Apakah kita boleh mengkafirkan atau menyesatkan orang lain? Jawab: Kita tidak boleh mengkafirkan yg tidak kafir dan tidak boleh menyesatkan yg tidak sesat. Cara mengkafirkan itu yang diatur sesuai hukum Islam dan adab. Tidak asal2 an. Orang muslim yg terindikasi kekufuran perlu diklarifikasi oleh Mahkamah Syariah atau Dewan Ulama. Tidak asal main tuduh. Tetapi, yg jelas2 menyatakan kekafirannya, misalnya sdh menyatakan keluar dari Islam, ya hrs disebut kafir dan diajak kepada kebenaran. Sebutan kafir digunakan oleh AlQuran, Qul Yaa ayyuhal kaafirun... Katakanlah, Hai orang-orang kafir... Tentu tidak setiap ketemu orang kafir, lalu dituding, Hai kafir! Cukup paham, bhw dia kafir. Jangan diambil jadi menantu oleh orang Islam. Kalo dia mati dikubur bersama orang kafir. Begitu juga dg orang yg jelas2 sesat, seperti yg mengaku Nabi, malaikat, atau yg menghina sahabat dan istri Nabi saw. Itu jelas sesat dan wajib diingatkan. Aneh kalo ada yg mengatakan jangan menyesatkan orang lain, sebab tiap solat, orang muslim berdoa minta ditunjukkan jalan lurus dan dihindarkan dari jalan yang sesat. Jadi, yg betul, jangan menyesatkan yg tidak sesat. Itulah maknanya kita berlaku adil. Yang muslim jangan dikafirkan, dan yg jelas2 kafir jangan disamakan dg Islam. Itulah sikap yang adil dan beradab.
Wallahu A'lam.
-Dr. Adian Husaini-
Wallahu A'lam.
-Dr. Adian Husaini-
LIBERALISASI IAIN
Oleh: Dr. Adian Husaini
Senin (4 Januari 2009), saya menemukan sebuah buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober 2009). Penulisnya Sumanto Al Qurtuby. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang salah satunya diberi judul Agama, Seks, dan Moral. Penulis buku ini adalah alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang yang sekarang sedang mengambil program doktor di Boston University, AS, bidang antropologi politik dan agama. Melalui artikel itulah, kita bisa menyimak secara jelas apa yang dimaksud dengan gagasan Islam progresif, yang belakangan sering dilontarkan dan dianggap sebagai pemahaman Islam yang seharusnya dianut umat Islam.
Buku ini secara terang-terangan menghalalkan praktik seks bebas, yang penting dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Simaklah pendapat penulis tentang seks bebas (perzinahan) dan pelacuran: Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, demokratis, tidak ada pihak yang disubordinasi dan diintimidasi? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda atau wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh menjual otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang menjual mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang menjual pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang menjual tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang menjual alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?
Penulis juga mengecam MUI karena memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi. Katanya lebih lanjut: Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya mengakomodasi bukan mengeksekusi fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena daging yang kotor tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda.
Bagi kita yang Muslim dan normal, pendapat seperti ini jelas amat sangat salah. Tentu kita patut bertanya, bagaimana seorang lulusan fakultas syariah bisa menjadi seperti itu? Kita yakin, paham itu tidak diajarkan di kampusnya. Mungkin dia mendapatkan dari luar kampus. Tetapi, ketika menjadi mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang, ia pernah memimpin sebuah Jurnal bernama Justisia yang terbit atas izin pimpinan Fakultas yang isinya sangat anti syariat Islam, termasuk secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis.
Mengapa jurnal yang dalam berbagai edisinya sangat melecehkan al-Quran dan syariat Islam bisa terbit dengan bebas di sebuah kampus yang menyandang nama Islam? Ada yang menyatakan, bahwa yang semacam ini, hanya oknum saja. Tetapi, faktanya, oknum itu dibiarkan secara bebas menyebarkan opininya, juga menggunakan nama kampus. Ada yang menarik jika kita membaca sebuah buku berjudul: IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002). Buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Dalam buku ini diceritakan sejarah perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis: Sebagai lembaga berafiliasi kepada agama, IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah Islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Sehingga orientasi kepentingannya lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menjadikan IA
Oleh: Dr. Adian Husaini
Senin (4 Januari 2009), saya menemukan sebuah buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober 2009). Penulisnya Sumanto Al Qurtuby. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang salah satunya diberi judul Agama, Seks, dan Moral. Penulis buku ini adalah alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang yang sekarang sedang mengambil program doktor di Boston University, AS, bidang antropologi politik dan agama. Melalui artikel itulah, kita bisa menyimak secara jelas apa yang dimaksud dengan gagasan Islam progresif, yang belakangan sering dilontarkan dan dianggap sebagai pemahaman Islam yang seharusnya dianut umat Islam.
Buku ini secara terang-terangan menghalalkan praktik seks bebas, yang penting dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Simaklah pendapat penulis tentang seks bebas (perzinahan) dan pelacuran: Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, demokratis, tidak ada pihak yang disubordinasi dan diintimidasi? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda atau wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh menjual otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang menjual mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang menjual pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang menjual tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang menjual alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?
Penulis juga mengecam MUI karena memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi. Katanya lebih lanjut: Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya mengakomodasi bukan mengeksekusi fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena daging yang kotor tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda.
Bagi kita yang Muslim dan normal, pendapat seperti ini jelas amat sangat salah. Tentu kita patut bertanya, bagaimana seorang lulusan fakultas syariah bisa menjadi seperti itu? Kita yakin, paham itu tidak diajarkan di kampusnya. Mungkin dia mendapatkan dari luar kampus. Tetapi, ketika menjadi mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang, ia pernah memimpin sebuah Jurnal bernama Justisia yang terbit atas izin pimpinan Fakultas yang isinya sangat anti syariat Islam, termasuk secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis.
Mengapa jurnal yang dalam berbagai edisinya sangat melecehkan al-Quran dan syariat Islam bisa terbit dengan bebas di sebuah kampus yang menyandang nama Islam? Ada yang menyatakan, bahwa yang semacam ini, hanya oknum saja. Tetapi, faktanya, oknum itu dibiarkan secara bebas menyebarkan opininya, juga menggunakan nama kampus. Ada yang menarik jika kita membaca sebuah buku berjudul: IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002). Buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Dalam buku ini diceritakan sejarah perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis: Sebagai lembaga berafiliasi kepada agama, IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah Islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Sehingga orientasi kepentingannya lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menjadikan IA
IN sebagai lembaga dakwah pada dasarnya telah mengurangi peran yang semestinya lebih ditonjolkan, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam. Karena IAIN sebagai lembaga akademis, maka tuntutan dan tanggung jawab yang dipikul oleh IAIN adalah tanggung jawab akademis ilmiah. (hal. x).
Menurut buku ini, kepulangan para dosen IAIN dari pusat-pusat studi Islam di Barat telah mengubah metodologi dalam mempelajari Islam, sebagaimana yang diajarkan guru-guru mereka (para orientalis) di Barat. Metode itu sangat berbeda dengan metode belajar Islam yang dikembangkan oleh para ulama Islam di masa lalu. Disebutkan lebih jauh:
Salah satu yang menonjol adalah tradisi keilmuan yang dibawa pulang oleh kafilah IAIN (dan STAIN) dari studi mereka di McGill University secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat secara umum. Berbeda dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan menyebarkan pemikiran ulama gurunya, tradisi keilmuan Barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi maupun pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru bisa lebih kritis sekalipun terhadap pikiran profesor-profesor mereka sendiri. Disamping aspek metodologis itu, pendekatan sosial empiris dalam studi agama juga dikembangkan. (hal. xi).
Kemudian, sebagaimana diceritakan dalam buku ini pula, liberalisasi Islam yang dimulai dari pasca sarjana UIN Jakarta yang dipimpin oleh Prof. Harun Nasution juga dikembangkan ke Perguruan Tinggi Umum melalui dosen-dosen agama yang diberi kesempatan untuk mengambil S2 dan S3 di IAIN Jakarta. Dosen-dosen mata kuliah agama di perguruan tinggi umum dipersilakan mengambil program S2 dan S3 di IAIN Jakarta, dimana Harun Nasution bertindak sebagai direktur. Dari sinilah kemudian paham Islam rasional dan liberal yang dikembangkan Harun Nasution mulai berkembang juga di lingkungan perguruan tinggi umum. (hal. 66).
Karena dianggap berjasa besar dalam meliberalkan IAIN itulah seperti pengakuan buku yang ditulis oleh sejumlah dosen UIN Jakarta ini -- maka di UIN Jakarta, sosok dan pemikiran Harun Nasution terus dipuja. Buku-bukunya dijadikan pegangan. Jangan heran, jika paham Islam Rasional, liberal, atau progresif, terus diajarkan, digaungkan, dan disebarluaskan ke tengah masyarakat. Tentang peran Harun Nasution ditulis: Namun perlu dicatat pula bahwa pengaruh McGill terhadap perguruan tinggi Islam di Indonesia sangat kentara berkat jasa dua intelektual Islam, Harun Nasution dan Mukti Ali. Harun Nasution lewat pembaharuan pemikiran keislaman dikenal sebagai sarjana yang sangat konsisten menyuarakan pluralistik approach dalam memahami Islam dan berakar kuat di lingkungan IAIN dewasa ini. Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya menghilhami banyak sarjana Muslim Indonesia untuk melihat betapa beragamnya pemikiran yang berkembang dalam Islam (hal. viii).
Sebagai Muslim, kita tentu berhak untuk heran, mengapa para dosen perguruan Tinggi Islam ini sangat bangga mengadopsi metode studi Islam ala orientalis. Para orientalis itu, meskipun tahu sebagian ajaran Islam, tetapi tetap tidak mau beriman. Mereka mengembangkan studi agama berbasis pada skeptisisme dengan dalih pluralistic approach. Metode ini tidak mengarahkan mahasiswa untuk meyakini kebenaran satu pendapat. Pada akhirnya metode netral agama (mungkin bisa disebut dengan istilah metode sok kafir) dalam studi Islam semacam ini hanya merugikan masa depan studi Islam dan Perguruan Tinggi Islam itu sendiri, karena dapat melahirkan sarjana-sarjana yang bangga dalam keraguan dan kebingungan serta tidak meyakini kebenaran Islam. (***)
Menurut buku ini, kepulangan para dosen IAIN dari pusat-pusat studi Islam di Barat telah mengubah metodologi dalam mempelajari Islam, sebagaimana yang diajarkan guru-guru mereka (para orientalis) di Barat. Metode itu sangat berbeda dengan metode belajar Islam yang dikembangkan oleh para ulama Islam di masa lalu. Disebutkan lebih jauh:
Salah satu yang menonjol adalah tradisi keilmuan yang dibawa pulang oleh kafilah IAIN (dan STAIN) dari studi mereka di McGill University secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat secara umum. Berbeda dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan menyebarkan pemikiran ulama gurunya, tradisi keilmuan Barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi maupun pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru bisa lebih kritis sekalipun terhadap pikiran profesor-profesor mereka sendiri. Disamping aspek metodologis itu, pendekatan sosial empiris dalam studi agama juga dikembangkan. (hal. xi).
Kemudian, sebagaimana diceritakan dalam buku ini pula, liberalisasi Islam yang dimulai dari pasca sarjana UIN Jakarta yang dipimpin oleh Prof. Harun Nasution juga dikembangkan ke Perguruan Tinggi Umum melalui dosen-dosen agama yang diberi kesempatan untuk mengambil S2 dan S3 di IAIN Jakarta. Dosen-dosen mata kuliah agama di perguruan tinggi umum dipersilakan mengambil program S2 dan S3 di IAIN Jakarta, dimana Harun Nasution bertindak sebagai direktur. Dari sinilah kemudian paham Islam rasional dan liberal yang dikembangkan Harun Nasution mulai berkembang juga di lingkungan perguruan tinggi umum. (hal. 66).
Karena dianggap berjasa besar dalam meliberalkan IAIN itulah seperti pengakuan buku yang ditulis oleh sejumlah dosen UIN Jakarta ini -- maka di UIN Jakarta, sosok dan pemikiran Harun Nasution terus dipuja. Buku-bukunya dijadikan pegangan. Jangan heran, jika paham Islam Rasional, liberal, atau progresif, terus diajarkan, digaungkan, dan disebarluaskan ke tengah masyarakat. Tentang peran Harun Nasution ditulis: Namun perlu dicatat pula bahwa pengaruh McGill terhadap perguruan tinggi Islam di Indonesia sangat kentara berkat jasa dua intelektual Islam, Harun Nasution dan Mukti Ali. Harun Nasution lewat pembaharuan pemikiran keislaman dikenal sebagai sarjana yang sangat konsisten menyuarakan pluralistik approach dalam memahami Islam dan berakar kuat di lingkungan IAIN dewasa ini. Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya menghilhami banyak sarjana Muslim Indonesia untuk melihat betapa beragamnya pemikiran yang berkembang dalam Islam (hal. viii).
Sebagai Muslim, kita tentu berhak untuk heran, mengapa para dosen perguruan Tinggi Islam ini sangat bangga mengadopsi metode studi Islam ala orientalis. Para orientalis itu, meskipun tahu sebagian ajaran Islam, tetapi tetap tidak mau beriman. Mereka mengembangkan studi agama berbasis pada skeptisisme dengan dalih pluralistic approach. Metode ini tidak mengarahkan mahasiswa untuk meyakini kebenaran satu pendapat. Pada akhirnya metode netral agama (mungkin bisa disebut dengan istilah metode sok kafir) dalam studi Islam semacam ini hanya merugikan masa depan studi Islam dan Perguruan Tinggi Islam itu sendiri, karena dapat melahirkan sarjana-sarjana yang bangga dalam keraguan dan kebingungan serta tidak meyakini kebenaran Islam. (***)
Temukan ulasan cerdas tentang BARAT, ISLAM, DAN ISLAM NUSANTARA bersama Dr Hamid Fahmy Zarkasyi.
Semoga bermanfaat.
Format: Mp3 - 33 Mb - 1 jam 20 menit
https://www.dropbox.com/s/8crnfgexqddrnyq/Dr%20Hamid%20Fahmy%20Zarkasyi%20-%20Islam_%20Barat_%20dan%20Islam%20Nusantara.mp3?dl=0
Semoga bermanfaat.
Format: Mp3 - 33 Mb - 1 jam 20 menit
https://www.dropbox.com/s/8crnfgexqddrnyq/Dr%20Hamid%20Fahmy%20Zarkasyi%20-%20Islam_%20Barat_%20dan%20Islam%20Nusantara.mp3?dl=0
Dropbox
Dr Hamid Fahmy Zarkasyi - Islam_ Barat_ dan Islam Nusantara.mp3
Shared with Dropbox
Clash of Worldview
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Samuel P. Huntington adalah pemberi nama konflik global yang terjadi saat ini dengan sebutan “Clash of Civilization” melalui bukunya yang berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (1996). Alasannya, sumber konflik umat manusia saat ini bukan lagi ideologi, politik atau ekonomi, tapi kultural.
Sebab, semua orang kini cenderung mengidentifikasi diri dengan identitas kultural. Jika kultur atau peradaban adalah identitas, maka identitas peradaban itu sendiri adalah worldview. Jadi clash of civlization berindikasi clash of worldview.
Banyak yang tidak sepakat dengan Huntington. Mungkin karena superficial atau provokatif. Seakan berbeda budaya bisa berarti perang.
Namun Huntington bukan tanpa pendukung. Peter Berger misalnya, setuju konflik politik sekarang ini adalah collision of consciousness (benturan kesadaran atau persepsi), kata lain dari clash of civilization. Tapi pilihan kata, clash dan collision memang vulgar, masih kalah lembut dari kata-kata al-Attas divergence of worldviews. Tapi benarkah kini sedang terjadi clash of civilization?
Hampir semua sepakat bahwa setiap peradaban mempunyai worldview. Jerman lebih dulu memiliki istilah weltanschauung, welt = dunia, anschauung = persepsi, berarti persepsi tentang dunia.
Di Italia digunakan istilah “konsepsi tentang dunia”. Di Perancis kata weltanschauung dipinjam dan diartikan dengan “pandangan metafisis tentang dunia dan konsepsi kehidupan”, di Rusia disebut mirovozzrenie berarti pandangan dunia.
Dan semua setuju bahwa kata worldview harus diikat oleh predikat kultural, religius, ataupun saintifik. Jadilah, misalnya istilah Christian Worldview, Medieval Worldview, Scientific Worldview, Modern worldview dan the Worldview of Islam. Semua mempunyai cara pandang yang eksklusif. Tapi semua orang tahu disitu ada proses saling meminjam antar peradaban, antar worldview.
Mungkin ini sebabnya di Barat orang mudah menerima denominasi berdasarkan worldview ketimbang “agama”. Hegel misalnya ketika ia baca teologi Hindu ia spontan menerimanya sebagai Indischen weltanschauung. Bahkan Ninian Smart menjadikan worldview sebagai alat untuk mengeksplorasi kepercayaan manusia (crosscultural explorations of human beliefs).
Banyak lapisan makna didalam worldview. Membahas worldview bagaikan berlayar ke lautan tak bertepi (journey into landless-sea) kata Nietsche. Meskipun begitu, di Barat masalah worldview tetap hanya sejauh jangkauan panca indera. Luasnya worldview bagi Kant, Hegel dan juga Goethe, hanya sebatas dunia inderawi (mundus sensibilis).
Tapi bagi Shaikh Atif al-Zayn bukan luasnya yang penting, tapi darimana ia bermula, maka worldview adalah mabda (tempat bermula). Disitu dapat diketahui spektrum makna worldview. Sedangkan worldview Islam seperti yang digambarkan al-Attas tidak sesempit luasnya lautan dalam planet bumi, tapi seluas skala wujud, ruyat al-Islam lil wujud.
Menjadikan worldview sebagai matrik agama, peradaban, kepercayaan atau lainnya sah-sah saja. Sebab worldview bisa diukur dari apa yang ada dalam pikiran orang. Oleh sebab itu dilapisan dalam worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja konseptual).
Tidak salah jika kemudian Dilthey menjadikannya sebagai asas formulasi epistemologis yang obyektif. Worldview lalu berfungsi sebagai asas ilmu-imu sosial (Dilthey), dan ilmu-ilmu alam (Kant). Thomas S. Kuhn (1922-1996) bahkan menyulap worldview menjadi paradigma yang menyediakan nilai, standar dan metodologi tertentu yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik.
Ia bahkan menyebutnya matrik disipliner (disciplinary matrix) yang memiliki elemen yang tersusun. Ini mengingatkan kita pada kata-kata Husserl dalam Crisis of European Sciences, bahwa worldview itu akhirnya mirip dengan kepercayaan keagamaan yang bersifat individual.
Di satu sisi ini merupakan dinamika pemikiran yang positif. Ringkas kata, paradigm dan worldview memiliki variabel-variabel konsep yang terstruktur, yang berproses menjadi framework pemikiran, dan disiplin ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya ilm
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Samuel P. Huntington adalah pemberi nama konflik global yang terjadi saat ini dengan sebutan “Clash of Civilization” melalui bukunya yang berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (1996). Alasannya, sumber konflik umat manusia saat ini bukan lagi ideologi, politik atau ekonomi, tapi kultural.
Sebab, semua orang kini cenderung mengidentifikasi diri dengan identitas kultural. Jika kultur atau peradaban adalah identitas, maka identitas peradaban itu sendiri adalah worldview. Jadi clash of civlization berindikasi clash of worldview.
Banyak yang tidak sepakat dengan Huntington. Mungkin karena superficial atau provokatif. Seakan berbeda budaya bisa berarti perang.
Namun Huntington bukan tanpa pendukung. Peter Berger misalnya, setuju konflik politik sekarang ini adalah collision of consciousness (benturan kesadaran atau persepsi), kata lain dari clash of civilization. Tapi pilihan kata, clash dan collision memang vulgar, masih kalah lembut dari kata-kata al-Attas divergence of worldviews. Tapi benarkah kini sedang terjadi clash of civilization?
Hampir semua sepakat bahwa setiap peradaban mempunyai worldview. Jerman lebih dulu memiliki istilah weltanschauung, welt = dunia, anschauung = persepsi, berarti persepsi tentang dunia.
Di Italia digunakan istilah “konsepsi tentang dunia”. Di Perancis kata weltanschauung dipinjam dan diartikan dengan “pandangan metafisis tentang dunia dan konsepsi kehidupan”, di Rusia disebut mirovozzrenie berarti pandangan dunia.
Dan semua setuju bahwa kata worldview harus diikat oleh predikat kultural, religius, ataupun saintifik. Jadilah, misalnya istilah Christian Worldview, Medieval Worldview, Scientific Worldview, Modern worldview dan the Worldview of Islam. Semua mempunyai cara pandang yang eksklusif. Tapi semua orang tahu disitu ada proses saling meminjam antar peradaban, antar worldview.
Mungkin ini sebabnya di Barat orang mudah menerima denominasi berdasarkan worldview ketimbang “agama”. Hegel misalnya ketika ia baca teologi Hindu ia spontan menerimanya sebagai Indischen weltanschauung. Bahkan Ninian Smart menjadikan worldview sebagai alat untuk mengeksplorasi kepercayaan manusia (crosscultural explorations of human beliefs).
Banyak lapisan makna didalam worldview. Membahas worldview bagaikan berlayar ke lautan tak bertepi (journey into landless-sea) kata Nietsche. Meskipun begitu, di Barat masalah worldview tetap hanya sejauh jangkauan panca indera. Luasnya worldview bagi Kant, Hegel dan juga Goethe, hanya sebatas dunia inderawi (mundus sensibilis).
Tapi bagi Shaikh Atif al-Zayn bukan luasnya yang penting, tapi darimana ia bermula, maka worldview adalah mabda (tempat bermula). Disitu dapat diketahui spektrum makna worldview. Sedangkan worldview Islam seperti yang digambarkan al-Attas tidak sesempit luasnya lautan dalam planet bumi, tapi seluas skala wujud, ruyat al-Islam lil wujud.
Menjadikan worldview sebagai matrik agama, peradaban, kepercayaan atau lainnya sah-sah saja. Sebab worldview bisa diukur dari apa yang ada dalam pikiran orang. Oleh sebab itu dilapisan dalam worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja konseptual).
Tidak salah jika kemudian Dilthey menjadikannya sebagai asas formulasi epistemologis yang obyektif. Worldview lalu berfungsi sebagai asas ilmu-imu sosial (Dilthey), dan ilmu-ilmu alam (Kant). Thomas S. Kuhn (1922-1996) bahkan menyulap worldview menjadi paradigma yang menyediakan nilai, standar dan metodologi tertentu yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik.
Ia bahkan menyebutnya matrik disipliner (disciplinary matrix) yang memiliki elemen yang tersusun. Ini mengingatkan kita pada kata-kata Husserl dalam Crisis of European Sciences, bahwa worldview itu akhirnya mirip dengan kepercayaan keagamaan yang bersifat individual.
Di satu sisi ini merupakan dinamika pemikiran yang positif. Ringkas kata, paradigm dan worldview memiliki variabel-variabel konsep yang terstruktur, yang berproses menjadi framework pemikiran, dan disiplin ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya ilm
u menjadi sarat nilai, alias tidak netral.
Dalam Islam, sejauh apapun pikiran kita berpetualang wahyu tetap menjadi obornya. Al-Quran sendiri sarat dengan sistem konsep (conceptual scheme). Ilmu-ilmu seperti fiqih, hadis, tafsir, falak, tabiah, hisab dan sebagainya adalah derivasi dari konsep-konsep dalam wahyu.
Artinya, worldview al-Quran telah menghasilkan framework dan disiplin ilmu yang juga eksklusif. Orang Barat, misalnya, tidak bisa mengadopsi metode tadil dan tajrih ilmu hadis, atau mengadopsi ilmu faraid dalam Islam, dan seterusnya.
Sebaliknya orang Islam juga tidak bisa terima teori kebenaran dikotomis: obyektif dan subyektif. Tidak juga bisa menerima doktrin pan-seksualisme Freud, doktrin evolusi Darwin dan sebagainya. Setiap teori atau konsep berangkat dari framework dan setiap framework diderivasi dari worldview.
Kalau saya terpaksa setuju dengan Huntington, maka saya hanya setuju pada dataran epistemologis. Itupun kalau ini termasuk dalam thesis Huntington. Pada dataran ini memang seperti tidak terjadi apa-apa, tidak terlihat pula konflik sosial, lebih-lebih senjata.
Senjatanya adalah pena-pena para pemikir, yang dalam Islam dihitung baik pedang syuhada. Akibatnya, tidak kasat mata. Hanya saja disana sini terjadi kebingungan (confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of identity). Namun disini istilah clash of worldview lebih tepat disebut worldview intrusion.
Banyak contoh yang bisa membuktikan bahwa pemikiran umat Islam kini sedang dirasuki oleh worldview peradaban lain. Banyak cendekiawan Muslim atau “ulama” memuji habis Immanuel Kant, Karl Marx, Thomas S. Kuhn, Derrida dkk., tapi mengkritik al-Asyari, al-Ghazzali, al-Shafii dan lain-lain.
Ada pula yang ragu apakah al-Quran benar-benar wahyu Allah, sedangkan ia percaya rukun Iman. Kini malah ada wanita Muslimah berjilbab, tapi protes mengapa Tuhan begitu maskulin. Malah tidak aneh jika seorang ahli tahajjud dengan keningnya yang hitam, juga seorang Marxist.
Ia memahami makna Tauhid, tapi tidak tahu berpikir tauhidi. Imannya tidak didukung oleh akalnya sehingga ilmunya tidak menambah imannya. Muslim tapi worldview dan framework berpikirnya tidak. Itulah dampak worldview intrusion.
Bagi yang tidak percaya thesis Huntington, boleh jadi ia percaya pada Derrida (1930-….). Sebab tradisi intelektual Barat yang oleh Derrida disebut logocentrism telah dirobohkan (deconstructed). Zaman postmodern telah menjadi post-worldview era. Tidak ada lagi worldview. Tidak ada kepastian akan kebenaran tentang alam, apalagi framework. Semua bebas memahami semua.
Jadi tidak ada clash of worldview. Tapi bukankah Derrida sedang mengusung worldview dan framework dia sendiri?, humor pun bagi Witgenstein masih termasuk worldview, meski ia hanya ilusi manusia tentang dunia. Dalam teologi Kristen sendiri konflik kebaikan dan kejahatan dianggap sebagai konflik worldview. Konflik antara kerajaan Tuhan dengan kerajaan Setan.
Jadi clash of worldview atau intrusion of worldview bukanlah skenario peperangan, karena ia terjadi dalam diri kita sehari-hari, dalam akal dan hati kita. Oleh sebab itu kita tidak hanya perlu ditunjukkan tentang hakekat kebenaran tapi juga jalan menuju kebenaran.
Dalam Islam, sejauh apapun pikiran kita berpetualang wahyu tetap menjadi obornya. Al-Quran sendiri sarat dengan sistem konsep (conceptual scheme). Ilmu-ilmu seperti fiqih, hadis, tafsir, falak, tabiah, hisab dan sebagainya adalah derivasi dari konsep-konsep dalam wahyu.
Artinya, worldview al-Quran telah menghasilkan framework dan disiplin ilmu yang juga eksklusif. Orang Barat, misalnya, tidak bisa mengadopsi metode tadil dan tajrih ilmu hadis, atau mengadopsi ilmu faraid dalam Islam, dan seterusnya.
Sebaliknya orang Islam juga tidak bisa terima teori kebenaran dikotomis: obyektif dan subyektif. Tidak juga bisa menerima doktrin pan-seksualisme Freud, doktrin evolusi Darwin dan sebagainya. Setiap teori atau konsep berangkat dari framework dan setiap framework diderivasi dari worldview.
Kalau saya terpaksa setuju dengan Huntington, maka saya hanya setuju pada dataran epistemologis. Itupun kalau ini termasuk dalam thesis Huntington. Pada dataran ini memang seperti tidak terjadi apa-apa, tidak terlihat pula konflik sosial, lebih-lebih senjata.
Senjatanya adalah pena-pena para pemikir, yang dalam Islam dihitung baik pedang syuhada. Akibatnya, tidak kasat mata. Hanya saja disana sini terjadi kebingungan (confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of identity). Namun disini istilah clash of worldview lebih tepat disebut worldview intrusion.
Banyak contoh yang bisa membuktikan bahwa pemikiran umat Islam kini sedang dirasuki oleh worldview peradaban lain. Banyak cendekiawan Muslim atau “ulama” memuji habis Immanuel Kant, Karl Marx, Thomas S. Kuhn, Derrida dkk., tapi mengkritik al-Asyari, al-Ghazzali, al-Shafii dan lain-lain.
Ada pula yang ragu apakah al-Quran benar-benar wahyu Allah, sedangkan ia percaya rukun Iman. Kini malah ada wanita Muslimah berjilbab, tapi protes mengapa Tuhan begitu maskulin. Malah tidak aneh jika seorang ahli tahajjud dengan keningnya yang hitam, juga seorang Marxist.
Ia memahami makna Tauhid, tapi tidak tahu berpikir tauhidi. Imannya tidak didukung oleh akalnya sehingga ilmunya tidak menambah imannya. Muslim tapi worldview dan framework berpikirnya tidak. Itulah dampak worldview intrusion.
Bagi yang tidak percaya thesis Huntington, boleh jadi ia percaya pada Derrida (1930-….). Sebab tradisi intelektual Barat yang oleh Derrida disebut logocentrism telah dirobohkan (deconstructed). Zaman postmodern telah menjadi post-worldview era. Tidak ada lagi worldview. Tidak ada kepastian akan kebenaran tentang alam, apalagi framework. Semua bebas memahami semua.
Jadi tidak ada clash of worldview. Tapi bukankah Derrida sedang mengusung worldview dan framework dia sendiri?, humor pun bagi Witgenstein masih termasuk worldview, meski ia hanya ilusi manusia tentang dunia. Dalam teologi Kristen sendiri konflik kebaikan dan kejahatan dianggap sebagai konflik worldview. Konflik antara kerajaan Tuhan dengan kerajaan Setan.
Jadi clash of worldview atau intrusion of worldview bukanlah skenario peperangan, karena ia terjadi dalam diri kita sehari-hari, dalam akal dan hati kita. Oleh sebab itu kita tidak hanya perlu ditunjukkan tentang hakekat kebenaran tapi juga jalan menuju kebenaran.
Manhaj al-Fikri
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Ketika saya menulis thesis di Birmingham, Dr. David Thomas menasehati saya “kalau anda mau obyektif anda harus keluar dari (cara pandang) Islam”. Saya terkejut tapi tidak langsung menjawab, sebab dia temperamental.
Pada temu-janji berikutnya saya baru menjawab “If I get out of Islamic framework I will be, epistemologically, no longer a Muslim”. Dia sekarang yang terperangah. Raut mukanya mendadak berubah, ia lalu tertawa ngakak, “ok..ok…forget it” katanya.
Saya tidak mengerti mengapa sesingkat itu jawabannya. Tapi saya menangkap dia kurang percaya diri. Cara pandangnya dikotomis. Subyek dan obyek dipisahkan secara paksa. Agar bisa obyektif maka saya (subyek) harus memisahkan diri dari obyek.
Memang dia sendiri, yang Katholik itu, dalam kuliah-kuliahnya, cenderung melihat sejarah Islam dari perspektif Kristen. Saya maklum. Tapi ketika dia sendiri memahami Kristen dari visi Kristen dia menjadi “curang”. Persoalannya adalah bagaimana dan dengan apa sesuatu itu dipahami.
Soal cara memahami alumni pesantren modern mungkin tidak akan lupa prinsip al-tariqat ahammu min al-maddah (metode lebih penting dari materi). Dan guru lebih penting dari metode (al-mudarrisu ahammu min al- Tariqah).
Pisau lebih penting dari mangga, tapi (keterampilan) pengupas lebih penting dari pisau. Itu prinsip bagaimana memahamkan sesuatu (pengajaran) di tingkat menengah. Di perguruan tinggi masalahnya bukan metode lagi, tapi metodologi.
Bukan hanya pisau tapi pisau analisa, framework, manhaj atau cara pandang. Inilah sebenarnya inti nasehat David. Di tingkat menengah, jika metode atau tariqah gagal, murid tidak paham.
Tapi di perguruan tinggi salah memilih framework atau manhaj membuat mahasiwa bingung kalau tidak tersesat. Prinsipnya mungkin berubah menjadi al-manhaj ahammu min al-maddah wa al-mudarris (framework lebih penting dari materi dan dosen).
Dalam kajian Islam suatu framework atau manhaj terkait pertama-tama dengan proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Suatu “metabolisme” dalam nutrisi spiritual. Kualitas ilmu, cara mencari, sumber ilmu yang benar, penalaran yang betul, manfaat yang jelas merupakan sebagian dari bangunan framework.
Jika ilmu itu cahaya al-haqq, seperti kata Waqi’ guru Imam Syafii, maka ilmu dan iman sumbernya sama. Siapa yang banyak ilmu mesti tebal imannya dan sebaliknya. Ia akan berilmu dengan imannya dan beriman dengan ilmunya.
Pemikir mesti ahli zikir dan irama zikir harus sejalan dengan kerja pikir. (Ali Imran: 190-191). Karena cahaya itu dari Allah, maka alam pikiran Muslim merupakan refleksi Ilmu Ilahi. Alam pikiran Muslim membentuk miniatur alam semesta yang terstruktur (microcosmos).
Pancaran pandangannya terhadap hidup dan kehidupan seluas pancaran cahaya pandangan hidup Islam (worldview). Itulah sebabnya mengapa Iqbal menyimpulkan Muslim tidak ditelan cakrawala seperti kafir, tapi justru menelannya. Alam pikiran Muslim yang diwarnai pandangan hidup Islam adalah framework.
Jika alam pikiran manusia adalah framework, maka Alparslan Acikgenc benar “Setiap peradaban perlu framework” untuk memahami dirinya sendiri. Barat, India, Kristen, Islam dan sebagainya punya framework.
Siapapun berhak memahami Islam, sebab Islam turun untuk umat manusia. Tapi, memahami Islam bukan hanya memahami data dan fakta sejarah. Framework kata Alparslan, tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis.
Artinya, bagaimana data dan fakta dalam peradaban Islam itu dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah) data dan fakta sebagai obyek kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subyek yang mikrokosmis tersebut [Lihat Fussilat, 53].
Ini firman Tuhan. Karena itu realitas alam pikiran Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiristis atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran sinar wahyu.
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Ketika saya menulis thesis di Birmingham, Dr. David Thomas menasehati saya “kalau anda mau obyektif anda harus keluar dari (cara pandang) Islam”. Saya terkejut tapi tidak langsung menjawab, sebab dia temperamental.
Pada temu-janji berikutnya saya baru menjawab “If I get out of Islamic framework I will be, epistemologically, no longer a Muslim”. Dia sekarang yang terperangah. Raut mukanya mendadak berubah, ia lalu tertawa ngakak, “ok..ok…forget it” katanya.
Saya tidak mengerti mengapa sesingkat itu jawabannya. Tapi saya menangkap dia kurang percaya diri. Cara pandangnya dikotomis. Subyek dan obyek dipisahkan secara paksa. Agar bisa obyektif maka saya (subyek) harus memisahkan diri dari obyek.
Memang dia sendiri, yang Katholik itu, dalam kuliah-kuliahnya, cenderung melihat sejarah Islam dari perspektif Kristen. Saya maklum. Tapi ketika dia sendiri memahami Kristen dari visi Kristen dia menjadi “curang”. Persoalannya adalah bagaimana dan dengan apa sesuatu itu dipahami.
Soal cara memahami alumni pesantren modern mungkin tidak akan lupa prinsip al-tariqat ahammu min al-maddah (metode lebih penting dari materi). Dan guru lebih penting dari metode (al-mudarrisu ahammu min al- Tariqah).
Pisau lebih penting dari mangga, tapi (keterampilan) pengupas lebih penting dari pisau. Itu prinsip bagaimana memahamkan sesuatu (pengajaran) di tingkat menengah. Di perguruan tinggi masalahnya bukan metode lagi, tapi metodologi.
Bukan hanya pisau tapi pisau analisa, framework, manhaj atau cara pandang. Inilah sebenarnya inti nasehat David. Di tingkat menengah, jika metode atau tariqah gagal, murid tidak paham.
Tapi di perguruan tinggi salah memilih framework atau manhaj membuat mahasiwa bingung kalau tidak tersesat. Prinsipnya mungkin berubah menjadi al-manhaj ahammu min al-maddah wa al-mudarris (framework lebih penting dari materi dan dosen).
Dalam kajian Islam suatu framework atau manhaj terkait pertama-tama dengan proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Suatu “metabolisme” dalam nutrisi spiritual. Kualitas ilmu, cara mencari, sumber ilmu yang benar, penalaran yang betul, manfaat yang jelas merupakan sebagian dari bangunan framework.
Jika ilmu itu cahaya al-haqq, seperti kata Waqi’ guru Imam Syafii, maka ilmu dan iman sumbernya sama. Siapa yang banyak ilmu mesti tebal imannya dan sebaliknya. Ia akan berilmu dengan imannya dan beriman dengan ilmunya.
Pemikir mesti ahli zikir dan irama zikir harus sejalan dengan kerja pikir. (Ali Imran: 190-191). Karena cahaya itu dari Allah, maka alam pikiran Muslim merupakan refleksi Ilmu Ilahi. Alam pikiran Muslim membentuk miniatur alam semesta yang terstruktur (microcosmos).
Pancaran pandangannya terhadap hidup dan kehidupan seluas pancaran cahaya pandangan hidup Islam (worldview). Itulah sebabnya mengapa Iqbal menyimpulkan Muslim tidak ditelan cakrawala seperti kafir, tapi justru menelannya. Alam pikiran Muslim yang diwarnai pandangan hidup Islam adalah framework.
Jika alam pikiran manusia adalah framework, maka Alparslan Acikgenc benar “Setiap peradaban perlu framework” untuk memahami dirinya sendiri. Barat, India, Kristen, Islam dan sebagainya punya framework.
Siapapun berhak memahami Islam, sebab Islam turun untuk umat manusia. Tapi, memahami Islam bukan hanya memahami data dan fakta sejarah. Framework kata Alparslan, tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis.
Artinya, bagaimana data dan fakta dalam peradaban Islam itu dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah) data dan fakta sebagai obyek kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subyek yang mikrokosmis tersebut [Lihat Fussilat, 53].
Ini firman Tuhan. Karena itu realitas alam pikiran Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiristis atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran sinar wahyu.
Tapi memahami Islam tidak bisa dengan framework apapun atau alam pikiran siapapun. Jika seorang ateis diizinkan memahami framework Islam, maka Nabi bisa jadi penipu. Kalau alam pikiran sekuler dipakai, shahadat menjadi manifesto sekulerisasi. Menurut alam pikiran liberal, Nabi, Umar ibn Khattab dan lain-lain adalah seorang tokoh liberal sejati dan seterusnya.
Begitulah, jika realitas obyek dipisahkan dari alam pikiran subyek atau jika realitas (haqiqah) data dan fakta tidak diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus). Jika afaq dipisahkan dari anfus (worldview), maka ia akan menjadi hampa, bak lagu tanpa irama. Begitulah, konsekuensi sebuah framework.
Itulah salah satu alasan mengapa Muslim tidak bisa memakai framework peradaban lain. Framework Barat itu problematis, kata Sayyid Hossein Nasr. Mereka melupakan beda rasio dan intelek.
Dalam Islam, istilah ‘aql sudah mencakup keduanya. Ratio (Latin) berarti pikiran manusia, tapi ‘aql-‘aqala mempunyai arti “mengikat”. Suatu bagian dalam diri manusia yang mengikat dirinya dengan Tuhannya. (makhluq dengan khaliq), yang menyatukan fisika dengan metafisika, fenomena dengan noumena, simbol dengan makna, afaq dan anfus, subyek dengan obyek, nisbi dengan mutlak dan seterusnya.
Karena anugerah ‘aql inilah maka manusia memiliki salah satu sifat Tuhan, yakni ‘alim. Barat yang rasionalistis itu telah membuang fakultas pengikat ini. Maka tidak salah jika Iqbal menyimpulkan, rasionalisme Barat hanya bisa menghasilkan superman, seperti Nietszhe, tapi nalar dan akal Islam menghasilkan insan kamil, seperti para ulama yang saleh.
Jadi, Muslim bisa menggunakan metode asing tapi bukan frameworknya. Muslim bisa menelan cakrawala pemikiran asing, tapi dengan Cakrawala Muslim. Muslim bisa pakai handphone produk Barat, misalnya, tapi tidak mesti harus menjadi sekuler-liberal. Orang Barat bisa pakai minyak dari Saudi tapi tidak perlu bersyahadat dan naik haji.
Sains Barat tidak sepenuhnya ditolak atau diterima. No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected, S.H.Nasr. Unsur asing perlu dicerna, diproses untuk diserap dan atau dibuang. Persis metabolisme tubuh manusia.
Matthew Melko, profesor sosiologi di Universitas Wright, Ohio, setuju One civilization rarely receive material from another without changing the nature of that to fit its own pattern. (lihat Stephen K.S. Civilization and World System).
Pattern adalah framework, alat cerna unsur-unsur asing. Jika ada yang berargumentasi bahwa “inti sekulerisasi adalah rasionalisasi, dan rasionalisasi sejalan dengan Islamisasi, maka sekulerisasi itu adalah Islamisasi”, maka ia telah salah menentukan framework.
Sebab dalam framework atau manhaj ini Kant, Nietsche, Derrida dkk. pun bisa menjadi figur yang “saleh”. Bagi yang setuju dengan gerakan gender dan feminisme, syariat Islam itu menindas wanita. Benturan Islam-Barat direduksi menjadi Sexual clash of Civilization.
Jadi jika Islam dipandang dari framework Barat, maka yang nampak bukan wajah asli Islam. F.Rosenthal sendiri mengakui “Anything lying outside one’s own experience cannot be comprehended in its true dimension”. Begitulah, menerima pandangan Alparslan bermakna menolak nasehat David.
Pengikut “profesional” Barat mungkin akur dengan Thomas. “Jangan melihat Islam dari dalam Islam, lihatlah dari (framework) Barat”. Tapi ketika mereka harus mendukung “proyek” pluralisme agama, terpaksa harus “selingkuh”, “Jangan melihat Kristen dari framework Islam”. Bagi yang arif akan terbesit di kedalaman dhomir mereka kesimpulan kreatif “Jangan mengikuti Barat dengan framework Barat, lihatlah Barat dengan manhaj Islam”.
Jadi, daripada mendengar nasehat David lebih baik membaca pengakuan Rosenthal yang jujur dan adil. “Suatu peradaban” katanya, “cenderung berjalan diatas konsep-konsep penting…Yang telah ada sejak kelahirannya… jika [konsep-konsep] itu tidak lagi digunakan secara benar, maka ia merupakan pertanda yang jelas bahwa peradaban itu telah mati”.
‘Ilm adalah salah satu konsep penting dan dominan dalam peradaban
Begitulah, jika realitas obyek dipisahkan dari alam pikiran subyek atau jika realitas (haqiqah) data dan fakta tidak diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus). Jika afaq dipisahkan dari anfus (worldview), maka ia akan menjadi hampa, bak lagu tanpa irama. Begitulah, konsekuensi sebuah framework.
Itulah salah satu alasan mengapa Muslim tidak bisa memakai framework peradaban lain. Framework Barat itu problematis, kata Sayyid Hossein Nasr. Mereka melupakan beda rasio dan intelek.
Dalam Islam, istilah ‘aql sudah mencakup keduanya. Ratio (Latin) berarti pikiran manusia, tapi ‘aql-‘aqala mempunyai arti “mengikat”. Suatu bagian dalam diri manusia yang mengikat dirinya dengan Tuhannya. (makhluq dengan khaliq), yang menyatukan fisika dengan metafisika, fenomena dengan noumena, simbol dengan makna, afaq dan anfus, subyek dengan obyek, nisbi dengan mutlak dan seterusnya.
Karena anugerah ‘aql inilah maka manusia memiliki salah satu sifat Tuhan, yakni ‘alim. Barat yang rasionalistis itu telah membuang fakultas pengikat ini. Maka tidak salah jika Iqbal menyimpulkan, rasionalisme Barat hanya bisa menghasilkan superman, seperti Nietszhe, tapi nalar dan akal Islam menghasilkan insan kamil, seperti para ulama yang saleh.
Jadi, Muslim bisa menggunakan metode asing tapi bukan frameworknya. Muslim bisa menelan cakrawala pemikiran asing, tapi dengan Cakrawala Muslim. Muslim bisa pakai handphone produk Barat, misalnya, tapi tidak mesti harus menjadi sekuler-liberal. Orang Barat bisa pakai minyak dari Saudi tapi tidak perlu bersyahadat dan naik haji.
Sains Barat tidak sepenuhnya ditolak atau diterima. No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected, S.H.Nasr. Unsur asing perlu dicerna, diproses untuk diserap dan atau dibuang. Persis metabolisme tubuh manusia.
Matthew Melko, profesor sosiologi di Universitas Wright, Ohio, setuju One civilization rarely receive material from another without changing the nature of that to fit its own pattern. (lihat Stephen K.S. Civilization and World System).
Pattern adalah framework, alat cerna unsur-unsur asing. Jika ada yang berargumentasi bahwa “inti sekulerisasi adalah rasionalisasi, dan rasionalisasi sejalan dengan Islamisasi, maka sekulerisasi itu adalah Islamisasi”, maka ia telah salah menentukan framework.
Sebab dalam framework atau manhaj ini Kant, Nietsche, Derrida dkk. pun bisa menjadi figur yang “saleh”. Bagi yang setuju dengan gerakan gender dan feminisme, syariat Islam itu menindas wanita. Benturan Islam-Barat direduksi menjadi Sexual clash of Civilization.
Jadi jika Islam dipandang dari framework Barat, maka yang nampak bukan wajah asli Islam. F.Rosenthal sendiri mengakui “Anything lying outside one’s own experience cannot be comprehended in its true dimension”. Begitulah, menerima pandangan Alparslan bermakna menolak nasehat David.
Pengikut “profesional” Barat mungkin akur dengan Thomas. “Jangan melihat Islam dari dalam Islam, lihatlah dari (framework) Barat”. Tapi ketika mereka harus mendukung “proyek” pluralisme agama, terpaksa harus “selingkuh”, “Jangan melihat Kristen dari framework Islam”. Bagi yang arif akan terbesit di kedalaman dhomir mereka kesimpulan kreatif “Jangan mengikuti Barat dengan framework Barat, lihatlah Barat dengan manhaj Islam”.
Jadi, daripada mendengar nasehat David lebih baik membaca pengakuan Rosenthal yang jujur dan adil. “Suatu peradaban” katanya, “cenderung berjalan diatas konsep-konsep penting…Yang telah ada sejak kelahirannya… jika [konsep-konsep] itu tidak lagi digunakan secara benar, maka ia merupakan pertanda yang jelas bahwa peradaban itu telah mati”.
‘Ilm adalah salah satu konsep penting dan dominan dalam peradaban
Islam yang memberinya bentuk dan warna yang khas. Diatas konsep ‘ilm inilah peradaban Islam berjaya dan berjalan selama berabad-abad. Dan di kedalaman konsep ‘ilm inilah manhaj pemikiran Islam tersembunyi.
TALBIS IBLIS
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dr. Syamsuddin Arief, alumni ISTAC yang sedang mengambil doktor keduanya di Frankfurt Jerman, beberapa waktu lalu menulis satu artikel yang menghebohkan di hidayatullah.com. Judulnya: DIABOLISME INTELEKTUAL.
Artikel ini segera menyulut tanggapan keras dari seorang aktivis Islam Liberal, yang segera menuduh bahwa orang seperti Dr. Syamsuddin Arief cenderung punya kelainan jiwa (mental disorder), karena merasa dirinya paling benar dan paling bersih.
Melalui artikelnya, Syamsuddin menjelaskan, bahwa "diabolisme" berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya.
Dalam kitab suci al-Qur'an dinyatakan bahwa Iblis dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Iblis tidaklah atheis atau agnostik. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan.
Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Tetapi, meskipun ia tahu kebenaran, ia disebut 'kafir', karena mengingkari dan menolak kebenaran.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang. (QS 2:34, 15:31, 20:116); ia sombong dan menganggap dirinya hebat (QS 2:34, 38:73, 38:75). Iblis juga melawan perintah Tuhan.
Allah berfirman: Dia adalah dari golongan jin, maka ia durhaka terhadap perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain kepada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim (QS 18:50).
Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya. Iblis adalah 'prototype' intelektual 'keblinger'.
Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur'an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.
"Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!" Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).
Maka Iblis pun bertekad: "Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!" (QS 7:16-17).
Maksudnya, menurut Ibnu Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azim, cetakan Beirut, al-Maktabah al-Asriyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).
Selanjutnya, Syamsuddin Arief menelaborasi ciri-ciri cendekiawan bermental Iblis.
Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir'aun berikut hulu-balangnya. Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya.
Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu.
Kedua, cendekiawan bemental Iblis itu bermuka dua, menggunakan standar ganda (QS 2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha').
Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur'an : "Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya" (QS 7:146).
Ketiga, ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dr. Syamsuddin Arief, alumni ISTAC yang sedang mengambil doktor keduanya di Frankfurt Jerman, beberapa waktu lalu menulis satu artikel yang menghebohkan di hidayatullah.com. Judulnya: DIABOLISME INTELEKTUAL.
Artikel ini segera menyulut tanggapan keras dari seorang aktivis Islam Liberal, yang segera menuduh bahwa orang seperti Dr. Syamsuddin Arief cenderung punya kelainan jiwa (mental disorder), karena merasa dirinya paling benar dan paling bersih.
Melalui artikelnya, Syamsuddin menjelaskan, bahwa "diabolisme" berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya.
Dalam kitab suci al-Qur'an dinyatakan bahwa Iblis dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Iblis tidaklah atheis atau agnostik. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan.
Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Tetapi, meskipun ia tahu kebenaran, ia disebut 'kafir', karena mengingkari dan menolak kebenaran.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang. (QS 2:34, 15:31, 20:116); ia sombong dan menganggap dirinya hebat (QS 2:34, 38:73, 38:75). Iblis juga melawan perintah Tuhan.
Allah berfirman: Dia adalah dari golongan jin, maka ia durhaka terhadap perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain kepada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim (QS 18:50).
Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya. Iblis adalah 'prototype' intelektual 'keblinger'.
Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur'an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.
"Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!" Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).
Maka Iblis pun bertekad: "Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!" (QS 7:16-17).
Maksudnya, menurut Ibnu Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azim, cetakan Beirut, al-Maktabah al-Asriyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).
Selanjutnya, Syamsuddin Arief menelaborasi ciri-ciri cendekiawan bermental Iblis.
Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir'aun berikut hulu-balangnya. Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya.
Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu.
Kedua, cendekiawan bemental Iblis itu bermuka dua, menggunakan standar ganda (QS 2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha').
Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur'an : "Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya" (QS 7:146).
Ketiga, ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq
). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta.
Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq. Sebaliknya, yang haq digunting dan di'preteli' sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah.
Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.
Al-Qur'an pun telah mensinyalir: "Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka" (QS 22:3-4).
Demikianlah peringatan dan paparan Dr. Syamsuddin Arief tentang ciri-ciri cendekiawan yang bermental Iblis. Peringatan ini sepatutnya menjadi renungan serius bagi para cendekiawan yang benar-benar memiliki niat ikhlas untuk mencari kebenaran, dan bukan saja mencari popularitas dan keuntungan duniawi.
Apa yang dilakukan Syamsuddin Arief bukanlah hal baru. Banyak ulama sebelumnya yang telah memberikan peringatan serupa, tentang bahaya taktik dan tipudaya Iblis dalam menyesatkan umat manusia.
Masalah ini begitu penting, sebab, memang Iblis adalah musuh manusia yang nyata, bukan musuh yang tersembunyi. Iblis dan kroni-kroninya seharusnya diketahui dengan jelas ciri-cirinya.
Imam al-Ghazali menulis satu Kitab Khusus tentang masalah Iblis dan tipudayanya, yang diberi judul Talbis Iblis. Kitab dengan judul yang sama juga ditulis oleh al-Hafizh Ibnul Jauzy al-Baghdady. Dalam Kitabnya, Ibnul Jauzy mengingatkan, bahwa talbis artinya menampakkan kebatilan dalam rupa kebenaran.
Ibnul Jauzy menjelaskan talbis Iblis terhadap berbagai jenis agama dan aliran masyarakat, yang tumbuh dan berkembang ketika itu.
Talbis Iblis, atau tipudaya setan, yang hobinya mengaburkan yang haq dan bathil sangatlah perlu diwaspadai oleh manusia. Apalagi, jika yang melakukan talbis itu orang-orang yang dikategorikan ke dalam golongan intelektual atau cendekiawan.
Mereka dengan segala kemampuan ilmunya tidak ragu-ragu mengikuti jejak Iblis, memutarbalikkan yang haq menjadi bathil dan yang bathil menjadi haq.
Di era kebebasan informasi saat ini, kaum Muslim menghadapi masalah yang sangat pelik, yang belum pernah dihadapi di masa-masa lalu. Nyaris setiap hari, media massa melakukan penjungkirbalikan nilai-nilai kebenaran, dengan menggunakan slogan-slogan atau istilah-istilah yang indah, seperti pluralisme, kebebasan, hak asasi, pencerahan, dan sebagainya.
Paham penyamaan semua agama yang jelas-jelas keliru dibungkus dengan istilah indah: pluralisme. Paham penyebarluasan kebebasan amoral dalam bidang perzinahan dan homoseksual dikemas dengan bungkus rapi bernama hak asasi manusia.
Dengan tipudaya Iblis, khamar diiklankan dan dijadikan kebanggaan oleh sebagian manusia modern, perzinahan dilegalkan dan tidak dipersoalkan kebejatannya, sementara poligami diopinikan sebagai bentuk kejahatan.
Rasulullah saw pernah mengingatkan: Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan tipuan. Pada waktu itu di pendusta dikatakan benar dan orang yang benar dikatakan dusta. (HR Ibnu Majah).
Di zaman globalisasi saat ini, diakui, bahwa informasi adalah kekuatan yang paling dahsyat. Penguasa informasi adalah yang menguasai otak manusia saat ini. Mereka dengan leluasa berpotensi memutarbalikkan fakta dan kebenaran.
Di sinilah talbis Iblis dapat terjadi. Yang haq dipromosikan sebagai kebatilan, dan yang bathil dikampanyekan sebagai al-haq. Banyak motif para pelaku talbis Iblis. Bisa karena memang ada kesombongan, ada penyakit hati, atau karena motif mencari keuntungan duniawi.
Dalam situasi seperti ini, peringatan Dr. Syamsuddin Arief tentang ciri-ciri pelaku talbis Iblis di kalangan intelektual, sangat relevan untuk direnungkan. Sangatlah tidak tepat jika dia dikatakan mengalami gangguan jiwa.
Tugas para Nabi dan pewarisnya (para ulama) adalah menjelaskan mana yang haq da
Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq. Sebaliknya, yang haq digunting dan di'preteli' sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah.
Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.
Al-Qur'an pun telah mensinyalir: "Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka" (QS 22:3-4).
Demikianlah peringatan dan paparan Dr. Syamsuddin Arief tentang ciri-ciri cendekiawan yang bermental Iblis. Peringatan ini sepatutnya menjadi renungan serius bagi para cendekiawan yang benar-benar memiliki niat ikhlas untuk mencari kebenaran, dan bukan saja mencari popularitas dan keuntungan duniawi.
Apa yang dilakukan Syamsuddin Arief bukanlah hal baru. Banyak ulama sebelumnya yang telah memberikan peringatan serupa, tentang bahaya taktik dan tipudaya Iblis dalam menyesatkan umat manusia.
Masalah ini begitu penting, sebab, memang Iblis adalah musuh manusia yang nyata, bukan musuh yang tersembunyi. Iblis dan kroni-kroninya seharusnya diketahui dengan jelas ciri-cirinya.
Imam al-Ghazali menulis satu Kitab Khusus tentang masalah Iblis dan tipudayanya, yang diberi judul Talbis Iblis. Kitab dengan judul yang sama juga ditulis oleh al-Hafizh Ibnul Jauzy al-Baghdady. Dalam Kitabnya, Ibnul Jauzy mengingatkan, bahwa talbis artinya menampakkan kebatilan dalam rupa kebenaran.
Ibnul Jauzy menjelaskan talbis Iblis terhadap berbagai jenis agama dan aliran masyarakat, yang tumbuh dan berkembang ketika itu.
Talbis Iblis, atau tipudaya setan, yang hobinya mengaburkan yang haq dan bathil sangatlah perlu diwaspadai oleh manusia. Apalagi, jika yang melakukan talbis itu orang-orang yang dikategorikan ke dalam golongan intelektual atau cendekiawan.
Mereka dengan segala kemampuan ilmunya tidak ragu-ragu mengikuti jejak Iblis, memutarbalikkan yang haq menjadi bathil dan yang bathil menjadi haq.
Di era kebebasan informasi saat ini, kaum Muslim menghadapi masalah yang sangat pelik, yang belum pernah dihadapi di masa-masa lalu. Nyaris setiap hari, media massa melakukan penjungkirbalikan nilai-nilai kebenaran, dengan menggunakan slogan-slogan atau istilah-istilah yang indah, seperti pluralisme, kebebasan, hak asasi, pencerahan, dan sebagainya.
Paham penyamaan semua agama yang jelas-jelas keliru dibungkus dengan istilah indah: pluralisme. Paham penyebarluasan kebebasan amoral dalam bidang perzinahan dan homoseksual dikemas dengan bungkus rapi bernama hak asasi manusia.
Dengan tipudaya Iblis, khamar diiklankan dan dijadikan kebanggaan oleh sebagian manusia modern, perzinahan dilegalkan dan tidak dipersoalkan kebejatannya, sementara poligami diopinikan sebagai bentuk kejahatan.
Rasulullah saw pernah mengingatkan: Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan tipuan. Pada waktu itu di pendusta dikatakan benar dan orang yang benar dikatakan dusta. (HR Ibnu Majah).
Di zaman globalisasi saat ini, diakui, bahwa informasi adalah kekuatan yang paling dahsyat. Penguasa informasi adalah yang menguasai otak manusia saat ini. Mereka dengan leluasa berpotensi memutarbalikkan fakta dan kebenaran.
Di sinilah talbis Iblis dapat terjadi. Yang haq dipromosikan sebagai kebatilan, dan yang bathil dikampanyekan sebagai al-haq. Banyak motif para pelaku talbis Iblis. Bisa karena memang ada kesombongan, ada penyakit hati, atau karena motif mencari keuntungan duniawi.
Dalam situasi seperti ini, peringatan Dr. Syamsuddin Arief tentang ciri-ciri pelaku talbis Iblis di kalangan intelektual, sangat relevan untuk direnungkan. Sangatlah tidak tepat jika dia dikatakan mengalami gangguan jiwa.
Tugas para Nabi dan pewarisnya (para ulama) adalah menjelaskan mana yang haq da
n mana yang bathil, menyeru umat manusia, agar tidak mengikuti jalan-jalan Iblis, jalan yang sesat, yang mengantarkan manusia kepada api neraka.
Jika ada cendekiawan yang tugasnya senantiasa mengaburkan nilai-nilai kebenaran dan kebatilan, maka ia perlu melakukan introspeksi terhadap dirinya sendiri. Allah SWT sudah menjelaskan: Tidak ada paksaan (untuk masuk) agama Islam. Sungguh telah jelas yang benar dari yang salah. (QS 2:256).
Sikap merasa benar sendiri terhadap kebenaran agama Islam dan yakin dengan kebenaran al-Islam adalah sikap yang sudah seharusnya. Dalam hal ini tidak boleh ada keraguan. Yang haq harus dikatakan haq dan bathil harus dikatakan bathil. Itulah tugas setiap cendekiawan Muslim.
Allah juga mengingatkan: Al-haq itu dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu. Sikap meragu-ragukan terhadap kebenaran adalah sikap dan perilaku Iblis, yang tidak perlu dicontoh oleh kaum Muslim. __oOo__
Jika ada cendekiawan yang tugasnya senantiasa mengaburkan nilai-nilai kebenaran dan kebatilan, maka ia perlu melakukan introspeksi terhadap dirinya sendiri. Allah SWT sudah menjelaskan: Tidak ada paksaan (untuk masuk) agama Islam. Sungguh telah jelas yang benar dari yang salah. (QS 2:256).
Sikap merasa benar sendiri terhadap kebenaran agama Islam dan yakin dengan kebenaran al-Islam adalah sikap yang sudah seharusnya. Dalam hal ini tidak boleh ada keraguan. Yang haq harus dikatakan haq dan bathil harus dikatakan bathil. Itulah tugas setiap cendekiawan Muslim.
Allah juga mengingatkan: Al-haq itu dari Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu. Sikap meragu-ragukan terhadap kebenaran adalah sikap dan perilaku Iblis, yang tidak perlu dicontoh oleh kaum Muslim. __oOo__
KESELAMATAN
Oleh: Dr.Hamid Fahmy Zarkasyi
“Masuklah Islam, maka anda akan selamat (Aslim taslam)…Namun jika anda menolak, maka atas andalah dosa-dosa segenap rakyat.” Begitulah kalimat-kalimat dalam surat Nabi yang dikirim kepada Heraklius, Kaisar Romawi Timur. Kepada Kaisar Persia Ebrewez surat Nabi berbunyi sama dengan tambahan “….jika anda menolak maka bagi anda dosa seluruh kaum Majusyi”.
Kepada Kaisar Najasyi berbeda lagi. Surat Nabi berbunyi: “Aku ajak anda kepada Allah yang Esa yang tiada sekutu bagiNya… dan memmpercayai apa yang aku bawa”
Kepada penguasa Mesir Muqauqis juga demikian: “Masuklah Islam anda akan selamat… agar Allah memberi pada pahala dua kali lipat. Jika anda menolak anda akan menanggung dosa bangsa Qibti”.
Surat Nabi itu adalah tawaran, da’wah atau, panggilan untuk keselamatan. Itulah tugas utamanya, sebagai utusan Allah: menyampaikan berita keselamatan. Sebagai Nabi terakhir, Muhammad saw ditugaskan untuk menyempurnakan risalah kenabian sebelumnya.
“Masuklah Islam anda akan selamat”, artinya jelas bahwa yang tidak masuk Islam tidak akan selamat. Tidak ada jalan keselamatan diluar Islam. Itulah misi Nabi. Itulah Islam sebagai Al-din al-kamil. Islam adalah din, bukan religi atau agama kultural. Din adalah sistim keyakinan, peribadatan serta prinsip kehidupan dunia-akherat yang turun melalui wahyu Allah. Jadi din adalah jalan kebenaran dan keselamatan. Jika seseorang masuk dalam sistim keyakinan atau din ini maka ia akan berserah diri. Itulah berislam.
Berserah diri dalam Islam jelas kepada Tuhan yang bernama Allah. Yakni, Allah seperti yang dalam konsep para nabi dan Nabi Muhammad saw. Maka dari itu, dalam konsep Islam, Allah bukan Yahweh, bukan tuhan Bapak, bukan Nirguna Brahman, bukan Tao Te Ching, bukan En Soph, bukan pula Dharmakaya. Allah juga tidak sama dengan tuhan-tuhan eksoterik yang terbatas dalam konsep “transendentalisme”. Berserah diri artinya berislam kepada Tuhan nabi Ibrahim, Musa dan Isa serta nabi-nabi yang lain. Tuhan nabi-nabi itu adalah Tuhan yang diimani Nabi Muhammad.
Maka, syahadat Islam sangat tegas: ”Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Tanpa pengakuan kepada kenabian Muhammad saw, maka mustahil seseorang dapat mengenal tuhan yang sebenarnya (Allah) dan mengerti cara menyembah-Nya secara benar.
Jika Tuhan agama nabi-nabi itu benar mengapa penganut agama-agama terdahulu itu harus ikut agama Nabi Muhammad? al-Qur’an surah al-Ma’idah 65 menjawab: “Jika orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami masukkan surga”. Artinya ahlul kitab dianggap tidak beriman kepada Allah SWT. Menurut ahli tafsir al-Baydhawi ahlul kitab dimaksud adalah sebelum datangnya Islam. Standarnya pun merujuk kepada Kitab Taurat dan Injil (al-Maidah 67) yang intinya adalah tawhid. Tapi itu pun tidak mereka lakukan.
Sesudah Islam datang konsep berserah diri dan beriman pada Allah pun disempurnakan. Konsep beriman pada Allah merujuk kepada al-Qur’an. Rukunnya ditambah iman pada rasul-rasul-Nya dan kitab-kitab yang dibawa mereka, pada hari akhir, qada-qadar, serta konsekuensi-konsekuansi yang ditimbulkannya. Dalam al- al-Ma'idah, 69 dan al-Baqarah 62, jelas bahwa keselamatan agama terdahulu adalah beriman pada Allah, hari akhir dan beramal shaleh. Keselamatan sesudah Islam datang beriman dengan rukun-rukunnya. Rasyid Ridla dalam tafsir al-Manar menyebutkan, kaum Ahlul Kitab tidak wajib beriman kepada Nabi Muhammad saw jika dakwah nabi tidak sampai kepada mereka.
Bukankah agama-agama itu dibawa oleh nabi-nabi dan turun dari Allah juga? Benar, tapi para pakar tafsir menyimpulkan bahwa untuk masa sesudah kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan (mansukh). Sebab, dalam pandangan Islam, agama para nabi sebelum islam sudah diselewengkan pengikutnya. Kedatangan Nabi Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan misi kenabian dan sekaligus meluruskan ajaran para nabi yang sudah diselewengkan. Ketika menafsirkan al-Baqarah 62 dan Ali Imran 69 al-Tabari yakin bahwa surat i
Oleh: Dr.Hamid Fahmy Zarkasyi
“Masuklah Islam, maka anda akan selamat (Aslim taslam)…Namun jika anda menolak, maka atas andalah dosa-dosa segenap rakyat.” Begitulah kalimat-kalimat dalam surat Nabi yang dikirim kepada Heraklius, Kaisar Romawi Timur. Kepada Kaisar Persia Ebrewez surat Nabi berbunyi sama dengan tambahan “….jika anda menolak maka bagi anda dosa seluruh kaum Majusyi”.
Kepada Kaisar Najasyi berbeda lagi. Surat Nabi berbunyi: “Aku ajak anda kepada Allah yang Esa yang tiada sekutu bagiNya… dan memmpercayai apa yang aku bawa”
Kepada penguasa Mesir Muqauqis juga demikian: “Masuklah Islam anda akan selamat… agar Allah memberi pada pahala dua kali lipat. Jika anda menolak anda akan menanggung dosa bangsa Qibti”.
Surat Nabi itu adalah tawaran, da’wah atau, panggilan untuk keselamatan. Itulah tugas utamanya, sebagai utusan Allah: menyampaikan berita keselamatan. Sebagai Nabi terakhir, Muhammad saw ditugaskan untuk menyempurnakan risalah kenabian sebelumnya.
“Masuklah Islam anda akan selamat”, artinya jelas bahwa yang tidak masuk Islam tidak akan selamat. Tidak ada jalan keselamatan diluar Islam. Itulah misi Nabi. Itulah Islam sebagai Al-din al-kamil. Islam adalah din, bukan religi atau agama kultural. Din adalah sistim keyakinan, peribadatan serta prinsip kehidupan dunia-akherat yang turun melalui wahyu Allah. Jadi din adalah jalan kebenaran dan keselamatan. Jika seseorang masuk dalam sistim keyakinan atau din ini maka ia akan berserah diri. Itulah berislam.
Berserah diri dalam Islam jelas kepada Tuhan yang bernama Allah. Yakni, Allah seperti yang dalam konsep para nabi dan Nabi Muhammad saw. Maka dari itu, dalam konsep Islam, Allah bukan Yahweh, bukan tuhan Bapak, bukan Nirguna Brahman, bukan Tao Te Ching, bukan En Soph, bukan pula Dharmakaya. Allah juga tidak sama dengan tuhan-tuhan eksoterik yang terbatas dalam konsep “transendentalisme”. Berserah diri artinya berislam kepada Tuhan nabi Ibrahim, Musa dan Isa serta nabi-nabi yang lain. Tuhan nabi-nabi itu adalah Tuhan yang diimani Nabi Muhammad.
Maka, syahadat Islam sangat tegas: ”Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Tanpa pengakuan kepada kenabian Muhammad saw, maka mustahil seseorang dapat mengenal tuhan yang sebenarnya (Allah) dan mengerti cara menyembah-Nya secara benar.
Jika Tuhan agama nabi-nabi itu benar mengapa penganut agama-agama terdahulu itu harus ikut agama Nabi Muhammad? al-Qur’an surah al-Ma’idah 65 menjawab: “Jika orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami masukkan surga”. Artinya ahlul kitab dianggap tidak beriman kepada Allah SWT. Menurut ahli tafsir al-Baydhawi ahlul kitab dimaksud adalah sebelum datangnya Islam. Standarnya pun merujuk kepada Kitab Taurat dan Injil (al-Maidah 67) yang intinya adalah tawhid. Tapi itu pun tidak mereka lakukan.
Sesudah Islam datang konsep berserah diri dan beriman pada Allah pun disempurnakan. Konsep beriman pada Allah merujuk kepada al-Qur’an. Rukunnya ditambah iman pada rasul-rasul-Nya dan kitab-kitab yang dibawa mereka, pada hari akhir, qada-qadar, serta konsekuensi-konsekuansi yang ditimbulkannya. Dalam al- al-Ma'idah, 69 dan al-Baqarah 62, jelas bahwa keselamatan agama terdahulu adalah beriman pada Allah, hari akhir dan beramal shaleh. Keselamatan sesudah Islam datang beriman dengan rukun-rukunnya. Rasyid Ridla dalam tafsir al-Manar menyebutkan, kaum Ahlul Kitab tidak wajib beriman kepada Nabi Muhammad saw jika dakwah nabi tidak sampai kepada mereka.
Bukankah agama-agama itu dibawa oleh nabi-nabi dan turun dari Allah juga? Benar, tapi para pakar tafsir menyimpulkan bahwa untuk masa sesudah kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan (mansukh). Sebab, dalam pandangan Islam, agama para nabi sebelum islam sudah diselewengkan pengikutnya. Kedatangan Nabi Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan misi kenabian dan sekaligus meluruskan ajaran para nabi yang sudah diselewengkan. Ketika menafsirkan al-Baqarah 62 dan Ali Imran 69 al-Tabari yakin bahwa surat i
tu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75 "Barangsiapa memeluk agama selain Islam tidak diterima….". Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih, mausu'ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma'thur, 2 jld, jld 1, Dar al-Ma'athir, Madinah, 1999, 169).
Menurut Ibn Taymiyyah bunyi al-Baqarah 62 “beriman kepada Allah dan hari akhir” tidak bisa difahami secara literal. Konsep iman berkaitan dengan konsep amal dan ilmu. Konsekuensi menerima konsep itu yang terpenting adalah masuk Islam. Bagi yang hidup sebelum Islam konskuensinya adalah taat menjalan ajaran nabi-nabi mereka. Sesudah Islam konsekuensinya adalah taat kepada ajaran yang dibawa Islam. Logikanya jika Allah adalah juga Tuhan agama-agama, mengapa firmanNya yang dibawa Nabi Muhammad tidak mereka digubris.
Apakah Islam itu agama yang eksklusif? Jawabnya: Ya dan tidak. Ya, sebab selain jalan Islam tidak dianggap jalan keselamatan. Tidak, sebab dalam Islam, anak-anak dari orang tua yang beragama apa pun, jika meninggal sebelum baligh akan masuk surga alias selamat. Logikanya, jika Islam mengakui adanya jalan keselamatan selain Islam, tentu Nabi Muhammad saw tidak akan mengajak pemeluk agama lain masuk Islam (al-Nahl 126). Nabi tidak akan mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclius, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia masuk Islam. Umat Islam juga tidak perlu repot-repot mendakwahkan Islam sampai ke Nusantara.
Iman adalah pengakuan. Dalam kehidupan manusia, yang terpenting adalah pengakuan. Manusia membutuhkan pengakuan. Anak membutuhkan pengakuan dari ayah-ibunya. Negara merdeka butuh pengakuan. Istri perlu pengakuan suami. Juga sebaliknya. Jadi, sebelum perbuatan, pengakuan sangat diperlukan. Allah hanya menuntut pengakuan yang sangat sederhana pada manusia: akuilah Dia adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan Muhammad saw adalah utusan-Nya. Itu saja! Apa susahnya?
Ini keyakinan kaum Muslim. Agama lain juga punya keyakinan. Semuanya saling menghormati. Masing-masing agama menjaga keyakinannya. Jangan sampai dihancurkan oleh Pluralisme Agama. (***)
Menurut Ibn Taymiyyah bunyi al-Baqarah 62 “beriman kepada Allah dan hari akhir” tidak bisa difahami secara literal. Konsep iman berkaitan dengan konsep amal dan ilmu. Konsekuensi menerima konsep itu yang terpenting adalah masuk Islam. Bagi yang hidup sebelum Islam konskuensinya adalah taat menjalan ajaran nabi-nabi mereka. Sesudah Islam konsekuensinya adalah taat kepada ajaran yang dibawa Islam. Logikanya jika Allah adalah juga Tuhan agama-agama, mengapa firmanNya yang dibawa Nabi Muhammad tidak mereka digubris.
Apakah Islam itu agama yang eksklusif? Jawabnya: Ya dan tidak. Ya, sebab selain jalan Islam tidak dianggap jalan keselamatan. Tidak, sebab dalam Islam, anak-anak dari orang tua yang beragama apa pun, jika meninggal sebelum baligh akan masuk surga alias selamat. Logikanya, jika Islam mengakui adanya jalan keselamatan selain Islam, tentu Nabi Muhammad saw tidak akan mengajak pemeluk agama lain masuk Islam (al-Nahl 126). Nabi tidak akan mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclius, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia masuk Islam. Umat Islam juga tidak perlu repot-repot mendakwahkan Islam sampai ke Nusantara.
Iman adalah pengakuan. Dalam kehidupan manusia, yang terpenting adalah pengakuan. Manusia membutuhkan pengakuan. Anak membutuhkan pengakuan dari ayah-ibunya. Negara merdeka butuh pengakuan. Istri perlu pengakuan suami. Juga sebaliknya. Jadi, sebelum perbuatan, pengakuan sangat diperlukan. Allah hanya menuntut pengakuan yang sangat sederhana pada manusia: akuilah Dia adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan Muhammad saw adalah utusan-Nya. Itu saja! Apa susahnya?
Ini keyakinan kaum Muslim. Agama lain juga punya keyakinan. Semuanya saling menghormati. Masing-masing agama menjaga keyakinannya. Jangan sampai dihancurkan oleh Pluralisme Agama. (***)
Dekonstruksi Aqidah Islam
Oleh: Adian Husaini
Wawancara Ulil Abshar Abdalah dengan Jalaludin Rachmat berjudul Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah, mengatakan, istilah "kafir" sudah tidak relevan. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-24 Kamis (25 September 2003) banyak berita menarik yang muncul berbagai website media massa. Hampir semua media menampilkan berita tentang kerusuhan di Sumbawa Besar yang menewaskan satu orang dan mencederai 11 lainnya. Koran Berbahasa Inggris The Jakarta Post masih memuat poling calon presiden oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA, yang mengunggulkan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden RI 2004-2009. Dari Israel muncul berita menarik: 9 orang pilot Israel terancam dipecat karena menolak menembaki penduduk sipil Palestina. Berita pembangkangan pilot Israel ini juga dimuat oleh situs Harian Republika dan juga Islamonline.net.
Berita tentang pilot Israel ini cukup menarik. Koran Haaretz, melaporkan peristiwa ini cukup detail. Pekan lalu, 27 mantan pilot Israel membuat pernyataan menolak melakukan aksi di wilayah Palestina. Dari 27 orang itu, 9 pilot masih aktif di AU Israel. Ke-9 orang itulah yang kini diskors dan terancam dipecat, jika mereka menolak mencabut pernyataan yang telah mereka sebarluaskan ke media massa. Para pilot Israel itu menyatakan, serangan udara di wilayah Palestina merupakan tindakan illegal dan amoral. Di antara pilot pembangkang itu adalah Brigadir Jenderal (Purn) Yiftah Spector, komandan squadron dalam Perang tahun 1973.
Mereka menyatakan, mereka akan menolak terlibat dalam serangan udara terhadap penduduk Palestina di wilayah itu. "We, both veteran and active pilots, who have served and who still serve the state of Israel, are opposed to carrying out illegal and immoral orders to attack, of the type Israel carries out in the territories," begitu pernyataan mereka. Berita-berita seperti ini segera menarik media internasional, karena merupakan perlawanan dari dalam tubuh zionis Israel sendiri.
Berita-berita itu dari sudut jurnalistik memang menarik dalam arti, mudah menarik minat pembaca untuk mengikutinya. Namun, disamping berita-berita seputar perkembangan sosial, politik dalam negeri, dan politik internasional, ada berita-berita dan tulisan-tulisan yang sebenarnya sangat perlu mendapatkan perhatian serius dan terus-menerus oleh kaum Muslimin di Indonesia adalah berita-berita dan artikel-artikel yang muncul si website Jaringan Islam Liberal (JIL). Mengapa?
Sebab: Pertama, berita-berita dan artikel-artikel itu disiarkan secara luas oleh berbagai media massa. Selain melalui jaringan Koran Jawa Pos di berbagai daerah, berita-berita di website ini juga disiarkan melalui jaringan radio satelit Kantor Berita Radio 68H, yang kini dipancarteruskan oleh radio Emsa 91,45 FM Bandung; Anisa Tritama 92, 15 FM Garut; FM Merak 93,55 FM Banten; Unisi 104,75 Jogyakarta; TOP 89,7 FM Semarang; PAS 101,2 Pati; Elviktor 94,6 FM Surabaya; Sonya 106,5 FM Medan; Suara Andalas 103 FM Lampung; Gema Hikmah Ternate, 103 FM Maluku Utara; Suara Selebes 100,2 FM Gorontalo; SPFM 103,7 FM Makassar, Ujung Pandang; Nusantara Antik 105,8 FM Banjarmasin; Mandalika 684 AM Lombok; DMS 100,9 FM Ambon, Maluku; Volare 103 FM Pontianak; Bulava 100,2 FM Poso; Elbayu 954 AM Gresik, Jawa Timur; Suara Padang 102,3 FM Sumatera Barat. Daftar radio ini terus diusahakan untuk bertembah lagi.
Kedua, berita dan artikel itu ditulis dan diucapkan oleh orang-orang yang memiliki otoritas, baik secara kelembagaan Islam maupun kepakaran atau latar belakang pendidikan. Dalam situasi pertarungan opini secara bebas, maka kedua factor tersebut memegang perenan penting untuk memenangkan pertarungan opini di Indonesia. Opini akan membentuk image, dan jika image itu ditanamkan secara terus menerus, maka akan membentuk satu persepsi di tengah masyarakat.
Kamis (25-9-2003) itu ada sejumlah artikel yang muncul di website islamlib.com, diantaranya: Depolitisasi Syariat Islam, Hermeneutika Ayat-ayat Perang, Teori Konspirasi selalu Meneror Kebenaran, Kafir itu Label
Oleh: Adian Husaini
Wawancara Ulil Abshar Abdalah dengan Jalaludin Rachmat berjudul Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah, mengatakan, istilah "kafir" sudah tidak relevan. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-24 Kamis (25 September 2003) banyak berita menarik yang muncul berbagai website media massa. Hampir semua media menampilkan berita tentang kerusuhan di Sumbawa Besar yang menewaskan satu orang dan mencederai 11 lainnya. Koran Berbahasa Inggris The Jakarta Post masih memuat poling calon presiden oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA, yang mengunggulkan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden RI 2004-2009. Dari Israel muncul berita menarik: 9 orang pilot Israel terancam dipecat karena menolak menembaki penduduk sipil Palestina. Berita pembangkangan pilot Israel ini juga dimuat oleh situs Harian Republika dan juga Islamonline.net.
Berita tentang pilot Israel ini cukup menarik. Koran Haaretz, melaporkan peristiwa ini cukup detail. Pekan lalu, 27 mantan pilot Israel membuat pernyataan menolak melakukan aksi di wilayah Palestina. Dari 27 orang itu, 9 pilot masih aktif di AU Israel. Ke-9 orang itulah yang kini diskors dan terancam dipecat, jika mereka menolak mencabut pernyataan yang telah mereka sebarluaskan ke media massa. Para pilot Israel itu menyatakan, serangan udara di wilayah Palestina merupakan tindakan illegal dan amoral. Di antara pilot pembangkang itu adalah Brigadir Jenderal (Purn) Yiftah Spector, komandan squadron dalam Perang tahun 1973.
Mereka menyatakan, mereka akan menolak terlibat dalam serangan udara terhadap penduduk Palestina di wilayah itu. "We, both veteran and active pilots, who have served and who still serve the state of Israel, are opposed to carrying out illegal and immoral orders to attack, of the type Israel carries out in the territories," begitu pernyataan mereka. Berita-berita seperti ini segera menarik media internasional, karena merupakan perlawanan dari dalam tubuh zionis Israel sendiri.
Berita-berita itu dari sudut jurnalistik memang menarik dalam arti, mudah menarik minat pembaca untuk mengikutinya. Namun, disamping berita-berita seputar perkembangan sosial, politik dalam negeri, dan politik internasional, ada berita-berita dan tulisan-tulisan yang sebenarnya sangat perlu mendapatkan perhatian serius dan terus-menerus oleh kaum Muslimin di Indonesia adalah berita-berita dan artikel-artikel yang muncul si website Jaringan Islam Liberal (JIL). Mengapa?
Sebab: Pertama, berita-berita dan artikel-artikel itu disiarkan secara luas oleh berbagai media massa. Selain melalui jaringan Koran Jawa Pos di berbagai daerah, berita-berita di website ini juga disiarkan melalui jaringan radio satelit Kantor Berita Radio 68H, yang kini dipancarteruskan oleh radio Emsa 91,45 FM Bandung; Anisa Tritama 92, 15 FM Garut; FM Merak 93,55 FM Banten; Unisi 104,75 Jogyakarta; TOP 89,7 FM Semarang; PAS 101,2 Pati; Elviktor 94,6 FM Surabaya; Sonya 106,5 FM Medan; Suara Andalas 103 FM Lampung; Gema Hikmah Ternate, 103 FM Maluku Utara; Suara Selebes 100,2 FM Gorontalo; SPFM 103,7 FM Makassar, Ujung Pandang; Nusantara Antik 105,8 FM Banjarmasin; Mandalika 684 AM Lombok; DMS 100,9 FM Ambon, Maluku; Volare 103 FM Pontianak; Bulava 100,2 FM Poso; Elbayu 954 AM Gresik, Jawa Timur; Suara Padang 102,3 FM Sumatera Barat. Daftar radio ini terus diusahakan untuk bertembah lagi.
Kedua, berita dan artikel itu ditulis dan diucapkan oleh orang-orang yang memiliki otoritas, baik secara kelembagaan Islam maupun kepakaran atau latar belakang pendidikan. Dalam situasi pertarungan opini secara bebas, maka kedua factor tersebut memegang perenan penting untuk memenangkan pertarungan opini di Indonesia. Opini akan membentuk image, dan jika image itu ditanamkan secara terus menerus, maka akan membentuk satu persepsi di tengah masyarakat.
Kamis (25-9-2003) itu ada sejumlah artikel yang muncul di website islamlib.com, diantaranya: Depolitisasi Syariat Islam, Hermeneutika Ayat-ayat Perang, Teori Konspirasi selalu Meneror Kebenaran, Kafir itu Label
Moral, bukan Aqidah, dan sebagainya. Yang perlu kita cermati kali ini adalah tulisan yang berjudul Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah, yang merupakan wawancara Ulil Abshar Abdalla dengan Dr. Djalaludin Rachmat dari Bandung. Djalaludin Rahmat ditanya: Lantas bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering diteriakkan juga oleh mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah konsep ini sudah tepat penggunaannya?
Jawabnya: Konsep tentang kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Alquran dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi --bukan mendekonstruksi. Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Alquran selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Alquran, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.
Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Alquran. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Alquran disebutkan, immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak bersukur); lain syakartum laazîdannakum walain kafartum inna adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.
Tanya Ulil Abshar lagi: Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga disebut orang kafir?
Djalaludin Rahmat: Betul. Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Alquran tentang konsep kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang. Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat.
Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah misalnya disebutkan yang artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya. Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg nggak bisa diingetin menurut Alquran disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan.)
Itulah wawancara antara Ulil dengan Djalaluddin Rahmat. Kita bisa melihat, bagaimana aneh dan ganjilnya penjelasan Djalaluddin Rahmat tentang konsep kafir dalam Islam itu. Memang, secara etimologis, orang yang tidak bersyukur bisa disebut kafir. Allah berfirman, jika jika seorang bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya, dan jika dia kufur, maka sesuangguhnya azab Allah sangat pedih. Tetapi, dalam ayat-ayat lainnya, al-Quran juga menggunakan kata kufur untuk orang-orang non Muslim dan orang-orang yang menyimpang aqidahnya. Misalnya, surat al-Bayyinah menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam. Surat al-Maidah ayat 72-75 juga menjelaskan, sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; atau yang menyatakan, bahwa Allah SWT itu sama dengan Isa Ibnu Maryam.
Bahkan, al-Quran juga memuat satu surat khusus, yaitu surat Al-Kafirun, yang dengan tegas menyatakan, Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Jadi, ayat ini jelas berkaitan dengan aqidah, yaitu aspek peribadahan. Oleh sebab itu, sangatlah aneh, jika seorang pakar yang terkenal, seperti Djalaluddin Rahmat menyatakan: Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui. Apalagai, dia katakana: Dalam Alquran, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indon
Jawabnya: Konsep tentang kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Alquran dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi --bukan mendekonstruksi. Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Alquran selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Alquran, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.
Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Alquran. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Alquran disebutkan, immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak bersukur); lain syakartum laazîdannakum walain kafartum inna adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.
Tanya Ulil Abshar lagi: Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga disebut orang kafir?
Djalaludin Rahmat: Betul. Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Alquran tentang konsep kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang. Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat.
Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah misalnya disebutkan yang artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya. Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg nggak bisa diingetin menurut Alquran disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan.)
Itulah wawancara antara Ulil dengan Djalaluddin Rahmat. Kita bisa melihat, bagaimana aneh dan ganjilnya penjelasan Djalaluddin Rahmat tentang konsep kafir dalam Islam itu. Memang, secara etimologis, orang yang tidak bersyukur bisa disebut kafir. Allah berfirman, jika jika seorang bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya, dan jika dia kufur, maka sesuangguhnya azab Allah sangat pedih. Tetapi, dalam ayat-ayat lainnya, al-Quran juga menggunakan kata kufur untuk orang-orang non Muslim dan orang-orang yang menyimpang aqidahnya. Misalnya, surat al-Bayyinah menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam. Surat al-Maidah ayat 72-75 juga menjelaskan, sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; atau yang menyatakan, bahwa Allah SWT itu sama dengan Isa Ibnu Maryam.
Bahkan, al-Quran juga memuat satu surat khusus, yaitu surat Al-Kafirun, yang dengan tegas menyatakan, Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Jadi, ayat ini jelas berkaitan dengan aqidah, yaitu aspek peribadahan. Oleh sebab itu, sangatlah aneh, jika seorang pakar yang terkenal, seperti Djalaluddin Rahmat menyatakan: Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui. Apalagai, dia katakana: Dalam Alquran, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indon