Al-Quran (al-Anam:112) mengingatkan, bahwa sesungguhnya musuh para nabi adalah setan dari jenis manusia dan setan dari jenis jin, yang pekerjaan mereka adalah menyebarkan kata-kata indah (zukhrufal qawli) dengan tujuan untuk menipu manusia. Malik Bin Dinar, seorang ulama terkenal (m. 130 H/748 M) pernah berkata: Sesungguhnya setan dari golongan manusia lebih berat bagiku daripada setan dari golongan jin. Sebab, setan dari golongan jin, jika aku telah membaca taawudz, maka dia langsung menyingkir dariku, sedangkan setan dari golongan manusia dapat mendatangiku untuk menyeretku melakukan berbagai kemaksiatan secara terang-terangan. (dikutip dari Imam al-Qurthubi, 7/68 oleh Dr. Abdul Aziz bin Shalih al-Ubaid, Menangkal Teror Setan (Jakarta: Griya Ilmu, 2004), hal. 88).
Setan baik dari golongan manusia maupun dari golongan jin memiliki ambisi utama untuk menyesatkan manusia, seluruhnya. Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu. (QS al-Ghafir:5).
Jadi mudah sekali mengenali logika setan. Yakni, siapa saja yang menjadi pendukung kebatilan dan kemunkaran, pasti ia telah menggunakan logika setan. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar. (QS an-Nur: 21; lihat juga QS al-Baqarah: 168-169).
-Dr. Adian Husaini-
Setan baik dari golongan manusia maupun dari golongan jin memiliki ambisi utama untuk menyesatkan manusia, seluruhnya. Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu. (QS al-Ghafir:5).
Jadi mudah sekali mengenali logika setan. Yakni, siapa saja yang menjadi pendukung kebatilan dan kemunkaran, pasti ia telah menggunakan logika setan. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar. (QS an-Nur: 21; lihat juga QS al-Baqarah: 168-169).
-Dr. Adian Husaini-
KETIKA PKI MENEKAN ULAMA MEMINJAM TANGAN NEGARA
Oleh: Prof. Dr. Ing. H Fahmi Amhar
Saya lahir ketika Orde Baru sedang mulai berkuasa,
yang saya tahu, saat itu PKI, anggota, keluarga dan pengikutnya,
sedang dikejar-kejar dari lubang semut sampai lubang buaya.
Tetangga saya di-pulau-Buru-kan sepuluh tahun lamanya.
Padahal di tahun 1960an, dia hanya orang-orang sederhana,
yang karena takut pada PKI lalu ikut menjadi penggembira acaranya.
Memang ada jutaan orang yang di masa Orde Baru terdholimi,
baik yang masa lalunya dengan PKI membuat mereka dipersekusi.
Atau juga orang-orang kritis lain yang dengan asal dituduh subversi.
Sejatinya, kejahatan Orde Baru tidak berarti memutihkan dosa-dosa PKI.
Karena, jauh sebelum Orde Baru mengejar-ngejar PKI,
justru PKI sudah biasa menekan dan membantai ulama di sana dan di sini,
baik secara langsung, atau meminjam tangan negara dengan keji !!!
Zaman itu PKI juga sudah menyalahgunakan dasar negara.
Para ulama yang anti komunis, dituduh Anti Pantjasila.
Partai seberang, dibubarkan meminjam tangan penguasa.
Para pemimpinnya dipenjarakan, tanpa pengadlan tentu saja,
dan para pengikutnya dimusuhi dan dikejar sampai desa-desa.
Dan berikut ini adalah kesaksian tokoh ulama anti komunis di zaman itu, yang dipenjarakan sekian lama, PROF. BUYA HAMKA:
----------------------------------------------------------------------------------
Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.
Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).
Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.
Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.
Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa :
1. Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya
2. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
3. Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.
Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian
Oleh: Prof. Dr. Ing. H Fahmi Amhar
Saya lahir ketika Orde Baru sedang mulai berkuasa,
yang saya tahu, saat itu PKI, anggota, keluarga dan pengikutnya,
sedang dikejar-kejar dari lubang semut sampai lubang buaya.
Tetangga saya di-pulau-Buru-kan sepuluh tahun lamanya.
Padahal di tahun 1960an, dia hanya orang-orang sederhana,
yang karena takut pada PKI lalu ikut menjadi penggembira acaranya.
Memang ada jutaan orang yang di masa Orde Baru terdholimi,
baik yang masa lalunya dengan PKI membuat mereka dipersekusi.
Atau juga orang-orang kritis lain yang dengan asal dituduh subversi.
Sejatinya, kejahatan Orde Baru tidak berarti memutihkan dosa-dosa PKI.
Karena, jauh sebelum Orde Baru mengejar-ngejar PKI,
justru PKI sudah biasa menekan dan membantai ulama di sana dan di sini,
baik secara langsung, atau meminjam tangan negara dengan keji !!!
Zaman itu PKI juga sudah menyalahgunakan dasar negara.
Para ulama yang anti komunis, dituduh Anti Pantjasila.
Partai seberang, dibubarkan meminjam tangan penguasa.
Para pemimpinnya dipenjarakan, tanpa pengadlan tentu saja,
dan para pengikutnya dimusuhi dan dikejar sampai desa-desa.
Dan berikut ini adalah kesaksian tokoh ulama anti komunis di zaman itu, yang dipenjarakan sekian lama, PROF. BUYA HAMKA:
----------------------------------------------------------------------------------
Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.
Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).
Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.
Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.
Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa :
1. Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya
2. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
3. Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.
Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian
itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presidennya sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar).
Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi.
Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.
Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dan setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.
Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.
Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.
Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut :
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.
Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang alim-ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para alim-ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan.
Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan.
Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.
Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang dipanggan dalam api unggun yang besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya a.s. yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah.
Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petika bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah 10 tahun yang lalu.
(Disarikan dari Kumpulan Rubrik Dari Hati ke Hati, Majalah Panji Mas dari 1967 – 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal 319)
Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi.
Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.
Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dan setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.
Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.
Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.
Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut :
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.
Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang alim-ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para alim-ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan.
Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan.
Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.
Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang dipanggan dalam api unggun yang besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya a.s. yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah.
Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petika bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah 10 tahun yang lalu.
(Disarikan dari Kumpulan Rubrik Dari Hati ke Hati, Majalah Panji Mas dari 1967 – 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal 319)
Tafsir ibn Katsir yang di tahqiq & ta'liq oleh Syekh Mustafa al Adawi.
Penerbit: dar fawaid & dar ibn rojab.
15 jilid, 18kg. Harga Rp 1.687.000,-
Pemesanan silahkan sms/wa ke 087878147997.
Syukran.
Penerbit: dar fawaid & dar ibn rojab.
15 jilid, 18kg. Harga Rp 1.687.000,-
Pemesanan silahkan sms/wa ke 087878147997.
Syukran.
RELIGIOUS-HUMANIS
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah logika geram para pembenci agama dan pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis tapi justru seperti ateis. Dan ternyata “jimat” atau aji-aji pamungkas orang sekular-liberal dan bahkan ateis untuk menyerang agama adalah dalih humanisme.
Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu dianggap sangat revolusioner yang selalu mengiringi perjalanan kebudayaan Barat modern hingga postmodern.
Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme Tuhan dianggap tidak riil, sedangkan manusia begitu riil dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau menyucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa”. Seperti membela Tuhan tapi sejatinya membuka jalan bagi blasphemy.
Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala Nietzsche. Dari situ penistaan agama, Tuhan dan kebenaran menjadi absah. Tapi benih yang ditabur Nietzsche tahun 1948 telah menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak Negara pendukung humanisme. Maka dari itu hak-hak asasi manusia benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.
Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama maka banyak hal yang menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada bulan Juli tahun 1993 di New York diadakan Peluncuran acara Project on Religion and Human Right. Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap DUHAM dan merupakan prakarsa untuk merevisinya.
Bukan hanya itu, pada ulang tahun ke 50 DUHAM dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies universitas McGill, Montreal, Canada, upaya merevisi DUHAM itu pun terulang lagi. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions.
Setelah itu berturut-turut acara saling merevisi berlanjut di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan Terakhir di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan antara kaum humanis dan kaum religius.
Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam Negara-negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya, juga turut menyadari dominasi humanisme dalam DUHAM.
Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan pertimbangan konteks kultural dan religius dari Negara-negara non-Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun 1981, Said Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa “DUHAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan kedalam Islam”.
Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam mengeluarkan Deklarasi tandingan yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI). Deklarasi yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45 menlu Negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang sumber satu-satunya adalah syariah Islam.
Jika logika sekuler, liberal dan ateis diatas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu mestinya hanya menyucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika sekuler liberal ateis itu salah.
Bahkan deklarasi Cairo itu tidak eksklusif untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya mencatatkan “Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang”.
Bahkan perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariat. Maka dalam situasi perang, mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita dan anak-anak, yang terluka, sakit dan juga tawanan perang, berhak
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah logika geram para pembenci agama dan pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis tapi justru seperti ateis. Dan ternyata “jimat” atau aji-aji pamungkas orang sekular-liberal dan bahkan ateis untuk menyerang agama adalah dalih humanisme.
Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu dianggap sangat revolusioner yang selalu mengiringi perjalanan kebudayaan Barat modern hingga postmodern.
Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme Tuhan dianggap tidak riil, sedangkan manusia begitu riil dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau menyucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa”. Seperti membela Tuhan tapi sejatinya membuka jalan bagi blasphemy.
Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala Nietzsche. Dari situ penistaan agama, Tuhan dan kebenaran menjadi absah. Tapi benih yang ditabur Nietzsche tahun 1948 telah menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak Negara pendukung humanisme. Maka dari itu hak-hak asasi manusia benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.
Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama maka banyak hal yang menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada bulan Juli tahun 1993 di New York diadakan Peluncuran acara Project on Religion and Human Right. Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap DUHAM dan merupakan prakarsa untuk merevisinya.
Bukan hanya itu, pada ulang tahun ke 50 DUHAM dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies universitas McGill, Montreal, Canada, upaya merevisi DUHAM itu pun terulang lagi. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions.
Setelah itu berturut-turut acara saling merevisi berlanjut di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan Terakhir di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan antara kaum humanis dan kaum religius.
Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam Negara-negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya, juga turut menyadari dominasi humanisme dalam DUHAM.
Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan pertimbangan konteks kultural dan religius dari Negara-negara non-Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun 1981, Said Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa “DUHAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan kedalam Islam”.
Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam mengeluarkan Deklarasi tandingan yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI). Deklarasi yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45 menlu Negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang sumber satu-satunya adalah syariah Islam.
Jika logika sekuler, liberal dan ateis diatas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu mestinya hanya menyucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika sekuler liberal ateis itu salah.
Bahkan deklarasi Cairo itu tidak eksklusif untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya mencatatkan “Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang”.
Bahkan perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariat. Maka dalam situasi perang, mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita dan anak-anak, yang terluka, sakit dan juga tawanan perang, berhak
untuk diberi makan, tempat tinggal dan keamanan serta pelayanan kesehatan.
CDHRI juga memberikan hak kepada laki-laki dan wanita untuk menikah tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama. Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak untuk mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski tidak sama dalam segala hal.
Dalam pasal ke 10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitir kemiskinan atau kebodohan untuk mengonversikan seseorang dari satu agama ke agama lain atau ateisme adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama apalagi Tuhan.
Baca misalnya pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. b) Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar sesuai dengan norma-norma syariah Islam. c) Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitir atau disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan masyarakat atau melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang.
Dari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak berarti menistakan manusia. Sebab syariah adalah sumber segala perlakuan terhadap manusia, Dalam syariah terdapat maslahat yang telah didesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak semua yang dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianisme, nikah beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syariat.
Jadi logikanya yang benar semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin ateis. Innal insana layatgha an ra’ahustaghna.
CDHRI juga memberikan hak kepada laki-laki dan wanita untuk menikah tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama. Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak untuk mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski tidak sama dalam segala hal.
Dalam pasal ke 10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitir kemiskinan atau kebodohan untuk mengonversikan seseorang dari satu agama ke agama lain atau ateisme adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama apalagi Tuhan.
Baca misalnya pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. b) Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar sesuai dengan norma-norma syariah Islam. c) Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitir atau disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan masyarakat atau melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang.
Dari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak berarti menistakan manusia. Sebab syariah adalah sumber segala perlakuan terhadap manusia, Dalam syariah terdapat maslahat yang telah didesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak semua yang dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianisme, nikah beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syariat.
Jadi logikanya yang benar semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin ateis. Innal insana layatgha an ra’ahustaghna.
Ustadz Adian Husaini: “Orang Biadab Dikasih Ilmu Malah Akan Tambah Biadab”
sharia.co.id, Bogor- Ustadz DR. Adian Husaini menyatakan keprihatinannya akan hilangnya adab dari umat dan lembaga pendidikan Islam. Hal itu disampaikan pada Pengajian Sabtu Pagi di Masjid Nurul Irmi, Jl. Merdeka, Bogor.
“Adab itu agak berbeda dari sopan santun, karena kalau sopan santun landasannya budaya, tetapi kalau adab landasananya wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah). Masalahnya dalam paradigma pendidikan saat ini wahyu tidak diakui sebagai ilmiah, yang diakui sebagai ilmiah hanya yang rasional dan empiris,” terang Pak Adian, panggilan akrabnya.
Alumni doktoral bidang peradaban Islam ini menjelaskan pula bahwa pendidikan adab adalah yang menuntut manusia untuk menjadi adil, untuk menjadi good man (manusia yang baik).
Ustadz Adian memaparkan jika lembaga-lembaga pendidikan saat ini sama sekali mengabaikan adab dan perkembangannya.
“Seharusnya ketika sudah di perguruan tinggi, dilihat dulu apakah adabnya sudah tinggi, jika nanti akan ke jenjang yang lebih tinggi, adabnya juga nanti harus lebih tinggi, biar tahu mana salah mana besar, tahu bagaimana bersikap yang benar,” ujar peneliti INSIST yang telah menghasilkan berbagai buku terkenal ini.
“Ironinya (adab) ini tidak dipakai di berbagai lembaga pendidikan Islam, sekarang yang memprihatinkan adalah lembaga-lembaga yang berlabel Islam, justru melahirkan manusia-manusia yang tidak beradab karena kekacauan ilmu, tidak tahu mana ilmu yang fardhu ain dan fardhu kifayah, tidak tahu ia thalabul ilmi itu harus bagaimana,” jelas Ustadz Adian.
Keprihatinan itu terlihat dari fakta para ilmuwan dan akademisi yang sudah kehilangan adab justru akan menjadi orang yang berbahaya, baik berbahaya dalam arti mengancam aqidah maupun tidak menjadi manusia yang baik. Dikarenakan yang diketahui hanya menjadi warga negara yang baik dan pekerja yang produktif.
“Sekarang orang biadab (tidak beradab) dikasih ilmu ya akan tambah biadab ia dengan ilmunya, sekarang pendidikan kita bukan hanya mengarahkan manusia menjadi sekular, tetapi diarah pada sekular yang picik, sudah sekular picik lagi,” imbuhnya yang diselingi tawa puluhan hadirin.
sharia.co.id, Bogor- Ustadz DR. Adian Husaini menyatakan keprihatinannya akan hilangnya adab dari umat dan lembaga pendidikan Islam. Hal itu disampaikan pada Pengajian Sabtu Pagi di Masjid Nurul Irmi, Jl. Merdeka, Bogor.
“Adab itu agak berbeda dari sopan santun, karena kalau sopan santun landasannya budaya, tetapi kalau adab landasananya wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah). Masalahnya dalam paradigma pendidikan saat ini wahyu tidak diakui sebagai ilmiah, yang diakui sebagai ilmiah hanya yang rasional dan empiris,” terang Pak Adian, panggilan akrabnya.
Alumni doktoral bidang peradaban Islam ini menjelaskan pula bahwa pendidikan adab adalah yang menuntut manusia untuk menjadi adil, untuk menjadi good man (manusia yang baik).
Ustadz Adian memaparkan jika lembaga-lembaga pendidikan saat ini sama sekali mengabaikan adab dan perkembangannya.
“Seharusnya ketika sudah di perguruan tinggi, dilihat dulu apakah adabnya sudah tinggi, jika nanti akan ke jenjang yang lebih tinggi, adabnya juga nanti harus lebih tinggi, biar tahu mana salah mana besar, tahu bagaimana bersikap yang benar,” ujar peneliti INSIST yang telah menghasilkan berbagai buku terkenal ini.
“Ironinya (adab) ini tidak dipakai di berbagai lembaga pendidikan Islam, sekarang yang memprihatinkan adalah lembaga-lembaga yang berlabel Islam, justru melahirkan manusia-manusia yang tidak beradab karena kekacauan ilmu, tidak tahu mana ilmu yang fardhu ain dan fardhu kifayah, tidak tahu ia thalabul ilmi itu harus bagaimana,” jelas Ustadz Adian.
Keprihatinan itu terlihat dari fakta para ilmuwan dan akademisi yang sudah kehilangan adab justru akan menjadi orang yang berbahaya, baik berbahaya dalam arti mengancam aqidah maupun tidak menjadi manusia yang baik. Dikarenakan yang diketahui hanya menjadi warga negara yang baik dan pekerja yang produktif.
“Sekarang orang biadab (tidak beradab) dikasih ilmu ya akan tambah biadab ia dengan ilmunya, sekarang pendidikan kita bukan hanya mengarahkan manusia menjadi sekular, tetapi diarah pada sekular yang picik, sudah sekular picik lagi,” imbuhnya yang diselingi tawa puluhan hadirin.
Beda antara Adam dengan Iblis. Adam bersalah, lalu sadar dan bertobat. Sementara Iblis jelas-jelas melakukan kesalahan, tetapi bersikap sombong, angkuh, tetap membangkang kepada Allah, dan bangga menjadi kafir.
Dr. Adian Husaini.
Dr. Adian Husaini.
Jika Christian Nation diganti Daulah Islamiyah, dan Biblical Duty diganti Jihad dan God ditukar Allah, pasti penulisnya jadi buronan.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1074910059315610&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1074910059315610&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
PLURALISME DAN GEREJA
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
"Our goal is a Christian nation. We have a Biblical duty, we are called by God, to conquer this country. We don't want equal time. We don't want...
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
"Our goal is a Christian nation. We have a Biblical duty, we are called by God, to conquer this country. We don't want equal time. We don't want...
Apakah semua perang itu berarti jihad? Dan apakah jihad itu hanya berarti perang? Dalam al-Qur’an kata jihad disebut hanya sebanyak 34 kali.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1075534889253127&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1075534889253127&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
JIHAD
Oleh: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
Pada 11 September, 2001 dua pesawat penumpang menabrak dua menara kembar World Trade Center di Amerika Serikat. Diduga pelakunya adalah Muslim teroris Muslim,...
Oleh: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
Pada 11 September, 2001 dua pesawat penumpang menabrak dua menara kembar World Trade Center di Amerika Serikat. Diduga pelakunya adalah Muslim teroris Muslim,...
Orang yang melakukan tindakan seperti ini tentu bukan orang yang dapat disebut adil. Orang seperti itu yang dilarang untuk dijadikan pemimpin dan ditaati.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1078987555574527&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1078987555574527&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
SYAHWAT PIKIRAN
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Orang berzina, membunuh, mencuri itu karena syahwat. Orang korupsi, merampok, memanipulasi itu karena dorongan syahwat. Ada pula orang berbeda pendapat...
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Orang berzina, membunuh, mencuri itu karena syahwat. Orang korupsi, merampok, memanipulasi itu karena dorongan syahwat. Ada pula orang berbeda pendapat...
Impor Ilmu Asing
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kitab Fihrist Ibn Nadim menceritakan, pada suatu hari al-Mamun, khalifah Abbasiyah ke VII, bermimpi. Disamping tempat tidurnya duduk persis seperti berhadap-hadapan dengan sopan seorang berkulit putih berwajah kemerah-merahan, beralis tebal, berkepala setengah gundul. Dengan rasa terkejut al-Mamun bertanya:”Siapa kamu?”
“Saya Aristotle” Jawab orang itu.
Ia terkesima tapi senang. Ia kemudian bertanya lagi:
“Bolehkah saya bertanya sesuatu?”
“Bertanyalah!”, Jawab Aristotle.
“Apa itu kebaikan?”
“Kebaikan adalah apa yang ada dalam pikiran” jelas Aristotle.
Tidak cukup dengan jawaban itu ia bertanya lagi: ”Lalu apa lagi”?
“Kebaikan itu apa yang baik dalam hukum” jawabnya
“Lalu apa lagi”, Katanya
“Kebaikan adalah apa yang baik untuk publik?”
“Lalu apa lagi?”, Tanyanya
“Lagi?”, Tanya Aristotle balik “Itu saja, tidak ada lagi”.
Tapi sebenarnya dialog dalam mimpi al-Mamun belum berakhir disitu. Dalam riwayat lain masih ada fragmen dialog yang jarang disebut atau sengaja dihilangkan oleh orang-orang tertentu. Yang terakhir itu al-Mamun berkata: “Beritahu saya lagi sesuatu?”
Aristotle lalu menjawab, “Siapapun yang memberi nasehat anda tentang emas, ambillah ia sebagai emas, tapi bagi anda yang penting adalah keesaan (Tuhan)”.
Mimpi boleh jadi hanya merupakan kegelisahan jiwa (waswasat al-nafs). Dapat pula merupakan isyarat dari langit. Sebab, sabda Nabi, mimpi adalah salah satu dari 46 pertanda kenabian.
Al-Ghazzali bahkan menganggap mimpi bisa menjadi penghubung antara alam al-mulk dengan alam al-malakut. Jika mimpi al-Mamun termasuk kategori ini maka tabir kata-kata Aristotle itu bisa dijelaskan. Bahkan menurut Ibn Sirin al-Nablisi dan penafsir mimpi lainnya mimpi dapat di-tawil-kan secara ilmiah.
Tawil-nya mungkin begini: Aristotle menganggap akal atau pikiran dan masyarakat sebagai sumber kebenaran. Aristotle tidak mengenal wahyu dan Yunani bukan tempat nabi-nabi diturunkan. Menganggapnya sebagai nabi juga mustahil.
Nabi pasti membawa misi tauhid, sedangkan Aristotle tidak. Konsep Tuhannya, Unmoved-Mover (Penggerak yang tak tergerakkan) adalah hasil spekulasi pemikiran. Jumlahnya banyak, meskipun kualitasnya satu.
Itu mungkin sebabnya mengapa dalam mimpi al-Mamun ia mengatakan “Bagi anda yang penting adalah keesaan Tuhan”. Konsep Tuhan Aristotle dan al-Mamun berbeda. Yang pasti Tuhan Aristotle tidak untuk disembah dan bukan pencipta yang aktif.
Konsep Tuhan dalam Islam ditentukan oleh wahyu bukan akal. Meski Ibn Taymiyyah ataupun Ibn Tufayl menganggap fitrah manusia dapat menemukan Tuhan, tapi mereka percaya bahwa akal masih harus disempurnakan oleh wahyu (fitrah munazzalah).
Apakah mimpi al-Mamun termasuk ruya uluhiah, wallahu alam. Yang jelas setelah mimpi itu al-Mamun memulai gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Persia, Sansekerta kuno dan lain-lain kedalam bahasa Arab. Ini proyek riil bukan mimpi. Inilah diantara gerakan yang menjadi pemicu berkembangnya peradaban Islam.
Namun perlu dicatat bahwa peradaban Islam tidak berkembang hanya karena terjemahan karya-karya asing. Sebab umat Kristen Syriac juga tahu karya-karya Yunani, tapi tidak mampu berkembang seperti umat Islam saat itu.
Islam berkembang utamanya karena keunikan pandangan hidupnya. Karena pandangan hidupnya maka peradaban Islam menyerap atau meminjam unsur-unsur peradaban lain. Proses penyerapan atau pinjam meminjam dalam peradaban, kata Prof. Alparslan, adalah alami.
Tapi meminjam bukan hanya menerjemahkan. Ada mekanisme dan proses ilmiah selanjutnya. M. Rekaya dalam The Encyclopedia of Islam menulis bahwa al-Mamun mengadopsi dan mengadapsi (adopted and adapted) khazanah pemikiran asing “according to the requirement of Islamic Civilization.” Inilah paparan singkat mekanisme dan proses meminjam konsep asing,
Tidak lebih seabad dari proses adopsi konsep asing itu umat Islam telah mampu “menghasilkan karya asli.” Ini diakui William Mac Neil dalam karyanya The Rise of the West.
Cara baru penggunaan angka-angka simbol matematik al-Khawarizmi, ensiklopedia kedokteran Abu Bakar al-Raz
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kitab Fihrist Ibn Nadim menceritakan, pada suatu hari al-Mamun, khalifah Abbasiyah ke VII, bermimpi. Disamping tempat tidurnya duduk persis seperti berhadap-hadapan dengan sopan seorang berkulit putih berwajah kemerah-merahan, beralis tebal, berkepala setengah gundul. Dengan rasa terkejut al-Mamun bertanya:”Siapa kamu?”
“Saya Aristotle” Jawab orang itu.
Ia terkesima tapi senang. Ia kemudian bertanya lagi:
“Bolehkah saya bertanya sesuatu?”
“Bertanyalah!”, Jawab Aristotle.
“Apa itu kebaikan?”
“Kebaikan adalah apa yang ada dalam pikiran” jelas Aristotle.
Tidak cukup dengan jawaban itu ia bertanya lagi: ”Lalu apa lagi”?
“Kebaikan itu apa yang baik dalam hukum” jawabnya
“Lalu apa lagi”, Katanya
“Kebaikan adalah apa yang baik untuk publik?”
“Lalu apa lagi?”, Tanyanya
“Lagi?”, Tanya Aristotle balik “Itu saja, tidak ada lagi”.
Tapi sebenarnya dialog dalam mimpi al-Mamun belum berakhir disitu. Dalam riwayat lain masih ada fragmen dialog yang jarang disebut atau sengaja dihilangkan oleh orang-orang tertentu. Yang terakhir itu al-Mamun berkata: “Beritahu saya lagi sesuatu?”
Aristotle lalu menjawab, “Siapapun yang memberi nasehat anda tentang emas, ambillah ia sebagai emas, tapi bagi anda yang penting adalah keesaan (Tuhan)”.
Mimpi boleh jadi hanya merupakan kegelisahan jiwa (waswasat al-nafs). Dapat pula merupakan isyarat dari langit. Sebab, sabda Nabi, mimpi adalah salah satu dari 46 pertanda kenabian.
Al-Ghazzali bahkan menganggap mimpi bisa menjadi penghubung antara alam al-mulk dengan alam al-malakut. Jika mimpi al-Mamun termasuk kategori ini maka tabir kata-kata Aristotle itu bisa dijelaskan. Bahkan menurut Ibn Sirin al-Nablisi dan penafsir mimpi lainnya mimpi dapat di-tawil-kan secara ilmiah.
Tawil-nya mungkin begini: Aristotle menganggap akal atau pikiran dan masyarakat sebagai sumber kebenaran. Aristotle tidak mengenal wahyu dan Yunani bukan tempat nabi-nabi diturunkan. Menganggapnya sebagai nabi juga mustahil.
Nabi pasti membawa misi tauhid, sedangkan Aristotle tidak. Konsep Tuhannya, Unmoved-Mover (Penggerak yang tak tergerakkan) adalah hasil spekulasi pemikiran. Jumlahnya banyak, meskipun kualitasnya satu.
Itu mungkin sebabnya mengapa dalam mimpi al-Mamun ia mengatakan “Bagi anda yang penting adalah keesaan Tuhan”. Konsep Tuhan Aristotle dan al-Mamun berbeda. Yang pasti Tuhan Aristotle tidak untuk disembah dan bukan pencipta yang aktif.
Konsep Tuhan dalam Islam ditentukan oleh wahyu bukan akal. Meski Ibn Taymiyyah ataupun Ibn Tufayl menganggap fitrah manusia dapat menemukan Tuhan, tapi mereka percaya bahwa akal masih harus disempurnakan oleh wahyu (fitrah munazzalah).
Apakah mimpi al-Mamun termasuk ruya uluhiah, wallahu alam. Yang jelas setelah mimpi itu al-Mamun memulai gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Persia, Sansekerta kuno dan lain-lain kedalam bahasa Arab. Ini proyek riil bukan mimpi. Inilah diantara gerakan yang menjadi pemicu berkembangnya peradaban Islam.
Namun perlu dicatat bahwa peradaban Islam tidak berkembang hanya karena terjemahan karya-karya asing. Sebab umat Kristen Syriac juga tahu karya-karya Yunani, tapi tidak mampu berkembang seperti umat Islam saat itu.
Islam berkembang utamanya karena keunikan pandangan hidupnya. Karena pandangan hidupnya maka peradaban Islam menyerap atau meminjam unsur-unsur peradaban lain. Proses penyerapan atau pinjam meminjam dalam peradaban, kata Prof. Alparslan, adalah alami.
Tapi meminjam bukan hanya menerjemahkan. Ada mekanisme dan proses ilmiah selanjutnya. M. Rekaya dalam The Encyclopedia of Islam menulis bahwa al-Mamun mengadopsi dan mengadapsi (adopted and adapted) khazanah pemikiran asing “according to the requirement of Islamic Civilization.” Inilah paparan singkat mekanisme dan proses meminjam konsep asing,
Tidak lebih seabad dari proses adopsi konsep asing itu umat Islam telah mampu “menghasilkan karya asli.” Ini diakui William Mac Neil dalam karyanya The Rise of the West.
Cara baru penggunaan angka-angka simbol matematik al-Khawarizmi, ensiklopedia kedokteran Abu Bakar al-Raz
i, sejarah dunia dari konsep penciptaan al-Thabari dan lain-lain membuktikan hal itu.
Bagi Thomas Brown, (The Oxford History of Medieval Europe) keberhasilan dan kekuatan umat Islam terletak pada kemampuan mereka mengembangkan “sintesa yang original dan kuat”.
Rekaya benar, penerjemahan barulah proses adopsi. Sesudah itu diikuti oleh proses adapsi konseptual. Disinilah pandangan hidup Islam memainkan peran sentralnya. Konsep Tuhan, konsep hidup, konsep manusia, konsep dunia dan lain-lain, menjadi penapis konseptual.
Penapisan konseptual terkadang memerlukan perubahan paradigma (paradigm shift). Jika demikian maka inilah yang dinamakan al-Attas sebagai proses Islamisasi. Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain mencoba mengislamkan berbagai konsep Yunani.
Karena begitu kompleksnya konsep-konsep asing itu kekurangan terjadi disana sini. Itulah sebabnya mengapa al-Ghazzali merasa perlu menulis Tahafut al-Falasifah, dan Fakhr al-Din al-Razi perlu menulis Mathalib al-aliyah. Demikian seterusnya.
Jika kini konsep-konsep yang dikembangkan al-Ashari, al-Ghazzali, al-Razi dan lain-lain diganti dengan konsep-konsep Immanuel Kant, Derrida, Emilio Betti, Paul Ricour dan sebagainya, maka kita justru akan set back ke periode adopsi konsep-konsep.
Lebih-lebih jika konsep-konsep sentral dalam pandangan hidup Islam juga digusur oleh konsep-konsep asing. Yang terjadi bukan Islamisasi konseptual tapi justru invitasi konsep-konsep asing tanpa koreksi dan kritik.
Apakah salahnya “mengundang” konsep asing “ke rumah” kita? Apa salahnya menggunakan konsep asing? Memang tidak salah, asalkan tamu yang diundang tidak berubah menjadi tuan rumah. Dan asal konsep-konsep asing dengan kerancuan konseptualnya tidak dibiarkan tanpa koreksi. Pepatah kuno mengatakan Amici vitias si feras, facias tua, membiarkan kesalahan kawan tanpa koreksi berarti menjadikannya milik anda.
Bagi Thomas Brown, (The Oxford History of Medieval Europe) keberhasilan dan kekuatan umat Islam terletak pada kemampuan mereka mengembangkan “sintesa yang original dan kuat”.
Rekaya benar, penerjemahan barulah proses adopsi. Sesudah itu diikuti oleh proses adapsi konseptual. Disinilah pandangan hidup Islam memainkan peran sentralnya. Konsep Tuhan, konsep hidup, konsep manusia, konsep dunia dan lain-lain, menjadi penapis konseptual.
Penapisan konseptual terkadang memerlukan perubahan paradigma (paradigm shift). Jika demikian maka inilah yang dinamakan al-Attas sebagai proses Islamisasi. Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain mencoba mengislamkan berbagai konsep Yunani.
Karena begitu kompleksnya konsep-konsep asing itu kekurangan terjadi disana sini. Itulah sebabnya mengapa al-Ghazzali merasa perlu menulis Tahafut al-Falasifah, dan Fakhr al-Din al-Razi perlu menulis Mathalib al-aliyah. Demikian seterusnya.
Jika kini konsep-konsep yang dikembangkan al-Ashari, al-Ghazzali, al-Razi dan lain-lain diganti dengan konsep-konsep Immanuel Kant, Derrida, Emilio Betti, Paul Ricour dan sebagainya, maka kita justru akan set back ke periode adopsi konsep-konsep.
Lebih-lebih jika konsep-konsep sentral dalam pandangan hidup Islam juga digusur oleh konsep-konsep asing. Yang terjadi bukan Islamisasi konseptual tapi justru invitasi konsep-konsep asing tanpa koreksi dan kritik.
Apakah salahnya “mengundang” konsep asing “ke rumah” kita? Apa salahnya menggunakan konsep asing? Memang tidak salah, asalkan tamu yang diundang tidak berubah menjadi tuan rumah. Dan asal konsep-konsep asing dengan kerancuan konseptualnya tidak dibiarkan tanpa koreksi. Pepatah kuno mengatakan Amici vitias si feras, facias tua, membiarkan kesalahan kawan tanpa koreksi berarti menjadikannya milik anda.
Kado Pernikahan
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
Sinopsis:
Pernikahan adalah ibadah yang sangat sakral. Namun, masih banyak di antara kita yang belum mengetahui dan memahami seluk beluknya. Padahal, tanpa pemahaman yang benar, bahtera pernikahan akan berjalan tidak sesuai dengan apa yang diidamkan, bahkan bisa berakibat kepada kehancuran mahligai rumah tangga.
Buku ini mengulas secara terperinci segala hal yang harus dipahami dan diketahui, baik menjelang maupun sesudah pernikahan. Dimulai dari pembinaan akhlak generasi muda agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas pra nikah, memilih pasangan, pendidikan seks Islami, penyelesaian problematika dalam rumah tangga, hingga pendidikan anak. Seluruh persoalan itu dijelaskan secara detil namun ringkas dengan merujuk pada dalil-dalil al-Qur`an dan sunnah Nabi s.a.w.
Penulisnya—yang merupakan murid langsung dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani—tidak hanya memaparkan dan mengupas dalil-dalil tentang pernikahan dan kehidupan berumah tangga, namun juga mengajukan fakta dan kasus yang sering terjadi dalam pembinaan keluarga dewasa ini. Sehingga, karya ini sangat layak dijadikan rujukan bagi setiap muslim dan muslimah yang hendak dan sedang mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga, demi terwujudnya keluarga yang mawaddah, sakinah, wa rahmah. Selamat membaca.
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
Lahir di Damaskus, Suriah, pada 1327 H. Belajar hadis secara langsung dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan mengadopsi metode sang guru dalam penelitian dan takhrij hadis. Karenanya, tidak mengherankan apabila gaya dan metode penulisan kedua ulama besar ini sangat mirip.
Selain aktif berdakwah, mendidik, dan mengajar hadis, ulama yang wafat pada tahun 1420 H ini juga produktif dalam menulis. Buku-bukunya diterima dengan sangat baik dan luas oleh kaum Muslimin di seluruh dunia. Tuhfatul Arusy yang terjemahannya berada di tangan pembaca ini adalah masterpiece dari puluhan judul karya tulisnya, yang semuanya juga sudah dibukukan.
_____________________
Kado Pernikahan
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
ISBN: 978-979-1303-59-0
Ukuran: 15.5 x 24 cm
Jenis Buku: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Jumlah Hlm: 336 hlm
Berat: 0.6 kg
Harga Rp. 85.000,-
Pemesanan silahkan hubungi 087878147997. Syukran
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
Sinopsis:
Pernikahan adalah ibadah yang sangat sakral. Namun, masih banyak di antara kita yang belum mengetahui dan memahami seluk beluknya. Padahal, tanpa pemahaman yang benar, bahtera pernikahan akan berjalan tidak sesuai dengan apa yang diidamkan, bahkan bisa berakibat kepada kehancuran mahligai rumah tangga.
Buku ini mengulas secara terperinci segala hal yang harus dipahami dan diketahui, baik menjelang maupun sesudah pernikahan. Dimulai dari pembinaan akhlak generasi muda agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas pra nikah, memilih pasangan, pendidikan seks Islami, penyelesaian problematika dalam rumah tangga, hingga pendidikan anak. Seluruh persoalan itu dijelaskan secara detil namun ringkas dengan merujuk pada dalil-dalil al-Qur`an dan sunnah Nabi s.a.w.
Penulisnya—yang merupakan murid langsung dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani—tidak hanya memaparkan dan mengupas dalil-dalil tentang pernikahan dan kehidupan berumah tangga, namun juga mengajukan fakta dan kasus yang sering terjadi dalam pembinaan keluarga dewasa ini. Sehingga, karya ini sangat layak dijadikan rujukan bagi setiap muslim dan muslimah yang hendak dan sedang mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga, demi terwujudnya keluarga yang mawaddah, sakinah, wa rahmah. Selamat membaca.
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
Lahir di Damaskus, Suriah, pada 1327 H. Belajar hadis secara langsung dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan mengadopsi metode sang guru dalam penelitian dan takhrij hadis. Karenanya, tidak mengherankan apabila gaya dan metode penulisan kedua ulama besar ini sangat mirip.
Selain aktif berdakwah, mendidik, dan mengajar hadis, ulama yang wafat pada tahun 1420 H ini juga produktif dalam menulis. Buku-bukunya diterima dengan sangat baik dan luas oleh kaum Muslimin di seluruh dunia. Tuhfatul Arusy yang terjemahannya berada di tangan pembaca ini adalah masterpiece dari puluhan judul karya tulisnya, yang semuanya juga sudah dibukukan.
_____________________
Kado Pernikahan
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
ISBN: 978-979-1303-59-0
Ukuran: 15.5 x 24 cm
Jenis Buku: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Jumlah Hlm: 336 hlm
Berat: 0.6 kg
Harga Rp. 85.000,-
Pemesanan silahkan hubungi 087878147997. Syukran