MUSTANIR ONLINE
3.22K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
Beginilah Turki Utsmani Runtuh, Jangan hanya Menyalahkan Pihak Lain
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Setelah dibantai dimana-mana di dataran Eropa, kaum Yahudi ditolong dan hidup nyaman di Turki Utsmani. Belakangan, mereka justru ikut menumbangkan Turki Utsmani. Di antara empat perwakilan National Assembly yang menyerahkan surat pencopotan Sultan Abdul Hamid adalah Emmanuel Carasso (Yahudi).

Bangsa Yahudi memang unik. Bangsa mungil ini begitu banyak dipaparkan sejarah, sifat, dan perilakunya dalam al-Quran. Bangsa ini diselamatkan oleh Nabi Musa a.s. dari pembantaian Firaun. Tapi, hanya dalam tempo 40 hari, mereka sudah mengkhianati Nabi Musa, dengan menyembah patung anak sapi. Al-Quran surat al-Baqarah berkisah tentang sifat dan perilaku Yahudi yang bandel, “ngeyel” dan banyak bertanya untuk tidak mentaati perintah Allah SWT.

Belum lagi sifat serakahnya kepada dunia (QS 2:96); sifat rasisnya karena merasa sebagai satu-satunya “kekasih Tuhan” (QS 62:6), dan berbagai sifat lain yang digambarkan dalam al-Quran. Sampai-sampai Nabi Musa a.s. bersedih hati dengan kelakuan kaumnya (QS 61:5).

Untuk lebih mempertajam pemahaman terhadap sifat bangsa Yahudi, menarik untuk mengkaji sepenggal sejarah perjalanan mereka di Turki Utsmani. Ratusan tahun, Turki Utsmani menjadi tempat yang nyaman bagi orang-orang Yahudi. Tapi, kemudian kaum Yahudi pula yang menikam Turki Utsmani dari dalam.

Sebelumnya, selama hampir 800 tahun, Yahudi menikmati zaman keemasan di wilayah Muslim Andalusia. Kejayaan Yahudi di bawah Islam ditulis banyak penulis Yahudi dan Kristen. Karen Armstrong, dalam bukunya, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997). menulis: “Under Islam, the Jews had enjoyed a golden age in al-Andalus.”

Pada saat yang sama, selama ratusan tahun, kaum Yahudi menjadi korban persekusi kaum di Eropa. Misal, pada 17 Juli 1555, hanya dua bulan setelah pengangkatannya, Paus Paulus IV, mengeluarkan dokumen (Papal Bull) bernama Cum nimis absurdum, yang menekankan, para pembunuh Kristus, yaitu kaum Yahudi, pada hakekatnya adalah budak dan seharusnya diperlakukan sebagai budak. (Lihat, Encyclopaedia Judaica, Vol. 2; Peter de Rosa, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991).

Pujian dan tikaman
Di masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II (1876-1909), organisasi Yahudi The Central Committee of the Alliance Israelite Universelle in Paris mengirimkan ucapan selamat kepada Sultan Abdulhamid II.

Begini isi suratnya: “Pada musim semi tahun 1492, kaum Yahudi yang diusir dari Spanyol menemukan perlindungan di Turki. Sementara mereka ditindas di belahan dunia lainnya, mereka tidak pernah berhenti menikmati perlindungan di negeri-negeri leluhur Tuan yang jaya. Mereka mengizinkan Yahudi hidup dalam keamanan, untuk bekerja dan untuk membangun … The Alliance Israelite Universelle bersama dengan Yahudi Turki; dan seluruh pemeluk agama lain dari semua negeri, bergabung dengan kami untuk merayakan ulang tahun ke-400 bertempatnya Yahudi di Turki.” (Lihat, Avigdor Levy, “Introduction” , dalam Avigdor Levy (ed.), The Jews of The Ottoman Empire, (Princeton: The Darwin Press, 1994).

Selama ratusan tahun Yahudi menikmati kehidupan harmonis di Turki Utsmani. Bahkan mereka diberikan jabatan chief-rabbi (semacam mufti Yahudi). Mereka menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan dan parlemen. Tetapi, pujian Yahudi itu tak berlangsung lama. Sultan Abdul Hamid II yang gigih menentang Zionisme kemudian justru menjadi target utama cacian dan pendongkelan Yahudi Zionis.

Mulanya, gerakan Zionis berharap mendapatkan wilayah Palestina secara sukarela dari penguasa Utsmani, yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II. Usai menerbitkan bukunya, Der Judenstaat, dan memimpin Kongres Zionis, 1897, Herzl ke Istambul menemui Perdana Menteri Utsmani dan mempresentasikan rencana pendirian Palestina sebagai tanah air kaum Yahudi. Ia menawarkan bantuan untuk melunasi utang negara Utsmani.
Herzl juga melobi Kaisar Austria Wilhelm II yang berhubungan baik dengan Sultan Abdul Hamid II. Kaisar Austria setuju dengan gagasan Herzl dan merekomendasikan rencana Herzl kepada Sultan.

Tetapi Sultan Abdul Hamid menolak rencana Herzl. Sikap tegas Sultan Abdul Hamid terhadap program Zionis dilihat sebagai penghalang utama ambisi untuk mendirikan negara Israel. Adalah menarik cara kerja kaum Yahudi Zionis dalam menumbangkan Sultan dan mendirikan negara Yahudi. Metode yang mereka gunakan adalah semacam “smart rebellion” dan berpola klendestin.

Sultan mulai diposisikan sebagai bagian dari masa lalu, dengan jargon-jargon kebebasan, “freedom”, “liberation”, dan sebagainya. Mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai “Hamidian Absolutism”, dan sebagainya. Gerakan Zionis di Turki Utsmani mencapai sukses yang sangat signifikan menyusul pencopotan Sultan pada bulan April 1909. Di antara empat perwakilan National Assembly yang menyerahkan surat pencopotan Sultan itu adalah Emmanuel Carasso (Yahudi) dan Aram (Armenia). (Lihat, Mehmed Maksudoglu, Osmanli History 1289-1922, Kuala Lumpur: IIUM, 1999).

Penyebaran paham kebebasan (liberalisme) model Barat oleh Gerakan Turki Muda akhirnya berhasil menumbangkan Turki Utsmani. Sultan Abdul Hamid II memandang, kebebasan yang digalakkan oleh Turki Muda adalah suatu senjata penghancur bagi Turki Utsmani. Ia menuturkan dalam kata-katanya, “Memberikan kebebasan sama halnya memberikan senjata kepada seseorang yang tidak tahu bagaimana menggunakannya. Dengan senjata tersebut, orang itu bisa saja membunuh ayahnya, ibunya, bahkan dirinya sendiri.” (Mehmed Maksudoglu, Osmanli History, hlm. 234).

Sebaliknya, bagi para pemimpin CUP, Barat adalah segala-galanya. Dalam kata-kata Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP: “Hanya ada satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karenanya, kita harus meminjam dari peradaban Barat, baik mawarnya maupun durinya.” Abdullah Cevdet juda dikenal sebagai simpatisan Judaisme dan gerakan Zionis. (Lihat, Ilber Ortayli, Ottomanism and Zionism During the Second Constituional Period, dalam Avigdor Levy (ed.), The Jews… hlm. 534).

Hikmahnya, sebuah imperium besar seperti Turki Utsmani bisa digulung dari dalam, melalui sebuah gerakan pemikiran. Saat generasi tua gagal di-Barat-kan (westernized) atau disekularkan, maka mereka siapkan “Generasi Muda” yang sudah tersekularkan. Generasi inilah yang akhirnya tampil dalam berbagai lini kepemimpinan masyarakat dan negara.

Maka ingatlah peringatan Nabi saw: “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah-sunnah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta; bahkan jika mereka masuk ke lubang biawak, kalian pun mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Maka siapa lagi?” (HR. Muslim).

Ini pelajaran dari sejarah. Jangan hanya menuding keluar. Lihatlah, ke dalam diri kita, diri umat Islam; mengapa kita kalah? Pasti ada yang salah dalam diri kita sendiri! Wallahu A’lam bish-shawab. (***).
Beginilah Cara Berpikir Kritis dan Beradab
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Pagi itu (Kamis, 21/11/2019), tanpa sengaja, saya menyaksikan video seorang pejabat negara yang mengajak untuk berpikir kritis. Itu dimaknai sebagai melihat segala sesuatu dari dua sisi. Jangan percaya begitu saja pada satu informasi. Tapi, harus bersikap kritis dan skeptis. Saat menerima satu pendapat, tanyalah, apakah ada pendapat lain!

Begitu kira-kira rangkuman pendapat sang pejabat itu tentang berpikir kritis. Itu namanya critical thinking. Di era disrupsi, critical thinking diakui sebagai salah satu modal penting dalam meraih sukses, disamping creativity, communication, dan collaboration. Benarkah demikian?

Jawabnya, memang begitu. Berpikir kritis itu, secara umum adalah baik. Para siswa atau mahasiswa perlu diajar cara berpikir seperti ini. Anak-anak pun perlu dilatih berpikir kritis, dan selalu bertanya, “Mengapa begini, mengapa begitu?”

“Bertanya” adalah modal penting untuk meraih ilmu. Al-Quran pun memerintahkannya: “Fas-aluu ahlazzkiri in-kuntum laa ta’lamuuna”. (QS 16:43). Bertanyalah kepada yang tahu, jika kamu tidak tahu.

Dalam Gurindam 12-nya, Sastrawan besar Raja Ali Haji menulis: “Diantara tanda orang berilmu, bertanya dan belajar, tiadalah jemu!”

Tapi, ingat, bertanya itu juga ada adabnya. Ada sopan santunnya. Bayangkan, jika anak merasa memahami metode ilmiah, lalu datang ke rumah, dan bertanya kepada ayahnya, “Apa bukti ilmiahnya bahwa saya adalah anak ayah?”

Saat saya aktif sebagai reporter, ada seorang tokoh Islam marah-marah, karena ditanya seorang wartawan, “Benarkah bapak menerima uang haram itu?” Memang itu hanya pertanyaan. Tapi, bisa membuat orang tersinggung. Karena ia merasa tidak ada kaitannya dengan uang haram yang diributkan.

Juga, misalnya, tidak sopan bertanya, “Mana yang lebih berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Nabi Muhammad atau Bung Karno?”

*

Berpikir kritis, sebagaimana dianjurkan oleh pejabat itu, secara umum penting. Tapi, perlu dilakukan secara beradab. Pun, perlu ilmu. Membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain, itu perlu. Tapi, ia harus tahu, siapa yang dibandingkan, dan bagaimana cara memilih pendapat yang lebih benar atau lebih baik.

Jika ia tidak punya ilmu, yang muncul bukan makin paham. Tapi, makin bingung. Dokter satu bilang begini. Dokter lain bilang begitu. Mana yang benar? Lagi-lagi, kita perlu memahami soal otoritas ilmu. Kita mengakui otoritas Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dalam ilmu hadits. Tidak setiap manusia dipandang sama otoritasnya dalam soal keilmuan.

Juga, tidak semua hal harus dikritisi. Ada pendapat yang harus diterima, dengan ilmu; tidak perlu dibandingkan. Itu jika berita atau pendapat tersebut bersifat ‘yaqin’ dan datang dari sumber-sumber informasi yang otoritatif. Jika al-Quran menyatakan bahwa sekecil apa pun amal perbuatan, pasti ada balasannya di akhirat, maka informasi itu harus diterima, sebab itu pasti benar.

Jika al-Quran menegaskan, bahwa satu-satunya agama yang diridhai Allah adalah ad-Dinul Islam, maka informasi itu jangan diterima dengan skeptik, atau dibanding-bandingkan dengan sumber-sumber lain, yang otoritasnya pasti di bawah al-Quran. Dalam hal-hal seperti ini, bukan tempatnya berpikir kritis atau skeptis.

Umat manusia telah sepakat, bahwa rasa gula dan madu itu manis, garam itu asin, dan cabe itu pedas. Ini datang dari sumber ilmu yang otoritatif, yaitu panca indera. Maka, jangan coba-coba mengkritisi kesepakatan (ilmu) itu.

Jika semua orang terpercaya sekitar kita sudah bersepakat, bahwa Pak Abdullah adalah ayah kita, maka tidak perlu kita membuat riset empiris untuk membuktikan kebenaran berita ‘mutawatir’ itu.

Kita wajib mencari ilmu. Tapi, tidak semua ilmu harus dicari. Waktu dan biaya kita terbatas. Maka, prioritaskan mencari ilmu yang bermanfaat. Sebab, ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’), itulah yang wajib dicari. Bukan sembarangan ilmu.
Itulah yang disebut sebagai adab yang bersumber dari hikmah (wisdom). Manusia bukan hanya perlu tahu atau berilmu, tapi juga perlu tahu cara meraih dan menggunakan ilmunya dengan tepat.

Jadi, inilah pentingnya berpikir kritis, sekaligus beradab. Dengan itu, insyaAllah kita meraih ilmu yang bermanfaat! Wallahu A’lam bish-shawab. (***).
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
Ceramah kritis almarhum KH Zainuddin MZ perihal anjing, daging, maling dan kambing:
Mochtar Lubis: Ciri Utama Manusia Indonesia Adalah Munafik
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Tahun 1977, budayawan dan sastrawan Indonesia terkenal, Mochtar Lubis, pernah membuat heboh dengan pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Pasalnya, Mochtar Lubis memberikan banyak gambaran buruk tentang karakter manusia Indonesia pada umumnya.

Dalam pidatonya pada 6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan bahwa ciri utama manusia Indonesia adalah: Munafik. Setelah itu, ada sejumlah ciri menonjol lainnya, seperti: enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri utama manusia Indonesia sebagai berikut:

“Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”

“Ciri kedua utama manusia Indonesia masa kini adalah segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia.”

“Ciri ketiga utama manusia Indonesia adalah jiwa feodalnya. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.”

“Ciri keempat utama manusia Indonesia adalah manusia Indonesia masih percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua…”

“Kemudian, kita membuat mantera dan semboyan baru, jimat-jimat baru, Tritura, Ampera, orde baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang merata dan adil, insan pembangunan. Manusia Indonesia sangat mudah cenderung percaya pada menara dan semboyan dan lambang yang dibuatnya sendiri.”

“Ciri keenam manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat.

Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Makanya kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.”

“Dia cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta-pesta. Hari ini ciri manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar, hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.”
“Dia lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa… atau dengan mudah mendapat gelar sarjana, sampai memalsukan atau membeli gelar sarjana, supaya segera dapat pangkat, dan dari kedudukan berpangkat cepat bisa menjadi kaya. Jadi priyayi, jadi pegawai negeri adalah idaman utama, karena pangkat demikian merupakan lambang status yang tertinggi.” (Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).

*

Setujukah Anda dengan paparan Mochtar Lubis tersebut? Apa pun kodisinya, suka atau tidak suka, saat in Indonesia adalah bangsa muslim terbesar di dunia. Jika kaum Muslim Indonesia tidak mau diri dan bangsanya diperlakukan hina, penyair besar Pakistan Mohammad Iqbal memberikan resep sederhana:

“Biarlah cinta membakar.

Semua ragu dan syak wasangka.

Hanyalah kepada Yang Esa kau tunduk.

Agar kau menjadi singa.”

(Terj. Oleh Kol. Drs. Bahrum Rangkuti dalam buku Asrari Khudi, Rahasia-Rasia Pribadi, 1953).
Sekali lagi, kita camkan makna ungkapan Mohammad Iqbal tersebut. Bahwa: “Hanya kepada Allah kita taat dan patuh, maka kita akan menjadi singa. Jangan seperti babi! Beranak banyak, jumlah melimpah, tetapi menjadi santapan singa!” (****).
Benarkah Masalah Utama Kita adalah “Kekuasaan”?
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Beberapa kali saya menerima kiriman pesan – baik perorangan atau dalam group media sosial — tentang perlunya umat Islam bisa memegang kekuasaan negara. Dengan itu, maka umat Islam akan bisa berbuat banyak untuk melakukan berbagai kebaikan dan memberantas kemunkaran atau kemaksiyatan.

Apakah benar, bahwa kekuasaan itu sangat penting dan menjadi kunci kebangkitan umat? Jawabnya: tentu saja hal itu ada benarnya. Tetapi, juga dengan catatan. Bahwa yang memegang kekuasaan itu haruslah orang-orang yang amanah dan ‘capable’ (profesional).
Kekuasaan ibarat pisau bermata dua. Ia bisa membangun dan bisa juga merusak. Semakin besar kekuasaan yang dipegang seseorang, maka semakin besar pula daya bangun dan daya rusaknya. Tergantung, siapa yang memegang kekuasaan.

Seorang khalifah/raja/kaisar yang baik, dengan kekuasaan besar, akan mudah melakukan berbagai kebaikan. Sebab, kekuasaan berada di satu tangan, dan tidak terbagi-bagi. Karena itu, sistem kekaisaran, kerajaan, atau kekhalifahan, akan dengan cepat melakukan perbaikan, jika pemimpinnya itu mumpuni. Tetapi, hal sebaliknya juga bisa terjadi. Jika raja/khalifah/kaisar itu “tidak bermutu”, maka akan cepat pula kehancuran negaranya.

Karena itu, upaya banyak kalangan umat Islam untuk berjuang di jalur politik praktis – dengan membentuk partai-partai politik – adalah satu bidang perjuangan yang penting. Jelas, tujuan perjuangan di bidang politik memang untuk meraih kekuasaan, agar dapat digunakan untuk menegakkan kebaikan dan kebenaran, dan meruntuhkan kemunkaran.

Akan tetapi, perlu direnungkan masak-masak, bahwa kunci utama kesuksesan dalam semua bidang perjuangan – politik, ekonomi, pendidikan, media, budaya, dan sebagainya – adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Orang-orang yang terjun dalam perjuangan di bidang politik harus benar-benar memiliki kualitas iman, akhlak, ilmu dan ketrampilan berpolitik yang tinggi. Sebab, tantangan dan godaan dalam bidang politik ini sangatlah besar.

Jadi, sebelum membentuk partai politik, maka hal yang paling utama disiapkan adalah SDM-SDM-nya. Orang-orang yang mendirikan dan aktif di partai politik Islam haruslah orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh dan akhlak yang mulia. Misalnya, mereka harus terjauh dari sikap cinta dunia, termasuk cinta jabatan. Sebab, cinta dunia adalah pangkal segala kerusakan (Hubbud-dunya ra’su kulli khathi’atin).

Jadi, itulah akar masalah kita. Yakni, kualitas SDM yang terjun dalam berbagai bidang perjuangan, baik bidang politik atau yang lainnya. Bikin partai politik, problem utamanya adalah kualitas SDM; bikin sekolah atau kampus Islam, masalah utamanya juga kualitas SDM-nya; bikin Rumah Sakit Islam, problem utamanya pun terletak pada kualitas SDM; bikin media Islam juga berhadapan dengan masalah SDM.

Nah, jika bicara tentang kualitas SDM, maka ini adalah ranah pendidikan! Maka, lagi-lagi, inilah yang pernah diingatkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, bahwa akar masalah umat Islam adalah “loss of adab” (hilang adab). Jika adab hilang dari penguasa pada tingkatan apa saja – mulai keluarga, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, dan seterusnya – maka kekuasaan yang dipegangnya tidak akan dapat digunakan untuk kebaikan secara optimal.

Bahkan, bisa jadi, penguasa itu akan membuat kebijakan yang merusak. Jadi, “hilang adab” alias tidak beradab, itulah kata kunci dari akar seluruh krisis yang melanda umat dan dunia Islam zaman kini. Karena itu, menurut Prof. al-Attas, jika umat Islam ingin bangkit dan terbebas dari berbagai krisis yang membelit mereka, pahamilah adab dan didiklah umat ini agar mereka menjadi manusia-manusia yang beradab.

Manusia-manusia beradab (insan adaby) inilah sosok-sosok manusia yang unggul yang memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpi-pemimpin yang sebenarnya (true leaders). Mereka akan mampu menjadi pemimpin (imam) di bidang politik, pendidikan, ekonomi, media, sosial, kesehatan, dan sebagainya.
Inilah yang juga sudah diingatkan banyak ulama, termasuk KH Hasyim Asy’ari, sebagaimana disebutkan dalam kitabnya, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, bahwa: “Tauhid mewajibkan wujudnya iman; barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.”

Dalam bukunya, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Pulau Pinang: USM, 2007), Prof. al-Attas menjelaskan, bahwa hakekat pendidikan adalah penyerapan adab ke dalam diri seseorang. Sedangkan adab adalah perwujudan keadilan sebagaimana dipancarkan oleh hikmah.”

Ringkasnya, krisis yang melanda dan masih mencengkeram umat Islam adalah akibat muslim hilang adab. Adab hilang karena ilmu yang salah, sehingga hikmah tiada didapatnya. Solusinya adalah pendidikan yang benar! Pendidikan yang menekankan “penyerapan adab ke dalam diri”. Itulah proses membentuk manusia beradab.

Jadi, tidak perlu mempertentangankan antara perjuangan di bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. Semua bidang perjuangan itu harus dipimpin oleh orang-orang yang beradab. Dengan adab itulah, seorang akan terhindar dari perilaku zalim. Yakni, ia terhindar dari melakukan atau menempatkan sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Seorang penguasa yang beradab tidak akan membiarkan berlakunya sistem pendidikan yang meluluskan anak-anak muslim yang sudah akil baligh, tetapi tidak bisa shalat dan membaca al-Quran dengan benar. Rektor kampus yang beradab tidak akan meluluskan mahasiswanya yang bejat akhlaknya, meskipun sangat tinggi nilai-nilai ujiannya.

Penguasa yang beradab tidak akan mau menggunakan anggaran negaranya untuk kemewahan hidupnya, sementara banyak rakyatnya yang dicekam kelaparan dan kesusahan hidup. Pun, ia tidak akan bangga menggunakan anggaran negara untuk mendukung kemaksiatan.

Jadi, umat Islam memang memerlukan kekuasaan untuk bisa menegakkan kebenaran dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Bukan sekedar berkuasa untuk berbangga-bangga dan ingin dihormati di sana-sini.

Ini penting dipikirkan, dan terus direnungkan! Meraih kekuasaan itu hal penting. Tetapi, sekali lagi, kekuasaan akan berdampak baik jika dipegang orang-orang yang baik pula. Karena itu, menjalankan proses pendidikan untuk membentuk manusia-manusia unggul (manusia beradab/insan adaby), adalah hal yang lebih penting lagi!

Manusia-manusia terbaik (khairun naas) itulah yang pernah dihasilkan oleh Pendidikan Rasulullah saw. Manusia-manusia terbaik itu tak akan muncul lagi, jika konsep pendidikan dalam Islam tak dipahami dan tidak diterapkan. Wallahu a’lam bish-shawab. (Depok, 6 Agustus 2021).
Siapa yang Paling Berjasa Menangani Covid 19 di Indonesia?
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Sudah berhari-hari, media massa dan media sosial kita dipenuhi dengan berita tentang (isu) sumbangan Rp 2 trilyun dari sebuah keluarga di Palembang. Semula, keluarga itu dipuja-puji di sana-sini. Bahkan, ada yang memuji sambil mencaci-maki pihak-pihak yang tidak disukainya.

Belakangan, diberitakan, sumbangan itu tidak benar adanya. Maka, ramailah kecaman terhadap berbagai pihak yang dianggap tidak berhati-hati dalam menerima janji-janji manis pihak yang ternyata “ngibuli”.

Di media sosial, pertarungan opini soal (isu) sumbangan dua trilyun itu lebih seru lagi. Ironisnya, ada yang kemudian membenturkan (isu) sumbangan untuk penanganan Covid-19 itu dengan sumbangan rakyat Indonesia untuk rakyat Palestina. Entah siapa yang memainkan isu benturan etnis dan agama yang sangat berbahaya ini.

Selama ini, pemerintah dan rakyat Indonesia bersepakat untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Tokoh-tokoh Palestina sangat mendukung kemerdekaan Indonesia. Tahun 1955, dalam Konferensi Asia Afrika, di Bandung, Bung Karno memelopori semangat anti-Zionisme. Bahkan, Bung Karno meminta atlet-atlet Indonesia tidak bertanding dengan Israel. Tahun 1961, Bung Karno membubarkan Freemason, Rotary Club, dan sebagainya.

Pemerintah Orde Baru pun terus memberikan pembelaan kepada Palestina. Kedutaaan Besar Palestina sudah berdiri di Jakarta sejak 1988. Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina secara politis dan finansial. Selama ini tidak pernah ada masalah dengan hal itu. Tidak ada yang membenturkan bantuan Indonesia untuk Palestina dengan bantuan untuk rakyat Indonesia.

Maka, ketika muncul berita adanya (rencana) sumbangan Rp 2 trilyun dari etnis Tionghoa, tiba-tiba muncul narasi bahwa inilah sosok dermawan sejati, karena lebih memperhatikan rakyat Indonesia dibandingkan dengan rakyat di luar negeri. Tentu saja, isu ini sangat berbahaya, karena memecah belah bangsa.

Kini, setelah diumumkan bahwa sumbangan Rp 2 trilyun itu ternyata tidak benar, terjadilah arus balik opini. Lalu, beredar berita tentang besarnya sumbangan Muhammadiyah untuk penanganan Covid-19 yang mencapai Rp 1 trilyun. Ditambah narasi, bahwa itu uang semua. Tidak ada pasirnya!

Berita-berita di media massa dan media sosial ini muncul lebih disebabkan kejengkelan dan mungkin juga kemarahan atas propaganda yang memojokkan umat Islam, khususnya terhadap tokoh-tokoh muslim tertentu yang aktif menggalang dana untuk membantu rakyat Palestina. Padahal, betapa banyak organisasi Islam yang terus melakukan penggalangan bantuan untuk penanganan Covid-19.

*

Bagaimana sepatutnya orang muslim Indonesia menyikapi hal-hal semacam ini? Jawabnya mudah: jadilah orang yang adil, sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Al-Quran memerintahkan agar kaum muslimin berlaku adil, walaupun kepada orang-orang yang tidak disukainya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Maidah: 8).

Umat Islam tidak boleh bersikap rasis. Sebab, semua manusia adalah makhluk Allah. Umat manusia diciptakan Allah bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal. Derajat kemuliaan mereka di hadapan Allah bukan ditentukan oleh suku atau bangsanya, tapi oleh ketaqwaannya.

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS al-Hujurat: 13).
Karena itulah, orang muslim yang benar iman dan akhlaknya, pasti tidak bersikap rasis. Pasti mereka tidak benci kepada ras mana pun. Siapa saja yang beriman dan bertaqwa, dari ras mana saja, pasti akan menjadi mulia di hadapan Allah. Umat Islam tidak anti “asing” atau anti “aseng”. Orang “asing” dan “aseng” yang baik, pasti menjadi saudara bagi orang muslim. Baik saudara sebangsa, seagama, atau sesama umat manusia.

Sebagai orang Indonesia, muslim sejati pasti senang jika ada yang membantu rakyat Indonesia untuk membantu penanganan Covid-19 yang memang memerlukan dana yang sangat besar. Sepatutnya, umat Islam juga bersedih, jika sumbangan Rp 2 trilyun itu tidak jadi diberikan untuk rakyat kita. Semoga ada yang akan menggantikan calon sumbangan Rp 2 trilyun itu.

Umat Islam dilarang untuk berlaku tidak adil. Jika memang ada orang baik yang membantu rakyat Indonesia dengan tulus, maka itu perlu disyukuri. Jika sumbangan itu gagal – entah sebabnya apa – maka patutlah kita berduka dan berdoa, semoga akan ada bantuan untuk rakyat yang sedang menderita karena serangan Covid-19. Pemerintah pun pasti tidak suka pandemi ini berlarut-larut.

Rasulullah saw memerintahkan kaum muslim berbuat baik kepada tetangganya, kepada tamu-tamunya, kepada orang tuanya, meskipun mereka bukan muslim. Islam adalah agama yang menghargai dan menghormati perbedaan (kebhinekaan) sejak awal. Ini perintah Allah dalam al-Quran.

Karena itu, kasus rencana sumbangan Rp 2 trilyun ini patutlah dijadikan sebagai pelajaran berharga untuk kita semua. Dalam kondisi seperti ini, seyogyanya semua komponen bangsa bergotong royong, bersatu padu, bahu-membahu, untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Tidak perlu ada yang merasa paling berjasa.

Karena itu, mohon kepada para pejabat negara, jika menyampaikan ucapan terimakasih, sebutlah semua pihak yang berjasa besar dalam turut membantu penanggulangan musibah pendemi Covid-19. Yang diutamakan dan dipuja-puji janganlah yang hanya menyumbang uang saja. Sudah berbulan-bulan, ribuan kyai, ustaz, santri, bahkan anak-anak TK terus berdoa tiada henti agar Allah SWT segera mencabut pandemi Covid-19 ini.

Doa-doa para kyai dan santri itu ditujukan kepada semua warga bangsa Indonesia. Bukan hanya untuk yang muslim saja. Nabi Muhammad saw mencontohkan, kucing saja harus ditolong, apalagi manusia. Bahkan beliau mengabarkan di akhirat nanti ada manusia yang diringankan siksaannya karena memberi minum anjing.

Itulah misi utama beliau diutus kepada seluruh umat manusia: menyempurnakan akhlak manusia dan mewujudkan rahmatan lil-alamiin. Umat Islam tak perlu resah jika sumbangannya untuk penanganan Covid-19 tidak disebut-sebut atau dipuja-puji. Umat Islam tak perlu ikut berebut pengakuan siapa yang paling berjasa. Kita berbuat saja semampu kita, dalam bentuk apa saja, dari donasi materi sampai doa kepada Ilahi Rabbi.

Allah Maha Tahu apa yang kita kerjakan. Semua kita segera akan mati. Tak perlu risau dengan caci-maki dari sana-sini. Nilai amal kita tergantung kepada niat dan keikhlasan. Bukan dari hasil pujian insan. Wallahu A’lam bish-shawab.
Maka bukti apakah seseorang itu Pancasilais atau tidak, dapat dilacak terutamanya dari sila pertama. Seorang yang melakukan kejahatan seperti korupsi, membunuh, berzina, menipu dan lain-lain adalah orang yang melecehkan sila pertama Pancasila. Jadi orang yang tidak mengamalkan sila pertama itu tidak religius sekaligus tidak Pancasilais. Sebab orang yang sanggup meninggalkan sila pertama akan dengan mudah meninggalkan sila-sila yang lain.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Jangan Merusak Agama Karena Salah Pilih Suami
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Ini peristiwa penting sekitar 7 tahun lalu. Tepatnya, 18 September 2014. Ketika itu, saya menghadiri sebuah seminar di Kuala Lumpur Malaysia. Temanya: “Manusia Beradab dan Moderniti Alternatif”. Pembicara utama adalah pakar pemikiran Islam Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud.

Diantara sekian banyak tantangan modernitas yang dihadapi kaum Muslim di era modern ini, Prof. Wan Mohd Nor mengungkapkan pentingnya menjaga konsep keluarga Islam. Tetapi, tentu saja dengan pendekatan yang sesuai dengan kondisi saat ini.

Ketika itu, Prof. Wan Mohd Nor mengungkap pengalamannya, sewaktu bebicara dalam sebuah seminar di Afrika Selatan, beberapa tahun sebelumnya. Ia mengungkap konsep “istri wajib taat pada suami” dalam keluarga muslim. Tentu ini terkait dengan konsep kepemimpinan laki-laki dalam keluarga.

Apa yang dibahas oleh Prof. Wan Mohd Nor itu sangat penting dan sangat relevan. Sebab, memang, saat ini konsep “istri wajib taat pada suami” itu banyak ditentang oleh sebagian perempuan, termasuk di kalangan muslimah. Konsep itu dianggap bertentangan dengan ide “kesetaraan gender”. Bahkan, ada yang menyebut, kata yang paling dibenci di kalangan aktivis kesetaraan gender sekuler adalah kata “taat pada suami”.

Silakan disimak banyaknya artikel di media massa atau jurnal seputar kepemimpinan dalam keluarga. Begitu mudah kita jumpai artikel-artikel yang ditulis oleh mahasiswa, dosen, atau aktivis LSM Kesetaraan Gender, yang menolak konsep keharusan laki-laki sebagai kepala keluarga.

Contohnya, satu buku berjudul: Bias Jender dalam Pemahaman Islam (Pusat Studi Jender IAIN Walisongo Semarang (2002), menyimpulkan: kepala rumah tangga tidak harus laki-laki: “Dalam pemahaman ini, kepemimpinan keluarga dapat dipegang oleh siapa saja, suami atau istri, yang memiliki kriteria fadl dan infaq-nya lebih baik. (hlm. 91).

Dalam sebuah artikel berjudul “Kepala Keluarga Mengapa Mesti Laki-laki?” ditulis: “Kepala keluarga bukanlah jabatan normatif yang bisa digunakan untuk melegitimasikan penindasan dan pendominasian satu pihak kepada pihak lainnya. Tapi kepala keluarga merupakan jabatan fungsional. Ia dilekatkan berdasarkan kemampuan dan kebiasaan. Ketika peranan seorang istri begitu dominan dan signifikan dalam keberlangsungan kehidupan perekonomian keluarga, maka ia mempunyai tugas sebagaimana fungsinya sebagai kepala keluarga. Sungguh, istri seperti itu layak dihormati sebagai seorang kepala keluarga.

Sebaliknya, ketika seorang suami, – karena sulit mencari pekerjaan misalnya – hanya berada di rumah. Maka siapa bilang ia tidak bisa melakukan urusan domestik rumah tangga? Dan siapa bilang itu sebagai suatu kesalahan atau aib?” (Sumber: https://fahmina.or.id/kepala-keluarga-mengapa-mesti-laki-laki/ ).

*

Jadi, begitulah contoh-contoh gugatan terhadap konsep keluarga Islam, yang justru dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keilmuan tentang ilmu-ilmu agama. Patut disayangkan, jika orang muslim yang justru membongkar konsep-konsep keluarga Islam, karena terjebak dengan konsep “kesetaraan gender”, yang justru akan menyeret perempuan ke jurang kesengsaraan.

Dalam bukunya yang berjudul “Membiarkan Berbeda”, dosen IPB Dr. Ratna Megawangi mengungkapkan gagasan sejumlah aktivis gender di Barat yang menggugat peran perempuan sebagai ibu rumah tangga. Sarah Grimke (1838), misalnya, menyatakan bahwa wanita yang menikah telah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran (suami). Katanya: ”Man has exercised the most unlimited and brutal power over woman in the peculiar character f husband – a word in most countries synonymous with tyrant.”

Padahal, menurut Ratna Megawangi, wanita-wanita Jepang, sangat berbahagia dengan kehidupan mereka sebagai ”ibu rumah tangga.” Hasil survei The Economic Planning Agency di Jepangtahun 1992 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen perempuan menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas utamanya.
Hasil polling kantor Perdana Menteri Jepang pada tahun yang sama juga menunjukkan, 90 persen perempuan Jepang menganggap pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci adalah tugas perempuan.

Tapi, ironisnya, banyak kalangan pegiat Kesetaraan Gender justru ingin membuang jauh-jauh istilah ”pengabdian pada suami”, yang merupakan sumber kebahagiaan pada perempuan. Menurut Ratna Megawangi, konsep semacam ini sering tidak dimengerti oleh masyarakat Barat.

Ia mencontohkan banyak teman Jepangnya yang berbahagia dengan konsep pembagian tugas yang jelas. Bahwa, suami sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga yang bertanggung jawab atas wilayah keluarga dan pengasuhan anak. Tapi, karena ideologi kebencian pada laki-laki dan menganggap peran Ibu rumah tangga sebagai ”penjara perempuan”, maka banyak pegiat Kesetaraan Gender yang menggugat apa yang mereka sebut sebagai dominasi laki-laki.

Dalam kaitan inilah, pengalaman Prof. Wan Mohd Nor di Afrika Selatan penting untuk disimak. Saat itu, usai seminar, seorang perempuan berkerudung mendatanginya dan menanyakan, bagaimana mungkin ia harus mentaati suaminya, sementara di kantor, ia memimpin 300 laki-laki?

Prof. Wan Mohd Nor menjelaskan, bahwa konsep adab dalam Islam, di antaranya memang menempatkan suami sebagai kepala keluarga. Ini konsep yang adil. Konsep itu justru memberikan amanah dan beban yang berat bagi laki-laki. Sebaliknya, konsep itu justru meringankan beban wanita.

Tentu saja, menurut Prof. Wan Mohd Nor, sebagai pemimpin suami tidak boleh berlaku zalim dengan amanah yang diterimanya serta bertindak sewenang-wenang terhadap istrinya. Suami yang bijak akan memahami kondisi istrinya dan memperlakukannya dengan baik. “Karena itu, pilihlah suami yang hebat pula,” kata Profesor yang juga beristrikan seorang profesor ini.

*

Kita tidak menutup mata terhadap penindasan atau ketidakadilan yang dialami oleh sebagian kaum perempuan, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Tetapi, jangan sampai kasus-kasus itu dijadikan legitimasi untuk merusak konsep keluarga Islam. Jika perempuan mengalami penindasan oleh laki-laki, perlu dilihat kasus per kasus.

Apakah perempuan-perempuan itu ditindas dan dianiaya karena keperempuanannya? Atau karena si perempuan itu memang jahat kelakuannya? Juga, simaklah, apakah laki-laki yang menjadi penindas itu karena kelelakiannya atau karena akhlaknya yang buruk? Jika laki-laki menjadi penindas adalah karena kelelakiannya, maka semua laki-laki pasti menindas.

Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah saw, merupakan perempuan kaya dan bangsawan terpandang. Tetapi, ia tetap istri Nabi dan bahagia taat kepada suaminya. Selama ratusan tahun, banyak perempuan hebat di Nusantara ini tetap menjalani kehidupan sebagai istri yang taat kepada suami, meskipun mereka punya kekayaan yang melebihi suaminya. Mereka tidak merasa tertindas. Sebab, mereka yakin, ketaatan pada suami dalam hal yang baik, adalah suatu ibadah.

Itulah bentuk kebahagiaan bagi muslimah yang yakin akan akhirat. Tentu saja, orang sekuler tak paham soal ini. Jadi, kucinya, untuk menciptakan kehidupan rumah tangga dan masyarakat yang bahagia, bukan konsep keluarga Islam yang dirusak. Tapi, didiklah laki-laki dan perempuan agar menjadi manusia-manusia yang berakhlak mulia.

Juga, pilihlah suami yang baik dan patut ditaati. Jangan karena salah pilih suami, lalu agama yang dirusak!
Mengapa Politik Sekuler Menang di Dunia?
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Hiruk pikuk beberapa pemilu legislatif di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menyisakan satu pertanyaan: ”Mengapa partai-partai berasas Islam suaranya lebih sedikit dibanding partai-partai yang tidak berasas Islam? Ada yang bertanya: ”Mengapa partai Islam kalah? Mengapa partai sekuler menang dan lebih diminati masyarakat Indonesia?

Mengapa itu terjadi? Terlepas dari pro-kontra soal mekanisme pemilu itu sendiri, kita perlu memahami, bahwa saat ini umat Islam – sebagaimana umat manusia lainnya di seluruh dunia – hidup dalam satu dunia yang dihegemoni oleh peradaban Barat yang mengusung nilai-nilai liberal sekular. Peradaban Barat adalah peradaban materialisme yang mengagungkan empat hal, yaitu: kekayaan (wealth), kekuasaan (power), kecantikan (beauty) dan popularitas (popularity). Empat hal itulah yang ’didewakan’.

Di dunia semacam itu, faktor kuasa, kecantikan, dan popularitas sangat penting untuk meraih kuasa. Kolaborasi artis-pejabat-penguasa semakin sering kita lihat. Bahkan, kita melihat, bagaimana kuatnya hegemoni artis dalam kehidupan masyarakat. Siapa yang mempunyai kecantikan, menjadi modal penting untuk meraih popularitas dan juga kekayaan dan kekuasaan.

Peradaban semacam ini memang tidak menjadikan iman dan akhlak sebagai nilai acuan. Baik buruk dan martabat seseorang tidak lagi ditentukan oleh ketinggian akhlaknya, tetapi oleh kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dan popularitasnya.

Karena itulah, bagi politisi-politisi Muslim tentu saja tidak mudah bersaing dengan orang-orang yang sudah popular. Jadilah politisi Muslim tergantung kepada yang lain, sehingga untuk mengajukan calon presiden sendiri saja kurang percaya diri.

Karena melihat politik sebagai sekedar alat untuk meraih kekuasaan, maka politik semacam itu bisa menghalalkan segala cara. Yang penting dapat kuasa atau mempertahankan kuasa. Tidak peduli apakah kuasa itu didapat dengan cara yang baik atau tidak. Inilah yang disebut politik sekular, yakni politik yang sama sekali membuang pertimbangan aspek ilahiyah dan ukhrawiyah.

Itulah politik bebas nilai. Politik sekular. Secara sistematis, politik sekular ini diteorikan oleh Niccolo Machiavelli. Politik dibebaskan dari nilai-nilai moral dan agama. Dalam sejarah pemikiran politik, nama Machiavelli memang monumental. Oleh para pemikir di Barat kemudian, karya Machiaveli, The Prince, dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam social politik umat manusia. Sebuah buku berjudul “World Masterpieces” yang diterbitkan oleh WW Norton&Company, New York, tahun 1974 (cetakan kelima) menempatkan karya Machiaveli ini sebagai salah satu karya besar dalam sejarah umat manusia yang muncul di zaman renaissance.

Perjalanan hidup Machiavelli sendiri cukup menyedihkan. Ia pernah ditahan dan disiksa. Ia dituduh melawan pemerintah Italia sekitar tahun 1495. Ia menulis The Prince pada umur 44 tahun, dan baru dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya. Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang memberikan predikat sebagai “amoral”. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah “survival” (mempertahankan kekuasaan).

Politik semacam itu melampaui nilai-nilai moral keagamaan. Dengan membuang faktor “baik dan buruk” dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara. Penguasa-penguasa yang sukses, kata dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan.

Maka, kata Machiavelli lagi, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan teror.
Ditulis dalam The Prince: “It is necessary for a prince, who wishes to maintain himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according to the necessity of the case.” Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia telah mengangkat persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.

Sejarawan Marvin Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik. “In secularizing and rationalizing political philosophy, he initiated a trend of thought that we recognized as distinctly modern,” tulis Perry. Jadi, sumbangan terbesar Machiavelli adalah menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan negara, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dipandang sebagai politik modern.

Politik sekular ala Machiavelli itu tentulah tidak sesuai dengan Islam. Islam memandang semua aktivitas manusia, termasuk politik, adalah bagian dari ibadah, dan sudah diatur dalam Islam. Banyak ulama Islam telah menulis kitab-kitab bermutu tinggi tentang politik, seperti al-Mawardi yang menulis al-Ahkam al-Sulthaniyah dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang menulis al-Siyasah Syar’iyyah fil Islam. Seharusnya, dalam berpolitik, umat Islam juga merujuk kepada ajaran Islam itu sendiri. Pada intinya, politik harus dilakukan sebagai satu bentuk ibadah, dan bukan sekedar seni untuk meraih kekuasaan.

Tradisi politik sekular tidak dikenal dalam ajaran Islam. Sekularisme di Eropa dipicu oleh trauma sistem teokrasi yang menindas rakyat. Fenomena ini tidak terjadi dalam dunia Islam. Kaum Muslim selalu melihat politik sebagai bagian dari agama. Politik adalah ibadah. Tujuan utama politik adalah untuk menyebarkan kebenaran, dan menjaga agama melalui kekuasaan. Karena tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun harus mulia pula. Tujuan tidak menghalalkan segala cara.

Islam tidak mengenal sistem teokrasi dan tradisi politik sekular. Bernard Lewis, professor di Princeton University mengakui, bahwa kaum Muslim memang tidak mengembangkan tradisi sekular dalam sejarah mereka. Bahkan, kaum Muslim akan selalu menentang keras tradisi sekular tersebut. Ini berbeda dengan tradisi Kristen di Barat. “From the beginning, Christians were taught both by precept and practice to distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of the two. Muslims received no such instruction,” tulis Lewis dalam bukunya, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002).

Jadi, sejatinya, politik sekular dan liberal, apalagi politik ‘machiavellis’ harusnya tidak dikenal dalam tradisi Islam dan juga di Indonesia yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Politik semacam ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Tetapi, pada akhirnya, kita tidak bisa menuding ke luar. Para politisi Muslim itulah yang harus membuktikan, dengan pikiran, kerja, dan keteladanan, bahwa politik Islam adalah politik terbaik. Bahwa politik benar-benar bertujuan untuk ibadah dan bukan refleksi dari syahwat mencintai dunia (hubbud-dunya). Wallaahu A’lam bish-shawab. (***).
Childfree, Apakah Pilihan Beradab?
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Beberapa hari ini ada sejumlah pertanyaan – dalam forum kuliah atau media sosial – tentang topik childfree. Topik ini menghangat setelah beberapa selebritis menyampaikan secara terbuka sikapnya. Ada pasangan suami-istri yang memutuskan menjadi pasangan childfree.

Artinya, mereka memutuskan untuk tidak akan mempunyai anak. Meskipun secara medis, pasangan itu dimungkinkan untuk mempunyai anak.

Ada lagi selebriti yang menyatakan, bahwa dengan tidak mempunyai anak, maka ia merasa telah membantu dunia yang sudah kelebihan populasi. Katanya, sekarang sudah terlalu banyak manusia yang tinggal di planet bumi ini.

Bagaimana kita memandang fenomena childfree? Seorang praktisi pendidikan, Adriano Rusfi, berpendapat, bahwa dalam pandangan Islam, sudah tentu tidak ada istilah childfree atau menolak berketurunan. Apalagi pada pasangan yang sudah menikah. Dalam Islam, salah satu tujuan perkawinan memang mempunyai anak.

Dalam Islam, menurut Adriano Rusfi, tidak mendayagunakan fungsi tubuh adalah jahil. Sedangkan mendayagunakan fungsi tubuh secara berlebihan adalah zalim. Keduanya sama-sama bentuk dosa. Rasulullah saw telah bersabda agar kita “berbanyak-banyak” atau “berketurunan”. (sumber)

*

Pada tahun 2010, saat berkunjung ke Inggris, saya banyak ditemani oleh seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil doktor di University College of London (UCL). Suatu saat, ia mengajak beberapa anaknya yang masih kecil dalam acara di London. Menurutnya, ada teman-teman kuliahnya di UCL yang heran melihat ia ke kampus dengan membawa sejumlah anak. “Apa itu tidak merepotkan?” tanya mereka, seperti ditirukan oleh mahasiswa Indonesia tersebut.

Tentu saja, di sejumlah negara Barat, fenomena perempuan tidak mau punya anak sudah menjadi hal biasa. Mereka punya prinsip “kedaulatan alat reproduksi”. Perempuan itu sendiri – bukan suami atau orang lain — yang berhak memutuskan apakah ia mau punya anak atau tidak.

Dalam sistem keluarga di Barat, suami dan istri punya kedudukan setara. Tidak boleh suami memaksakan keinginannya untuk punya anak kepada istrinya. Tidak ada konsep “istri harus taat suami” dalam rumah tangga mereka. Punya anak atau tidak adalah hasil kesepakatan. Jika anak dianggap merepotkan karir atau kehidupan sang istri, maka lebih baik tidak punya anak.

Sistem keluarga dan sosial seperti ini telah memunculkan krisis penduduk di sejumlah negara di Barat dan negara-negara modern lainnya. Tahun 2012 lalu, Jerman mengkhawatirkan rendahnya angka pertumbuhan penduduknya. Menurut data statistik, angka kelahiran bayi di negara tersebut menempati angka terendah sepanjang sejarah. Rendahnya angka kelahiran di negara tersebut menimbulkan kekhawatiran persoalan populasi negara tersebut di masa depan.

Data Kantor Statistik Federal Jerman di Wiesbaden mengungkap pada tahun 2011 terdapat 663.000 bayi yang dilahirkan di negara tersebut. Hal ini berarti, menurun sebanyak 15.000 kelahiran lebih sedikit dari angka tahun lalu, atau turun 2,2 persen. Sebagai perbandingan, ada sekitar 1,4 juta bayi yang dilahirkan di Jerman pada 1964. Setelah itu, tingkat kelahiran bayi terus mengalami penurunan.

Sejak 1972, angka kematian telah melebihi jumlah dari angka kelahiran bayi. Sementara jarak antara perbandingan angka kematian dan angka kelahiran juga meningkat selama beberapa tahun terakhir, ketika jumlah kematian pada 2011 mengalami sedikit penurunan sebesar 0,7 persen sehingga mencapai 852.000.

Dalam skenario tersebut, angka rata-rata kematian akan meningkat sebagai akibat dari masyarakat yang semakin tua. Statistik menunjukkan, warga Jerman tidak hanya cenderung untuk memiliki sedikit anak, namun juga kurang berminat untuk menikah. Hal tersebut diperlihatkan dengan penurunan angka pernikahan yang terjadi dari tahun ke tahun sebesar 1,1 persen. Tercatat hanya ada 378.000 pasangan yang menikah pada 2011. (sumber)

*
Sebenarnya soal menikah dan memiliki anak sudah diletakkan secara adil dalam Islam. Jika seorang memiliki worldview (pandangan hidup) yang benar, maka seorang akan mampu memahami dan menempatkan masalah ini secara adil dan beradab.

Perintah Nabi untuk menikah diberikan kepada para pemuda yang sudah “mampu”. Jika tidak mampu, ya berpuasalah. Rasulullah saw menyebut nikah adalah sunnah beliau dan siapa yang membenci sunnah beliau maka ia bukan termasuk golongan Nabi. Menikah juga satu bentuk ibadah.

Tetapi, tidak setiap orang wajib menikah. Jika ia terjatuh dalam zina, karena tidak menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Ada ulama – meskipun sangat kecil jumlahnya – yang memilih untuk tidak menikah dan menyibukkan diri dalam aktivitas keilmuan dan perjuangan.

Begitu juga soal anak. Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa ia senang memiliki anak (QS 3:14). Maka, merupakan sikap yang adil dan beradab, sesuai dengan fitrah manusia, jika suami-istri ingin punya anak. Tidak perlu khawatir soal rizki anak, sebab Allah sudah menjamin rizki anak-anak itu. Dalam praktiknya, jika orang tuanya tidak mampu, maka mereka wajib dibantu oleh saudara atau anak-anak itu menjadi tanggung jawab negara.

Anak-anak manusia itu harta yang sangat berharga. Anak manusia lebih berharga daripada anak kambing atau anak babi. Logisnya, manusia didorong untuk punya banyak anak. Tetapi, dengan syarat, orang tua harus bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Karena itulah, tugas orang tua adalah mencari ilmu agar bisa mendidik anak dengan baik. Sebab, anak-anak yang salah didik, bisa lebih rendah nilainya dan lebih merusak masyarakat daripada anak kambing atau anak babi.

Jadi, soal childfree perlu diletakkan pada tempatnya, dilihat secara adil dan beradab. Jika ada satu penyakit atau kondisi tertentu, baik saja mengambil keputusan childfree. Kata kuncinya: bertanya kepada ahlinya!

Bagi yang mampu memiliki anak dan mampu mendidik dengan baik, maka beranaklah sebanyak-banyaknya. Itu perintah Nabi. Jika belum mampu mendidik, maka belajarlah dengan benar! Carilah ilmu yang benar!

Keputusan suami istri untuk childfree – yang tidak adil dan beradab — akan berakibat pada diri mereka sendiri. Yang rugi mereka sendiri! Tuhan tidak rugi apa-apa. Begitu juga masyarakat dan negara juga tidak rugi apa-apa.

Jika orang zalim tidak mau punya anak, dan tidak mau menerima nasehat yang baik, maka orang-orang baik seharusnya memperbanyak anak. Begitu sederhana solusinya! Wallahu A’lam bish-shawab.