Salafy Purwakarta
2.18K subscribers
2.22K photos
44 videos
39 files
3.46K links
Info Ma'had Purwakarta
Menyajikan Artikel, Poster dan Audio Kajian Salafy di Purwakarta - Jawa Barat

Pembina :
al-Ustadz Hamzah Bajry
al-Ustadz Mahmud Barjib
al-Ustadz Idris
Hafidzahumullah Jami'an
Download Telegram
📃🍚🌺🌅 PENJELASAN RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITRAH (Bagian 01)

✍🏻 Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Su'aidi. Lc

Zakat Fitrah Pensuci Jiwa

Zakat Fitri, atau yang lazim disebut zakat fitrah, sudah jamak diketahui sebagai penutup rangkaian ibadah bulan Ramadhan. Bisa jadi sudah banyak pembahasan seputar hal ini yang tersuguh untuk kaum muslimin. Namun tidak ada salahnya jika diulas kembali dengan dilengkapi dalil-dalilnya.

Telah menjadi kewajiban atas kaum muslimin untuk mengetahui hukum-hukum seputar zakat fitrah. Ini dikarenakan Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan atas mereka untuk menunaikannya usai melakukan kewajiban puasa Ramadhan. Tanpa mempelajari hukum-hukumnya, maka pelaksanaan syariat ini tidak akan sempurna. Sebaliknya, dengan mempelajarinya maka akan sempurna realisasi dari syariat tersebut.

Hikmah Zakat Fitrah

Dari Ibnu Abbas , ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabul Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no. 1609 Ibnu Majah: 2/395 K. Zakat Bab Shadaqah Fitri: 21 no: 1827 dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Mengapa disebut Zakat Fitrah?

Sebutan yang populer di kalangan masyarakat kita adalah zakat fitrah. Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa (Fathul Bari, 3/367). Semakna dengan itu Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi menjelaskan bahwa ucapan para ulama “wajib fitrah” maksudnya wajib zakat fitrah. (Al-Mishbahul Munir: 476)

Namun yang lebih populer di kalangan para ulama –wallahu a’lam– disebut  zakat fithri atau  shadaqah fithri. Kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada sebab musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat. (Lihat Fathul Bari, 3/367)

Bersambung ke bagian 2

📚 Sumber Majalah Asy Syariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎
BOLEHKAH SESEORANG MEMBERITAHU ORANG LAIN JIKA DIA MELIHAT LAILATUL QADAR?
••••

🎙️Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah


Pertanyaan:
Bolehkah mengabarkan malam Lailatul Qadar jika seseorang melihatnya di waktu yang sama?

Jawaban:
Hal ini tidak ada yang mengetahuinya, malam Lailatul Qadar tidak ditampakkan oleh Allah Azza wa Jalla dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya, tujuannya agar manusia semangat beribadah sebulan penuh.

Tetapi terkadang sebagian orang ada yang melihat tanda-tanda, terkadang dia melihat tanda-tanda pada sebagian malam, dan ini merupakan tanda-tanda yang sifatnya dugaan, bukan bersifat yakin, Allah yang lebih mengetahuinya.

Maka jangan mengabarkannya kepada orang lain karena itu sifatnya tidak meyakinkan, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menampakkan malam Lailatul Qadar, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa mengetahuinya.

Namun seorang muslim hendaknya bersemangat di semua malam, terlebih lagi di sepuluh malam terakhir, karena malam Lailatul Qadar terjadi di bulan Ramadhan, dan pada sepuluh malam terakhir lebih besar harapan terjadinya, dan dahulu Nabi ﷺ berusaha meraihnya di sepuluh malam terakhir, dan di sepuluh malam terakhir beliau meningkatkan tahajud dan ibadah lebih banyak dari selainnya, dan beliau melakukan i'tikaf di sepuluh malam terakhir dengan tujuan untuk meraih malam Lailatul Qadar.

Adapun pengakuan bahwa seseorang mengetahui malam Lailatul Qadar di sebuah malam, yang seperti ini tidak benar.


🪩 Sumber: https://youtu.be/djmT5sZY9WI?si=aHXOOdMeFoG1zaS2

https://t.me/salafysolo
📃🍚🌺🌅 PENJELASAN RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITRAH (Bagian 02)

✍🏼 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Su'aidi. Lc

Hukum Zakat Fitrah

Pendapat yang terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnul Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya fitrah, walaupun tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah.
Dasar mereka adalah hadits Nabi:

Dari Ibnu Umar  ia mengatakan: “Rasulullah  menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no. 1503 dan ini lafadznya. Diriwayat-kan juga oleh Muslim). Dalam lafadz Al-Bukhari yang lain:

“Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no. 1507)

Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bagi kita bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib. Dalam hal ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjur-kan). Adapula yang berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah amal kebaikan, yang dahulu diwajibkan namun kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat ini lemah karena hadits yang mereka pakai sebagai dasar lemah menurut Ibnu Hajar. Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula pendapat yang sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul Bari, 3/368, dan Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82)

Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah?

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (Al-Fath, 3/369; lihat At-Tamhid, 14/326-328, 335-336). Nafi’ mengatakan:

“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77, no. 1511, Al-Fath, 3/375). Demikian pula budak hamba sahaya diwakili oleh tuannya. (Al-Fath, 3/369)

Bersambung ke bagian 3

📚 Sumber Majalah Asy Syariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎
🌙  AMALAN 80 TAHUNAN LEBIH, DICAPAI HANYA DENGAN SEMALAM

▫️▫️▫️

Allah تعالـــــﮯ Berfirman,

﴿لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ﴾

"Malam Lailatul Qadr itu lebih baik daripada seribu bulan."

(QS. Al-Qadr : 3)



As-Sa'di rahimahullah mengatakan,

أي: تعادل من فضلها ألف شهر، فالعمل الذي يقع فيها، خير من العمل في ألف شهر [خالية منها]،

"Maksudnya keutamaan malam itu menyamai kurun waktu 1000 bulan.

Amal shalih yang dilakukan pada malam itu, lebih baik dari amalan yang dilakukan pada masa 1000 bulan yang kosong dari malam lailatul Qadr.

وهذا مما تتحير فيه الألباب، وتندهش له العقول، حيث من تبارك وتعالى على هذه الأمة الضعيفة القوة والقوى، بليلة يكون العمل فيها يقابل ويزيد على ألف شهر، عمر رجل معمر عمرًا طويلًا، نيفًا وثمانين سنة.

Dan ini sebuah perkara yang membuat fikiran terheran-heran, dan akal-akal menjadi tercengang.

Dimana Allah memberikan keutamaan untuk umat yang lemah kekuatannya, dengan sebuah malam yang amalan shalih pada saat itu menyamai dan melebihi masa 1000 bulan, yaitu umur seseorang yang diberi umur panjang sekitar 80 tahun lebih (sekitar 81-83 tahunan)."

🔖 [Taisîr al-Karîmir Rahmân : QS. Al-Qadr]

Tak terasa malam nanti sudah masuk malam 25 Ramadhan.

Artinya, bulan Ramadhan tinggal 1/3 bagian, dan malam-malam yang tersisa adalah kesempatan emas yang berharga.

Berjuanglah dan semangatlah untuk memenuhi waktu-waktu yang tersisa dengan berbagai amalan shalih dan ketaatan, baik itu tilawatul quran, dzikir, shalat, do'a, taubat, sedekah dan lain sebagainya.

Dan carilah lailatul Qadr di 10 malam terakhir ini, barangkali Ini adalah Ramadhan terakhir anda.

Sudah berapa teman dekat kita yang Ramadhan tahun kemaren beribadah bersama, sekarang sudah tiada.

و بالله التوفيق...

✏️ Al-Ustadz Abu Sufyan حفظـہ اللـہ

▫️▫️▫️
#lailatuqadr
© 𝐆𝐚𝐛𝐮𝐧𝐠 𝐂𝐡𝐚𝐧𝐧𝐞𝐥
📱 http://t.me/ponpes_assunnah_batu
📱 http://bit.ly/Channel_WA_PonpesAssunnahBatu
🖼️ POSTER FAEDAH DAN PENANGGALAN HARI INI

🔰PERSIAPKAN DIRI UNTUK KEMATIAN

📄Selasa, 25 Ramadhan 1446 H / 25 Maret 2025

#jenazah #kematian
#rahmat #hari
#keranda

==============================
📥 Bergabung untuk faidah lainnya :
https://t.me/salafypurwakarta
📃🍚🌺🌅 PENJELASAN RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITRAH (Bagian 03)

✍🏼 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Su'aidi. Lc

Apakah selain Muslim terkena Kewajiban Zakat?

Sebagai contoh seorang anak yang kafir, apakah ayahnya (yang muslim) berkewajiban mengeluarkan zakatnya?
Jawabnya: Tidak. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan catatan di akhir hadits bahwa kewajiban itu berlaku bagi kalangan muslimin (dari kalangan muslimin). Walaupun dalam hal ini ada pula yang berpendapat tetap dikeluarkan zakatnya. Namun pendapat tersebut tidak kuat, karena tidak sesuai dengan dzahir hadits Nabi.

Apakah Janin Wajib Dizakati?

Jawabnya: tidak. Karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat tersebut kepada  (anak kecil), sedangkan janin tidak disebut  (anak kecil) baik dari sisi bahasa maupun adat. Bahkan Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ tentang tidak diwajib-kannya zakat fitrah atas janin. Walaupun sebetulnya ada juga yang berpendapat wajibnya atas janin, yaitu sebagian riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm dengan catatan –menurutnya– janin sudah berumur 120 hari. Pendapat lain dari Al-Imam Ahmad adalah sunnah. Namun dua pendapat terakhir ini lemah, karena tidak sesuai dengan hadits di atas.

Wajibkah bagi Orang yang Tidak Mampu?

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa: “Bila kewajiban itu melekat ketika ia mampu melaksanakannya kemudian setelah itu ia tidak mampu, maka kewajiban tersebut tidak gugur darinya. Dan tidak menjadi kewajibannya (yakni gugur) jika ia tidak mampu semenjak kewajiban itu mengenainya.”
(Badai’ul Fawaid, 4/33)

Adapun kriteria tidak mampu dalam hal ini, maka Asy-Syaukani menjelaskan: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanan pokoknya untuk malam hari raya dan siangnya, maka tidak berkewajiban membayar fitrah. Apabila ia memiliki sisa dari makanan pokok hari itu, ia harus mengeluarkannya bila sisa itu mencapai ukurannya (zakat fitrah).”
(Ad-Darari, 1/365, Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/553, lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/369)

Bersambung ke bagian 4

📚 Sumber Majalah Asy Syariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎
📃🍚🌺🌅 PENJELASAN RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITRAH (Bagian 04)

✍🏻 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Su'aidi. Lc

Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah dikeluarkan?

Hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang lalu. Dan lebih jelas lagi dengan riwayat berikut:

“Dari Abu Sa’id , ia berkata: ‘Kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum, ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat no. 1508 dan 1506, dengan Bab Zakat Fitrah 1 sha’ dengan makanan. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2280)

Kata (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:

“Ia mengatakan: ‘Kami mengeluarkan-nya (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah  pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id mengatakan lagi: ‘Dan makanan kami saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, dan kurma’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Qablal Id, Al-Fath, 3/375 no. 1510)

Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.

Inilah pendapat yang kuat yang dipilih oleh mayoritas para ulama. Di antaranya Malik (At-Tamhid, 4/138), Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, 25/69), Ibnul Mundzir (Al-Fath, 3/373), Ibnul Qayyim (I’lamul Muwaqqi’in, 2/21, 3/23, Taqrib li Fiqhi Ibnil Qayyim hal. 234), Ibnu Baz dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/365, Fatawa Ramadhan, 2/914)

Juga ada pendapat lain yaitu zakat fitrah diwujudkan hanya dalam bentuk makanan yang disebutkan dalam hadits Nabi. Ini adalah salah satu pendapat Al-Imam Ahmad. Namun pendapat ini lemah. (Majmu’ Fatawa, 25/68)

Bersambung ke bagian 5

📚 Sumber Majalah Asy Syariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎
📃🍚🌺🌅 PENJELASAN RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITRAH (Bagian 05)

✍🏻 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Su'aidi. Lc

● Bolehkah Mengeluarkannya dalam Bentuk Uang?

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.

● Pendapat pertama: Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluar-kan, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits. An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401)

Abu Dawud mengatakan: “Aku mendengar Al-Imam Ahmad ditanya:

Bolehkah saya memberi uang dirham -yakni dalam zakat fitrah-?’ Beliau menjawab: ‘Saya khawatir tidak sah, menyelisihi Sunnah Rasulullah’.”

Ibnu Qudamah mengatakan:

“Yang tampak dari madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat.” (Al-Mughni, 4/295)

Pendapat ini pula yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (lihat Fatawa Ramadhan, 2/918-928)

● Pendapat kedua: Boleh mengeluar-kannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib dia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295, Al-Majmu’, 5/402, Badai’ush-Shanai’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379)

Pendapat pertama itulah yang kuat. Atas dasar itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki.

Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras –misalnya– untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara dalam bentuk beras, bukan uang.

Namun sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya.

Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380)

Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82-83): “Yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh …. Karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan… Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa….”

Pendapat ini dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 379-380)
Yang perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggam-pangkan masalah ini.

Bersambung ke bagian 6

📚 Sumber Majalah Asy Syariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎
🖼️ POSTER FAEDAH DAN PENANGGALAN HARI INI

🔰ANTARA DUNIA DAN AKHIRAT

📄Rabu, 26 Ramadhan 1446 H / 26 Maret 2025

#dunia #akhirat
#jari #laut

==============================
📥 Bergabung untuk faidah lainnya :
https://t.me/salafypurwakarta
📃🍚🌺🌅 PENJELASAN RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITRAH (Bagian 06)

✍🏼 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Su'aidi.Lc

Ukuran yang Dikeluarkan?

Dari hadits-hadits yang lalu jelas sekali bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha’. Tapi, berapa 1 sha’ itu?
Satu sha’ sama dengan  4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.
Berapa bila diukur dengan kilogram (kg)? Tentu yang demikian ini tidak bisa tepat dan hanya bisa diukur dengan perkiraan. Oleh karenanya para ulama sekarangpun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram.

Dewan Fatwa Saudi Arabia atau Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi dan anggotanya Abdullah bin Ghudayyan memperkirakan 3 kg. (Fatawa Al-Lajnah, 9/371)

Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429)

Tentang Al-Bur atau Al-Hinthah

Ada perbedaan pendapat tentang ukuran yang dikeluarkan dari jenis hinthah (salah satu jenis gandum). Sebagian shaha-bat berpendapat tetap 1 sha’, sementara yang lain berpendapat ½ sha’.
Nampaknya pendapat kedua itu yang lebih kuat berdasarkan riwayat:

“Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Asma’ binti Abu Bakar dahulu di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dia mengeluarkan (zakat) untuk keluarganya yang merdeka atau yang sahaya dua mud hinthah atau satu sha’ kurma dengan ukuran mud atau sha’ yang mereka pakai untuk jual beli.” (Shahih, HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 2871, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Sanadnya shahih, sesuai syarat Al-Bukhari dan Mus-lim.” Lihat Tamamul Minnah hal.  387). Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan di masa sekarang Al-Albani.

Bersambung ke bagian 7

📚 Sumber Majalah Asy Syariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎
📢🌖🕌💎 BERSUNGGUH-SUNGGUH PADA MALAM KEDUA PULUH TUJUH

✍🏻 Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhumaa berkata,

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ

Ada seseorang mendatangi Nabi shallallahu'alaihi wa sallam seraya berkata,

يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلِيلٌ يَشُقُّ عَلَيَّ الْقِيَامُ فَأْمُرْنِي بِلَيْلَةٍ لَعَلَّ اللَّهَ يُوَفِّقُنِي فِيهَا لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ

Wahai Nabiyullah, sungguh, aku adalah seorang yang tua renta dan memiliki penyakit. Berat bagiku untuk melakukan shalat malam. Oleh karena itu, perintahkanlah kepadaku dengan satu malam, yang mudah-mudahan pada malam tersebut, Allah memberiku taufik untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar.

قَالَ عَلَيْكَ بِالسَّابِعَةِ

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, "Bersungguh-sungguhlah (beribadah) pada malam yang kedua puluh tujuh (malam ketujuh dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan)."

📚 HR. Ahmad no. 2149. Hadits ini dinilai, "Shahih sesuai syarat Imam al-Bukhari," oleh Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i rahimahullah dalam ash-Shahih al-Musnad mimmaa Laisa fi ash-Shahihain no. 663 jilid 1 hlm. 547

🌎 Kunjungi || https://forumsalafy.net/bersungguh-sungguh-pada-malam-kedua-puluh-tujuh/

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎
📃🍚🌺🌅 PENJELASAN RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITRAH (Bagian 07)

✍🏼 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Su'aidi, Lc

Waktu Mengeluarkannya?

Menurut sebagian ulama bahwa jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan selesainya bulan Ramadhan. Namun Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah itu sebelum shalat sebagaimana dalam hadits yang lalu.

“Dan Nabi memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”

Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk mencukupi mereka di hari itu. Namun demikian, syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat, di mana pelaksanaannya kepada amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut ini:

Dulu Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya. Dan dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77 no. 1511 Al-Fath, 3/375).

Dalam riwayat Malik dari Nafi’: “Bahwasanya Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” (Al-Muwaththa, Kitabuz Zakat Bab Waqtu Irsal Zakatil Fithri, 1/285. Lihat pula Al-Irwa no. 846)
Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar, karena demikian-lah praktek para shahabat.

Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fitrah Setelah Shalat Id?

Hal ini telah dijelaskan oleh hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:

Dari Ibnu Abbas ia mengatakan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (Id) maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu hanya sekedar sedekah dari sedekah-sedekah yang ada.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabuz Zakat Bab Zakatul Fithr, 17 no. 1609, Ibnu Majah, 2/395 Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Fithri, 21 no. 1827, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)

Ibnul Qayyim mengatakan: “Konsekuensi dari dua 2 hadits tersebut adalah tidak boleh menunda penunaian zakat sampai setelah Shalat Id; dan bahwa kewajiban zakat itu gugur dengan selesainya shalat. Inilah pendapat yang benar karena tiada yang menentang dua hadits ini dan tidak ada pula yang menghapus serta tidak ada ijma’ yang menghalangi untuk berpendapat dengan kandungan 2 hadits itu. Dan dahulu guru kami (Ibnu Taimiyyah) menguatkan pendapat ini serta membelanya.” (Zadul Ma’ad, 2/21).

Atas dasar itu, maka jangan sampai zakat fitrah diserahkan ke tangan fakir setelah Shalat Id, kecuali bila si fakir mewakil-kan kepada yang lain untuk menerimanya.

Bersambung ke bagian 8

📚 Sumber Majalah Asy Syariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎
🖼️ POSTER FAEDAH DAN PENANGGALAN HARI INI

🔰JANGAN PESIMIS KAWAN

📄Kamis, 27 Ramadhan 1446 H / 27 Maret 2025

#pesimis #kawan
#doa #dosa


==============================
📥 Bergabung untuk faidah lainnya :
https://t.me/salafypurwakarta
📃🍚🌺🌅 PENJELASAN RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITRAH (Bagian 08)

✍🏼 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Su'aidy, Lc

Sasaran Zakat Fitrah?

Yang kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara khusus.
Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).

Dari dua pendapat yang ada, nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits Nabi yang lalu dari Ibnu Abbas ia mengatakan:

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin.”

Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani dalam bukunya As-Sailul Jarrar dan di zaman ini Asy Syaikh Al-Albani, dan difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.

Ibnul Qayyim mengatakan:

Di antara petunjuk beliau shalallahu ''alaihi wasallam, zakat ini dikhususkan bagi orang-orang miskin dan tidak membagi-kannya kepada 8 golongan secomot-secomot. Beliau tidak pula memerintahkan untuk itu serta tidak seorangpun dari kalangan shahabat yang melakukannya. Demikian pula orang-orang yang setelah mereka.” (Zadul Ma’ad, 2/21, lihat pula Majmu’ Fatawa, 25/75, Tamamul Minnah, hal. 387, As-Sailul Jarrar, 2/86, Fatawa Ramadhan, 2/936)

Atas dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan zakat fitrah untuk pemba-ngunan masjid, sekolah, atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/369).

Definisi Fakir

Para ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing punya pengertian tersendiri. Pemba-hasan masalah ini cukup panjang dan mem-butuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara ringkas pendapat yang nampaknya lebih kuat:

Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat.

Di antaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan jumhur sebagai-mana dalam Fathul Bari. (Dinukil dari Imdadul Qari, 1/236-237).
Di antara alasannya adalah karena Allah subhanahu wa ta’ala  lebih dahulu menyebut fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat…”

Tentu Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dari yang terpenting. Juga dalam surat Al-Kahfi: 79, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…”.

Allah subhanahu wa ta’ala menyebut mereka miskin padahal mereka memiliki kapal. Jadi baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin.

✍🏼 Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya (341):

“Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.”

Bersambung ke bagian 9

📚 Sumber Majalah Asy Syariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎
🔭🌕🇮🇩 SIDANG ISBAT PENETAPAN AWAL SYAWAL 1446H

Pemerintah Republik Indonesia Melalui Kementrian Agama, akan Mengadakan sidang Isbat untuk menetapkan awal Syawal 1446H pada hari Sabtu 29 Maret 2025M

🌏 Sumber || https://shorturl.at/tsQvZ

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/forumsalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎
📃🍚🌺🌅 PENJELASAN RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITRAH (Bagian 09)

✍🏼 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Su'aidyi, Lc

Berapakah yang Diberikan kepada Mereka?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan (hal. 341):

“Maka mereka diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan kemiskinan mereka.”

Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:

“Pendapat yang paling lemah adalah pendapat yang mengatakan wajib atas setiap muslim untuk membayarkan zakat fitrahnya kepada 12, 18, 24, 32, atau 28 orang, atau semacam itu. Karena ini menyelisihi apa yang dilakukan kaum muslimin dahulu di zaman Rasulullah shalallahu ''alaihi wa sallam, para khalifahnya, serta seluruh shahabatnya. Tidak seorang muslimpun melakukan yang demikian di masa mereka. Bahkan dahulu setiap muslim membayar fitrahnya sendiri dan fitrah keluarganya kepada satu orang muslim.

Seandainya mereka melihat ada yang membagi satu sha’ untuk sekian belas jiwa di mana setiap orang diberi satu genggam, tentu mereka mengingkari itu dengan sekeras-kerasnya. Karena Nabi shalallahu alaihi wasallam menentukan kadar yang diperintahkan yaitu satu sha’ kurma, gandum, atau dari bur ½ atau 1 sha’, sesuai kadar yang cukup untuk satu orang miskin. Dan beliau jadikan ini sebagai makanan mereka di hari raya, yang mereka tercukupi dengan itu. Jika satu orang hanya memperoleh satu genggam, maka ia tidak mendapatkan manfaat dan tidak selaras dengan tujuannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/73-74)

Bersambung ke bagian 10

📚 Sumber  Majalah Asy Syariah  http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎
🌅🌺🌔 MENELADANI NABI DALAM BERIEDUL FITRI (Bagian 1)

✍🏻 Ditulis Oleh: Al Ustadz Qamar Su'aidy Lc hafizhahullah

Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan.

Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam “memaknainya”.

Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu. Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.

Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.

Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai menidngkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.

Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan.

Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah

Bersambung Ke bagian 2

📚 Sumber Majalah Asy Syariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎
🖼️ POSTER FAEDAH DAN PENANGGALAN HARI INI

🔰YAKINLAH DOAMU AKAN TERKABUL

📄Jum'at, 28 Ramadhan 1446 H / 28 Maret 2025

#yakin #doa
#terkabul #hati
#lalai

==============================
📥 Bergabung untuk faidah lainnya :
https://t.me/salafypurwakarta
📃🍚🌺🌅 PENJELASAN RINGKAS SEPUTAR ZAKAT FITRAH (Bagian 10)

✍🏻 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qomar Su'aidy, Lc

Bagaimana Hukum Mendirikan Semacam Badan Amil Zakat?

Telah diajukan sebuah pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Daimah tentang sebuah organisasi yang bernama Jum’iyyatul Bir di Jeddah, Saudi Arabia yang mengelola anak yatim dan bantuan kepada keluarga yang membutuhkan, menerima zakat dan menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Al-Lajnah Ad-Daimah menjawab:

“Organisasi tersebut wajib untuk menyalurkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak sebelum diselenggarakan Shalat Id, tidak boleh menundanya dari waktu itu. Karena Nabi memerintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Organisasi itu kedudukannya sebagai wakil dari muzakki (pemberi zakat), dan organisasi tersebut tidak diperkenankan untuk menerima zakat fitrah kecuali seukuran yang ia mampu untuk menyalurkannya kepada orang-orang fakir sebelum Shalat Id. Dan tidak boleh pula membayar zakat fitrah dalam bentuk uang karena dalil-dalil syar’i menunjukkan wajibnya mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk makanan, juga tidak boleh berpaling dari dalil syar’i kepada pendapat seseorang manusia.
Apabila muzakki membayarkan kepada organisasi itu dalam bentuk uang untuk dibelikan makanan untuk orang-orang fakir, maka itu wajib dilaksanakan sebelum Shalat Id dan tidak boleh bagi organisasi itu untuk mengeluarkannya dalam bentuk uang.” (Fatawa Al-Lajnah, 9/379, ditandatangani Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. Lihat pula 9/389)

Akan tetapi pada asalnya zakat fitrah langsung diberikan oleh muzakki kepada yang berhak. (Fatawa Lajnah, 9/389)

Bila ia memberikannya kepada badan amil zakat maka harus diperhatikan minimalnya dua hal:

● 1. Mereka benar-benar orang yang mengetahui hukum sehingga tahu seluk-beluk hukum zakat dan yang berhak menerimanya.

● 2. Mereka adalah orang yang amanah, benar-benar menyampaikannya kepada yang berhak, sesuai dengan aturan syar’i.

Hal ini kami tegaskan karena di masa ini banyak orang yang tidak tahu hukum, lebih-lebih tidak sedikit yang tidak amanah. Ada yang mengambilnya tanpa hak dan ada yang menyalurkannya tidak tepat sasaran. Justru zakat itu dikembangkan atau untuk kesejahteraan organisasi/partainya. Atau terkadang dia menundanya, yang berarti menunda pemberian kepada orang yang sangat membutuhkan, walaupun terkadang melegitimasi perbuatan mereka dengan alasan-alasan ‘syar’i’ yang dibuat-buat.

Bersambung ke Bagian 11

📚 Sumber Majalah Asysyariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/forumsalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎
🌅🌺🌔 MENELADANI NABI DALAM BERIEDUL FITRI (Bagian 2)

✍🏼 Ditulis Oleh: Al Ustadz Qamar Su'aidy Lc hafizhahullah

Definisi Id (Hari Raya)

Ibnul A’rabi mengatakan:
“Id (kembali) dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)

Ibnu Taimiyyah berkata:
“Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.”

(dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya.

~ Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berkata:

“Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.”

~ Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.”

(Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Hukum Shalat Id

✍🏼 Ibnu Rajab berkata:

“Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:

● Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.

● Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.

● Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Al-Imam Asy-Syafi’i (sendiri) menga-takan dalam (buku) Mukhtashar Al-Muzani:

“Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.”

(Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)

Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:

Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan:
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam  memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin.

Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?”
Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.”

(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)

Perhatikanlah perintah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.

Shiddiq Hasan Khan berkata:
“Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.”

(Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)

Bersambung Ke bagian 3

📚 Sumber Majalah Asy Syariah http://asysyariah.com

WhatsApp Salafy Indonesia
Channel Telegram || http://telegram.me/ForumSalafy

💎💎💎💎💎💎💎💎💎