MUSTANIR ONLINE
3.2K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
Jika mengacu pada kisah sukses dakwah Islam Wali Songo, maka para Wali Songo itu pun tidak menggunakan istilah “Islam Jawa” atau “Islam Nusantara” agar Islam diterima oleh masyarakat luas.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=892311204242164&id=153825841424041
Buku: Pribadi Hebat
Penulis Buya Hamka

Kepada Pemuda:“Bebanmu akan berat. Jiwamu harus kuat.Tetapi aku percaya langkahmu akan jaya. Kuatkan pribadimu!”-Buya Hamka-

Dengan apa kita membuat orang menjadi tertarik? Dengan budi yang tinggi, kesopanan, ilmu pengetahuan yang luas, kesanggupan menahan hatipada perkara yang belum disepakati, dengan kecerdasan, kecepatan menarik kesimpulan, kebagusan susunan kata, kepandaian menjaga perasaan orang, dan kesanggupan menenggang. Kumpulan sifat dan kelebihan itu menimbulkan daya tarik. Hal itu dapat dipelajari dengan pergaulan yang luas dan ada juga karena diwarisi. Pendidikan ibu, bapak, sekolah, teman sejawat, dan lingkungan masyarakat, semuanya itu adalah guru yang membentuk daya penarik.
Sepenggal paragraf tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak hal yang dijelaskan oleh seorang Buya Hamka agar pribadi hebat muncul dalam diri kita. Ibarat membangun sebuah bangunan, salah satu bagian penting adalah kualitas batu bata yang digunakan. Batu bata berkualitas bagus akan membuat kuat bangunan yang didirikan. Begitulah satu per satu pribadi individu seperti batu bata. Pribadi yang kuat akan mampu menguatkan diri dan memberikan pengaruh positif terhadap orang lain serta lingkungan sekitarnya, dan lebih jauh lagi kepada agama, bangsa, dan negaranya.Buya Hamka telah memberikan banyak sekali pelajaran tentang cara menjadikan diri kita sebagai seorang pribadi yang kuat dan hebat. Semua untaian kata-kata bijak penuh hikmah dari seorang ayah, guru, dan ulama besaryang dimiliki Indonesia tertuang jelas dalam Pribadi Hebat.
----------
Buku: Pribadi Hebat
Penulis: Buya Hamka
Harga Rp. 45.000,-
Pemesanan sms/whatsapp 087878147997
-Admin-
MENGAPA PEMIMPIN MUSLIM?
Oleh: Dr. Adian Husaini

Ada pertanyaan: Jika muslim menolak kepemimpinan orang kafir (non-muslim), maka menyingkir saja ke gunung, tinggalkan pesawat terbang, laptop, dan alat-alat teknologi lain buatan orang kafir.

Jawab kita:
Pertama, dalam melakukan setiap tindakan, muslim selalu mengacu kepada al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Sebab, itulah pesan Nabi, bahwa jika muslim berpegang teguh kepada keduanya, maka pasti mereka tidak tersesat. Muslim hidup untuk dunia dan akhirat. Bahkan, keselamatan akhirat lebih utama, karena merupakan kehidupan yang abadi. Sikap ini berbeda dengan kaum lainnya, atau juga kaum sekuler yang tidak percaya al-Quran dan Sunnah Rasul menjadi pedoman untuk seluruh aspek kehidupan manusia. Mereka lebih percaya kepada "buku-buku lain" ketimbang al-Quran. Itu pilihan. Nanti kita akan sama-sama menghadap Allah SWT dan mempertanggungjawabkan pilihan kita masing-masing.

Kedua, Muslim punya suri teladan yang utama dan abadi, yakni Nabi Muhammad saw. Dalam hal sekecil-kecilnya, seperti bagaimana cara bangun tidur atau masuk kamar mandi, bagaimana adab naik kendaraan, maka muslim berusaha mencontoh tata-cara (adab) Nabi Muhammad saw. Beliau adalah utusan Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Beliau adalah suri tauladan. Inilah keyakinan kami, orang muslim. Mohon dihormati. Dalam memilih pemimpin, Nabi saw telah memberikan contoh yang abadi.

Ketiga, dalam konsep Islam, "pemimpin" (imam) sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad saw, adalah ibarat perisai (junnah). Tentu saja, dalam segala aspek kehidupan, mulai rumah tangga, organisasi, sekolah, universitas, sampai negara, idealnya sang pemimpin adalah orang yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Bukan sekedar yang beragama Islam. Seorang muslim akan lebih merasa nyaman, jika pilot pesawat adalah muslim yang taat, yang mengajak penumpang pesawat untuk berdoa sebelum terbang. Meskipun, secara hukum Islam, boleh saja, seorang muslim naik pesawat yang pilotnya non-muslim. Muslim boleh kuliah di satu universitas yang rektornya bukan muslim. Tetapi, bukankah lebih baik jika rektornya muslim yang taat yang memimpin kampus dengan nilai-nilai kenabian?

Keempat, dalam soal kepemimpinan politik kenegaraan, memang seorang muslim wajib memilih pemimpin yang muslim. Itu karena dalam konsep kepemimpinan Islam, pemimpin masyarakat bertugas memimpin dan membimbing rakyatnya agar hidupnya selamat, sejahtera, dan bahagia dunia dan akhira. Ini bedanya dengan konsep kepemimpinan sekuler, yang memandang pemimpin hanya sebatas aspek materi dan duniawi saja.

Pemimpin politik/kenegaraan, memiliki wewenang untuk membuat hukum dan peraturan bagi masyarakat. Tentu diharapkan, pemimpin yang baik akan membuat paraturan yang baik pula. Rencana Gubernur DKI, Ahok, untuk melegalkan pelacuran di Jakarta, menunjukkan bahwa pemimpin politik memiliki kedudukan yang sangat strategis untuk memperbaiki atau merusak masyarakat. Benarlah kata Imam al-Ghazali, bahwa rakyat rusak karena pemimpin (penguasa/umara) rusak. Umara rusak karena ulama rusak, dan seterusnya.

Kelima, jika kondisi muslim tidak mungkin memilih pemimpin yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, -- karena seluruh calon pemimpin itu bukan muslim, seperti di berbagai negara Eropa dan Amerika -- , maka tentu saja, kaum muslim akan memilih yang "terbaik" di antara yang ada. Sebab, Islam adalah agama yang bersifat rahmatan lil-alamin. Kaum muslim harus menjadi rahmat untuk semua.

Keenam, muslim diperintahkan berbuat adil, terhadap seluruh umat manusia. Tidak boleh kebencian kepada seseorang atau kepada suatu kaum menyebabkan tindakan yang zalim (tidak adil). Jika ada pemimpin non-muslim yang melakukan tindakan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat -- selama tidak bertentangan dengan syariat Islam -- maka tindakan itu harus diberikan apresiasi. Bahkan, pemimpin muslim harus melakukan yang lebih baik lagi, daripada yang dilakukan oleh pemimpin non-muslim. Karena itu, kaum muslim pun perlu lebih keras dan selektif dalam memilih pemimpin; bukan asal beragama Islam.

Ketujuh, dalam al-Qur
an dijelaskan, bahwa amal perbuatan orang kafir tidak ada nilainya di mata Allah SWT, ibarat fatamorgana (QS 24:39). Itu sangat logis, karena orang kafir tidak mengakui Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan ditaati. Mereka juga menolak utusan Tuhan Yang Maha Esa (Nabi Muhammad). Tentulah tidak masuk akal, jika seorang warga negara meminta gaji dari Presidennya, sementara dia sendiri tidak mengakui sang Presiden sebagai pemimpin yang sah dan berhak ditaati.

Demikianlah, sekilas pandangan, mengapa kita perlu pemimpin muslim yang tidak sekedar beragama Islam, tetapi yang benar-benar beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Umat Islam harus menjadi umat terbaik (QS 3:110), karena mereka mendapatkan amanah melanjutkan perjuangan para Nabi dalam menegakkan kebenaran.

Masalah siapa yang akan jadi gubernur DKI nanti tidak perlu sampai menjadikan kaum muslim kehilangan iman. Iman lebih mahal harganya dari kursi gubernur itu sendiri. Siapa pun yang jadi gubernur, jangan sampai kita menukar iman kita dengan godaan dunia. Siapa pun gubernurnya, kita harus dan bisa menjadi muslim yang baik. Kewajiban kita berjuang menyampaikan kebenaran. Yang mau terima silakan. Yang tidak mau, semoga suatu ketika terbuka pintu hatinya untuk menerima kebenaran. Jika orang tuanya belum mau, semoga anak atau cucunya nanti yang terima kebenaran.

Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat. Mohon maaf, jika ada hal-hal yang kurang berkenan. Wallahu a'lam bish-shawab.
Worldview Koruptor
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Beberapa bulan lalu sebuah dialog di televisi swasta membahas perilaku korupsi penegak hukum dan koruptor. Hadir dalam acara itu para guru besar dibidang hukum dan advokat. Yang muncul disitu pertanyaan mengapa hakim dan jaksa korupsi? Padahal mereka adalah penegak hukum dan sangat luas ilmu hukumnya. Mereka adalah pejabat yang tinggi tanggung jawabnya.

Host acara itu lalu mengarahkan pertanyaan itu kepada para guru besar: Apa yang Bapak ajarkan pada mereka sehingga mereka itu korupsi? Para guru besar itupun bersungut-sungut lalu menjawab “tidak ada yang salah dalam mata kuliah mereka.” Lalu dimana letak salahnya? Mengapa demikian dst..dst. menjadi kompleks.

Mungkin jika pakar bidang administrasi Negara hadir dia akan menuding undang-undang yang lemah. Pakar ekonomi akan mengkritik gaji pegawai yang rendah. Advokat akan berkilah korupsi atau tidak itu tergantung pasalnya. Para sosiolog atau psikolog akan mungkin lebih tegas “orang korupsi karena mental pegawai”. Dibalik layar sayup-sayup para koruptor lain berguman singkat “dia lagi apes”. Itulah realitas bangsa ini.

Pendapat-pendapat diatas tentu subyekif. Namun semua pasti sepakat jika perbuatan korupsi didahului oleh pikiran yang korup. Orang pasti berfikir sebelum berbuat. Pikiran manusia itulah sebenarnya yang disebut worldview. Definisinya adalah cara pandang orang terhadap hidup dan kehidupan. Pandangan orang terhadap makna realitas dan makna kebenaran (Naquib al-Attas). Pikiran yang menjadi motor perbuatan (Alparslan).

Dari perspektif agama worldview adalah kepercayaan pada Tuhan beserta segala implikasi dan konsekuensinya dalam kehidupan. Sebab seperti ditegaskan Thomas Wall: “kepercayaan pada Tuhan adalah inti dari semua worldview”. Artinya kalau orang itu benar-benar percaya pada Tuhan dibalik harta ada rezeki, dibalik kekuasaan ada amanah, dibalik perbuatan ada dosa dan pahala. Kalau orang percaya pada Tuhan, ia pasti yakin bahwa baik-buruk, salah-benar, harta-rezeki berasal dari Tuhan. Itulah worldview.

Jika orang itu tidak percaya pada Tuhan, harta adalah harta. Di balik harta tidak ada apa-apa. Darimana asalnya dan bagaimana memperolehnya tidak penting. Yang penting setiap orang harus bertahan hidup. Hidup dengan segala cara asal tidak menyakiti sesama. Hidup hanya sekali dan setelah itu selesai. Perbuatan di dunia hanya akan berakibat di dunia. Ukuran baik-buruk, salah-benar adalah manusia penentunya. Itulah worldview koruptor.

Tapi masalahnya mengapa orang beragama masih juga korupsi? Jawaban lumrah tentu ia korup bukan karena perintah agamanya. Menurut sabda Nabi tidak ada orang mencuri dan pada saat yang sama dia beriman (al-Hadith). Lalu apakah keimanan orang tidak dapat mencegahnya dari perbuatan korupsi?

Masalahnya sungguh kompleks. Agama hanya dainggap sebagai dogma. Beragama berarti menjalankan ritual semata. Masjid, gereja dsb adalah tempatnya. Di ruang publik agama tidak boleh angkat bicara. Porno atau tidak porno tidak boleh diukur dari agama. Ambisi berpolitik tidak boleh dicampur nawaitu dalam ibadah, apalagi dicampur istighatsah.

Disaat agama dikerdilkan, dan ketika keberagamaan dimarginalkan hasrat menjadi kaya raya merupakan tujuannya. Worldview pemeluk agama diisi oleh cara pandang materialistis, hedonistis, pragmatis, empirisistis, dan rasionalistis. Cara hidup sekuler telah mencokok arah hidup pemeluk agama-agama. Cinta harta merasuki rongga-rongga pikiran para pemeluk agama. Begitulah worldview pemeluk agama dikuasai worldview sekuler.

Akibatnya mind-set mereka berubah. Agar menjadi kaya dan hidup enak di dunia orang harus meninggalkan moral dan akhlaq ajaran agama. Yang tetap bertahan pada keimanan agamanya dianggap bodoh dan tidak cerdas.

Ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris, Maret 2010, di Nottingham saya mendengar berita menarik. Professor Richard Lynn dari Ulster University, Irlandia Utara, Professor Helmuth Nyborg dari Universitas Aarhus, Denmark dan Professor John Harvey Sussex, Inggeris, menerbitkan hasil riset mereka. Riset itu dilakukan di 137 negara d
i dunia, termasuk Indonesia. Menarik karena risetnya mengkaji sebuah hypothesis adanya korelasi negatif antara IQ dan Iman. Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:

Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheist.

Bukan hanya itu Verhage (1964) dan Bell (2002) di Belanda, Kanazawa (2009) di Amerika Serikat memperoleh hasil serupa. Dari mereka bertiga ini sekurangnya diperoleh empat temuan. Pertama ada hubungan korelasi negative antara kecerdasan dan keimanan. Kedua, orang elit yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum. Ketiga, dikalangan pelajar semakin berumur dan semakin berilmu semakin turun keimanan mereka. Keempat, sepanjang abad dua puluh meningkatnya masyarakat yang cerdas diikuti oleh menurunnya keimanan.

Implikasi dari hypothesis diatas jelas, orang cerdas adalah yang meninggalkan agamanya. Tapi masalahnya apakah orang tidak beragama itu karena saking cerdasnya? Jika jawabnya iya, maka matrik kecerdasannya itu hanya sebatas masalah dunia. Apakah orang yang taat beragama dan pada saat yang sama bisa hidup makmur di dunia tidak bisa dianggap lebih cerdas dari yang hanya mikir dunia saja.

Dr.David Rosmarin, psikiatri Rumah Sakit McLean di Massachussetts menulis paper. Disitu disimpulkan orang yang percaya pada Tuhan cenderung lebih tenang dan tidak gelisah menghadapi hidup yang serba tidak pasti. (Lihat International Herald Tribune, 19 Oktober 2011, hal.8). Tentu dibanding orang yang tidak percaya Tuhan. Jika demikian maka benarlah sabda Nabi “orang cerdas (al-kaysu) adalah orang yang bekerja di dunia untuk tujuan akherat”. Wallau A’lam
TANDA TANYA UNTUK FILM “?”
Oleh: Dr. Adian Husaini

Alkisah, Rika, istri yang kecewa terhadap suami, memutuskan pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Ia berujar, bahwa kepindahan agamanya bukan berarti mengkhianati Tuhan. Meskipun Katolik, Rika sangat toleran. Anaknya , – masih kecil, bernama Abi –dibiarkannya sebagai Muslim. Bahkan, ia mengantarjemput anaknya ke masjid, belajar mengaji al-Quran. Di bulan puasa, dia temani dan dia ajar Abi berdoa makan sahur.

Di Film “?” (Tanda Tanya), Rika ditampilkan sebagai sosok ideal: murtad dari Islam, tapi toleran dan suka kerukunan. Pada segmen lain, secara verbatim Rika mengatakan, agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Ada juga yang memujinya telah mengambil langkah besar dalam hidupnya.

Itu yang terpampang dalam film “Tanda Tanya” garapan Hanung Bramantyo. Padahal, dalam pandangan Islam, Rika telah murtad dari agama Islam. Orang murtad, amalnya tidak diterima Allah (QS 2:217). Rika telah melakukan dosa syirik, karena mengakui Yesus sebagai Tuhan atau salah satu Oknum dalam Trinitas. Ini pandangan Islam.

Dalam al-Quran disebutkan, Allah sangat murka karena dituduh punya anak: “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS Maryam:88-91).

Islam memandang keimanan sebagai hal terpenting dan mendasar dalam kehidupan. Iman akan dibawa mati. Iman lebih dari soal suku, bangsa, bahkan hubungan darah. Iman bukan “baju”, yang bisa ditukar dan dilepas kapan saja si empunya suka.

Maka sungguh, ajaib, dan penuh Tanda Tanya, mengapa di film “Tanda Tanya” soal ganti agama dianggap remeh? Para pemikir ateis, seperti Karl Marx, Nietze, Freud, Sartre dan sejenisnya, terkenal dengan gagasan-gagasan yang memandang agama dan Tuhan sudah tidak diperlukan lagi. Mereka beramai-ramai mempermainkan Tuhan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) menyatakan: “even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.” (Karem Armstrong, History of God, 1993). Thomas J. Altizer, dalam “The Gospel of Christian Atheism” (1966) menyatakan: “Only by accepting and even willing the death of God in our experience can we be liberated from slavery…”

Pluralisme Agama sejatinya sangat dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”, sejatinya bersemayam ide pokok bahwa “semua agama salah”. Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak dan Tuhan liberal. Tuhan kaum Pluralis adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh diberi nama siapa saja, sifatnya apa saja, dan cara menyembahnya pun boleh suka-suka. Tuhan dalam Islam mengharamkan babi. Pada saat yang sama, Tuhan dalam agama Kristen menghalalkan babi. Tuhan dalam Bhairawa Tantra menghalalkan menyembelih wanita dan darahnya kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam agama Children of God menganjurkan seks bebas, sebagai wujud rasa kasih sayang. Tuhan, bagi kaum sekular, harus tunduk pada pikiran dan aturan manusia.

Ketika ada yang berkata, semua agama menyembah Tuhan yang sama, dia telah berdiri di luar agamanya sendiri. Sebab, “Tuhan”, baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja. Bisa Yehweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa Iblis! Yang penting Tuhan, yang penting God! Dan syahadat Islam “Tidak ada Tuhan selain Allah” jelas menolak pikiran seperti ini.

Kisah lain lagi! Adalah Surya, seorang laki-laki Muslim. Dia berteman dengan Rika. Karena miskin, ia terusir dari rumah kosnya. Surya memuji-muji Rika telah melakukan sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Ia berkawan akrab. Surya ditampilkan sebagai sosok yang polos, kocak dan naif. Untuk uang, dan mungkin untuk mempertontonkan fenomena “kerukunan umat beragama”, Surya menerima peran sebagai Yesus. Ia rela di
paku di tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat perayaan Paskah. Sesekali ia berperan sebagai SantaClaus.

Setelah itu, ia kembali ke masjid membaca surat al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang menegaskan kemurnian Tauhid. “Katakan, Allah itu satu. Allah tempat meminta. Allah tidak beranak dan diperanakkan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” Allah itu satu! Allah tidak punya anak! Ini gambaran dalam Film “?”
Padahal, surat al-Ikhlas seperti mengoreksi doktrin pokok dalam agama Kristen, yang dirumuskan sekitar 300 tahun sebelumnya, di Konsili Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam Nicene Creed: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).

Padahal, al-Quran menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).

Beratus tahun, sejak kelahirannya, Islam membuktikan sebagai agama yang toleran, mengakui dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan. Saat Nabi Muhammad s.a.w. diutus, sudah eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad s.a.w. mengajak mereka untuk memeluk Islam, mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah. Bahkan, ada perintah al-Quran: “Katakan, hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah!”

Saat semua agama dikatakan sebagai jalan kebenaran, saat itu tidak ada beda antara iman dan kufur, tiada penting lagi, apakah seorang bertauhid atau musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi atau ayam, minum khamr atau sari madu; tidak penting lagi berjilbab atau telanjang; nikah atau zina; yang penting mengasihi sesama manusia. Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak ada. Yang ada “agama global”, “agama universal”, “agama kemanusiaan”, “agama cinta”.

Walhasil, film “?” membawa pesan yang terlalu jelas: agama apa saja, sama saja! Agama bukan soal penting; boleh ditukar kapan saja! Ini jelas bagian upaya penghancuran agama-agama! Wajar, muncul tanda tanya: apa ini kesengajaan atau ketidaktahuan? Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
BELA ISLAM BELA INDONESIA
Oleh: Dr. Adian Husaini

Aksi Bela Islam (ABI) III, 2 Desember 2016—yang populer dengan sebutan Aksi 212—diakui sangat fantastis dan memesona. Meski tidak mengusung kata "Indonesia", ABI III terbukti membanggakan bagi Indonesia. Menurut kapolri, tidak sepotong ranting pun patah dalam aksi yang diikuti jutaan orang Indonesia itu.

Dua hari kemudian, 4 Desember 2016 (Aksi 412), digelar aksi yang mengangkat jargon "Kita Indonesia". Sulit menolak kesan bahwa Aksi 412 digelar sebagai "tandingan" atau "respons" terhadap Aksi 212. Kepada media, pemrakarsa Aksi 412 menyatakan, "Karena dalam beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dan prihatin dengan kondisi bangsa ini. Kami mencoba mengingatkan, jika kita bisa hidup bersama-sama dan Pancasila yang menjadi payung dalam kehidupan beragama di Indonesia."

Munculnya Aksi 412 telah mengangkat kembali wacana lama dalam dunia pemikiran politik keislaman di Indonesia, yaitu wacana "keislaman" dan "keindonesiaan". Sebagian kalangan masih tetap memandang bahwa "Islam" dan "Indonesia" adalah dua hal yang terpisah dan tidak bisa disatukan. Bahkan, umat Islam terkesan mendapat teror opini: "Anda tidak bisa menjadi Muslim yang baik dan pada saat yang sama juga menjadi orang Indonesia yang baik!"

Begitulah opini yang dikembangkan untuk memisahkan antara "Islam" dan "Indonesia".

Rekayasa penjajah
Tentu saja pembangunan opini semacam itu bukan hal baru. Penjajah Belanda sudah lama melakukannya. Islam diposisikan sebagai faktor potensial yang mengancam keberlangsungan pemerintah kolonial. Trisula penjajahan yang terkenal adalah gold, gospel, glory. Orientalis penjajah, Snouck Hurgronje, misalnya, dikenal sebagai pendukung upaya kristenisasi terhadap pribumi.

Dalam satu suratnya tertanggal: Leiden 28 Januari 1889—beberapa bulan sebelum Snouck sendiri datang ke Indonesia—Snouck menyatakan persetujuannya dengan pemikiran Holle, tokoh Partai Politik Kristen, bahwa Islam adalah bahaya yang sangat besar bagi pemerintah kolonial. Dia menyetujui satu usul Holle, yaitu usaha kristenisasi daerah yang masih animis, walaupun hal ini harus dilakukan secara tidak langsung dengan sokongan nyata dari pemerintah (Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, 1984:241—242).

Hasil kajian Prof Uli Kozok terhadap kegiatan misionaris Kristen di daerah Batak menemukan kuatnya dukungan kolonial Belanda terhadap gerakan misionaris didasari oleh pandangan bahwa keislaman dipandang sebagai ancaman terbesar bagi keberlangsungan penjajahan.

"Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda" (Prof Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain. Buku ini diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).

Bahkan, karena dianggap terlalu bermuatan ajaran Islam, sejarah menunjukkan, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pun sempat ditolak oleh kaum Kristen. JD Wolterbeek dalam bukunya, Babad Zending di Pulau Jawa, mengatakan: "Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya."

Senada dengan itu, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: "Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara" (Seperti dikutip oleh Karel A Steenbrink dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia. Lihat juga buku Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indones
ia [2009]).

Usaha penggusuran bahasa Melayu dalam tataran kenegaraan ini masih terus berlanjut hingga era kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang sudah menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dipaksa untuk menerima slogan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" sebagai landasan pendidikan nasional. Padahal, bangsa Indonesia lebih mudah memahami kata "iman, ilmu, dan amal" sebagai slogan resmi pendidikan nasional.

Lapis pelitur
Menyadari potensi Islam sebagai faktor penting perlawanan terhadap misi Kristen dan penjajahan, para orientalis Belanda telah lama merumuskan teori "lapis pelitur". Adalah pakar sejarah Melayu Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas yang mengungkap teori tersebut. Dianggap laksana "pelitur", kedatangan Islam di Indonesia dikatakan tidak meresap ke dalam kayu. Jasad kayu—yakni jati diri bangsa Indonesia—tetap Hindu, Buddha dan animis. Pandangan semacam itu, menurut al-Attas, "Tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam, lagi hanya merupakan angan-angan belaka" (SM Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1995: 41).

Buya Hamka menyebutkan, upaya membenturkan Islam dari keindonesiaan dilakukan dengan mengangkat tokoh-tokoh Hindu-Buddha sebagai simbol pemersatu bangsa. Dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Hamka menyebutkan bahwa dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga.

Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit, sedangkan Islam adalah kekuatan yang menghancurkan Majapahit. Maka, berbagai simbol keindonesiaan kemudian dijauhkan dari Islam. Indonesia disimbolkan dengan patung dan candi, bukan kitab dan masjid.

Bahkan, majalah Media Hindu edisi Oktober 2011 menurunkan laporan utama berjudul "Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit". Ditegaskan pada bahasan utama: "Kembali pada Hindu, sebagai satu-satunya langkah utama untuk mengantar Indonesia ini kembali menjadi negara adidaya."

Ditulis dalam majalah ini: "Namun atas dasar pendapat tersebut di atas, mustahil suatu bangsa menjadi maju apabila mayoritas rakyatnya masih menganut agama yang faktanya menggusur budaya dan nilai-nilai luhur bangsa. Oleh karena itu harus kembali ke agama yang dapat memelihara dan mengembangkan budaya bangsa, sebagai syarat mutlak untuk menjadi negara adidaya. Satu-satunya agama yang dapat menumbuhkembangkan budaya bangsa adalah Hindu, karena memang sejak dahulu kala bangsa ini beragama Hindu, yang kemudian menimbulkan budaya bangsa yang adiluhung ini."

Jadi, simpul Media Hindu: "Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi negara adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan jati diri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju."

Dengan cara pandang seperti ini, maka untuk menjadi Indonesia harus dilakukan dengan menjauhkan diri dari simbol-simbol Islam. Berikutnya, simbol tokoh pendidikan nasional dijauhkan dari sosok KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan. Simbol kemajuan wanita Indonesia dijauhkan dari sosok Ratu Syafiatuddin, Laksamana Malahayati, atau Ratu Siti Aisyah dari Bone. Walhasil, berbagai upaya untuk memisahkan antara Islam dan keindonesiaan masih terus berjalan hingga kini.

Padahal, menurut Buya Hamka, kebangsaan Indonesia justru makin kokoh jika disatukan dengan keislaman. "Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana."

Begitulah paparan d
an imbauan Buya Hamka. Penyesalan dan dendam tentang pengislaman nusantara seyogianya tidak perlu dipelihara. Apalagi, kemudian mengikuti kemauan dan skenario penjajah untuk mengerdilkan peran Islam dan memosisikan Islam sebagai agama yang "antibudaya bangsa", sebab budaya bangsa sudah dipersepsikan identik dengan kehinduan atau kebuddhaan.

Hukum adat dan hukum sekuler warisan kolonial dianggap sebagai pemersatu bangsa, sebaliknya syariat Islam diposisikan sebagai pemecah belah bangsa. Kini, sebagian kalangan masih saja berpikir bahwa Islam bukanlah jati diri bangsa Indonesia. Islam dianggap tidak bersifat universal. Islam hanya untuk orang Islam. Yang bersifat universal adalah nilai-nilai sekuler di luar agama. Padahal, sekularisme adalah pengalaman lokal bangsa Eropa yang pernah mengalami trauma sejarah dominasi pemuka agama dalam kehidupan politik kenegaraan.

Islam dan Indonesia
Fakta sejarah menunjukkan, babak terpenting dalam perjalanan sejarah nusantara adalah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Atas jasa para ulama dan pendakwah Islam, berbagai suku di wilayah nusantara disatukan dengan agama Islam dan dengan bahasa Melayu.

Prof Naquib al-Attas menyebutkan, dalam perjalanan sejarah peradaban Melayu di wilayah nusantara, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan "bahasa Muslim" kedua terbesar (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).

Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan pemeluknya ke arah terbentuknya kesadaran nasional penduduk kawasan ini. Al-Attas mencatat masalah ini: "The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego" (Ibid, hlm 178).

Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, umat Islam senantiasa menduduki garda terdepan. Indonesia adalah amanah dari Allah SWT. Ketika penjajah akan kembali ke Indonesia, 1945, maka KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad yang mewajibkan kaum Muslimin mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Jadi, bagi Muslim Indonesia, keislaman dan keindonesiaan telah menyatu. Jika seorang menjadi Muslim yang baik maka secara otomatis ia menjadi orang Indonesia yang baik. Dalam istilah Buya Hamka: "Saya akan berusaha hidup sebagai Muslim sejati, niscaya tidak dapat lain, saya akan menjadi Pancasilais sejati" (lihat, Hamka, Hak Asasi Manusia dalam Islam & Deklarasi PBB, Selangor, Pustaka Dini, 2005). (***)
MIUMI: Kaitkan Islam dengan Gerakan Anti Cina Sangat tidak Riil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Hamid Fahmy Zarkasyi meminta video kampanye Pasangan Cagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Cawagub Djarot Saiful Hidayat ditindaklanjuti secara hukum. Menurutnya, spanduk 'Ganyang Cina' yang dilakukan oleh kelompok berpeci yang tergambar dalam video tersebut adalah penyesatan dan tidak riil.

"Indonesia selama ini menghormati etnis apapun yang menetap disini (Indonesia), jadi kalau mengaitkan Islam dengan gerakan anti cina, maka itu sangat tidak rill," ujar Hamid, Selasa (11/4).

Hamid menegaskan, jika video tersebut tidak ditindaklanjuti secara hukum, maka dikhawatirkan pemahaman tentang makna NKRI dapat berubah. "NKRI selama ini sudah toleran kepada etnis manapun, dalam video itu seolah-olah dimentahkan dengan penggambaran NKRI sebagai negara yang anti toleran. jadi ini terbalik-balik," katanya.

Menurutnya, makna Pancasila harus dikembalikan, khususnya sila pertama, ketuhanan yang maha esa yang dilecehkan dan disalahartikan. Terkait pernyataan Timses BaDja, Eva Sundari yang mengatakan video kampanye tersebut adalah penggambaran dari realitas yang terjadi saat ini, Hamid mempertanyakannya.

Ia mengatakan, jika memang ada kelompok yang melakukan hal tersebut, seharusnya diteliti terlebih dahulu alasan mereka melakukannya. Dia menambahkan, jika memang ada salah satu kelompok yang melakukan, mereka (timses BaDja) tidak seharusnya memukul rata seluruh umat Islam sebagai antitoleran.

"Sekarang realitas itu dimana? Berapa orang yang melakukan itu (tindak anarkis)? Masa semua umat islam dikategorikan seperti itu?. Seharusnya dikulik dulu kenapa dia melakukan itu, kekerasan terjadi mungkin karena kenyataannya, tindakan pelecehan agama yang mereka terima terlalu keras sehingga memancing emosi," tegasnya.

Dia menambahkan, secara hukum menyampaikan pendapat baik secara demontrasi dan protes terhadap situasi tertentu adalah legal. Menurut dia, sah-sah saja jika orang bertindak dan mengerahkan masa untuk menuntut keadilan dan menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.
Bersatulah Pilih Pemimpin Taqwa, Untuk Kejayaan Indonesia!
Oleh: Dr. Adian Husaini


“Andaikan penduduk suatu negeri mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf:96).

“Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”(HR Al-Hakim).

Al-Quran Surat al-A’raf ayat 96 tersebut dengan sangat gamblang memberi kabar gembira, bahwa jika suatu bangsa mau mendapatkan kucuran rahmat dan dijauhkan dari berbagai musibah, maka iman dan taqwa harus dijadikan sebagai nilai tertinggi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Tentu saja, itu termasuk dalam penentuan pemimpin, baik pada tataran keluarga, kelompok, atau pun pada tataran kenegaraan.

Pemimpin yang beriman dan bartaqwa adalah pemimpin yang bertauhid, yang berkomitmen menegakkan misi utama kenabian, yaitu menegakkan Tauhid. (QS 16:36). Pemimpin semacam ini yakin bahwa hanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tiada sekutu, tiada anak atau diperanakkan. Hanya Allah yang berhak disembah. Ia pun yakin, bahwa Allah telah mengutus para Nabi — mulai Adam a.s. sd Muhammad saw – yang diberi tugas menyampaikan ayat-ayat-Nya dan mensucikan jiwa mereka. Ia pun yakin, bahwa semua amal perbuatannya akan diminta pertanggung jawaban di Hari Akhir nanti.

Maka, pemimpin yang bertauhid dan berkomitmen menegakkan misi kenabian seperti itu, pasti bekerja sekuat tenaga menjalankan amanah yang diembannya; mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongannya; bekerja keras untuk menjaga dan membina iman dan taqwa bangsanya; bukan sekedar berkutat pada urusan dunia semata; bekerja keras mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyatnya; takut azab Allah di dunia dan akhirat; takut mengambil hak rakyat; dan tidak akan tertawa atau berpesta pora ketika rakyat susah dan sengsara.

Pemimpin berkomitmen pada misi kenabian itu, tidak mau munafik; tidak berpura-pura beriman dan baik di hadapan manusia, sedangkan hatinya benci kepada Islam, lebih memuja jalan dan aturan setan, ketimbang jalan Allah Yang Maha Pencipta. Pemimpin taqwa akan malu kepada Allah, jika berpura-pura bersimpati pada rakyat padahal itu hanya untuk pencitraan di depan manusia. Ia sadar benar, bahwa keberadaan dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin sangatlah berat. Jika ia menzalimi rakyatnya, maka ia akan diazab oleh Allah SWT dengan azab yang pedih. Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah SWT mengharamkan surga baginya.” (HR Muslim).

Karena itu, kita, umat Islam, diperingatkan oleh Rasulullah saw agar sangat berhati-hati memilih pemimpin. “Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”(HR Al-Hakim).
Jadi, kita tidak patut sembarangan tentukan pemimpin. Apalagi pemimpin pada level kenegaraan. Ada tanggung jawab dunia akhirat. Jika memilih pemimpin bukan yang terbaik menurut kriteria Islam, maka bisa dikategorikan telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya; na’udzubillahi min dzalika. Maka, sepatutnya, kita TIDAK memilih pemimpin karena hubungan keluarga, hubungan kesukuan, hubungan kelompok, dan sebagainya, dengan meninggalkan prinsip iman dan taqwa. Sesuai arahan Rasulullah saw, kita pilih pemimpin karena memang ia orang yang terbaik ketaqwaannya – yang juga mencakup aspek profesionalitasnya. Sebab, pemimpin kita itu adalah IMAM, yang bertanggung jawab urusan dunia dan akhirat!

Dalam pandangan Islam, pemimpin bukan sekedar mengurus masalah dunia. Pemimpin
bukan sekedar mengurus KTP, pajak, dan kesejahteraan ekonomi. Tapi, pemimpin akan dimintai tanggung jawab apakah ia telah berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan rakyatnya, atau justru ia merusak keimanan rakyatnya. Indonesia adalah negeri penuh berkah, amanah para wali dan para pejuang Islam yang beratus-ratus tahun berjuang di negeri ini; menyemai benih Tauhid, hingga negeri yang sebelumnya 100% penduduknya tak tersentuh Risalah kenabian, kemudian menjadi hampir seluruhnya muslim.

Pemimpin bertaqwa bukan hanya mengusahakan agar rakyat bisa terpenuhi sandang, pangan, dan papannya, tetapi juga sungguh-sungguh dalam membangun jiwanya sendiri dan jiwa rakyatnya, agar mereka terbebas dari penyakit-penyakit jiwa, seperti sombong, serakah, rakus dunia, riya’, iri hati/dengki, dan sebagainya. Sebab, Allah SWT sudah mengabarkan bahwa sangatlah beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sangatlah celaka orang yang mengotori jiwanya. (QS 91:9-10). Mungkin bukan kebetulan, jika penggubah lagu Indonesia menyerukan: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!

Kita syukuri nikmat Allah, bahwa kita menjadi Muslim, dan tinggal di negeri yang indah, subur dan makmur. Tentu menjadi tanggung jawab kita semua untuk memakmurkan negeri ini, melaksanakan tugas kita sebagai khalifatullah, menjadikan negeri anugerah Ilahi ini menjadi negeri adil-makmur di bawah naungan ridho Ilahi (baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur).

Saudara-saudaraku para politisi Muslim, pimpinan Partai Islam, dan segenap umat Islam Indonesia, kita akui, saat ini, panggung politik Indonesia didominasi oleh wacana politik sekuler. Wacana-wacana duniawi, urusan ekonomi, janji-janji kesejahteraan hidup, menjadi wacana yang sangat dominan. Wacana keimanan, akhlak, dan pembangunan jiwa menjadi terpinggirkan; dianggap “tidak laku dijual”; bahkan dianggap tidak relevan. Seolah-olah, semua masalah bangsa ini akan bisa diselesaikan dengan akal dan materi. Agama dianggap tidak penting. Panduan Nabi saw dalam berasyarakat dan bernegara diabaikan begitu saja. Kadangkala, untuk basa-basi politik, Nabi hanya diingat saat perayaan Maulid. Kyai atau ulama jadi pelengkap untuk baca doa dalam upacara bendera.

Padahal, sebagai Muslim, kita diajarkan, bahwa manusia itu bukan sekedar kumpulan tulang dan daging. Manusia beda dengan binatang. Manusia punya jiwa, ada Ruh. Tujuan manusia adalah hidup bahagia. Kekuatan manusia pun terbatas. Kita diajar oleh Nabi kita: Ihrish ‘alaa maa yanfauka, wasta’in billahi, wa-laa ta’jizan…. (Bersemangatlah selalu untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan sekali-kali merasa lemah dan tidak mampu!”)

Masalah bangsa kita sangat besar dan komplek. Dengan utang luar negeri di atas Rp 2.000 trilyun, kerusakan sumber daya alam yang makin meluas, pragmatisme dan fragmentasi masyarakat yang sangat mengemuka, dan setumpuk masalah bangsa lainnya, diperlukan solusi yang bukan hanya bersifat “rasional” tapi juga “supra-rasional” dengan memohon rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sebagaimana telah begitu indah ditegaskan oleh para founfing fathers dalam Pembukaan UUD 1945 dalam pencapaian kemerdekaan negara kita.

Karena itu, sepatutnya, kita malu kepada Allah, jika mengaku-aku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi pada saat yang sama juga membiarkan berkembangnya kemusyrikan di negeri kita. Padahal, kita tahu, syirik adalah dosa besar yang tak terampunkan. Syirik adalah kezaliman yang sangat besar. (QS 31:13). Kita sepatutnya malu, menengadahkan tangan kepada-Nya, memohon negeri kita diberkati Allah, sementara pada saat yang sama, kita membiarkan berbagai tindakan yang jelas-jelas melawan perintah dan larangan Allah SWT.

Tuan-Tuan penguasa memberikan kebebasan seluas-luasnya wanita mengumbar auratnya, sementara di sebagian instansi pemerintah, muslimah justru dilarang menutup auratnya. Pada berbagai kesempatan, kontes-kontes yang mengumbar aurat justru dikembangkan. Bagaimana para pemimpin kita nanti harus bertanggung jawab, saat mereka dihadapkan kepada Hakim Satu-satunya di Hari Kiamat? Apa jawab mereka kepada Sang
Khaliq?

Saudaraku, seluruh kaum Muslimin Indonesia, para politisi Muslim, dan pimpinan Patai Islam…. Kita sangat mafhum, bahwa hidup di dunia ini sangatah singkat. Kuasa dan harta yang kita kejar sekuat tenaga, tak akan membawa bahagia, bahkan bisa menjadi bencana, jika tidak kita niatkan untuk ibadah kepada Allah SWT. Betapa banyak pemimpin dunia yang — di dunia pun — tak mengenyam bahagia, selalu dirundung masalah demi masalah, dan di akhirat ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Tanggung jawabnya sangatlah berat.

Saya paham, demi pertimbangan untuk meraih suara dalam Pemilu, jargon “menegakkan Tauhid” mungkin kini dianggap tidak layak untuk dijual. Jargon pemberantasan korupsi dianggap lebih layak dijual kepada rakyat untuk meraih dukungan mereka. Tapi, sebagai pelanjut perjuangan para Nabi dalam penegakan misi kenabian, kita hanyalah satu mata rantai dari serangkaian derap langkah panjangnya para Nabi utusan Yang Maha Kuasa.

Kita tatap dengan semangat dan penuh optimis masa depan perjuangan Islam di Indonesia. Kita arahkan pandangan kita ke ufuk cakrawala yang jauh, tanpa mengabaikan realitas kondisi dan situasi yang terjadi. Realitas penting untuk menjadi pertimbangan kita. Tetapi, misi abadi kenabian, penegakan kalimah Tauhid dan menebar rahmat ke seluruh alam, tidak boleh tenggelam oleh kepentingan pragmatis kekuasaan semata. “Dialah Allah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan ad-Din yang Haq untuk dimenangkan atas berbagai agama lainnya, walaupun kaum musyrik membencinya.” (QS ash-Shaf:9).

Nabi Ibrahim (a.s.) yang begitu mulia dan selalu kita panjatkan doa untuknya, memang diusir dan dibakar oleh sang penguasa. Tapi, al-Quran lebih membela Ibrahim, dan sama sekali tidak bersimpati kepada raja yang musyrik dan zalim, meskipun sang raja itu besar kuasanya. Meskipun Firaun jauh lebih kuat dari Musa (a.s.), tapi al-Quran tidak pernah sedikit pun memberikan pujian untuk Fir’aun. Ketika kecil dan ketika kuat, Daud a.s. tetap dipuji karena keteguhannya memperjuangkan kalimah Tauhid.

Jika tidak ingin dimusuhi kaumnya yang musyrik, logikanya, lebih aman dan nyaman, jika Nabi Muhammad saw tidak mendahulukan seruan tauhidnya dan mengkritisi kemusyrikan yang telah menjadi tradisi bangsanya. Meskipun ditentang keras, dimusuhi, diboikot, diancam dibunuh, dan sebagainya, Nabi saw tetap mengajak kaumnya untuk meninggalkan agama mereka yang syirik dan memeluk Islam, mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan mengakui Muhammad saw sebagai utusan-Nya yang terakhir.

Mungkin, jika ingin dakwahnya diterima secara luas, tidak dimusuhi kaum dan keluarganya sendiri, dan bisa hidup lebih nyaman, Nabi Muhammad saw hanya akan mengangkat isu-isu ekonomi dan kesejahteraan, dengan – misalnya — membentuk semacam koperasi atau Perseroan Terbatas. Bangsa Arab akan menerima ajakan itu, karena Rasulullah saw juga pedagang yang sukses dan manusia terpercaya. Meski pun al-Quran memerintahkan kepedulian sosial yang tinggi sejak dakwah di periode awal di Makkah, tetapi seruan untuk menegakkan Tauhid adalah isu utama dalam dakwah Nabi.

Hanya dengan Tauhid, iman kepada Allah dan rasul-Nya, maka manusia menjadi mulia, di dunia dan akhirat. Kita camkan benar peringatan al-Quran: “Jangan merasa hina dan jangan berduka! Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kalian mukmin!” (QS 3:139).

Umat Islam adalah ummatur-risalah. Kita mendapatkan amanah dari Allah SWT. Kita kibarkan panji Tauhid, panji jiad fi-sabilillah dalam berbagai lini kehidupan, meski banyak yang enggan melirik, bahkan ada yang sinis dan mencibirnya. Sebab, hanya dengan IMAN kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad fi-sabilillah, maka manusia akan selamat dari siksa neraka. (QS 61:10-11).

Mari kita pilih PEMIMPIN TERBAIK, berdasarkan kriteria IMAN dan TAQWA-nya, yang kita percayai memiliki ilmu dan pribadi unggul, yang mampu memimpin dan membawa negeri ini kepada keberkahan Ilahi; pemimpin yang cerdas, yang tawadhu’, tidak angkuh, tidak jumawa, tidak munafik, tidak rakus dunia, tidak silau gemerlapnya dunia, yang bersedia memaduka
n panca indera dan akalnya dengan wahyu Allah SWT.

Sekali lagi, jangan sampai kita salah pilih, karena Rasulullah saw sudah memperingatkan:
“Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”(HR Al-Hakim).


Memilih pemimpin adalah urusan penting dalam agama kita. Sepatutnya kita bersikap hati-hati. Semoga kita dan keluarga kita mendapatkan ridha dan rahmat dari Allah SWT. Amin.
-------
Sumber: http://www.fpi.or.id/2016/03/bersatulah-pilih-pemimpin-taqwa-untuk.html?m=1
PEMIMPIN POSTMODERN
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pemimpin selalu identik dengan tokoh, idola, figure sentral, bahkan bisa merupakan jelmaan ratu adil. Namun kini di zaman postmodern pemimpin lahir dari wacana atau diskursus melalui media masa. Betapa idealnya seorang pemimpin dimasa lalu dapat dilacak dari pemimpin atau raja-raja pada abad Pertengahan di Barat. Pemimpin politik, waktu itu, adalah agamawan. Mereka dipilih setelah diketahui umum bahwa mereka berasal dari tujuh turunan keluarga yang tidak cacat moral. Namun, hingga abad 19 kreteria pemimpin seperti itu mulai pudar sehingga sulit diperoleh. Tidak ada lagi pemimpin bermoral bishop dan tidak ada bishop berkualitas politisi. Agama dan politik pun bercerai.

Para pakar pun mencari criteria ideal seorang pemimpin. Pikiran dan criteria Niccolò Machiavelli (1469-1527) abad 19 di anggap awal kriteria pemimpin ideal tanpa faktor agama. Thomas Carlyle, misalnya, menulis buku Heroes and Hero Wor ship (1841) untuk mengidentifikas bakat, skill dan ciri-ciri fisik orang yang menjadi penguasa.

Francis Galton dalam bukunya Hereditary Genius (1869) menguji kualitas pemimpin pada keluarga-keluarga orang berpengaruh. Ia menemukan bahwa keluarga pemimpin berbakat pemimpin. Artinya pemimpin itu dilahirkan. Namun, ini dibantah oleh teori Cecil Rhodes (1853-1902) yang masih percaya bahwa karakter dan instink peimimpin itu bisa dididik. Tapi sekalipun karakteristik pemimpin ditemukan (tahun 1940-an) namun suatu kriteria tidak bisa berlaku untuk semua jenis masyarakat. Untuk itu para pakar menggunakan teori yang telah dirintis oleh McGrath (1962) teori Functional Leadership Model. Pemimpin ini dipilih sesuai dengan yang dikehendaki rakyat atau organisasi yaitu untuk melayani.

Pada abad yang sama Bernard Bass (1978) mengembangkan teori yang disebut Transactional dan transformational leadership. Yang pertama adalah pemimpin yang diberi kekuasaan oleh kelompok atau rakyat untuk mengerjakan suatu tugas tertentu. kedua adalah pemimpin yang visioner yang bertugas menstimulasi dan menanamkan visi kepada rakyat. Bagaimanapun teori tentang kepemiminan hingga abad 21 ini masih gagal menemukan rumusan sifat-sifat ideal seorang pemimpin.

Kini sering terjadi tiba-tiba seorang pemimpin muncul atau terpilih diluar kriteria pemimpin. Politik dan politisi kini menjadi pemilik criteria, bukan pakar. Intelektualitas, nilai-nilai, kecakapan sosial, kepakaran dan kecakapan dalam problem solving dan mungkin juga kenegarawanan seiringkali absen dari diri pemimpin terpilih. Mengapa bisa terjadi demikian?

Teka teki ini mungkin terjawab oleh temuan teori pemimpin yang digagas oleh Oxford School Leadership. Teorinya disebut Neo-emergent theory. Dalam teori yang dianggap paling mutakhir ini pemimpin dipromosikan oleh informasi yang diciptakan oleh stakeholdernya me lalui media masa atau media social. Namun yang dipromosikan bukan karakter sesungguhnya dari pemimpin yang diinginkan, tapi wacana-wacana ideal tentang pemimpin yang dipromosikan itu. Teori ini digambarkan sebagai berikut: "the press, blogs and other sources re port their own views of leaders, which may be based on reality, but may also be based on a political command, a pay ment, or an inherent interest of the author, media, or leader. Therefore, one can argue that the perception of all leaders is created and in fact does not reflect their true leadership qualities at all."

Teori Neo-emergent itu mungkin bisa disebut teori pencitraan atau pemimpin media masa atau sosial (sosmed). Demokrasi bisa berubah menjadi "mediakrasi" (kekuasaan media). Media pun sudah di bawah petunjuk kekuatan politik, pemodal, konglomerat dan sebangsanya.

Sudah tentu ini diluar nalar waras. Tapi memang Logika postmodern tidak lagi memakai sillogisme, tapi bahasa dan makna. Makna menentukan segalanya. Siapa yang memberi makna adalah siapa saja. Maka tidak heran Akbar S Ahmed menyimpulkan bahwa ide-ide postmodernisme dipicu oleh media. Media bisa bermain-main dengan makna. Koruptor bisa tiba-tiba menjadi pelopor. Culas bisa menjadi lugas dan tegas. Tukang maki menjad
i pemimpin bernyali. Pakar barter menjadi berkarakter dan sebagainya.

Logika bahasa Postmodern dalam media diracik dengan faham humanisme meng hasilkan pemimpin yang unik. Pemimpin yang keras meledak-ledak, anehaneh dan dianggap gila itu pemimpin ber karakter. Bahkan berkarakter itu bisa dimaknai menjadi bermoral dan ber akhlaq. Padahal kata character sendiri bermasalah sebab ia sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan. Berkarakter bisa diartikan ber "peran" dan bukan suatu sifat yang melekat erat dalam diri. Sifat inilah yang diletakkan oleh media kepada seseorang yang akan didaulat sebagai pemimpin. Pemimpin akhirnya menjadi seperti wa yang yang memerlukan dan diperlukan seorang dalang.

Kata "moral" pun rancu, karena dalam Oxford English Dictionary moral adalah perilaku baik-buruk. Standar baik buruk itu bersumber dari kesepakatan manusia (human convention). Bahkan apa yang di sebut "hukum moral" atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial.

Maknanya moral dan etika menjadi longgar tergantung masyarakat. Jadi ber-moral artinya berperilaku sesuai dengan atur an masyarakat, dan tidak selalu religius. Maka bermoral dan berkarakter tidak bisa disamakan dengan berakhla1. Kata akhlaq serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim). Jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berfikir, berkehendak dan berplerilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya. Fitrah seseorang itu adalah bertuhan, beragama dan tentu berislam.

Maka pemimpin berkarakter saja tidak cukup mensejahterakan masyarakat, demikian pula pemimpin bermoral. Sebab seorang pemimpin yang tegas, pekerja keras, pandai membangun infra struktur publik bisa dianggap berkarakter. Meski pun dibalik itu boleh jadi ia melakukan kecurangan dan tindah amoral secara rahasia. Seorang yang tidak ambisius, nampak sederhana, halus dalam percakapan, dan murah senyum bisa diberi label bermoral.

Namun jika ia sering berbohong, pembenci, penipu, zalim pada sesama, apalagi menentang Tuhan, maka ia tidak berakhlaq. Meski kondisi berfikir masyarakat dunia saat ini nampak begitu postmodern, sebaiknya pemimpin yang dihasilkan adalah tokoh yang tetap menjaga akhlaqnya dan beramanah. Kemuliaannya tidak dihasilkan oleh luar dirinya alias orang lain, atau selain dirinya, itulah akhlaq. Per buatan, perkataan dan pikirannya, seperti kata Umar bin Khattab, harus sama. Itulah amanah. Jika tidak maka yang ada hanya pemimpin amoral dan pengkhianat.