Historical Fact and Fiction
Penulis:
Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas
Sinopsis:
Selama puluhan tahun, Prof S.M.N. al-Attas sudah dikenal sebagai salah satu pendekar dalam sejarah Melayu. Sejak tahun 1980-an, bukunya, Islam and Secularism, sudah diterjemahkan dalam puluhan bahasa. Buku ini sudah menjelaskan proses Islamisasi di wilayah Nusantara. Bukunya yang lain, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4). Kedua buku ini sudah mengklarifikasi dan mengkritik sejumlah pendapat para orientalis tentang perkembangan Islam di Nusantara.
Kini, diusianya yang hampir menginjak 80 tahun, Prof al-Attas menerbitkan sebuah buku yang sangat penting tentang Islam dan Sejarah Melayu. Buku ini berjudul Historical Fact and Fiction. Buku ini sungguh luar biasa. Bisa dikatakan, Prof al-Attas membalik berbagai pandangan umum tentang sejarah Islam dan Melayu yang sudah dianggap mapan, sebagaimana yang selama ini diteorikan oleh sejarawan Barat dan lainnya. Bahkan, mungkin inilah satu bentuk interpretasi sejarah yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Dalam pengantarnya, Prof. al-Attas menyatakan: “My interpretation differs fundamentally from that which is generally accepted by historians of the Malay world. It is perhaps the first time that such an interpretation has ever been attempted.” (hal.xi).
Al-Attas, misalnya, berpendapat: “The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself.. Historians of the Archipelago have never considered language as an important source material for the study of history.” (hal. xvi).
Sebuah analisis menarik dilakukan al-Attas terhadap munculnya kata “kafur” dalam bahasa Arab dan “kapur” dalam bahasa Melayu. Ditambah dengan fakta-fakta sejarah di sekitar era Nabi Muhammad saw, serta cerita Hikayat Raja Pasai, al-Attas berpendapat, bahwa Islamisasi di wilayah Indonesia (diawali dari Pulau Sumatra) sudah langsung diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw. Hikayat Raja Pasai memang menyebutkan adanya perintah Nabi saw kepada sahabat-sahabat beliau, agar mereka menyebarkan Islam ke suatu tempat bernama “Samudra”.
Kata al-Attas: “The prophet was also a statesman and his knowledge of the region obtained from Arab seafarers who had been there would surely have been sufficiently obvious for him to urge the sending of missionaries there to convert the peoples of the region to Islam in order to secure Muslim economic domination as a world power. Unlike European powers that came much later for the same reason, the Muslim did not colonize, but convert. It is known in the Tang period (671) that Arab settlements ruled by an Arab King or prince (malik) already existed in Sumatra on the western coast of the island. The first proper Muslim kingdom in Sumatra was founded probably during the 8th and 9th centuries…” (hal. 3-4).
Banyak temuan-temuan dan analisis al-Attas dalam buku ini yang membalik pendapat para sejarawan Barat selama ini tentang sejarah perkembangan Islam di wilayah Melayu Nusantara. Dengan referensi yang kaya dan ketajaman analisisnya, pakar pemikiran Islam, saat peluncuran buku ini di UTM, 9 Setember 2011 lalu, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud menilai, bahwa dalam dunia Islam kontemporer, hanya dua orang sarjana yang benar-benar dapat dimartabatkan sebagai ahli Falsafah Sejarah. Pertama adalah Almarhum Malek Bennabi dari Algeria (meninggal 1973) dan kedua dalah Syed Muhamad Naquib al-Attas.
-----------------------------------------
Historical Fact and Fiction
Penulis:
Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Bahasa Inggris. Buku Import
Penerbit UTM, Malaysia
Harga: 980.000,-
Stock: 2 eks.
Lux, hardcover.
Kondisi: Baru
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997. 👇
Penulis:
Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas
Sinopsis:
Selama puluhan tahun, Prof S.M.N. al-Attas sudah dikenal sebagai salah satu pendekar dalam sejarah Melayu. Sejak tahun 1980-an, bukunya, Islam and Secularism, sudah diterjemahkan dalam puluhan bahasa. Buku ini sudah menjelaskan proses Islamisasi di wilayah Nusantara. Bukunya yang lain, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4). Kedua buku ini sudah mengklarifikasi dan mengkritik sejumlah pendapat para orientalis tentang perkembangan Islam di Nusantara.
Kini, diusianya yang hampir menginjak 80 tahun, Prof al-Attas menerbitkan sebuah buku yang sangat penting tentang Islam dan Sejarah Melayu. Buku ini berjudul Historical Fact and Fiction. Buku ini sungguh luar biasa. Bisa dikatakan, Prof al-Attas membalik berbagai pandangan umum tentang sejarah Islam dan Melayu yang sudah dianggap mapan, sebagaimana yang selama ini diteorikan oleh sejarawan Barat dan lainnya. Bahkan, mungkin inilah satu bentuk interpretasi sejarah yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Dalam pengantarnya, Prof. al-Attas menyatakan: “My interpretation differs fundamentally from that which is generally accepted by historians of the Malay world. It is perhaps the first time that such an interpretation has ever been attempted.” (hal.xi).
Al-Attas, misalnya, berpendapat: “The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself.. Historians of the Archipelago have never considered language as an important source material for the study of history.” (hal. xvi).
Sebuah analisis menarik dilakukan al-Attas terhadap munculnya kata “kafur” dalam bahasa Arab dan “kapur” dalam bahasa Melayu. Ditambah dengan fakta-fakta sejarah di sekitar era Nabi Muhammad saw, serta cerita Hikayat Raja Pasai, al-Attas berpendapat, bahwa Islamisasi di wilayah Indonesia (diawali dari Pulau Sumatra) sudah langsung diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw. Hikayat Raja Pasai memang menyebutkan adanya perintah Nabi saw kepada sahabat-sahabat beliau, agar mereka menyebarkan Islam ke suatu tempat bernama “Samudra”.
Kata al-Attas: “The prophet was also a statesman and his knowledge of the region obtained from Arab seafarers who had been there would surely have been sufficiently obvious for him to urge the sending of missionaries there to convert the peoples of the region to Islam in order to secure Muslim economic domination as a world power. Unlike European powers that came much later for the same reason, the Muslim did not colonize, but convert. It is known in the Tang period (671) that Arab settlements ruled by an Arab King or prince (malik) already existed in Sumatra on the western coast of the island. The first proper Muslim kingdom in Sumatra was founded probably during the 8th and 9th centuries…” (hal. 3-4).
Banyak temuan-temuan dan analisis al-Attas dalam buku ini yang membalik pendapat para sejarawan Barat selama ini tentang sejarah perkembangan Islam di wilayah Melayu Nusantara. Dengan referensi yang kaya dan ketajaman analisisnya, pakar pemikiran Islam, saat peluncuran buku ini di UTM, 9 Setember 2011 lalu, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud menilai, bahwa dalam dunia Islam kontemporer, hanya dua orang sarjana yang benar-benar dapat dimartabatkan sebagai ahli Falsafah Sejarah. Pertama adalah Almarhum Malek Bennabi dari Algeria (meninggal 1973) dan kedua dalah Syed Muhamad Naquib al-Attas.
-----------------------------------------
Historical Fact and Fiction
Penulis:
Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Bahasa Inggris. Buku Import
Penerbit UTM, Malaysia
Harga: 980.000,-
Stock: 2 eks.
Lux, hardcover.
Kondisi: Baru
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997. 👇
Muslimlah Daripada Liberal
Penulis: Adian Husaini
Sinopsis:
Inggris merupakan negeri liberal. Karya ini adalah kisah perjalanan seorang Adian Husaini selama di Inggris yang mengulas tentang kehidupan umat Muslim di sana.
Secara apik Adian Husaini menggambarkan kondisi umat di sana. Dalam balutan kata-kata. ia potret masjid-masjid yang bertumbuhan. Muslimin lndonesia yang berbaur dengan kaum Musliman dari penjuru dunia lainnya. para penduduk lokal yang berduyun-duyun masuk lslam. serta sebagian lslamofobia yang masih tersisa. Adian Husaini berhasil memotret itu semua.
--------------------------------------
Muslimlah Daripada Liberal
Penulis: Adian Husaini
Harga Rp. 65.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
Penulis: Adian Husaini
Sinopsis:
Inggris merupakan negeri liberal. Karya ini adalah kisah perjalanan seorang Adian Husaini selama di Inggris yang mengulas tentang kehidupan umat Muslim di sana.
Secara apik Adian Husaini menggambarkan kondisi umat di sana. Dalam balutan kata-kata. ia potret masjid-masjid yang bertumbuhan. Muslimin lndonesia yang berbaur dengan kaum Musliman dari penjuru dunia lainnya. para penduduk lokal yang berduyun-duyun masuk lslam. serta sebagian lslamofobia yang masih tersisa. Adian Husaini berhasil memotret itu semua.
--------------------------------------
Muslimlah Daripada Liberal
Penulis: Adian Husaini
Harga Rp. 65.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
ISLAM DAN SEKULARISME
Penulis Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Buku ini terdiri dari 5 Bab; Pertama, Latar Belakang Kristen Barat Masa Kini, Kedua, Pengertian Sekular-Sekularisasi-Sekulerisme, Ketiga, Islam Sebagai Faham Agama dan Asas Akhlak, Keempat, Dilema Muslim Kontemprer, dan Kelima, Dewesternisasi Ilmu yang dilanjutkan dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer sebagai antitesa dari Westernisasi Konsep-konsep Ilmu dari Barat.
Satu hal yang saya kagumi dari pemikiran dan perenungan yang mendalam dari Prof. Al-Attas adalah identifikasi masalah, pemetaan problem, metodologi, dan solusi alternatif bagi kebuntuan dan kesimpangsiuran (confusion) pemikiran Islam kontemporer, yang sistematis, kokoh dan konsisten. Al-Attas sanggup 'membaca' dan mengantisipasi dilema umat Islam yang kini baru dirasakan begitu kencang berhembus, sebelum ada seorang cendekiawan Islam pun yang memikirkannya, sejak 33 tahun silam. Tren yang berkembang saat itu, para cendekiawan muslim berlomba-lomba mengadopsi pemikiran sekularisme dan liberalisme, dan mengajukan justifikasinya dari dalil-dalil Islam. Ironis sekali! Namun, Al-Attas tidak tunduk kepada tren itu, ia justru memformulasikan jalan keluar atas dilema pemikiran Islam itu dengan matang dan ilmiah, berdiri tegak di atas pandangan dunia (worldview) Islam yang kokoh. Dengan demikian pemikiran Islam tidak perlu minder di hadapan konsep-konsep Barat, baik modern maupun postmodern, bahkan dapat menjadikan pemikiran Islam sebagai alternatif utama untuk mengatasi pelbagai dampak destruktif dari pemikiran Barat.
Al-Attas tak hanya canggih membaca unsur-unsur pembentuk kebudayaan Barat modern dengan implikasi epistemologisnya terhadap ilmu pengetahuan kontemporer, namun juga sangat brilian menganalisis konsep-konsep kunci seperti konsep agama, konsep wahyu dan konsep kitab suci, sehingga dengan memosisikannya dengan benar, maka umat Islam tak perlu mengalami proses sejarah yang dialami peradaban Barat modern dan postmodern yang dinamai Sekularisasi.
-Fahmi Salim-
------------------------------
ISLAM DAN SEKULARISME
Penulis Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Harga 139rb.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...👇
Penulis Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Buku ini terdiri dari 5 Bab; Pertama, Latar Belakang Kristen Barat Masa Kini, Kedua, Pengertian Sekular-Sekularisasi-Sekulerisme, Ketiga, Islam Sebagai Faham Agama dan Asas Akhlak, Keempat, Dilema Muslim Kontemprer, dan Kelima, Dewesternisasi Ilmu yang dilanjutkan dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer sebagai antitesa dari Westernisasi Konsep-konsep Ilmu dari Barat.
Satu hal yang saya kagumi dari pemikiran dan perenungan yang mendalam dari Prof. Al-Attas adalah identifikasi masalah, pemetaan problem, metodologi, dan solusi alternatif bagi kebuntuan dan kesimpangsiuran (confusion) pemikiran Islam kontemporer, yang sistematis, kokoh dan konsisten. Al-Attas sanggup 'membaca' dan mengantisipasi dilema umat Islam yang kini baru dirasakan begitu kencang berhembus, sebelum ada seorang cendekiawan Islam pun yang memikirkannya, sejak 33 tahun silam. Tren yang berkembang saat itu, para cendekiawan muslim berlomba-lomba mengadopsi pemikiran sekularisme dan liberalisme, dan mengajukan justifikasinya dari dalil-dalil Islam. Ironis sekali! Namun, Al-Attas tidak tunduk kepada tren itu, ia justru memformulasikan jalan keluar atas dilema pemikiran Islam itu dengan matang dan ilmiah, berdiri tegak di atas pandangan dunia (worldview) Islam yang kokoh. Dengan demikian pemikiran Islam tidak perlu minder di hadapan konsep-konsep Barat, baik modern maupun postmodern, bahkan dapat menjadikan pemikiran Islam sebagai alternatif utama untuk mengatasi pelbagai dampak destruktif dari pemikiran Barat.
Al-Attas tak hanya canggih membaca unsur-unsur pembentuk kebudayaan Barat modern dengan implikasi epistemologisnya terhadap ilmu pengetahuan kontemporer, namun juga sangat brilian menganalisis konsep-konsep kunci seperti konsep agama, konsep wahyu dan konsep kitab suci, sehingga dengan memosisikannya dengan benar, maka umat Islam tak perlu mengalami proses sejarah yang dialami peradaban Barat modern dan postmodern yang dinamai Sekularisasi.
-Fahmi Salim-
------------------------------
ISLAM DAN SEKULARISME
Penulis Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Harga 139rb.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...👇
Ukhuwwah Islamiyyah
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Memahami makna dan pelaksanaan persatuan Islam mesti merujuk kepada konsep din yang utuh. Artinya pandangan dikotomis dalam Islam, seperti dunia-akhirat, jiwa-raga, material-spiritual, obyektif-subyektif, juga tekstual-kontekstual dan lain sebagainya harus dihindari.
Model pemahaman yang dikotomis biasanya dilakukan oleh orientalis atau sekuleris, dan sudah barang tentu tidaklah menjamin pemahaman aspek yang lain apalagi keseluruhannya. Oleh sebab itu masalah persatuan umat harus diposisikan sebagai by-product dari proses ber-Islam dan harus dipahami dalam keseluruhan ke-Islaman, ke-Imanan dan ke-Ihsanan.
Oleh sebab itu aspek konseptual dalam ber-Islam harus secara fard ‘ain, sudah dipahami sebelum kita memahami konsep ‘persatuan’ umat Islam”. Jika tidak, kita akan terjerumus pada persoalan-persoalan furu’, persoalan teknikal, problem lokal dan hanya akan menghasilkan penyelesaian yang temporal dan parsial yang ujungnya adalah perselisihan.
Untuk dapat memahami esensi persatuan dalam Islam kita harus menggunakan terminologi yang tepat yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah. Karena setiap kata dalam al-Qur’an dan Sunnah memiliki dimensi yang luas yang sarat dengan nilai.
Kalau kita teliti al-Qur’an dengan seksama kita tidak akan mendapati kata-kata ‘persatuan’ atau ittihad. Karena kata-kata persatuan saja tidak memiliki nilai dan tujuan, artinya tidak ada kaitan langsung dengan Islam. Maka dari itu tidak terdapat perintah dalam al-Qur’an yang berbunyi ittahidu (bersatulah). Terminologi persatuan yang sarat dengan nilai itu dapat dirujuk pada ayat dibawah ini:
Dan berpeganglah (i’tasimu) kamu sekalian dengan dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai-cerai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan (allafa) antara hati kamu, lalu mejadikan kamu dengan nikmat Allah menjadi bersaudara, (ikhwana) dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran (3) : 103).
Pada ayat diatas kita dapati 3 kata kunci yang penting yaitu: i’tasimu, allafa dan ikhwana (ulfah, I’tisom dan ukhuwwah) yang kesemuanya merupakan suatu kesatuan proses.
‘Asoma artinya menjaga, memproteksi, mempertahankan. I’tasoma bi artinya menjaga agar tetap pada keadaan itu; mencari perlindungan, bertahan pada sesuatu (Hanswer, Arabic-English, Dictionary).
Tafsir dari kata-kata I’tasimu diatas ialah berpeganglah kamu pada kitab atau agamaNya (Dr. Muhammad Hasan al-Hamsi, al-Qur’an, Tafsir wa Bayan). Maka dari itu kata-kata I’tasoma atau I’tisom memiliki dimensi yang luas dan sarat dengan nilai, karena ia mengandung arti ber-Islam itu sendiri.
Kebalikan I’tisom (berpegang pada tali Allah) adalah tafarruq (berpecah belah). Dalam konteks sosial keagamaan kita makna ayat ini dapat dipahami dari 2 sisi: Pertama, Berarti bahwa agar tidak berpecah belah umat Islam harus menjaga, mempertahankan dan berpegang sekaligus pada Kitab dan Sunnah. Kedua, Ketika umat Islam telah berselisih atau berpecah maka penyelesaiannya adalah kembali kepada Kitab dan Sunnah Rasulullah.
Jika orang Islam telah ber-i’tisom maka selanjutnya Allah menjinakkan hati-hati mereka, sehingga dalam diri mereka timbul rasa kesamaan: Kesamaan din, aqidah dan syari’at. Dari kesamaan ini kemudian Allah menurunkan nikmatnya yaitu ukhuwwah atau persaudaraan. Ini dipertegas dalam al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” Dalam hadis juga dijelaskan bahwa: “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya”.
Dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan bahwa terminologi yang tepat untuk persatuan umat Islam adalah ukhuwwah yang asasnya adalah kesamaan dalam ber-i’tisom: kesamaan tempat kembali yaitu kitab dan sunnah, kesamaan tujuan mempertahankan agama Allah dan kesamaan segala sesuatu yang berkaitan dengan ber-islam itu sendiri.
Karena menggunakan istilah dari hubungan sedarah maka watak dasar u
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Memahami makna dan pelaksanaan persatuan Islam mesti merujuk kepada konsep din yang utuh. Artinya pandangan dikotomis dalam Islam, seperti dunia-akhirat, jiwa-raga, material-spiritual, obyektif-subyektif, juga tekstual-kontekstual dan lain sebagainya harus dihindari.
Model pemahaman yang dikotomis biasanya dilakukan oleh orientalis atau sekuleris, dan sudah barang tentu tidaklah menjamin pemahaman aspek yang lain apalagi keseluruhannya. Oleh sebab itu masalah persatuan umat harus diposisikan sebagai by-product dari proses ber-Islam dan harus dipahami dalam keseluruhan ke-Islaman, ke-Imanan dan ke-Ihsanan.
Oleh sebab itu aspek konseptual dalam ber-Islam harus secara fard ‘ain, sudah dipahami sebelum kita memahami konsep ‘persatuan’ umat Islam”. Jika tidak, kita akan terjerumus pada persoalan-persoalan furu’, persoalan teknikal, problem lokal dan hanya akan menghasilkan penyelesaian yang temporal dan parsial yang ujungnya adalah perselisihan.
Untuk dapat memahami esensi persatuan dalam Islam kita harus menggunakan terminologi yang tepat yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah. Karena setiap kata dalam al-Qur’an dan Sunnah memiliki dimensi yang luas yang sarat dengan nilai.
Kalau kita teliti al-Qur’an dengan seksama kita tidak akan mendapati kata-kata ‘persatuan’ atau ittihad. Karena kata-kata persatuan saja tidak memiliki nilai dan tujuan, artinya tidak ada kaitan langsung dengan Islam. Maka dari itu tidak terdapat perintah dalam al-Qur’an yang berbunyi ittahidu (bersatulah). Terminologi persatuan yang sarat dengan nilai itu dapat dirujuk pada ayat dibawah ini:
Dan berpeganglah (i’tasimu) kamu sekalian dengan dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai-cerai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan (allafa) antara hati kamu, lalu mejadikan kamu dengan nikmat Allah menjadi bersaudara, (ikhwana) dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran (3) : 103).
Pada ayat diatas kita dapati 3 kata kunci yang penting yaitu: i’tasimu, allafa dan ikhwana (ulfah, I’tisom dan ukhuwwah) yang kesemuanya merupakan suatu kesatuan proses.
‘Asoma artinya menjaga, memproteksi, mempertahankan. I’tasoma bi artinya menjaga agar tetap pada keadaan itu; mencari perlindungan, bertahan pada sesuatu (Hanswer, Arabic-English, Dictionary).
Tafsir dari kata-kata I’tasimu diatas ialah berpeganglah kamu pada kitab atau agamaNya (Dr. Muhammad Hasan al-Hamsi, al-Qur’an, Tafsir wa Bayan). Maka dari itu kata-kata I’tasoma atau I’tisom memiliki dimensi yang luas dan sarat dengan nilai, karena ia mengandung arti ber-Islam itu sendiri.
Kebalikan I’tisom (berpegang pada tali Allah) adalah tafarruq (berpecah belah). Dalam konteks sosial keagamaan kita makna ayat ini dapat dipahami dari 2 sisi: Pertama, Berarti bahwa agar tidak berpecah belah umat Islam harus menjaga, mempertahankan dan berpegang sekaligus pada Kitab dan Sunnah. Kedua, Ketika umat Islam telah berselisih atau berpecah maka penyelesaiannya adalah kembali kepada Kitab dan Sunnah Rasulullah.
Jika orang Islam telah ber-i’tisom maka selanjutnya Allah menjinakkan hati-hati mereka, sehingga dalam diri mereka timbul rasa kesamaan: Kesamaan din, aqidah dan syari’at. Dari kesamaan ini kemudian Allah menurunkan nikmatnya yaitu ukhuwwah atau persaudaraan. Ini dipertegas dalam al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” Dalam hadis juga dijelaskan bahwa: “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya”.
Dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan bahwa terminologi yang tepat untuk persatuan umat Islam adalah ukhuwwah yang asasnya adalah kesamaan dalam ber-i’tisom: kesamaan tempat kembali yaitu kitab dan sunnah, kesamaan tujuan mempertahankan agama Allah dan kesamaan segala sesuatu yang berkaitan dengan ber-islam itu sendiri.
Karena menggunakan istilah dari hubungan sedarah maka watak dasar u
khuwwah hampir sama dengan hubungan sedarah, seperti yang ditegaskan dalam hadis Nabi:
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang mukmin dari orang mukmin yang lain, darahnya, hartanya, kehormatannya dan prasangka dengan prasangka buruk. (Hadith Riwayat, al-Hakim dari Ibn Abbas dari Ibn Abbas)
Watak seseorang dalam melindungi nyawa, harta, marwah keluarganya serta sikap husnudzdzan adalah “watak asasi manusia”, dan jika ini dilakukan karena alasan kesamaan agama ia menjadi ukhuwwah. Bahkan eratnya hubungan ukhuwwah ini oleh nabi diumpamakan sebagai suatu badan atau bangunan. Sabdanya:
Seumpama saling kasih mengasihi, saling berlemah lembut, dan saling sayang menyayangi orang beriman (mu’min) itu laksana satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit niscaya membuat anngota tubuh lainnya merasa sakit, demam dan tidak dapat tidur semalaman. Orang mu’min bagi mu’min yang lain adalah seperti bangunan, yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (H.R. Bukhari dan Muslim )
Hadis diatas menunjukkan bahwa gambaran hubungan ukhuwwah diantara orang-orang beriman adalah benar-benar asasi dan alami. Allah tidak mengkaitkan perpecahan dengan persatuan, tapi dengan persaudaraan yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan.
Perintah-perintah untuk tidak berpecah belah selalu dihubungkan dengan keimanan dan ketakwaan: Sebab itu bertakwalah pada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu. (al-Anfal: 1, lihat juga an-Nisa: 59, Ali Imran: 103).
Jadi, tidak ber-ukhuwwah tidak saja berarti tidak Islami tapi juga tidak manusiawi. Dan ini menunjukkan bahwa konsep Islam benar-benar sesuai dengan fitrah manusia, yaitu makhluk yang mengakui keberadaan Tuhan. Kemudian dengan fitrah-nya itu Allah menyempurnakannya dengan din yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu ukhuwwah secara umum meliputi tiga dimensi penting:
Pertama, dimensi keimanan (I’tiqadiyyah) yaitu dasar, asas atau tali pengikat segala bentuk hubungan ukhuwwah baik antar individu maupun antar individu dan masyarakat. Asas itu adalah i’tisom yang telah disebutkan diatas, yaitu hubungan dengan Allah sang pencipta.
Hubungan ini dasarnya adalah iman. Disini setiap individu dituntut untuk memahami dan memiliki ilmu berukhuwwah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan seandainya kamu berselisih akan sesuatu, maka kembalilah pada Allah dan Rasulnya, jika beriman kepada Allah dan hari akhir (An-Nisa’ : 59).
Persahabatan yang tidak karena Allah dan tidak merujuk kepada perintahNya bukanlah ukhuwwah. Karena itu istilah ukhuwwah wathaniyyah tidak relevan dan keluar dari konteks ini. (Hadis “Mencintai negara adalah sebagian dari iman” adalah hadis Dhaif).
Kedua, dimensi individual (fardiyyah) yakni ukhuwwah dalam bentuk nyata hubungan antar individu di masyarakat. Didalamnya terdapat etika hubungan, sikap mental, tutur kata, solidaritas, belas kasih, timbang rasa dan lain-lain yang telah disebutkan di atas.
Keseluruhan bentuk hubungan individu ini tidak lepas dari asas dimensi keimanan. Karena itu Rasulullah menjelaskan hubungan antara iman dan sikap-sikap kita dalam ber-ukhuwwah dalam sabdanya: Yang paling kokoh pertalian iman ialah kasih sayang pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah (HR.Ahmad)
Ketiga, dimensi sosial (ijtima’iyyah), yakni ukhuwwah dalam bentuk hubungan individu dengan masyarakatnya. Disini kesalehan individual harus disempurnakan dengan kesalehan sosial.
Bersikap lemah lembut dengan tetangga, kawan, saudara dan lain-lain tidak cukup jika tidak disertai kepedulian terhadap urusan umat Islam secara keseluruhan. Sabdanya: Barangsiapa tidak perduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka. (H.R. al-Hakim dari Hudzaifah dan ath-Thabrani dari Abu Dzar).
Jadi esensi ber-ukhuwwah adalah menyeluruh (syamil) mengandung proses beriman dan bertakwa, berbelas kasih antara individu dan peduli terhadap keadaan umat secara keseluruhan.
Ketiga dimensi ini tidak dapat dipisah-pisahkan, ia adalah suatu kesatuan. Jika terjadi perselisihan dalam proses pengamalan ketiga dimensi ini, maka penyelesaian psikologisnya adalah denga
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang mukmin dari orang mukmin yang lain, darahnya, hartanya, kehormatannya dan prasangka dengan prasangka buruk. (Hadith Riwayat, al-Hakim dari Ibn Abbas dari Ibn Abbas)
Watak seseorang dalam melindungi nyawa, harta, marwah keluarganya serta sikap husnudzdzan adalah “watak asasi manusia”, dan jika ini dilakukan karena alasan kesamaan agama ia menjadi ukhuwwah. Bahkan eratnya hubungan ukhuwwah ini oleh nabi diumpamakan sebagai suatu badan atau bangunan. Sabdanya:
Seumpama saling kasih mengasihi, saling berlemah lembut, dan saling sayang menyayangi orang beriman (mu’min) itu laksana satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit niscaya membuat anngota tubuh lainnya merasa sakit, demam dan tidak dapat tidur semalaman. Orang mu’min bagi mu’min yang lain adalah seperti bangunan, yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (H.R. Bukhari dan Muslim )
Hadis diatas menunjukkan bahwa gambaran hubungan ukhuwwah diantara orang-orang beriman adalah benar-benar asasi dan alami. Allah tidak mengkaitkan perpecahan dengan persatuan, tapi dengan persaudaraan yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan.
Perintah-perintah untuk tidak berpecah belah selalu dihubungkan dengan keimanan dan ketakwaan: Sebab itu bertakwalah pada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu. (al-Anfal: 1, lihat juga an-Nisa: 59, Ali Imran: 103).
Jadi, tidak ber-ukhuwwah tidak saja berarti tidak Islami tapi juga tidak manusiawi. Dan ini menunjukkan bahwa konsep Islam benar-benar sesuai dengan fitrah manusia, yaitu makhluk yang mengakui keberadaan Tuhan. Kemudian dengan fitrah-nya itu Allah menyempurnakannya dengan din yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu ukhuwwah secara umum meliputi tiga dimensi penting:
Pertama, dimensi keimanan (I’tiqadiyyah) yaitu dasar, asas atau tali pengikat segala bentuk hubungan ukhuwwah baik antar individu maupun antar individu dan masyarakat. Asas itu adalah i’tisom yang telah disebutkan diatas, yaitu hubungan dengan Allah sang pencipta.
Hubungan ini dasarnya adalah iman. Disini setiap individu dituntut untuk memahami dan memiliki ilmu berukhuwwah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan seandainya kamu berselisih akan sesuatu, maka kembalilah pada Allah dan Rasulnya, jika beriman kepada Allah dan hari akhir (An-Nisa’ : 59).
Persahabatan yang tidak karena Allah dan tidak merujuk kepada perintahNya bukanlah ukhuwwah. Karena itu istilah ukhuwwah wathaniyyah tidak relevan dan keluar dari konteks ini. (Hadis “Mencintai negara adalah sebagian dari iman” adalah hadis Dhaif).
Kedua, dimensi individual (fardiyyah) yakni ukhuwwah dalam bentuk nyata hubungan antar individu di masyarakat. Didalamnya terdapat etika hubungan, sikap mental, tutur kata, solidaritas, belas kasih, timbang rasa dan lain-lain yang telah disebutkan di atas.
Keseluruhan bentuk hubungan individu ini tidak lepas dari asas dimensi keimanan. Karena itu Rasulullah menjelaskan hubungan antara iman dan sikap-sikap kita dalam ber-ukhuwwah dalam sabdanya: Yang paling kokoh pertalian iman ialah kasih sayang pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah (HR.Ahmad)
Ketiga, dimensi sosial (ijtima’iyyah), yakni ukhuwwah dalam bentuk hubungan individu dengan masyarakatnya. Disini kesalehan individual harus disempurnakan dengan kesalehan sosial.
Bersikap lemah lembut dengan tetangga, kawan, saudara dan lain-lain tidak cukup jika tidak disertai kepedulian terhadap urusan umat Islam secara keseluruhan. Sabdanya: Barangsiapa tidak perduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka. (H.R. al-Hakim dari Hudzaifah dan ath-Thabrani dari Abu Dzar).
Jadi esensi ber-ukhuwwah adalah menyeluruh (syamil) mengandung proses beriman dan bertakwa, berbelas kasih antara individu dan peduli terhadap keadaan umat secara keseluruhan.
Ketiga dimensi ini tidak dapat dipisah-pisahkan, ia adalah suatu kesatuan. Jika terjadi perselisihan dalam proses pengamalan ketiga dimensi ini, maka penyelesaian psikologisnya adalah denga
n apa yang disebut ulfah (saling menjinakkan).
Jika seorang muslim tidak mau dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya maka ia tidak dapat dapat berukhuwwah. Kemampuan dan kemauan sesorang untuk menjinakkan dan dijinakkan hatinya adalah tanda keimanannya.
Sebab dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya yang terlebih dekat kedudukannya kepadaKu ialah yang terbaik akhlaknya dari pada kamu, yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana mereka itu menjinakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka". (H.R. Tabrani dari Jabir). Lihat hadis-hadis senada dibawah ini :
Sabda Nabi yang lain: “Orang mukmin itu ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya. (HR. Ahmad dan Tabrani dari Abu Hurairah dan sahih).
Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan amat dimarahi oleh Allah diantara kamu ialah orang-orang yang menyebar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara. (H.R. Tabrani dari Abu Hurairah).
Maka sangat bertentangan dengan hadis ini jika seseorang itu dianggap dekat dengan Allah tapi tidak dapat dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya.
Pemahaman kita terhadap makna ukhuwwah belumlah menunjukkan kesatuan tekstual dan kontekstual. Para cendekiawan kita dan juga masyarakat luas, di satu sisi, masih terjebak pada analisa terhadap realitas konflik umat Islam, dan tanpa mencoba mencari letak kesalahannya dari asas dimana bangunan ukhuwwah itu berdiri.
Dan di sisi lain kita terjebak pada pemahaman nas (al-Qur’an dan Hadis) yang sempit dan sepihak yang terkadang disesuaikan dengan kepentingan golongan. Yang terakhir ini dalam al-Qur’an dicap sebagai: Yucharrifun al-kalima ‘an mawadi’ihi. (Mengalihkan kata-kata dari konteksnya).
Ukhuwwah antar sesama umat Islam di Indonesia masih tergolong lemah, hal ini disebabkan oleh kurang sempurnanya pemahaman masyarakat terhadap esensi ukhuwwah yang pokok utamanya adalah aqidah.
Dimensi keimanan atau aqidah dalam ber-ukhuwwah masih tertutupi oleh aspek syari’at-nya, sehingga yang lebih sering muncul adalah masalah furu’iyyah dan ini mengandung potensi konflik sangat besar.
Akibatnya dimensi individual dan sosial dalam berukhuwwah terpengaruh oleh aspek syariat tadi. Fiqih yang dipelajari dan dikembangkan adalah Fiqih dalam hubungannya dengan ahkam al-syakhsiyyah dan masih sedikit yang berhubungan dengan ahwal ijtima’iyyah atau siyayasah syar’iyyah dimana ukhuwwah Islamiyyah merupakan aspek terpentingnya. Apa yang kemudian nampak adalah bahwa kesalehan individual lebih diutamakan daripada kesalehan sosial, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan.
Kurangnya aktifitas silaturrahmi diantara pemimpin umat Islam memberi sumbangan terbesar kepada lemahnya ukhuwwah ini. Karena dalam masyarakat yang paternalistik ini sikap masyarakat adalah produk dari sikap pemimpinnya. Karena itu proses ulfah menjadi sulit dilaksanakan.
Maka dari itu yang sangat urgen dilaksanakan saat ini adalah memperbanyak frekuensi silaturrahmi antar pemimpin golongan, partai dan kelompok, dengan agenda saling memahami, mencari kesamaan dari perbedaan-perbedaan yang ada, dengan niat yang ikhlas, lillah.
Jika seorang muslim tidak mau dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya maka ia tidak dapat dapat berukhuwwah. Kemampuan dan kemauan sesorang untuk menjinakkan dan dijinakkan hatinya adalah tanda keimanannya.
Sebab dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya yang terlebih dekat kedudukannya kepadaKu ialah yang terbaik akhlaknya dari pada kamu, yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana mereka itu menjinakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka". (H.R. Tabrani dari Jabir). Lihat hadis-hadis senada dibawah ini :
Sabda Nabi yang lain: “Orang mukmin itu ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya. (HR. Ahmad dan Tabrani dari Abu Hurairah dan sahih).
Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan amat dimarahi oleh Allah diantara kamu ialah orang-orang yang menyebar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara. (H.R. Tabrani dari Abu Hurairah).
Maka sangat bertentangan dengan hadis ini jika seseorang itu dianggap dekat dengan Allah tapi tidak dapat dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya.
Pemahaman kita terhadap makna ukhuwwah belumlah menunjukkan kesatuan tekstual dan kontekstual. Para cendekiawan kita dan juga masyarakat luas, di satu sisi, masih terjebak pada analisa terhadap realitas konflik umat Islam, dan tanpa mencoba mencari letak kesalahannya dari asas dimana bangunan ukhuwwah itu berdiri.
Dan di sisi lain kita terjebak pada pemahaman nas (al-Qur’an dan Hadis) yang sempit dan sepihak yang terkadang disesuaikan dengan kepentingan golongan. Yang terakhir ini dalam al-Qur’an dicap sebagai: Yucharrifun al-kalima ‘an mawadi’ihi. (Mengalihkan kata-kata dari konteksnya).
Ukhuwwah antar sesama umat Islam di Indonesia masih tergolong lemah, hal ini disebabkan oleh kurang sempurnanya pemahaman masyarakat terhadap esensi ukhuwwah yang pokok utamanya adalah aqidah.
Dimensi keimanan atau aqidah dalam ber-ukhuwwah masih tertutupi oleh aspek syari’at-nya, sehingga yang lebih sering muncul adalah masalah furu’iyyah dan ini mengandung potensi konflik sangat besar.
Akibatnya dimensi individual dan sosial dalam berukhuwwah terpengaruh oleh aspek syariat tadi. Fiqih yang dipelajari dan dikembangkan adalah Fiqih dalam hubungannya dengan ahkam al-syakhsiyyah dan masih sedikit yang berhubungan dengan ahwal ijtima’iyyah atau siyayasah syar’iyyah dimana ukhuwwah Islamiyyah merupakan aspek terpentingnya. Apa yang kemudian nampak adalah bahwa kesalehan individual lebih diutamakan daripada kesalehan sosial, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan.
Kurangnya aktifitas silaturrahmi diantara pemimpin umat Islam memberi sumbangan terbesar kepada lemahnya ukhuwwah ini. Karena dalam masyarakat yang paternalistik ini sikap masyarakat adalah produk dari sikap pemimpinnya. Karena itu proses ulfah menjadi sulit dilaksanakan.
Maka dari itu yang sangat urgen dilaksanakan saat ini adalah memperbanyak frekuensi silaturrahmi antar pemimpin golongan, partai dan kelompok, dengan agenda saling memahami, mencari kesamaan dari perbedaan-perbedaan yang ada, dengan niat yang ikhlas, lillah.
AGAR PARTAI ISLAM MENANG
Oleh: Dr. Adian Husaini
JUMAT (07/03/2014), usai khutbah Jumat di sebuah Masjid di kawasan Cibubur, seorang anak muda mendekati saya, dan bertanya, “Ustad, apakah benar ikut dalam pemilu ini haram hukumnya. Bahkan, ada yang mengatakan, ikut pemilu itu hukumnya kufur, karena berarti terlibat dalam demokrasi, yang merupakan sistem kufur?”
Berulang kali pertanyaan seperti ini saya terima. Benarkah seperti itu? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita ikuti dialog fiktif antara guru dan murid berikut ini. Mudah-mudahan dialog ini bisa kita ambil hikmahnya. Silakan mengikutinya.
Murid: Guru, saya dengar dari berita-berita, partai Islam diramalkan akan kalah dalam Pemilu 2014, bahkan mungkin akan semakin kecil perolehan suaranya. Apa benar begitu, Guru?
Guru: Baik kita sepakati dulu definisi partai Islam adalah partai yang berasaskan Islam. Memang, kalau hanya mendasarkan pada pemberitaan media massa pada umumnya, nasib partai-partai Islam seolah-olah kurang menggembirakan. Suara mereka kalah jauh dibandingkan dengan partai-partai sekuler. Banyak sebab yang diungkapkan. Kalau tidak ada perubahan yang signifikan dalam pembangunan citra partai Islam di tengah masyarakat – entah bagaimana caranya – bukan tidak mungkin perkiraan suara partai-partai Islam itu akan menjadi kenyataan. Dan nanti, akan dikampayekan, “ Lihat tuh… partai Islam sudah tidak laku! Masyarakat sudah lebih memilih partai sekuler!”
Murid: Lalu, apa yang harus dilakukan oleh partai Islam, Guru, agar selamat?
Guru: Saya mengusulkan, sebagai bagian taushiyah sesama Muslim, partai Islam perlu melakukan terobosan besar, tetapi semua itu tetap dilakukan dalam batas-batas etika Islam. Sebab, bagi Muslim, menjadi anggota legislatif itu bukan tujuan utama dan bukan segala-galanya. Saya minta maaf, menurut saya, kurang patut membuat iklan politik dengan bintang yang mengumbar aurat. Tujuan untuk meraih suara dari kalangan tertentu, menurut hemat saya, tidak harus dilakukan dengan cara menampilkan wakil dari kalangan tersebut. Saya paham, salah satu “ironi” dalam demokrasi, adalah tidak adanya penilaian kualitas suara. Yang dinilai hanya kuantitas. Suara kyai sama nilainya dengan suara penjahat. Suara pelacur sama hitungannya dengan suara wanita shalihah. Meskipun begitu, jika kita ingin menarik suara para pelacur tidak sepatutnya menampilkan sosok pelacur aktif sebagai bintang iklan partai Islam. Menurut saya, dan saya yakin, semua aktivis partai Islam sepakat, bahwa keridhaan Allah lebih penting ketimbang jumlah suara.
Murid: Guru, kalau partai Islam tidak dengan tegas menyuarakan Islam, apa masih perlu didukung?
Guru: Mendukung itu banyak bentuknya. Jika kita rajin memberikan taushiyah kepada tokoh-tokoh partai Islam, itu juga suatu dukungan. Begitu juga dengan dukungan doa. Dalam kaitan pemilu, pilihan kita hanya dua saja, ikut pemilu atau tidak. Jika ikut pemilu, maka kita harus memilih. Kita harus memilih yang ada; bukan yang kita inginkan keberadaannya. Nanti, kalau ada pilihan capres-cawapres, kita juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mungkin saja semua calonnya tidak ideal. Misalnya, calon yang satu tidak rajin solat, tetapi memiliki pandangan positif terhadap aspirasi Islam. Calon yang lain, kelihatan cukup rajin shalat, tetapi dikelilingi orang-orang yang sangat tidak aspiratif terhadap cita-cita Islam. Calon yang lain, rajin shalat, tidak korup, tetapi sangat lemah kemampuan intelektual dan leadershipnya sehingga peluang terpilih sangat kecil.
Murid: Kalau seperti itu, siapa yang harus didukung, Guru?
Guru: Sebenarnya, di sinilah tugas partai Islam untuk berjuang menampilkan calon-calon legislatif atau calon presiden yang ideal, sehingga laku dijual di tengah masyarakat. Calon seperti itu perlu disiapkan jauh-jauh sebelumnya. Saya yakin, masih ada tokoh yang layak dicalonkan, meskipun mungkin sekarang belum kelihatan. Dalam hal ini, perlu dipadukan aspek pragmatis dan idealis. Menurut saya, sudah saatnya partai Islam berani untuk mencalonkan sendiri calon presidennya. Pilih orang yang betul-betul mendekati
Oleh: Dr. Adian Husaini
JUMAT (07/03/2014), usai khutbah Jumat di sebuah Masjid di kawasan Cibubur, seorang anak muda mendekati saya, dan bertanya, “Ustad, apakah benar ikut dalam pemilu ini haram hukumnya. Bahkan, ada yang mengatakan, ikut pemilu itu hukumnya kufur, karena berarti terlibat dalam demokrasi, yang merupakan sistem kufur?”
Berulang kali pertanyaan seperti ini saya terima. Benarkah seperti itu? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita ikuti dialog fiktif antara guru dan murid berikut ini. Mudah-mudahan dialog ini bisa kita ambil hikmahnya. Silakan mengikutinya.
Murid: Guru, saya dengar dari berita-berita, partai Islam diramalkan akan kalah dalam Pemilu 2014, bahkan mungkin akan semakin kecil perolehan suaranya. Apa benar begitu, Guru?
Guru: Baik kita sepakati dulu definisi partai Islam adalah partai yang berasaskan Islam. Memang, kalau hanya mendasarkan pada pemberitaan media massa pada umumnya, nasib partai-partai Islam seolah-olah kurang menggembirakan. Suara mereka kalah jauh dibandingkan dengan partai-partai sekuler. Banyak sebab yang diungkapkan. Kalau tidak ada perubahan yang signifikan dalam pembangunan citra partai Islam di tengah masyarakat – entah bagaimana caranya – bukan tidak mungkin perkiraan suara partai-partai Islam itu akan menjadi kenyataan. Dan nanti, akan dikampayekan, “ Lihat tuh… partai Islam sudah tidak laku! Masyarakat sudah lebih memilih partai sekuler!”
Murid: Lalu, apa yang harus dilakukan oleh partai Islam, Guru, agar selamat?
Guru: Saya mengusulkan, sebagai bagian taushiyah sesama Muslim, partai Islam perlu melakukan terobosan besar, tetapi semua itu tetap dilakukan dalam batas-batas etika Islam. Sebab, bagi Muslim, menjadi anggota legislatif itu bukan tujuan utama dan bukan segala-galanya. Saya minta maaf, menurut saya, kurang patut membuat iklan politik dengan bintang yang mengumbar aurat. Tujuan untuk meraih suara dari kalangan tertentu, menurut hemat saya, tidak harus dilakukan dengan cara menampilkan wakil dari kalangan tersebut. Saya paham, salah satu “ironi” dalam demokrasi, adalah tidak adanya penilaian kualitas suara. Yang dinilai hanya kuantitas. Suara kyai sama nilainya dengan suara penjahat. Suara pelacur sama hitungannya dengan suara wanita shalihah. Meskipun begitu, jika kita ingin menarik suara para pelacur tidak sepatutnya menampilkan sosok pelacur aktif sebagai bintang iklan partai Islam. Menurut saya, dan saya yakin, semua aktivis partai Islam sepakat, bahwa keridhaan Allah lebih penting ketimbang jumlah suara.
Murid: Guru, kalau partai Islam tidak dengan tegas menyuarakan Islam, apa masih perlu didukung?
Guru: Mendukung itu banyak bentuknya. Jika kita rajin memberikan taushiyah kepada tokoh-tokoh partai Islam, itu juga suatu dukungan. Begitu juga dengan dukungan doa. Dalam kaitan pemilu, pilihan kita hanya dua saja, ikut pemilu atau tidak. Jika ikut pemilu, maka kita harus memilih. Kita harus memilih yang ada; bukan yang kita inginkan keberadaannya. Nanti, kalau ada pilihan capres-cawapres, kita juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mungkin saja semua calonnya tidak ideal. Misalnya, calon yang satu tidak rajin solat, tetapi memiliki pandangan positif terhadap aspirasi Islam. Calon yang lain, kelihatan cukup rajin shalat, tetapi dikelilingi orang-orang yang sangat tidak aspiratif terhadap cita-cita Islam. Calon yang lain, rajin shalat, tidak korup, tetapi sangat lemah kemampuan intelektual dan leadershipnya sehingga peluang terpilih sangat kecil.
Murid: Kalau seperti itu, siapa yang harus didukung, Guru?
Guru: Sebenarnya, di sinilah tugas partai Islam untuk berjuang menampilkan calon-calon legislatif atau calon presiden yang ideal, sehingga laku dijual di tengah masyarakat. Calon seperti itu perlu disiapkan jauh-jauh sebelumnya. Saya yakin, masih ada tokoh yang layak dicalonkan, meskipun mungkin sekarang belum kelihatan. Dalam hal ini, perlu dipadukan aspek pragmatis dan idealis. Menurut saya, sudah saatnya partai Islam berani untuk mencalonkan sendiri calon presidennya. Pilih orang yang betul-betul mendekati
kriteria pemimpin yang ideal dalam Islam. Bukan hanya karena tampan, kaya, atau populer. Ini semua perlu persiapan, perlu perencanaan, perhitungan, kesungguhan, dan yang terpenting, keyakinan akan kemenangan yang diraih dengan pertolongan Allah. Di partai-partai Islam sekarang, banyak orang-orang pintar, dan jika berpikir sunguh-sungguh, insyaAllah mampu mencari rumusan strategi yang baik.
Murid: Guru, saya sering mendengar sekarang, perjuangan melalui sistem demokrasi, lewat parlemen tidak membuahkan hasil. Bahkan, FIS di Aljazair dan juga Al Ikhwan al Muslimun di Mesir, setelah memenangkan Pemilu, akhirnya belum berhasil juga?
Guru: Kalau kita menilai sesuatu, harus dengan standar yang jelas. Apa yang dimaksud dengan “belum berhasil”? Apakah kalau belum berhasil meraih kekuasaan yang sempurna, lalu berarti perjuangan itu tidak ada hasilnya sama sekali? Banyak perjuangan para Nabi yang akhirnya berujung pada kekalahan melawan penguasa zalim, seperti Nabi Ibrahim. Apakah kita mengatakan, dengan begitu, bahwa perjuangan Nabi Ibrahim tidak ada hasilnya dan sia-sia? Tentu tidak! Ada juga gerakan-gerakan Islam yang berjuang tidak lewat pemilu dan mencitakan berdirinya negara Islam (khilafah Islamiyah), tapi sudah puluhan tahun belum juga terwujud khilafah tersebut, apakah lalu dikatakan, perjuangan mereka tidak ada hasilnya sama sekali alias sia-sia juga?
Di sinilah perlunya kita memahami masalah secara mendalam, meneliti secara hati-hati, sebelum menjatuhkan vonis, bahwa perjuangan tersebut adalah sia-sia atau bathil. Sebab, kadangkala yang kita nilai itu adalah orang-orang bahkan tokoh dan ulama yang juga bersungguh-sungguh dalam menegakkan cita-cita Islam. Bahkan, mungkin apa yang kita kerjakan sekarang ini, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. Lahum a’maaluhum, wa-lanaa a’maalunaa. Bagi mereka amal mereka, dan bagi kita amal kita sendiri.
Murid: Guru, partai-partai Islam itu kenapa sulit bersatu? Guru pernah bilang, mereka sedang dikeroyok untuk dimusnahkan?
Guru: Sebenarnya, yang berpecah belah itu bukan hanya partai Islam. Partai-partai sekuler juga terpecah belah. Inilah dunia manusia. Kita tidak bisa menemukan sosok atau kelompok ideal yang 100 persen sempurna. Pasti ada kekurangan dan kelemahannya. Betapa pun kondisinya, yang tetap perlu dijaga adalah silaturrahim-nya. Tapi, itu bukan berarti membenarkan perpecahan dalam Islam.
Sebab, jelas sekali, dalam QS Ali Imran:103, kita diperintahkan untuk berpegang pada “ikatan Allah” dan jangan berpecah belah, wa-laa tatafarraquu! Lebih jelas, dalam QS ash-Shaff: 4, bahwa Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi, laksana bangunan yang kokoh. Tentu, mafhum-mukhalafah-nya, Allah tidak cinta kepada kita, jika kita berjuang di Jalan Allah, tidak dalam barisan yang rapi; apalagi saling bermusuhan satu sama lain, saling jegal, saling caci, saling mengintai kelemahan saudara sendiri; yang lebih celaka, jika bersekutu dengan musuh untuk memerangi saudara sendiri. Jadi, berjuang di jalan Allah saja tidak cukup. Berjuang harus dalam barisan yang rapi; dalam ikatan yang kokoh. Lebih parah lagi, jika tidak berjuang; atau berjuang tetapi tidak berjuang di jalan Allah, tetapi di jalan thaghut atau jalan setan. Mari kita introspeksi, apakah kita berjuang di jalan Allah, karena Allah, untuk memperjuangkan kebenaran, demi tegaknya kalimah Allah; atau berjuang untuk kebanggaan diri sendiri atau lebih untuk kebanggaan kelompok!?
Murid: Guru, saya sering mendengar sekarang, perjuangan melalui sistem demokrasi, lewat parlemen tidak membuahkan hasil. Bahkan, FIS di Aljazair dan juga Al Ikhwan al Muslimun di Mesir, setelah memenangkan Pemilu, akhirnya belum berhasil juga?
Guru: Kalau kita menilai sesuatu, harus dengan standar yang jelas. Apa yang dimaksud dengan “belum berhasil”? Apakah kalau belum berhasil meraih kekuasaan yang sempurna, lalu berarti perjuangan itu tidak ada hasilnya sama sekali? Banyak perjuangan para Nabi yang akhirnya berujung pada kekalahan melawan penguasa zalim, seperti Nabi Ibrahim. Apakah kita mengatakan, dengan begitu, bahwa perjuangan Nabi Ibrahim tidak ada hasilnya dan sia-sia? Tentu tidak! Ada juga gerakan-gerakan Islam yang berjuang tidak lewat pemilu dan mencitakan berdirinya negara Islam (khilafah Islamiyah), tapi sudah puluhan tahun belum juga terwujud khilafah tersebut, apakah lalu dikatakan, perjuangan mereka tidak ada hasilnya sama sekali alias sia-sia juga?
Di sinilah perlunya kita memahami masalah secara mendalam, meneliti secara hati-hati, sebelum menjatuhkan vonis, bahwa perjuangan tersebut adalah sia-sia atau bathil. Sebab, kadangkala yang kita nilai itu adalah orang-orang bahkan tokoh dan ulama yang juga bersungguh-sungguh dalam menegakkan cita-cita Islam. Bahkan, mungkin apa yang kita kerjakan sekarang ini, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. Lahum a’maaluhum, wa-lanaa a’maalunaa. Bagi mereka amal mereka, dan bagi kita amal kita sendiri.
Murid: Guru, partai-partai Islam itu kenapa sulit bersatu? Guru pernah bilang, mereka sedang dikeroyok untuk dimusnahkan?
Guru: Sebenarnya, yang berpecah belah itu bukan hanya partai Islam. Partai-partai sekuler juga terpecah belah. Inilah dunia manusia. Kita tidak bisa menemukan sosok atau kelompok ideal yang 100 persen sempurna. Pasti ada kekurangan dan kelemahannya. Betapa pun kondisinya, yang tetap perlu dijaga adalah silaturrahim-nya. Tapi, itu bukan berarti membenarkan perpecahan dalam Islam.
Sebab, jelas sekali, dalam QS Ali Imran:103, kita diperintahkan untuk berpegang pada “ikatan Allah” dan jangan berpecah belah, wa-laa tatafarraquu! Lebih jelas, dalam QS ash-Shaff: 4, bahwa Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi, laksana bangunan yang kokoh. Tentu, mafhum-mukhalafah-nya, Allah tidak cinta kepada kita, jika kita berjuang di Jalan Allah, tidak dalam barisan yang rapi; apalagi saling bermusuhan satu sama lain, saling jegal, saling caci, saling mengintai kelemahan saudara sendiri; yang lebih celaka, jika bersekutu dengan musuh untuk memerangi saudara sendiri. Jadi, berjuang di jalan Allah saja tidak cukup. Berjuang harus dalam barisan yang rapi; dalam ikatan yang kokoh. Lebih parah lagi, jika tidak berjuang; atau berjuang tetapi tidak berjuang di jalan Allah, tetapi di jalan thaghut atau jalan setan. Mari kita introspeksi, apakah kita berjuang di jalan Allah, karena Allah, untuk memperjuangkan kebenaran, demi tegaknya kalimah Allah; atau berjuang untuk kebanggaan diri sendiri atau lebih untuk kebanggaan kelompok!?
AL-AHKAM AS-SULTHANIYAH
dan Pemikiran Kenegaraan dalam Islam
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam
Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M), yang nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Asy-Syafii. Kitab ini menunjukkan ketinggian peradaban Islam yang dibangun diatas dasar ilmu-ilmu Islam (ulumuddin). Di zaman ketika Eropa masih dalam zaman kegelapan (sekitar 500-1500 M), kaum Muslim telah menghasilkan karya-karya yang gemilang dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam ilmu politik, dengan terbitnya buku karya Imam al-Mawardi ini.
Dan ini tidaklah mengherankan, sebab, Islam bukan hanya wujud dalam bentuk ajaran-ajaran spiritual keagamaan, tetapi Islam juga wujud dalam bentuk peradaban yang mencakup berbagai sistem kehidupan, baik sistem politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Islam juga satu-satunya agama yang memberikan keteladanan yang tinggi dalam bidang politik dan pemerintahan. Islam bukan hanya membangun aspek duniawi dalam bentuk peradaban materi, tetapi tujuan Islam yang juga diamanahkan kepada para penguasanya adalah membangun manusia-manusia Muslim yang unggul. Prestasi Islam dalam mencetak pemimpin yang unggul ini belum terlampaui oleh peradaban lain di muka bumi. Islam pernah melahirkan penguasa-penguasa yang luar biasa yang bergelimang dengan kekuasaan dan harta benda, tetapi hatinya sama sekali tidak tertakluk pada dunia. Adakah pemimpin dunia dari peradaban lain yang pernah mencapai prestasi Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz, dalam bidang pemerintahan?
Sebagai contoh, mantan biarawati Katolik, Karen Armstrong memuji Umar Ibn Khattab saat menaklukkan Jerusalem (636 M). Secara tegas Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa sebelumnya. Ia mencatat: Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambilalihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” (Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228).
Pelopor Ilmu Kenegaraan
Umat Islam adalah umat pertama yang menata pemerintahan dengan cara-cara administrasi tertulis yang sangat jelas. Bahkan, Piagam Madinah adalah merupakan Konstitusi tertulis pertama di dunia. Dr. Muhammad Hamidullah, dalam bukunya The Prophets Establishing a State and His Succession (Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1988), menempatkan satu bab berjudul “The First Written-Constitution in the World untuk menyebut Piagam Madinah. Jadi, sebelum Rasulullah saw, meskipun banyak pemikir yang membicarakan tentang masalah politik dan kenegaraan, tetapi belum ada satu pun negara yang memiliki Konstitusi tertulis seperti negara Madinah.
Jauh sebelum ilmu politik internasional berkembang di Barat, ulama-ulama Islam juga telah melahirkan karya-karya besar dalam bidang ini. Salah satu yang terkenal, misalnya, ialah Kitab al-Siyar al-Kabir karya Imam Syaibani (w. 804). Kitab ini, pada tahun 1965, diterjemahkan oleh Prof. Majid Khadduri, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Islamic Law of Nations (Baltimore: The John Hopkins Press, 1966). Kepeloporan Syaibani dalam bidang
dan Pemikiran Kenegaraan dalam Islam
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam
Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M), yang nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Asy-Syafii. Kitab ini menunjukkan ketinggian peradaban Islam yang dibangun diatas dasar ilmu-ilmu Islam (ulumuddin). Di zaman ketika Eropa masih dalam zaman kegelapan (sekitar 500-1500 M), kaum Muslim telah menghasilkan karya-karya yang gemilang dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam ilmu politik, dengan terbitnya buku karya Imam al-Mawardi ini.
Dan ini tidaklah mengherankan, sebab, Islam bukan hanya wujud dalam bentuk ajaran-ajaran spiritual keagamaan, tetapi Islam juga wujud dalam bentuk peradaban yang mencakup berbagai sistem kehidupan, baik sistem politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Islam juga satu-satunya agama yang memberikan keteladanan yang tinggi dalam bidang politik dan pemerintahan. Islam bukan hanya membangun aspek duniawi dalam bentuk peradaban materi, tetapi tujuan Islam yang juga diamanahkan kepada para penguasanya adalah membangun manusia-manusia Muslim yang unggul. Prestasi Islam dalam mencetak pemimpin yang unggul ini belum terlampaui oleh peradaban lain di muka bumi. Islam pernah melahirkan penguasa-penguasa yang luar biasa yang bergelimang dengan kekuasaan dan harta benda, tetapi hatinya sama sekali tidak tertakluk pada dunia. Adakah pemimpin dunia dari peradaban lain yang pernah mencapai prestasi Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz, dalam bidang pemerintahan?
Sebagai contoh, mantan biarawati Katolik, Karen Armstrong memuji Umar Ibn Khattab saat menaklukkan Jerusalem (636 M). Secara tegas Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa sebelumnya. Ia mencatat: Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambilalihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” (Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228).
Pelopor Ilmu Kenegaraan
Umat Islam adalah umat pertama yang menata pemerintahan dengan cara-cara administrasi tertulis yang sangat jelas. Bahkan, Piagam Madinah adalah merupakan Konstitusi tertulis pertama di dunia. Dr. Muhammad Hamidullah, dalam bukunya The Prophets Establishing a State and His Succession (Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1988), menempatkan satu bab berjudul “The First Written-Constitution in the World untuk menyebut Piagam Madinah. Jadi, sebelum Rasulullah saw, meskipun banyak pemikir yang membicarakan tentang masalah politik dan kenegaraan, tetapi belum ada satu pun negara yang memiliki Konstitusi tertulis seperti negara Madinah.
Jauh sebelum ilmu politik internasional berkembang di Barat, ulama-ulama Islam juga telah melahirkan karya-karya besar dalam bidang ini. Salah satu yang terkenal, misalnya, ialah Kitab al-Siyar al-Kabir karya Imam Syaibani (w. 804). Kitab ini, pada tahun 1965, diterjemahkan oleh Prof. Majid Khadduri, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Islamic Law of Nations (Baltimore: The John Hopkins Press, 1966). Kepeloporan Syaibani dalam bidang
ilmu hubungan internasional jauh melampaui ilmuwan Hugo Grotius (m. 1645) yang dianggap sebagai peletak dasar hukum internasional saat ini. Tetapi, meskipun demikian, bisa ditanyakan kepada para mahasiswa kajian hubungan internasional di banyak universitas Islam, apakah mereka mengenal nama Imam Syaibani atau tidak.
Ketika mempelajari ilmu pengetahuan di jurusannya, mahasiswa diperkenalkan dengan asal-asul keilmuan dalam perspektif Barat, yang biasanya dimulai dengan pemikiran para Filosof Yunani dan langsung meloncat ke pemikiran para ilmuwan Barat abad modern. Didang bidang ilmu politik, misalnya, mahasiswa diperkenalkan dengan sejarah pemikiran politik, mulai pemikiran politik Aristoteles, Plato, dan langsung meloncat ke pemikir-pemikir politik Eropa abad modern. Sebagai misal, dalam buku World Masterpieces (New York: WW Norton&Company Inc, 1956), yang menghimpun karya-karya besar ilmuwan dunia sepanjang sejarah, sama sekali tidak dijumpai karya-karya para ilmuwan Muslim. Dalam bidang politik, yang dianggap pemikir besar adalah Niccolo Machiavelli. Hal serupa bisa dijumpai juga pada buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (Victoria, The Cranlana Program, 2002).
Tahun 1911, orientalis Belanda Snouck Hurgronje menerbitkan bukunya Nederland en de Islam, yang berisi pemikiran dan strategi westernisasi umat Islam: (1) Dalam bidang yang murni agama, pemerintah dan pejabat-pejabatnya harus menjamin dan memelihara kebebasan mutlak, (2) Dalam bidang politik, kebebasan itu harus dibatasi untuk kepentingan bersama, (3) Dalam bidang hukum Islam, pemerintah harus menjauhi intervensi yang dipaksakan, sekalipun harus mendorong ke arah proses evolusi hukum sebanyak mungkin, (4) Garis-garis kebijaksanaan yang kurang lebih negatif ini harus menuju ke arah tujuan yang positif, yaitu kemajuan orang-orang Islam yang harus dibebaskan dari beberapa peninggalnan ajaran abad pertengahan yang tidak berguna yang menyeret mereka hingga demikian lamanya agar supaya dengan jalan ini dengan perantaraan pendidikan dan pengajaran dapat memperoleh kesempatan asosiasi kultural dengan kebudayaan Barat. (Dikutip dari: Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 32.
Al-Ahkam al-Sulthaniyah
Dalam situasi seperti ini, maka penelaahan buku-buku karya ulama Islam, seperti buku al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi, sangatlah penting dan berharga. Buku ini mengandung untaian pemikiran politik Islam yang sangat kaya; mengatur berbagai aspek tata cara pengelolaan pemerintahan. Khazanah Islam seperti ini sebagaimana dengan khazanah keilmuan Islam lainnya kini dianggap tidak penting, bahkan dianggap tidak bernilai ilmiah, sehingga sama sekali tidak diperkenalkan kepada para siswa dan mahasiswa jurusan ilmu politik. Maka, jangan heran, jika banyak sekali sarjana ilmu politik yang sama buta sama sekali dengan khazanah politik Islam. Bahkan, mereka tidak merasa perlu tahu, dan menganggap konsep-konsep politik Islam sudah ketinggalan zaman dan tidak perlu dikaji atau ditengok lagi.
Sebagai contoh dalam pemikiran tentang proses pemilihan kepala negara, para elite politik Muslim Indonesia, sepertinya enggan menggali khazanah klasik pemikiran al-Mawardi. Hampir semua terlena dalam euforia demokrasi dan pemilihan langsung kepala daerah. Bahwa pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) adalah jalan terbaik untuk memilih kepala daerah. Padahal, proses pemilihan bukanlah substansi penting. Yang terpenting adalah syarat-syarat kepala negara atau kepala daerah yang terpenuhi, sesuai dengan ajaran Islam. Misal, tentang pengangkatan Imam (Khalifah), Al-Mawardi menyebutkan bahwa jabatan imamah dianggap sah dengan dua cara: (1) dengan pemilihan oleh ahlul halli wal aqdi (2) penunjukan oleh khalifah sebelumnya. Al-Mawardi menjelaskan dengan sangat detail bagaimana prosedur pemilihan khalifah oleh ahlul halli wal aqdi. Berbagai pendapat ulama ditampilkan dalam bukunya. Cara kedua, dengan cara penunjukan oleh khalifah sebelumnya, menurut al-Mawardi, juga dibenarkan oleh syariat Islam.
Bagi pemuja paham de
Ketika mempelajari ilmu pengetahuan di jurusannya, mahasiswa diperkenalkan dengan asal-asul keilmuan dalam perspektif Barat, yang biasanya dimulai dengan pemikiran para Filosof Yunani dan langsung meloncat ke pemikiran para ilmuwan Barat abad modern. Didang bidang ilmu politik, misalnya, mahasiswa diperkenalkan dengan sejarah pemikiran politik, mulai pemikiran politik Aristoteles, Plato, dan langsung meloncat ke pemikir-pemikir politik Eropa abad modern. Sebagai misal, dalam buku World Masterpieces (New York: WW Norton&Company Inc, 1956), yang menghimpun karya-karya besar ilmuwan dunia sepanjang sejarah, sama sekali tidak dijumpai karya-karya para ilmuwan Muslim. Dalam bidang politik, yang dianggap pemikir besar adalah Niccolo Machiavelli. Hal serupa bisa dijumpai juga pada buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (Victoria, The Cranlana Program, 2002).
Tahun 1911, orientalis Belanda Snouck Hurgronje menerbitkan bukunya Nederland en de Islam, yang berisi pemikiran dan strategi westernisasi umat Islam: (1) Dalam bidang yang murni agama, pemerintah dan pejabat-pejabatnya harus menjamin dan memelihara kebebasan mutlak, (2) Dalam bidang politik, kebebasan itu harus dibatasi untuk kepentingan bersama, (3) Dalam bidang hukum Islam, pemerintah harus menjauhi intervensi yang dipaksakan, sekalipun harus mendorong ke arah proses evolusi hukum sebanyak mungkin, (4) Garis-garis kebijaksanaan yang kurang lebih negatif ini harus menuju ke arah tujuan yang positif, yaitu kemajuan orang-orang Islam yang harus dibebaskan dari beberapa peninggalnan ajaran abad pertengahan yang tidak berguna yang menyeret mereka hingga demikian lamanya agar supaya dengan jalan ini dengan perantaraan pendidikan dan pengajaran dapat memperoleh kesempatan asosiasi kultural dengan kebudayaan Barat. (Dikutip dari: Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 32.
Al-Ahkam al-Sulthaniyah
Dalam situasi seperti ini, maka penelaahan buku-buku karya ulama Islam, seperti buku al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi, sangatlah penting dan berharga. Buku ini mengandung untaian pemikiran politik Islam yang sangat kaya; mengatur berbagai aspek tata cara pengelolaan pemerintahan. Khazanah Islam seperti ini sebagaimana dengan khazanah keilmuan Islam lainnya kini dianggap tidak penting, bahkan dianggap tidak bernilai ilmiah, sehingga sama sekali tidak diperkenalkan kepada para siswa dan mahasiswa jurusan ilmu politik. Maka, jangan heran, jika banyak sekali sarjana ilmu politik yang sama buta sama sekali dengan khazanah politik Islam. Bahkan, mereka tidak merasa perlu tahu, dan menganggap konsep-konsep politik Islam sudah ketinggalan zaman dan tidak perlu dikaji atau ditengok lagi.
Sebagai contoh dalam pemikiran tentang proses pemilihan kepala negara, para elite politik Muslim Indonesia, sepertinya enggan menggali khazanah klasik pemikiran al-Mawardi. Hampir semua terlena dalam euforia demokrasi dan pemilihan langsung kepala daerah. Bahwa pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) adalah jalan terbaik untuk memilih kepala daerah. Padahal, proses pemilihan bukanlah substansi penting. Yang terpenting adalah syarat-syarat kepala negara atau kepala daerah yang terpenuhi, sesuai dengan ajaran Islam. Misal, tentang pengangkatan Imam (Khalifah), Al-Mawardi menyebutkan bahwa jabatan imamah dianggap sah dengan dua cara: (1) dengan pemilihan oleh ahlul halli wal aqdi (2) penunjukan oleh khalifah sebelumnya. Al-Mawardi menjelaskan dengan sangat detail bagaimana prosedur pemilihan khalifah oleh ahlul halli wal aqdi. Berbagai pendapat ulama ditampilkan dalam bukunya. Cara kedua, dengan cara penunjukan oleh khalifah sebelumnya, menurut al-Mawardi, juga dibenarkan oleh syariat Islam.
Bagi pemuja paham de
mokrasi, pemikiran al-Mawardi mungkin akan dicemooh. Padahal, sejak zaman Yunani Kuno, demokrasi adalah sistem yang dibenci. Demokrasi menyimpan kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan haknya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan orang pedalaman yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh, atau pemerkosa.
Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga. Plato memimpikan munculnya the wisest people sebagai pemimpin ideal di suatu negara, The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.
Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 keledai. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-e-Masyriq.
Aristoteles (384-322 BC), murid Plato, juga menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya. Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di Barat. Beberapa ide ini datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS. (Lihat, Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company, 1983), vol I, hal. 98-106; James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973), hal. 29; Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 37.
Dalam buku al-Ahkam as-Sulthaniyah, sistem pemerintahan Islam dikaji dengan cukup terperinci. Pemikiran-pemikiran politik yang ada di sini bisa ditelaah dan diambil sebagai bahan pemikiran para politisi Muslim maupun para akademisi Muslim dan para ulama untuk diaplikasikan dalam situasi zaman sekarang ini. Tetapi, yang terpenting. kajian-kajian terhadap karya para ulama kita seyogyanya mampu menyadarkan betapa karya-karya klasik Islam kaya dengan khazanah pemikiran yang sangat relevan jika dikaji dan diterapkan di zaman sekarang. Tentu saja, tidak semuanya dapat diterapkan di dalam satu sistem yang tidak mengambil Islam sebagai satu totalitas sistem kehidupan. Wallahu alam bish-shawab. (***)
Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga. Plato memimpikan munculnya the wisest people sebagai pemimpin ideal di suatu negara, The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.
Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 keledai. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-e-Masyriq.
Aristoteles (384-322 BC), murid Plato, juga menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya. Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di Barat. Beberapa ide ini datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS. (Lihat, Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company, 1983), vol I, hal. 98-106; James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973), hal. 29; Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 37.
Dalam buku al-Ahkam as-Sulthaniyah, sistem pemerintahan Islam dikaji dengan cukup terperinci. Pemikiran-pemikiran politik yang ada di sini bisa ditelaah dan diambil sebagai bahan pemikiran para politisi Muslim maupun para akademisi Muslim dan para ulama untuk diaplikasikan dalam situasi zaman sekarang ini. Tetapi, yang terpenting. kajian-kajian terhadap karya para ulama kita seyogyanya mampu menyadarkan betapa karya-karya klasik Islam kaya dengan khazanah pemikiran yang sangat relevan jika dikaji dan diterapkan di zaman sekarang. Tentu saja, tidak semuanya dapat diterapkan di dalam satu sistem yang tidak mengambil Islam sebagai satu totalitas sistem kehidupan. Wallahu alam bish-shawab. (***)
SALURKAN INFAQ TERBAIK ANDA UNTUK PENGEMBANGAN PEMBANGUNAN PESANTREN AT TAQWA DEPOK YANG DIBINA LANGSUNG OLEH DR. ADIAN HUSAINI.
Pesantren at-Taqwa Depok berusaha mengambil dan menerapkan konsep adab untuk diterapkan dalam lembaga pendidikannya, agar bisa membentuk manusia-manusia yang beradab. Yakni, manusia yang baik; manusia yang beradab kepada Allah, yang tidak syirik kepada Allah; manusia yang beradab kepada Rasulullah saw, yakni yang mencintai Rasul saw dan menjadikannya sebagai suri tauladan (uswatun hasanah). Manusia beradab juga hormat dan taat kepada guru dan orang tua; menghargai dan cinta ilmu serta memahami kedudukan ilmu pada tempatnya; memahami potensi dirinya dan berusaha keras untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
Link Donasi:
https://m.kitabisa.com/quranic
Pesantren at-Taqwa Depok berusaha mengambil dan menerapkan konsep adab untuk diterapkan dalam lembaga pendidikannya, agar bisa membentuk manusia-manusia yang beradab. Yakni, manusia yang baik; manusia yang beradab kepada Allah, yang tidak syirik kepada Allah; manusia yang beradab kepada Rasulullah saw, yakni yang mencintai Rasul saw dan menjadikannya sebagai suri tauladan (uswatun hasanah). Manusia beradab juga hormat dan taat kepada guru dan orang tua; menghargai dan cinta ilmu serta memahami kedudukan ilmu pada tempatnya; memahami potensi dirinya dan berusaha keras untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
Link Donasi:
https://m.kitabisa.com/quranic
Kitabisa
Klik untuk donasi - Pembangunan Pondok Pesantren AT-Taqwa, Depok
Pesantren Berprestasi, punya tanah wakaf 4000mtrsq, perlu dana pembangunan pondok
ANTARA SHALAHUDDIN DAN AL GHAZALI
Dr. Adian Husaini
Film Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang menampilkan sisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama ini sosok Shalahuddin memang dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci. Jenderal Geraud, saat berhasil menaklukkan Damaskus, pada abad ke-20, menginjakkan kakinya di makam Shalahuddin, sambil berteriak: “Saladin, wake up. We are back!”
Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, menguraikan dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saat menduduki Jerusalem, pasukan Salib membantai hampir semua kaum Muslim dan Yahudi. Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem, sehingga di Masjid al- Aqsha terjadi genangan darah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin merebut kembali Jerusalem, ia membebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan Jerusalem dengan aman.
Sosok Shalahuddin, telah berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (Lihat, David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik seputar legenda-legenda yang hidup di kalangan masyarakat Barat pada Zaman Pertengahan terhadap Islam.
Misal, legenda tentang Eleanor of Aquitaine yang diisukan memiliki affair dengan Shalahuddin al-Ayyubi, saat ia menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Ada pula legenda tentang Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telah dibaptis pada akhir hayatnya.
Apa pun persepsi Barat tentang Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin al- Ayyubi dipandang sebagai pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi nama anaknya “Shalahuddin”. Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad al-Fatih, dan penguasa-penguasa (umara) Muslim lainnya, telah memberikan inspirasi kepada banyak generasi Muslim, bahwa jalan kebangkitan umat Islam adalah dengan menunggu dan berusaha menghadirkan seorang pemimpin politik kenegaraan. Bahkan, terkadang, harapan itu begitu besar, saat Negara dan masyarakat dalam kondisi terpuruk, banyak yang berharap hadirnya pemimpin baru akan memberikan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Harapan itu sering kali berakhir sia-sia. Pemimpin baru yang tampil tak mampu berbuat banyak, atau bahkan seringkali menunjukkan kualitas jauh lebih rendah dari pada citra yang dimunculkan saat kampanye pemilihan kepemimpinan negara.
Peran Ulama
Kisah kebangkitan umat Islam dalam Perang Salib – setelah terpuruk dan dibantai Pasukan Salib dari Eropa – bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini. Kebangkitan umat Islam ketika itu terjadi bukan melalui hadirnya seorang pemimpin hebat seperti Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi justru terjadi melalui kerja keras para ulama – melalui madrasah-madrasah – yang berhasil melahirkan satu generasi yang hebat, yaitu “Generasi Shalahuddin” (Jiilu Shalahuddin). Kisah kebangkitan itu dipotret dan dianalisis dengan baik oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds. Buku ini memaparkan peran ulama- ulama seperti Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan sebagainya, dalam mendidik dan melahirkan generasi Shalahuddin tersebut.
Peran Imam al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam saat itu juga digambarkan dalam Kitab al-Jihad yang ditulis ‘Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan
Dr. Adian Husaini
Film Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang menampilkan sisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama ini sosok Shalahuddin memang dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci. Jenderal Geraud, saat berhasil menaklukkan Damaskus, pada abad ke-20, menginjakkan kakinya di makam Shalahuddin, sambil berteriak: “Saladin, wake up. We are back!”
Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, menguraikan dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saat menduduki Jerusalem, pasukan Salib membantai hampir semua kaum Muslim dan Yahudi. Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem, sehingga di Masjid al- Aqsha terjadi genangan darah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin merebut kembali Jerusalem, ia membebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan Jerusalem dengan aman.
Sosok Shalahuddin, telah berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (Lihat, David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik seputar legenda-legenda yang hidup di kalangan masyarakat Barat pada Zaman Pertengahan terhadap Islam.
Misal, legenda tentang Eleanor of Aquitaine yang diisukan memiliki affair dengan Shalahuddin al-Ayyubi, saat ia menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Ada pula legenda tentang Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telah dibaptis pada akhir hayatnya.
Apa pun persepsi Barat tentang Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin al- Ayyubi dipandang sebagai pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi nama anaknya “Shalahuddin”. Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad al-Fatih, dan penguasa-penguasa (umara) Muslim lainnya, telah memberikan inspirasi kepada banyak generasi Muslim, bahwa jalan kebangkitan umat Islam adalah dengan menunggu dan berusaha menghadirkan seorang pemimpin politik kenegaraan. Bahkan, terkadang, harapan itu begitu besar, saat Negara dan masyarakat dalam kondisi terpuruk, banyak yang berharap hadirnya pemimpin baru akan memberikan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Harapan itu sering kali berakhir sia-sia. Pemimpin baru yang tampil tak mampu berbuat banyak, atau bahkan seringkali menunjukkan kualitas jauh lebih rendah dari pada citra yang dimunculkan saat kampanye pemilihan kepemimpinan negara.
Peran Ulama
Kisah kebangkitan umat Islam dalam Perang Salib – setelah terpuruk dan dibantai Pasukan Salib dari Eropa – bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini. Kebangkitan umat Islam ketika itu terjadi bukan melalui hadirnya seorang pemimpin hebat seperti Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi justru terjadi melalui kerja keras para ulama – melalui madrasah-madrasah – yang berhasil melahirkan satu generasi yang hebat, yaitu “Generasi Shalahuddin” (Jiilu Shalahuddin). Kisah kebangkitan itu dipotret dan dianalisis dengan baik oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds. Buku ini memaparkan peran ulama- ulama seperti Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan sebagainya, dalam mendidik dan melahirkan generasi Shalahuddin tersebut.
Peran Imam al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam saat itu juga digambarkan dalam Kitab al-Jihad yang ditulis ‘Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan
Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami bertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al- Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al- jihad al-akbar). Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib (Franks).
Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa, kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali, yang ketika itu mengajar di Damascus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu, melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantu kaum Muslim mereformasi jiwa mereka.
(The spiritual laxness existing in Islam on the eve of the Crusades was underlined by al- Ghazali, in 1096. The illustrious philosopher who, at the time, was teaching in Damascus, emphasized the priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad) – struggle against evil – over the jihad al-aÎghar (the minor jihad), i.e. the struggle against infidel. His aim was to help the Muslim rediscover his soul. At this time, it was necessary to effect the reform of morals and beliefs and to create ways of combating the various heterodoxies existing in the very bosom of Islam).
Faktanya, sekitar 50 tahun kemudian, di masa Nur ad-Din Zengi, kaum Muslim mampu melaksanakan jihad efektif. Elisseef mencatat: “The person who would realize the ideal of the jihad which as-Sulami, Ghazali, and the ‘ulama of Damascus had advocated, was Nur ad-Din.”
Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di bawah komandan Imam al-Din Zengi, ayah Nur al-Din. Dua tahun sesudah itu, Zengi wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187. 6
Istilah jihad, secara yuridis Islam, kemudian berkembang menjadi makna khusus, dan telah dipahami oleh para sarjana Muslim dalam pengertian “perang” (qital). Dalam makna khusus dalam bidang fiqih inilah, istilah jihad memiliki makna syariat. Semisal, ada ketentuan-ketentuan hukum dimana orang yang matin dalam jihad – dengan makna qital – diperlakukan jezanahnya sebagai syahid. Namun, memang terdapat berbagai hadith Nabi saw yang menunjukkan berbagai jenis jihad dalam makna yang umum, seperti
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al- jihad al-akbar). Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib (Franks).
Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa, kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali, yang ketika itu mengajar di Damascus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu, melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantu kaum Muslim mereformasi jiwa mereka.
(The spiritual laxness existing in Islam on the eve of the Crusades was underlined by al- Ghazali, in 1096. The illustrious philosopher who, at the time, was teaching in Damascus, emphasized the priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad) – struggle against evil – over the jihad al-aÎghar (the minor jihad), i.e. the struggle against infidel. His aim was to help the Muslim rediscover his soul. At this time, it was necessary to effect the reform of morals and beliefs and to create ways of combating the various heterodoxies existing in the very bosom of Islam).
Faktanya, sekitar 50 tahun kemudian, di masa Nur ad-Din Zengi, kaum Muslim mampu melaksanakan jihad efektif. Elisseef mencatat: “The person who would realize the ideal of the jihad which as-Sulami, Ghazali, and the ‘ulama of Damascus had advocated, was Nur ad-Din.”
Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di bawah komandan Imam al-Din Zengi, ayah Nur al-Din. Dua tahun sesudah itu, Zengi wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174, Shalahuddin al-Ayyubi, keponakan Nur al-Din, memegang kendali kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187. 6
Istilah jihad, secara yuridis Islam, kemudian berkembang menjadi makna khusus, dan telah dipahami oleh para sarjana Muslim dalam pengertian “perang” (qital). Dalam makna khusus dalam bidang fiqih inilah, istilah jihad memiliki makna syariat. Semisal, ada ketentuan-ketentuan hukum dimana orang yang matin dalam jihad – dengan makna qital – diperlakukan jezanahnya sebagai syahid. Namun, memang terdapat berbagai hadith Nabi saw yang menunjukkan berbagai jenis jihad dalam makna yang umum, seperti
jihad dengan mengeluarkan kata-kata yang benar di depan penguasa yang zalim. Begitu juga dengan jihad melawan hawa nafsu, dengan lisan, dan harta.
Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dengan baik.
Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga menakankan pentingnya masalah ilmu. Ia membuka kitabnya itu dengan “Kitabul Ilmi”. Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar, yang dikatakan oleh Ali al-Sulami sebagai tahap “reformasi moral”. Tentu, tahap kebangkitan dan reformasi jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yang salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana mungkin amal akan benar?
Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara komprehansif terhadap problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagai masalah: politik, keilmuan, moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan didudukkan secara proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitu juga yang kurang penting. Di situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin, dengan makna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”. Ketika itu, dia seperti melihat, seolah-olah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan pada aspek niat dan pembagian keilmuan serta penempatannya sesuai dengan proporsinya.
Problema politik umat ketika itu merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi, problematika keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar, sehingga solusi dalam bidang politik, tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih mendasar itu tidak diselesaikan terlebih dahulu. Al-Ghazali dan para ulama ketika itu berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya. Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim). Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah.
Banyak kaum Muslimin yang berpikir bahwa jika aspek politik direb
Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dengan baik.
Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga menakankan pentingnya masalah ilmu. Ia membuka kitabnya itu dengan “Kitabul Ilmi”. Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar, yang dikatakan oleh Ali al-Sulami sebagai tahap “reformasi moral”. Tentu, tahap kebangkitan dan reformasi jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yang salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana mungkin amal akan benar?
Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara komprehansif terhadap problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagai masalah: politik, keilmuan, moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan didudukkan secara proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitu juga yang kurang penting. Di situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin, dengan makna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”. Ketika itu, dia seperti melihat, seolah-olah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan pada aspek niat dan pembagian keilmuan serta penempatannya sesuai dengan proporsinya.
Problema politik umat ketika itu merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi, problematika keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar, sehingga solusi dalam bidang politik, tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih mendasar itu tidak diselesaikan terlebih dahulu. Al-Ghazali dan para ulama ketika itu berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya. Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim). Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah.
Banyak kaum Muslimin yang berpikir bahwa jika aspek politik direb
ut oleh gerakan Islam tertentu, maka akan selesailah masalah umat. Pendapat ini sebagian benar. Tapi kurang sempurna. Kekuasaan politik adalah bagian dari masalah penting umat Islam. Sebab, ad-daulah adalah penyokong penting perkembangan agama. Bukan hanya Islam. Tetapi, juga agama-agama lain. Agama Kristen berkembang pesat di Eropa atas jasa besar Kaisar Konstantin yang mengeluarkan Dekrit ‘Edict of Milan’ (tahun 313) dan Kaisar Theodosius yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara Romawi (Edict of Theodosius, tahun 392). Perkembangan agama Budha juga tidak lepas dari peran Raja Asoka. Begitu juga eksistensi dan perkembangan agama-agama lain, sulit dipisahkan dari kekuatan politik. Sama halnya, dengan ideologi-ideologi modern yang berkembang saat ini. Eksistensi dan perkembangan mereka juga sangat ditopang oleh kekuasaan politik. Komunisme menjadi kehilangan pamornya setelah Uni Soviet runtuh. Sulit membayangkan Kapitalisme akan diminati oleh umat manusia jika suatu ketika nanti Amerika Serikat mengalami kebangkrutan sebagaimana Uni Soviet.
Tetapi, perlu dicatat, bahwa kekuasaan politik bukanlah segala-galanya. Banyak peristiwa membuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalan dengan penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebih mengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa penjajahan Belanda, umat Islam tidak mengikuti agama penjajah, dan lebih mengikuti kepemimpinan ulama. Banyak lagi contoh lain.
Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting. Kedua aspek itu harus mendapatkan perhatian yang penting. Para aktivis politik umat harus memiliki pemahaman yang benar tentang Islam. Jika tidak, para pemimpin politik justru bisa menjadi perusak Islam yang signifikan. Karena ketidaktahuannya, bisa saja melakukan tindakan yang keliru. Sebagai contoh, mereka mati-matian merebut kursi kepemimpinan di daerah atau departemen tertentu, sedangkan kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah dianggap sepele. Ribuan orang dikerahkan untuk berdemonstrasi karena faktor kursi kekuasaan, tetapi tidak demonstrasi apa-apa ketika ada penyimpangan dalam aqidah Islam, semisal kasus Ahmadiyah, penyebaran paham Pluralisme Agama, atau kezaliman yang sangat mencolok, semisal pembangunan patung yang memakan dana rakyat milyaran rupiah, disaat rakyat sedang dililit kesulitan hidup dan berbagai penyakit yang mematikan.
Jadi, tidaklah benar jika dalam perjuangan mengabaikan salah satu aspek kehidupan. Tetapi, semuanya harus ditempatkan dalam proporsi dan tempatnya. Itulah yang namanya adil. Nabi Muhammad saw memulai dakwah Islam dengan aspek ilmu, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti konsep tentang Tuhan, Nabi, wahyu, adil, agama, dan sebagainya. Pondasi pemikiran (afkar), pemahaman (mafahim), standar-standar nilai (maqayis), dan ketundukan (qana’at), yang Islamiy ditanamkan secara kokoh oleh Nabi Muhammad saw kepada para sahabat ketika itu. Mereka tampil sebagai sosok-sosok ulama dan cendekiawan serta pejuang yang tangguh dalam berbagai bidang kehidupan. Bisa dilihat, bagaimana hebatnya argumentasi Ja’far bin Abi Thalib ketika berdebat dengan Raja Najasyi dan orang-orang kafir Quraisy Mekkah di Habsyah. Ja’far dan kaum Muslimin yang sedang dalam kondisi terjepit meminta perlindungan kepadsa Najasyi, mampu memberikan argumen-argumen yang canggih seputar masalah Isa a.s. yang menjadi titik sentral kontroversi Islam dengan Kristen.
Ringkasnya, perjuangan Islam dalam menghadapi problematika yang dihadapi umat ini, perlu memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan, harta benda, dan sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang keilmuan, tidak perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh. Semua perlu dipadukan, sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah saw, Perang Salib, dan sebagainya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang dalam berbagai arena perjuangan.
Rasul
Tetapi, perlu dicatat, bahwa kekuasaan politik bukanlah segala-galanya. Banyak peristiwa membuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalan dengan penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebih mengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa penjajahan Belanda, umat Islam tidak mengikuti agama penjajah, dan lebih mengikuti kepemimpinan ulama. Banyak lagi contoh lain.
Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting. Kedua aspek itu harus mendapatkan perhatian yang penting. Para aktivis politik umat harus memiliki pemahaman yang benar tentang Islam. Jika tidak, para pemimpin politik justru bisa menjadi perusak Islam yang signifikan. Karena ketidaktahuannya, bisa saja melakukan tindakan yang keliru. Sebagai contoh, mereka mati-matian merebut kursi kepemimpinan di daerah atau departemen tertentu, sedangkan kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah dianggap sepele. Ribuan orang dikerahkan untuk berdemonstrasi karena faktor kursi kekuasaan, tetapi tidak demonstrasi apa-apa ketika ada penyimpangan dalam aqidah Islam, semisal kasus Ahmadiyah, penyebaran paham Pluralisme Agama, atau kezaliman yang sangat mencolok, semisal pembangunan patung yang memakan dana rakyat milyaran rupiah, disaat rakyat sedang dililit kesulitan hidup dan berbagai penyakit yang mematikan.
Jadi, tidaklah benar jika dalam perjuangan mengabaikan salah satu aspek kehidupan. Tetapi, semuanya harus ditempatkan dalam proporsi dan tempatnya. Itulah yang namanya adil. Nabi Muhammad saw memulai dakwah Islam dengan aspek ilmu, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti konsep tentang Tuhan, Nabi, wahyu, adil, agama, dan sebagainya. Pondasi pemikiran (afkar), pemahaman (mafahim), standar-standar nilai (maqayis), dan ketundukan (qana’at), yang Islamiy ditanamkan secara kokoh oleh Nabi Muhammad saw kepada para sahabat ketika itu. Mereka tampil sebagai sosok-sosok ulama dan cendekiawan serta pejuang yang tangguh dalam berbagai bidang kehidupan. Bisa dilihat, bagaimana hebatnya argumentasi Ja’far bin Abi Thalib ketika berdebat dengan Raja Najasyi dan orang-orang kafir Quraisy Mekkah di Habsyah. Ja’far dan kaum Muslimin yang sedang dalam kondisi terjepit meminta perlindungan kepadsa Najasyi, mampu memberikan argumen-argumen yang canggih seputar masalah Isa a.s. yang menjadi titik sentral kontroversi Islam dengan Kristen.
Ringkasnya, perjuangan Islam dalam menghadapi problematika yang dihadapi umat ini, perlu memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan, harta benda, dan sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang keilmuan, tidak perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh. Semua perlu dipadukan, sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah saw, Perang Salib, dan sebagainya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang dalam berbagai arena perjuangan.
Rasul
ullah saw bersabda: “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”. (Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, dan lisan-lisanmu). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad, al-Darimi, dengan sanad yang sangat kuat. Ibn Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih.
Melalui hadits tersebut, Rasulullah saw menekankan pentingnya kaum Muslimin melakukan jihad secara komprehensif, dengan menggunakan berbagai potensi yang dimiliki, baik harta, jiwa, maupun lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad, sebenarnya tiga aspek: harta, jiwa, dan lisan, saling terkait satu dengan yang lain. Peperangan fisik adalah salah satu bagian dari sebuah perjuangan yang luas dan panjang antara al-haq dan al-bathil.
Bahkan, dalam hadits lainnya, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fi- Allah ‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
Jadi, dalam arena perjuangan atau arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta untuk menggabungkan seluruh kemampuan atau potensi – baik potensi jiwa, harta, maupun lisan (intelektual) dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya. Kapan kekuatan fisik digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta benda diperlukan. Semua itu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Semua potensi jihad itu tidak bisa digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka, perang melawan hawa nafsu secara otomatis menjadi faktor penting dalam bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Jika kaum Muslim mampu menggabungkan semua potensi tersebut, maka dalam sejarahnya, kaum Muslim mampu tampil sebagai umat yang hebat, gemilang dan terbilang. Jika potensi itu terpecah belah dan tidak teratur dengan baik, maka kekalahan menimpa kaum Muslimin.
Peran ilmu dan ulama
Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, al-Quran dan Sunnah Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam bidang kehidupan. Banyak ulama yang mensyaratkan ‘kemampuan berijtihad’ bagi kepala negara (khalifah).
Adalah ideal jika ulama dan umara sama-sama baik. Dalam sejarahnya, Islam akan cepat berkembang jika ulama dan umaranya baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah, dimana salah satu dari dua pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itu, keberadaan ulama yang baik lebih diperlukan. Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah, para ulama Ahlu Sunnah melakukan perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih mengikuti ulama ketimbang umara. Di zaman penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak. Tetapi, ulama-ulama Islam ketika itu gigih mempertahankan ad-Dinul Islam. Alhamdulillah, meskipun Belanda berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam, umat Islam lebih mengikuti ulamanya.
Maka, yang perlu diperhatikan dan dicermati, -- disamping kerusakan umara –adalah kerusakan ulama. Lahirnya ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yang korupsi ilmu agama, yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, yang cinta dunia, dan sebagainya, adalah bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam. Jika kondisi seperti ini sudah terjadi, maka umat Islam harus bersiap-siap mengalami kebangkrutan. Lebih rusak lagi jika para ulama sudah mencintai dunia, menjual agama dengan harta benda dunia, dan yang merusak ilmu-ilmu agama dengan dalih menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman.
Adalah musibah dan fitnah besar, misalnya, jika dari Perguruan Tinggi Islam justru lahir orang-orang yang berpaham atheis atau yang gila
Melalui hadits tersebut, Rasulullah saw menekankan pentingnya kaum Muslimin melakukan jihad secara komprehensif, dengan menggunakan berbagai potensi yang dimiliki, baik harta, jiwa, maupun lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad, sebenarnya tiga aspek: harta, jiwa, dan lisan, saling terkait satu dengan yang lain. Peperangan fisik adalah salah satu bagian dari sebuah perjuangan yang luas dan panjang antara al-haq dan al-bathil.
Bahkan, dalam hadits lainnya, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fi- Allah ‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
Jadi, dalam arena perjuangan atau arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta untuk menggabungkan seluruh kemampuan atau potensi – baik potensi jiwa, harta, maupun lisan (intelektual) dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya. Kapan kekuatan fisik digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta benda diperlukan. Semua itu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Semua potensi jihad itu tidak bisa digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka, perang melawan hawa nafsu secara otomatis menjadi faktor penting dalam bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Jika kaum Muslim mampu menggabungkan semua potensi tersebut, maka dalam sejarahnya, kaum Muslim mampu tampil sebagai umat yang hebat, gemilang dan terbilang. Jika potensi itu terpecah belah dan tidak teratur dengan baik, maka kekalahan menimpa kaum Muslimin.
Peran ilmu dan ulama
Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, al-Quran dan Sunnah Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam bidang kehidupan. Banyak ulama yang mensyaratkan ‘kemampuan berijtihad’ bagi kepala negara (khalifah).
Adalah ideal jika ulama dan umara sama-sama baik. Dalam sejarahnya, Islam akan cepat berkembang jika ulama dan umaranya baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah, dimana salah satu dari dua pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itu, keberadaan ulama yang baik lebih diperlukan. Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah, para ulama Ahlu Sunnah melakukan perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih mengikuti ulama ketimbang umara. Di zaman penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak. Tetapi, ulama-ulama Islam ketika itu gigih mempertahankan ad-Dinul Islam. Alhamdulillah, meskipun Belanda berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam, umat Islam lebih mengikuti ulamanya.
Maka, yang perlu diperhatikan dan dicermati, -- disamping kerusakan umara –adalah kerusakan ulama. Lahirnya ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yang korupsi ilmu agama, yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, yang cinta dunia, dan sebagainya, adalah bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam. Jika kondisi seperti ini sudah terjadi, maka umat Islam harus bersiap-siap mengalami kebangkrutan. Lebih rusak lagi jika para ulama sudah mencintai dunia, menjual agama dengan harta benda dunia, dan yang merusak ilmu-ilmu agama dengan dalih menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman.
Adalah musibah dan fitnah besar, misalnya, jika dari Perguruan Tinggi Islam justru lahir orang-orang yang berpaham atheis atau yang gila