MUSTANIR ONLINE
3.22K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
DESAKRALISASI TEKS
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Jika banyak orang melihat sekularisme sebagai suatu aliran pemikiran di Barat, al-Attas dengan tajam dan jeli menyimpulkan bahwa itu adalah program filsafat. Program itu oleh Weber disarikan menjadi tiga elemen utama: Pengosongan alam dari nilai (Disenchantment of nature), Penafian nilai (Deconsecration of value), dan Desakralisasi politik (desacralization of politic).

Inti dari ketiga elemen ini adalah desakralisasi segala sesuatu. Artinya tidak ada yang suci dan tidak perlu ada yang disucikan di dunia ini, termasuk segala aspek dalam agama.

Ketika ide desakralisasi itu masuk dalam wacana pemikiran Islam, yang pertama menjadi sasaran adalah teks al-Qur’an. Alasannya “pensakralan teks” itu menyebabkan umat terkungkung dalam lingkup (boundary) yang sempit dan kadang-kadang sulit untuk keluar dari lingkup tersebut.

Konon ini merujuk kepada kata-kata Muhammad Al-Ghazzali dalam bukunya Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’an. Tapi sebenarnya maksud al-Ghazzali itu diplintir untuk sebuah kepentingan. Dan apa yang dimaksud sakralisasi teks pun tidak jelas.

Wacana ini sebenarnya merupakan rajutan antara realitas pemikiran Islam dan postmodernisme. Suatu asimilasi yang lucu dan menyesatkan, sebab Islam berangkat dari yang absolute (Wahyu/Allah), melalui jalan metafisika yang jelas sedangkan Postmodernisme berangkat dari penafian yang absolute dan penolakan metafisika.

Cikal bakal Postmodernisme dapat dilacak dari doktrin nihilisme-nya Nietsche atau Heiddeger yang melahirkan statement “God is dead”. Konsekuensi logisnya adalah bahwa God was no longer Supreme Being, but collective reason, God exist within human intelligence. (Alain Finkielkraut, 1995).

Maka dari itu menurutnya ketika metafisik mencapai kebenaran yang dianggap sebagai dari Tuhan (absolute) sebenarnya tidak lain hanyalah sesuatu yang sobyektif yang boleh jadi salah seperti mana suatu pendapat atau kepercayaan. “Kalau kita menolak kesalahan maka kita juga harus menolak kebenaran” kata Nietsche.

Ide nihilisme ini kemudian berkembang menjadi apa yang disebut “Philosophy of Difference”. Doktrinnya: Perbedaan antara benar dan salah, rasional dan irrasional harus dipisahkan dari bahasa atau konsep, artinya semua apa yang kita alami tidak lain hanyalah “Penafsiran”.

Segala sesuatu yang berbeda-beda di dunia ini selalu dapat “ditafsirkan” kedalam terma-terma yang dihasilkan oleh nilai-nilai sobjektif dalam diri kita. Ringkasnya, ide ini berkembang menjadi apa yang disebut sekarang dengan “Hermeneutic” (Filsafat Tafsir). Nihilisme dan Hermeneutic tidak jauh berbeda karena keduanya menawarkan konsep relativitas.

Ernest Gelner penulis Buku Postmodernism, Reason and Religion, mengatakan ciri-ciri Postmodernisme dapat diketahui dari statement bahwa: “Segala sesuatu adalah teks, materi dasar teks, termasuk masyarakat atau apapun juga, adalah arti, dan arti-arti itu harus didekonstruksikan, pernyataan tentang realitas objektif harus diragukan.”

Arti dekonstruksi yang dimaksud Derrida adalah bahwa dalam mendekati suatu teks kita harus skeptis dan maksud penulis teks tidak perlu diutamakan, yang ada hanyalah kesempatan untuk menafsirkan atau mengomentari teks secara tanpa ada batasan. Ide ini tidak saja cocok dengan doktrin relativisme tapi yang penting adalah Penolakan Kebenaran Transendental (termasuk disini adalah kebenaran adanya Tuhan).

Atas dasar latar belakang doktrin-doktrin Postmodernisme itulah kalangan liberal mencoba manawarkan dekonstruksi tafsir Jihad. Tapi sebelum menerapkan doktrin Postmodernisme ini kedalam Islam, terlebih dahulu Muslim liberal menggiring kita kepada konklusi tentang perlunya menerapkan doktrin dekonstruksi Derrida dengan mengenalkan kita pada premis-premis yang cukup mengejutkan:

Bahwasannya umat Islam seringkali mempraktekkan Jihad sebagai perang suci (Holy War) atas nama agama dan Tuhan.
Bahwa studi hukum Islam menampilkan sikap kejam sehingga berakibat pada sakralisasi teks. Hukum Islam dulunya adalah relatif, kini diperlakukan sebagai sakral dan absolute.
Kedua premis sering kita dengar kelu
ar dari mulut orientalis. Perang atas nama Agama seakan-akan dianggap sebagai naive dan sektarian, padahal dari dulu sampai kapanpun perang dalam Islam harus atas nama Agama dan Tuhan atau berdasarkan perintah Tuhan.

Istilah Holy War itu yang paling ditakuti Barat sehingga melahirkan cap kejam pada Islam, image bahwa Islam identik dengan perang suci, fundamentalis, terorisme, kekerasan dan lain-lain.

Sebagai seorang Mukmin sebaiknya kita memahami Qital atau Jihad al-Asghar seperti apa yang dipraktekkan Nabi. Itulah perintah-perintah yang ada. Perang-perang yang dipraktekkan Rasulullah bukanlah semata-mata dilihat dari nilai historis belaka, tapi adalah aplikasi suatu ketaatan pada teks (wahyu) yang absolut. Meskipun tidak menafikan bahwa jihad intelektual memiliki maqam yang lebih tinggi.

Jadi menurut pendapat penulis premis-premis diatas sudah tidak benar, bagaimana dapat dipakai untuk menggiring kepada perlunya menggunakan doktrin dekonstruksinya Derrida ?

Selanjutnya, apabila jalan keluar yang ditawarkan adalah dekonstruksi tafsir Jihad, maka al-Qur’an diletakkan sebagai teks yang harus diragukan atau dipertanyakan. Tidak peduli bagaimana sejarah teks tersebut dan bagaimana otentisitasnya.

Cara lain untuk meragukan teks adalah dengan menganggap al-Qur’an sebagai representasi kalam Tuhan melalui bahasa Arab dan akal pikiran Nabi. Representasi kalam Tuhan berarti bukan kalam Tuhan yang sesungguhnya. Al-Qur’an dianggap sebagai sabda Nabi berdasarkan kreatifitas dan akal pikiran beliau.

Apalagi jikalau teks itu dianggap representasi berarti apa yang menjadi objek bukanlah al-Qur’an, sebab representasi bukanlah presentasi (kehadiran) dan al-Qur’an tidak dapat dianggap sebagai representasi, karena ia adalah presentasi. Disini orang-orang liberal salah paham terhadap makna teks dalam konsep Derrida.

Dengan mengikuti doktrin Postmodernisme kaum liberal menjadikan al-Qur’an sebagai open text dan dapat ditafsirkan oleh siapa saja tanpa batasan. Dalam perkataan mereka yang tidak bertanggung jawab, “Tafsir ayat al-Qur’an adalah sebanyak kepala manusia di dunia”.

Padahal para ulama tafsir yang telah memenuhi persyaratan keilmuan yang cukup untuk menafsirkan hingga kini tidak sampai menghasilkan seratus kitab tafsir. Apalagi seribu, sejuta atau semilyar tafsir.

Memang dalam doktrin postmodernisme yang relativistik dan nihilistik otoritas dihapuskan, dan maksud asli suatu teks (maqasad al-nash) dihilangkan tidak perlu diutamakan. Untuk itu maka semua makna harus dibongkar dimaknai ulang.

Jika ini terjadi pada al-Qur’an maka siapa yang akan menjadi penafsirnya. Kalau semua orang boleh menafsirkan, tanpa sumber otoritas, lalu apa gunanya Nabi dan Ulama sebagai pewarisnya?, Padahal struktur ilmu pengetahuan Islam dan otoritas penafsiran teks ada pada Nabi dan para ulama (al-rasikhun fii al-ilmi), baik ulama klasik atau kontemporer. Karena itu sakralitas teks adalah suatu kemestian dan sekularisasi atau merelativekan teks adalah suatu kerancuan.

Kalau Foucaoult mengatakan “tidak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan” sebenarnya dapat diislamkan dengan “tidak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan Tuhan”, “tidak ada pengetahuan yang bebas dari nilai”.

Bagi seorang muslim kepentingan dalam pengetahuan adalah ibadah. Adapun kalau ada individu-individu yang jauh dari al-haq lalu membelokkan pengetahuan untuk kepentingan tertentu, itu terlepas dari ilmu pengetahuan Islam. Tapi kalau kepentingan adalah masalah besar, bukankah postmodernisme sendiri bias dengan kepentingan?

Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa konsep jihad dapat ditafsirkan dengan orientasi keadilan dan kebenaran. Caranya adalah dengan memahami teks itu sendiri sesuai dengan maknanya yang benar.

Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya/proporsinya. Kita tidak bisa meletakkan sesuatu pada tempatnya jika kita tidak tahu ilmu tentang sesuatu itu dan bagaimana meletakkan sesuatu secara benar dan tepat. kita tidak akan dapat mengorientasikan “Jihad Intelektual” kepada kebenaran kalau kita tidak mengetahui ilmu untuk menuju kebenaran itu.

Kalau ingin mem
bawa tafsir jihad supaya lebih toleran, pertanyaannya adalah apa dasar toleransi itu? karena kepentingan nasional, kepentingan kerukunan beragama, kepentingan keselamatan masyarakat atau apa?

Benar jihad intelektual lebih mulia ketimbang jihad fisikal, tapi perlu diingat bahwa qital memerangi orang yang memerangi Islam dan umatnya tidak dapat dihapuskan karena kemuliaan jihad intelektual.

Walaupun Nabi tidak pernah melarang orang berperang dan menggantikannya dengan jihad intelektual. Masing-masing amal memiliki maqamnya sendiri-sendiri. Bahkan pengusaha yang jujur dan saleh adalah sejajar dengan syuhada dan siddiqin. Tapi nabi tidak lantas menyuruh semua orang berbisnis secara jujur dan meninggalkan amal yang lain.

Walhasil, sekarang dengan tanpa mengecilkan dan menafikan adanya jihad secara fisik, bagi kalangan umat Islam tertentu adalah berjihad secara intelektual adalah penting. Jihad intelektual yang sangat urgen sekarang ini adalah memerangi pemikiran-pemikiran yang “menyesatkan”, memerangi syirik intelektual, memerangi deviasi-deviasi pemahaman din, memerangi keraguan, dan memberi pencerahan dengan merujuk kepada al-Qur’an dan hadis untuk dipahami dalam konteks zaman sekarang.
Pidana Zina, mengapa takut?
Oleh: Dr Adian Husaini *)

Menyusul keluarnya draf revisi RUUKUHP tahun 2003, sebuah majalah mingguan, edisi 6-12 Oktober 2003, menulis laporan utama dengan judul "Rancangan KUHP: Kitab Yang Semakin Menakutkan". Pada pekan yang sama, majalah mingguan lainnya memuat sejumlah komentar aktivis HAM dan perempuan yang menolak urusan zina diatur dalam KUHP. Menurut mereka, zina itu masalah pribadi.

Majalah mingguan terkenal itu menulis soal pasal-pasal zina dalam RUUKUHP tahun 2003 tersebut, "Jeratan Buat Para Pezina". Tulis majalah ini: "Makna zina dalam RUU KUHP diperluas, membuka peluang aparat ke ruang pribadi. Aroma hukum Islam, minus sanksi."

Ada sejumlah pasal RUU KUHP tahun 2003 yang dipersoalkan. Misalnya, Pasal 419, yang menyatakan, bahwa akan dikenai pidana penjara lima tahun: (a) Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya. (b) Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya.

(c) Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan, atau perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, pada hal diketahui laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.

Sementara Pasal 420 RUU KUHP 2003 itu menyatakan: "Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda dalam kategori II (Rp 750 ribu)."

Entah mengapa, RUU-KUHP 2003 itu kemudian tenggelam. Kini tahun 2018, kembali muncul RUU-KUHP (RKUHP) yang juga memperluas cakupan pidana pasal-pasal perzinaan serta homoseksual. Maka, kini, lagi-lagi, muncul protes.

Logika bahwa soal-soal zina adalah masalah privat kembali muncul. Para penolak pasal-pasal zina dalam RUU-KUHP itu seperti tak menyadari bahwa saat ini, begitu banyak masalah privat yang diatur oleh hukum negara. Pecandu narkoba, meskipun mengonsumsi untuk dirinya, dan tidak mengganggu orang lain, tetap ditangkap dan diadili. Mereka pun tak protes ketika dipaksa mengenakan helm atau sabuk pengaman saat mengendarai kendaraan bermotor. Tidak ada argumentasi bahwa itu soal privat.

Musuh agama
Dalam Islam, pezina yang telah memenuhi syarat empat saksi menerima sanksi hukum yang berat. Pezina muhsan, dihukum mati dengan cara rajam. Pezina ghairu muhsan dicambuk 100 kali. (QS 24: 2). Nabi Muhammad SAW bersabda: "Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri". (HR Thabrani dan Al Hakim).

Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, perbuatan zina juga dipandang sebagai kejahatan super berat. Sanksi bagi pezina bermacam-macam: dilempari batu sampai mati, dan bahkan beberapa jenis perzinaan dijatuhi sanksi hukuman bakar hidup-hidup. Kitab Perjanjian Lama (Hebrew Bible), Kitab Ulangan 22:20-22, menyebutkan:

"(20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa keluar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

(22) Apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel." (Teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000).

Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:8- 15 disebutkan semua bentuk dan jenis perbuatan zina dijatuhi hukuman mati. Bahkan, pezina dengan binatang pun, harus dihukum mati, termasuk binatangnya. "Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang i
tu pun harus kamu bunuh juga." (ayat 15).

Jadi, menjatuhkan sanksi pidana berat kepada pezina, bukan hanya perintah Alquran. Aneh, jika ada pemeluk Islam atau Kristen menolak RKUHP pasal zina ini. Sebagian penolak beralasan bahwa RKUHP berpotensi mengkriminalisasi kelompok tertentu.

Misalnya, Pasal 484 ayat (1) dan (2) RKUHP menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan secara sah berhubungan seks bisa dikenakan pidana. Pasal 488 menyatakan bahwa seseorang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan sah akan dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak ketegori II.

Alasan penolakan kali ini tak lagi menuduh pasal-pasal itu "beraroma hukum Islam". Tetapi, pasal-pasal itu berpotensi mengkriminalisasi kaum perempuan, anak, dan remaja. Juga, menurut mereka, pasal ini bisa menyasar orang-orang yang perkawinannya tidak tercatat oleh negara dengan berbagai alasan.

Kekhawatiran kelompok penolak RKUHP ini perlu diperhatikan, karena tidak secara terbuka mendukung perzinaan. Mereka tidak secara tegas menya takan bahwa berzina merupakan hak asasi manusia – asal sama-sama dewasa dan suka sama suka. Sebaliknya, yang me midanakan zina dituduh sebagai pelanggar HAM.

Pandangan bahwa zina tidak melanggar HAM itu aneh. Zina itu jelas perbuatan maksiat, durhaka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak kapan manusia punya hak untuk bermaksiat kepada Tuhannya? Inilah cara pandang manusia modern, yang oleh Prof. Syed Naquib al-Attas dirumuskan: deity is humanised, god is deified? (Tuhan dijadikan sebagai manusia, dan manusia dijadikan Tuhan). Demi memuja hawa nafsu, manusia sampai berani melawan Tuhan.

LGBT dan Yahudi
Senin (12/12/2018), sekelompok massa yang mengatasnamakan "Aliansi Masyarakat Sipil" melakukan aksi di DPR, menolak rancangan KUHP baru. Massa menuduh RKUHP kali ini merupakan bentuk diskriminasi kepada minoritas. Tampak beberapa spanduk pembelaan terhadap LGBT dibentangkan. Satu spanduk berbunyi: "LGBT punya hak sama dengan masyarakat yang lain nya. LGBT bukan penyakit." Pendemo lainnya membentangkan spanduk berbunyi: "Kami menolak RKUHP. Tidak sesuai HAM."

Para pendukung LGBT itu tak henti-hentinya berkampanye bahwa LGBT bukan penyimpangan. Karena itu, mereka merasa punya hak untuk melaksanakan praktik seks sejenis. Jargon "persamaan" dan "kesetaraan" digunakan para pendu kung LGBT di berbagai negara. Dengan jargon "equal", pendukung LGBT di Irlan dia yang mayoritas Katolik, akhirnya memenangkan referendum.

Perkawinan LGBT di negara itu kemudian dilegalkan, meskipun dikecam keras oleh Vatikan. Saat menjadi Saksi Ahli di MK dari pihak AILA, saya memohon kepada hakim MK agar mengambil pelajaran dari kasus legalisasi LGBT di Amerika Serikat (AS). Pada 26 Juni 2015, secara resmi AS mengesahkan perkawinan sesama jenis, mengikuti jejak 20 negara lain sebelumnya.

Perjalanan legalisasi perkawinan sejenis (same-sex marriage), di AS terbilang sangat cepat. Tahun 2004, Massachusetts menjadi negara bagian pertama yang mengesahkan perkawinan sejenis. Tak lama kemudian, pada 2013, untuk pertama kalinya, Katedral Nasional AS melaksanakan perkawinan sejenis (https://www.cathedral.org/press/PR- 60QF1-3I0018.shtml). Awal Juni 2015, pun baru sekitar 30 negara bagian di AS yang melegalkan perkawinan sejenis.

Apa yang menimpa Gereja Katolik dalam kasus LGBT di sejumlah negara, khususnya di AS, patut menjadi bahan renungan serius bagi bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Sebab, AS selama ratusan tahun dikenal sebagai bangsa yang cukup religius. Sebuah buku berjudul What Americans Believe: An Annual Survey of Values and Religious Views in the United States (California: Regal Books, 1991), memberikan gambaran tingkat religiositas rakyat AS yang masih lumayan.

Terhadap pertanyaan, "apakah kepercayaan Kristen masih relevan dengan jalan hidup anda", sebanyak 47 persen rakyat AS menjawab "sangat setuju". Bahkan, jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah "bangsa Kristen". Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: "We are a Christian people." Itu ditegaskan lag
i oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: "This is a Christian Nation." (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to Ameri ca's National Identity (New York: Si mon&Schuster, 2004).

Bagaimana bangsa AS bisa diubah persepsinya sampai melegalkan perkawinan sejenis? Inilah jawabannya! Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul "Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes". Dikatakan, bahwa, "Vice Presi dent Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and other issues."

Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah. Prof Norman Cantor, dalam bukunya, The Sacred Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka setara dengan kekuatan 20 persen pen duduk AS. Bahkan, Prof Cantor menulis, "Jews were over represented in the learned professions by a factor of five or six."

Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, "If there is Jewish power, it's the power of the word, the po wer of Jewish columnist and Jewish opinion makers." (Dikutip dari buku The New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper, Washington, DC: American Free Press, 2004).

Laman http: www.timesofisrael.com (4/3/2016), masih memampang satu judul berita "US Jews among the most supportive of gay marriage". Disebutkan bahwa kaum Yahudi Amerika merupakan komunitas tertinggi yang memberikan dukungan terhadap legalisasi perkawinan sejenis (perkawinan homo dan lesbi) di AS. Itulah hasil survei "Pew Research Center for the People and the Press."



Menurut hasil survei yang dilakukan dalam rentang tahun 2012-2013, sebanyak 76 persen Yahudi AS mendukung pengesahan (legalisasi) perkawinan se jenis, sedangkan 18 persen menentang, dan delapan persen tidak menyatakan sikapnya. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan pemeluk Protestan (34 persen) dan pemeluk Katolik (53 persen).

Tidak mengherankan jika pakar psikologi AS, Prof Kevin McDonald, dalam bukunya The Culture of Critique, menyimpulkan bahwa gerakan intelektual abad ke-20,- yang sebagian besar didirikan dan dipimpin oleh orang-orang Yahudi – "have changed European societies in fundamental ways and destroyed the confidence of Western man."

Semoga khafilah pemerintah dan DPR tetap berlalu, maju tak gentar membela yang benar, meskipun harus menghadapi berbagai teriakan, tekanan, dan ancaman dalam perumusan pasal-pasal kejahatan zina – baik sejenis maupun lain jenis. Yakinlah, bahwa jika penduduk satu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, pasti Allah akan mengucurkan berkah dari langit dan dari bumi! (QS 7:96). Allahu Akbar!

*) Pendiri Pesantren for The Study of Islamic Thought and Civilization/PRISTAC
IJMA'
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada tanggal 27-28 Mei 2013 yang lalu Gerakan Fathullah Gulen mengadakan perhelatan besar di Istanbul. Acara yang diadakan di Istanbul Convention Center itu dihadiri oleh sekitar 5000 peserta dari 80 negara. Acaranya tidak seserius seminar karena jumlah pesertanya yang cukup banyak, dan tidak sesederhana Tabligh Akbar atau istighatsah karena materinya cukup penting dan berbobot.

Konferensi dua hari dengan tema Ijma wa al-Wa’yu al-jama’i (Ijma’ dan Kesadaran Bersama) menghadirkan kurang lebih 18 pembicara dari negara-negara Arab, India, Tunis, Maroko, Sudan, Qatar, Negeria, dan Turkey sendiri. Diantaranya adalah Prof. Dr. Ali Juma mantan Mufti Besar Mesir, Rashid al-Ghannushi, Tunisia, Prof. Dr. Isam al-Bashir, Sudan, Prof. Dr. Sayfu’d-Din Abdul Fattah, Cairo University, Prof. Dr. Muhammad Babaammi, Aljazair, Mukhtar ash-Shinqitee, Qatar, Prof. Dr. Abdul Majid Najjar, Tunisia dan beberapa ulama dan intelektual asal Turkey sendiri.

Diantara yang topic penting yang diangkat adalah sbb: Ijma Sebagai Sumber Ilmu, Kebenaran Ijma, Pentingnya Ijma Para Sahabat Nabi, Praktek Ijma’ di Zaman Umar, Khulafa al-Rasyidun dan Masyarakat Rasyid, Ijma’ Politik di zaman Sahabat, Institusionalisasi Ijma’, Standar Nilai dan Metode Training bagi Menciptakan Kultur Ijma, Aspek Spiritual dalam Kultur Ijma’, Dinamika Melahirkan Generasi Ijma’.

Dalam Key Note Speech-nya Ali Jum’ah membuka pernyataan yang cukup menarik. Semua bidang umat Islam kini bermasalah, bidang politik misalnya hingga kini belum mencapai periode anak-anak sekalipun. Bidang ekonomi Islam kini masih memerlukan kerja yang lebih keras lagi, dan sebagainya. Maka dari itu kita sangat membutuhkan kesadaran bersama dalam bentuk Ijma’.

Ijma’ dalam tradisi Fiqih berarti kesepakatan semua mujtahid dari ummat Muhammad saw pada zaman tertentu sesudah zaman Nabi Muhammad dalam masalah syariah. Disini tauladan yang diambil para ulama adalah Ijma’ yang dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidun (para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk).

Ijma’ yang diakukan oleh para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk dasarnya adalah keimanan, ketaqwaan, keikhlasan, ilmu pengetahuan, kesabaran, kesungguhan, kesadaran individu terhadap jama’ah. Artinya para khalifah yang mendapat petunjuk itu (khulafa’ al-rasyidun) itu didukung oleh masyarakat yang mendapat petunjuk pula (mujtama’ al-rasyid).

Maka kesepakatan (Ijma’) masyarakat di zaman tabi’in untuk memilih pemimpin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali itu adalah termasuk ijma’, dan itu tidak salah karena mendapat petunjuk Allah. Sebab Rasulullah telah meramalkan “Ummatku tidak akan berijma’ (bersepakat) dalam kesesatan.” Mazhab atau kelompok apapun yang menyalahkan ijma’ tersebut maka maka kelompok itu telah menyalahkan Nabi.

Tidak ada yang menafikan bahwa ‘ijma adalah sumber ilmu dalam Islam, dan kini umat Islam kini perlu melakukannya. Namun, persoalannya bagaimana ber-ijma’ di zaman sekarang ini. Ijma’ dalam masalah Fiqih adalah wajib menurut Abdul Hamid Mazkur. Tapi kini tantangannya tidak hanya dalam bidang Fiqih, bidang-bidang lain juga memerlukan ‘ijma.

Sayfu’d-Din Abdul Fattah, guru besar Universitas Kairo, menawarkan trilogi ijma. Pertama memaknai ulang kata ummah, kedua mengkaitkan ijma dengan pembaharuan, dan ketiga pelembagaan pelaksanaan Ijma’. Ketiga komponen ijma’ ini perlu diperjelas sebelum umat Islam melakukan suatu ijma’. Ini akan dapat menentukan apakah suatu kesepakatan dapat disebut Ijma’ atau tidak.

Kata ummah perlu dimaknai ulang, sebab ummah tidak sama dengan nation, kata Prof. Abbadi dari Maroko. Sedangkan ruang lingkup ijma’, menurut Prof. Abd. Hamid Mazkur dapat diperluas kepada masalah-masalah kemanusiaan dan bahkan keilmuan. Disini Abdul Majid Najjar dari Tunis mengusulkan agar universitas dijadikan tempat ijma’ para cendekiawan dalam masalah-masalah keilmuan. Sudah tentu, katanya, prosedur dan syarat ijma’ yang ditetapkan fuqaha harus ditepati.

Majid, bahkan menawarkan agar perlemen Negara Islam dijadikan lembaga ijma’. Jika ada ada angota non-Muslim di dalamnya maka ia harus berdasarkan keahli
an dalam bidang tertentu.

Semua pembicara seperti sepakat bahwa umat Islam perlu melakukan ‘ijma dalam bidang politik, budaya, ekonomi, kemanusiaan dan lain sebagainya. Untuk itu konferensi rekomendasi, diantaranya, agar konferensi seperti ini diadaka disetiap Negara Islam. Yang terpenting adalah agar ummat Islam seluruh dunia menciptakan organisasi khusus dan pusat-pusat studi keilmuan untuk mendukung proses ijma’ dalam berbagai bidang.
Kini sering terjadi tiba-tiba seorang pemimpin muncul atau terpilih diluar kriteria pemimpin. Politik dan politisi kini menjadi pemilik criteria, bukan pakar. Intelektualitas, nilai-nilai, kecakapan sosial, kepakaran dan kecakapan dalam problem solving dan mungkin juga kenegarawanan seiringkali absen dari diri pemimpin terpilih. Kepentingan politik pun berada didepan sebagai penentu.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1082969601842989&id=153825841424041
Sebaiknya video di atas diputar 👆
Adab dalam mencari ilmu dalam syair-syair Imam Syafi’i yang dikutip dari Kitab Diwân al-Imâm al-Syâfi’i karya Muhammad Abdurrahim (Beirut:Dar al-Fikr, 1995).

(1) Ikhlas Karena Allah: “Siapa menuntut ilmu untuk meraih kebahagiaan negeri akhirat; ia kan beruntung meraih kemuliaan dari Allah yang Maha Pemberi Petunjuk; Maka dia pun akan meraih kebaikan yang berasal dari hamba-Nya”

(2) Meninggalkan Perbuatan Dosa: “Aku mengadu kepada Wakî’ tentang kelemahan hafalanku; ia pun memberikan nasehat Agar aku meninggalkan maksiat; Ia memberitahuku pula bahwa ilmu itu cahaya; dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang maksiat.”

(3) Menuntut Ilmu Sejak Dini: “Siapa yang kehilangan waktu belajar pada waktu mudanya; takbirkan dia empat kali; anggap saja ia sudah mati. Seorang pemuda akan berarti apabila ia berilmu dan bertaqwa; Jika dua hal itu tiada, pemuda pun tak bermakna lagi.”

(4) Mencatat Setiap Ilmu yang dipelajari: “Ilmu itu bagaikan binatang buruan, dan menulis adalah pengikatnya; ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat; Sebab diantara bentuk kebodohan, engkau memburu seekor rusa; lalu kau biarkan rusa itu bebas begitu saja.”

(5) Sabar Dibimbing Guru: “Sabarlah dengan sikap guru yang terasa pahit di hatimu; sebab kegagalan itu disebabkan meninggalkan guru. Barangsiapa yang tak mau merasakan pahitnya menuntut ilmu sesaat; sepanjang hidupnya ia akan menjadi orang hina karena kebodohannya.”

(6) Manajemen Waktu yang Baik: “Takkan ada seorang pun yang akan mencapai seluruh ilmu; takkan ada, meskipun ia terus berusaha seribu tahun lamanya. Sesungguhnya ilmu itu bagaikan lautan yang sangat dalam, sebab itu ambilah semua yang terbaik dari ilmu yang ada.”

(7) Menikmati Ilmu yang Dipelajari: “Malam-malamku untuk mempelajari ilmu terasa lebih indah daripada bersentuhan dengan wanita cantik dan aroma parfum. Mata penaku yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertasku lebih nikmat daripada bercinta dan bercumbu. Menepuk debu-debu yang menempel di lembaran-lembara kertasku lebih indah suaranya daripada tepukan rebana gadis jelita.”

(8) Bergaul dengan Orang Berilmu dan Saleh: “Bergaullah dengan orang-orang berilmu dan bertemanlah dengan orang-orang saleh diantara mereka; sebab berteman dengan mereka sangat bermanfaat dan bergaul dengan mereka akan membawa keuntungan. Janganlah kau merendahkan mereka dengan pandanganmu; sebab mereka seperti bintang yang memberi petunjuk, tak ada bintang yang seperti mereka

(9) Mengembara Mencari Ilmu: “Mengembaralah! Engkau akan mendapat sahabat-sahabat pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup adalah dalam bekerja keras. Saya berpendapat bahwa air jika tetap di suatu tempat, ia akan busuk. Jika ia mengalir barulah ia bersih, dan kalau tidak mengalir akan menjadi kotor. Singa, jika tidak keluar dari sarangnya, ia tak akan dapat makan. Anak panah jika tak meluncur dari busurnya ia takkan mengena.”

(10) Menghargai Pendapat Orang Lain: “Jika anda benar-benar memiliki ilmu dan pemahaman tentang ikhtilaf ulama dulu dan sekarang. Maka hadapilah lawan diskusimu dengan tenang dan bijak; jangan sombong dan keras kepala

(11) Tak Pernah Puas dengan Ilmunya: “Setiap aku mendapat pelajaran dari masa, setiap itu pula aku tahu segala kekurangan akalku. Setiap ilmuku bertambah Setiap itu pula bertambah pengetahuanku akan kebodohanku.”
UNTUK APA JADI PRESIDEN?
Oleh: Adian Husaini

Sejarawan Mesir terkenal, Abdurrahman al-Jabarti (1697-1825), membuat catatan sejarah menarik tentang kiat Napoleon Bonaparte dalam menggaet dukungan rakyat Mesir. Ketika itu, tahun 1798, Napoleon datang dengan 36.000 pasukan diangkut dalam 400 kapal. Napoleon, tulis Jabarti, menyebarkan panflet kepada rakyat Mesir. Isinya menarik. Diawali dengan ungkapan Bismillaahirrahmanirrahiim. Laa ilaaha illallah, laa walada lahu, wa laa syariika fii mulkihi. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tidak ada tuhan selain Allah. Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu dalam Kekuasaan-Nya. Tak hanya itu, Napoleon juga mengaku beribadah kepada Allah SWT dan mengagungkan Nabi Muhammad saw serta al-Quran yang agung. Bangsa Perancis dikatakannya merupakan Muslim yang taat, yang telah menyerbu Roma dan menghancurkan Tahta Suci, serta menaklukkan pasukan Kristen di Malta.

Apa yang dilakukan Napoleon dalam menggaet dukungan rakyat Mesir bisa dikatakan kiat khas politisi sekularis-Machiavelis. Baginya, agama hanyalah faktor pelengkap. Agama dipandangnya laksana baju, yang bisa dipakai dan ditanggalkan, kapan saja diperlukan. Hari ini mengaku umat beragama yang taat, besok menghina dan membuang agama. Satu waktu menyatakan sebagai pembela Islam, dan kapan-kapan lagi jika diperlukan, Islam pun dilepaskannya. Agama bukan dipandang sebagai faktor internal, tetapi keperluan kontemporer, tergantung waktu dan tempat.

Saat bicara moralitas politik, sulit dilepaskan nama Machiavelli. Bukunya, The Prince, oleh banyak pemikir, dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam sosial politik umat manusia. Sebuah buku berjudul World Masterpieces yang diterbitkan oleh WW Norton&Company, New York, tahun 1974 (cetakan kelima) menempatkan karya Machiaveli ini sebagai salah satu karya besar dalam sejarah umat manusia yang muncul di zaman renaissance, sejajar dengan The Old Testament dan The New Testament.

Perjalanan hidup Machiavelli sendiri cukup menyedihkan. Ia pernah ditahan dan disiksa, karena dituduh melawan pemerintah Italia sekitar tahun 1495. Ia menulis The Prince pada umur 44 tahun, dan baru dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya. Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang memberikan predikat sebagai amoral. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah survival. Dan ini melampaui nilai-nilai moral keagamaan dan kepentingan dari individu-individu dalam negara. Dengan membuang faktor baik dan buruk dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara. Penguasa-penguasa yang sukses, kata dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan. Maka, kata Machiavelli lagi, Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan terror.
Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli adalah ia telah mengangkap persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan. Politik dipandang sekedar seni untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional.

Kita tahu, lima pasangan capres/wapres kali ini, Amien Rais-Siswono Yudhohusodo, Wiranto-Shalahuddin Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla, Megawati-Hasyim Muzadi, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar, semuanya Muslim. Salah satu pasangan itu pun berasal dari kalangan tokoh-tokoh organisasi Islam. Ini tentu suatu modal yang baik. Tentu, semua paham, bahwa agama adalah komoditas politik yang sangat penting untuk meraih dukungan.

Para politisi sekuler tahu benar cara menggalang dukungan dari umat beragama. Ariel Sharon, politisi sayap kanan sekuler, manggalang dukungan Yahudi ortodoks dengan mengangkat isu hak teologis-historis Yahudi atas Temple Mount. Theodore Herzl, seorang sekular, mengeksploitasi ayat-ayat dalam Bible untuk memberikan leg
itimasi gerakan Zionis. George W. Bush, meraih dukungan kuat dari kalangan fundamentalis Kristen AS (New Christian Right), melalui pencitraannya sebagai orang Kristen yang lahir kembali (reborn Christian). Ketika ditanya, siapa filosof favoritnya, Bush menjawab, Jesus Kristus. Tentu bisa dipertanyakan, apakah serangan AS ke Irak sesuai dengan ajaran Jesus? Padahal, Paus dan jutaam kaum Kristen mengecam serangan AS itu.
Kini, di Indonesia, para capres/wapres sibuk menggalang dukungan rakyat Indonesia yang sekitar 180 juta diantaranya adalah Muslim. Sebuah potensi pasar yang sangat besar. Dalam rumus politik sekular, suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi vox dei. Rakyat dipandang sebagai sumber kebanaran, bukan wahyu. Maka, tidakah aneh, jika para politisi sekular, akan lebih menghitung dukungan rakyat, ketimbang kebenaran. Para politisi demokrat di AS dan Belanda, misalnya, harus menyatakan dukungannya kepada praktik homoseksualitas, karena banyak rakyat yang sudah hobi dengan maksiat itu.

Bahkan di Israel, tahun lalu, dalam satu acara perkumpulan yang digalang oleh kelompok homoseksual/lesbian (Agudah), tokoh Partai Likud pun ikut mendukung agenda kaum homoseks itu. Bat-Sheva Shtauchler, tokoh Likud, menyatakan: "We will support everything. Who said the Likud doesn't cooperate with the community?" Biasanya, Likud termasuk yang menentang keras praktik homoseksual, karena dalam Bible (Imamat, 20:13), memang disebutkan, pelaku homoseksual harus dihukum mati.
Untuk meraih dukungan rakyat yang berbagai macam inilah, tidak jarang ada politisi yang mencoba menyenangkan semua kelompok. Likulli maqaam maqaal. Setiap tempat ada jenis perkataan sendiri. Kadangkala, bukan sekedar diplomasi, tetapi berbohong. Bertemu dengan si-A menyatakan akan mendukung penerapan syariat Islam. Lain tempat, lain waktu, bertemu si-H menyatakan, ucapannya sekedar taktis politis. Politisi seperti ini, jika sukses, karirnya terus melejit, dukungan mengalir terhadapnya, akan dijuluki sebagai politisi yang lihai, cerdik, licin, piawai, dan sebagainya. Yang penting adalah kekuasaan. Cara apa pun perlu ditempuh, demi meraih atau mempertahankan kekuasaan. Dusta dipandang biasa. Padahal, Nabi Muhammad saw mengingatkan: Tanda-tanda orang-orang munafik ada tiga: jika bicara dusta, jika berjanji ingkar, dan jika dipercaya khianat.

Dusta, ingkar janji, dan khianat terhadap amanah, adalah ciri-ciri orang munafik. Itu memang baru tanda-tanda. Signals. Para capres/wapres tentu tidak ingin dimasukkan (oleh Allah SWT) ke dalam golongan orang munafik. Mereka sudah menuliskan janji-janjinya dan menyerahkannya ke KPU. Indah dan ideal sekali janji-janji mereka. Ada yang menjanjikan akan mengangkat martabat bangsa, mewujudkan pemerintahan yang baik, penegakan hukum, perlindungan HAM, memperbaiki pendidikan nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan rekonsiliasi nasional.

Ada juga yang menjanjikan akan memperkokoh NKRI, mengukuhkan martabat bangsa melalui pembangunan karakter, kepribadian, dan kemampuan bangsa; mewujudkan kemakmuran dan keadilan rakyat; mewujudkan kedaulatan rakyat; dan mewujudkan persamaan warga negara. Ada juga yang menjanjikan untuk menyempurnakan reformasi politik dan menggelindingkan penyelesaian reformasi hukum, pertahanan keamanan ketertiban (hankamtib), kelembagaan birokrasi, sosial, juga ekonomi. Secara praktis, dijanjikan, adanya penegakan supremasi hukum untuk mengadili koruptor dan pelanggar HAM, menindak tegas gerakan separatis, serta mengembangkan birokrasi yang melayani rakyat. Mereka juga memprogramkan untuk melakukan konsolidasi fiskal agar ketentuan anggaran pendidikan 20 persen terpenuhi, memperkuat sektor pertanian, dan menangani problem perburuhan secara arif.

Sebenarnya, hampir tidak ada yang baru dalam janji-janji para capres/wapres itu. Yang ditunggu adalah realisasinya. Sama dengan rezim-rezim dan penguasa sebelumnya. Para calon itu pun paham bahwa kondisi bangsa ini sangat pelik, serius, dan dalam beberapa hal sudah menjadi lingkaran setan. Sementara dengan hasil perolehan pemilu 2004 yang begitu menyebar tid
ak ada satu partai yang dominan maka kecenderungan koalisi dagang sapi sangat besar.
Kondisi Indonesia sungguh luar biasa. Karena itu, jika ditangani dengan biasa-biasa saja, tidak akan banyak hasil yang diraih. Indonesia membutuhkan pemimpin yang biasa-biasa saja, tetapi berani dan mampu melakukan tindakan yang luar biasa. Perampasan harta koruptor, perombakan besar-besaran sistem dan aparat hukum, perombakan mendasar mental aparat dan rakyat, peletakan budaya ilmu, dan sebagainya. Semua itu merupakan kerja yang luar biasa.

Problem penegakan hukum, misalnya, menyangkut hampir semua aspek: unsur materi hukum, aparat pelaksana, institusi hukum, dan juga mental masyarakat. Dalam keadaan sistem dan aparat hukum saat ini, pengadilan terhadap koruptor justru menjadi ajang korupsi baru. Semua orang tahu, bagaimana perlakuan istimewa yang diterima narapidana berduit di LP.

Probem pendidikan, bukan hanya soal kecilnya anggaran yang kurang dari 20 persen. Tetapi juga alokasi yang sangat tidak adil antara pendidikan kedinasan dan non-kedinasan. Ini sudah berulangkali dibahas di DPR, tetapi toh tidak ada jalan keluar. Masalah utang pun sangat serius. Setiap tahun, rakyat dizalimi dengan pemotongan hak budget mereka untuk membayar utang najis (odious debt) yang tak pernah mereka nikmati dan jumlahnya mencapai ratusan trilyun rupiah.

Mental dan sistem birokrasi juga bukan main parah dan borosnya. Di mana-mana. Dan semua tahu. Di zaman reformasi pun semua itu masih berjalan seperti biasa. Semboyan KUHP masih tetap berlaku, Kasih Uang Habis Perkara. Para capres/wapres itu pun pasti tahu akan hal ini. Sekali kunjungan ke daerah, Presiden/Wakil Presiden bisa menghabiskan dana milyaran rupiah. Simaklah, bagaimana DPR/DPRD mengelola keuangan rakyat. Begitu banyak pemborosan. Tahun 2003 lalu, untuk HUT Kemerdekaan RI di Istana Negara, menghabiskan dana sekitar Rp 4 milyar. Pemindahan bendera Pusaka dati Istana ke Monas menelan duit Rp 3,5 milyar. Renovasi Patung Arjuna Wijaya (Depan Gedung BI) menelan dana Rp 4 milyar. Jangan tanya lagi berapa trilyun dana dihabiskan untuk acara-acara seremonial bernama kunjungan kerja, studi banding, dan sebagainya.

Padahal, konon, tahun lalu, menurut laporan Transparansi Internasional, Indonesia masih menduduki negara nomor lima terkorup di dunia, setelah Nigeria, Tanzania, Honduras, Paraguay, Kamerun. Angka Kemiskinan, menurut Depsos: 37,3 juta tergolong miskin (pendapatan 1-2 USD/hari), 15,8 juta fakir miskin (pendapatan dibawah 1 USD/hari), sisanya sejahtera (di atas 2 USD/hari). Jika parameter Depsos ini digeser ke atas sedikit saja, maka akan muncul angka kemiskinan yang sangat dahsyat. Belum lagi soal pengangguran yang konon tahun lalu, hanya mencapai 8,1 persen. Angka ini pun luar biasa bagusnya. Padahal, banyak yang memperkirakan, angka pengangguran di Indonesia mencapai sekitar 40 juta jiwa. Bayangkan, jumlah itu hampir sama dengan dua kali penduduk Malaysia.

Walhasil, ibarat tubuh manusia, kondisi Indonesia bak sedang digerogoti kanker yang sangat ganas. Yang dibutuhkan adalah dokter yang cerdas, ikhlas, tidak was-was, alias berani mengambil tindakan yang luar biasa. Jika perlu mengamputasi sebagian anggota tubuh, termasuk kroni-kroni Presiden sendiri. Karena itu, jika para capres/wapres masih berpikir biasa-biasa saja untuk Indonesia -- apalagi jika mereka lebih berpikir untuk kepentingan diri mereka dan kroninya -- kita tidak perlu berharap terlalu besar pada mereka. Anggaplah 5 Juli 2004 adalah hari biasa-biasa saja. Karena memang tidak akan ada apa-apa yang penting untuk Indonesia di masa depan. Lalu, untuk apa jadi Presiden? Wallahu alam. (KL, 25 Mei 2004).
oOo
Juz Amma Tafsir Al-Azhar
Penulis: Prof. Dr. HAMKA

Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis. Buku ini merupakan edisi Khusus Juz `Amma Tafsir al-Azhar (Juz 30) karya Beliau.
------------------------
Juz Amma Tafsir Al-Azhar
Penulis: Prof. Dr. HAMKA
Harga: Rp 130.000,-

Pemesanan silahkan SMS/whatsapp ke 087878147997.
-Admin-
Assalamualaikumww.
Berikut kami lampirkan katalog buku-buku terbitan Timur Tengah.
Update Maret 2018
Barangkali ada yang diminati.