sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb). Pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini tampak mendapat banyak pengikut di Indonesia.
Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).
Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah saw. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang konsep agama Ibn Arabi yang berbeda dengan cara pandang penulis buku ini, yang sudah beriman secara bulat-bulat kepada teori Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa membandingkan hasil kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian penulis disertasi ini.
Kelima, kesalahan fatal penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan mengimani tanpa kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal, banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat Maryamiyya yang dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World ; Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University Press, 2004).
Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and that its esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi melukis. Ia juga tak segan-segan membuat luk
Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).
Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah saw. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang konsep agama Ibn Arabi yang berbeda dengan cara pandang penulis buku ini, yang sudah beriman secara bulat-bulat kepada teori Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa membandingkan hasil kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian penulis disertasi ini.
Kelima, kesalahan fatal penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan mengimani tanpa kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal, banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat Maryamiyya yang dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World ; Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University Press, 2004).
Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and that its esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi melukis. Ia juga tak segan-segan membuat luk
isan telanjang, sebagai simbol esoterisme. (Ibid, hal. 148). Setelah mengaku “bertemu” dengan Bunda Maria (Virgin Mary), Schuon juga membuat lukisan yang terkadang menggambarkan Bunda Maria dalam keadaan telanjang bulat atau telanjang sebagian yang mempertontonkan payudaranya. Katanya, itu sebagai simbol untuk mengungkapkan kebenaran dan membebaskan kasih sayang. (to the unveiling of truth in the sense of gnosis and to liberating mercy.” (Ibid, hal 151). Tahun 1965, Schuon menikah lagi. Uniknya, kali ini ia menikahi salah satu muridnya sendiri, tanpa perlu bercerai dengan suaminya terdahulu. Perkawinan ini dijuluki sebagai “perkawinan vertikal” atau “perkawinan spiritual”. (Ibid, hal. 152-153).
Penutup.
Sebenarnya, teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun.
Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat, tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis. Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama!
Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir.
Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan.
Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham KTAA, bahwa aspek esoterik (batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim -- yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?
Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak agama itu sendiri.
Jika kita renungkan, yang logis bukan konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”, tetapi yang benar adalah “Satu Tuhan, Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayat-ayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya, yaitu agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu (revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion). Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan Iblis.
Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak perlu beriman kepada kenabian Muhammad saw. Karena itulah, saya membaca syahadat: Say
Penutup.
Sebenarnya, teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun.
Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat, tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis. Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama!
Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir.
Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan.
Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham KTAA, bahwa aspek esoterik (batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim -- yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?
Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak agama itu sendiri.
Jika kita renungkan, yang logis bukan konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”, tetapi yang benar adalah “Satu Tuhan, Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayat-ayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya, yaitu agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu (revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion). Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan Iblis.
Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak perlu beriman kepada kenabian Muhammad saw. Karena itulah, saya membaca syahadat: Say
a bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, Tuhan saya jelas,yaitu Allah! Bukan asal Tuhan, atau Tuhan asal--asalan. Itu karena posisi saya sudah jelas, yaitu saya Muslim, saya sudah memilih Islam. Saya bukan Kristen, saya bukan Yahudi, saya bukan Hindu, atau penganut paham kebenaran semua agama. Itu keyakinan saya, dan saya sangat menghormati keyakinan yang berbeda dengan saya, meskipun saya tidak membenarkannya. Saya tidak boleh memaksa orang lain mengikuti pendapat saya. Itulah makna toleransi dan mutual understanding.
Jadi, sejatinya, teori Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah teori yang absurd (senseless). KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi “uculuddin” (bahasa Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah dosen di Fakultas Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”! Wallahu a’lam. (Depok, 20 Oktober 2011).
Jadi, sejatinya, teori Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah teori yang absurd (senseless). KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi “uculuddin” (bahasa Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah dosen di Fakultas Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”! Wallahu a’lam. (Depok, 20 Oktober 2011).
Rehat
ISTRI CANTIK SUAMI BURUK
Suami : "Saya bersyukur mendapat istri secantik adik"
Istri : "Kalo gitu insyaallah kita sama-sama di surga bang?"
Suami : "Kok bisa dik?"
Istri : "Abang masuk surga karena bersyukur dapat adik dan adik masuk surga karena bersabar dapat abang".
😀😀😀
-- Ust Adi Hidayat, Lc. MA
ISTRI CANTIK SUAMI BURUK
Suami : "Saya bersyukur mendapat istri secantik adik"
Istri : "Kalo gitu insyaallah kita sama-sama di surga bang?"
Suami : "Kok bisa dik?"
Istri : "Abang masuk surga karena bersyukur dapat adik dan adik masuk surga karena bersabar dapat abang".
😀😀😀
-- Ust Adi Hidayat, Lc. MA
TAFSIR AL MUNIR
DISKON Rp. 300.000,- DAN GRATIS ONGKOS KIRIM.
Tafsir Al Munir adalah hasil karya tafsir terbaik yang pernah dimiliki umat islam di era modern ini. Buku ini sangat laris di timur tengah dan negara-negara di Jazirah Arab. Karya ini hadir sebagai rujukan utama di setiap kajian tafsir di setiap majlis ilmu. Secara bobot dan kualitas jelas memenuhi hal tersebut. Dalam karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili ini terdapat pembahasan-pembahasan penting dalam mengkaji al-qur
--------------
TAFSIR AL MUNIR
1 Set (berisi 15 Jilid). Dilengkapi dengan Box. Berat sekitar 20Kg.
Penulis: Prof. Dr. Wahbah Zuhaili
Harga: Rp 2.595.000,- DISKON Rp. 300.000,- menjadi Rp. 2.295.000,- dan GRATIS ONGKOS KIRIM.
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
DISKON Rp. 300.000,- DAN GRATIS ONGKOS KIRIM.
Tafsir Al Munir adalah hasil karya tafsir terbaik yang pernah dimiliki umat islam di era modern ini. Buku ini sangat laris di timur tengah dan negara-negara di Jazirah Arab. Karya ini hadir sebagai rujukan utama di setiap kajian tafsir di setiap majlis ilmu. Secara bobot dan kualitas jelas memenuhi hal tersebut. Dalam karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili ini terdapat pembahasan-pembahasan penting dalam mengkaji al-qur
an yaitu metode penyusunan tafsir berdasar pada metode tafsir bil ma
tsur dan tafsir bir ra ya Ada penjelasan kandungan ayat secara terperinci dan menyeluruh. Dijelaskan sebab turunnya Al-Qur
an. dll--------------
TAFSIR AL MUNIR
1 Set (berisi 15 Jilid). Dilengkapi dengan Box. Berat sekitar 20Kg.
Penulis: Prof. Dr. Wahbah Zuhaili
Harga: Rp 2.595.000,- DISKON Rp. 300.000,- menjadi Rp. 2.295.000,- dan GRATIS ONGKOS KIRIM.
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Shohih mukhtasor tafsir ibn katsir, 3 jilid, darussalam mesir. Berat 3kg, Rp 480.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Sikap dan perilaku jahat kaum munafik – yang secara lahir mengaku beriman, tetapi batinnya mencintai kekufuran – bahkan diabadikan dalam satu surat khusus, yaitu Surat al-Munafiqun (63). Mereka dikenal sebagai pendusta, mengaku-aku iman padahal selalu memusuhi kaum Muslimin. Kadang mereka tak segan bersumpah-sumpah agar bisa dipercaya. Padahal, mereka selalu berusaha menghalagi manusia untuk mendekat kepada Allah. Juga, tak jarang penampilan lahiriah kaum munafik itu sangat memukau; ucapan-ucapan mereka pun banyak didengar orang. Jika diajak beriman, mereka bersikap angkuh, membuang muka, enggan menerima kebenaran. (QS 63:1-5).
-Dr. Adian Husaini-
-Dr. Adian Husaini-
Jika dicermati, kini banyak sekali sarjana lulusan UI, ITB, IPB, dan sebagainya, yang memilih berprofesi sebagai guru. Bahkan tidak sedikit para insinyur dan pakar ekonomi yang aktif bergelut dalam bidang pendidikan. Dan mereka terbukti sukses mewujudkan dan mengelola berbagai lembaga pendidikan Islam terkenal.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1067666910039925&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1067666910039925&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
Kepemimpinan Perguruan Tinggi Islam
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam berbagai kesempatan seminar atau kuliah umum, saya menyampaikan satu penyataan, bahwa dalam kurun waktu 25-30 tahun belakangan,...
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam berbagai kesempatan seminar atau kuliah umum, saya menyampaikan satu penyataan, bahwa dalam kurun waktu 25-30 tahun belakangan,...
Kepemimpinan Perguruan Tinggi Islam
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam berbagai kesempatan seminar atau kuliah umum, saya menyampaikan satu penyataan, bahwa dalam kurun waktu 25-30 tahun belakangan, telah terjadi kebangkitan sekolah-sekolah Islam di Indonesia. Itu terjadi khususnya pada lembaga pendidikan tingkat TK, dasar, dan menengah.
Kini dapat disaksikan, di berbagai pelosok daerah, banyak kalangan menengah muslim tidak segan-segan menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah Islam, bahkan ke pondok-pondok pesantren. Tak jarang, mereka rela meninggalkan kesempatan untuk memasuki sekolah-sekolah negeri. Bagi sebagian orang, masuk ke sekolah Islam, dengan membayar mahal pun, tak jadi soal.
Tetapi kepercayaan seperti itu belum dinikmati Perguruan Tinggi Islam (PTI). Sejauh informasi yang saya terima, hingga kini, murid-murid pintar lulusan SMA sekolah-sekolah Islam unggulan, belum menjadikan Perguruan-perguruan Tinggi Islam, sebagai tujuan utama kuliah utama mereka.
Berbagai SMA Islam masih memasang ‘promosi’, bahwa sekian persen lulusan mereka diterima di berbagai Perguruan Tinggi Favorit. Yang dimaksud ‘favorit’ adalah semisal UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Undip, Unpad, dan sebagainya. Sejumlah universitas Islam kini menduduki ‘peringkat atas’; masuk 50 besar universitas terbaik di Indonesia, versi sejumlah lembaga pemeringkat.
Dari segi pemilihan jurusan (Program Studi) belum ada pergeseran yang signifikan dalam hal minat calon mahasiswa. Kedokteran Umum masih menduduki peringkat tertinggi. Biasanya disusul Teknologi Informasi, Ekonomi, dan seterusnya. Hingga kini, bidang Keguruan dan Pendidikan belum menjadi tujuan utama para murid-murid SMA terbaik secara akademik. Mungkin ada pemenang olimpiade matematika internasional yang mendaftar menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah di satu PTI, tetapi saya tidak tahu. Wallahu A’lam.
Padahal, jika dicermati, kini banyak sekali sarjana lulusan UI, ITB, IPB, dan sebagainya, yang memilih berprofesi sebagai guru. Bahkan tidak sedikit para insinyur dan pakar ekonomi yang aktif bergelut dalam bidang pendidikan. Dan mereka terbukti sukses mewujudkan dan mengelola berbagai lembaga pendidikan Islam terkenal.
Mengapa sekolah-sekolah Islam bangkit dan menjadi tujuan utama para murid muslim yang pintar-pintar? Jawabnya sederhaha. Sebab, sekolah-sekolah Islam itu berbenah dengan serius meningkatkan kualitasnya. Mereka bukan hanya memasang target kompetensi keunggulan akademik, tetapi juga kompetensi iman, taqwa, dan akhlak mulia. Sebagian sekolah, menambah dengan kompetensi hafalan al-Quran. Intinya, ada ‘nilai jual’, ada ‘distingsi’ atau ‘keunikan’, yang bersifat Islami, yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah Islam.
Urgensi Kebangkitan PTI
Kebangkitan sekolah-sekolah Islam itu kini telah meluluskan ribuan murid-murid SMA muslim yang berkualifikasi tinggi, baik secara akademik atau pun secara akhlak. Tidak sedikit dari mereka yang juga sudah hafal al-Quran 30 juz. Sepatutnya, para murid terbaik itu melanjutkan pendidikan mereka ke PTI, agar pembinaan intelektual, keimanan, ketaqwaan, seta akhlak mereka terus berjalan dengan baik.
Tetapi, realitasnya, hingga kini, di kalangan orang tua dan para murid lulusan SMA, masih banyak muncul pertanyaan: di kampus mana di Indonesia, kita bisa mendidik anak-anak kita untuk menjadi ahli Tafsir al-Quran, ahli ilmu fiqih, ahli sejarah Islam, ahli sains Islam, ahli psikologi Islam, dan sebagainya? Dimana kita mengirim anak-anak kita untuk dididik menjadi wartawan muslim yang tangguh? Kemana kuliahnya, seorang yang ingin menjadi pejuang profesional di bidang hukum? Bahkan, kemana kuliahnya, jika kita ingin mendidik anak-anak kita menjadi guru pejuang yang hebat?
Patut disyukuri, kini sejumlah universitas Islam telah menempati jajaran perguruan tinggi elite di Indonesia. Beberapa prodi mereka diserbu calon mahasiswa. Beberapa universitas Islam kini memiliki jumlah mahasiswa lebih dari 20 ribu orang. Jumlah yang fantastis!
Semua prestasi dan kepercayaan itu patut disyukuri. Itu amanah! Namun, tantangan tidak berhenti sampai disitu. Sebab, tujuan terpenting pe
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam berbagai kesempatan seminar atau kuliah umum, saya menyampaikan satu penyataan, bahwa dalam kurun waktu 25-30 tahun belakangan, telah terjadi kebangkitan sekolah-sekolah Islam di Indonesia. Itu terjadi khususnya pada lembaga pendidikan tingkat TK, dasar, dan menengah.
Kini dapat disaksikan, di berbagai pelosok daerah, banyak kalangan menengah muslim tidak segan-segan menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah Islam, bahkan ke pondok-pondok pesantren. Tak jarang, mereka rela meninggalkan kesempatan untuk memasuki sekolah-sekolah negeri. Bagi sebagian orang, masuk ke sekolah Islam, dengan membayar mahal pun, tak jadi soal.
Tetapi kepercayaan seperti itu belum dinikmati Perguruan Tinggi Islam (PTI). Sejauh informasi yang saya terima, hingga kini, murid-murid pintar lulusan SMA sekolah-sekolah Islam unggulan, belum menjadikan Perguruan-perguruan Tinggi Islam, sebagai tujuan utama kuliah utama mereka.
Berbagai SMA Islam masih memasang ‘promosi’, bahwa sekian persen lulusan mereka diterima di berbagai Perguruan Tinggi Favorit. Yang dimaksud ‘favorit’ adalah semisal UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Undip, Unpad, dan sebagainya. Sejumlah universitas Islam kini menduduki ‘peringkat atas’; masuk 50 besar universitas terbaik di Indonesia, versi sejumlah lembaga pemeringkat.
Dari segi pemilihan jurusan (Program Studi) belum ada pergeseran yang signifikan dalam hal minat calon mahasiswa. Kedokteran Umum masih menduduki peringkat tertinggi. Biasanya disusul Teknologi Informasi, Ekonomi, dan seterusnya. Hingga kini, bidang Keguruan dan Pendidikan belum menjadi tujuan utama para murid-murid SMA terbaik secara akademik. Mungkin ada pemenang olimpiade matematika internasional yang mendaftar menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah di satu PTI, tetapi saya tidak tahu. Wallahu A’lam.
Padahal, jika dicermati, kini banyak sekali sarjana lulusan UI, ITB, IPB, dan sebagainya, yang memilih berprofesi sebagai guru. Bahkan tidak sedikit para insinyur dan pakar ekonomi yang aktif bergelut dalam bidang pendidikan. Dan mereka terbukti sukses mewujudkan dan mengelola berbagai lembaga pendidikan Islam terkenal.
Mengapa sekolah-sekolah Islam bangkit dan menjadi tujuan utama para murid muslim yang pintar-pintar? Jawabnya sederhaha. Sebab, sekolah-sekolah Islam itu berbenah dengan serius meningkatkan kualitasnya. Mereka bukan hanya memasang target kompetensi keunggulan akademik, tetapi juga kompetensi iman, taqwa, dan akhlak mulia. Sebagian sekolah, menambah dengan kompetensi hafalan al-Quran. Intinya, ada ‘nilai jual’, ada ‘distingsi’ atau ‘keunikan’, yang bersifat Islami, yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah Islam.
Urgensi Kebangkitan PTI
Kebangkitan sekolah-sekolah Islam itu kini telah meluluskan ribuan murid-murid SMA muslim yang berkualifikasi tinggi, baik secara akademik atau pun secara akhlak. Tidak sedikit dari mereka yang juga sudah hafal al-Quran 30 juz. Sepatutnya, para murid terbaik itu melanjutkan pendidikan mereka ke PTI, agar pembinaan intelektual, keimanan, ketaqwaan, seta akhlak mereka terus berjalan dengan baik.
Tetapi, realitasnya, hingga kini, di kalangan orang tua dan para murid lulusan SMA, masih banyak muncul pertanyaan: di kampus mana di Indonesia, kita bisa mendidik anak-anak kita untuk menjadi ahli Tafsir al-Quran, ahli ilmu fiqih, ahli sejarah Islam, ahli sains Islam, ahli psikologi Islam, dan sebagainya? Dimana kita mengirim anak-anak kita untuk dididik menjadi wartawan muslim yang tangguh? Kemana kuliahnya, seorang yang ingin menjadi pejuang profesional di bidang hukum? Bahkan, kemana kuliahnya, jika kita ingin mendidik anak-anak kita menjadi guru pejuang yang hebat?
Patut disyukuri, kini sejumlah universitas Islam telah menempati jajaran perguruan tinggi elite di Indonesia. Beberapa prodi mereka diserbu calon mahasiswa. Beberapa universitas Islam kini memiliki jumlah mahasiswa lebih dari 20 ribu orang. Jumlah yang fantastis!
Semua prestasi dan kepercayaan itu patut disyukuri. Itu amanah! Namun, tantangan tidak berhenti sampai disitu. Sebab, tujuan terpenting pe
ndidikan dalam Islam, dan juga dalam ketentuan UUD 1945 serta UU Pendidikan Tinggi (UU No 12 tahun 2012) adalah pengembangan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
UUD 1945 pasal 31 (c) pun menegaskan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Jadi, merujuk kepada UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi, aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia sepatutnya menjadi tekanan utama proses pendidikan di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya di PTI. Itu tataran normatifnya. Maka, sepatutnya, tujuan pendidikan itu dijabarkan dalam kurikulum, program pendidikan, dan evaluasi pendidikan. PTI sepatutnya menjadi pelopor dalam hal ini.
Mahasiswa muslim PTI yang akan ujian skripsi, misalnya, harus diuji aspek iman, taqwa, dan akhlaknya. Bukan hanya diuji kualitas akademiknya. Lucu, jika ada mahasiswa muslim lulus sarjana dari suatu PTI, tetapi tidak bisa membaca al-Quran dengan baik. Lebih parah, jika ia lulus sarjana, tetapi tidak disiplin dalam menjalankan salat lima waktu, atau jahat akhlaknya. Padahal, PTI tersebut memasang slogan-slogan indah dalam bentuk perumusan visi-misi kampus yang ideal.
Peringatan Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Quran sangat keras: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? (Itu) sangatlah dibenci oleh Allah, jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan!” (QS 61:2-3).
Era 25 tahun kedua
Menyusul era 25 tahun pertama, berupa Kebangkitan Pendidikan Islam di peringkat dasar dan menengah, maka saya pikir, perlu dicanangkan sebuah tekad mulia untuk mencanangkan 2020-2045 sebagai era Kebangkitan Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia. Itulah era 25 Tahun Kedua Kebangkitan Pendidikan Indonesia.
Kebangkitan itu harus berpijak pada landasan dan konsep yang kokoh dalam pendidikan Islam, yakni penanaman adab dan pencapaian ilmu yang gemilang. Proses penanaman nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, dalam tradisi pendidikan Islam disebut sebagai proses penanaman adab (inculcation of adab). Itulah hakikat dan inti pendidikan dalam Islam, sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Konferensi Pendidikan Islam Internasional pertama di Makkah, 1977.
Pada 13 November 2017, gagasan al-Attas itu digaungkan lagi oleh Dr. Muhammad Ardiansyah, dalam bentuk disertasi doktor bidang Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Disertasinya berjudul “Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi”.
Melalui disertasinya, Ardiansyah membuktikan, bahwa konsep adab yang dirumuskan oleh Prof. al-Attas bersifat unik, penting, mendasar, dan aplikatif. Al-Attas bukan saja berhasil membuat rumusan konsep adab yang komprehensif, tetapi al-Attas juga telah membuktikan bahwa konsepnya bisa diterapkan di dunia pendidikan modern, khususnya di Perguruan Tinggi.
Menurut Ardiansyah, konsep adab sendiri bukanlah hal baru dalam ajaran Islam. Para ulama Islam telah menekankan penting dan strategisnya konsep ini. Itu bisa dilihat dari pernyataan para ulama seperti Umar ibn al-Khattab r.a. yang menyatakan taadabû tsumma ta‘allamû (beradablah kalian, kemudian pelajari ilmu). (Lihat, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah li Thâlibî Tharîq al-Haq, (Beirut:al-Maktabat al-Sya’biyah, tanpa tahun), hlm. 54).
Konsep adab ini bukan konsep baru. Sejak dulu para ulama sudah membahas dan mengaplikasikannya. Beberapa ulama telah menyampaikan makna adab. Abu al-Qasim al-Qusyairy (w 465 H) menyatakan dalam al-Risalat al-Qusyairiyah, bahwa esensi adab adalah gabungan semua sikap yang baik (ijtimâ’ jamî’ khisâl al-khair). Oleh karena itu orang yang beradab adalah orang yang terhimpun sikap yang baik di dalam dirinya.
Dalam disertasinya, Ardiansyah menawarkan enam langkah aplikasi
UUD 1945 pasal 31 (c) pun menegaskan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Jadi, merujuk kepada UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi, aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia sepatutnya menjadi tekanan utama proses pendidikan di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya di PTI. Itu tataran normatifnya. Maka, sepatutnya, tujuan pendidikan itu dijabarkan dalam kurikulum, program pendidikan, dan evaluasi pendidikan. PTI sepatutnya menjadi pelopor dalam hal ini.
Mahasiswa muslim PTI yang akan ujian skripsi, misalnya, harus diuji aspek iman, taqwa, dan akhlaknya. Bukan hanya diuji kualitas akademiknya. Lucu, jika ada mahasiswa muslim lulus sarjana dari suatu PTI, tetapi tidak bisa membaca al-Quran dengan baik. Lebih parah, jika ia lulus sarjana, tetapi tidak disiplin dalam menjalankan salat lima waktu, atau jahat akhlaknya. Padahal, PTI tersebut memasang slogan-slogan indah dalam bentuk perumusan visi-misi kampus yang ideal.
Peringatan Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Quran sangat keras: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? (Itu) sangatlah dibenci oleh Allah, jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan!” (QS 61:2-3).
Era 25 tahun kedua
Menyusul era 25 tahun pertama, berupa Kebangkitan Pendidikan Islam di peringkat dasar dan menengah, maka saya pikir, perlu dicanangkan sebuah tekad mulia untuk mencanangkan 2020-2045 sebagai era Kebangkitan Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia. Itulah era 25 Tahun Kedua Kebangkitan Pendidikan Indonesia.
Kebangkitan itu harus berpijak pada landasan dan konsep yang kokoh dalam pendidikan Islam, yakni penanaman adab dan pencapaian ilmu yang gemilang. Proses penanaman nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, dalam tradisi pendidikan Islam disebut sebagai proses penanaman adab (inculcation of adab). Itulah hakikat dan inti pendidikan dalam Islam, sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Konferensi Pendidikan Islam Internasional pertama di Makkah, 1977.
Pada 13 November 2017, gagasan al-Attas itu digaungkan lagi oleh Dr. Muhammad Ardiansyah, dalam bentuk disertasi doktor bidang Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Disertasinya berjudul “Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi”.
Melalui disertasinya, Ardiansyah membuktikan, bahwa konsep adab yang dirumuskan oleh Prof. al-Attas bersifat unik, penting, mendasar, dan aplikatif. Al-Attas bukan saja berhasil membuat rumusan konsep adab yang komprehensif, tetapi al-Attas juga telah membuktikan bahwa konsepnya bisa diterapkan di dunia pendidikan modern, khususnya di Perguruan Tinggi.
Menurut Ardiansyah, konsep adab sendiri bukanlah hal baru dalam ajaran Islam. Para ulama Islam telah menekankan penting dan strategisnya konsep ini. Itu bisa dilihat dari pernyataan para ulama seperti Umar ibn al-Khattab r.a. yang menyatakan taadabû tsumma ta‘allamû (beradablah kalian, kemudian pelajari ilmu). (Lihat, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah li Thâlibî Tharîq al-Haq, (Beirut:al-Maktabat al-Sya’biyah, tanpa tahun), hlm. 54).
Konsep adab ini bukan konsep baru. Sejak dulu para ulama sudah membahas dan mengaplikasikannya. Beberapa ulama telah menyampaikan makna adab. Abu al-Qasim al-Qusyairy (w 465 H) menyatakan dalam al-Risalat al-Qusyairiyah, bahwa esensi adab adalah gabungan semua sikap yang baik (ijtimâ’ jamî’ khisâl al-khair). Oleh karena itu orang yang beradab adalah orang yang terhimpun sikap yang baik di dalam dirinya.
Dalam disertasinya, Ardiansyah menawarkan enam langkah aplikasi
konsep adab di Perguruan Tinggi: Pertama, mensosialisaikan tujuan pendidikan sebagai proses menanamkan adab yang diawali dengan tazkiyatun nafs. Kedua, menyusun kurikulum pendidikan secara hirarkis dengan klasifikasi ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah. Ketiga, menyiapkan program dan metode pendidikan berdasarkan prinsip al-taadub tsumma al-ta’allum melalui kajian adab, penguatan keimanan, pembiasaan, keteladanan dan kedisiplinan. Keempat, mengoptimalkan peran dosen sebagai muaddib yang peduli dan menjadi teladan. Kelima, merumuskan evaluasi pendidikan berdasarkan adab dan ilmu. Dan keenam, menyiapkan sarana pendukung yang berkualitas.
Melalui enam langkah inilah, tujuan pendidikan tinggi untuk membentuk manusia yang baik (good man), yakni manusia beradab (insan adabi), atau manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, dapat terwujud. Itulah manusia terbaik, yang mampu menjadi pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan.
Jadi, sesuai konsep ini, proses pendidikan di universitas atau perguruan tinggi, bukan sekedar proses pengajaran, tetapi yang utama adalah proses penanaman nilai-nilai kebaikan. Proses ini memerlukan keteladanan pimpinan dan dosen, pembiasaan penerapan nilai-nilai kebaikan, dan juga penegakan aturan.
Konsep “taadabû tsumma ta‘allamû” juga lazim diterapkan dalam proses pendidikan para ulama di masa lalu. Al-Laits Ibn Sa’ad memberi nasehat kepada para ahli hadits: “Ta’allamul hilm qablal ‘ilmi!” Belajarkah sikap penyayang sebelum belajar ilmu!
Di Perguruan Tinggi, konsep ini bisa diterapkan dalam bentuk matrikulasi di awal perkuliahan. Dalam kurun waktu tertentu, para mahasiswa baru hanya belajar dan mengamalkan adab dan ibadah. Hanya mereka yang terbukti adab, ibadah, dan akhlaknya baik, yang boleh melanjutkan pelajaran, menekuni bidang ilmu tertentu di Fakultas. Dengan cara ini, insyaAllah terhindar lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang tidak beradab (be-adab).
Pendidikan jiwa
Sesuai dengan konsep pendidikan berbasis adab tersebut, maka inti dari seluruh proses pendidikan adalah proses pensucian jiwa (takiyatun nafs). Inilah awal perubahan diri manusia. Jiwanya yang harus berubah menjadi semakin suci. Tidak keliru jika para siswa dan mahasiswa rajin menggemakan lagu Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”
Kampus seyogyanya menjadi tempat ideal bagi proses pensucian jiwa tersebut, dengan dimotori para pejabat dan pimpinannya. Jangan sampai pimpinan kampus justru mempertontonkan – misalnya – perilaku cinta dan serakah jabatan. Sebab, cinta dunia adalah pangkal segala kerusakan. Pimpinan kampus yang sehat jiwanya adalah yang memandang jabatan sebagai amanah yang berat, yang akan mereka pertanggungjawabkan di hadapan Satu-satunya Hakim Yang Maha Adil di Hari Akhir.
Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “al-Mujaahidu man jaahada nafsahu”. Bahwa, seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. (HR Tirmidzi). Proses pensucian jiwa adalah perjuangan yang berat. Dan hanya orang yang mensucikan jiwanya yang akan beruntung dan meraih kemenangan. Dengan kata lain, kampus ideal bukan menjadi tempat untuk mengumbar hawa nafsu.
Tentu saja, untuk meraih jiwa yang suci atau jiwa yang tenang (muthmainnah) tersebut, perlu jalan terjal dan mendaki. Imam al-Ghazali dalam Minhajul Abidin, menggambarkan kesukaran jalan menuju bahagia tersebut: “Ternyata ini jalan yang amat sukar. Banyak tanjakan dan pendakiannya. Sangat payah dan jauh perjalanannya. Besar bahayanya. Tidak sedikit pula halangan dan rintangannya. Samar dimana tempat celaka dan akan binasanya. Banyak lawan dan penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sudah bersabda: “Ingatlah, sorga itu dikepung oleh segala macam kesukaran atau hal-hal yang tidak disukai (al-makaarih); dan neraka itu dikepung oleh hal-hal yang disukai manusia (al-syahawaat).” (HR Thabrani, shahih).
Sebagai contoh, kampus ideal, sepatutnya memiliki orientasi utama kehidupan akhirat; bukan hanya berhenti pada tujuan-tujuan duniawi. Para dosen dan mahasiswa menyadari pentingnya men
Melalui enam langkah inilah, tujuan pendidikan tinggi untuk membentuk manusia yang baik (good man), yakni manusia beradab (insan adabi), atau manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, dapat terwujud. Itulah manusia terbaik, yang mampu menjadi pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan.
Jadi, sesuai konsep ini, proses pendidikan di universitas atau perguruan tinggi, bukan sekedar proses pengajaran, tetapi yang utama adalah proses penanaman nilai-nilai kebaikan. Proses ini memerlukan keteladanan pimpinan dan dosen, pembiasaan penerapan nilai-nilai kebaikan, dan juga penegakan aturan.
Konsep “taadabû tsumma ta‘allamû” juga lazim diterapkan dalam proses pendidikan para ulama di masa lalu. Al-Laits Ibn Sa’ad memberi nasehat kepada para ahli hadits: “Ta’allamul hilm qablal ‘ilmi!” Belajarkah sikap penyayang sebelum belajar ilmu!
Di Perguruan Tinggi, konsep ini bisa diterapkan dalam bentuk matrikulasi di awal perkuliahan. Dalam kurun waktu tertentu, para mahasiswa baru hanya belajar dan mengamalkan adab dan ibadah. Hanya mereka yang terbukti adab, ibadah, dan akhlaknya baik, yang boleh melanjutkan pelajaran, menekuni bidang ilmu tertentu di Fakultas. Dengan cara ini, insyaAllah terhindar lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang tidak beradab (be-adab).
Pendidikan jiwa
Sesuai dengan konsep pendidikan berbasis adab tersebut, maka inti dari seluruh proses pendidikan adalah proses pensucian jiwa (takiyatun nafs). Inilah awal perubahan diri manusia. Jiwanya yang harus berubah menjadi semakin suci. Tidak keliru jika para siswa dan mahasiswa rajin menggemakan lagu Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”
Kampus seyogyanya menjadi tempat ideal bagi proses pensucian jiwa tersebut, dengan dimotori para pejabat dan pimpinannya. Jangan sampai pimpinan kampus justru mempertontonkan – misalnya – perilaku cinta dan serakah jabatan. Sebab, cinta dunia adalah pangkal segala kerusakan. Pimpinan kampus yang sehat jiwanya adalah yang memandang jabatan sebagai amanah yang berat, yang akan mereka pertanggungjawabkan di hadapan Satu-satunya Hakim Yang Maha Adil di Hari Akhir.
Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “al-Mujaahidu man jaahada nafsahu”. Bahwa, seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. (HR Tirmidzi). Proses pensucian jiwa adalah perjuangan yang berat. Dan hanya orang yang mensucikan jiwanya yang akan beruntung dan meraih kemenangan. Dengan kata lain, kampus ideal bukan menjadi tempat untuk mengumbar hawa nafsu.
Tentu saja, untuk meraih jiwa yang suci atau jiwa yang tenang (muthmainnah) tersebut, perlu jalan terjal dan mendaki. Imam al-Ghazali dalam Minhajul Abidin, menggambarkan kesukaran jalan menuju bahagia tersebut: “Ternyata ini jalan yang amat sukar. Banyak tanjakan dan pendakiannya. Sangat payah dan jauh perjalanannya. Besar bahayanya. Tidak sedikit pula halangan dan rintangannya. Samar dimana tempat celaka dan akan binasanya. Banyak lawan dan penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sudah bersabda: “Ingatlah, sorga itu dikepung oleh segala macam kesukaran atau hal-hal yang tidak disukai (al-makaarih); dan neraka itu dikepung oleh hal-hal yang disukai manusia (al-syahawaat).” (HR Thabrani, shahih).
Sebagai contoh, kampus ideal, sepatutnya memiliki orientasi utama kehidupan akhirat; bukan hanya berhenti pada tujuan-tujuan duniawi. Para dosen dan mahasiswa menyadari pentingnya men
gejar kebahagiaan (sa’adah) dunia dan akhirat. Penetapan ranking universitas di Indonesia, seharusnya juga memasukkan kriteria iman, taqwa, dan akhlak mulia; bukan hanya aspek formalitas dan manajerial kampus.
Untuk mewujudkan gerakan kebangkitan Perguruan Tinggi, maka Perguruan Tinggi Islam (PTI) harus menjadi contoh yang baik (uswah hasanah) bagi Perguruan Tinggi lainnya. Perguruan Tinggi Islam bersungguh-sungguh dalam melahirkan alumni yang ideal. PTI harus unggul dalam kualitas iman, taqwa, akhlak mulia, dan profesionalitas lulusan nya. Jangan sampai lulusan PTI sama atau bahkan lebih buruk dari Perguruan Tinggi Umum.
Ini adalah gerakan mulia dan pekerjaan besar. Diperlukan kerja keras, kerja ikhlas, dan kerja cerdas untuk mewujudkannya. Jika ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, insyaAllah, dalam waktu singkat, PTI akan menjadi mimpi dan tujuan utama tempat kuliah bagi para lulusan SMA terbaik di Indonesia. Dengan begitu, maka era 2020-2045 benar-benar menjadi era kepemimpinan Perguruan Tinggi Islam. InsyaAllah. (Depok, 13 Februari 2018).*
Untuk mewujudkan gerakan kebangkitan Perguruan Tinggi, maka Perguruan Tinggi Islam (PTI) harus menjadi contoh yang baik (uswah hasanah) bagi Perguruan Tinggi lainnya. Perguruan Tinggi Islam bersungguh-sungguh dalam melahirkan alumni yang ideal. PTI harus unggul dalam kualitas iman, taqwa, akhlak mulia, dan profesionalitas lulusan nya. Jangan sampai lulusan PTI sama atau bahkan lebih buruk dari Perguruan Tinggi Umum.
Ini adalah gerakan mulia dan pekerjaan besar. Diperlukan kerja keras, kerja ikhlas, dan kerja cerdas untuk mewujudkannya. Jika ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, insyaAllah, dalam waktu singkat, PTI akan menjadi mimpi dan tujuan utama tempat kuliah bagi para lulusan SMA terbaik di Indonesia. Dengan begitu, maka era 2020-2045 benar-benar menjadi era kepemimpinan Perguruan Tinggi Islam. InsyaAllah. (Depok, 13 Februari 2018).*
Perilaku, akhlak, dan sikap hidup seseorang berkaitan erat dengan keimanannya pada Tuhan. Semakin tinggi iman seseorang pada Tuhan semakin baik perilaku, akhlak dan sikapnya dalam hidup.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Jika kita sempat tergoda Iblis atau setan, terjebak dalam tipudayanya, segeralah kita ingat Allah, bertobat! Manusia yang baik, bukan tidak pernah salah dan dosa, tetapi manusia yang segera sadar akan kessalahannya. Itulah yang dilakukan oleh Adam a.s. Jangan seperti Iblis! Sudah berbuat salah, tidak mengaku salah, tapi malah membangkang dan berani menantang Tuhan.
-Dr. Adian Husaini-
-Dr. Adian Husaini-
Al-Quran (al-Anam:112) mengingatkan, bahwa sesungguhnya musuh para nabi adalah setan dari jenis manusia dan setan dari jenis jin, yang pekerjaan mereka adalah menyebarkan kata-kata indah (zukhrufal qawli) dengan tujuan untuk menipu manusia. Malik Bin Dinar, seorang ulama terkenal (m. 130 H/748 M) pernah berkata: Sesungguhnya setan dari golongan manusia lebih berat bagiku daripada setan dari golongan jin. Sebab, setan dari golongan jin, jika aku telah membaca taawudz, maka dia langsung menyingkir dariku, sedangkan setan dari golongan manusia dapat mendatangiku untuk menyeretku melakukan berbagai kemaksiatan secara terang-terangan. (dikutip dari Imam al-Qurthubi, 7/68 oleh Dr. Abdul Aziz bin Shalih al-Ubaid, Menangkal Teror Setan (Jakarta: Griya Ilmu, 2004), hal. 88).
Setan baik dari golongan manusia maupun dari golongan jin memiliki ambisi utama untuk menyesatkan manusia, seluruhnya. Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu. (QS al-Ghafir:5).
Jadi mudah sekali mengenali logika setan. Yakni, siapa saja yang menjadi pendukung kebatilan dan kemunkaran, pasti ia telah menggunakan logika setan. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar. (QS an-Nur: 21; lihat juga QS al-Baqarah: 168-169).
-Dr. Adian Husaini-
Setan baik dari golongan manusia maupun dari golongan jin memiliki ambisi utama untuk menyesatkan manusia, seluruhnya. Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu. (QS al-Ghafir:5).
Jadi mudah sekali mengenali logika setan. Yakni, siapa saja yang menjadi pendukung kebatilan dan kemunkaran, pasti ia telah menggunakan logika setan. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar. (QS an-Nur: 21; lihat juga QS al-Baqarah: 168-169).
-Dr. Adian Husaini-
KETIKA PKI MENEKAN ULAMA MEMINJAM TANGAN NEGARA
Oleh: Prof. Dr. Ing. H Fahmi Amhar
Saya lahir ketika Orde Baru sedang mulai berkuasa,
yang saya tahu, saat itu PKI, anggota, keluarga dan pengikutnya,
sedang dikejar-kejar dari lubang semut sampai lubang buaya.
Tetangga saya di-pulau-Buru-kan sepuluh tahun lamanya.
Padahal di tahun 1960an, dia hanya orang-orang sederhana,
yang karena takut pada PKI lalu ikut menjadi penggembira acaranya.
Memang ada jutaan orang yang di masa Orde Baru terdholimi,
baik yang masa lalunya dengan PKI membuat mereka dipersekusi.
Atau juga orang-orang kritis lain yang dengan asal dituduh subversi.
Sejatinya, kejahatan Orde Baru tidak berarti memutihkan dosa-dosa PKI.
Karena, jauh sebelum Orde Baru mengejar-ngejar PKI,
justru PKI sudah biasa menekan dan membantai ulama di sana dan di sini,
baik secara langsung, atau meminjam tangan negara dengan keji !!!
Zaman itu PKI juga sudah menyalahgunakan dasar negara.
Para ulama yang anti komunis, dituduh Anti Pantjasila.
Partai seberang, dibubarkan meminjam tangan penguasa.
Para pemimpinnya dipenjarakan, tanpa pengadlan tentu saja,
dan para pengikutnya dimusuhi dan dikejar sampai desa-desa.
Dan berikut ini adalah kesaksian tokoh ulama anti komunis di zaman itu, yang dipenjarakan sekian lama, PROF. BUYA HAMKA:
----------------------------------------------------------------------------------
Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.
Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).
Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.
Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.
Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa :
1. Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya
2. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
3. Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.
Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian
Oleh: Prof. Dr. Ing. H Fahmi Amhar
Saya lahir ketika Orde Baru sedang mulai berkuasa,
yang saya tahu, saat itu PKI, anggota, keluarga dan pengikutnya,
sedang dikejar-kejar dari lubang semut sampai lubang buaya.
Tetangga saya di-pulau-Buru-kan sepuluh tahun lamanya.
Padahal di tahun 1960an, dia hanya orang-orang sederhana,
yang karena takut pada PKI lalu ikut menjadi penggembira acaranya.
Memang ada jutaan orang yang di masa Orde Baru terdholimi,
baik yang masa lalunya dengan PKI membuat mereka dipersekusi.
Atau juga orang-orang kritis lain yang dengan asal dituduh subversi.
Sejatinya, kejahatan Orde Baru tidak berarti memutihkan dosa-dosa PKI.
Karena, jauh sebelum Orde Baru mengejar-ngejar PKI,
justru PKI sudah biasa menekan dan membantai ulama di sana dan di sini,
baik secara langsung, atau meminjam tangan negara dengan keji !!!
Zaman itu PKI juga sudah menyalahgunakan dasar negara.
Para ulama yang anti komunis, dituduh Anti Pantjasila.
Partai seberang, dibubarkan meminjam tangan penguasa.
Para pemimpinnya dipenjarakan, tanpa pengadlan tentu saja,
dan para pengikutnya dimusuhi dan dikejar sampai desa-desa.
Dan berikut ini adalah kesaksian tokoh ulama anti komunis di zaman itu, yang dipenjarakan sekian lama, PROF. BUYA HAMKA:
----------------------------------------------------------------------------------
Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.
Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).
Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.
Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.
Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa :
1. Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya
2. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
3. Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.
Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian