itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presidennya sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar).
Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi.
Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.
Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dan setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.
Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.
Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.
Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut :
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.
Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang alim-ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para alim-ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan.
Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan.
Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.
Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang dipanggan dalam api unggun yang besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya a.s. yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah.
Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petika bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah 10 tahun yang lalu.
(Disarikan dari Kumpulan Rubrik Dari Hati ke Hati, Majalah Panji Mas dari 1967 – 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal 319)
Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi.
Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.
Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dan setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.
Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.
Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.
Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut :
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.
Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang alim-ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para alim-ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan.
Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan.
Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.
Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang dipanggan dalam api unggun yang besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya a.s. yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah.
Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petika bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah 10 tahun yang lalu.
(Disarikan dari Kumpulan Rubrik Dari Hati ke Hati, Majalah Panji Mas dari 1967 – 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal 319)
Tafsir ibn Katsir yang di tahqiq & ta'liq oleh Syekh Mustafa al Adawi.
Penerbit: dar fawaid & dar ibn rojab.
15 jilid, 18kg. Harga Rp 1.687.000,-
Pemesanan silahkan sms/wa ke 087878147997.
Syukran.
Penerbit: dar fawaid & dar ibn rojab.
15 jilid, 18kg. Harga Rp 1.687.000,-
Pemesanan silahkan sms/wa ke 087878147997.
Syukran.
RELIGIOUS-HUMANIS
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah logika geram para pembenci agama dan pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis tapi justru seperti ateis. Dan ternyata “jimat” atau aji-aji pamungkas orang sekular-liberal dan bahkan ateis untuk menyerang agama adalah dalih humanisme.
Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu dianggap sangat revolusioner yang selalu mengiringi perjalanan kebudayaan Barat modern hingga postmodern.
Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme Tuhan dianggap tidak riil, sedangkan manusia begitu riil dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau menyucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa”. Seperti membela Tuhan tapi sejatinya membuka jalan bagi blasphemy.
Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala Nietzsche. Dari situ penistaan agama, Tuhan dan kebenaran menjadi absah. Tapi benih yang ditabur Nietzsche tahun 1948 telah menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak Negara pendukung humanisme. Maka dari itu hak-hak asasi manusia benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.
Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama maka banyak hal yang menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada bulan Juli tahun 1993 di New York diadakan Peluncuran acara Project on Religion and Human Right. Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap DUHAM dan merupakan prakarsa untuk merevisinya.
Bukan hanya itu, pada ulang tahun ke 50 DUHAM dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies universitas McGill, Montreal, Canada, upaya merevisi DUHAM itu pun terulang lagi. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions.
Setelah itu berturut-turut acara saling merevisi berlanjut di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan Terakhir di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan antara kaum humanis dan kaum religius.
Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam Negara-negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya, juga turut menyadari dominasi humanisme dalam DUHAM.
Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan pertimbangan konteks kultural dan religius dari Negara-negara non-Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun 1981, Said Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa “DUHAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan kedalam Islam”.
Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam mengeluarkan Deklarasi tandingan yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI). Deklarasi yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45 menlu Negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang sumber satu-satunya adalah syariah Islam.
Jika logika sekuler, liberal dan ateis diatas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu mestinya hanya menyucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika sekuler liberal ateis itu salah.
Bahkan deklarasi Cairo itu tidak eksklusif untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya mencatatkan “Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang”.
Bahkan perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariat. Maka dalam situasi perang, mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita dan anak-anak, yang terluka, sakit dan juga tawanan perang, berhak
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah logika geram para pembenci agama dan pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis tapi justru seperti ateis. Dan ternyata “jimat” atau aji-aji pamungkas orang sekular-liberal dan bahkan ateis untuk menyerang agama adalah dalih humanisme.
Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu dianggap sangat revolusioner yang selalu mengiringi perjalanan kebudayaan Barat modern hingga postmodern.
Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme Tuhan dianggap tidak riil, sedangkan manusia begitu riil dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau menyucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa”. Seperti membela Tuhan tapi sejatinya membuka jalan bagi blasphemy.
Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala Nietzsche. Dari situ penistaan agama, Tuhan dan kebenaran menjadi absah. Tapi benih yang ditabur Nietzsche tahun 1948 telah menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak Negara pendukung humanisme. Maka dari itu hak-hak asasi manusia benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.
Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama maka banyak hal yang menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada bulan Juli tahun 1993 di New York diadakan Peluncuran acara Project on Religion and Human Right. Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap DUHAM dan merupakan prakarsa untuk merevisinya.
Bukan hanya itu, pada ulang tahun ke 50 DUHAM dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies universitas McGill, Montreal, Canada, upaya merevisi DUHAM itu pun terulang lagi. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions.
Setelah itu berturut-turut acara saling merevisi berlanjut di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan Terakhir di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan antara kaum humanis dan kaum religius.
Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam Negara-negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya, juga turut menyadari dominasi humanisme dalam DUHAM.
Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan pertimbangan konteks kultural dan religius dari Negara-negara non-Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun 1981, Said Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa “DUHAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan kedalam Islam”.
Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam mengeluarkan Deklarasi tandingan yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI). Deklarasi yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45 menlu Negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang sumber satu-satunya adalah syariah Islam.
Jika logika sekuler, liberal dan ateis diatas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu mestinya hanya menyucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika sekuler liberal ateis itu salah.
Bahkan deklarasi Cairo itu tidak eksklusif untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya mencatatkan “Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang”.
Bahkan perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariat. Maka dalam situasi perang, mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita dan anak-anak, yang terluka, sakit dan juga tawanan perang, berhak
untuk diberi makan, tempat tinggal dan keamanan serta pelayanan kesehatan.
CDHRI juga memberikan hak kepada laki-laki dan wanita untuk menikah tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama. Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak untuk mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski tidak sama dalam segala hal.
Dalam pasal ke 10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitir kemiskinan atau kebodohan untuk mengonversikan seseorang dari satu agama ke agama lain atau ateisme adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama apalagi Tuhan.
Baca misalnya pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. b) Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar sesuai dengan norma-norma syariah Islam. c) Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitir atau disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan masyarakat atau melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang.
Dari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak berarti menistakan manusia. Sebab syariah adalah sumber segala perlakuan terhadap manusia, Dalam syariah terdapat maslahat yang telah didesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak semua yang dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianisme, nikah beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syariat.
Jadi logikanya yang benar semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin ateis. Innal insana layatgha an ra’ahustaghna.
CDHRI juga memberikan hak kepada laki-laki dan wanita untuk menikah tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama. Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak untuk mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski tidak sama dalam segala hal.
Dalam pasal ke 10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitir kemiskinan atau kebodohan untuk mengonversikan seseorang dari satu agama ke agama lain atau ateisme adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama apalagi Tuhan.
Baca misalnya pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. b) Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar sesuai dengan norma-norma syariah Islam. c) Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitir atau disalahgunakan sehingga menodai kesucian dan penghormatan terhadap Nabi, merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan masyarakat atau melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang.
Dari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak berarti menistakan manusia. Sebab syariah adalah sumber segala perlakuan terhadap manusia, Dalam syariah terdapat maslahat yang telah didesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak semua yang dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianisme, nikah beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syariat.
Jadi logikanya yang benar semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin ateis. Innal insana layatgha an ra’ahustaghna.
Ustadz Adian Husaini: “Orang Biadab Dikasih Ilmu Malah Akan Tambah Biadab”
sharia.co.id, Bogor- Ustadz DR. Adian Husaini menyatakan keprihatinannya akan hilangnya adab dari umat dan lembaga pendidikan Islam. Hal itu disampaikan pada Pengajian Sabtu Pagi di Masjid Nurul Irmi, Jl. Merdeka, Bogor.
“Adab itu agak berbeda dari sopan santun, karena kalau sopan santun landasannya budaya, tetapi kalau adab landasananya wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah). Masalahnya dalam paradigma pendidikan saat ini wahyu tidak diakui sebagai ilmiah, yang diakui sebagai ilmiah hanya yang rasional dan empiris,” terang Pak Adian, panggilan akrabnya.
Alumni doktoral bidang peradaban Islam ini menjelaskan pula bahwa pendidikan adab adalah yang menuntut manusia untuk menjadi adil, untuk menjadi good man (manusia yang baik).
Ustadz Adian memaparkan jika lembaga-lembaga pendidikan saat ini sama sekali mengabaikan adab dan perkembangannya.
“Seharusnya ketika sudah di perguruan tinggi, dilihat dulu apakah adabnya sudah tinggi, jika nanti akan ke jenjang yang lebih tinggi, adabnya juga nanti harus lebih tinggi, biar tahu mana salah mana besar, tahu bagaimana bersikap yang benar,” ujar peneliti INSIST yang telah menghasilkan berbagai buku terkenal ini.
“Ironinya (adab) ini tidak dipakai di berbagai lembaga pendidikan Islam, sekarang yang memprihatinkan adalah lembaga-lembaga yang berlabel Islam, justru melahirkan manusia-manusia yang tidak beradab karena kekacauan ilmu, tidak tahu mana ilmu yang fardhu ain dan fardhu kifayah, tidak tahu ia thalabul ilmi itu harus bagaimana,” jelas Ustadz Adian.
Keprihatinan itu terlihat dari fakta para ilmuwan dan akademisi yang sudah kehilangan adab justru akan menjadi orang yang berbahaya, baik berbahaya dalam arti mengancam aqidah maupun tidak menjadi manusia yang baik. Dikarenakan yang diketahui hanya menjadi warga negara yang baik dan pekerja yang produktif.
“Sekarang orang biadab (tidak beradab) dikasih ilmu ya akan tambah biadab ia dengan ilmunya, sekarang pendidikan kita bukan hanya mengarahkan manusia menjadi sekular, tetapi diarah pada sekular yang picik, sudah sekular picik lagi,” imbuhnya yang diselingi tawa puluhan hadirin.
sharia.co.id, Bogor- Ustadz DR. Adian Husaini menyatakan keprihatinannya akan hilangnya adab dari umat dan lembaga pendidikan Islam. Hal itu disampaikan pada Pengajian Sabtu Pagi di Masjid Nurul Irmi, Jl. Merdeka, Bogor.
“Adab itu agak berbeda dari sopan santun, karena kalau sopan santun landasannya budaya, tetapi kalau adab landasananya wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah). Masalahnya dalam paradigma pendidikan saat ini wahyu tidak diakui sebagai ilmiah, yang diakui sebagai ilmiah hanya yang rasional dan empiris,” terang Pak Adian, panggilan akrabnya.
Alumni doktoral bidang peradaban Islam ini menjelaskan pula bahwa pendidikan adab adalah yang menuntut manusia untuk menjadi adil, untuk menjadi good man (manusia yang baik).
Ustadz Adian memaparkan jika lembaga-lembaga pendidikan saat ini sama sekali mengabaikan adab dan perkembangannya.
“Seharusnya ketika sudah di perguruan tinggi, dilihat dulu apakah adabnya sudah tinggi, jika nanti akan ke jenjang yang lebih tinggi, adabnya juga nanti harus lebih tinggi, biar tahu mana salah mana besar, tahu bagaimana bersikap yang benar,” ujar peneliti INSIST yang telah menghasilkan berbagai buku terkenal ini.
“Ironinya (adab) ini tidak dipakai di berbagai lembaga pendidikan Islam, sekarang yang memprihatinkan adalah lembaga-lembaga yang berlabel Islam, justru melahirkan manusia-manusia yang tidak beradab karena kekacauan ilmu, tidak tahu mana ilmu yang fardhu ain dan fardhu kifayah, tidak tahu ia thalabul ilmi itu harus bagaimana,” jelas Ustadz Adian.
Keprihatinan itu terlihat dari fakta para ilmuwan dan akademisi yang sudah kehilangan adab justru akan menjadi orang yang berbahaya, baik berbahaya dalam arti mengancam aqidah maupun tidak menjadi manusia yang baik. Dikarenakan yang diketahui hanya menjadi warga negara yang baik dan pekerja yang produktif.
“Sekarang orang biadab (tidak beradab) dikasih ilmu ya akan tambah biadab ia dengan ilmunya, sekarang pendidikan kita bukan hanya mengarahkan manusia menjadi sekular, tetapi diarah pada sekular yang picik, sudah sekular picik lagi,” imbuhnya yang diselingi tawa puluhan hadirin.
Beda antara Adam dengan Iblis. Adam bersalah, lalu sadar dan bertobat. Sementara Iblis jelas-jelas melakukan kesalahan, tetapi bersikap sombong, angkuh, tetap membangkang kepada Allah, dan bangga menjadi kafir.
Dr. Adian Husaini.
Dr. Adian Husaini.
Jika Christian Nation diganti Daulah Islamiyah, dan Biblical Duty diganti Jihad dan God ditukar Allah, pasti penulisnya jadi buronan.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1074910059315610&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1074910059315610&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
PLURALISME DAN GEREJA
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
"Our goal is a Christian nation. We have a Biblical duty, we are called by God, to conquer this country. We don't want equal time. We don't want...
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
"Our goal is a Christian nation. We have a Biblical duty, we are called by God, to conquer this country. We don't want equal time. We don't want...
Apakah semua perang itu berarti jihad? Dan apakah jihad itu hanya berarti perang? Dalam al-Qur’an kata jihad disebut hanya sebanyak 34 kali.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1075534889253127&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1075534889253127&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
JIHAD
Oleh: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
Pada 11 September, 2001 dua pesawat penumpang menabrak dua menara kembar World Trade Center di Amerika Serikat. Diduga pelakunya adalah Muslim teroris Muslim,...
Oleh: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
Pada 11 September, 2001 dua pesawat penumpang menabrak dua menara kembar World Trade Center di Amerika Serikat. Diduga pelakunya adalah Muslim teroris Muslim,...
Orang yang melakukan tindakan seperti ini tentu bukan orang yang dapat disebut adil. Orang seperti itu yang dilarang untuk dijadikan pemimpin dan ditaati.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1078987555574527&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1078987555574527&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
SYAHWAT PIKIRAN
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Orang berzina, membunuh, mencuri itu karena syahwat. Orang korupsi, merampok, memanipulasi itu karena dorongan syahwat. Ada pula orang berbeda pendapat...
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Orang berzina, membunuh, mencuri itu karena syahwat. Orang korupsi, merampok, memanipulasi itu karena dorongan syahwat. Ada pula orang berbeda pendapat...
Impor Ilmu Asing
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kitab Fihrist Ibn Nadim menceritakan, pada suatu hari al-Mamun, khalifah Abbasiyah ke VII, bermimpi. Disamping tempat tidurnya duduk persis seperti berhadap-hadapan dengan sopan seorang berkulit putih berwajah kemerah-merahan, beralis tebal, berkepala setengah gundul. Dengan rasa terkejut al-Mamun bertanya:”Siapa kamu?”
“Saya Aristotle” Jawab orang itu.
Ia terkesima tapi senang. Ia kemudian bertanya lagi:
“Bolehkah saya bertanya sesuatu?”
“Bertanyalah!”, Jawab Aristotle.
“Apa itu kebaikan?”
“Kebaikan adalah apa yang ada dalam pikiran” jelas Aristotle.
Tidak cukup dengan jawaban itu ia bertanya lagi: ”Lalu apa lagi”?
“Kebaikan itu apa yang baik dalam hukum” jawabnya
“Lalu apa lagi”, Katanya
“Kebaikan adalah apa yang baik untuk publik?”
“Lalu apa lagi?”, Tanyanya
“Lagi?”, Tanya Aristotle balik “Itu saja, tidak ada lagi”.
Tapi sebenarnya dialog dalam mimpi al-Mamun belum berakhir disitu. Dalam riwayat lain masih ada fragmen dialog yang jarang disebut atau sengaja dihilangkan oleh orang-orang tertentu. Yang terakhir itu al-Mamun berkata: “Beritahu saya lagi sesuatu?”
Aristotle lalu menjawab, “Siapapun yang memberi nasehat anda tentang emas, ambillah ia sebagai emas, tapi bagi anda yang penting adalah keesaan (Tuhan)”.
Mimpi boleh jadi hanya merupakan kegelisahan jiwa (waswasat al-nafs). Dapat pula merupakan isyarat dari langit. Sebab, sabda Nabi, mimpi adalah salah satu dari 46 pertanda kenabian.
Al-Ghazzali bahkan menganggap mimpi bisa menjadi penghubung antara alam al-mulk dengan alam al-malakut. Jika mimpi al-Mamun termasuk kategori ini maka tabir kata-kata Aristotle itu bisa dijelaskan. Bahkan menurut Ibn Sirin al-Nablisi dan penafsir mimpi lainnya mimpi dapat di-tawil-kan secara ilmiah.
Tawil-nya mungkin begini: Aristotle menganggap akal atau pikiran dan masyarakat sebagai sumber kebenaran. Aristotle tidak mengenal wahyu dan Yunani bukan tempat nabi-nabi diturunkan. Menganggapnya sebagai nabi juga mustahil.
Nabi pasti membawa misi tauhid, sedangkan Aristotle tidak. Konsep Tuhannya, Unmoved-Mover (Penggerak yang tak tergerakkan) adalah hasil spekulasi pemikiran. Jumlahnya banyak, meskipun kualitasnya satu.
Itu mungkin sebabnya mengapa dalam mimpi al-Mamun ia mengatakan “Bagi anda yang penting adalah keesaan Tuhan”. Konsep Tuhan Aristotle dan al-Mamun berbeda. Yang pasti Tuhan Aristotle tidak untuk disembah dan bukan pencipta yang aktif.
Konsep Tuhan dalam Islam ditentukan oleh wahyu bukan akal. Meski Ibn Taymiyyah ataupun Ibn Tufayl menganggap fitrah manusia dapat menemukan Tuhan, tapi mereka percaya bahwa akal masih harus disempurnakan oleh wahyu (fitrah munazzalah).
Apakah mimpi al-Mamun termasuk ruya uluhiah, wallahu alam. Yang jelas setelah mimpi itu al-Mamun memulai gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Persia, Sansekerta kuno dan lain-lain kedalam bahasa Arab. Ini proyek riil bukan mimpi. Inilah diantara gerakan yang menjadi pemicu berkembangnya peradaban Islam.
Namun perlu dicatat bahwa peradaban Islam tidak berkembang hanya karena terjemahan karya-karya asing. Sebab umat Kristen Syriac juga tahu karya-karya Yunani, tapi tidak mampu berkembang seperti umat Islam saat itu.
Islam berkembang utamanya karena keunikan pandangan hidupnya. Karena pandangan hidupnya maka peradaban Islam menyerap atau meminjam unsur-unsur peradaban lain. Proses penyerapan atau pinjam meminjam dalam peradaban, kata Prof. Alparslan, adalah alami.
Tapi meminjam bukan hanya menerjemahkan. Ada mekanisme dan proses ilmiah selanjutnya. M. Rekaya dalam The Encyclopedia of Islam menulis bahwa al-Mamun mengadopsi dan mengadapsi (adopted and adapted) khazanah pemikiran asing “according to the requirement of Islamic Civilization.” Inilah paparan singkat mekanisme dan proses meminjam konsep asing,
Tidak lebih seabad dari proses adopsi konsep asing itu umat Islam telah mampu “menghasilkan karya asli.” Ini diakui William Mac Neil dalam karyanya The Rise of the West.
Cara baru penggunaan angka-angka simbol matematik al-Khawarizmi, ensiklopedia kedokteran Abu Bakar al-Raz
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dalam kitab Fihrist Ibn Nadim menceritakan, pada suatu hari al-Mamun, khalifah Abbasiyah ke VII, bermimpi. Disamping tempat tidurnya duduk persis seperti berhadap-hadapan dengan sopan seorang berkulit putih berwajah kemerah-merahan, beralis tebal, berkepala setengah gundul. Dengan rasa terkejut al-Mamun bertanya:”Siapa kamu?”
“Saya Aristotle” Jawab orang itu.
Ia terkesima tapi senang. Ia kemudian bertanya lagi:
“Bolehkah saya bertanya sesuatu?”
“Bertanyalah!”, Jawab Aristotle.
“Apa itu kebaikan?”
“Kebaikan adalah apa yang ada dalam pikiran” jelas Aristotle.
Tidak cukup dengan jawaban itu ia bertanya lagi: ”Lalu apa lagi”?
“Kebaikan itu apa yang baik dalam hukum” jawabnya
“Lalu apa lagi”, Katanya
“Kebaikan adalah apa yang baik untuk publik?”
“Lalu apa lagi?”, Tanyanya
“Lagi?”, Tanya Aristotle balik “Itu saja, tidak ada lagi”.
Tapi sebenarnya dialog dalam mimpi al-Mamun belum berakhir disitu. Dalam riwayat lain masih ada fragmen dialog yang jarang disebut atau sengaja dihilangkan oleh orang-orang tertentu. Yang terakhir itu al-Mamun berkata: “Beritahu saya lagi sesuatu?”
Aristotle lalu menjawab, “Siapapun yang memberi nasehat anda tentang emas, ambillah ia sebagai emas, tapi bagi anda yang penting adalah keesaan (Tuhan)”.
Mimpi boleh jadi hanya merupakan kegelisahan jiwa (waswasat al-nafs). Dapat pula merupakan isyarat dari langit. Sebab, sabda Nabi, mimpi adalah salah satu dari 46 pertanda kenabian.
Al-Ghazzali bahkan menganggap mimpi bisa menjadi penghubung antara alam al-mulk dengan alam al-malakut. Jika mimpi al-Mamun termasuk kategori ini maka tabir kata-kata Aristotle itu bisa dijelaskan. Bahkan menurut Ibn Sirin al-Nablisi dan penafsir mimpi lainnya mimpi dapat di-tawil-kan secara ilmiah.
Tawil-nya mungkin begini: Aristotle menganggap akal atau pikiran dan masyarakat sebagai sumber kebenaran. Aristotle tidak mengenal wahyu dan Yunani bukan tempat nabi-nabi diturunkan. Menganggapnya sebagai nabi juga mustahil.
Nabi pasti membawa misi tauhid, sedangkan Aristotle tidak. Konsep Tuhannya, Unmoved-Mover (Penggerak yang tak tergerakkan) adalah hasil spekulasi pemikiran. Jumlahnya banyak, meskipun kualitasnya satu.
Itu mungkin sebabnya mengapa dalam mimpi al-Mamun ia mengatakan “Bagi anda yang penting adalah keesaan Tuhan”. Konsep Tuhan Aristotle dan al-Mamun berbeda. Yang pasti Tuhan Aristotle tidak untuk disembah dan bukan pencipta yang aktif.
Konsep Tuhan dalam Islam ditentukan oleh wahyu bukan akal. Meski Ibn Taymiyyah ataupun Ibn Tufayl menganggap fitrah manusia dapat menemukan Tuhan, tapi mereka percaya bahwa akal masih harus disempurnakan oleh wahyu (fitrah munazzalah).
Apakah mimpi al-Mamun termasuk ruya uluhiah, wallahu alam. Yang jelas setelah mimpi itu al-Mamun memulai gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Persia, Sansekerta kuno dan lain-lain kedalam bahasa Arab. Ini proyek riil bukan mimpi. Inilah diantara gerakan yang menjadi pemicu berkembangnya peradaban Islam.
Namun perlu dicatat bahwa peradaban Islam tidak berkembang hanya karena terjemahan karya-karya asing. Sebab umat Kristen Syriac juga tahu karya-karya Yunani, tapi tidak mampu berkembang seperti umat Islam saat itu.
Islam berkembang utamanya karena keunikan pandangan hidupnya. Karena pandangan hidupnya maka peradaban Islam menyerap atau meminjam unsur-unsur peradaban lain. Proses penyerapan atau pinjam meminjam dalam peradaban, kata Prof. Alparslan, adalah alami.
Tapi meminjam bukan hanya menerjemahkan. Ada mekanisme dan proses ilmiah selanjutnya. M. Rekaya dalam The Encyclopedia of Islam menulis bahwa al-Mamun mengadopsi dan mengadapsi (adopted and adapted) khazanah pemikiran asing “according to the requirement of Islamic Civilization.” Inilah paparan singkat mekanisme dan proses meminjam konsep asing,
Tidak lebih seabad dari proses adopsi konsep asing itu umat Islam telah mampu “menghasilkan karya asli.” Ini diakui William Mac Neil dalam karyanya The Rise of the West.
Cara baru penggunaan angka-angka simbol matematik al-Khawarizmi, ensiklopedia kedokteran Abu Bakar al-Raz
i, sejarah dunia dari konsep penciptaan al-Thabari dan lain-lain membuktikan hal itu.
Bagi Thomas Brown, (The Oxford History of Medieval Europe) keberhasilan dan kekuatan umat Islam terletak pada kemampuan mereka mengembangkan “sintesa yang original dan kuat”.
Rekaya benar, penerjemahan barulah proses adopsi. Sesudah itu diikuti oleh proses adapsi konseptual. Disinilah pandangan hidup Islam memainkan peran sentralnya. Konsep Tuhan, konsep hidup, konsep manusia, konsep dunia dan lain-lain, menjadi penapis konseptual.
Penapisan konseptual terkadang memerlukan perubahan paradigma (paradigm shift). Jika demikian maka inilah yang dinamakan al-Attas sebagai proses Islamisasi. Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain mencoba mengislamkan berbagai konsep Yunani.
Karena begitu kompleksnya konsep-konsep asing itu kekurangan terjadi disana sini. Itulah sebabnya mengapa al-Ghazzali merasa perlu menulis Tahafut al-Falasifah, dan Fakhr al-Din al-Razi perlu menulis Mathalib al-aliyah. Demikian seterusnya.
Jika kini konsep-konsep yang dikembangkan al-Ashari, al-Ghazzali, al-Razi dan lain-lain diganti dengan konsep-konsep Immanuel Kant, Derrida, Emilio Betti, Paul Ricour dan sebagainya, maka kita justru akan set back ke periode adopsi konsep-konsep.
Lebih-lebih jika konsep-konsep sentral dalam pandangan hidup Islam juga digusur oleh konsep-konsep asing. Yang terjadi bukan Islamisasi konseptual tapi justru invitasi konsep-konsep asing tanpa koreksi dan kritik.
Apakah salahnya “mengundang” konsep asing “ke rumah” kita? Apa salahnya menggunakan konsep asing? Memang tidak salah, asalkan tamu yang diundang tidak berubah menjadi tuan rumah. Dan asal konsep-konsep asing dengan kerancuan konseptualnya tidak dibiarkan tanpa koreksi. Pepatah kuno mengatakan Amici vitias si feras, facias tua, membiarkan kesalahan kawan tanpa koreksi berarti menjadikannya milik anda.
Bagi Thomas Brown, (The Oxford History of Medieval Europe) keberhasilan dan kekuatan umat Islam terletak pada kemampuan mereka mengembangkan “sintesa yang original dan kuat”.
Rekaya benar, penerjemahan barulah proses adopsi. Sesudah itu diikuti oleh proses adapsi konseptual. Disinilah pandangan hidup Islam memainkan peran sentralnya. Konsep Tuhan, konsep hidup, konsep manusia, konsep dunia dan lain-lain, menjadi penapis konseptual.
Penapisan konseptual terkadang memerlukan perubahan paradigma (paradigm shift). Jika demikian maka inilah yang dinamakan al-Attas sebagai proses Islamisasi. Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain mencoba mengislamkan berbagai konsep Yunani.
Karena begitu kompleksnya konsep-konsep asing itu kekurangan terjadi disana sini. Itulah sebabnya mengapa al-Ghazzali merasa perlu menulis Tahafut al-Falasifah, dan Fakhr al-Din al-Razi perlu menulis Mathalib al-aliyah. Demikian seterusnya.
Jika kini konsep-konsep yang dikembangkan al-Ashari, al-Ghazzali, al-Razi dan lain-lain diganti dengan konsep-konsep Immanuel Kant, Derrida, Emilio Betti, Paul Ricour dan sebagainya, maka kita justru akan set back ke periode adopsi konsep-konsep.
Lebih-lebih jika konsep-konsep sentral dalam pandangan hidup Islam juga digusur oleh konsep-konsep asing. Yang terjadi bukan Islamisasi konseptual tapi justru invitasi konsep-konsep asing tanpa koreksi dan kritik.
Apakah salahnya “mengundang” konsep asing “ke rumah” kita? Apa salahnya menggunakan konsep asing? Memang tidak salah, asalkan tamu yang diundang tidak berubah menjadi tuan rumah. Dan asal konsep-konsep asing dengan kerancuan konseptualnya tidak dibiarkan tanpa koreksi. Pepatah kuno mengatakan Amici vitias si feras, facias tua, membiarkan kesalahan kawan tanpa koreksi berarti menjadikannya milik anda.
Kado Pernikahan
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
Sinopsis:
Pernikahan adalah ibadah yang sangat sakral. Namun, masih banyak di antara kita yang belum mengetahui dan memahami seluk beluknya. Padahal, tanpa pemahaman yang benar, bahtera pernikahan akan berjalan tidak sesuai dengan apa yang diidamkan, bahkan bisa berakibat kepada kehancuran mahligai rumah tangga.
Buku ini mengulas secara terperinci segala hal yang harus dipahami dan diketahui, baik menjelang maupun sesudah pernikahan. Dimulai dari pembinaan akhlak generasi muda agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas pra nikah, memilih pasangan, pendidikan seks Islami, penyelesaian problematika dalam rumah tangga, hingga pendidikan anak. Seluruh persoalan itu dijelaskan secara detil namun ringkas dengan merujuk pada dalil-dalil al-Qur`an dan sunnah Nabi s.a.w.
Penulisnya—yang merupakan murid langsung dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani—tidak hanya memaparkan dan mengupas dalil-dalil tentang pernikahan dan kehidupan berumah tangga, namun juga mengajukan fakta dan kasus yang sering terjadi dalam pembinaan keluarga dewasa ini. Sehingga, karya ini sangat layak dijadikan rujukan bagi setiap muslim dan muslimah yang hendak dan sedang mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga, demi terwujudnya keluarga yang mawaddah, sakinah, wa rahmah. Selamat membaca.
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
Lahir di Damaskus, Suriah, pada 1327 H. Belajar hadis secara langsung dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan mengadopsi metode sang guru dalam penelitian dan takhrij hadis. Karenanya, tidak mengherankan apabila gaya dan metode penulisan kedua ulama besar ini sangat mirip.
Selain aktif berdakwah, mendidik, dan mengajar hadis, ulama yang wafat pada tahun 1420 H ini juga produktif dalam menulis. Buku-bukunya diterima dengan sangat baik dan luas oleh kaum Muslimin di seluruh dunia. Tuhfatul Arusy yang terjemahannya berada di tangan pembaca ini adalah masterpiece dari puluhan judul karya tulisnya, yang semuanya juga sudah dibukukan.
_____________________
Kado Pernikahan
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
ISBN: 978-979-1303-59-0
Ukuran: 15.5 x 24 cm
Jenis Buku: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Jumlah Hlm: 336 hlm
Berat: 0.6 kg
Harga Rp. 85.000,-
Pemesanan silahkan hubungi 087878147997. Syukran
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
Sinopsis:
Pernikahan adalah ibadah yang sangat sakral. Namun, masih banyak di antara kita yang belum mengetahui dan memahami seluk beluknya. Padahal, tanpa pemahaman yang benar, bahtera pernikahan akan berjalan tidak sesuai dengan apa yang diidamkan, bahkan bisa berakibat kepada kehancuran mahligai rumah tangga.
Buku ini mengulas secara terperinci segala hal yang harus dipahami dan diketahui, baik menjelang maupun sesudah pernikahan. Dimulai dari pembinaan akhlak generasi muda agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas pra nikah, memilih pasangan, pendidikan seks Islami, penyelesaian problematika dalam rumah tangga, hingga pendidikan anak. Seluruh persoalan itu dijelaskan secara detil namun ringkas dengan merujuk pada dalil-dalil al-Qur`an dan sunnah Nabi s.a.w.
Penulisnya—yang merupakan murid langsung dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani—tidak hanya memaparkan dan mengupas dalil-dalil tentang pernikahan dan kehidupan berumah tangga, namun juga mengajukan fakta dan kasus yang sering terjadi dalam pembinaan keluarga dewasa ini. Sehingga, karya ini sangat layak dijadikan rujukan bagi setiap muslim dan muslimah yang hendak dan sedang mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga, demi terwujudnya keluarga yang mawaddah, sakinah, wa rahmah. Selamat membaca.
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
Lahir di Damaskus, Suriah, pada 1327 H. Belajar hadis secara langsung dari Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan mengadopsi metode sang guru dalam penelitian dan takhrij hadis. Karenanya, tidak mengherankan apabila gaya dan metode penulisan kedua ulama besar ini sangat mirip.
Selain aktif berdakwah, mendidik, dan mengajar hadis, ulama yang wafat pada tahun 1420 H ini juga produktif dalam menulis. Buku-bukunya diterima dengan sangat baik dan luas oleh kaum Muslimin di seluruh dunia. Tuhfatul Arusy yang terjemahannya berada di tangan pembaca ini adalah masterpiece dari puluhan judul karya tulisnya, yang semuanya juga sudah dibukukan.
_____________________
Kado Pernikahan
Syaikh Mahmud Mahdi al-Istanbuli
ISBN: 978-979-1303-59-0
Ukuran: 15.5 x 24 cm
Jenis Buku: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Jumlah Hlm: 336 hlm
Berat: 0.6 kg
Harga Rp. 85.000,-
Pemesanan silahkan hubungi 087878147997. Syukran
DESAKRALISASI TEKS
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika banyak orang melihat sekularisme sebagai suatu aliran pemikiran di Barat, al-Attas dengan tajam dan jeli menyimpulkan bahwa itu adalah program filsafat. Program itu oleh Weber disarikan menjadi tiga elemen utama: Pengosongan alam dari nilai (Disenchantment of nature), Penafian nilai (Deconsecration of value), dan Desakralisasi politik (desacralization of politic).
Inti dari ketiga elemen ini adalah desakralisasi segala sesuatu. Artinya tidak ada yang suci dan tidak perlu ada yang disucikan di dunia ini, termasuk segala aspek dalam agama.
Ketika ide desakralisasi itu masuk dalam wacana pemikiran Islam, yang pertama menjadi sasaran adalah teks al-Qur’an. Alasannya “pensakralan teks” itu menyebabkan umat terkungkung dalam lingkup (boundary) yang sempit dan kadang-kadang sulit untuk keluar dari lingkup tersebut.
Konon ini merujuk kepada kata-kata Muhammad Al-Ghazzali dalam bukunya Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’an. Tapi sebenarnya maksud al-Ghazzali itu diplintir untuk sebuah kepentingan. Dan apa yang dimaksud sakralisasi teks pun tidak jelas.
Wacana ini sebenarnya merupakan rajutan antara realitas pemikiran Islam dan postmodernisme. Suatu asimilasi yang lucu dan menyesatkan, sebab Islam berangkat dari yang absolute (Wahyu/Allah), melalui jalan metafisika yang jelas sedangkan Postmodernisme berangkat dari penafian yang absolute dan penolakan metafisika.
Cikal bakal Postmodernisme dapat dilacak dari doktrin nihilisme-nya Nietsche atau Heiddeger yang melahirkan statement “God is dead”. Konsekuensi logisnya adalah bahwa God was no longer Supreme Being, but collective reason, God exist within human intelligence. (Alain Finkielkraut, 1995).
Maka dari itu menurutnya ketika metafisik mencapai kebenaran yang dianggap sebagai dari Tuhan (absolute) sebenarnya tidak lain hanyalah sesuatu yang sobyektif yang boleh jadi salah seperti mana suatu pendapat atau kepercayaan. “Kalau kita menolak kesalahan maka kita juga harus menolak kebenaran” kata Nietsche.
Ide nihilisme ini kemudian berkembang menjadi apa yang disebut “Philosophy of Difference”. Doktrinnya: Perbedaan antara benar dan salah, rasional dan irrasional harus dipisahkan dari bahasa atau konsep, artinya semua apa yang kita alami tidak lain hanyalah “Penafsiran”.
Segala sesuatu yang berbeda-beda di dunia ini selalu dapat “ditafsirkan” kedalam terma-terma yang dihasilkan oleh nilai-nilai sobjektif dalam diri kita. Ringkasnya, ide ini berkembang menjadi apa yang disebut sekarang dengan “Hermeneutic” (Filsafat Tafsir). Nihilisme dan Hermeneutic tidak jauh berbeda karena keduanya menawarkan konsep relativitas.
Ernest Gelner penulis Buku Postmodernism, Reason and Religion, mengatakan ciri-ciri Postmodernisme dapat diketahui dari statement bahwa: “Segala sesuatu adalah teks, materi dasar teks, termasuk masyarakat atau apapun juga, adalah arti, dan arti-arti itu harus didekonstruksikan, pernyataan tentang realitas objektif harus diragukan.”
Arti dekonstruksi yang dimaksud Derrida adalah bahwa dalam mendekati suatu teks kita harus skeptis dan maksud penulis teks tidak perlu diutamakan, yang ada hanyalah kesempatan untuk menafsirkan atau mengomentari teks secara tanpa ada batasan. Ide ini tidak saja cocok dengan doktrin relativisme tapi yang penting adalah Penolakan Kebenaran Transendental (termasuk disini adalah kebenaran adanya Tuhan).
Atas dasar latar belakang doktrin-doktrin Postmodernisme itulah kalangan liberal mencoba manawarkan dekonstruksi tafsir Jihad. Tapi sebelum menerapkan doktrin Postmodernisme ini kedalam Islam, terlebih dahulu Muslim liberal menggiring kita kepada konklusi tentang perlunya menerapkan doktrin dekonstruksi Derrida dengan mengenalkan kita pada premis-premis yang cukup mengejutkan:
Bahwasannya umat Islam seringkali mempraktekkan Jihad sebagai perang suci (Holy War) atas nama agama dan Tuhan.
Bahwa studi hukum Islam menampilkan sikap kejam sehingga berakibat pada sakralisasi teks. Hukum Islam dulunya adalah relatif, kini diperlakukan sebagai sakral dan absolute.
Kedua premis sering kita dengar kelu
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika banyak orang melihat sekularisme sebagai suatu aliran pemikiran di Barat, al-Attas dengan tajam dan jeli menyimpulkan bahwa itu adalah program filsafat. Program itu oleh Weber disarikan menjadi tiga elemen utama: Pengosongan alam dari nilai (Disenchantment of nature), Penafian nilai (Deconsecration of value), dan Desakralisasi politik (desacralization of politic).
Inti dari ketiga elemen ini adalah desakralisasi segala sesuatu. Artinya tidak ada yang suci dan tidak perlu ada yang disucikan di dunia ini, termasuk segala aspek dalam agama.
Ketika ide desakralisasi itu masuk dalam wacana pemikiran Islam, yang pertama menjadi sasaran adalah teks al-Qur’an. Alasannya “pensakralan teks” itu menyebabkan umat terkungkung dalam lingkup (boundary) yang sempit dan kadang-kadang sulit untuk keluar dari lingkup tersebut.
Konon ini merujuk kepada kata-kata Muhammad Al-Ghazzali dalam bukunya Kaifa Nata’amal Ma’a al-Qur’an. Tapi sebenarnya maksud al-Ghazzali itu diplintir untuk sebuah kepentingan. Dan apa yang dimaksud sakralisasi teks pun tidak jelas.
Wacana ini sebenarnya merupakan rajutan antara realitas pemikiran Islam dan postmodernisme. Suatu asimilasi yang lucu dan menyesatkan, sebab Islam berangkat dari yang absolute (Wahyu/Allah), melalui jalan metafisika yang jelas sedangkan Postmodernisme berangkat dari penafian yang absolute dan penolakan metafisika.
Cikal bakal Postmodernisme dapat dilacak dari doktrin nihilisme-nya Nietsche atau Heiddeger yang melahirkan statement “God is dead”. Konsekuensi logisnya adalah bahwa God was no longer Supreme Being, but collective reason, God exist within human intelligence. (Alain Finkielkraut, 1995).
Maka dari itu menurutnya ketika metafisik mencapai kebenaran yang dianggap sebagai dari Tuhan (absolute) sebenarnya tidak lain hanyalah sesuatu yang sobyektif yang boleh jadi salah seperti mana suatu pendapat atau kepercayaan. “Kalau kita menolak kesalahan maka kita juga harus menolak kebenaran” kata Nietsche.
Ide nihilisme ini kemudian berkembang menjadi apa yang disebut “Philosophy of Difference”. Doktrinnya: Perbedaan antara benar dan salah, rasional dan irrasional harus dipisahkan dari bahasa atau konsep, artinya semua apa yang kita alami tidak lain hanyalah “Penafsiran”.
Segala sesuatu yang berbeda-beda di dunia ini selalu dapat “ditafsirkan” kedalam terma-terma yang dihasilkan oleh nilai-nilai sobjektif dalam diri kita. Ringkasnya, ide ini berkembang menjadi apa yang disebut sekarang dengan “Hermeneutic” (Filsafat Tafsir). Nihilisme dan Hermeneutic tidak jauh berbeda karena keduanya menawarkan konsep relativitas.
Ernest Gelner penulis Buku Postmodernism, Reason and Religion, mengatakan ciri-ciri Postmodernisme dapat diketahui dari statement bahwa: “Segala sesuatu adalah teks, materi dasar teks, termasuk masyarakat atau apapun juga, adalah arti, dan arti-arti itu harus didekonstruksikan, pernyataan tentang realitas objektif harus diragukan.”
Arti dekonstruksi yang dimaksud Derrida adalah bahwa dalam mendekati suatu teks kita harus skeptis dan maksud penulis teks tidak perlu diutamakan, yang ada hanyalah kesempatan untuk menafsirkan atau mengomentari teks secara tanpa ada batasan. Ide ini tidak saja cocok dengan doktrin relativisme tapi yang penting adalah Penolakan Kebenaran Transendental (termasuk disini adalah kebenaran adanya Tuhan).
Atas dasar latar belakang doktrin-doktrin Postmodernisme itulah kalangan liberal mencoba manawarkan dekonstruksi tafsir Jihad. Tapi sebelum menerapkan doktrin Postmodernisme ini kedalam Islam, terlebih dahulu Muslim liberal menggiring kita kepada konklusi tentang perlunya menerapkan doktrin dekonstruksi Derrida dengan mengenalkan kita pada premis-premis yang cukup mengejutkan:
Bahwasannya umat Islam seringkali mempraktekkan Jihad sebagai perang suci (Holy War) atas nama agama dan Tuhan.
Bahwa studi hukum Islam menampilkan sikap kejam sehingga berakibat pada sakralisasi teks. Hukum Islam dulunya adalah relatif, kini diperlakukan sebagai sakral dan absolute.
Kedua premis sering kita dengar kelu
ar dari mulut orientalis. Perang atas nama Agama seakan-akan dianggap sebagai naive dan sektarian, padahal dari dulu sampai kapanpun perang dalam Islam harus atas nama Agama dan Tuhan atau berdasarkan perintah Tuhan.
Istilah Holy War itu yang paling ditakuti Barat sehingga melahirkan cap kejam pada Islam, image bahwa Islam identik dengan perang suci, fundamentalis, terorisme, kekerasan dan lain-lain.
Sebagai seorang Mukmin sebaiknya kita memahami Qital atau Jihad al-Asghar seperti apa yang dipraktekkan Nabi. Itulah perintah-perintah yang ada. Perang-perang yang dipraktekkan Rasulullah bukanlah semata-mata dilihat dari nilai historis belaka, tapi adalah aplikasi suatu ketaatan pada teks (wahyu) yang absolut. Meskipun tidak menafikan bahwa jihad intelektual memiliki maqam yang lebih tinggi.
Jadi menurut pendapat penulis premis-premis diatas sudah tidak benar, bagaimana dapat dipakai untuk menggiring kepada perlunya menggunakan doktrin dekonstruksinya Derrida ?
Selanjutnya, apabila jalan keluar yang ditawarkan adalah dekonstruksi tafsir Jihad, maka al-Qur’an diletakkan sebagai teks yang harus diragukan atau dipertanyakan. Tidak peduli bagaimana sejarah teks tersebut dan bagaimana otentisitasnya.
Cara lain untuk meragukan teks adalah dengan menganggap al-Qur’an sebagai representasi kalam Tuhan melalui bahasa Arab dan akal pikiran Nabi. Representasi kalam Tuhan berarti bukan kalam Tuhan yang sesungguhnya. Al-Qur’an dianggap sebagai sabda Nabi berdasarkan kreatifitas dan akal pikiran beliau.
Apalagi jikalau teks itu dianggap representasi berarti apa yang menjadi objek bukanlah al-Qur’an, sebab representasi bukanlah presentasi (kehadiran) dan al-Qur’an tidak dapat dianggap sebagai representasi, karena ia adalah presentasi. Disini orang-orang liberal salah paham terhadap makna teks dalam konsep Derrida.
Dengan mengikuti doktrin Postmodernisme kaum liberal menjadikan al-Qur’an sebagai open text dan dapat ditafsirkan oleh siapa saja tanpa batasan. Dalam perkataan mereka yang tidak bertanggung jawab, “Tafsir ayat al-Qur’an adalah sebanyak kepala manusia di dunia”.
Padahal para ulama tafsir yang telah memenuhi persyaratan keilmuan yang cukup untuk menafsirkan hingga kini tidak sampai menghasilkan seratus kitab tafsir. Apalagi seribu, sejuta atau semilyar tafsir.
Memang dalam doktrin postmodernisme yang relativistik dan nihilistik otoritas dihapuskan, dan maksud asli suatu teks (maqasad al-nash) dihilangkan tidak perlu diutamakan. Untuk itu maka semua makna harus dibongkar dimaknai ulang.
Jika ini terjadi pada al-Qur’an maka siapa yang akan menjadi penafsirnya. Kalau semua orang boleh menafsirkan, tanpa sumber otoritas, lalu apa gunanya Nabi dan Ulama sebagai pewarisnya?, Padahal struktur ilmu pengetahuan Islam dan otoritas penafsiran teks ada pada Nabi dan para ulama (al-rasikhun fii al-ilmi), baik ulama klasik atau kontemporer. Karena itu sakralitas teks adalah suatu kemestian dan sekularisasi atau merelativekan teks adalah suatu kerancuan.
Kalau Foucaoult mengatakan “tidak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan” sebenarnya dapat diislamkan dengan “tidak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan Tuhan”, “tidak ada pengetahuan yang bebas dari nilai”.
Bagi seorang muslim kepentingan dalam pengetahuan adalah ibadah. Adapun kalau ada individu-individu yang jauh dari al-haq lalu membelokkan pengetahuan untuk kepentingan tertentu, itu terlepas dari ilmu pengetahuan Islam. Tapi kalau kepentingan adalah masalah besar, bukankah postmodernisme sendiri bias dengan kepentingan?
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa konsep jihad dapat ditafsirkan dengan orientasi keadilan dan kebenaran. Caranya adalah dengan memahami teks itu sendiri sesuai dengan maknanya yang benar.
Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya/proporsinya. Kita tidak bisa meletakkan sesuatu pada tempatnya jika kita tidak tahu ilmu tentang sesuatu itu dan bagaimana meletakkan sesuatu secara benar dan tepat. kita tidak akan dapat mengorientasikan “Jihad Intelektual” kepada kebenaran kalau kita tidak mengetahui ilmu untuk menuju kebenaran itu.
Kalau ingin mem
Istilah Holy War itu yang paling ditakuti Barat sehingga melahirkan cap kejam pada Islam, image bahwa Islam identik dengan perang suci, fundamentalis, terorisme, kekerasan dan lain-lain.
Sebagai seorang Mukmin sebaiknya kita memahami Qital atau Jihad al-Asghar seperti apa yang dipraktekkan Nabi. Itulah perintah-perintah yang ada. Perang-perang yang dipraktekkan Rasulullah bukanlah semata-mata dilihat dari nilai historis belaka, tapi adalah aplikasi suatu ketaatan pada teks (wahyu) yang absolut. Meskipun tidak menafikan bahwa jihad intelektual memiliki maqam yang lebih tinggi.
Jadi menurut pendapat penulis premis-premis diatas sudah tidak benar, bagaimana dapat dipakai untuk menggiring kepada perlunya menggunakan doktrin dekonstruksinya Derrida ?
Selanjutnya, apabila jalan keluar yang ditawarkan adalah dekonstruksi tafsir Jihad, maka al-Qur’an diletakkan sebagai teks yang harus diragukan atau dipertanyakan. Tidak peduli bagaimana sejarah teks tersebut dan bagaimana otentisitasnya.
Cara lain untuk meragukan teks adalah dengan menganggap al-Qur’an sebagai representasi kalam Tuhan melalui bahasa Arab dan akal pikiran Nabi. Representasi kalam Tuhan berarti bukan kalam Tuhan yang sesungguhnya. Al-Qur’an dianggap sebagai sabda Nabi berdasarkan kreatifitas dan akal pikiran beliau.
Apalagi jikalau teks itu dianggap representasi berarti apa yang menjadi objek bukanlah al-Qur’an, sebab representasi bukanlah presentasi (kehadiran) dan al-Qur’an tidak dapat dianggap sebagai representasi, karena ia adalah presentasi. Disini orang-orang liberal salah paham terhadap makna teks dalam konsep Derrida.
Dengan mengikuti doktrin Postmodernisme kaum liberal menjadikan al-Qur’an sebagai open text dan dapat ditafsirkan oleh siapa saja tanpa batasan. Dalam perkataan mereka yang tidak bertanggung jawab, “Tafsir ayat al-Qur’an adalah sebanyak kepala manusia di dunia”.
Padahal para ulama tafsir yang telah memenuhi persyaratan keilmuan yang cukup untuk menafsirkan hingga kini tidak sampai menghasilkan seratus kitab tafsir. Apalagi seribu, sejuta atau semilyar tafsir.
Memang dalam doktrin postmodernisme yang relativistik dan nihilistik otoritas dihapuskan, dan maksud asli suatu teks (maqasad al-nash) dihilangkan tidak perlu diutamakan. Untuk itu maka semua makna harus dibongkar dimaknai ulang.
Jika ini terjadi pada al-Qur’an maka siapa yang akan menjadi penafsirnya. Kalau semua orang boleh menafsirkan, tanpa sumber otoritas, lalu apa gunanya Nabi dan Ulama sebagai pewarisnya?, Padahal struktur ilmu pengetahuan Islam dan otoritas penafsiran teks ada pada Nabi dan para ulama (al-rasikhun fii al-ilmi), baik ulama klasik atau kontemporer. Karena itu sakralitas teks adalah suatu kemestian dan sekularisasi atau merelativekan teks adalah suatu kerancuan.
Kalau Foucaoult mengatakan “tidak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan” sebenarnya dapat diislamkan dengan “tidak ada pengetahuan yang bebas dari kekuasaan Tuhan”, “tidak ada pengetahuan yang bebas dari nilai”.
Bagi seorang muslim kepentingan dalam pengetahuan adalah ibadah. Adapun kalau ada individu-individu yang jauh dari al-haq lalu membelokkan pengetahuan untuk kepentingan tertentu, itu terlepas dari ilmu pengetahuan Islam. Tapi kalau kepentingan adalah masalah besar, bukankah postmodernisme sendiri bias dengan kepentingan?
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa konsep jihad dapat ditafsirkan dengan orientasi keadilan dan kebenaran. Caranya adalah dengan memahami teks itu sendiri sesuai dengan maknanya yang benar.
Adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya/proporsinya. Kita tidak bisa meletakkan sesuatu pada tempatnya jika kita tidak tahu ilmu tentang sesuatu itu dan bagaimana meletakkan sesuatu secara benar dan tepat. kita tidak akan dapat mengorientasikan “Jihad Intelektual” kepada kebenaran kalau kita tidak mengetahui ilmu untuk menuju kebenaran itu.
Kalau ingin mem