MUSTANIR ONLINE
3.2K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
MENGAPA HARUS KARTINI?
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia? Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang ber inisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiranpikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecu
t Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim ke terbe lakang an kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus menda -pat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong tak dir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?
Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah
Oleh: Dr. Adian Husaini

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh.

VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semaca
m sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pad
a masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama
👍1
Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.

Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel.

Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.
SIAPA MENYATUKAN NUSANTARA?
Oleh: Dr. Adian Husaini

Sejumlah pemikir dan tokoh di Indonesia pernah mengungkap teori “lapis-budaya”. Bahwa, kata mereka, Pancasila sebenarnya digali dari bumi Indonesia asli. Bahkan, seorang tokoh ternama, mengaku, ia menggali Pancasila dari bumi Indonesia yang paling dalam, yakni zaman pra-Hindu.

Teori “lapis budaya”, misalnya, pernah diungkap oleh Pendeta Dr. Eka Darmaputera, dalam disertasi doktornya yang berjudul Pancasila and the Search for Identity and Modernity, di Ph.D. Joint Graduate Program Boston and Andover Newton Theological School, tahun 1982. Eka menyebutkan adanya tiga lapisan budaya di Indonesia, yaitu Indonesia asli, India, dan Islam. Tentang lapisan asli Indoenesia, Eka menyimpulkan:
“Lapisan asli Indonesia merupakan sesuatu yang amat sulit, bila tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dijabarkan dengan lengkap dan pasti. Kesepakatan yang ada ialah, bahwa sebelum datangnya peradaban India ke Indonesia, ia telah mencapai tingkat kebudayaan yang relatif tinggi dan berakar cukup dalam. Secara umum, lapisan ini dapat digambarkan sebagai berikut: dasar peradabannya adalah pertanian (sawah dan ladang); struktur sosialnya adalah desa; kepercayaan agamaniahnya adalah animisme; …” (Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997).

Upaya untuk mengaitkan Indonesia dengan budaya asli pernah ditentang keras oleh Prof. Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi, tokoh Pujangga Baru ini justru mengajak bangsa Indonesia untuk menengok ke Barat: “Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.” Namun, Takdir menepis tuduhan bahwa ia mengarahkan Indonesia agar membebek pada Barat. Katanya: “Saya tidak pernah berkata, bahwa generasi baru tidak usah tahu kebudayaan lama. Saya hanya berkata, bahwa generasi baru harus bebas, jangan terikat kepada kebudayaan lama.” (Lihat, buku Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, cet.ke-3).

Upaya untuk membangun citra bahwa Indonesia mengalami zaman kejayaan saat berada di zaman pra-Islam, secara sistematis dikembangkan oleh para orientalis. T. Ceyler Young, seorang orientalis membuat pengakuan: “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut”. (Muhammad Quthb, Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).

Mohammad Natsir, seorang pahlawan nasional, menyebut upaya mengecilkan peran Islam dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bentuk ”nativisasi”. Sejak usia dini, anak-anak Muslim Indonesia sudah dicekoki dengan ajaran sejarah, bahwa Indonesia pernah jaya di bawah Kerajaan Majapahit. Lalu, datanglah kerajaan Islam, bernama Kerajaan Demak, menghancurkan kejayaan Hindu tersebut. Jadi, seolah-olah hendak ditanamkan pada para siswa, bahwa kedatangan Islam tidak membangun kejayaan Indonesia, tetapi justru menghancurkan kejayaannya. Islam tidak pernah menjadi pemersatu bangsa. Majapahitlah yang menyatukan Indonesia. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang kuat, Majapahit pernah menyatukan seluruh wilayah Nusantara.

Prof. Dr. C.C. Berg melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan, bahwa wilayah Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit (Depok: Komunitas Bambu, 2009).

Ada juga cerita yang memposisikan Majapahit sebagai “penjajah”, sehingga muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukkan. Babad Soengenep, misalnya, menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita yang mendasari Perang Bubat yang merupakan kesalahan besar dalam diploma
si Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk menikahkan putrinya dengan sang Prabu Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian mengantarkan putrinya hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai kebiasaan kuno, raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu untuk menjemput mempelainya.

Padahal, sejarah membuktikan, para ulama dan pendakwah Islam-lah yang menyatukan wilayah Nusantara dalam satu agama, satu bahasa, dan satu pandangan alam (worldview). Bahkan, penyatuan itu sampai meliputi wilayah Thailan Selatan, Filipina Selatan, dan Malaka. Bahasa Melayu yang telah di-Islamkan menjadi alat pemersatu bangsa yang efektif.

Keberadaan dan penyebaran bahasa Melayu pernah dianggap sebagai ancaman bagi misi Kristen oleh tokoh Jesuit, Frans van Lith (m. 1926). Dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia, Karel A. Steenbrink, mengutip ucapan van Lith: “Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.”

Kiprah Pater van Lith dalam gerakan misi di Jawa digambarkan oleh Fl. Hasto Rosariyanto, SJ dalam bukunya, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009). Dalam buku ini diceritakan, bahwa dalam suatu Kongres bahasa Jawa, secara provokatif van Lith memperingatkan orang-orang Jawa untuk berbangga akan budaya mereka dan karena itu mereka harus menghapus bahasa Melayu dari sekolah. Van Lith lebih suka mempromosikan bahasa Belanda, karena dianggapnya sebagai bahasa kemajuan.

Misi ini kemudian gagal. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia mengikrarkan sumpah: Berbahasa satu, bahasa Indonesia. (***)
BUNDEL ISLAMIA EDISI AWAL 2004 sampai EDISI TERBARU 2017

Dibundel secara LUX. Terdiri 2 bundel (seperti gambar). Berat sekitar 6,5 Kg. Penulisnya antara lain: Dr Hamid Fahmy Zadkasyi, Prof Wan Noor Wan Daud, Dr Syamsuddin Arif, Dr Adian Husaini, Prof Khalif Muammar, dll.

Bagi yang berminat bundel Jurnal Islamia dari edisi awal 2004 sampai edisi terbaru 2017 silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...
KULIAH KEMANA?
Oleh: Dr Adian Husaini

Dalam beberapa waktu terakhir, banyak muncul pertanyaan dari sejumlah orangtua: “Anak saya baiknya kuliah kemana? Atau, “Apakah kuliah di universitas ini atau universitas itu bagus?” Ada orangtua menyampaikan kasus; anaknya diterima di dua jurusan pada universitas yang berbeda. Mana yang harus dipilih? Dan seterusnya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu lazim bermunculan, khususnya usai ujian akhir tingkat SMA. Biasanya, pertanyaan itu muncul terkait dengan proyeksi orangtua atau pelajar tentang masa depan kehidupan dan karir mereka. Hingga kini, gambaran tentang profesi ideal bagi para pelajar termasuk di berbagai sekolah Islam, tampaknya masih belum banyak berubah.

Jurusan-jurusan — istilah sekarang ‘Program Studi’ – yang menjadi idola pelajar untuk dimasuki masih seperti masa-masa sebelumnya, yaitu Kedokteran, Akuntansi, Teknik Informatika, dan sebagainya. Jurusan-jurusan ‘agama’ seperti Jurusan Dakwah, Tarbiyah, Ushuluddin, Tafsir-Hadits, dan sejenisnya belum menjadi tujuan utama para pelajar yang memiliki kualifikasi intelektual tertinggi di sekolahnya. Yang cukup ‘laku’ saat ini adalah jurusan Tarbiyah dan Ekonomi Islam, karena dianggap menjanjikan lapangan kerja yang cukup bergengsi.

Walhasil, sesuai dengan arahan berpikir para pejabat di bidang pendidikan, pembentukan suatu jurusan atau program studi (Prodi) memang masih dikaitkan dengan urusan lapangan kerja atau karir profesi seseorang. Hal itu juga diberlakukan untuk ilmu-ilmu keagamaan (ulumuddin). Jika suatu perguruan tinggi hendak membuka suatu Prodi, maka disyaratkan untuk menjelaskan, lulusannya akan bekerja di mana.

Maka, tidak terlalu keliru jika dikatakan, lembaga pendidikan tinggi utamanya diarahkan untuk menjadi lembaga kursus atau balai latihan kerja. Karena itu, jangan heran, jika sekolah dan universitas kalah profesional dengan lembaga bimbingan belajar atau lembaga-lembaga kursus dalam menyiapkan tenaga kerja. Lucunya, ada sekolah-sekolah – yang dikatakan — unggulan masih menyewa lembaga bimbingan belajar untuk membantu siswanya agar lulus Ujian Nasional dengan baik.

Pola pikir pendidikan yang terlalu pragmatis dan materialis sebenarnya tidak sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga menyebutkan, bahwa Pendidikan Tinggi bertujuan: (a). berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; (b). dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; (c). dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan (d). terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”

*

Begitulah tujuan pendidikan nasional di Indonesia, seperti tertulis secara resmi dalam Undang-undang. Jika dicermati, secara umum, tujuan itu sangat baik, yakni mencetak manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. Masalahnya, apakah dalam aplikasinya, tujuan itu benar-benar diwujudkan?

Untuk mencapai tujuan pendidikan itulah maka diperlukan tiga unsur penting
, yakni: guru/dosen, kurikulum, dan metode pembelajaran. Agar mencapai tujuan pendidikan, yakni membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa, maka haruslah disusun kurikulum yang bisa mengantarkan anak didik kepada tujuannya. Logisnya, kurikulum itu harus bersumber dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Karena itu, adalah hal yang aneh, jika tujuan pendidikan untuk membentuk manusia beriman dan bertaqwa, tapi kurikulum pendidikannya justru “menolak” wahyu sebagai sumber ilmu.

Contoh mudahnya, sebenarnya keliru dan janggal, mahasiswa Muslim di UI, ITB, IPB, UGM, Unair, ITS dan sebagainya, tidak diajarkan Ulumuddin secara memadai. Para mahasiswa Muslim tidak mempelajari Ulumul Quran, Ulumul Hadits, Ushul Fiqih, Bahasa Arab, Tarikh Islam, dan sebagainya. Ilmu-ilmu wahyu (revealed knowledge) itu dianggap bukan ilmu (knowledge) sebab tidak bersifat rasional dan empiris. Masih terjadi antara “ilmu umum” dan “ilmu agama”. Padahal, dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama sebenarnya merupakan model pendidikan warisan penjajah yang sudah out of date. Saat ini, di tingkat TK sampai SMA sudah banyak bermunculan Sekolah-sekolah Islam atau Pesantren Terpadu yang tidak lagi mendikotomikan antara ilmu-ilmu agama (ulumuddin) dan ilmu-ilmu rasional-empiris – yang dalam istilah sekarang disebut “ilmu-ilmu umum”.

Kurikulum pendidikan yang masih memandang wahyu Allah bukan sebagai sumber ilmu adalah kurikulum sekuler yang seyogyanya tidak dipaksakan kepada mahasiswa Muslim. Konsep kurikulum dalam Islam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah secara proporsional, sesuai dengan tujuan dan kemampuan pelajar/mahasiswa. IlmuFardhu ‘Ain adalah ilmu yang wajib dimiliki setiap Muslim, seperti ilmu aqidah Islam, ibadah wajib, dan sebagainya. Sedangkan ilmu Fardhu Kifayah adalah ilmu yang wajib dimiliki oleh sebagian Muslim; tidak seluruhnya, seperti ilmu pengobatan, elektronika, tekbik bangunan, ilmu komputer, dan sebagainya.

Misalnya, untuk anak-anak Muslim super cerdas, bisa ditargetkan, sarjana lulusan UI, ITB, atau IPB, UGM,– minimal — harus memahami aqidah Islam dan tantangan pemikiran kontemporer, menghafal al-Quran 10 juz, menguasai bahasa Arab dengan bauk, memahami dasar-dasar Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan sebagainya, ditambah dengan ilmu-ilmu empiris-rasional, sesuai dengan kebutuhan dan minatnya, seperti matematika, fisika, statistika, jurnalistik, akuntansi, kedokteran hewan, ilmu gizi, arsitektur, dan sebagainya.

Jadi, seharusnya, untuk mahasiswa Muslim, mereka bisa mendapatkan muatan kurikulum di Perguruan Tinggi dengan komposisi 50:50, yakni 50% ulumuddin (ilmu wahyu/revealed knowledge) dan 50% ilmu-ilmu rasional-empiris. Apakah ini mungkin? Kita jawab: sangat mungkin! Itu sudah banyak terbukti di tingkat SMA. Kini, tidak sulit menemukan lulusan SMA yang sudah hafal al-Quran, menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan baik, sekaligus juga menguasai mata pelajaran sains kontemporer.

Sayangnya, setelah mereka memasuki Perguruan Tinggi Umum, “ilmu wahyu” mereka tidak berkembang; bahkan mungkin berangsur-angsur memudar, karena tidak mendapatkan media untuk pengembangannya.

Karena itulah, sudah saatnya, Perguruan Tinggi di Indonesia memiliki Pusat Studi Islam yang kuat. Di berbagai Universitas di Barat saja, sejak ratusan tahun lalu sudah dijumpai pusat-pusat studi Islam yang canggih, meskipun semua itu dibentuk untuk tujuan orientalisme secara umum.

Hanya saja, salah satu masalah besar yang dihadapi di Indonesia adalah digunakannya “metode liberal” dalam Studi Islam. Yakni, metode pengkajian Islam ala orientalis, yang berselubung jargon “metode ilmiah” tetapi ujung-ujungnya menanamkan keraguan dan kebingungan terhadap kebenaran serta menjauhkan mahasiswa dari pembentukan akhlak mulia.

Model pendidikan ulumuddin metode orientalis itulah yang kini banyak dijumpai di Perguruan Tinggi. Yakni, pendidikan ulumuddin yang berselubung jargon ilmiah dan netral terhadap kebenaran. Metode semacam ini sangat meracuni pikiran, karena membuat seorang merasa benar dan bangga ketika ia tidak memi
hak antara yang haq dan yang bathil. Padahal, setiap Muslim dituntut untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.

****

Nabi Muhammad saw pernah menyampaikan sebuah pesan penting: “Manusia itu adalah barang tambang, laksana emas dan perak. Orang-orang terbaik diantara mereka di masa Jahiliyah adalah orang-orang terbaik juga di masa Islam, apabila mereka faqih fid-ddin.”(Muttafaq ‘alaih). Juga, sabda Nabi saw: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya pandai mengenai agama (yufaqqih-hu fid-din) dan ia diilhami PetunjukNYa.” (Muttafaq ‘alaih).

Kedua petunjuk Rasulullah saw itu sangat menarik untuk kita cermati. Bahwa, manusia itu laksana barang tambang, seperti emas dan perak. Allah memang menciptakan manusia dengan kualitas dasar dan potensi yang sama. Ada yang dikaruniai kecerdasan super tinggi seperti Imam Syafii, al-Ghazai, Ibn Rusyd, Ibn Sina, BJ Habibie, dan sebagainya. Ada juga yang diberi potensi kecerdasan sedang-sedang saja. Ada juga yang diberi amanah ringan, berupa tingkat kecerdasan yang sangat rendah. Dengan perbedaan potensi itulah roda kehidupan manusia bisa berjalan.

Allah berfirman: Tsumma latus’alunna yaumaidzin ‘anin-na’im. (Sungguh kalian akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat nanti atas segala nikmat (yang Kami berikan)).

Orang-orang yang dikaruniai nikmat kecerdasan mendapatkan amanah yang lebih berat ketimbang orang yang kecerdasannya lebih rendah. Orang yang mendapatkan nikmat kekayaan, akan berbeda tanggung jawabnya dengan yang hidupnya serba kekurangan.

Karena itulah, orang yang dikaruniai potensi kecerdasan tinggi memiliki tanggung jawab keilmuan yang lebih tinggi dari orang lain dengan potensi kecerdasan di bawahnya. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, bahwa manusia adalah laksana barang tambang. Manusia yang kualitasnya emas, di masa jahiliyah, akan menjadi emas juga di masa Islam. Dengan syarat, dia faham agama (mutafaqih fid-din). Sebab, orang yang faham agama adalah salah satu ciri tanda kebaikan yang dimilikinya. Lihatlah bagaimana seorang Umar bin Khathab, Khalid bin Walid, Amr bin Ash, dan sebagainya, yang sebelumnya adalah tokoh-tokoh musyrik Arab lalu menjadi orang-orang hebat setelah mereka memahami Islam dengan baik.

Maka, adalah sudah sepatutnya jika seorang mahasiswa Muslim memahami ulumuddin dengan baik dan juga memahami ilmu-ilmu empiris-rasional yang bisa dijadikan sebagai bekal untuk membangun kemandirian dirinya di masa mendatang. Untuk mewujudkan itu, pemerintah berkewajiban memberikan jalan agar mahasiswa Muslim memahami ilmu pengetahuan secara proporsional.

Struktur kurikulum di “Perguruan Tinggi Umum” yang mengajarkan Pendidikan Agama Islam (PAI) hanya 2 SKS selama masa kuliah. Itu sangat jauh dari kurikulum ideal, dalam perspektif Islam. Seharusnya mahasiswa Muslim diberi kesempatan untuk melaksanakan kewajibannya menuntut ilmu agama dengan memadai. Sekali lagi, ini adalah kewajiban pemerintah sebagai pelaksanaan UU Pendidikan Tinggi.

Pada titik inilah kita bisa memahami, bahwa realitasnya, Pendidikan Tinggi kita masih dihegemoni dengan pola pikir sekuler yang menjauhkan para mahasiswa Muslim untuk mendapatkan ilmu secara benar dan proporsional. Dalam kondisi seperti ini, menjadi kewajiban orangtua dan calon mahasiswa Muslim untuk memahami konsep ilmu dalam Islam. Bahwa, kewajiban utama seorang Muslim adalah mencari ilmu (thalabul ilmi). Kuliah di Perguruan Tinggi harus dimaknai sebagai salah bentuk thalabul ilmi. Karena itu, pertanyaan yang tepat bukan “kuliah dimana?” tetapi yang tepat adalah “ilmu apa yang wajib saya pelajari?”

Dengan memahami konsep ilmu dalam Islam, seorang mahasiswa Muslim yang belajar di Fakultas Kedokteran Hewan, Teknik Arsitektur, dan sebagainya, akan paham ilmu-ilmu apa lagi yang wajib ia pelajari di luar kurikulum resmi di kampusnya? Sesuai dengan potensi dan kesempatannya, si mahasiswa wajib mempelajari ilmu-ilmu yang dapat meningkatkan dan menjaga keimanannya, untuk menjalankan ibadah dengan benar, dan juga untuk membekali dirinya dengan berbagai kemampuan yang menjadikannya se
bagai juru dakwah yang mumpuni.

Dari sinilah kita memahami betapa pentingnya para orangtua memahami konsep ilmu dan ilmu pendidikan Islam. Tujuannya, agar ia dapat mendidik atau mengarahkan pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tuntunan Islam. Dalam istilah Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendidikan adalah proses ‘ta’dib’ yang bertujuan melahirkan manusia beradab. Untuk itu, sangat penting memahami konsep adab dalam Islam, agar tujuan pendidikan dapat tercapai.

Jurnal Islamia-Republika (16/5/2013) kerjasama INSISTS-Republika, menurunkan laporan utama sebanyak tiga halaman tentang kurikulum pendidikan yang baik dalam Islam. Salah satu artikel yang menarik ditulis oleh Muhammad Ardiansyah berjudul “Kurikulum Adab dalam Syair Imam Syafii.” Artikel itu menarik untuk kita simak, sebagai bekal kita dan para orangtua, juga calon mahasiswa yang akan menuntut ilmu.

Berikut ini beberapa adab dalam mencari ilmu dalam syair-syair Imam Syafi’i yang dikutip dari Kitab Diwân al-Imâm al-Syâfi’i karya Muhammad Abdurrahim (Beirut:Dar al-Fikr, 1995).

(1) Ikhlas Karena Allah: “Siapa menuntut ilmu untuk meraih kebahagiaan negeri akhirat; ia kan beruntung meraih kemuliaan dari Allah yang Maha Pemberi Petunjuk; Maka dia pun akan meraih kebaikan yang berasal dari hamba-Nya”

(2) Meninggalkan Perbuatan Dosa: “Aku mengadu kepada Wakî’ tentang kelemahan hafalanku; ia pun memberikan nasehat Agar aku meninggalkan maksiat; Ia memberitahuku pula bahwa ilmu itu cahaya; dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang maksiat.”

(3) Menuntut Ilmu Sejak Dini: “Siapa yang kehilangan waktu belajar pada waktu mudanya; takbirkan dia empat kali; anggap saja ia sudah mati. Seorang pemuda akan berarti apabila ia berilmu dan bertaqwa; Jika dua hal itu tiada, pemuda pun tak bermakna lagi.”

(4) Mencatat Setiap Ilmu yang dipelajari: “Ilmu itu bagaikan binatang buruan, dan menulis adalah pengikatnya; ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat; Sebab diantara bentuk kebodohan, engkau memburu seekor rusa; lalu kau biarkan rusa itu bebas begitu saja.”

(5) Sabar Dibimbing Guru: “Sabarlah dengan sikap guru yang terasa pahit di hatimu; sebab kegagalan itu disebabkan meninggalkan guru. Barangsiapa yang tak mau merasakan pahitnya menuntut ilmu sesaat; sepanjang hidupnya ia akan menjadi orang hina karena kebodohannya.”

(6) Manajemen Waktu yang Baik: “Takkan ada seorang pun yang akan mencapai seluruh ilmu; takkan ada, meskipun ia terus berusaha seribu tahun lamanya. Sesungguhnya ilmu itu bagaikan lautan yang sangat dalam, sebab itu ambilah semua yang terbaik dari ilmu yang ada.”

(7) Menikmati Ilmu yang Dipelajari: “Malam-malamku untuk mempelajari ilmu terasa lebih indah daripada bersentuhan dengan wanita cantik dan aroma parfum. Mata penaku yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertasku lebih nikmat daripada bercinta dan bercumbu. Menepuk debu-debu yang menempel di lembaran-lembara kertasku lebih indah suaranya daripada tepukan rebana gadis jelita.”

(8) Bergaul dengan Orang Berilmu dan Saleh: “Bergaullah dengan orang-orang berilmu dan bertemanlah dengan orang-orang saleh diantara mereka; sebab berteman dengan mereka sangat bermanfaat dan bergaul dengan mereka akan membawa keuntungan. Janganlah kau merendahkan mereka dengan pandanganmu; sebab mereka seperti bintang yang memberi petunjuk, tak ada bintang yang seperti mereka

(9) Mengembara Mencari Ilmu: “Mengembaralah! Engkau akan mendapat sahabat-sahabat pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup adalah dalam bekerja keras. Saya berpendapat bahwa air jika tetap di suatu tempat, ia akan busuk. Jika ia mengalir barulah ia bersih, dan kalau tidak mengalir akan menjadi kotor. Singa, jika tidak keluar dari sarangnya, ia tak akan dapat makan. Anak panah jika tak meluncur dari busurnya ia takkan mengena.”

(10) Menghargai Pendapat Orang Lain: “Jika anda benar-benar memiliki ilmu dan pemahaman tentang ikhtilaf ulama dulu dan sekarang. Maka hadapilah lawan diskusimu dengan tenang dan bijak; jangan sombong dan keras kepala

(11) Tak Pernah Puas dengan Ilmunya: “Setiap
aku mendapat pelajaran dari masa, setiap itu pula aku tahu segala kekurangan akalku. Setiap ilmuku bertambah Setiap itu pula bertambah pengetahuanku akan kebodohanku.”

Demikianlah adab mencari ilmu rumusan Imam Syafii rahimahullah, yang kiranya bisa dijadikan panduan oleh para mahasiswa menuntut ilmu, dimana pun ia kuliah. Semoga bermanfaat. Amin.*/Kuala Lumpur, 21 Mei 2013
KEBANGSAAN DAN KEADILAN
Oleh:
Dr. Syamsuddin Arif - Direktur Eksekutif INSISTS

Ribuan mahasiswa dan dosen Universitas Yale di Connecticut, Amerika Serikat, "demo" memprotes iklim kampus yang dirasa makin hari semakin rasis (the racially charged climate on campus), demikian laporan surat kabar New York Times baru-baru ini (16/11/2015). Mereka menuntut perlakuan yang lebih adil terhadap semua warga kampus yang bukan kulit putih. Perguruan tinggi itu diminta bersikap lebih terbuka kepada orang dari semua bangsa, baik itu keturunan Anglo-Saxon, Hispanik, AfroAmerika, Semit (Yahudi dan Arab), maupun Asia (keturunan Jepang, Vietnam, Tionghoa, India dan sebagainya).

Sementara koran Perancis Le Monde (10/11/2015) merekam perdebatan intelektual yang meratapi ketiadaan faktor pemersatu dan penyeimbang berbagai kecenderungan nasionalisme saat ini (de réunir tout le continent et de contrebalancer les inclinaisons nationalistes de l'époque). Ini karena arus imigran yang membanjiri Eropa, Amerika dan Australia memunculkan persoalan besar antara integrasi dan isolasi, antara pluralisme dan rasisme. Tampak semakin kabur batasan antara rasa kebangsaan dan perbedaan keturunan.

Sejak lama para ilmuwan menganggap ras sebagai fakta biologis. Konon, ras manusia terdiri dari tiga puak induk: kaukasoid, negroid, dan mongoloid. Masing-masing dikatakan berasal dari kawasan di mana mereka dulunya tinggal, yaitu pegunungan Kaukasus di selatan Russia, wilayah Nigeria di Afrika, dan daerah Mongolia di Asia. Tipologi ini senada dengan legenda Israiliyat yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa di dunia adalah keturunan dari tiga anak Nabi Nuh: Sam (nenek-moyang ras Timur Tengah), Ham (nenek-moyang ras Afrika) dan Yafits (nenek-moyang ras Eropa).

Namun, mengatakan bahwa ras adalah fakta biologis sebenarnya membawa konsekuensi politik yang saling bertentangan. Tipologi di atas secara tidak langsung menganggap bangsa-bangsa selain kulit putih, kulit hitam, dan kulit kuning sebagai bukan manusia. Sebab, kalau orang-orang berkulit kemerahan dan sawo matang juga dianggap manusia, maka tindakan menindas, memperbudak, dan menghabisi mereka (seperti yang dilakukan terhadap penduduk asli benua Amerika dan Australia) adalah sangat biadab dan tidak bisa dibenarkan sama sekali. Di sisi lain, kalau perbedaan ras memang karena faktor keturunan, maka orang dapat mengklaim bahwa rasnya lebih unggul dari ras lain. Akan tetapi jalan pikiran semacam ini jika diikuti akan mengulang tragedi kebiadaban yang pernah terjadi saat Reconquista di Spanyol, di era kolonial, pada zaman Nazi di Jerman, dan sepanjang konflik di Palestina, sehingga muncul istilah pembunuhan ras (genocide) dan pembersihan etnis (ethnic cleansing).

Kendati dianggap tabu, masalah ke bangsaan dan keturunan mesti dibicarakan secara jujur dan jernih. Ini karena ia terkait dengan persoalan kekuasaan dan dominasi politik, struktur dan hirarki, serta sejarah panjang perjalanan manusia, terutama relasi dan interaksi antar kelompok satu sama lain. Alasan kebangsaan dan keturunan acapkali dijadikan pembenaran cara sistematis suatu kelompok untuk menguasai ranah kekuasaan, peluang karir tertentu dan membatasi atau bahkan memutus sama sekali akses kelompok lain. Jika sudah ada hirarki di antara mereka, maka ini akan menentukan kelompok mana yang lebih berkuasa dan unggul dibanding kelompok lain. Kelompok yang dominan lalu menganggap diri mereka berhak memperoleh 'jatah singa' dan menikmati berbagai keistimewaan di atas penderitaan kelompok lain dengan dukungan sejumlah lembaga dan seperangkat aturan hukum yang sengaja dicipta demi menyangga dan melanggengkan sistem rasis tersebut.

Rasa kebangsaan yang tak terkendali tidak hanya merasuki para penguasa dan politisi, akan tetapi juga para cendekiawan dan akademisi. Sebut saja, misalnya, Joseph Arthur de Gobineau yang mengatakan dalam bukunya (Essai sur l'inégalité des races humaines) bahwa semua peradaban berasal dari ras kulit putih yaitu bangsa Arya. Atau pendapat sejumlah sarjana orientalis yang melihat tasawwuf sebagi reaksi intelektual bangsa Arya terhadap domi
nasi Semit yang dalam hal ini diwakili oleh bangsa Arab dengan ajaran Islamnya. Tak terkecuali saintis Inggris Charles Darwin yang pernah menyatakan bahwa bangsa-bangsa beradab bisa dipastikan bakal melenyapkan dan menggantikan bangsa-bangsa biadab di seluruh dunia: : "… the civilized races of man will almost certainly extermi nate and replace the savage races throughout the world" (Lihat: The Descent of Man, Appleton New York 1888, hlm. 159-60).

Dan jika ditelusuri lebih jauh, ternyata sikap dan perilaku rasisme telah mendapatkan justifikasi sejak zaman Yunani kuno. Menurut Aristoteles, penduduk daerah dingin (Eropa) pada umumnya kurang trampil dan kurang cerdas, sementara orang-orang Asia kurang mampu berpikir dan bersaing sehingga mereka terus menerus dijajah dan diperbudak. Adalah 'kehen dak alam', katanya, bahwa manusia tercipta berbeda-beda bentuk dan warna kulitnya. Maka wajar saja bila sebagian manusia terlahir sebagai orang merdeka, sementara sebagian yang lain terlahir untuk menjadi budak. Pembagian ini sudah adil, ujarnya (Lihat: Aristotle, Politics, terj. Ernest Barker, Oxford University Press, 1961, buku I/1, hlm. 3; VII/7, hlm. 296; dan I/5, hlm. 13-14).

Kita juga bisa membaca Herodotus yang menulis bahwa orang-orang Ethiopia (kulit hitam) suka makan ular, kadal dan binatang melata lainnya, tidak dapat berbicara layaknya manusia dan hanya mampu mengeluarkan suara mengarut seperti bunyi kelelawar (Lihat The Greek Historians, terj. George Rawlinson, Random House New York 1942, bab IV, hlm. 188-291). Gabung an tiga hal, yaitu ciri-ciri fisik, mentalitas, dan merasa paling hebat (superiority complex), sering yang dijadikan acuan oleh sebagian ilmuan untuk membangun teori keunggulan ras dan menjustifikasi berbagai penindasan dan peperangan.

Pengamat sosial Joe R. Feagin (dalam jurnal American Sociological Review 1991, vol. 56, hlm. 101-16) melaporkan ternyata orang-orang kulit hitam di Amerika hingga saat ini masih sering mengalami pelecehan meski mereka sudah tergolong kelas menengah. Pelecehan itu bisa berupa perlakuan diskriminasif di tempat kerja, sikap maupun pelayanan beda di tempat perbelanjaan, hingga ucapan atau kata-kata yang menyiratkan penghinaan.

Perspektif Islam
Berbeda dengan kitab Perjanjian Lama (Kejadian 9:18-25) yang secara tidak langsung mengesahkan rasisme, kitab suci al- Qur'an berusaha mengikis habis segala bentuk kezaliman berbasis ras. Bahwa manusia diciptakan berbeda-beda rupa dan warna kulitnya, masing-masing mempunyai bahasa dan budaya sendiri, semua itu adalah petanda dari Sang Pencipta untuk direnungkan oleh mereka yang berilmu (ar- Rum 22).

Kebhinnekaan ras, etnis, dan suku semestinya mendorong manusia agar saling mengenal, saling menghargai, saling melindungi (al-Hujurat 13), bekerjasama, tolong menolong dan bahu-membahu dalam meraih kebahagiaan dan mengatasi masalah bersama (al-Ma'idah 2). Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh ras atau silsilah nenek-moyangnya, tetapi oleh volume ketaqwaannya (QS al-Hujurat 13). Tidak dibolehkan mengejek, melecehkan atau menjatuhkan satu sama lain. Juga dihimbau agar jangan saling mencurigai dan mencari-cari kesalahan atau kelemahan orang lain (QS al-Hujurat 11-12). Ayat terakhir ini meletakkan dasar anti pencemaran nama baik (defamation law).

Ditekankan bahwa kita mesti berlaku adil dan baik kepada manusia, apapun ras nya, dan tidak boleh berbuat zalim, munkar, keji serta melampaui batas (an-Nahl 90). Jangan sampai kebencian, prejudice atau fanatisme kelompok mempengaruhi kita sehingga bertindak zalim (al-Ma'idah 8).

Haram hukumnya membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan (bi-ghayri haqq). Tidak dibenarkan membunuh orang yang lemah (wanita, anak-anak, golongan lanjut usia), orang tak bersalah apa-apa, dan orang yang sudah menyerah. Membunuh seorang manusia yang bukan pembunuh (bi-ghayri nafs) dan bukan pula perusak adalah sama dengan membunuh seluruh manusia (al-Ma'iidah 32). Jangankan melakukan pembunuhan, sedang bersikap angkuh atau menganggap diri super dengan jelas dikecam (al-Isra' 38).

Satu-satunya alasan untuk merasa ba
ngga yang dibenarkan ialah bila kita sungguh-sungguh beriman (Al 'Imran 139), tanpa memandang ras, keturunan, warna kulit atau bentuk rupa. "Berbuat baiklah pada kedua orangtua, keluarga dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun tetangga jauh, teman sejawat, musafir, dan hamba sahayamu, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri" (an-Nisa' 36). Dan simaklah sabda Kanjeng Nabi saw: "Mereka [budak-budak itu] adalah saudarasaudaramu (hum ikhwanukum) dan milik yang dititipkan Allah kepadamu. Maka siapa yang saudaranya dititipkan padanya, hendaklah ia memberinya makanan yang ia makan, pakaian yang ia pakai, dan janganlah membebani mereka dengan pekerjaan berat yang tak sanggup mereka lakukan. Kalaupun terpaksa menyuruh, maka bantulah mereka mengerjakannya" (hadis riwayat Imam Muslim). Semoga rasa kebangsaan kita dipimpin oleh rasa keadilan.
----------
Dimuat di Republika Online 19 Nopember 2015
NASEHAT AL-GHAZALI UNTUK PELAJAR
Oleh:
Henri Shalahuddin, M.A.
(Peneliti INSISTS)

"Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiyat, demikian petuah masyhur guru Imam Syafii, Waqi. Ibnu Mas'ud r.a., salah satu Sahabat Nabi saw pernah berwasiat, bahwa hakekat ilmu itu bukanlah menumpuknya wawasan pengetahuan pada diri seseorang, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang bersemayam dalam hati. Kedudukan ilmu dalam Islam sangatlah penting. Rasulullah saw., bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi hingga semut dalam tanah, serta ikan di lautan benar-benar mendoakan bagi pengajar kebaikan". (HR. Tirmidzi).

Mengingat kedudukannya yang penting itu, maka menuntut ilmu adalah ibadah, memahaminya adalah wujud takut kepada Allah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan mengingatnya adalah tasbih. Dengan ilmu, manusia akan mengenal Allah dan menyembah-Nya. Dengan ilmu, mereka akan bertauhid dan memuja-Nya. Dengan ilmu, Allah meninggikan derajat segolongan manusia atas lainnya dan menjadikan mereka pelopor peradaban.

Oleh karena itu, sebelum menuntut ilmu, Imam al-Ghazali mengarahkan agar para pelajar membersihkan jiwanya dari akhlak tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah kalbu dan salah satu bentuk pendekatan batin kepada Allah. Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali dengan membersihkan diri dari hadas dan kotoran, demikian juga ibadah batin dan pembangunan kalbu dengan ilmu, akan selalu gagal jika berbagai perilaku buruk dan akhlak tercela tidak dibersihkan. Sebab kalbu yang sehat akan menjamin keselamatan manusia, sedangkan kalbu yang sakit akan menjerumuskannya pada kehancuran yang abadi. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah dengan mengikuti hawa nafsu. Sedangkan kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma'rifatullah), dan vitaminnya adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal).

Sebagai amalan ibadah, maka mencari ilmu harus didasari niat yang benar dan ditujukan untuk memperoleh manfaat di akherat. Sebab niat yang salah akan menyeret kedalam neraka, Rasulullah saw., bersabda: "Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR. Ibnu Majah).

Diawali dengan niat yang benar, maka bertambahlah kualitas hidayah Allah pada diri para ilmuwan. "Barang siapa bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia hanya semakin jauh dari Allah", demikian nasehat kaum bijak. Maka saat ditanya tentang fenomena kaum intelektual dan fuqaha yang berakhlak buruk, Imam al-Ghazali berkata: "Jika Anda mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakekat ilmu akherat, niscaya Anda akan paham bahwa yang sebenarnya menyebabkan ulama menyibukkan diri dengan ilmu itu bukan semata-mata karena mereka butuh ilmu itu, tapi karena mereka membutuhkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah".

Selanjutnya beliau menjelaskan makna nasehat kaum bijak pandai bahwa 'kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali harus diniatkan untuk Allah', berarti bahwa "Ilmu itu tidak mau membuka hakekat dirinya pada kami, namun yang sampai kepada kami hanyalah lafaz-lafaznya dan definisinya". (Ihya' 'Ulumiddin).

Ringkasnya, Imam al-Ghazali menekankan bahwa ilmu saja tanpa amal adalah junun (gila) dan amal saja tanpa ilmu adalah takabbur (sombong). Junun berarti berjuang berdasarkan tujuan yang salah. Sedangkan takabbur berarti tanpa memperdulikan aturan dan kaedahnya, meskipun tujuannya benar. Maka dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu; ilmu harus berdimensi iman; dan amal mesti berdasarkan ilmu. Inilah sejatinya konsep integritas pendidikan dalam Islam yang berbasis ta'dib. Ta'dib berarti proses pembentukan adab pada diri peserta didik. Maka dengan konsep pendidikan seperti ini, akan menghasilkan pelajar yang beradab, baik pada dirinya sendiri, lingkungannya, gurunya maupun pa
da Penciptanya. Sehingga terjadi korelasi antara aktivitas pendidikan, orientasi dan tujuannya.

Ketika seseorang mempelajari ilmu-ilmu kedokteran, kelautan, tehnik, komputer dan ilmu-ilmu fardhu kifayah lainnya, maka mereka tidak memfokuskan niatnya pada nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, politik, atau tujuan pragmatis sesaat lainnya. Tapi kesemuanya ini dipelajarinya dalam rangka meningkatkan keimanan dan bermuara pada pengabdian pada Sang Pencipta. Disorientasi pendidikan diawali dengan hilangnya integritas nilai-nilai ta'dib dalam pendidikan (sekularisasi). Sekularisasi dalam dunia pendidikan berjalan dengan dua hal: (a) menempatkan ilmu-ilmu fardhu 'ain yang dianggap tidak menghasilkan nilai ekonomi dalam skala prioritas terakhir, atau dihapus sama sekali. Sehingga mahasiswa kedokteran misalnya, tidak perlu dikenalkan pelajaran-pelajaran agama. (b) mengutamakan pencapaian-pencapaian formalitas akademik. Sehingga keberhasilan seorang pelajar hanya ditentukan dari hasil nilai ujian yang menjadi ukuran pencapaian ilmu dan keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.

Rusaknya dunia pendidikan terjadi ketika ilmu diletakkan secara salah sebagai sarana untuk mengejar syahwat duniawi. Padahal Ali bin Abi Talib r.a., telah mengingatkan: "Barang siapa yang kecenderungannya hanya pada apa yang masuk kedalam perutnya, maka nilainya tidak lebih baik dari apa yang keluar dari perutnya". Wallahu a'lam wa ahkam bis shawab. (***)