA
Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang perayaan Natal tahun 2014, induk kaum Protestan Indonesia yakni Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan induk kaum Katolik Indonesia, yakni Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mengeluarkan seruan Natal Bersama. Berikut ini petikan seruan tersebut:
Natal merupakan sukacita bagi keluarga karena Sumber Sukacita memilih hadir di dunia melalui keluarga. Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib. Di situlah Allah yang selalu beserta kita turut merasakan kelemahan-kelemahan kita dan kepahitan akibat dosa walaupun ia tidak berdosa (bdk. Ibr. 4:15)
Natal: Undangan Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga. Natal adalah saat yang mengingatkan kita akan kehadiran Allah melalui Yesus dalam keluarga. Dalam keluarga di mana Yesus hadir, yang letih disegarkan, yang lemah dikuatkan, yang
sedih mendapat penghiburan, dan yang putus asa diberi harapan
Marilah kita menghadirkan Allah dan menjadikan keluarga kita sebagai tempat layak untuk kelahiran Sang Juru Selamat. Di situlah keluarga kita menjadi rahmat dan berkat bagi setiap orang; kabar sukacita bagi dunia.
Menyimak Pesan Natal PGI dan KWI tersebut, jelaslah bahwa Perayaan Natal adalah acara keagamaan yang sarat dengan ajaran pokok kekristenan, yaitu pengakuan Yesus sebagai Tuhan. Natal bukan sekedar perayaan sosial dan budaya. Kaum Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah anak Tuhan yang menjelma menjadi manusia, seperti mereka katakan: Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib.
Itulah makna Natal bagi kaum Kristen di Indonesia. Jadi, perayaan Natal secara terbuka dan besar-besaran di mana-mana, sejatinya adalah penyiaran dan kampanye ajaran Kristen, bahwa Yesus adalah Putra Tuhan. Bahwa, Tuhan mempunyai anak, yaitu Yesus Kristus. Dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di Roma, menegaskan:
Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja... Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya. (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
Inti ajaran Kristen adalah konsep Pemyaliban dan Kebangkitan Yesus. Manusia yang tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan atau anak Tuhan, harus disadarkan dan diusahakan untuk dibaptis. Dokumen Ad Gentes juga mendesak Konsili Vatikan II mendesak:
Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), dan tidak ada keselamatan selain Dia (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik kepada Dia, Yang dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja, yang adalah Tubuhnya, melalui pemandian Oleh sebab itu, karya misioner dewasa ini seperti juga selalu, tetap mempunyai keampuhannya dan tetap diperlukan seutuhnya). (Lihat, Walter M. Abbott (gen.ed.), The Documents of Vatican II, hal. 593. Naskah terjemah di kutip dari Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 377-478).
Dalam pidato tanggal 7 Desember 1990, yang berjudul Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyele
Oleh: Dr. Adian Husaini
MAKNA NATAL BAGI KRISTEN INDONESIA
Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang perayaan Natal tahun 2014, induk kaum Protestan Indonesia yakni Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan induk kaum Katolik Indonesia, yakni Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), mengeluarkan seruan Natal Bersama. Berikut ini petikan seruan tersebut:
Natal merupakan sukacita bagi keluarga karena Sumber Sukacita memilih hadir di dunia melalui keluarga. Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib. Di situlah Allah yang selalu beserta kita turut merasakan kelemahan-kelemahan kita dan kepahitan akibat dosa walaupun ia tidak berdosa (bdk. Ibr. 4:15)
Natal: Undangan Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga. Natal adalah saat yang mengingatkan kita akan kehadiran Allah melalui Yesus dalam keluarga. Dalam keluarga di mana Yesus hadir, yang letih disegarkan, yang lemah dikuatkan, yang
sedih mendapat penghiburan, dan yang putus asa diberi harapan
Marilah kita menghadirkan Allah dan menjadikan keluarga kita sebagai tempat layak untuk kelahiran Sang Juru Selamat. Di situlah keluarga kita menjadi rahmat dan berkat bagi setiap orang; kabar sukacita bagi dunia.
Menyimak Pesan Natal PGI dan KWI tersebut, jelaslah bahwa Perayaan Natal adalah acara keagamaan yang sarat dengan ajaran pokok kekristenan, yaitu pengakuan Yesus sebagai Tuhan. Natal bukan sekedar perayaan sosial dan budaya. Kaum Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah anak Tuhan yang menjelma menjadi manusia, seperti mereka katakan: Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib.
Itulah makna Natal bagi kaum Kristen di Indonesia. Jadi, perayaan Natal secara terbuka dan besar-besaran di mana-mana, sejatinya adalah penyiaran dan kampanye ajaran Kristen, bahwa Yesus adalah Putra Tuhan. Bahwa, Tuhan mempunyai anak, yaitu Yesus Kristus. Dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di Roma, menegaskan:
Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja... Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya. (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
Inti ajaran Kristen adalah konsep Pemyaliban dan Kebangkitan Yesus. Manusia yang tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan atau anak Tuhan, harus disadarkan dan diusahakan untuk dibaptis. Dokumen Ad Gentes juga mendesak Konsili Vatikan II mendesak:
Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), dan tidak ada keselamatan selain Dia (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik kepada Dia, Yang dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja, yang adalah Tubuhnya, melalui pemandian Oleh sebab itu, karya misioner dewasa ini seperti juga selalu, tetap mempunyai keampuhannya dan tetap diperlukan seutuhnya). (Lihat, Walter M. Abbott (gen.ed.), The Documents of Vatican II, hal. 593. Naskah terjemah di kutip dari Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 377-478).
Dalam pidato tanggal 7 Desember 1990, yang berjudul Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyele
saian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hatiKegiatan misioner yang secara khusus ditujukan kepada para bangsa (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.
Berdasarkan Dokumen-dokumen Resmi Gereja tersebut, jelas terlihat besarnya tugas yang diemban kaum Kristen dalam menjalankan misinya kepada orang-orang non-Kristen. Itulah yang ditegaskan oleh Paus Paulus VI dalam imbauan apostolik, Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), pada 8 Desember 1975, yang diterbitkan KWI tahun 1990:
Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen.Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan benih-benih Sabda yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu persiapan bagi Injil yang benar... Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.
Keyakinan Islam
Keyakinan dan propaganda kaum Kristen bahwa Yesus adalah Tuhan dan anak Tuhan dalam pandangan Islam merupakan tuduhan yang tidak mendasar kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, Allah adalah SATU (Ahad); Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Yesus, atau Isa a.s. adalah Nabi, adalah manusia biasa. Ia adalah utusan Allah, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu Kejahatan besar (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran (Terj.): Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak. (QS 19:90-91).
Umat Islam adalah umat yang diajarkan untuk hidup dalam pluralitas. Sejak di Madinah, Rasulullah saw sudah membangun masyarakat yang plural, terdiri atas berbagai agama. Umat Islam diminta bersikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Tidak mencampuradukkan dan meremehkan. Sebab, aqidah menjadi landasan kehidupan paling hakiki bagi umat Islam. Karena itulah, meskipun bersikap sangat baik terhadap kaum Yahudi dan Nasrani dalam hubungan sosial kemasyarakatan, Rasulullah saw mengajarkan sikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Termasuk dalam masalah Perayaan Hari Besar Agama.
Dalam sebuah hadits Qudsy, dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda: Allah berfirman: Anak manusia telah mendustakan dan mencela-Ku. Padahal ia tidak patut melakukan itu. Ada pun pendustaannya pada-Ku adalah ucapannya, Dia tidak akan membangkitkanku (di Akhirat) seperti semula. Bukankah membangkitkannya kembali jauh lebih mudah bagi-Ku dari pada menciptakannya pertama kali? Ada pun celaannya pada-Ku adalah ucapannya, Allah telah mengambil seorang anak. Padahal Aku adalah Yang Maha Satu dan tempat bergantung (berdiri sendiri). Aku tidak melahirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Ku. (HR Bukhari).
Sebagian orang mungkin memandan Perayaan Natal sekedar acara sosial-budaya sehingga tidak terkait langsung dengan dasar-dasar kepercayaan Kristen. Karena itu, mereka memandang tidak ada masalah jika seorang Muslim terlibat dalam acara-acara Pera
Berdasarkan Dokumen-dokumen Resmi Gereja tersebut, jelas terlihat besarnya tugas yang diemban kaum Kristen dalam menjalankan misinya kepada orang-orang non-Kristen. Itulah yang ditegaskan oleh Paus Paulus VI dalam imbauan apostolik, Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), pada 8 Desember 1975, yang diterbitkan KWI tahun 1990:
Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen.Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan benih-benih Sabda yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu persiapan bagi Injil yang benar... Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.
Keyakinan Islam
Keyakinan dan propaganda kaum Kristen bahwa Yesus adalah Tuhan dan anak Tuhan dalam pandangan Islam merupakan tuduhan yang tidak mendasar kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, Allah adalah SATU (Ahad); Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Yesus, atau Isa a.s. adalah Nabi, adalah manusia biasa. Ia adalah utusan Allah, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu Kejahatan besar (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran (Terj.): Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak. (QS 19:90-91).
Umat Islam adalah umat yang diajarkan untuk hidup dalam pluralitas. Sejak di Madinah, Rasulullah saw sudah membangun masyarakat yang plural, terdiri atas berbagai agama. Umat Islam diminta bersikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Tidak mencampuradukkan dan meremehkan. Sebab, aqidah menjadi landasan kehidupan paling hakiki bagi umat Islam. Karena itulah, meskipun bersikap sangat baik terhadap kaum Yahudi dan Nasrani dalam hubungan sosial kemasyarakatan, Rasulullah saw mengajarkan sikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Termasuk dalam masalah Perayaan Hari Besar Agama.
Dalam sebuah hadits Qudsy, dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda: Allah berfirman: Anak manusia telah mendustakan dan mencela-Ku. Padahal ia tidak patut melakukan itu. Ada pun pendustaannya pada-Ku adalah ucapannya, Dia tidak akan membangkitkanku (di Akhirat) seperti semula. Bukankah membangkitkannya kembali jauh lebih mudah bagi-Ku dari pada menciptakannya pertama kali? Ada pun celaannya pada-Ku adalah ucapannya, Allah telah mengambil seorang anak. Padahal Aku adalah Yang Maha Satu dan tempat bergantung (berdiri sendiri). Aku tidak melahirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Ku. (HR Bukhari).
Sebagian orang mungkin memandan Perayaan Natal sekedar acara sosial-budaya sehingga tidak terkait langsung dengan dasar-dasar kepercayaan Kristen. Karena itu, mereka memandang tidak ada masalah jika seorang Muslim terlibat dalam acara-acara Pera
yaan Natal, apa pun bentuknya. Yang penting bukan acara ritualnya, seperti mengikuti misa di Gereja, dan sejenisnya. Malah, beberapa tokoh berani menyatakan secara terbuka, bahwa mengikuti acara sejenis Perayaan Natal Bersama tidaklah apa-apa. Setiap orang akan bertanggung jawab terhadap pendapatnya. Apalagi jika ia tokoh, dan pendapatnya dikutip dan disebarkan di sana-sini.
Seorang Muslim pasti meyakini, bahwa zina adalah sebuah kejahatan, meskipun dilakukan suka sama suka. Muslim pasti juga akan keberatan jika ada kampenye besar-besaran di media massa tentang bolehnya melakukan zina bagi pasangan remaja, yang penting bisa menjaga diri dari kehamilan yang tidak dikehendaki. Maka, tanyakan pada si Muslim, bagaimana pendapatnya jika ada kampanye besar-besaran tentang paham kemusyrikan di media massa. Bukankah dalam pandangan Islam, dosa syirik adalah dosa terbesar yang tak terampuni oleh Allah?!
Karena memandang begitu seriusnya kekeliruan paham syirik itu, maka para sahabat Nabi saw dan para ulama Islam bersikap sangat berhati-hati dalam soal kemusyrikan ini. Sebab, ini menyangkut soal iman. Jika iman rusak, maka amal perbuatan manusia tiada nilainya, laksana fatamorgana. (QS 24:39). Bagi para pemuja paham pluralisme, yang menganut pandangan kesetaraan tauhid dan kemusyrikan, maka soal iman dipandang tidak lebih penting dari soal kemanusiaan. Sampai-sampai di zaman ini ada manusia yang berani menyatakan, bahwa meskipun kafir, yang penting ia tidak korupsi. Padahal, tidak korupsi itu baik. Tetapi, tidak korupsi menjadi tiada berarti jika ia kafir dan tidak beriman. Sebab, amalnya tiada guna, laksana debu yang dihamburkan. Sebagian lagi, ada yang berpikir sinkretis-pragmatis dengan cara mengikuti semua perayaan hari besar agama apa saja, agar dipandang sebagai manusia toleran dan diterima dimana-mana.
Terhadap gagasan mencampuradukkan Perayaan Hari Besar agama, Buya Hamka menyebutkan, bahwa tradisi mencampur-campurkan Perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi justru menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan:
Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul, jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.
Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme. (Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
Saat terjadi benturan dengan pemerintah dalam soal fatwa Haram Mengikuti Perayaan Natal Bersama, Hamka menulis kolom berjudul Bisakah Suatu Fatwa Dicabut? di rubrik Dari Hati ke Hati Majalah Panji Masyarakat No 324 tahun 1981. Baiklah kita kutip kembali sebagian isi tulisan Hamka tersebut:
Bolehkah
Seorang Muslim pasti meyakini, bahwa zina adalah sebuah kejahatan, meskipun dilakukan suka sama suka. Muslim pasti juga akan keberatan jika ada kampenye besar-besaran di media massa tentang bolehnya melakukan zina bagi pasangan remaja, yang penting bisa menjaga diri dari kehamilan yang tidak dikehendaki. Maka, tanyakan pada si Muslim, bagaimana pendapatnya jika ada kampanye besar-besaran tentang paham kemusyrikan di media massa. Bukankah dalam pandangan Islam, dosa syirik adalah dosa terbesar yang tak terampuni oleh Allah?!
Karena memandang begitu seriusnya kekeliruan paham syirik itu, maka para sahabat Nabi saw dan para ulama Islam bersikap sangat berhati-hati dalam soal kemusyrikan ini. Sebab, ini menyangkut soal iman. Jika iman rusak, maka amal perbuatan manusia tiada nilainya, laksana fatamorgana. (QS 24:39). Bagi para pemuja paham pluralisme, yang menganut pandangan kesetaraan tauhid dan kemusyrikan, maka soal iman dipandang tidak lebih penting dari soal kemanusiaan. Sampai-sampai di zaman ini ada manusia yang berani menyatakan, bahwa meskipun kafir, yang penting ia tidak korupsi. Padahal, tidak korupsi itu baik. Tetapi, tidak korupsi menjadi tiada berarti jika ia kafir dan tidak beriman. Sebab, amalnya tiada guna, laksana debu yang dihamburkan. Sebagian lagi, ada yang berpikir sinkretis-pragmatis dengan cara mengikuti semua perayaan hari besar agama apa saja, agar dipandang sebagai manusia toleran dan diterima dimana-mana.
Terhadap gagasan mencampuradukkan Perayaan Hari Besar agama, Buya Hamka menyebutkan, bahwa tradisi mencampur-campurkan Perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi justru menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan:
Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul, jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.
Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme. (Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
Saat terjadi benturan dengan pemerintah dalam soal fatwa Haram Mengikuti Perayaan Natal Bersama, Hamka menulis kolom berjudul Bisakah Suatu Fatwa Dicabut? di rubrik Dari Hati ke Hati Majalah Panji Masyarakat No 324 tahun 1981. Baiklah kita kutip kembali sebagian isi tulisan Hamka tersebut:
Bolehkah
orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi kerukunan hidup beragama? Dan tentu ada orang yang ingin bertanya: Bolehkah orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama merayakan pula hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha dengan ummat Islam?
Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah SATU dari TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya, bukanlah berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam yang bertiga, atau tiga oknum dalam satu.... Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga dari Majelis Dawah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih alaihissalam sebagai Tuhan.
Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa hadir di sana ialah menyatakan persetujuan pada amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51).
Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram? Maka bertindaklah Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram! Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.
Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja.... Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli 1975) seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya: Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari Majelis Ulama?
Saya jawab: Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar maruf nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Taala sendiri.
Demikian cetusan hati dan pikiran Buya Hamka dalam masalah Perayaan Natal. Pada tanggal 19 Mei 1981, sebagai rasa tanggung jawabnya terhadap umat, maka Buya Hamka kemudian meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Pada tanggal 23 Mei 1981, Buya Hamka menulis kolom Dari Hati ke-Hati di Majalah Panjimas, No. 325, yang dia beri judul Niat Yang Tulus. Kata Hamka: Meskipun usia sudah 73 tahun, sedikit pun tidak terfikirkan bahwa saya telah melepaskan diri dari beban yang berat, kemudian bersantai-santai menjelang ajal. Husnul khatimah, itulah cita-cita terakhir hidup di dunia ini.
Begitulah penegasan Buya Hamka menjelang akhir hayatnya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari beliau. Dan, yang terpenting, terjaga pula iman kita dan iman keluarga kita. Amin. (Bogor, 26 Desember 2014).
Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan. Dia adalah SATU dari TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya, bukanlah berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam yang bertiga, atau tiga oknum dalam satu.... Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga dari Majelis Dawah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih alaihissalam sebagai Tuhan.
Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa hadir di sana ialah menyatakan persetujuan pada amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51).
Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram? Maka bertindaklah Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram! Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.
Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja.... Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli 1975) seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya: Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari Majelis Ulama?
Saya jawab: Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar maruf nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Taala sendiri.
Demikian cetusan hati dan pikiran Buya Hamka dalam masalah Perayaan Natal. Pada tanggal 19 Mei 1981, sebagai rasa tanggung jawabnya terhadap umat, maka Buya Hamka kemudian meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Pada tanggal 23 Mei 1981, Buya Hamka menulis kolom Dari Hati ke-Hati di Majalah Panjimas, No. 325, yang dia beri judul Niat Yang Tulus. Kata Hamka: Meskipun usia sudah 73 tahun, sedikit pun tidak terfikirkan bahwa saya telah melepaskan diri dari beban yang berat, kemudian bersantai-santai menjelang ajal. Husnul khatimah, itulah cita-cita terakhir hidup di dunia ini.
Begitulah penegasan Buya Hamka menjelang akhir hayatnya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari beliau. Dan, yang terpenting, terjaga pula iman kita dan iman keluarga kita. Amin. (Bogor, 26 Desember 2014).
JANGAN MEMBERHALAKAN ”MULTIKULTURALISME!
Oleh: Dr. Adian Husaini
Di era globalisasi dan westernisasi saat ini, ”multikulturalisme” tampaknya sudah dianggap sebagai paham ideal yang harus diterima masyarakat. Seperti paham-paham modern lain, demokrasi, liberalisme, pluralisme, kesetaraan gender, dan sebagainya, multikulturalisme juga diwajibkan – oleh penguasa dunia, entah siapa makhluknya – untuk dipeluk oleh semua orang. Tidak peduli, apakah dia pejabat, dosen, artis, atau dai. Semua harus multikulturalis, menganut paham multikulturalisme.
Maka, sudah beberapa tahun belakangan ini, kita mendengar banyak sekali pimpinan pesantren, dosen, mahasiswa, dan berbagai kalangan masyarakat yang ditraining paham multikulturalisme. Menurut mereka, dengan memeluk paham ini, kita bisa selamat dan membawa kemaslahatan. Tanpa banyak terekspose oleh media massa, pada 11 Desember 2007 lalu, Badan Litbang Departemen Agama mengumumkan hasil penelitiannya tentang “Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para Da’i”.
Hasil penelitian ini sangat penting untuk kita cermati, karena menyangkut masalah pemahaman keagamaan para dai, baik fakta maupun Sebelum kita melihat hasil penelitian Depag tersebut, kita simak dulu apa definisi multikulturalisme yang dijadikan acuan oleh Depag. Pada bagian Latar Belakang, dijelaskan pernyataan Ketua Balitbang Depag, Atho Mudzhar, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi.
Agama sebagai faktor disintegrasi bangsa Indonesia, dapat dilihat pada terjadinya konflik keagamaan – bahkan sampai saat ini – di beberapa daerah di Indonesia. “Konflik ini salah satunya disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat,” demikian kutipan paparan pendahuluan hasil penelitian tersebut.
Sampai pada kalimat tersebut, kita semua -- juga para pejabat Litbang Depag -- patut merenung. Benarkah seperti itu? Bahwa konflik agama terjadi karena pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya sendiri? Kita menjawab, bahwa asumsi itu sangat tidak benar. Kaum beragama saat ini harusnya berpikir ulang, bahwa mereka sedang dalam posisi dijadikan kambing hitam atas berbagai konflik yang terjadi, seolah-olah konflik-konflik itu terjadi karena urusan agama. Padahal, berapa persen yang sebenarnya masalah agama? Perlu kita catat, bahwa korban kekerasan terbesar di dunia ini adalah masyarakat sipil yang diperangi atas nama kebebasan dan demokrasi. Kita tidak menafikan ada konflik bermotif agama atau bernuansa agama. Tapi, marilah kita teliti dengan cermat, apakah konflik-konflik itu terjadi karena umat beragama memiliki pemahaman eksklusif bahwa hanya agamanya sendiri yang benar?
Dalam berbagai kesempatan, masalah truth claim (klaim kebenaran) ini sering dijadikan sebagai kambing hitam terjadinya konflik antar agama, sehingga pemeluk agama dianjurkan melepaskan kliam kebenaran atas agamanya masing-masing. Tentu saja, ini sangat mustahil, kecuali bagi orang-orang yang memang sudah bosan beragama. Simaklah sebuah buku menarik berjudul ”Hindu Agama Terbesar di Dunia” terbitan Media Hindu (2006). Judul buku itu merupakan terjemah dari artikel berjudul ”Hinduism, the Greatest Religion in the World,” karya Satguru Sivaya Subramuniyaswami di majalah Hinduism Today edisi Februari/Maret/April 2000. Tulisan itu merupakan respon terhadap seruan Paus John Paul II kepada para Uskup dan orang-orang Katolik untuk mengkoversi orang-orang Hindu di India, dalam pidatonya di New Delhi tanggal 25 Desember 1999, tepat saat umat Hindu merayakan hari suci mereka, Depavali.
Tulisan ini berusaha menanamkan keyakinan dan kebanggaan kepada para pemeluk agama Hindu terhadap agama mereka, dengan menggambarkan bahwa: ”Seorang disebut manusia besar bukan karena tubuhnya gede, tetapi karena karakternya, karena sumbangannya kepada masyarakatnya. Secara kuantitas pemeluk Hindu
Oleh: Dr. Adian Husaini
Di era globalisasi dan westernisasi saat ini, ”multikulturalisme” tampaknya sudah dianggap sebagai paham ideal yang harus diterima masyarakat. Seperti paham-paham modern lain, demokrasi, liberalisme, pluralisme, kesetaraan gender, dan sebagainya, multikulturalisme juga diwajibkan – oleh penguasa dunia, entah siapa makhluknya – untuk dipeluk oleh semua orang. Tidak peduli, apakah dia pejabat, dosen, artis, atau dai. Semua harus multikulturalis, menganut paham multikulturalisme.
Maka, sudah beberapa tahun belakangan ini, kita mendengar banyak sekali pimpinan pesantren, dosen, mahasiswa, dan berbagai kalangan masyarakat yang ditraining paham multikulturalisme. Menurut mereka, dengan memeluk paham ini, kita bisa selamat dan membawa kemaslahatan. Tanpa banyak terekspose oleh media massa, pada 11 Desember 2007 lalu, Badan Litbang Departemen Agama mengumumkan hasil penelitiannya tentang “Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para Da’i”.
Hasil penelitian ini sangat penting untuk kita cermati, karena menyangkut masalah pemahaman keagamaan para dai, baik fakta maupun Sebelum kita melihat hasil penelitian Depag tersebut, kita simak dulu apa definisi multikulturalisme yang dijadikan acuan oleh Depag. Pada bagian Latar Belakang, dijelaskan pernyataan Ketua Balitbang Depag, Atho Mudzhar, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi.
Agama sebagai faktor disintegrasi bangsa Indonesia, dapat dilihat pada terjadinya konflik keagamaan – bahkan sampai saat ini – di beberapa daerah di Indonesia. “Konflik ini salah satunya disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat,” demikian kutipan paparan pendahuluan hasil penelitian tersebut.
Sampai pada kalimat tersebut, kita semua -- juga para pejabat Litbang Depag -- patut merenung. Benarkah seperti itu? Bahwa konflik agama terjadi karena pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya sendiri? Kita menjawab, bahwa asumsi itu sangat tidak benar. Kaum beragama saat ini harusnya berpikir ulang, bahwa mereka sedang dalam posisi dijadikan kambing hitam atas berbagai konflik yang terjadi, seolah-olah konflik-konflik itu terjadi karena urusan agama. Padahal, berapa persen yang sebenarnya masalah agama? Perlu kita catat, bahwa korban kekerasan terbesar di dunia ini adalah masyarakat sipil yang diperangi atas nama kebebasan dan demokrasi. Kita tidak menafikan ada konflik bermotif agama atau bernuansa agama. Tapi, marilah kita teliti dengan cermat, apakah konflik-konflik itu terjadi karena umat beragama memiliki pemahaman eksklusif bahwa hanya agamanya sendiri yang benar?
Dalam berbagai kesempatan, masalah truth claim (klaim kebenaran) ini sering dijadikan sebagai kambing hitam terjadinya konflik antar agama, sehingga pemeluk agama dianjurkan melepaskan kliam kebenaran atas agamanya masing-masing. Tentu saja, ini sangat mustahil, kecuali bagi orang-orang yang memang sudah bosan beragama. Simaklah sebuah buku menarik berjudul ”Hindu Agama Terbesar di Dunia” terbitan Media Hindu (2006). Judul buku itu merupakan terjemah dari artikel berjudul ”Hinduism, the Greatest Religion in the World,” karya Satguru Sivaya Subramuniyaswami di majalah Hinduism Today edisi Februari/Maret/April 2000. Tulisan itu merupakan respon terhadap seruan Paus John Paul II kepada para Uskup dan orang-orang Katolik untuk mengkoversi orang-orang Hindu di India, dalam pidatonya di New Delhi tanggal 25 Desember 1999, tepat saat umat Hindu merayakan hari suci mereka, Depavali.
Tulisan ini berusaha menanamkan keyakinan dan kebanggaan kepada para pemeluk agama Hindu terhadap agama mereka, dengan menggambarkan bahwa: ”Seorang disebut manusia besar bukan karena tubuhnya gede, tetapi karena karakternya, karena sumbangannya kepada masyarakatnya. Secara kuantitas pemeluk Hindu
bila digabung dengan ”anak-anaknya” berjumlah 1,5 milyar, lebih besar dari Islam. Dan ingat, Hindu bukanlah agama missi yang agresif seperti Kristen atau Islam. Tetapi kebesaran Hindu terletak pada karakternya, sumbangannya pada peradaban. Dan dalam membangun budaya dan peradaban, Hindu tidak pernah menghancurkan budaya dan peradaban yang sudah ada. Sebaliknya Hindu melindungi, memeliara, dan bahkan mengembangkan mereka.” (bagian pengantar oleh Ngakan Made Madrasuta).
Kita tentu menghormati keyakinan kaum Hindu semacam itu dan tidak perlu menyatakan bahwa keyakinan semacam itu adalah sumber konflik. Bagi orang yang serius mau beragama, tentu dia memeluk agama tertentu karena meyakini ada hal-hal yang unik dalam agamanya. Dia yakin agamanya benar. Dia yakin agamanya akan mengantarkannya ke jalan keselamatan. Untuk apa dia beragama kalau tidak yakin? Karena itulah, kaum Hindu juga tidak rela umat mereka dijadikan sasaran misi Kristen. Tentu sangat aneh, jika ada orang masih mengaku Muslim, tetapi lebih percaya kepada Bibel ketimbang al-Quran. Juga aneh kalau orang masih tetap mengaku Kristen tetapi lebih meyakini al-Quran ketimbang Bibel.
”Multikulturalisme sejati” seharusnya tidak menggerus keyakinan eksklusif masing-masing agama. Justru menghormati adanya keyakinan yang beragam itulah makna sejati dari mengakui keberagaman, bukan menggerus keyakinan masing-masing agama dan menggantinya dengan satu berhal baru bernama ”multikulturalisme”. Mengapa kita sebut dengan ”berhala”, sebab paham ini sepertinya diterima dan ditelan begitu saja tanpa sikap kritis. Kaum muslim dijejali dengan paham-paham semacam ini, yang tujuannya sudah jelas – seperti ditulis dalam laporan penelitian Depag ini – yaitu menggerus keyakinan beragama kaum Muslim.
Pakar Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha, berulang kali menyebutkan, bahwa salah satu watak jahat paham Pluralisme Agama adalah sikapnya yang otoriter yang mau membuang semua keyakinan dan menggantikannya dengan satu ”Teologi Universal”. Pernyataan Dr. Anis itu sering terbukti di lapangan. Kita sering melihat, bagaimana orang-orang yang mengaku pluralis marah-marah dan memaki-maki MUI karena mengeluarkan fatwa bahwa menghadiri Perayaan Natal Bersama adalah haram. Jika dia pluralis atau multikulturalis, maka seharusnya dia menghormati pendapat dan keyakinan MUI, bukan memaksakan pendapatnya sendiri yang benar. Kita makin heran melihat, bagaimana kadangkala mereka mengeluarkan sumpah serapahnya, hanya karena kita tidak mau mengikuti paham-paham sekular dan liberal Barat.
Jika paham multikulturalisme semacam ini yang dijadikan acuan untuk dipeluk umat beragama di Indonesia, maka alangkah kelirunya penelitian Litbang Departemen Agama tersebut. Dalam laporan penelitian setebal 24 halaman ini, kita juga mendapati sejumlah indikator yang aneh, yang dijadikan sebagai parameter untuk menilai kualitas pemahaman dan sikap ”multikulturalisme” para dai, apakah sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan sangat kurang baik.
Misalya, hasil penelitian menunjukkan, bahwa pemahaman para dai terhadap nilai-nilai multikulturalisme pada dimensi kesetaraan dinilai ”cukup baik”, karena para dai itu percaya bahwa ada agama lain yang merupakan agama samawi dan meyakini bahwa Yahudi dan Kristen sekarang ini adalah ahlul kitab.
Kita tidak mempersoalkan hasil penelitian ini. Tapi, mengapa indikator yang dipilih adalah hal-hal semacam itu? Bagi Muslim, maka tidak ada salahnya jika meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi. Begitu juga soal pandangan tentang Ahlul Kitab. Banyak sekali pandangan ulama tentang masalah ini. Jadi, sangat naif untuk menilai seseorang dai itu berpaham multikulturalis atau tidak berdasarkan pemahamannya terhadap agama samawi dan Ahlul Kitab.
Pada bagian hasil penelitian tentang ”Perasaan Da’i terhadap Nilai-nilai Multikultural” ditemukan, bahwa tidak sampai seperempat dari jumlah dai yang menjadi responden dalam penelitian ini yang memiliki perasaan terhadap nilai-nilai multikultural yang cukup baik sampai baik. Para dai yang diteliti ternyata merasa kurang ny
Kita tentu menghormati keyakinan kaum Hindu semacam itu dan tidak perlu menyatakan bahwa keyakinan semacam itu adalah sumber konflik. Bagi orang yang serius mau beragama, tentu dia memeluk agama tertentu karena meyakini ada hal-hal yang unik dalam agamanya. Dia yakin agamanya benar. Dia yakin agamanya akan mengantarkannya ke jalan keselamatan. Untuk apa dia beragama kalau tidak yakin? Karena itulah, kaum Hindu juga tidak rela umat mereka dijadikan sasaran misi Kristen. Tentu sangat aneh, jika ada orang masih mengaku Muslim, tetapi lebih percaya kepada Bibel ketimbang al-Quran. Juga aneh kalau orang masih tetap mengaku Kristen tetapi lebih meyakini al-Quran ketimbang Bibel.
”Multikulturalisme sejati” seharusnya tidak menggerus keyakinan eksklusif masing-masing agama. Justru menghormati adanya keyakinan yang beragam itulah makna sejati dari mengakui keberagaman, bukan menggerus keyakinan masing-masing agama dan menggantinya dengan satu berhal baru bernama ”multikulturalisme”. Mengapa kita sebut dengan ”berhala”, sebab paham ini sepertinya diterima dan ditelan begitu saja tanpa sikap kritis. Kaum muslim dijejali dengan paham-paham semacam ini, yang tujuannya sudah jelas – seperti ditulis dalam laporan penelitian Depag ini – yaitu menggerus keyakinan beragama kaum Muslim.
Pakar Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha, berulang kali menyebutkan, bahwa salah satu watak jahat paham Pluralisme Agama adalah sikapnya yang otoriter yang mau membuang semua keyakinan dan menggantikannya dengan satu ”Teologi Universal”. Pernyataan Dr. Anis itu sering terbukti di lapangan. Kita sering melihat, bagaimana orang-orang yang mengaku pluralis marah-marah dan memaki-maki MUI karena mengeluarkan fatwa bahwa menghadiri Perayaan Natal Bersama adalah haram. Jika dia pluralis atau multikulturalis, maka seharusnya dia menghormati pendapat dan keyakinan MUI, bukan memaksakan pendapatnya sendiri yang benar. Kita makin heran melihat, bagaimana kadangkala mereka mengeluarkan sumpah serapahnya, hanya karena kita tidak mau mengikuti paham-paham sekular dan liberal Barat.
Jika paham multikulturalisme semacam ini yang dijadikan acuan untuk dipeluk umat beragama di Indonesia, maka alangkah kelirunya penelitian Litbang Departemen Agama tersebut. Dalam laporan penelitian setebal 24 halaman ini, kita juga mendapati sejumlah indikator yang aneh, yang dijadikan sebagai parameter untuk menilai kualitas pemahaman dan sikap ”multikulturalisme” para dai, apakah sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik, dan sangat kurang baik.
Misalya, hasil penelitian menunjukkan, bahwa pemahaman para dai terhadap nilai-nilai multikulturalisme pada dimensi kesetaraan dinilai ”cukup baik”, karena para dai itu percaya bahwa ada agama lain yang merupakan agama samawi dan meyakini bahwa Yahudi dan Kristen sekarang ini adalah ahlul kitab.
Kita tidak mempersoalkan hasil penelitian ini. Tapi, mengapa indikator yang dipilih adalah hal-hal semacam itu? Bagi Muslim, maka tidak ada salahnya jika meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi. Begitu juga soal pandangan tentang Ahlul Kitab. Banyak sekali pandangan ulama tentang masalah ini. Jadi, sangat naif untuk menilai seseorang dai itu berpaham multikulturalis atau tidak berdasarkan pemahamannya terhadap agama samawi dan Ahlul Kitab.
Pada bagian hasil penelitian tentang ”Perasaan Da’i terhadap Nilai-nilai Multikultural” ditemukan, bahwa tidak sampai seperempat dari jumlah dai yang menjadi responden dalam penelitian ini yang memiliki perasaan terhadap nilai-nilai multikultural yang cukup baik sampai baik. Para dai yang diteliti ternyata merasa kurang ny
aman bertetangga dengan orang yang berbeda agama, tetapi cukup baik nilai mereka dalam soal kesenangan berteman dengan orang yang berbeda agama. Para dai itu rata-rata juga merasakan perlunya UU Penyiaran Agama untuk mengurangi konflik antar umat beragama. Mereka juga rata-rata tidak suka jika penganut agama lain menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama.
Pada bagian ”Kecenderungan Perilaku Da’i terhadap Nilai-nilai Multikultural” ditemukan hasil yang buruk dalam beberapa hal berikut: (1) dalam soal penerimaan terhadap perkawinan berbeda agama, (2) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk mengajar anak di sekolah, (3) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama dalam melakukan kegiatan di daerah Muslim, dan (4) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk membangun rumah ibadah di daerah Muslim.
Diantara kesimpulan dari hasil penelitian ini ialah: ”Ketidakpahaman dan ketidaknyamanan para dai terhadap nilai kesetaraan berpengaruh pada kecenderungan penerimaan dai terhadap nilai kesetaraan. Walaupun mereka cenderung akan berperilaku setara dengan cara menerima orang yang berbeda agama dengan cara berteman dan bertetangga, tetapi mereka tidak akan menerima perkawinan berbeda agama. Mereka cenderung akan berperilaku adil dalam hal memberikan kesempatan kepada orang yang berbeda agama mengeluarkan pendapat, tetapi cenderung tidak akan memberikan kesempatan kepada teman lain yang berbeda agama untuk bersama-sama melakukan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Bahkan, cenderung akan menolak orang yang berbeda agama mengajar anak mereka di sekolah, orang yang berbeda agama mengadakan kegiatan di daerah muslim dan orang yang berbeda agama membangun rumah ibadah di daerah muslim. Mereka juga cenderung tidak akan menghargai orang yang berbeda agama. Karena itu, mereka tidak akan mendoakan orang yang berbeda agama untuk mendapatkan kebaikan dan keselamatan serta tidak akan mengucapkan selamat kepada orang yang berbeda agama pada saat mendapat kegembiraan.”
Terhadap fenomena rendahnya pemahaman dan sikap multikulturalisme para dai, maka direkomendasikan (1) agar disosialisasikan kepada para dai tentang materi-materi hubungan antar agama yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran yang mengandung penekanan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, misalnya penggunaan istilah ahli kitab (ahl al-kitab) yang digunakan al-Quran antara lain sebagai ungkapan penghargaan yang tinggi karena mereka berpegang pada ketuhanan yang monoteistik, (2) Ketidaknyamanan para dai bertetangga dengan orang yang berbeda agama berkaitan erat dengan pemahaman mereka terhadap nilai kesetaraan. Untuk merubah ketidaksukaan betetangga dengan orang yang berbeda agama, para dai perlu diyakinkan bahwa Islam tidak melarang untuk bertetangga dengan orang yang berbeda agama. (3) Kecenderungan perilaku dai terhadap nilai-nilai multikultural yang tergolong kurang baik diperlukan adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat interaksi antara pada dai dan orang-orang yang berbeda agama dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan.
Apa pun hasil penelitian ini, kita melihat, tampaknya saat ini, untuk menentukan seorang dai itu baik atau buruk sudah digunakan parameter baru, yakni parameter keimanan para dai terhadap paham ”Multikulturalisme”; dan bukan lagi menggunakan parameter: ”Syar’iy atau tidak Syar’iy”, ”Halal atau Haram”, ”Haq atau Bathil”, ”Bid’ah atau Sunnah”, ”Iman atau Syirik”. Jika demikian halnya, ini sama saja telah memberhalakan paham ”Multikulturalisme”.
Sebagai cendekiawan, seyogyanya para peneliti tidak terburu-buru menerima begitu saja paham-paham baru – seperti Multikulturalisme – tanpa menilainya dengan standar pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Menyimak indikator-indikator yang digunakan untuk meneliti tingkat ”kemultikulturalan” seorang dai, tampak jelas, paham ini memang justru bermasalah. Jadi, semestinya Islam-lah yang menilai paham Multikulturalisme. Bukan sebaliknya, Islam dan kaum Muslim justru dinilai dengan kacamata Multikulturalisme. Wallahu a’lam. (Depok, 4 Januari 2008).
Pada bagian ”Kecenderungan Perilaku Da’i terhadap Nilai-nilai Multikultural” ditemukan hasil yang buruk dalam beberapa hal berikut: (1) dalam soal penerimaan terhadap perkawinan berbeda agama, (2) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk mengajar anak di sekolah, (3) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama dalam melakukan kegiatan di daerah Muslim, dan (4) penerimaan terhadap orang yang berbeda agama untuk membangun rumah ibadah di daerah Muslim.
Diantara kesimpulan dari hasil penelitian ini ialah: ”Ketidakpahaman dan ketidaknyamanan para dai terhadap nilai kesetaraan berpengaruh pada kecenderungan penerimaan dai terhadap nilai kesetaraan. Walaupun mereka cenderung akan berperilaku setara dengan cara menerima orang yang berbeda agama dengan cara berteman dan bertetangga, tetapi mereka tidak akan menerima perkawinan berbeda agama. Mereka cenderung akan berperilaku adil dalam hal memberikan kesempatan kepada orang yang berbeda agama mengeluarkan pendapat, tetapi cenderung tidak akan memberikan kesempatan kepada teman lain yang berbeda agama untuk bersama-sama melakukan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Bahkan, cenderung akan menolak orang yang berbeda agama mengajar anak mereka di sekolah, orang yang berbeda agama mengadakan kegiatan di daerah muslim dan orang yang berbeda agama membangun rumah ibadah di daerah muslim. Mereka juga cenderung tidak akan menghargai orang yang berbeda agama. Karena itu, mereka tidak akan mendoakan orang yang berbeda agama untuk mendapatkan kebaikan dan keselamatan serta tidak akan mengucapkan selamat kepada orang yang berbeda agama pada saat mendapat kegembiraan.”
Terhadap fenomena rendahnya pemahaman dan sikap multikulturalisme para dai, maka direkomendasikan (1) agar disosialisasikan kepada para dai tentang materi-materi hubungan antar agama yang didasarkan pada ayat-ayat al-Quran yang mengandung penekanan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, misalnya penggunaan istilah ahli kitab (ahl al-kitab) yang digunakan al-Quran antara lain sebagai ungkapan penghargaan yang tinggi karena mereka berpegang pada ketuhanan yang monoteistik, (2) Ketidaknyamanan para dai bertetangga dengan orang yang berbeda agama berkaitan erat dengan pemahaman mereka terhadap nilai kesetaraan. Untuk merubah ketidaksukaan betetangga dengan orang yang berbeda agama, para dai perlu diyakinkan bahwa Islam tidak melarang untuk bertetangga dengan orang yang berbeda agama. (3) Kecenderungan perilaku dai terhadap nilai-nilai multikultural yang tergolong kurang baik diperlukan adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat interaksi antara pada dai dan orang-orang yang berbeda agama dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan.
Apa pun hasil penelitian ini, kita melihat, tampaknya saat ini, untuk menentukan seorang dai itu baik atau buruk sudah digunakan parameter baru, yakni parameter keimanan para dai terhadap paham ”Multikulturalisme”; dan bukan lagi menggunakan parameter: ”Syar’iy atau tidak Syar’iy”, ”Halal atau Haram”, ”Haq atau Bathil”, ”Bid’ah atau Sunnah”, ”Iman atau Syirik”. Jika demikian halnya, ini sama saja telah memberhalakan paham ”Multikulturalisme”.
Sebagai cendekiawan, seyogyanya para peneliti tidak terburu-buru menerima begitu saja paham-paham baru – seperti Multikulturalisme – tanpa menilainya dengan standar pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Menyimak indikator-indikator yang digunakan untuk meneliti tingkat ”kemultikulturalan” seorang dai, tampak jelas, paham ini memang justru bermasalah. Jadi, semestinya Islam-lah yang menilai paham Multikulturalisme. Bukan sebaliknya, Islam dan kaum Muslim justru dinilai dengan kacamata Multikulturalisme. Wallahu a’lam. (Depok, 4 Januari 2008).
Toleransi Tanpa Pluralisme
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika sekarang ini ada kepala negara Islam mengirim surat meminta Tony Blair agar masuk Islam tentu dianggap pelecehan dan intoleransi. Bukan hanya karena mustahil Blair sudi, tapi doktrin postmodern dan teologi global “mengharamkan” hal tersebut. Doktrin pluralisme agama melarang menganggap agama orang lain salah, dan agama sendiri paling benar, karena itu dianggap benih terorisme dan fundamentalisme.
Pluralitas agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin peradaban Barat postmodern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan dan bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme Nietzche, tokoh filosof Barat postmo.
Filsafat kemudian menjalar ke tengah-tengah diskursus teologi Kristen. Ketika doktrin extra ecclesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) tidak dapat dipertahankan lagi, maka para teolog Kristen membuat kreasi teologis yang disebut teologi inklusif. Artinya semua agama selamat dalam pelukan Kristen.
Namun gereja masih dianggap belum “maju” jika belum sesuai dengan doktrin relativisme Nietzche. Orang-orang seperti Wilfred Cantwell Smith, John Hicklah dan para pemikir Kristen pakar teori Comparative Religion kemudian meneruskannya menjadi upaya peleburan perbedaan yang disebut doktrin inklusifisme. (Agama) yang satu – dalam konteks pluralisme agama – mengakui (kebenaran agama) yang lain.
Ide inilah yang kemudian berubah menjadi pluralisme. Truth claim (mengklaim kebenaran agamanya sendiri) diharamkan. Pokoknya semua harus mengakui (kebenaran) semua. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Sebab kebenaran itu adalah relatif, yang absolut hanya Tuhan.
Disini hak asasi untuk beragama dan berkeyakinan seakan-akan dibela dan dijunjung tinggi. Sikap-sikap seperti itu disebut sikap pluralis. Tapi benarkah Islam sejalan dengan doktrin pluralisme seperti itu?
Jika cara berpikir seperti itu diterapkan kedalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, tentu Islam bertentangan dengan makna pluralisme seperti itu. Surat-surat Nabi mengajak raja Romawi, Persia, Ethiopia dan lain-lain untuk masuk Islam bertentangan dengan doktrin pluralisme.
Jika doktrin pluralisme agama harus mengakui kebenaran agama lain, Islam hanya mengakui Islam yang paling benar disisi Allah (Sesungguhnya al-Din (yang diterima) disisi Allah adalah Islam). Jadi Islam adalah agama yang eksklusif dan tidak pluralis.
Biasanya cendekiawan Muslim pembela doktrin pluralisme agama menggunakan al-Ma'idah: 69 dan al-Baqarah: 62 untuk menjustifikasi doktrin tersebut. Dalam al-Ma'idah: 69 berbunyi “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang [diantara mereka] yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”. (Bandingkan dengan al-Baqarah: 62).
Ayat di atas dipahami sebagai membenarkan agama-agama Yahudi, Kristen dan Sabiin. Bahkan mereka memasukkan agama-agama lain yang serupa dengan Sabiin, seperti Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya dalam kategori ini. Alasannya karena Sabiin adalah agama penyembah bintang-bintang alias agama musyrik.
Jika dilihat dari sibaq dan siyaq ayat tersebut maka penafsiran itu menjadi tidak tepat. Sebelumnya (pada al-Ma’idah: 65) disebutkan bahwa “Jika orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami masukkan surga”.
Kata “jika” (law anna) adalah pra-kondisi yang berarti bahwa ahlul kitab itu tidak beriman kepada Allah SWT. Selanjutnya (pada ayat 67) disebutkan bahwa ahlul kitab itu tidak berarti apa-apa jika tidak menjalankan apa yang ada dalam Kitab Taurat dan Injil.
Sudah tentu ini bukan Taurat dan Injil (Bible) yang ada sekarang. Sebab kitab-kitab itu dalam pandangan Islam tidak asli lagi. Jika yang dimaksud adalah Bible maka implikasinya bahwa Trinitas dalam Bible itu diterima al-Qur’an. Padahal pada ayat ke 71 dan 73 disebutkan bahwa ahlul kitab yang percaya
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika sekarang ini ada kepala negara Islam mengirim surat meminta Tony Blair agar masuk Islam tentu dianggap pelecehan dan intoleransi. Bukan hanya karena mustahil Blair sudi, tapi doktrin postmodern dan teologi global “mengharamkan” hal tersebut. Doktrin pluralisme agama melarang menganggap agama orang lain salah, dan agama sendiri paling benar, karena itu dianggap benih terorisme dan fundamentalisme.
Pluralitas agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin peradaban Barat postmodern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan dan bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme Nietzche, tokoh filosof Barat postmo.
Filsafat kemudian menjalar ke tengah-tengah diskursus teologi Kristen. Ketika doktrin extra ecclesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) tidak dapat dipertahankan lagi, maka para teolog Kristen membuat kreasi teologis yang disebut teologi inklusif. Artinya semua agama selamat dalam pelukan Kristen.
Namun gereja masih dianggap belum “maju” jika belum sesuai dengan doktrin relativisme Nietzche. Orang-orang seperti Wilfred Cantwell Smith, John Hicklah dan para pemikir Kristen pakar teori Comparative Religion kemudian meneruskannya menjadi upaya peleburan perbedaan yang disebut doktrin inklusifisme. (Agama) yang satu – dalam konteks pluralisme agama – mengakui (kebenaran agama) yang lain.
Ide inilah yang kemudian berubah menjadi pluralisme. Truth claim (mengklaim kebenaran agamanya sendiri) diharamkan. Pokoknya semua harus mengakui (kebenaran) semua. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Sebab kebenaran itu adalah relatif, yang absolut hanya Tuhan.
Disini hak asasi untuk beragama dan berkeyakinan seakan-akan dibela dan dijunjung tinggi. Sikap-sikap seperti itu disebut sikap pluralis. Tapi benarkah Islam sejalan dengan doktrin pluralisme seperti itu?
Jika cara berpikir seperti itu diterapkan kedalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, tentu Islam bertentangan dengan makna pluralisme seperti itu. Surat-surat Nabi mengajak raja Romawi, Persia, Ethiopia dan lain-lain untuk masuk Islam bertentangan dengan doktrin pluralisme.
Jika doktrin pluralisme agama harus mengakui kebenaran agama lain, Islam hanya mengakui Islam yang paling benar disisi Allah (Sesungguhnya al-Din (yang diterima) disisi Allah adalah Islam). Jadi Islam adalah agama yang eksklusif dan tidak pluralis.
Biasanya cendekiawan Muslim pembela doktrin pluralisme agama menggunakan al-Ma'idah: 69 dan al-Baqarah: 62 untuk menjustifikasi doktrin tersebut. Dalam al-Ma'idah: 69 berbunyi “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang [diantara mereka] yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”. (Bandingkan dengan al-Baqarah: 62).
Ayat di atas dipahami sebagai membenarkan agama-agama Yahudi, Kristen dan Sabiin. Bahkan mereka memasukkan agama-agama lain yang serupa dengan Sabiin, seperti Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya dalam kategori ini. Alasannya karena Sabiin adalah agama penyembah bintang-bintang alias agama musyrik.
Jika dilihat dari sibaq dan siyaq ayat tersebut maka penafsiran itu menjadi tidak tepat. Sebelumnya (pada al-Ma’idah: 65) disebutkan bahwa “Jika orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami masukkan surga”.
Kata “jika” (law anna) adalah pra-kondisi yang berarti bahwa ahlul kitab itu tidak beriman kepada Allah SWT. Selanjutnya (pada ayat 67) disebutkan bahwa ahlul kitab itu tidak berarti apa-apa jika tidak menjalankan apa yang ada dalam Kitab Taurat dan Injil.
Sudah tentu ini bukan Taurat dan Injil (Bible) yang ada sekarang. Sebab kitab-kitab itu dalam pandangan Islam tidak asli lagi. Jika yang dimaksud adalah Bible maka implikasinya bahwa Trinitas dalam Bible itu diterima al-Qur’an. Padahal pada ayat ke 71 dan 73 disebutkan bahwa ahlul kitab yang percaya
Trinitas adalah kafir. Apa yang dimaksud ayat itu adalah ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang membawa konsep tauhid.
Oleh sebab itu, kajian al-Baydhawi menunjukkan bahwa ayat itu merujuk kepada ahlul kitab sebelum datangnya Islam. Dan karena kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan (mansukh). Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiin dan sebagainya itu kini telah mansukh.
Ini diperkuat oleh al-Thabari bahwa surat al-Baqarah: 62 dan Ali Imran: 69 itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75: "Barangsiapa memeluk agama selain Islam ….". Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih, mausu'ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma'thur, 2 jld, jld 1, Dar al-Ma'athir, Madinah, 1999, 169).
Selanjutnya, mengenai pemahaman bahwa orang-orang Sabiin penyembah bintang-bintang, alias musyrik yang disebut bersamaan dengan Yahudi dan Nasrani juga diakui kebenarannya oleh al-Qur’an asal percaya pada Tuhan dan hari akhir serta berbuat baik.
Pendapat ini memiliki kelemahan premisnya. Ternyata menurut al-Thabari tidak begitu. Penganut Sabiin adalah orang yang percaya pada Yahudi dan Nasrani shalat lima waktu dan menghadap kiblat. Jadi bukan musyrik. (Lihat Hikmat Ibn Bashir, al-Tafsir al-Sahih, hal. 169).
Maka dari itu menurut Ibn Taimiyyah beriman kepada Allah dan hari akhir itu termasuk konsekuensi-konsekuensi lainnya yang berarti masuk Islam. Kecuali mereka yang hidup sebelum datangnya Islam.
Lalu mengapa dalam ayat itu disebut “Sesungguhnya orang-orang beriman” yang kemudian diikuti “Yang beriman kepada Allah”? Apakah ini merujuk kepada orang yang percaya kepada agama apa saja atau orang Islam saja? Yang dimaksud “Orang-orang beriman” dalam ayat itu menurut ibn Qutaybah adalah orang-orang yang mengaku beriman tapi sebenarnya tidak alias munafiq. (Ibn Qutaybah, Ta'wil Mushkilat al-Qur'an, ed. Sayyid Ahmad Safar, Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1973, 482).
Jadi, jika pluralisme diartikan sebagai pengakuan kebenaran agama lain, Islam jelas menolak pluralisme. Logikanya, jika Islam mengakui kebenaran agama lain, mengapa Islam mengajak agama lain masuk Islam. (al-Nahl: 126). Mengapa pula Nabi sendiri mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia masuk Islam.
Jika pluralisme melarang adanya klaim kebenaran atau menganggap agamanya paling benar sendiri. Tentu Islam tidak masuk kategori agama yang pluralistis. Apa yang dibawa Islam adalah melengkapi kitab-kitab yang datang sebelumnya. Bahkan lebih dari itu Islam juga menyalahkan penyelewengan yang dilakukan pengikut kitab-kitab (ahlul kitab).
Meskipun Islam tidak mengandung ajaran yang pluralistis, namun Islam adalah agama yang memiliki toleransi tinggi. Ayat-ayat Ali Imran: 20, al-Kafirun: 2-6, menunjukkan bahwa Islam adalah eksklusif tapi tidak memaksa manusia untuk mengikutinya. Al-Nahl: 126 juga menunjukkan cara-cara yang beradab dalam berdakwah, tidak ada paksaan dan kekerasan ataupun tipu daya. Masih banyak lagi ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an.
Ajaran toleransi ini bukan hanya terdapat dalam teks, tapi juga diterapkan dalam kehidupan dakwah umat Islam. Pada awal Islam, suku-suku di jazirah Arab masuk Islam secara sukarela, karena argumentasi, karena kagum pada pribadi Nabi, karena konsep Tauhid dalam Islam dan lain sebagainya.
Pada periode Umar bin Khattab, umat Islam menguasai Yerussalem tanpa peperangan. Umat Islam datang dan menguasai tapi tidak menghancurkan. Islam malah menjadi penengah pertikaian antara sekte-sekte Kristen yang sering terjadi di dalam Kanisah al-Qiyamah.
Dalam sejarahnya, Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling damai ketika dibawah kekuasaan Islam. Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan secara damai.
Di Cordoba umat Islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi. Tapi sesudah kerajaan Bani Umayyah jatuh, orang-orang Kristen Barat mengusir umat Islam secara biadab. Mereka tidak mempunyai ajaran toleransi. Bahkan orang-orang Kristen
Oleh sebab itu, kajian al-Baydhawi menunjukkan bahwa ayat itu merujuk kepada ahlul kitab sebelum datangnya Islam. Dan karena kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan (mansukh). Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiin dan sebagainya itu kini telah mansukh.
Ini diperkuat oleh al-Thabari bahwa surat al-Baqarah: 62 dan Ali Imran: 69 itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75: "Barangsiapa memeluk agama selain Islam ….". Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih, mausu'ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma'thur, 2 jld, jld 1, Dar al-Ma'athir, Madinah, 1999, 169).
Selanjutnya, mengenai pemahaman bahwa orang-orang Sabiin penyembah bintang-bintang, alias musyrik yang disebut bersamaan dengan Yahudi dan Nasrani juga diakui kebenarannya oleh al-Qur’an asal percaya pada Tuhan dan hari akhir serta berbuat baik.
Pendapat ini memiliki kelemahan premisnya. Ternyata menurut al-Thabari tidak begitu. Penganut Sabiin adalah orang yang percaya pada Yahudi dan Nasrani shalat lima waktu dan menghadap kiblat. Jadi bukan musyrik. (Lihat Hikmat Ibn Bashir, al-Tafsir al-Sahih, hal. 169).
Maka dari itu menurut Ibn Taimiyyah beriman kepada Allah dan hari akhir itu termasuk konsekuensi-konsekuensi lainnya yang berarti masuk Islam. Kecuali mereka yang hidup sebelum datangnya Islam.
Lalu mengapa dalam ayat itu disebut “Sesungguhnya orang-orang beriman” yang kemudian diikuti “Yang beriman kepada Allah”? Apakah ini merujuk kepada orang yang percaya kepada agama apa saja atau orang Islam saja? Yang dimaksud “Orang-orang beriman” dalam ayat itu menurut ibn Qutaybah adalah orang-orang yang mengaku beriman tapi sebenarnya tidak alias munafiq. (Ibn Qutaybah, Ta'wil Mushkilat al-Qur'an, ed. Sayyid Ahmad Safar, Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1973, 482).
Jadi, jika pluralisme diartikan sebagai pengakuan kebenaran agama lain, Islam jelas menolak pluralisme. Logikanya, jika Islam mengakui kebenaran agama lain, mengapa Islam mengajak agama lain masuk Islam. (al-Nahl: 126). Mengapa pula Nabi sendiri mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia masuk Islam.
Jika pluralisme melarang adanya klaim kebenaran atau menganggap agamanya paling benar sendiri. Tentu Islam tidak masuk kategori agama yang pluralistis. Apa yang dibawa Islam adalah melengkapi kitab-kitab yang datang sebelumnya. Bahkan lebih dari itu Islam juga menyalahkan penyelewengan yang dilakukan pengikut kitab-kitab (ahlul kitab).
Meskipun Islam tidak mengandung ajaran yang pluralistis, namun Islam adalah agama yang memiliki toleransi tinggi. Ayat-ayat Ali Imran: 20, al-Kafirun: 2-6, menunjukkan bahwa Islam adalah eksklusif tapi tidak memaksa manusia untuk mengikutinya. Al-Nahl: 126 juga menunjukkan cara-cara yang beradab dalam berdakwah, tidak ada paksaan dan kekerasan ataupun tipu daya. Masih banyak lagi ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an.
Ajaran toleransi ini bukan hanya terdapat dalam teks, tapi juga diterapkan dalam kehidupan dakwah umat Islam. Pada awal Islam, suku-suku di jazirah Arab masuk Islam secara sukarela, karena argumentasi, karena kagum pada pribadi Nabi, karena konsep Tauhid dalam Islam dan lain sebagainya.
Pada periode Umar bin Khattab, umat Islam menguasai Yerussalem tanpa peperangan. Umat Islam datang dan menguasai tapi tidak menghancurkan. Islam malah menjadi penengah pertikaian antara sekte-sekte Kristen yang sering terjadi di dalam Kanisah al-Qiyamah.
Dalam sejarahnya, Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling damai ketika dibawah kekuasaan Islam. Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan secara damai.
Di Cordoba umat Islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi. Tapi sesudah kerajaan Bani Umayyah jatuh, orang-orang Kristen Barat mengusir umat Islam secara biadab. Mereka tidak mempunyai ajaran toleransi. Bahkan orang-orang Kristen
yang dekat dengan orang-orang Islam dirazia oleh tim inquisisi Kristen.
Demikian pula ketika Islam masuk ke Persia kekaisaran disana sangat lemah dan tercabik-cabik, sehingga kedatangan Islam memberikan solusi bagi persoalan politik disana. Pada tahun 700an ketika Qutaibah bin Muslim menjabat Gubernur Khurasan, ia dengan damai meluaskan kawasan Muslim ke Bukhara, Samarqand, dan ke Timur hingga mencapai perbatasan Cina.
Dalam catatan sejarah Cina periode dinasti Tang (713-742), misalnya tertulis begini: “Mereka (orang-orang Islam) datang ke pusat Kerajaan laksana banjir, dan membawa hadiah kitab suci yang disimpan di ruangan tersendiri di dalam istana. Kitab itu dipandang sebagai standar dan sumber hukum yang dipandang suci. Sejak masa ini, ajaran-ajaran agama dari negeri asing ini menjadi bercampur dengan ajara-ajaran agama pribumi dan dipraktekkan dalam kehidupan rakyat secara terbuka diseluruh wilayah Imperium Tang”.
Orientalis pakar sejarah asal Perancis, Du Halde, mencatat bahwa orang Islam menetap di Cina selama lebih 6 abad tidak ada kegiatan dakwah yang mencolok, kecuali hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni anak kaum penyembah api yang miskin.
Ketika terjadi kelaparan di Chantong mereka menyantuni lebih dari 10.000 anak miskin, sehingga ketika anak-anak itu dewasa mereka menjadi Muslim. Semua itu berjalan tanpa paksaan dan masyarakat tidak merasa keberatan. Pada tahun 1323-1328, anak Timur Khan cucu Kubilay Khan, bernama Ananda, menggantikan ayahnya dan masuk Islam. Ia lalu membangun 4 masjid di Peking.
Begitulah, meskipun Islam adalah agama misi, tapi ia tetap berpegang pada prinsip la ikraha fi al-din (Tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Peperangan memang terjadi antara bala tentara Islam dan daerah yang dimasuki mereka. Namun Islam tidak memerangi penganut agama lain agar mereka masuk Islam.
Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi penduduk alam semesta. Ini tidak berarti bahwa Islam mengakui kebenaran agama apapun di seluruh dunia. Rahmat Islam terdapat pada ajaran-ajarannya yang universal, yang sesuai dengan fitrah manusia.
Menurut Ibn Taimiyyah Allah menurunkan fitrah pada alam dan pada manusia, dan melengkapi kedua fitrah itu dengan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an. Dan pada ketiga fitrah itu Allah meletakkan ayat-ayat, yaitu ayat kauniyyah, ayat qauliyyah dan ayat nafsiyyah.
Rahmat Islam adalah kekayaan konsep-konsepnya yang mencerminkan sebuah pandangan hidup. Didalamnya terdapat ruang-ruang bagi ilmu pengetahuan, etika, estetika, logika, metafisika, sains, teknologi, teologi dan sebagainya.
Karena itulah maka konsep-konsep asing dapat terakomodasikan dalam peradaban Islam, sehingga bangsa selain Islam dapat dengan mudah memanfaatkan konsep-konsep Islam bagi kepentingan kebudayaan mereka.
Pandangan hidup Islam telah membuka wawasan dan prinsip-prinsip baru bagi kehidupan bangsa Eropa. Kemampuan umat Islam menerjemahkan filsafat dan sains Yunani membawa rahmat bagi kebangkitan Barat. Proses dari Yunani ke Arab kemudian ke Latin merupakan fakta sejarah bahwa peranan Islam bagi bangunnya peradaban Barat tidak dapat diragukan lagi.
Demikian pula Islam masuk ke Spanyol, Persia, India dan Mesir membawa cara pandang terhadap dunia yang khas. Islam tidak datang ke suatu Negara untuk menjajah dan menguras kekayaan alam Negara itu, seperti yang dilakukan bangsa Barat ke negara-negara Islam.
Islam memakmurkan Negara yang telah dikuasainya dan tidak membawanya pulang ke Arab misalnya. Oleh sebab itu, istilah yang tepat untuk serangan Islam adalah al-fath, pembukaan dan bukan penjajahan.
Kedatangan pandangan hidup Islam ke dunia Melayu (Asia Tenggara) telah membawa perubahan konsep waktu, konsep ada, konsep hidup dan sebagainya. kepada masyarakat yang animistis dan dinamistis waktu itu.
Dan yang pasti Islam masuk ke dunia Melayu tanpa peperangan. Peperangan yang ada hanyalah peperangan konsep, konsep teologi agama-agama Hindu, animisme dan dinamisme dengan mudah dikalahkan oleh konsep universal Islam. Jadi, Islam bertentangan dengan
Demikian pula ketika Islam masuk ke Persia kekaisaran disana sangat lemah dan tercabik-cabik, sehingga kedatangan Islam memberikan solusi bagi persoalan politik disana. Pada tahun 700an ketika Qutaibah bin Muslim menjabat Gubernur Khurasan, ia dengan damai meluaskan kawasan Muslim ke Bukhara, Samarqand, dan ke Timur hingga mencapai perbatasan Cina.
Dalam catatan sejarah Cina periode dinasti Tang (713-742), misalnya tertulis begini: “Mereka (orang-orang Islam) datang ke pusat Kerajaan laksana banjir, dan membawa hadiah kitab suci yang disimpan di ruangan tersendiri di dalam istana. Kitab itu dipandang sebagai standar dan sumber hukum yang dipandang suci. Sejak masa ini, ajaran-ajaran agama dari negeri asing ini menjadi bercampur dengan ajara-ajaran agama pribumi dan dipraktekkan dalam kehidupan rakyat secara terbuka diseluruh wilayah Imperium Tang”.
Orientalis pakar sejarah asal Perancis, Du Halde, mencatat bahwa orang Islam menetap di Cina selama lebih 6 abad tidak ada kegiatan dakwah yang mencolok, kecuali hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni anak kaum penyembah api yang miskin.
Ketika terjadi kelaparan di Chantong mereka menyantuni lebih dari 10.000 anak miskin, sehingga ketika anak-anak itu dewasa mereka menjadi Muslim. Semua itu berjalan tanpa paksaan dan masyarakat tidak merasa keberatan. Pada tahun 1323-1328, anak Timur Khan cucu Kubilay Khan, bernama Ananda, menggantikan ayahnya dan masuk Islam. Ia lalu membangun 4 masjid di Peking.
Begitulah, meskipun Islam adalah agama misi, tapi ia tetap berpegang pada prinsip la ikraha fi al-din (Tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Peperangan memang terjadi antara bala tentara Islam dan daerah yang dimasuki mereka. Namun Islam tidak memerangi penganut agama lain agar mereka masuk Islam.
Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi penduduk alam semesta. Ini tidak berarti bahwa Islam mengakui kebenaran agama apapun di seluruh dunia. Rahmat Islam terdapat pada ajaran-ajarannya yang universal, yang sesuai dengan fitrah manusia.
Menurut Ibn Taimiyyah Allah menurunkan fitrah pada alam dan pada manusia, dan melengkapi kedua fitrah itu dengan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an. Dan pada ketiga fitrah itu Allah meletakkan ayat-ayat, yaitu ayat kauniyyah, ayat qauliyyah dan ayat nafsiyyah.
Rahmat Islam adalah kekayaan konsep-konsepnya yang mencerminkan sebuah pandangan hidup. Didalamnya terdapat ruang-ruang bagi ilmu pengetahuan, etika, estetika, logika, metafisika, sains, teknologi, teologi dan sebagainya.
Karena itulah maka konsep-konsep asing dapat terakomodasikan dalam peradaban Islam, sehingga bangsa selain Islam dapat dengan mudah memanfaatkan konsep-konsep Islam bagi kepentingan kebudayaan mereka.
Pandangan hidup Islam telah membuka wawasan dan prinsip-prinsip baru bagi kehidupan bangsa Eropa. Kemampuan umat Islam menerjemahkan filsafat dan sains Yunani membawa rahmat bagi kebangkitan Barat. Proses dari Yunani ke Arab kemudian ke Latin merupakan fakta sejarah bahwa peranan Islam bagi bangunnya peradaban Barat tidak dapat diragukan lagi.
Demikian pula Islam masuk ke Spanyol, Persia, India dan Mesir membawa cara pandang terhadap dunia yang khas. Islam tidak datang ke suatu Negara untuk menjajah dan menguras kekayaan alam Negara itu, seperti yang dilakukan bangsa Barat ke negara-negara Islam.
Islam memakmurkan Negara yang telah dikuasainya dan tidak membawanya pulang ke Arab misalnya. Oleh sebab itu, istilah yang tepat untuk serangan Islam adalah al-fath, pembukaan dan bukan penjajahan.
Kedatangan pandangan hidup Islam ke dunia Melayu (Asia Tenggara) telah membawa perubahan konsep waktu, konsep ada, konsep hidup dan sebagainya. kepada masyarakat yang animistis dan dinamistis waktu itu.
Dan yang pasti Islam masuk ke dunia Melayu tanpa peperangan. Peperangan yang ada hanyalah peperangan konsep, konsep teologi agama-agama Hindu, animisme dan dinamisme dengan mudah dikalahkan oleh konsep universal Islam. Jadi, Islam bertentangan dengan
prinsip pluralisme agama, tapi memiliki rasa toleransi yang tiada bandingannya.
BUYA HAMKA BUKAN POLITISI BUSUK
Oleh: Dr. Adian Husaini
Setelah Basuki Thajaja Purnama (Ahok) bicara soal pembodohan dan pembohongan memakai surat al-Maidah:51, kini giliran adiknya mengungkap soal “politisi busuk”. Saat membacakan Nota Keberatan atas dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum, Selasa (13/12/2016), pengacara Basuki, Fifi Lety Indra menyebut adanya peran politikus busuk dalam kasus yang menyeret Basuki Tjahaya Purnama tersebut.
Fifi yang juga adik Basuki, menyatakan: “Selalu ada ayat yang sama digunakan politisi busuk untuk memecah belah rakyat dengan tujuan memuluskan jalan untuk meraih puncak kekuasaan oleh politisi busuk yang kerasukan roh kolonialisme,” ujar Fifi.
Menurut Fifi, ayat tersebut sengaja disebarkan politikus busuk karena tidak sanggup bersaing dengan Basuki. Terutama terkait visi misi, program dan integritas yang ada dalam diri Basuki. “Politisi busuk itu berlindung di balik ayat-ayat suci itu agar rakyat dengan konsep seiman dapat memilihnya,” tandas Fifi. (http://news.liputan6.com/read/2676745/pengacara-ungkap-peran-politikus-busuk-di-balik-kasus-ahok).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘busuk’ bermakna: rusak dan berbau tidak sedap (tentang buah, daging, dan sebagainya), berbau tidak sedap (tentang bangkai dan sebagainya). Untuk pemimpin, kata ‘busuk’ bermakna: buruk; jelek; tidak menyenangkan. Jadi, politisi busuk adalah “politisi yang buruk, jelek, atau tidak menyenangkan.
Siapakah yang dimaksud sebagai “politisi busuk” oleh si Fifi, pengacara Basuki tersebut? Fifi tidak menjelaskannya. Tetapi, “kriteria politisi busuk” yang digunakan pengacara Basuki itu cukup jelas. Yakni, politisi itu menggunakan ayat-ayat suci al-Quran agar rakyat dapat memilihnya karena konsep seiman.
Lalu, apakah seorang politisi muslim yang menggunakan QS al-Maidah:51 agar memilih pemimpin yang seiman, dapat dikatakan sebagai “politisi busuk”? Marilah kita telaah kembali makna QS al-Maidah ayat 51: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Ulama terkemuka, Buya Hamka, dalam Kitab Tafsirnya – Tafsir al-Azhar — menguraikan kandungan makna ayat tersebut: “Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya, sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap. Mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. Mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi. padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha, sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian.”
Tafsir al-Azhar itu ditulis pada awal tahun 1960-an. Selama puluhan tahun, tidak ada manusia di bumi Indonesia yang menuduh Buya Hamka telah membohongi atau membodohi umat Islam ‘pake’ surat al-Maidah:51. Maka, kita patut bertanya, jika ada politisi muslim yang memahami QS al-Maidah:51 seperti dijelaskan oleh Buya Hamka tersebut, apakah ia dapat dikatakan sebagai “politisi busuk”?
Konsekuensi berikutnya, dari tuduhan itu, apakah Buya Hamka dan para ulama lain yang memiliki pemahaman yang sama terhadap QS al-Maidah:51 juga dikatakan sebagai “ulama busuk”? Lalu, bagaimana jika ada pengacara yang menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk memenangkan perkaranya? Apakah ia juga disebut “pengacara busuk”?
Tampak bahwa tuduhan pengacara Basuki itu sangat melampaui batas kepatutan. Bahkan, dalam dalam sistem demokrasi seperti di AS, dukung-mendukung calon presiden dengan alasan keagamaan pun sangat lazim dilakukan. Situs ht
Oleh: Dr. Adian Husaini
Setelah Basuki Thajaja Purnama (Ahok) bicara soal pembodohan dan pembohongan memakai surat al-Maidah:51, kini giliran adiknya mengungkap soal “politisi busuk”. Saat membacakan Nota Keberatan atas dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum, Selasa (13/12/2016), pengacara Basuki, Fifi Lety Indra menyebut adanya peran politikus busuk dalam kasus yang menyeret Basuki Tjahaya Purnama tersebut.
Fifi yang juga adik Basuki, menyatakan: “Selalu ada ayat yang sama digunakan politisi busuk untuk memecah belah rakyat dengan tujuan memuluskan jalan untuk meraih puncak kekuasaan oleh politisi busuk yang kerasukan roh kolonialisme,” ujar Fifi.
Menurut Fifi, ayat tersebut sengaja disebarkan politikus busuk karena tidak sanggup bersaing dengan Basuki. Terutama terkait visi misi, program dan integritas yang ada dalam diri Basuki. “Politisi busuk itu berlindung di balik ayat-ayat suci itu agar rakyat dengan konsep seiman dapat memilihnya,” tandas Fifi. (http://news.liputan6.com/read/2676745/pengacara-ungkap-peran-politikus-busuk-di-balik-kasus-ahok).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘busuk’ bermakna: rusak dan berbau tidak sedap (tentang buah, daging, dan sebagainya), berbau tidak sedap (tentang bangkai dan sebagainya). Untuk pemimpin, kata ‘busuk’ bermakna: buruk; jelek; tidak menyenangkan. Jadi, politisi busuk adalah “politisi yang buruk, jelek, atau tidak menyenangkan.
Siapakah yang dimaksud sebagai “politisi busuk” oleh si Fifi, pengacara Basuki tersebut? Fifi tidak menjelaskannya. Tetapi, “kriteria politisi busuk” yang digunakan pengacara Basuki itu cukup jelas. Yakni, politisi itu menggunakan ayat-ayat suci al-Quran agar rakyat dapat memilihnya karena konsep seiman.
Lalu, apakah seorang politisi muslim yang menggunakan QS al-Maidah:51 agar memilih pemimpin yang seiman, dapat dikatakan sebagai “politisi busuk”? Marilah kita telaah kembali makna QS al-Maidah ayat 51: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Ulama terkemuka, Buya Hamka, dalam Kitab Tafsirnya – Tafsir al-Azhar — menguraikan kandungan makna ayat tersebut: “Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya, sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap. Mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. Mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi. padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha, sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian.”
Tafsir al-Azhar itu ditulis pada awal tahun 1960-an. Selama puluhan tahun, tidak ada manusia di bumi Indonesia yang menuduh Buya Hamka telah membohongi atau membodohi umat Islam ‘pake’ surat al-Maidah:51. Maka, kita patut bertanya, jika ada politisi muslim yang memahami QS al-Maidah:51 seperti dijelaskan oleh Buya Hamka tersebut, apakah ia dapat dikatakan sebagai “politisi busuk”?
Konsekuensi berikutnya, dari tuduhan itu, apakah Buya Hamka dan para ulama lain yang memiliki pemahaman yang sama terhadap QS al-Maidah:51 juga dikatakan sebagai “ulama busuk”? Lalu, bagaimana jika ada pengacara yang menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk memenangkan perkaranya? Apakah ia juga disebut “pengacara busuk”?
Tampak bahwa tuduhan pengacara Basuki itu sangat melampaui batas kepatutan. Bahkan, dalam dalam sistem demokrasi seperti di AS, dukung-mendukung calon presiden dengan alasan keagamaan pun sangat lazim dilakukan. Situs ht
liputan6.com
Pengacara Ungkap Peran Politikus Busuk di Balik Kasus Ahok
Peran politikus busuk tersebut hingga menggunakan ayat kitab suci dengan penjelasan atau tambahan arti yang dibuat sendiri.
tp://www.rightwingwatch.org, misalnya, mengungkapkan sejumlah alasan keagamaan sebagian kalangan Kristen dalam mendukung Donalt Trump. Misalnya, Trump dianggap sebagai cara Tuhan untuk memuluskan jalan bagi Kedatangan Kristus Kedua kalinya (The Second Coming of Christ).
Alasan lain dukungan terhadap Trump, kalangan Kristen Kanan ini menilai, “Trump would make America friendlier to Israel” dan “Trump will make Christianity more powerful”.
Itulah konsekuensi logis dari sistem demokrasi, yang oleh Aristotle (384-322 BC), disebut sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi dan hampir semua filosof politik menolaknya. (James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973).
Jadi, dalam kontestasi politik yang terbuka di berbagai daerah seperti saat ini, penggunaan dalil-dalil agama sepatutnya dipandang sebagai hal biasa. Yang penting jangan dimanipulasi maknanya. Lucunya, dalam persidangan perdana Basuki Tjahaya Pernama, para pengacara Basuki pun berlomba-lomba menggunakan beberapa dalil al-Quran dan kisah di masa Nabi Muhammad saw – meskipun beberapa kali tampak belepotan melafalkan ungkapan-ungkapan tertentu.
Silakan saja pendukung Basuki Tjahaja Purnama menggunakan ayat-ayat Bibel untuk mendukung calon beragama Kristen. Itu lebih jujur, lebih fair, sesuai dengan agamanya. Begitu juga sangat sah jika seorang politisi muslim atau seorang kyai mengajak umat Islam untuk memilih pemimpin yang seiman, berdasarkan pemahamannya terhadap QS al-Maidah:51, dan ayat-ayat al-Quran lainnya. Pengacara Basuki tidak berhak melarang kaum muslim berpolitik berdasarkan ayat-ayat al-Quran. Apalagi, menuduh mereka sebagai “politisi busuk”.
Buya Hamka, disamping seorang ulama, juga dikenal sebagai politisi muslim terkemuka yang pernah menjadi anggota Majelis Konstituante. Apakah karena pemahamannya yang semacam itu terhadap QS al-Maidah:51 lalu dituduh sebagai “politisi busuk?” Buya Hamka jelas bukan “politisi busuk”. Beliau ulama dan politisi cerdas dan beradab.
‘Bau busuk’
Sepatutnya, sebagai pengikut Kristen, Basuki Tjahaja Purnama tidak perlu memasuki wilayah Tafsir al-Quran. Apalagi, sampai menuduh ada yang membodohi dan membohongi masyarakat ‘pake’ al-Maidah:51. Ia harusnya gunakan saja ayat-ayat Bibel, sesuai dengan keyakinan agamanya.
Setelah melakukan kajian dan penelitian terhadap ucapan Basuki di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, maka pada 11 Oktober 2016, MUI secara resmi menyatakan, bahwa Basuki telah telah menghina al-Quran dan menghina ulama-ulama Islam.
Inilah ucapan Basuki Tjahaja Purnama yang juga dikutip dalam pernyataan resmi MUI: “… Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..”
Apa para ulama di MUI itu lalu dituduh sebagai “ulama busuk” karena merugikan karir politik Basuki Tjahaja Purnama?
Dalam ucapannya yang disiarkan secara langsung oleh stasiun TV nasional, adik Basuki Tjahaja Purnama berulang kali menyebut kata “busuk”, “busuk” dan “busuk”. Entah kenapa, sebagai perempuan, ia suka menggunakan istilah itu. Apakah tidak ada kata lain yang sedikit lebih halus?
Padahal, publik di Indonesia pernah disuguhi tontonan wawancara Basuki Tjahaja Purnama yang sangat jorok ucapannya di satu stasiun TV. Tayangan itu berbuntut kepada jatuhnya sanksi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, berupa sanksi administratif Penghentian Sementara Segmen Wawancara pada program jurnalistik “Kompas Petang”.
Surat Sanksi Administratif disampaikan KPI Pusat ke Kompas TV, Senin 23 Maret 2015. Berdasarkan nomor surat 225/K/KPI/3/15 yang disiarkan di website resmi KPI, program yang disiarkan secara langsung pada Selasa, 17 Maret 2
Alasan lain dukungan terhadap Trump, kalangan Kristen Kanan ini menilai, “Trump would make America friendlier to Israel” dan “Trump will make Christianity more powerful”.
Itulah konsekuensi logis dari sistem demokrasi, yang oleh Aristotle (384-322 BC), disebut sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi dan hampir semua filosof politik menolaknya. (James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973).
Jadi, dalam kontestasi politik yang terbuka di berbagai daerah seperti saat ini, penggunaan dalil-dalil agama sepatutnya dipandang sebagai hal biasa. Yang penting jangan dimanipulasi maknanya. Lucunya, dalam persidangan perdana Basuki Tjahaya Pernama, para pengacara Basuki pun berlomba-lomba menggunakan beberapa dalil al-Quran dan kisah di masa Nabi Muhammad saw – meskipun beberapa kali tampak belepotan melafalkan ungkapan-ungkapan tertentu.
Silakan saja pendukung Basuki Tjahaja Purnama menggunakan ayat-ayat Bibel untuk mendukung calon beragama Kristen. Itu lebih jujur, lebih fair, sesuai dengan agamanya. Begitu juga sangat sah jika seorang politisi muslim atau seorang kyai mengajak umat Islam untuk memilih pemimpin yang seiman, berdasarkan pemahamannya terhadap QS al-Maidah:51, dan ayat-ayat al-Quran lainnya. Pengacara Basuki tidak berhak melarang kaum muslim berpolitik berdasarkan ayat-ayat al-Quran. Apalagi, menuduh mereka sebagai “politisi busuk”.
Buya Hamka, disamping seorang ulama, juga dikenal sebagai politisi muslim terkemuka yang pernah menjadi anggota Majelis Konstituante. Apakah karena pemahamannya yang semacam itu terhadap QS al-Maidah:51 lalu dituduh sebagai “politisi busuk?” Buya Hamka jelas bukan “politisi busuk”. Beliau ulama dan politisi cerdas dan beradab.
‘Bau busuk’
Sepatutnya, sebagai pengikut Kristen, Basuki Tjahaja Purnama tidak perlu memasuki wilayah Tafsir al-Quran. Apalagi, sampai menuduh ada yang membodohi dan membohongi masyarakat ‘pake’ al-Maidah:51. Ia harusnya gunakan saja ayat-ayat Bibel, sesuai dengan keyakinan agamanya.
Setelah melakukan kajian dan penelitian terhadap ucapan Basuki di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, maka pada 11 Oktober 2016, MUI secara resmi menyatakan, bahwa Basuki telah telah menghina al-Quran dan menghina ulama-ulama Islam.
Inilah ucapan Basuki Tjahaja Purnama yang juga dikutip dalam pernyataan resmi MUI: “… Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..”
Apa para ulama di MUI itu lalu dituduh sebagai “ulama busuk” karena merugikan karir politik Basuki Tjahaja Purnama?
Dalam ucapannya yang disiarkan secara langsung oleh stasiun TV nasional, adik Basuki Tjahaja Purnama berulang kali menyebut kata “busuk”, “busuk” dan “busuk”. Entah kenapa, sebagai perempuan, ia suka menggunakan istilah itu. Apakah tidak ada kata lain yang sedikit lebih halus?
Padahal, publik di Indonesia pernah disuguhi tontonan wawancara Basuki Tjahaja Purnama yang sangat jorok ucapannya di satu stasiun TV. Tayangan itu berbuntut kepada jatuhnya sanksi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, berupa sanksi administratif Penghentian Sementara Segmen Wawancara pada program jurnalistik “Kompas Petang”.
Surat Sanksi Administratif disampaikan KPI Pusat ke Kompas TV, Senin 23 Maret 2015. Berdasarkan nomor surat 225/K/KPI/3/15 yang disiarkan di website resmi KPI, program yang disiarkan secara langsung pada Selasa, 17 Maret 2
015 pukul 18.18 WIB itu dikategorikan sebagai pelanggaran norma kesopanan, perlindungan anak-anak dan remaja, pelarangan ungkapan kasar dan makian. Serta melanggar prinsip-prinsip jurnalistik. “Tayangan yang memuat ungkapan atau perkataan kasar/kotor demikian dilarang untuk ditampilkan, karena sangat tidak santun, merendahkan martabat manusia,
dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat serta rentan untuk ditiru oleh khalayak, terutama anak-anak dan remaja,” demikian pernyataan KPI.
Berikut perkataan kasar dan kotor Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang digarisbawahi KPI Pusat saat wawancara langsung di Kompas TV;
“…istri saya mau nerima CSR untuk main di kota tua. Lu buktiin aja nenek lu sialan bangsat gua bilang. Lu buktiin aja. Gue juga udah keki”.
“…lu lawan bini gua kalah lu mati aja lu. Kasih taik aja muka lu”.
“…kalau betul ada suap 12,7 triliun kenapa si DPRD membatalkan lapor ke Bareskrim? Kok goblok sekali lu orang? …kalau ada bukti memang nyuap apa lu laporin dong bego. …bego banget lu gitu lho. …sementara ada bukti gua mau nyuap lu 12,7 triliun, kok lu nggak berani laporin? Gua kuatir lu kemaluan lu punya ga nih? …eh dibalikin ini yang buat suap. Sialan nggak tuh? Makanya gua bilang panggil gua datang ke angket. Kapan lu panggil biar gua jelasin semua.
Gua bukain lu taik-taik semua itu seperti apa. …nggak apa-apa, biar orang tau emang taik gua bilang…. …kalau bukan taik apa? Kotoran. Silakan. Emang taik namanya kok. Emang taik, mau bilang apa. …TV jangan pernah wawancara gua live kalo nggak suka kata gua taik segala macem. Itu bodohnya anda mau live dengan saya…”
(/berita/nasional/read/2015/03/24/67216/inilah-perkataan-kasar-ahok-yang-akibatkan-kompas-tv-disanksi.html).
Itulah kata-kata ‘busuk’ sang kakak, Basuki Tjahaja Purnama yang bau busuknya terlanjur menyengat kemana-mana. Kini, meski berlangsung lancar, patut disayangkan, sidang pertama kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama pun dikotori dengan aroma kata-kata tak sedap: “politisi busuk”.
Kepada yang suka berkata jorok dan bau, kita hanya bisa berpesan: “Silakan dinikmati sendiri baunya!”*/Depok, 13 Desember 2016
dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat serta rentan untuk ditiru oleh khalayak, terutama anak-anak dan remaja,” demikian pernyataan KPI.
Berikut perkataan kasar dan kotor Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang digarisbawahi KPI Pusat saat wawancara langsung di Kompas TV;
“…istri saya mau nerima CSR untuk main di kota tua. Lu buktiin aja nenek lu sialan bangsat gua bilang. Lu buktiin aja. Gue juga udah keki”.
“…lu lawan bini gua kalah lu mati aja lu. Kasih taik aja muka lu”.
“…kalau betul ada suap 12,7 triliun kenapa si DPRD membatalkan lapor ke Bareskrim? Kok goblok sekali lu orang? …kalau ada bukti memang nyuap apa lu laporin dong bego. …bego banget lu gitu lho. …sementara ada bukti gua mau nyuap lu 12,7 triliun, kok lu nggak berani laporin? Gua kuatir lu kemaluan lu punya ga nih? …eh dibalikin ini yang buat suap. Sialan nggak tuh? Makanya gua bilang panggil gua datang ke angket. Kapan lu panggil biar gua jelasin semua.
Gua bukain lu taik-taik semua itu seperti apa. …nggak apa-apa, biar orang tau emang taik gua bilang…. …kalau bukan taik apa? Kotoran. Silakan. Emang taik namanya kok. Emang taik, mau bilang apa. …TV jangan pernah wawancara gua live kalo nggak suka kata gua taik segala macem. Itu bodohnya anda mau live dengan saya…”
(/berita/nasional/read/2015/03/24/67216/inilah-perkataan-kasar-ahok-yang-akibatkan-kompas-tv-disanksi.html).
Itulah kata-kata ‘busuk’ sang kakak, Basuki Tjahaja Purnama yang bau busuknya terlanjur menyengat kemana-mana. Kini, meski berlangsung lancar, patut disayangkan, sidang pertama kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama pun dikotori dengan aroma kata-kata tak sedap: “politisi busuk”.
Kepada yang suka berkata jorok dan bau, kita hanya bisa berpesan: “Silakan dinikmati sendiri baunya!”*/Depok, 13 Desember 2016