MUSTANIR ONLINE
3.22K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi:
Awal Menciptakan Peradaban

Menikah adalah ikatan sakral nan agung. Dalam Islam, menikah berarti me nyempurnakan separuh dari agamanya. Menikah penuh dengan nilai-nilai religi.

Bagai mana tidak, sesuatu yang awalnya diharamkan, berubah hukum menjadi sesuatu yang dinilai mubah bahkan berpahala dan menjadi ibadah.

Makna dalam pernikahan ini yang kadang terluput dari orang yang menikah. Menikah pada dasarnya menciptakan generasi saleh yang menjadi batu bata peradaban Islam. Namun, dengan dalih cinta, makna dalam ini kabur, salah satunya dengan kampanye nikah beda agama. Umat mesti menyadari hakikat pernikahan yang bukan berlandaskan cinta dan nafsu saja. Inilah yang ditegaskan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr Hamid Fahmy Zarkasyi. Berikut petikan wawancaranya bersama Wartawan Republika Hannan Putra.

Apa makna suci pernikahan?
Pernikahan bukan sekadar hubungan suami istri. Pernikahan itu adalah untuk menghasilkan generasi, yaitu anak-anak yang saleh yang kemudian akan mendoakan kedua orang tuanya. Sekarang, bagaimana anak-anak itu akan menjadi anak yang saleh, kalau orang tuanya beda agama. Anak-anak akan kebingungan memilih agamanya, apakah dia menjadi Muslim atau tidak. Hadis soal ini jelas, "Setiap anak adam yang lahir ke dunia itu dalam keadaan fitrah (Islam). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR Muslim).

Di sinilah masalahnya, kalau orang tuanya menikah dengan orang yang berbeda agama, itu pasti ada persoalan. Pasti salah satu orang tuanya ingin anaknya mengikutinya. Inilah kasus yang banyak terjadi. Seperti kita lihat kasus nikah beda agama para artis yang marak di televisi. Orang Islam yang menikah beda agama, mereka tidak berniat untuk menghasilkan waladun shalihun yad’u lahu (anak yang saleh yang akan men doakan kedua orang tuanya).

Seberapa penting urgensi pernikahan dalam Islam?
Pernikahan dalam Islam kita sebut dengan mitsaqan ghalizha. Ikatan ini bukan hanya dengan manusia, tapi dengan Tuhan. Orang Islam lakilaki yang menikah dengan wanita non-Muslim sekalipun, tugas utamanya adalah menjadikan dia Muslimah dahulu. Artinya, tetap tujuannya untuk menikah adalah untuk menciptakan kesalehan yang kemudian akan melahirkan anak yang saleh.

Apa maksud ayat, "salah satu tanda kebesaran Allah adalah menikah"?
Ada banyak hal dalam pernikahan itu yang menjadi tanda kebesaran Allah. Dalam Alquran kan disebutkan, salah satu tanda kebesaran Allah adalah Dia menciptakan makhluknya berpasangpasangan. Ada laki-laki dan perempuan.

Men cip ta kan laki-laki dan perempuan itu hikmahnya agar mereka ini menikah. Dari pernikahan itu menghasilkan anak-anak yang menjadi penerus generasi.

Jadi, pernikahan itu bukan hanya sekadar hubungan suami-istri dengan dasar saling mencintai. Bukan hanya itu. Ada sesuatu yang agung di balik pernikahan itu. Inilah yang dijelaskan dalam ayat itu. Mereka yang menikah (beda agama) tanpa berdasarkan akidah, mungkin tidak membaca ayat ini. Bagi mereka hanya sekadar saling mencintai.

Inilah yang menjadikan alasan bagi mereka yang menghalalkan nikah beda agama. karena keduanya sudah saling mencintai, mengapa harus kita larang untuk menikah? Tapi mereka ini hanya bicara sebatas cinta. Mereka tidak membahas soal sesudah pernikahan. Mereka tidak mau tahu, bahwa ayat-ayat Alquran sebenarnya membahas perkara di balik pernikahan itu.

Inilah yang perlu kita pahami tentang makna menikah itu, bahwa menikah adalah menjalin ikatan dengan Tuhan di samping menjalin ikatan dengan manusia. Kemudian, ada ikatan pula dengan regenerasi. Di sini sebenarnya peradaban itu. Kalau kita bicara soal peradaban, menikah adalah awal peradaban manusia itu. Menikah berarti melahirkan peradaban, dari menikah, melahirkan keturunan, dan keturunan itu besar kemudian menikah lagi. Inilah hal yang agung itu.
👍1
Bagaimana Islam memandu umatnya dalam memilih jodoh?
Hadisnya sudah jelas soal ini. Islam menuntun kita, agar pilihan kita tidak salah, kita disuruh untuk beristikharah. Istikharah tentu saja dengan ilmu. Jadi, memilih jodoh itu dengan ilmu. Soal ini kan ketentuannya sudah jelas dari Nabi. Bagaimana keturunannya, hartanya, rupanya, dan agamanya. Ini kriteria yang sangat manusiawi sekali. Orang zaman sekarang pun, untuk menikah itu tidak sekadar karena cantik. Bukan sekadar cinta.

Jadi, kalau untuk menikah, harus jelas orang tua dan keturunannya seperti apa. Agamanya juga dilihat seperti apa. Kalau orang yang religius pasti akan mempertimbangkan aspek-aspek seperti yang di dalam hadis itu. Dia pasti akan berhati-hati untuk pernikahan yang nilainya sangat sakral itu. Hal-hal ini mungkin tidak akan nyambung dengan perspektif orang yang tidak beragama.

Apa fadhilah (keutamaan) menikah?
Menikah adalah solusi dari pengharaman zina. Masalah syahwat, kalau dia tidak ditampung dalam institusi pernikahan, dia akan merusak seluruh sistem yang ada. Dengan syahwat orang bisa mencuri, berjudi, membunuh, dan perbuatan kriminal lainnya. Tapi dengan menikah, orang akan sakinah (tenang). Tidak mungkin orang yang sudah sakinah akan berlaku buruk, misalkan selingkuh. Itu tidak mungkin.

Dari sinilah kita bisa menciptakan masyarakat yang baik. Bagaimana mungkin pernikahan yang cu ma dasarnya karena cinta tadi itu bisa menciptakan sakinah? Bayangkan, hanya karena alasan berdasarkan cinta, hubungan pernikahan ini sudah bisa dilangsungkan. Entah model masyarakat seperti apa yang akan lahir nanti?

Apa makna sakinah, mawadah , warahmah yang benar?
Orang yang sudah mempunyai sakan (rumah) dan mempunyai istri, intinya sudah mempunyai tempat kembali (sakana) itu merasa nyaman. Di situlah dia nanti akan mencintai keluarganya. Kalau sudah sakinah (tenang) hubungan suami istri itu akan baik. Jika berumah tangga tujuannya adalah untuk ibadah, pasti anak keturunan yang akan dilahirkan akan saleh.

Orang yang tidak sakinah dalam rumah tangga nya, bagaimana dia akan membangun sebuah rumah tangga yang menciptakan generasi-generasi soleh. Mana mungkin generasi yang nantinya akan menjadi orang-orang besar akan lahir dari rumah tangga yang tidak sakinah. Apalagi tidak ada mawaddah dan rahmahnya.
----
ed: hafidz muftisany / ROL
Kita Bukan Bangsa Munafik
Oleh: Dr. Adian Husaini

Tahun 1951, Buya Hamka, menulis dalam sebuah risalah kecil berjudul “Urat Tunggang Pancasila”. Hamka menyebutkan, bahwa suatu bangsa, menurut kaum yang memperjuangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan mencapai derajat yang setinggi-tingginya, selama mereka masih memegang tiga perkara pokok dari Kemerdekaan, yaitu (1) Merdeka iradah, (2) merdeka pikiran, dan (3) merdeka jiwa.

“Kepercayaan inilah yang menyebabkan tidak ada ketakutan. Tidak takut miskin, dan tidak sombong lantaran kaya. Tahan seketika dapat sengsara, dan tahan pula seketika dapat ni’mat. Dan tidak pula canggung seketika jatuh dari ni’mat. Karena yang dikerjakan dalam hidup ini adalah bakti dan ibadah belaka. Dan kalau pokok ini yang runtuh (kemerdekaan jiwa), inilah permulaan hilang kemerdekaan. Walaupun serdadu asing tidak ada di dalamnya lagi. Bahkan, pemerintahannya itulah yang akan asing baginya.” (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Media Dakwah, 1985, hlm. 28-29).

Para pendiri bangsa kita telah menegaskan, bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Para ulama NU yang bermusyawarah nasional di Situbondo tahun 1983 menegaskan, bahwa bagi umat Islam, sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu bermakna Tauhid dalam ajaran Islam.

Tentu, kita memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak bermakna sekedar mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi, pada saat yang sama, manusia hidup tanpa mempedulikan Tuhan. Apalagi, sampai berani melawan Tuhan. Lebih parah lagi, jika berani mengubah-ubah ajaran Tuhan, dengan tujuan untuk menyesatkan manusia.

Sikap hanya mau mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa – tetapi menolak untuk diatur oleh-Nya — seperti itu pernah dilakukan oleh makhluk durjana bernama Iblis yang telah dilaknat oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena membangkang atas perintah-Nya.

Berulang kali al-Quran mengingatkan agar umat Islam jangan sekali-kali mengikuti langkah Iblis dan setan atau terjebak dalam godaan setan, sehingga tersesat dari jalan lurus. Setiap muslim telah berjanji dan berikrar: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!”

Maknanya jelas, seorang Muslim hanya mengakui Tuhan yang Esa, yaitu Allah SWT. Ia menolak tuhan-tuhan lain. Ia berjanji untuk hanya menyembah dan taat kepada Allah, bukan taat kepada Tuyul atau makhluk apa pun juga! Ia pun mengakui, berikrar, bersaksi, bahwa Allah sudah mengirimkan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia, yaitu Muhammad saw, yang ajaran-ajarannya pasti menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Betulkah ciri utama manusia Indonesia – seperti dikatakan budayawan Mokhtar Lubis – adalah munafik? Yakni, lain yang dikata, lain pula yang dibuat? Kita jawab,”Tidak!” Bangsa Indonesia adalah manusia-manusia jujur, dan bukan bangsa munafik! Setidaknya, itulah doa kita, agar kita semua terhindar dari sifat munafik.

Yang jelas, al-Quran begitu banyak menjelaskan ciri-ciri orang-orang munafik. Diantaranya, jika bertemu orang mukmin, mereka mengaku-aku beriman; dan jika bertemu sesama munafik, mereka pun mengaku bagian dari golongan munafik juga. Mereka hanya melakukan pelecehan dan penghinaan kepada orang-orang beriman. (QS 2:14).

Sikap dan perilaku jahat kaum munafik – yang secara lahir mengaku beriman, tetapi batinnya mencintai kekufuran – bahkan diabadikan dalam satu surat khusus, yaitu Surat al-Munafiqun (63). Mereka dikenal sebagai pendusta, mengaku-aku beriman padahal selalu memusuhi kaum Muslimin.

Kadang, mereka tak segan bersumpah-sumpah agar bisa dipercaya. Padahal, mereka selalu berusaha menghalagi manusia untuk mendekat kepada Allah. Juga, tak jarang penampilan lahiriah kaum munafik itu sangat memukau; ucapan-ucapan mereka pun banyak didengar orang. Jika diajak beriman, mereka bersikap angkuh, membuang muka, enggan menerima kebenaran. (QS 63:1-5).
Jika kita telah berikrar menjadi muslim, apa pun posisi dan kedudukan sosial kita, maka tidak relevan lagi, kita berdiskusi, apakah Indonesia ini negara agama atau negara sekuler. Wacana bahwa Indonesia adalah “bukan negara agama dan bukan negara sekuler” tidak berlaku bagi seorang Muslim yang memiliki pandangan alam (weltanchaung/worldview) Islam.

Sebab, di mana pun, dan kapan pun, seorang Muslim akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah, yang cinta dan ridha untuk selalu berusaha mentaati ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepada kita melalui utusan-Nya yang terakhir (yaitu Nabi Muhammad saw).

Islam tidak memaksa orang lain untuk menerima hidayah Allah. Iman dan kufur menjadi tanggung jawab diri masing-masing. Apalagi, kita semua, umat Nabi Muhammad saw, tugasnya hanya menyampaikan imbauan kebenaran kepada para pemimpin dan masyarakat. Semoga kita semua, bangsa Indonesia, berhenti melecehkan sila Ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa.

Semoga kita selamat dari sifat-sifat buruk kaum munafik yang secara sadar atau tidak telah berani melecehkan Tuhan Yang Maha Esa, dengan hanya mengaku-aku berketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dirinya membenci, melecehkan dan terus berusaha menyingkirkan ajaran-ajaran Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negaranya.

Semoga kita selamat; juga keluarga, sahabat, dan para pemimpin kita, dari sifat-sifat orang munafik itu. Sebab, di akhirat, orang-orang munafik akan ditempatkan di dasar neraka. (Depok, 28 Desember 2021).
Salah Alamat Yahudi Mau Mendidik Rakyat Indonesia Tentang Bahaya Rasialisme
Oleh: Dr. Adian Husaini

Kepada BBC News Indonesia, Pemimpin Sinagog Yahudi dan pengelola Museum Holokos di Minahasa, Rabi Yakoov Baruch, menyatakan: “Saya ingin mengedukasi masyarakat Indonesia tentang bahayanya rasialisme dan kebencian.” (BBC News Indonesia, Kamis (03/02/2022).

Ia juga menyatakan: “Kalau kita tidak memerangi rasialisme dan kebencian sejak dini, dan itu bisa terlambat, maka peristiwa seperti holokos akan menjadi pelajaran buat kita… Bukan untuk hanya genosida terhadap bangsa Yahudi saja, tapi terhadap suku etnis manapun. Itu tidak bisa dibenarkan.”

Menurut Rabi Yakoov, Museum Holokos didirikan bukan kampanyekan normalisasi hubungan RI-Israel. “Saya menjelaskan kembali sikap Yahudi Indonesia mendukung keputusan pemerintah Indonesia, yang sampai saat ini mempunyai sikap terhadap konflik Israel-Palestina itu seperti apa, kita tahu. Kami mendukung sepenuhnya,” kata Yakoov.

Bahkan, katanya, Museum Holokos itu tidak mendapat bantuan pihak asing dalam bentuk “uang atau apa pun”. Pembangunan museum itu disebutnya “murni dari hasil keringat kami.”

“Kami hanya dibantu diberi gambar [foto], karena kami tidak memiliki sumber untuk membuat gambar,” ungkapnya di hadapan perwakilan MUI Sulut. Yakoov juga menegaskan, pihaknya “tidak mengendorse negara asing atau untuk kepentingan asing”.
“Semuanya dalam bingkai NKRI, di mana Konstitusi kita menentang segala bentuk penjajahan, termasuk kita belajar dari penjajahan Nazi di Eropa,” jelasnya. (https://www.suara.com/news/2022/02/05/171824/museum-holokos-di-minahasa-polemik-antara-zionisme-dengan-yudaisme).

Pernyataan Rabi Yakoov yang ingin mengedukasi masyarakat Indonesia akan bahaya rasialisme patut kita cermati. Sebab, sepatutnya, hal itu dilakukan kepada masyarakat Yahudi, khususnya negara Yahudi Israel, yang dikenal sebagai negara rasis. Laporan Human Right Watch (HRW) tahun 2021 menyebutkan, Israel memang melakukan kejahatan politik rasialis terhadap warga non-Yahudi. (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210427190439-120-635578/human-rights-watch-sebut-israel-melakukan-kejahatan-apartheid).

Sang Rabi Yahudi itu juga menyatakan, bahwa pendirian Museum Holokos itu berada dalam bingkai NKRI yang konstitusinya menentang segala bentuk penjajahan. Nah, patut kita tanya kepada beliau, negara mana yang saat ini masih menjajah? Tidak lain, adalah negara Yahudi Israel!

Itulah yag ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dalam pidatonya di PBB, bulan Mei 2021 lalu. Media sindonews.com, 21 Mei 2021, menulis berita berjudul: “Menlu Retno di PBB: Israel Negara Penjajah Palestina, Harus Direspons Seluruh Negara!” (https://international.sindonews.com/read/433490/42/menlu-retno-di-pbb-israel-negara-penjajah-palestina-harus-direspons-seluruh-negara-1621577144).

Sejak merampas tanah Palestina dan mendirikan negara Yahudi, 14 Mei 1948, kaum Yahudi Zionis ini tak henti-hentinya menebar teror dan kekejaman. Pada 10 November 1975, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 3379 (xxx) yang menyatakan: “Zionisme adalah sebentuk rasisme dan diskriminasi rasial.”

Tahun 1955, Indonesia memelopori Konferensi Asia-Afrika, yang salah satu jiwa pokoknya jiwa anti-Zionisme. Mantan Menlu RI, Roeslan Abdulgani, menulis, dalam konferensi tersebut Zionisme dikatakan sebagai “the last chapter in the book of old colonialism, and the one of the blackest and darkest chapter in human history”. Menurut Roeslan, “Zionisme boleh dikatakan sebagai kolonialisme yang paling jahat dalam jaman modern sekarang ini.”

Penjajahan kaum Yahudi atas Palestina amat sangat jelas melanggar banyak resolusi PBB. Karena itu, sikap Indonesia tetap kokoh memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel. Maka, aneh, jika pendirian Museum Holokos ditujukan untuk mengajari masyarakat Indonesia tentang bahaya rasialisme.
Kaum muslim tentu tidak membolehkan kebencian terhadap ras mana pun. Sebab, Al-Quran mengajarkan bahwa derajat manusia bukan ditentukan oleh ras-nya, tetapi ditentukan oleh iman dan taqwanya. Karena itulah, dalam sejarah Islam, selama ratusan tahun, kaum Yahudi justru dilindungi oleh umat Islam di Andalusia dan Turki Utsmani.

Karen Armstrong menulis dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991): “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire.”

Jadi, tujuan Sang Rabi Yahudi di Minahasa untuk mengajari masyarakat Indonesia akan bahaya rasialisme sepatutnya ditujukan kepada kaum Yahudi sendiri, dan khususnya kepada negara Yahudi Israel. Resolusi Mejelis Umum PBB sudah menyebutkan: “Zionisme adalah sebentuk rasisme dan diskriminasi rasial.”
IJMA'
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada tanggal 27-28 Mei 2013 yang lalu Gerakan Fathullah Gulen mengadakan perhelatan besar di Istanbul. Acara yang diadakan di Istanbul Convention Center itu dihadiri oleh sekitar 5000 peserta dari 80 negara. Acaranya tidak seserius seminar karena jumlah pesertanya yang cukup banyak, dan tidak sesederhana Tabligh Akbar atau istighatsah karena materinya cukup penting dan berbobot.

Konferensi dua hari dengan tema Ijma wa al-Wa’yu al-jama’i (Ijma’ dan Kesadaran Bersama) menghadirkan kurang lebih 18 pembicara dari negara-negara Arab, India, Tunis, Maroko, Sudan, Qatar, Negeria, dan Turkey sendiri. Diantaranya adalah Prof. Dr. Ali Juma mantan Mufti Besar Mesir, Rashid al-Ghannushi, Tunisia, Prof. Dr. Isam al-Bashir, Sudan, Prof. Dr. Sayfu’d-Din Abdul Fattah, Cairo University, Prof. Dr. Muhammad Babaammi, Aljazair, Mukhtar ash-Shinqitee, Qatar, Prof. Dr. Abdul Majid Najjar, Tunisia dan beberapa ulama dan intelektual asal Turkey sendiri.

Diantara yang topic penting yang diangkat adalah sbb: Ijma Sebagai Sumber Ilmu, Kebenaran Ijma, Pentingnya Ijma Para Sahabat Nabi, Praktek Ijma’ di Zaman Umar, Khulafa al-Rasyidun dan Masyarakat Rasyid, Ijma’ Politik di zaman Sahabat, Institusionalisasi Ijma’, Standar Nilai dan Metode Training bagi Menciptakan Kultur Ijma, Aspek Spiritual dalam Kultur Ijma’, Dinamika Melahirkan Generasi Ijma’.

Dalam Key Note Speech-nya Ali Jum’ah membuka pernyataan yang cukup menarik. Semua bidang umat Islam kini bermasalah, bidang politik misalnya hingga kini belum mencapai periode anak-anak sekalipun. Bidang ekonomi Islam kini masih memerlukan kerja yang lebih keras lagi, dan sebagainya. Maka dari itu kita sangat membutuhkan kesadaran bersama dalam bentuk Ijma’.

Ijma’ dalam tradisi Fiqih berarti kesepakatan semua mujtahid dari ummat Muhammad saw pada zaman tertentu sesudah zaman Nabi Muhammad dalam masalah syariah. Disini tauladan yang diambil para ulama adalah Ijma’ yang dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidun (para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk).

Ijma’ yang diakukan oleh para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk dasarnya adalah keimanan, ketaqwaan, keikhlasan, ilmu pengetahuan, kesabaran, kesungguhan, kesadaran individu terhadap jama’ah. Artinya para khalifah yang mendapat petunjuk itu (khulafa’ al-rasyidun) itu didukung oleh masyarakat yang mendapat petunjuk pula (mujtama’ al-rasyid).

Maka kesepakatan (Ijma’) masyarakat di zaman tabi’in untuk memilih pemimpin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali itu adalah termasuk ijma’, dan itu tidak salah karena mendapat petunjuk Allah. Sebab Rasulullah telah meramalkan “Ummatku tidak akan berijma’ (bersepakat) dalam kesesatan.” Mazhab atau kelompok apapun yang menyalahkan ijma’ tersebut maka maka kelompok itu telah menyalahkan Nabi.

Tidak ada yang menafikan bahwa ‘ijma adalah sumber ilmu dalam Islam, dan kini umat Islam kini perlu melakukannya. Namun, persoalannya bagaimana ber-ijma’ di zaman sekarang ini. Ijma’ dalam masalah Fiqih adalah wajib menurut Abdul Hamid Mazkur. Tapi kini tantangannya tidak hanya dalam bidang Fiqih, bidang-bidang lain juga memerlukan ‘ijma.

Sayfu’d-Din Abdul Fattah, guru besar Universitas Kairo, menawarkan trilogi ijma. Pertama memaknai ulang kata ummah, kedua mengkaitkan ijma dengan pembaharuan, dan ketiga pelembagaan pelaksanaan Ijma’. Ketiga komponen ijma’ ini perlu diperjelas sebelum umat Islam melakukan suatu ijma’. Ini akan dapat menentukan apakah suatu kesepakatan dapat disebut Ijma’ atau tidak.

Kata ummah perlu dimaknai ulang, sebab ummah tidak sama dengan nation, kata Prof. Abbadi dari Maroko. Sedangkan ruang lingkup ijma’, menurut Prof. Abd. Hamid Mazkur dapat diperluas kepada masalah-masalah kemanusiaan dan bahkan keilmuan. Disini Abdul Majid Najjar dari Tunis mengusulkan agar universitas dijadikan tempat ijma’ para cendekiawan dalam masalah-masalah keilmuan. Sudah tentu, katanya, prosedur dan syarat ijma’ yang ditetapkan fuqaha harus ditepati.
Majid, bahkan menawarkan agar perlemen Negara Islam dijadikan lembaga ijma’. Jika ada ada angota non-Muslim di dalamnya maka ia harus berdasarkan keahlian dalam bidang tertentu.

Semua pembicara seperti sepakat bahwa umat Islam perlu melakukan ‘ijma dalam bidang politik, budaya, ekonomi, kemanusiaan dan lain sebagainya. Untuk itu konferensi rekomendasi, diantaranya, agar konferensi seperti ini diadaka disetiap Negara Islam. Yang terpenting adalah agar ummat Islam seluruh dunia menciptakan organisasi khusus dan pusat-pusat studi keilmuan untuk mendukung proses ijma’ dalam berbagai bidang.
TAFSIR AL AZHAR
Penulis: Prof. Dr. Hamka
DISKON Rp. 400.000,- & GRATIS ONGKOS KIRIM

Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliau di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab.

Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
TAFSIR AL AZHAR
Penulis: Prof. Dr. Hamka
- DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 2.570.000,- (Harga normal Rp. 2.970.000,-)
- Gratis Ongkos Kirim.
1 set berisi 9 jilid (plus box) dengan berat 16 Kg.

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran...
Penjelasan Menarik Dr. Khalif Muammar Tentang Aswaja dan Ekstrimisme
Oleh: Dr. Adian Husaini

Dr. Khalif Muammar adalah salah satu murid kepercayaan Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Saat ini, ia mendapat kepercayaan sebagai Direktur RZS CASIS-UTM (Raja Zarith Sofiah Center for Advanced Studies on Science, Islam, and Civlization — Universiti Teknologi Malaysia).

Dr. Khalif menyelesaikan studi S1 nya dalam bidang syariah di Yordania. Sedangkan S2 dan S3-nya diselesaikan di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur. Diantara banyak murid Prof. Naquib al-Attas, Dr. Khalif Muammar dipercaya oleh Prof. Naquib al-Attas untuk menerjemahkan buku “Islam and Secularism” ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu pemikiran yang menarik dari Dr. Khalif Muammar adalah paparannya tentang konsep Ahlus Sunnah wal-Jamaah (Aswaja).

Dalam mendefinisikan Aswaja, Dr. Khalif Muammar mengutip pendapat Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, yang menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) terdiri atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ra’y dan al-Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.

Menurut Dr. Khalif Muammar, berdasarkan penjelasan tersebut, bisa dipahami, konsep Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asya’irah atau Hanabilah dalam pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al-Salaf al-Salih.

Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai teks-teks aqidah, seperti ‘Aqa’id al-Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-‘Aqidah al-Sanusiyyah dan sebagainya.

Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya.

Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya (al-‘indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme.

Teks Aqidah, khususnya al-‘Aqa’id al-Nasafi, juga menjelaskan tentang sumber atau saluran ilmu. Bahwa ilmu dapat dicapai oleh manusia melalui pancaindera yang sehat (al-hawass al-salimah), berita yang benar (wahyu) dan akal yang selamat. Dari rumusan ini kita mendapatkan panduan dalam menyikapi ilmu sains dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya.

Dengan prinsip ini, umat Islam tidak menolak penelitian empiris dan rasional, induktif dan deduktif, selama ilmu-ilmu ini tidak melampaui batasannya, sehingga terlalu diagungkan dan dijadikan ukuran dalam persoalan yang tidak terjangkau oleh pancaindera dan akal seperti yang berlaku dalam peradaban sekular.
Dalam al-Farq Bayn al-Firaq dijelaskan tentang kesesatan golongan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, Batiniyyah, Khawarij, Syi’ah, dan al-Hasywiyyah. Abd al-Qahir al-Baghdadi menjelaskan 15 perkara yang menjadi prinsip dalam menyikapi dengan tegas golongan sesat (ahl-al-ziyagh).

Dalam Teks Aqidah juga dijelaskan tentang otoritas para Sahabat Nabi, Ulama, dan para imam. Prinsip ini berbeda dengan golongan Syiah yang menolak kepimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidun selain Sayyidina ‘Ali r.a. Para ulama Aswaja mengakui semua imam Khulafa’ al-Rasyidun tanpa prejudis.
Aswaja juga sepakat bahwa kepimpinan setelah Rasulullah SAW dilakukan melalui pemilihan al-ikhtiyar dan bukan melalui nash (teks).

Aswaja juga menetapkan prinsip yang bijaksana dalam menghadapi penyimpangan dan perbedaan. Jika golongan Khawarij cenderung menyesatkan dan mengkafirkan para pelaku dosa (fasiq), ulama Aswaja masih menganggapnya sebagai seorang Muslim, selagi tidak menghalalkan maksiat tersebut, atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Karena itu seorang Imam yang fasiq dan zalim tidak harus dijatuhkan dan dima’zulkan, jika pema’zulannya itu akan menyebabkan terjadinya fitnah (kekacauan) yang besar. Tapi imam itu harus ditegur dan diganti dengan cara yang baik. Ini berbeda dengan kecenderungan ekstrim, seperti dilakukan oleh golongan Khawarij yang mudah menghalalkan darah orang Islam.

Pendekatan Aswaja ini terkenal dengan pendekatan Jalan Tengah (al-wasatiyyah wa al-I’tidal). Dalam teks-teks akidah disebutkan bahwa Islam menganjurkan pendekatan yang tidak kaku (rigid dan literalis) dan tidak longgar (bayn al-ghuluww wa al-taqsir). Pendekatan ekstrim tidak dikehendaki oleh Islam karena hanya mendatangkan keburukan. Di era sekarang, prinsip al-wasatiyyah wa al-I’tidal semakin relevan, karena kita berhadapan dengan golongan ekstrim kiri (liberalisme) dan ekstrim kanan (ekstrimisme).

Aswaja pun punya pendirian yang jelas tentang kedudukan akal dan wahyu. Aswaja tidak menolak akal dan tidak juga mengagungkannya lebih dari sewajarnya. Pemaduan antara wahyu dan akal menjadikan peradaban Islam yang terbangun mampu berkembang pesat di Baghdad (Asia Barat), Andalusia (Eropa), Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara dan melahirkan banyak ilmuwan yang juga merupakan ulama-ulama yang mumpuni.

Prinsip ini adalah pemaduan antara teks dan konteks, antara wahyu, empirisme dan rasionalisme, sehingga tidak ada dikotomi antara duniawi dan ukhrawi, insani dan ilahi, sains dan agama. Segala sesuatunya diletakkan pada tempatnya yang benar dan wajar.

Ulama Aswaja tidak memisahkan antara agama dengan politik (siyasah) bahkan mereka melihat persoalan politik dan pemerintahan tidak akan dapat diselesaikan dan diperbaiki jika agama tidak diberikan perhatian dalam membangun kepribadian Muslim. Aswaja menolak ekstrimisme, sesuai dengan tuntutan al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengkritik sikap ghuluww sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani.

Dr. Khalif Muammar menyimpulkan, bahwa ketika umat Islam gagal memahami dengan baik Akidah Aswaja, maka berlakulah kekeliruan dan kebingungan dalam menghadapi tantangan modern dan postmodern. Sepanjang sejarah, prinsip-prinsip Aswaja telah memunculkan gagasan-gagasan besar (great powerful ideas) dari pemikir-pemikir besar, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan lainnya, yang bermanfaat sepanjang zaman.

Saat ini, sewajarnya teks Akidah Aswaja dapat membentuk epistemologi (filsafat ilmu), filsafat pendidikan, filsafat politik, filsafat sejarah yang unik dan terbaik, sebagaimana peran yang dimainkan di masa lalu. Wallahu A’lam bish-shawab.
PRINSIP DAN UKHUWAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMAAH
Oleh: Dr. Khalif Muammar, M.A.
(Dosen di Center for Advanced Studies
on Science, Islam, and Civlization (CASIS)
Universiti Teknologi Malaysia)

Siapa Ahlus Sunnah wal-Jamaah?
Ulama besar, Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal-Jamaah (Aswaja) terdiri atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ray dan al-Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal-Jamaah.
Berdasarkan penjelasan tersebut,bisa dipahami, konsep Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asyairah atau Hanabilah dalam pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al-Salaf al-Salih.

Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai tek-teks aqidah, seperti Aqaid al-Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-Aqidah al-Sanusiyyah dan sebagainya. Di samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-Itiqad oleh Abu Hamid al-Ghazali, dan al-Aqidah al-Wasitiyyah oleh Ibn Taymiyyah.

Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya.

Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufasthaiyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya (al-indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-inadiyyah). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme.

Teks Aqidah, khususnya al-Aqaid al-Nasafi, juga menjelaskan tentang sumber atau saluran ilmu. Bahwa ilmu dapat dicapai oleh manusia melalui pancaindera yang sehat (al-hawass al-salimah), berita yang benar (wahyu) dan akal yang selamat. Dari rumusan ini kita mendapatkan panduan dalam menyikapi ilmu sains dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Dengan prinsip ini, umat Islam tidak menolak penelitian empiris dan rasional, induktif dan deduktif, selama ilmu-ilmu ini tidak melampaui batasannya, sehingga terlalu diagungkan dan dijadikan ukuran dalam persoalan yang tidak terjangkau oleh pancaindera dan akal seperti yang berlaku dalam peradaban sekular Barat.

Menyimpang
Dalam al-Farq Bayn al-Firaq juga dijelaskan tentang kesesatan golongan Mutazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, Batiniyyah, Khawarij, Syiah, dan al-Hasywiyyah. Abd al-Qahir al-Baghdadi menjelaskan 15 perkara yang menjadi prinsip dalam menyikapi dengan tegas golongan sesat (ahl-al-ziyagh). Ulama Aswaja menerima sifat-sifat Allah yang dinyatakan dalam al-Quran dan al-Sunnah dan menerangkan kesesatan golongan Mutazilah yang menolak sifat-sifat itu yang bagi mereka tidak dapat diterima oleh akal rasional, sehingga mengatakan bahwa kalam Allah adalah makhluk. (Lihat juga Teks Aqaid Nasafiyan dan al-Aqidah Thahawiyah).

Aswaja juga menolak pandangan Qadariyyah yang menganggap perbuatan manusia adalah ciptaan manusia; juga pandangan Jabariyyah yang menganggap bahwa manusia tidak melakukan perbuatannya melaikan Allah. Aswaja mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa perbuatan itu adalah ciptaan Allah tetapi manusia lah yang memilihnya dan melakukannya melalui al-kasb.
Prinsip ini memberikan pengajaran tentang bagaimana menyikapi ayat-ayat dan hadis, supaya tidak tergolong dalam orang-orang yang menolaknya (tatil) dengan alasan tidak dapat diterima oleh akal rasional, atau golongan yang cenderung menerimanya secara harfiyyah tanpa pemahaman yang mendalam sehingga menyalahi apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya sendiri.

Dalam Teks Aqidah juga dijelaskan tentang otoritas para Sahabat Nabi, Ulama, dan para imam. Prinsip ini berbeda dengan golongan Syiah yang menolak kepimpinan al-Khulafa al-Rasyidun selain Sayyidina Ali r.a. Para ulama Aswaja mengakui semua imam Khulafa al-Rasyidun tanpa prejudis. Aswaja juga sepakat bahwa kepimpinan setelah Rasulullah SAW dilakukan melalui pemilihan al-ikhtiyar dan bukan melalui nash (teks).
Mereka juga sepakat bahwa para imam yang empat (mazhab fiqh) adalah yang imam-imam yang mutabar (otoritatif). Perbedaan antara mereka adalah perbedaan khilafiyyah yang dibenarkan, dan ijtihad yang satu tidak membatalkan ijtihad yang lain. Hal yang sama harus digunakan dalam menyikapi perbedaan antara al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah dalam masalah teologi dan tasawuf. Jika Ibn Taymiyyah berbeda dan mengkritik al-Ghazali, umat Islam tidak harus menganggapnya sebagai satu bentuk penyesatan, melainkan satu ijtihad yang boleh jadi benar boleh jadi salah (al-khata wa al-sawab), bukan persoalan al-haq (benar) dan al-batil (sesat). Jika ditelusuri dengan lebih lanjut golongan Salafiyyah umumnya berpegang kepada al-Aqidah al-Tahawiyyah dan golongan Asyairah berpegang kepada Aqaid al-Nasafi yang jika dibuat perbandingan jelas bahwa antara keduanya tidak ada perbedaan yang prinsipil.

Aswaja juga menetapkan prinsip yang bijaksana dalam menghadapi penyimpangan dan perbedaan. Jika golongan Khawarij cenderung menyesatkan dan mengkafirkan para pelaku dosa (fasiq), ulama Aswaja masih menganggapnya sebagai seorang Muslim, selagi tidak menghalalkan maksiat tersebut, atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Kerana itu seorang Imam yang fasiq dan zalim tidak harus dijatuhkan dan dimazulkan, jika pemazulannya itu akan mengundang fitnah yang besar. Tapi imam itu harus ditegur dan diganti dengan cara yang baik. Ini untuk mengelakkan kecenderungan ekstrim, seperti dilakukan oleh golongan Khawarij yang dengan mudah menghalalkan darah orang Islam.

Pendekatan Aswaja ini terkenal dengan pendekatan Jalan Tengah (al-wasatiyyah wa al-Itidal). Dalam teks-teks akidah disebutkan bahwa Islam menganjurkan pendekatan yang tidak kaku (rigid dan literalis) dan tidak longgar (bayn al-ghuluww wa al-taqsir). Pendekatan ekstrim tidak dikehendaki oleh Islam karena hanya mendatangkan keburukan. Di era sekarang, prinsip al-wasatiyyah wa al-Itidal semakin relevan, karena kita berhadapan dengan golongan ekstrim kiri (liberalisme) dan ekstrim kanan (ekstrimisme).

Kerangka Pemikiran
Aswaja memiliki pendirian yang jelas tentang kedudukan akal dan wahyu. Aswaja tidak menolak akal dan tidak juga mengagungkannya lebih dari sewajarnya. Pemaduan antara wahyu dan akal menjadikan peradaban Islam yang terbangun mampu berkembang pesat di Baghdad (Asia Barat), Andalusia (Eropa), Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara dan melahirkan banyak ilmuwan yang juga merupakan ulama-ulama yang mumpuni. Prinsip ini adalah pemaduan antara teks dan konteks, antara wahyu, empirisme dan rasionalisme, sehingga tidak ada dikotomi antara duniawi dan ukhrawi, insani dan ilahi, sains dan agama. Segala sesuatunya diletakkan pada tempatnya yang benar dan wajar.

Aswaja juga memadukan antara kekuatan rohani, aqli dan jasadi (material).Teks-teks aqidah juga membahas persoalan karamah para wali, kedudukan mereka di sisi Allah, kemungkinan para ulama yang benar mendapatkan ilham dan diberikan ilmu yang tidak diberikan kepada orang biasa meskipun mereka tidak masum. Juga dijelaskan kedudukan mereka yang istimewa sebagai pewaris para nabi.
Ulama Aswaja juga tidak memisahkan antara agama dengan politik (siyasah) bahkan mereka melihat persoalan politik dan pemerintahan tidak akan dapat diselesaikan dan diperbaiki jika agama tidak diberikan perhatian dalam membangun kepribadian Muslim. Aswaja menolak ekstrimisme, sesuai dengan tuntutan al-Quran dan al-Sunnah yang mengkritik sikap ghuluww sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani.

Ketika para ulama Aswaja mempunyai pendirian yang tegas terhadap golongan sesat -- karena jelas kesesatannya -- pada saat yang sama, mereka mengambil pendekatan yang tasamuh (berlapang dada) terhadap perbedaan-perbedaan di dalam kalangan Sunni itu sendiri. Aswaja membedakan persoalan-persoalan tsawabit (yang tetap) dengan persoalan mutaghayyirat (yang berubah), yang muhkamat (jelas) dan mutasyabihat (tidak jelas).

Dalam perkara yang tsawabit, karena teksnya jelas (qathi) dan tidak mengundang khilaf antara ulama, mereka harus bersepakat dan tidak boleh berbeda pendapat dari segi prinsipnya. Namun dalam perkara yang mutaghayyirat, yang memerlukan penafsiran, para ulama bergantung dengan kemampuan dan kefahaman masing-masing. Mereka boleh berbeda dan tidak sewajarnya memaksakan pendapat terhadap orang lain, khususnya jika pandangan orang lain itu memiliki dasar yang juga kuat untuk berbeda pendapat.

Disinilah perbedaan (ikhtilaf) menjadi rahmat, dan ijtihad masing-masing ulama mendapat pahala yang baik di sisi Allah, asalkan dilakukan dengan penuh tanggungjawab dan amanah ilmiah. Pandangan mereka harus diterima dan ditolak mengikut kekuatan hujah masing-masing. Keterbukaan ini sewajarnya dapat menghindarkan umat Islam dari perangkap fanatisme, taassub dan berfikiran sempit sehingga cenderung mudah menyesatkan saudaranya seiman.

Ketika umat Islam gagal memahami dengan baik Akidah Aswaja, maka berlakulah kekeliruan dan kebingungan dalam menghadapi tantangan modern dan postmodern. Sepanjang sejarah, prinsip-prinsip Aswaja telah memunculkan gagasan-gagasan besar (great powerful ideas) dari pemikir-pemikir besar, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan lainnya, yang bermanfaat sepanjang zaman. Saat ini, sewajarnya teks Akidah Aswaja dapat membentuk epistemologi (filsafat ilmu), filsafat pendidikan, filsafat politik, filsafat sejarah yang unik dan terbaik, sebagaimana peran yang dimainkan di masa lalu.

Memahami sejarah dan pemikiran Islam klasik semacam ini sangat penting sebagaimodal untuk menghadapi tantangan pemikiran saat ini. Sarjana-sarjana besar, seperti Dr. Muhammad Iqbal, sering mengingatkan agar umat Islam melihat sejenak ke belakang untuk dapat maju ke depan. Ada kaidah dan rumusan yang telah diwariskan generasi awal (al-salaf al-shaleh) yang dapat menjadi bekal untuk menghadapi tantangan masa kini dan masa depan. Sebab, sejarah sebenarnya sering berulang dengan aktor-aktor yang berbeda. Dan orang yang cerdas adalah yang dapat mengambil pelajaran dari masa lalu. Wallahu alam bil-shawab. (Artikel ini pernah dimuat di Jurnal Islamia Republika, edisi Februari 2012)
*JAWABAN PERTANYAAN RUMIT DALAM ISLAM*
Penulis: Syaikh Al-'Izz bin Abdus Salam As-Sulmi

Semua pecinta ilmu tentu ingin tahu karya ulama kesohor yang satu ini, baik untuk keperluan belajar maupun mengajar. Sebab, buku yang langka dan berharga ini menyediakan jawaban argumentatif atas aneka persoalan pelik seputar agama Islam.

Tidak kurang dari 414 persoalan dalam berbagai cabang ilmu dikupas dalam buku ini. Mulai dari problematika tentang Al-Quran, ilmu dan redaksi hadits, fikih dan ushul-nya, nahwu, dan aneka persoalan lain. Uniknya, ada bab khusus yang memuat hikayat dan ahwal para wali.

Pembaca buku ini disuguhi kepiawaian Pemimpin Para Ulama, Syaikh Al-Izz bin Abdus salam As-Sulmi. Sangat menarik menyaksikan cara beliau menyingkap hikmah pensyariatan suatu hal, menganalisisnya, menyorot aspek penting yang dikandungnya, merinci persoalan yang bercabang darinya, bahkan mengungkap hal lucu tentangnya.
-----------------------------------
Jawaban Pertanyaan Rumit dalam Islam
Penulis: Syaikh Al-'Izz bin Abdus Salam As-Sulmi
Ukuran: 16 x 24 cm
Sampul: Hard Cover
Isi: HVS 424 halaman
Berat: 670 gram
ISBN: 9789795929222
Harga: Rp. 99.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.
TAFSIR AL AZHAR
Penulis: Prof. Dr. Hamka
DISKON Rp. 400.000,- & GRATIS ONGKOS KIRIM

Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliau di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab.

Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
TAFSIR AL AZHAR
Penulis: Prof. Dr. Hamka
- DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 2.570.000,- (Harga normal Rp. 2.970.000,-)
- Gratis Ongkos Kirim.
1 set berisi 9 jilid (plus box) dengan berat 16 Kg.

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran...