esia saja.
Al-Quran yang manakah yang dikaji oleh Djalaluddin Rahmat? Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah kafir untuk sebutan bagi orang non-muslim. Di dalam al-Quran surat Mumtahanah ayat 10, disebutkan tentang dalil larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan orang-orang kafir. Dalam ayat ini ada redaksi Falaa tarjiuuhunna ilal kuffaar. Janganlah kamu kembalikan wanita-wanita muslimah yang berhijrah itu kepada kuffar. Karena, wanita-wanita muslimah itu tidak halal bagi kaum kuffar itu dan kaum kuffar itu pun tidak halal bagi mereka (laa hunna hillun lahum, wa laa hum yahilluuna lahunn). Kata kuffaar dalam ayat itu jelas menunjuk kepada identitas idelogis, yaitu orang non-muslim. Bukan orang muslim yang perangainya buruk.
Pendapat Djalaluddin Rahmat tentang kafir itu lebih jauh dari pendapat Nurcholish Madjid. Dalam bukunya, Islam Agama Peradaban (2000) Nurcholish Madjid menyatakan, bahwa Ahlul Kitab tidak tergolong Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang kenabian dan Kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Quran mereka disebut "kafir", yakni, "yang menentang", atau "yang menolak", dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.
Jika dicermati, tampaknya, kaum Muslim saat ini memang didesak hebat untuk meninggalkan istilah kafir sebagai sebutan bagi orang-orang non-muslim. Di Indonesia masalah itu sudah sering mulai dilontarkan. Tokoh-tokoh dari kalangan NU seperti Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, bahwa: Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. (GATRA, edisi 21 Desember 2002), Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. (Kompas, 18 November 2002). Dari kalangan pimpinan Muhammadiyah, Dr. Abdul Munir Mulkhan, menyatakan: Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.
Di Malaysia, pernah ramai ungkapan seorang menteri beragama Hindubernama Sammy Vellu, yang menyatakan keberatan disebut sebagai kafir. Dalam sebuah kuliah umum yang dihadiri kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center, Kuala Lumpur, tanggal 16 Agustus 2003, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, ditanya: apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar pemeluk agama? Ketika itu, Prof. Al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Quran, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan, sebutan itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, Hai kafir! Kaum Muslim cukup memahami, bahwa mereka kafir, mereka bukan muslim.
Sosok pemikir Muslim seperti Al-Attas kini mulai banyak diperbincangkan di dunia internasional. Ia dikenal sangat gigih dalam memperjuangkan proses Islamisasi dan menolak sekularisasi Barat. Meskipun lulusan Islamic Studies di McGill University kanada dan University of London, al-Attas sejak tahun 1970-an sudah mengingatkan kaum Muslimin, bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah Barat. Dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin yang terbit pertama tahun 1973, ia sudah menyatakan, bahwa antara Islam dan Barat terjadi konfrontasi yang abadi, yang ia sebut sebagai permanent confrontation. Sosok dan kiprah al-Attas bisa disimak dalam Dialog Jumat Republika, Jumat, 27 September 2003.
Apa yang dilakukan kelompok Islam Liberal dengan melakukan dekonstruksi terhadap istilah kafir akan memiliki dampak yang serius terhadap aqidah Islam. Dan ini adalah proyek puluhan tahun dari para orientalis Barat. Sejumlah orientalis sudah lama menggulirkan gagasan istilah Islam dengan I besar dan islam dengan i kecil. Nurcholish Madjid, dalam pidatonya di TIM tahun 1992, juga menggulirkan gag
Al-Quran yang manakah yang dikaji oleh Djalaluddin Rahmat? Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah kafir untuk sebutan bagi orang non-muslim. Di dalam al-Quran surat Mumtahanah ayat 10, disebutkan tentang dalil larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan orang-orang kafir. Dalam ayat ini ada redaksi Falaa tarjiuuhunna ilal kuffaar. Janganlah kamu kembalikan wanita-wanita muslimah yang berhijrah itu kepada kuffar. Karena, wanita-wanita muslimah itu tidak halal bagi kaum kuffar itu dan kaum kuffar itu pun tidak halal bagi mereka (laa hunna hillun lahum, wa laa hum yahilluuna lahunn). Kata kuffaar dalam ayat itu jelas menunjuk kepada identitas idelogis, yaitu orang non-muslim. Bukan orang muslim yang perangainya buruk.
Pendapat Djalaluddin Rahmat tentang kafir itu lebih jauh dari pendapat Nurcholish Madjid. Dalam bukunya, Islam Agama Peradaban (2000) Nurcholish Madjid menyatakan, bahwa Ahlul Kitab tidak tergolong Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang kenabian dan Kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Quran mereka disebut "kafir", yakni, "yang menentang", atau "yang menolak", dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.
Jika dicermati, tampaknya, kaum Muslim saat ini memang didesak hebat untuk meninggalkan istilah kafir sebagai sebutan bagi orang-orang non-muslim. Di Indonesia masalah itu sudah sering mulai dilontarkan. Tokoh-tokoh dari kalangan NU seperti Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, bahwa: Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. (GATRA, edisi 21 Desember 2002), Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. (Kompas, 18 November 2002). Dari kalangan pimpinan Muhammadiyah, Dr. Abdul Munir Mulkhan, menyatakan: Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.
Di Malaysia, pernah ramai ungkapan seorang menteri beragama Hindubernama Sammy Vellu, yang menyatakan keberatan disebut sebagai kafir. Dalam sebuah kuliah umum yang dihadiri kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center, Kuala Lumpur, tanggal 16 Agustus 2003, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, ditanya: apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar pemeluk agama? Ketika itu, Prof. Al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Quran, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan, sebutan itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, Hai kafir! Kaum Muslim cukup memahami, bahwa mereka kafir, mereka bukan muslim.
Sosok pemikir Muslim seperti Al-Attas kini mulai banyak diperbincangkan di dunia internasional. Ia dikenal sangat gigih dalam memperjuangkan proses Islamisasi dan menolak sekularisasi Barat. Meskipun lulusan Islamic Studies di McGill University kanada dan University of London, al-Attas sejak tahun 1970-an sudah mengingatkan kaum Muslimin, bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah Barat. Dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin yang terbit pertama tahun 1973, ia sudah menyatakan, bahwa antara Islam dan Barat terjadi konfrontasi yang abadi, yang ia sebut sebagai permanent confrontation. Sosok dan kiprah al-Attas bisa disimak dalam Dialog Jumat Republika, Jumat, 27 September 2003.
Apa yang dilakukan kelompok Islam Liberal dengan melakukan dekonstruksi terhadap istilah kafir akan memiliki dampak yang serius terhadap aqidah Islam. Dan ini adalah proyek puluhan tahun dari para orientalis Barat. Sejumlah orientalis sudah lama menggulirkan gagasan istilah Islam dengan I besar dan islam dengan i kecil. Nurcholish Madjid, dalam pidatonya di TIM tahun 1992, juga menggulirkan gag
asan islam sebagai unorganized religion. Bahwa, Islam lebih tepat dimaknai sebagai agama dalam pengertian berserah diri kepada Tuhan. Dengan makna seperti itu, siapa pun, asal berserah diri kepada Tuhan dapat dikatakan sebagai muslim.
Kini, istilah kafir bagi kaum non-Muslim, juga mulai digempur. Mengapa? hal ini tidak lain merupakan refleksi dari sejarah dan pengalaman kaum Kristen terhadap agama mereka sendiri. Berbeda dengan Islam, Kristen dan Yahudi adalah agama sejarah. Nama agama ini pun muncul dalam sejarah. Jesus tidak pernah memberi nama agama yang dibawanya. Istilah Kristen, berasal dari nama Kristus (Yunani: Kristos), yang artinya Juru Selamat (dalam bahasa Ibarni disebut sebagai Messiah). Nasrani menunjuk pada nama tempat, Nazareth. Yahudi (Judaisme) bahkan baru abad ke-19 muncul sebagai istilah untuk menyebut satu agama. Dalam bukunya berjudul, Judaism, Pilkington, menceritakan, bahwa pada tahun 1937, rabbi-rabbi di Amerika sepakat untuk mendefinisikan: Judaism is the historical religious experience of the Jewish people. Jadi, agama Yahudi, adalah agama sejarah. Penamaan, tata cara ritualnya, dibentuk oleh sejarah. Agama Kristen juga begitu, karena Yesus memang tidak meninggalkan tata cara ritual atau teologi seperti yang dikenal sekarang.
Ini sangat berbeda dengan Islam. Nama agama ini diberikan oleh Allah. Kata Islam, selain memiliki makna berserah diri, adalah nama agama. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 jelas-jelas menunjuk pada makna Islam sebagai nama agama, sebagai proper name. Jadi, bukan nabi Muhammad saw yang memberi nama agama ini. Maka, pada abad-abad ke-18 dan 19, para orientalis berusaha keras untuk menyebut Islam dengan Mohammedanism. Tetapi, upaya mereka gagal. Selain itu, sejak awal, Islam sudah merupakan agama yang sempurna. Islam sudah selesai. Allah menegaskan: Al-yauma akmaltu lakum diinakum. Berbeda dengan agama lain, tata cara ritual Islam sudah selesai sejak masa nabi Muhammad saw. Teologi dan ritualitas islam tidak dibentuk oleh sejarah. Dari contoh sederhana ini saja, jelas menunjukkan, Islam memang berbeda dengan agama lain. Sebagai insitusi agama, islam adalah institusi yang sah di mata Allah. Kaum Muslim yakin kan hal ini.
Karena itulah, Islam memang mengenal perbedaan antara Muslim dan non-Muslim; antara Muslim dan kafir. Dengan itu bukan berarti orang yang lahir sebagai Muslim otomatis selamat, karena orang yang secara formal menyatakan sebagai Muslim, belum tentu akan selamat di Hari Kiamat, jika ia bodoh, ingkar terhadap ajaran Allah, atau munafik. Soal sorga dan neraka akan dibuktikan nanti di Akhirat. Tetapi, bagi seorang Muslim, keyakinan, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Allah, adalah bagian prinsip dari keimanan Islam. Jika orang lain ragu dengan agamanya sendiri, mengapa keraguan ini diikuti oleh sebagian kaum Muslim?
Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan bangunan atau epistemology Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipal, seperti bangunan Islam-kafir tidak berhasil diusik. Di kawasan Melayu, siapa yang keluar dari Islam, dan memeluk agama lain, tidak diakui lagi sebagai bagian dari Melalyu. Begitu yang terjadi di Minang, Aceh, Madura, Betawi, Sunda, dan sebagainya. Kini, di era hegemoni Barat, justru dari kalangan Muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam.
Hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Semoga Allah SWT melindungi kaum Muslim. Amin. (Kuala Lumpur, 27 September 2003).
__oOo__
Kini, istilah kafir bagi kaum non-Muslim, juga mulai digempur. Mengapa? hal ini tidak lain merupakan refleksi dari sejarah dan pengalaman kaum Kristen terhadap agama mereka sendiri. Berbeda dengan Islam, Kristen dan Yahudi adalah agama sejarah. Nama agama ini pun muncul dalam sejarah. Jesus tidak pernah memberi nama agama yang dibawanya. Istilah Kristen, berasal dari nama Kristus (Yunani: Kristos), yang artinya Juru Selamat (dalam bahasa Ibarni disebut sebagai Messiah). Nasrani menunjuk pada nama tempat, Nazareth. Yahudi (Judaisme) bahkan baru abad ke-19 muncul sebagai istilah untuk menyebut satu agama. Dalam bukunya berjudul, Judaism, Pilkington, menceritakan, bahwa pada tahun 1937, rabbi-rabbi di Amerika sepakat untuk mendefinisikan: Judaism is the historical religious experience of the Jewish people. Jadi, agama Yahudi, adalah agama sejarah. Penamaan, tata cara ritualnya, dibentuk oleh sejarah. Agama Kristen juga begitu, karena Yesus memang tidak meninggalkan tata cara ritual atau teologi seperti yang dikenal sekarang.
Ini sangat berbeda dengan Islam. Nama agama ini diberikan oleh Allah. Kata Islam, selain memiliki makna berserah diri, adalah nama agama. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 jelas-jelas menunjuk pada makna Islam sebagai nama agama, sebagai proper name. Jadi, bukan nabi Muhammad saw yang memberi nama agama ini. Maka, pada abad-abad ke-18 dan 19, para orientalis berusaha keras untuk menyebut Islam dengan Mohammedanism. Tetapi, upaya mereka gagal. Selain itu, sejak awal, Islam sudah merupakan agama yang sempurna. Islam sudah selesai. Allah menegaskan: Al-yauma akmaltu lakum diinakum. Berbeda dengan agama lain, tata cara ritual Islam sudah selesai sejak masa nabi Muhammad saw. Teologi dan ritualitas islam tidak dibentuk oleh sejarah. Dari contoh sederhana ini saja, jelas menunjukkan, Islam memang berbeda dengan agama lain. Sebagai insitusi agama, islam adalah institusi yang sah di mata Allah. Kaum Muslim yakin kan hal ini.
Karena itulah, Islam memang mengenal perbedaan antara Muslim dan non-Muslim; antara Muslim dan kafir. Dengan itu bukan berarti orang yang lahir sebagai Muslim otomatis selamat, karena orang yang secara formal menyatakan sebagai Muslim, belum tentu akan selamat di Hari Kiamat, jika ia bodoh, ingkar terhadap ajaran Allah, atau munafik. Soal sorga dan neraka akan dibuktikan nanti di Akhirat. Tetapi, bagi seorang Muslim, keyakinan, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Allah, adalah bagian prinsip dari keimanan Islam. Jika orang lain ragu dengan agamanya sendiri, mengapa keraguan ini diikuti oleh sebagian kaum Muslim?
Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan bangunan atau epistemology Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipal, seperti bangunan Islam-kafir tidak berhasil diusik. Di kawasan Melayu, siapa yang keluar dari Islam, dan memeluk agama lain, tidak diakui lagi sebagai bagian dari Melalyu. Begitu yang terjadi di Minang, Aceh, Madura, Betawi, Sunda, dan sebagainya. Kini, di era hegemoni Barat, justru dari kalangan Muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam.
Hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Semoga Allah SWT melindungi kaum Muslim. Amin. (Kuala Lumpur, 27 September 2003).
__oOo__
TRILOGI NOVEL KEMI
Inti pesan dari novel ini adalah bagaimana kita sebagai orang Islam yang harus senantiasa berhati-hati dengan semua godaan dan tawaran-tawaran finansial ataupun pemikiran baru dari orang-orang yang jelas-jelas ingin merusak akidah kita sebagai muslim. Mereka berkata-kata dengan sangat halus dan indah, mereka sungguh menggoda, dunia bisa menyilaukan kita, hati-hati karena syaitan ada dimana-mana. Paham liberal kian meluas, mereka mulai menjajahi pola pikir dan kurikulum pendidikan kita, mari kita bendung dengan ilmu dan iman agar kita dan Islam bisa selamat.
”Selamat membaca karya yang jarang ada bahkan belum pernah ada sebelumnya. Untuk para pemuda mari kita berjuang semoga bisa seperti Rahmat yang berjuang untuk menegakkan kebenaran yang hakiki.
----------------
Kemi 1 Rp. 55.000,-
Kemi 2 Rp. 45.000,-
Kemi 3 Rp. 52. 000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp 087878147997.
-Admin-
Inti pesan dari novel ini adalah bagaimana kita sebagai orang Islam yang harus senantiasa berhati-hati dengan semua godaan dan tawaran-tawaran finansial ataupun pemikiran baru dari orang-orang yang jelas-jelas ingin merusak akidah kita sebagai muslim. Mereka berkata-kata dengan sangat halus dan indah, mereka sungguh menggoda, dunia bisa menyilaukan kita, hati-hati karena syaitan ada dimana-mana. Paham liberal kian meluas, mereka mulai menjajahi pola pikir dan kurikulum pendidikan kita, mari kita bendung dengan ilmu dan iman agar kita dan Islam bisa selamat.
”Selamat membaca karya yang jarang ada bahkan belum pernah ada sebelumnya. Untuk para pemuda mari kita berjuang semoga bisa seperti Rahmat yang berjuang untuk menegakkan kebenaran yang hakiki.
----------------
Kemi 1 Rp. 55.000,-
Kemi 2 Rp. 45.000,-
Kemi 3 Rp. 52. 000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp 087878147997.
-Admin-
KRITERIA PEMIMPIN
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.
Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan tepercaya. “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashash :26)
Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh” artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.
Dari kriteria diatas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang Muslim dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang disimpulkan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan amanah jika ia tidak memahami syariah.
Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Allah
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.
Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan tepercaya. “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashash :26)
Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh” artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.
Dari kriteria diatas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang Muslim dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang disimpulkan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan amanah jika ia tidak memahami syariah.
Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Allah
dan berkhidmat kepada masyarakat. Untuk beribadah diperlukan ilmu dan iman, untuk berkhidmat diperlukan ilmu untuk mensejahterakan rakyat. Oleh sebab,“Pemimpin yang tidak berusaha meningkatkan materi dan akhlaq serta kesejahteraan rakyat tidak akan masuk surga”. (HR Bukhari).
Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat, peduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.
Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta jabatan dan partai politiknya? *
Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat, peduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.
Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta jabatan dan partai politiknya? *
BELAJAR DARI “NAPOLEON”
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS)
Kondisi kebebasan nyaris tanpa batas (anarkhi) dalam negara demokrasi – menurut Socrates (469-399 SM) -- akhirnya akan memunculkan bentuk tirani (tyranny). Socrates, seperti diceritakan muridnya, Plato (427-347 SM), dalam karyanya ‘The Republic’, memandang demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak ideal; lebih rendah nilainya dibandingkan ‘aristokrasi’ (negara dipimpin para pecinta hikmah/kebenaran), ‘timokrasi’ (negara dipimpin para ksatria pecinta kehormatan), dan ‘oligarchy’ (negara dipimpin oleh sedikit orang). Di negara demokrasi (pemerintahan oleh rakyat – the rule of the people), kata Socrates, semua orang ingin berbuat menurut kehendaknya sendiri, yang akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Kebebasan menjadi sempurna. Ketika rakyat lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka akan mengangkat seorang tiran untuk memulihkan aturan. (… when men tire of the lawlessness of a liberty… they appoint a strong man to restore order). (Lihat, Eric H. Warmington, (ed.), Great Dialogues of Plato, (New York: The New American Library), hal. 123).
Adalah menarik untuk membandingkan keadaan Indonesia saat ini dengan kondisi Perancis pada saat-saat negara itu mengalami Revolusi tahun 1789 dan setelah kejatuhan Napoleon. Menjelang Revolusi, Perancis adalah negara autokrasi di bawah kekuasaan Raja Louis ke-14 yang berpenduduk sekitar 26 juta jiwa. Kekuasaan terpusat di tangan raja dan kaum elite negara. Ada dua kelompok yang sangat diistimewakan ketika itu. Pertama, kaum agamawan (clergy), yang diwakili oleh Geraja Katolik, dan kaum bangsawan (nobility). Gereja mendapatkan berbagai keistimewaan, seperti memungut pajak hasil bumi, mencatat kelahiran, perkawinan, dan kematian, melakukan penyensoran terhadap buku-buku yang dinilai melawan ajaran Gereja, mengoperasikan sekolah-sekolah. Walaupun tanah-tanah Gereja banyak menghasilkan keuntungan, namun mereka tidak membayar pajak apa pun. Karena itu, banyak dijumpai, tokoh-tokoh agama yang hidup dalam kemewahan. Kelompok bangsawan yang jumlahnya hanya sekitar 350 ribu juga mendapatkan berbagai keistimewaan. Mereka dikecualikan dari hampir semua jenis pajak. Mereka menguasai sekitar ¼ sampai 1/3 tanah Perancis.
Krisis ekonomi menjelang tahun 1789, dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan liberal dan kelompok bourgeoisie Perancis untuk melakukan revolusi dan meruntuhkan monarkhi. Dan itu terjadi pada 14 Juli 1789, saat masyarakat Perancis berhasil meruntuhkan penjara Bastile, yang menjadi simbol dari kekuasaan Rejim Lama.
Revolusi Perancis mengusung jargon yang sangat terkenal: “liberty, egality, dan fraternity” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Namun, revolusi itu selama beberapa tahun tidak melahirkan stabilitas dan kebaikan bagi rakyat Perancis. Masa-masa teror sempat terjadi selama beberapa tahun yang memakan korban sekitar 40 ribu orang. Saling bunuh dan teror terjadi antar rezim yang berganti-ganti kekuasaan. Rezim Thermidorean, misalnya, pada 1795, melakukan aksi “kontra-revolusi” yang membantai pengikut rezim sebelumnya.
Di saat-saat berkembangnya anarkhi dan ketidakpastian itulah, muncul seorang Jenderal militer, bernama Napoleon Bonaparte, yang mengambil alih kekuasaan di Perancis pada tahun 1799. Napoleon lahir tanggal 15 Agustus 1769 di Pulau Corsica. Ia masih termasuk keluarga bangsawan kecil. Tahun 1796, ia memimpin pasukan Perancis di Itali. Di sinilah ia meraih reputasi yang hebat dalam kemiliteran. Tahun 1799, ia menjadi jenderal terkemuka di Perancis. Ia bergabung dalam satu konspirasi untuk menumbangkan penguasa lama, dan mendirikan sistem pemerintahan baru dengan kekuasaan dipegang oleh tiga konsul. Sebagai konsul pertama, Napoleon memonopoli kekuasaan. Tahun 1802, ia menjadi konsul pertama seumur hidup, yang berhak menentukan penggantinya. Dan pada 2 Desember 1804, dalam satu seremoni agung di Katedral Notre Dame di Paris, Napoleon menobatkan dirinya sebagai Kaisar Perancis (emperor of the French). Napoleon memang cinta pada kekuasaan, yang ia ibaratkan, seperti seor
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS)
Kondisi kebebasan nyaris tanpa batas (anarkhi) dalam negara demokrasi – menurut Socrates (469-399 SM) -- akhirnya akan memunculkan bentuk tirani (tyranny). Socrates, seperti diceritakan muridnya, Plato (427-347 SM), dalam karyanya ‘The Republic’, memandang demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak ideal; lebih rendah nilainya dibandingkan ‘aristokrasi’ (negara dipimpin para pecinta hikmah/kebenaran), ‘timokrasi’ (negara dipimpin para ksatria pecinta kehormatan), dan ‘oligarchy’ (negara dipimpin oleh sedikit orang). Di negara demokrasi (pemerintahan oleh rakyat – the rule of the people), kata Socrates, semua orang ingin berbuat menurut kehendaknya sendiri, yang akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Kebebasan menjadi sempurna. Ketika rakyat lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka akan mengangkat seorang tiran untuk memulihkan aturan. (… when men tire of the lawlessness of a liberty… they appoint a strong man to restore order). (Lihat, Eric H. Warmington, (ed.), Great Dialogues of Plato, (New York: The New American Library), hal. 123).
Adalah menarik untuk membandingkan keadaan Indonesia saat ini dengan kondisi Perancis pada saat-saat negara itu mengalami Revolusi tahun 1789 dan setelah kejatuhan Napoleon. Menjelang Revolusi, Perancis adalah negara autokrasi di bawah kekuasaan Raja Louis ke-14 yang berpenduduk sekitar 26 juta jiwa. Kekuasaan terpusat di tangan raja dan kaum elite negara. Ada dua kelompok yang sangat diistimewakan ketika itu. Pertama, kaum agamawan (clergy), yang diwakili oleh Geraja Katolik, dan kaum bangsawan (nobility). Gereja mendapatkan berbagai keistimewaan, seperti memungut pajak hasil bumi, mencatat kelahiran, perkawinan, dan kematian, melakukan penyensoran terhadap buku-buku yang dinilai melawan ajaran Gereja, mengoperasikan sekolah-sekolah. Walaupun tanah-tanah Gereja banyak menghasilkan keuntungan, namun mereka tidak membayar pajak apa pun. Karena itu, banyak dijumpai, tokoh-tokoh agama yang hidup dalam kemewahan. Kelompok bangsawan yang jumlahnya hanya sekitar 350 ribu juga mendapatkan berbagai keistimewaan. Mereka dikecualikan dari hampir semua jenis pajak. Mereka menguasai sekitar ¼ sampai 1/3 tanah Perancis.
Krisis ekonomi menjelang tahun 1789, dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan liberal dan kelompok bourgeoisie Perancis untuk melakukan revolusi dan meruntuhkan monarkhi. Dan itu terjadi pada 14 Juli 1789, saat masyarakat Perancis berhasil meruntuhkan penjara Bastile, yang menjadi simbol dari kekuasaan Rejim Lama.
Revolusi Perancis mengusung jargon yang sangat terkenal: “liberty, egality, dan fraternity” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Namun, revolusi itu selama beberapa tahun tidak melahirkan stabilitas dan kebaikan bagi rakyat Perancis. Masa-masa teror sempat terjadi selama beberapa tahun yang memakan korban sekitar 40 ribu orang. Saling bunuh dan teror terjadi antar rezim yang berganti-ganti kekuasaan. Rezim Thermidorean, misalnya, pada 1795, melakukan aksi “kontra-revolusi” yang membantai pengikut rezim sebelumnya.
Di saat-saat berkembangnya anarkhi dan ketidakpastian itulah, muncul seorang Jenderal militer, bernama Napoleon Bonaparte, yang mengambil alih kekuasaan di Perancis pada tahun 1799. Napoleon lahir tanggal 15 Agustus 1769 di Pulau Corsica. Ia masih termasuk keluarga bangsawan kecil. Tahun 1796, ia memimpin pasukan Perancis di Itali. Di sinilah ia meraih reputasi yang hebat dalam kemiliteran. Tahun 1799, ia menjadi jenderal terkemuka di Perancis. Ia bergabung dalam satu konspirasi untuk menumbangkan penguasa lama, dan mendirikan sistem pemerintahan baru dengan kekuasaan dipegang oleh tiga konsul. Sebagai konsul pertama, Napoleon memonopoli kekuasaan. Tahun 1802, ia menjadi konsul pertama seumur hidup, yang berhak menentukan penggantinya. Dan pada 2 Desember 1804, dalam satu seremoni agung di Katedral Notre Dame di Paris, Napoleon menobatkan dirinya sebagai Kaisar Perancis (emperor of the French). Napoleon memang cinta pada kekuasaan, yang ia ibaratkan, seperti seor
ang musisi mencintai biolanya.
Napoleon melakukan perombakan sistem pemerintahan di Perancis. Ia mengembalikan Perancis ke dalam sistem pemerintahan yang disebut sebagai “enlightened despotism” (despotisme yang tercerahkan). Ia menjadikan pemerintahan berjalan lebih efektif, dengan melakukan berbagai kebijakan, seperti: efisiensi dan penyeragaman administrasi pemerintahan, menolak feodalisme, menentang persekusi keagamaan, dan menghilangkan diskriminasi warga negara. Juga, ia memilih kebijakan yang menjadikan negara mengontrol perdagangan dan industri. Menurut Napoleon, sistem “enlightened despotism” merupakan alat untuk menjamin stabilitas politik dan memperkuat negara. Napoleon juga memelihara dan melaksanakan sejumlah hasil yang dicapai dalam revolusi Perancis, seperti: persamaan di depan hukum, jenjang karir berdasarkan kemampuan dan prestasi (meritokrasi), penekanan pada pendidikan sekular, dan pengurangan kekuasaan Gereja (clerical power). Namun, Napoleon menekan kebebasan politik.
Berbagai cara dilakukan Napoleon untuk mengkonsentrasikan kekuasaan, sehingga menjadi efektif. Untuk meraih dukungan kaum Katolik, ia melakukan negosiasi dengan Paus, yang hasilnya adalah pengesahan Concordat 1801, berupa pengakuan Katolik sebagai agama mayoritas rakyat Perancis. Napoleon menolak permintaan Paus untuk menjadikan Katolik sebagai agama negara. Ia pun melakukan berbagai cara untuk membungkam penentangnya, dari kalangan bekas keluarga kerajaan maupun pendukung republik. Namun, ia pun melakukan berbagai perbaikan di bidang hukum, ekonomi, dan pendidikan. Ia mendirikan University of France. Untuk menekan laju inflasi, misalnya, ia mendirikan Bank of France. Ia juga membiarkan para petani menguasai lahan para tuan tanah, yang mereka peroleh di masa Revolusi.
Di tangan Napoleon, Perancis kemudian menjadi kekuatan besar di Eropa. Antara tahun 1805-1807, Perancis mampu menaklukkan Austria, Russia, dan Prussia (cikal bakal Jerman). Tahun 1810, Napoleon mendominasi Eropa Daratan, kecuali Semenanjung Balkan. Napoleon berhasil membawa Perancis menjadi negara besar yang sayangnya kemudian dimanfaatkan untuk aktivitas imperialisme. Ekspansi yang berlebihan akhirnya mengantarkan kehancuran tentara Perancis, terutama setelah kekalahan besar di Rusia pada tahun 1812 yang membawa kematian ratusan ribu tentara Napoleon. Akhirnya, tahun 1814 Paris diduduki Tentara Sekutu Austria, Russia, Prussia, dan Swedia, dan Napoleon berhasil ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba. Namun, setahun kemudian, sang jenderal kembali ke Paris sebagai ‘hero’ dan bertempur kembali melawan pasukan Sekutu, sebelum akhirnya dikalahkan kembali. (Uraian tentang Revolusi Perancis dan Napoleon diringkaskan dari buku Western Civilization A Brief History, karya Marvin Perry, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997).
Akankah “Napoleon” akan muncul di Indonesia? Di tengah situasi “anarkhis” dan kepemimpinan yang lemah, bukan tidak mungkin sebagian merindukaN tampilnya sosok Napoleon. Tapi, perlu diwaspadai, sosok semacam ini pun, ujungnya – jika tanpa iman dan taqwa – akan membawa pada kesengsaraan! Wallahu A’lam. (***)
Napoleon melakukan perombakan sistem pemerintahan di Perancis. Ia mengembalikan Perancis ke dalam sistem pemerintahan yang disebut sebagai “enlightened despotism” (despotisme yang tercerahkan). Ia menjadikan pemerintahan berjalan lebih efektif, dengan melakukan berbagai kebijakan, seperti: efisiensi dan penyeragaman administrasi pemerintahan, menolak feodalisme, menentang persekusi keagamaan, dan menghilangkan diskriminasi warga negara. Juga, ia memilih kebijakan yang menjadikan negara mengontrol perdagangan dan industri. Menurut Napoleon, sistem “enlightened despotism” merupakan alat untuk menjamin stabilitas politik dan memperkuat negara. Napoleon juga memelihara dan melaksanakan sejumlah hasil yang dicapai dalam revolusi Perancis, seperti: persamaan di depan hukum, jenjang karir berdasarkan kemampuan dan prestasi (meritokrasi), penekanan pada pendidikan sekular, dan pengurangan kekuasaan Gereja (clerical power). Namun, Napoleon menekan kebebasan politik.
Berbagai cara dilakukan Napoleon untuk mengkonsentrasikan kekuasaan, sehingga menjadi efektif. Untuk meraih dukungan kaum Katolik, ia melakukan negosiasi dengan Paus, yang hasilnya adalah pengesahan Concordat 1801, berupa pengakuan Katolik sebagai agama mayoritas rakyat Perancis. Napoleon menolak permintaan Paus untuk menjadikan Katolik sebagai agama negara. Ia pun melakukan berbagai cara untuk membungkam penentangnya, dari kalangan bekas keluarga kerajaan maupun pendukung republik. Namun, ia pun melakukan berbagai perbaikan di bidang hukum, ekonomi, dan pendidikan. Ia mendirikan University of France. Untuk menekan laju inflasi, misalnya, ia mendirikan Bank of France. Ia juga membiarkan para petani menguasai lahan para tuan tanah, yang mereka peroleh di masa Revolusi.
Di tangan Napoleon, Perancis kemudian menjadi kekuatan besar di Eropa. Antara tahun 1805-1807, Perancis mampu menaklukkan Austria, Russia, dan Prussia (cikal bakal Jerman). Tahun 1810, Napoleon mendominasi Eropa Daratan, kecuali Semenanjung Balkan. Napoleon berhasil membawa Perancis menjadi negara besar yang sayangnya kemudian dimanfaatkan untuk aktivitas imperialisme. Ekspansi yang berlebihan akhirnya mengantarkan kehancuran tentara Perancis, terutama setelah kekalahan besar di Rusia pada tahun 1812 yang membawa kematian ratusan ribu tentara Napoleon. Akhirnya, tahun 1814 Paris diduduki Tentara Sekutu Austria, Russia, Prussia, dan Swedia, dan Napoleon berhasil ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba. Namun, setahun kemudian, sang jenderal kembali ke Paris sebagai ‘hero’ dan bertempur kembali melawan pasukan Sekutu, sebelum akhirnya dikalahkan kembali. (Uraian tentang Revolusi Perancis dan Napoleon diringkaskan dari buku Western Civilization A Brief History, karya Marvin Perry, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997).
Akankah “Napoleon” akan muncul di Indonesia? Di tengah situasi “anarkhis” dan kepemimpinan yang lemah, bukan tidak mungkin sebagian merindukaN tampilnya sosok Napoleon. Tapi, perlu diwaspadai, sosok semacam ini pun, ujungnya – jika tanpa iman dan taqwa – akan membawa pada kesengsaraan! Wallahu A’lam. (***)
MENDUDUKKAN ORIENTALIS
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kajian berbagai bidang keilmuan, termasuk bidang Islamic Studies, harus diakui, Barat/orientalis telah mencapai tahap perkembangan besar dengan segala motifnya, baik motif keilmuan, keagamaan, ataupun motif politik-ekonomi. Karena itulah, sikap kritis sangat diperlukan.
Masalahnya adalah bagaimana dapat bersikap kritis? Apa metodologi dan bekal untuk bersikap kritis? Tanpa penguasaan yang baik terhadap kedua khazanah: Islam dan Barat, maka sulit diharapkan, akan muncul sikap kritis yang benar. Bisa-bisa yang terjadi sebaliknya: menyangka telah bersikap kritis, tetapi justru yang terjadi adalah mengkritisi Islam dengan cara pandang non-Muslim.
Al-Attas bahkan menyatakan bahwa kita tidak akan dapat mengetahui masalah yang dihadapi umat Islam jika tidak mengetahui perbedaan Islam dan Barat. Namun ia tidak berbicara Barat dalam pengertian politik. Apa yang ia tekankan adalah dalam aspek pemikiran atau secara umum aspek pandangan hidup.
Terdapat perbedaan bahkan pertentangan permanen antara pandangan hidup Islam dan Barat. Oleh sebab itu jika kita mempelajari pemikiran orang Barat, khususnya orientalis, kita perlu mengkaji pula pandangan hidup yang menjadi asumsi dasar pemikiran tersebut. Pandangan hidup yang dimaksud terdiri dari konsep Tuhan, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep kenabian, konsep alam dan lain-lain.
Pada dasarnya, tidak ada perubahan yang signifikan dan substansial antara orientalis dulu dan sekarang. Malah, Shireen T. Hunter, dalam satu tulisannya berjudul The Rise of Islamic Movements and The Western Response: Clash of Civilizations or Clash of Interests?”, menyebut, ilmuwan kontemporer seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran “neo-Orientalist” yang berbeda dengan aliran neo-Third-World. Pola pikir “neo-Orientalist” Lewis itulah yang mewarnai isi buku barunya, The Crisis of Islam, yang begitu banyak membela politik neo-Konservatif AS.
Singkatnya, kajian-kajian keislaman para orientalis bagaimanapun ilmiahnya, ia tetap berpijak pada pre-supposisi Barat, dan terkadang Kristen. Prinsip dasar bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan al-Qur’an adalah firman Allah tidak menjadi asas bagi kajian mereka.
Ini bisa dipahami, sebab dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad berarti mereka mengakui Islam sebagai agama terakhir. Mereka tidak mungkin pula mengakui al-Qur’an sebagai firman Allah.
Sebab al-Qur’an memuat banyak kecaman terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi dan Nasrani, seperti: "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam", (al-Maidah, 5: 17 dan juga 5: 72); "Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga".(al-Maidah (5: 73); "Dan karena ucapan mereka sesungguhnya kami telah membunuh Isa al-masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (al-Nisa 4: 157) dan berbagai ayat lainnya.
Kandungan al-Qur'an yang mengecam ajaran Yahudi dan Kristen seperti itu jelas akan menuai reaksi balik sepanjang masa. Seorang Kaisar Bizantin, Leo III (717-741 M.), misalnya, telah menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M) telah mengubah al-Qur’an (Arthur Jeffery, "Ghevond's Text of the Correspondence between Umar II and Leo III, Harvard Theological Review, p. 269-332).
Peter, pendeta di Maimuma, pada tahun 743 menyebut Rasulullah SAW sebagai nabi palsu. Yahya al-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (m. 750) juga menulis dalam bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen ortodoks bahwa Islam mengajarkan anti-Kristus.
John of Damascus berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh. Dengan liciknya, katanya, Muhammad bisa mengawini Khadijah sehingga mendapat kekayaan dan kesenangan. Dengan cerdasnya, Muhammad menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Muhammad memiliki hobi perang karena nafsu seksnya tidak
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kajian berbagai bidang keilmuan, termasuk bidang Islamic Studies, harus diakui, Barat/orientalis telah mencapai tahap perkembangan besar dengan segala motifnya, baik motif keilmuan, keagamaan, ataupun motif politik-ekonomi. Karena itulah, sikap kritis sangat diperlukan.
Masalahnya adalah bagaimana dapat bersikap kritis? Apa metodologi dan bekal untuk bersikap kritis? Tanpa penguasaan yang baik terhadap kedua khazanah: Islam dan Barat, maka sulit diharapkan, akan muncul sikap kritis yang benar. Bisa-bisa yang terjadi sebaliknya: menyangka telah bersikap kritis, tetapi justru yang terjadi adalah mengkritisi Islam dengan cara pandang non-Muslim.
Al-Attas bahkan menyatakan bahwa kita tidak akan dapat mengetahui masalah yang dihadapi umat Islam jika tidak mengetahui perbedaan Islam dan Barat. Namun ia tidak berbicara Barat dalam pengertian politik. Apa yang ia tekankan adalah dalam aspek pemikiran atau secara umum aspek pandangan hidup.
Terdapat perbedaan bahkan pertentangan permanen antara pandangan hidup Islam dan Barat. Oleh sebab itu jika kita mempelajari pemikiran orang Barat, khususnya orientalis, kita perlu mengkaji pula pandangan hidup yang menjadi asumsi dasar pemikiran tersebut. Pandangan hidup yang dimaksud terdiri dari konsep Tuhan, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep kenabian, konsep alam dan lain-lain.
Pada dasarnya, tidak ada perubahan yang signifikan dan substansial antara orientalis dulu dan sekarang. Malah, Shireen T. Hunter, dalam satu tulisannya berjudul The Rise of Islamic Movements and The Western Response: Clash of Civilizations or Clash of Interests?”, menyebut, ilmuwan kontemporer seperti Bernard Lewis, termasuk tokoh aliran “neo-Orientalist” yang berbeda dengan aliran neo-Third-World. Pola pikir “neo-Orientalist” Lewis itulah yang mewarnai isi buku barunya, The Crisis of Islam, yang begitu banyak membela politik neo-Konservatif AS.
Singkatnya, kajian-kajian keislaman para orientalis bagaimanapun ilmiahnya, ia tetap berpijak pada pre-supposisi Barat, dan terkadang Kristen. Prinsip dasar bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan al-Qur’an adalah firman Allah tidak menjadi asas bagi kajian mereka.
Ini bisa dipahami, sebab dengan mengakui kerasulan Nabi Muhammad berarti mereka mengakui Islam sebagai agama terakhir. Mereka tidak mungkin pula mengakui al-Qur’an sebagai firman Allah.
Sebab al-Qur’an memuat banyak kecaman terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi dan Nasrani, seperti: "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam", (al-Maidah, 5: 17 dan juga 5: 72); "Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga".(al-Maidah (5: 73); "Dan karena ucapan mereka sesungguhnya kami telah membunuh Isa al-masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (al-Nisa 4: 157) dan berbagai ayat lainnya.
Kandungan al-Qur'an yang mengecam ajaran Yahudi dan Kristen seperti itu jelas akan menuai reaksi balik sepanjang masa. Seorang Kaisar Bizantin, Leo III (717-741 M.), misalnya, telah menuduh al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang Gubernur di zaman kekhalifahan Abdul Malik ibn Marwan (684-704 M) telah mengubah al-Qur’an (Arthur Jeffery, "Ghevond's Text of the Correspondence between Umar II and Leo III, Harvard Theological Review, p. 269-332).
Peter, pendeta di Maimuma, pada tahun 743 menyebut Rasulullah SAW sebagai nabi palsu. Yahya al-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (m. 750) juga menulis dalam bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen ortodoks bahwa Islam mengajarkan anti-Kristus.
John of Damascus berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh. Dengan liciknya, katanya, Muhammad bisa mengawini Khadijah sehingga mendapat kekayaan dan kesenangan. Dengan cerdasnya, Muhammad menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Muhammad memiliki hobi perang karena nafsu seksnya tidak
tersalurkan. (Daniel J. Sahas, John of Damascus on Islam: "The Heresy of the Ishmaelites" (Leiden: E. J. Brill, 1972, hal. 67-95).
Seirama dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert). Bede menggambarkan Muhammad sebagai orang yang kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang nabi.
Sikap menghina Rasulullah SAW berlanjut pada zaman pertengahan Barat. Pada saat itu, Rasulullah SAW disebut sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam bahasa Perancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang sinonim dengan setan, berhala. Jadi, Muhammad bukan sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, Ia merupakan seorang penyembah berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh.
Gambaran buruk tersebut dimanipulasi oleh Paus Urbanus II untuk membakar semangat penganut agama Kristen dalam Perang Salib. Disebabkan provokasi Paus Urbanus II ini, ratusan ribu umat Islam disembelih sejak bermulanya perang salib pada tahun 1095.
Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat, image buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Qur’an sebagai karya setan. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang Jahat dan mengutuknya sebagai anak setan.
Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstrimis dan pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah SAW beserta al-Qur’an terus menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan: "Pada zaman skeptic kita ini, sangat sedikit yang dikritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada (In our skeptical times there is very little that is above criticism, and one day or other we may expect to hear that Muhammad never existed).
Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?" Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah buat-buatan. Muhammad adalah fiksi, karena selalu adanya asumsi bahwa setiap agama harus mepunyai pendiri.
Sikap para orientalis seperti itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.
Orientalis kontemporer tetap mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar, level, cara dan strategi yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad dan kebenaran al-Qur'an.
Penolakan seperti itu adalah loci communes (common places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dimengerti karena eksistensi agama mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena hal ini juga, wajar jika kajian mereka kepada Rasulullah SAW dan al-Qur’an tidak dibangun dari keimanan, sebagaimana sikap seorang Muslim.
Para orientalis yang mengkaji bidang teologi dan filsafat Islam sejak DB. MacDonald Alfred Gullimaune, Montgomery Watt atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines dan lain-lain mempunyai framework yang hampir sama.
Di antara asumsi yang umum mereka pegang erat-erat adalah bahwa filsafat, sains dan hal-hal yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah “carbon copy” dari pemikiran Yunani. Padahal diskursus filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan wacana yang bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang di zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam.
Sikap simpatik para orientalis terhadap Islam tidak serta merta menjadikan pemikiran mereka menjadi benar. Sebab, asumsi dan juga konsekuensi dari framework diatas adalah pengingkaran terhadap tradisi intelektual Islam yang berbasis pada wahyu. Transmisi
Seirama dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat bahwa Muhammad adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert). Bede menggambarkan Muhammad sebagai orang yang kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa, sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang nabi.
Sikap menghina Rasulullah SAW berlanjut pada zaman pertengahan Barat. Pada saat itu, Rasulullah SAW disebut sebagai Mahound, atau juga Mahoun, Mahun, Mahomet, di dalam bahasa Perancis Mahon, di dalam bahasa Jerman Machmet, yang sinonim dengan setan, berhala. Jadi, Muhammad bukan sebagai seorang nabi palsu. Lebih dari itu, Ia merupakan seorang penyembah berhala yang disembah oleh orang Arab yang bodoh.
Gambaran buruk tersebut dimanipulasi oleh Paus Urbanus II untuk membakar semangat penganut agama Kristen dalam Perang Salib. Disebabkan provokasi Paus Urbanus II ini, ratusan ribu umat Islam disembelih sejak bermulanya perang salib pada tahun 1095.
Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat, image buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Qur’an sebagai karya setan. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang Jahat dan mengutuknya sebagai anak setan.
Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstrimis dan pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah SAW beserta al-Qur’an terus menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan: "Pada zaman skeptic kita ini, sangat sedikit yang dikritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada (In our skeptical times there is very little that is above criticism, and one day or other we may expect to hear that Muhammad never existed).
Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?" Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah buat-buatan. Muhammad adalah fiksi, karena selalu adanya asumsi bahwa setiap agama harus mepunyai pendiri.
Sikap para orientalis seperti itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.
Orientalis kontemporer tetap mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar, level, cara dan strategi yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad dan kebenaran al-Qur'an.
Penolakan seperti itu adalah loci communes (common places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dimengerti karena eksistensi agama mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena hal ini juga, wajar jika kajian mereka kepada Rasulullah SAW dan al-Qur’an tidak dibangun dari keimanan, sebagaimana sikap seorang Muslim.
Para orientalis yang mengkaji bidang teologi dan filsafat Islam sejak DB. MacDonald Alfred Gullimaune, Montgomery Watt atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines dan lain-lain mempunyai framework yang hampir sama.
Di antara asumsi yang umum mereka pegang erat-erat adalah bahwa filsafat, sains dan hal-hal yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah “carbon copy” dari pemikiran Yunani. Padahal diskursus filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan wacana yang bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang di zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam.
Sikap simpatik para orientalis terhadap Islam tidak serta merta menjadikan pemikiran mereka menjadi benar. Sebab, asumsi dan juga konsekuensi dari framework diatas adalah pengingkaran terhadap tradisi intelektual Islam yang berbasis pada wahyu. Transmisi
ilmu pengetahuan melalui sumber yang disebut khabar mutawatir tidak diakui oleh mereka sebagai valid.
Jadi, sekalipun pengetahuan mereka tentang sejarah pemikiran keislaman mendalam, namun kajian mereka tetap fragmentatif. Mereka tidak menghubungkan kajian mereka tentang Islam yang spesifik dengan prinsip yang umum dan universal.
Kajian mereka tentang hal-hal yang spesifik seperti tentang sejarah al-Qur’an, etika dalam Islam, politik dalam Islam dan lain-lain tidak dikaitkan dengan makna Islam sebagai suatu agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan tradisinya sendiri.
Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman, misalnya, tidak tercermin dalam tulisan-tulisan mereka. Ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki tidak mendorong pembacanya untuk beriman kepada Allah SWT. Tidak juga membuat mereka sendiri yakin dengan kebenaran Islam. Dan yang jelas mereka tidak bisa disebut sebagai ulama.
Sebagai penutup perlu dicatat bahwa Islam adalah agama dan pandangan hidup yang telah melahirkan peradaban yang gemilang. Untuk mempertahankan dan mengembangkan peradaban Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya unsur-unsur peradaban asing.
Sebaliknya untuk bersikap adil terhadap peradaban lain tidak berarti bersikap permisif terhadap masuknya segala macam unsur dari peradaban lain. Sebab adil dalam Islam adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Untuk mengetahui tempat segala sesuatu perlu ilmu keislaman yang luas, dan dengan ilmu itu orang akan bersikap kritis. Hikmah adalah barang milik mukmin yang hilang, namun seorang mukmin tidak dapat menemukan hikmah yang hilang itu kecuali ia mengetahui apa itu hikmah.
Jadi, sekalipun pengetahuan mereka tentang sejarah pemikiran keislaman mendalam, namun kajian mereka tetap fragmentatif. Mereka tidak menghubungkan kajian mereka tentang Islam yang spesifik dengan prinsip yang umum dan universal.
Kajian mereka tentang hal-hal yang spesifik seperti tentang sejarah al-Qur’an, etika dalam Islam, politik dalam Islam dan lain-lain tidak dikaitkan dengan makna Islam sebagai suatu agama dan pandangan hidup yang memiliki prinsip dan tradisinya sendiri.
Prinsip bahwa ilmu mendorong kepada iman, misalnya, tidak tercermin dalam tulisan-tulisan mereka. Ilmu-ilmu keislaman yang mereka miliki tidak mendorong pembacanya untuk beriman kepada Allah SWT. Tidak juga membuat mereka sendiri yakin dengan kebenaran Islam. Dan yang jelas mereka tidak bisa disebut sebagai ulama.
Sebagai penutup perlu dicatat bahwa Islam adalah agama dan pandangan hidup yang telah melahirkan peradaban yang gemilang. Untuk mempertahankan dan mengembangkan peradaban Islam tidak berarti menolak mentah-mentah masuknya unsur-unsur peradaban asing.
Sebaliknya untuk bersikap adil terhadap peradaban lain tidak berarti bersikap permisif terhadap masuknya segala macam unsur dari peradaban lain. Sebab adil dalam Islam adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Untuk mengetahui tempat segala sesuatu perlu ilmu keislaman yang luas, dan dengan ilmu itu orang akan bersikap kritis. Hikmah adalah barang milik mukmin yang hilang, namun seorang mukmin tidak dapat menemukan hikmah yang hilang itu kecuali ia mengetahui apa itu hikmah.
TAMAK DUNIA: SUMBER KEHANCURAN
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great Powers”, Paul Kennedy menutup dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”. Dalam buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran Amerika Serikat: Tahun 1985, utangnya sudah mencapai 1.823 milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD. Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan telah mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS. Dengan politik unilateralnya, ambisi kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar. Duit ditebar untuk menaklukkan negara-negara lain.
Tapi, bagaimana pun, untuk sementara ini, AS masih menjadi negara terkuat. Dalam kata-kata Paul Kennedy, “For all its economic and perhaps military decline, it remains, in Pierre Hassner’s world, “the decisive actor in every type of balance and issue… because it has so much power for good or evil.”
Nabi Muhammad saw menunjukkan sebuah rumus kehancuran peradaban, dalam satu sabda beliau: "Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit "al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud).
Umat Islam digambarkan oleh Rasulullah SAW, ketika itu jumlahnya banyak. Tapi, banyaknya tidak berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak pada sikap “hubbud-dunya”, penyakit tamak terhadap dunia. Kebangkitan dan kehinaan suatu umat atau bangsa adalah merupakan sunnatullah. Jika umat Islam tidak kembali kepada Islam, terjangkit penyakit hubbud-dunya, maka selamanya umat ini akan terus terhinakan. Pada saatnya nanti Allah akan memusnahkan umat seperti itu dan menggantikannya dengan umat atau generesi yang lain.
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agama Allah, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang Allah mencintai mereka, dan merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang kepada orang-orang mukmin, dan tidak menghinakan diri kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak takut pada celaan orang-orang yang suka mencela.” (QS al-Maidah:54)
Manusia-manusia yang “tamak dunia” tidak memiliki sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau berjihad di jalan Allah! Mereka hanya mementingkan syahwat dunia, mengejar dunia demi keuntungan dan kesenangan dirinya. “Tamak dunia” menjauhkan manusia dari sikap cinta pengorbanan yang menjadi salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau peradaban.
Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya, Limaadzaa Taa’kkharal Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama Ghairuhum menyebutkan, bagaimana besarnya sikap berkorban dari kaum Yahudi dan bangsa-bangsa Barat, sehingga mereka mampu mengalahkan kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20 tahun masih ada di kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi berperang melawan umat Islam. Bangsa Yahudi mampu menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan milisi berani mati demi merebut Tanah Palestina.
Tengoklah sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800 tahun (711-1492) memimpin negeri ini. Mengapa Kota Jerualem bisa diduduki Pasukan Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat peradabannya? Mengapa bangsa Mongol yang sangat biadab dan barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215? Bisa disimpulkan: “tamak dunia” adalah sumber utama kehancuran peradaban Islam saat itu.
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds, dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa, ulama, dan masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci J
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great Powers”, Paul Kennedy menutup dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”. Dalam buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran Amerika Serikat: Tahun 1985, utangnya sudah mencapai 1.823 milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD. Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan telah mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS. Dengan politik unilateralnya, ambisi kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar. Duit ditebar untuk menaklukkan negara-negara lain.
Tapi, bagaimana pun, untuk sementara ini, AS masih menjadi negara terkuat. Dalam kata-kata Paul Kennedy, “For all its economic and perhaps military decline, it remains, in Pierre Hassner’s world, “the decisive actor in every type of balance and issue… because it has so much power for good or evil.”
Nabi Muhammad saw menunjukkan sebuah rumus kehancuran peradaban, dalam satu sabda beliau: "Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit "al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud).
Umat Islam digambarkan oleh Rasulullah SAW, ketika itu jumlahnya banyak. Tapi, banyaknya tidak berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak pada sikap “hubbud-dunya”, penyakit tamak terhadap dunia. Kebangkitan dan kehinaan suatu umat atau bangsa adalah merupakan sunnatullah. Jika umat Islam tidak kembali kepada Islam, terjangkit penyakit hubbud-dunya, maka selamanya umat ini akan terus terhinakan. Pada saatnya nanti Allah akan memusnahkan umat seperti itu dan menggantikannya dengan umat atau generesi yang lain.
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agama Allah, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang Allah mencintai mereka, dan merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang kepada orang-orang mukmin, dan tidak menghinakan diri kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak takut pada celaan orang-orang yang suka mencela.” (QS al-Maidah:54)
Manusia-manusia yang “tamak dunia” tidak memiliki sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau berjihad di jalan Allah! Mereka hanya mementingkan syahwat dunia, mengejar dunia demi keuntungan dan kesenangan dirinya. “Tamak dunia” menjauhkan manusia dari sikap cinta pengorbanan yang menjadi salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau peradaban.
Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya, Limaadzaa Taa’kkharal Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama Ghairuhum menyebutkan, bagaimana besarnya sikap berkorban dari kaum Yahudi dan bangsa-bangsa Barat, sehingga mereka mampu mengalahkan kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20 tahun masih ada di kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi berperang melawan umat Islam. Bangsa Yahudi mampu menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan milisi berani mati demi merebut Tanah Palestina.
Tengoklah sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800 tahun (711-1492) memimpin negeri ini. Mengapa Kota Jerualem bisa diduduki Pasukan Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat peradabannya? Mengapa bangsa Mongol yang sangat biadab dan barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215? Bisa disimpulkan: “tamak dunia” adalah sumber utama kehancuran peradaban Islam saat itu.
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds, dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa, ulama, dan masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci J
erusalem di tangan pasukan salib. Penyakit tamak dunia merajalela, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di kalangan ulama. Umat Islam mengabaikan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Mereka membiarkan kemunkaran merajalela, karena sibuk memikirkan kejayaan dan keuntungan pribadi dan kelompoknya. Satu lagi, penyakit kronis ketika itu: umat Islam terjebak dalam perpecahan antar-mazhab yang sangat parah. Mereka tidak peduli dengan Islam, dan hanya sibuk memikirkan kejayaan kelompoknya dengan mencaci-maki kelompok lainnya.
Tokoh Islam, Mohammad Natsir, jauh-jauh sebelumnya pernah mengingatkan bahaya ”tamak dunia” yang sedang mengancam negara Indonesia. Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, Mohammad Natsir menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan hilangnya budaya cinta pengorbanan pada manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.”
Di tahun 1980-an, Natsir juga pernah berpesan kepada para sejumlah cendekiawan Muslim yang mewawancarainya: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia...Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”
Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan bahaya ”tamak dunia”. Sejarah sudah membuktikan. Kini, kita bisa menilai: apakah bangsa Indonesia – bangsa Muslim terbesar di dunia ini -- sedang menuju proses kebangkitan atau sedang menggali kuburnya sendiri? Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
Tokoh Islam, Mohammad Natsir, jauh-jauh sebelumnya pernah mengingatkan bahaya ”tamak dunia” yang sedang mengancam negara Indonesia. Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, Mohammad Natsir menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan hilangnya budaya cinta pengorbanan pada manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.”
Di tahun 1980-an, Natsir juga pernah berpesan kepada para sejumlah cendekiawan Muslim yang mewawancarainya: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia...Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”
Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan bahaya ”tamak dunia”. Sejarah sudah membuktikan. Kini, kita bisa menilai: apakah bangsa Indonesia – bangsa Muslim terbesar di dunia ini -- sedang menuju proses kebangkitan atau sedang menggali kuburnya sendiri? Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
-INOVASI Learning Kit-Contains:
-A book for kids to learn JuzAmma...
Juz Amma with meanings in Engllish and Indonesia
-A dictionary for kids to learn English Arabic Indonesia English with spelling...
-7 flip cards of dictionary
Equipped with Video Pen optic reader
Equipped with Augmented Reality application.
All in one package
Harga Rp. 1.700.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
-A book for kids to learn JuzAmma...
Juz Amma with meanings in Engllish and Indonesia
-A dictionary for kids to learn English Arabic Indonesia English with spelling...
-7 flip cards of dictionary
Equipped with Video Pen optic reader
Equipped with Augmented Reality application.
All in one package
Harga Rp. 1.700.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...