MUSTANIR ONLINE
3.22K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
KEBANGSAAN DAN KEADILAN
Oleh:
Dr. Syamsuddin Arif - Direktur Eksekutif INSISTS

Ribuan mahasiswa dan dosen Universitas Yale di Connecticut, Amerika Serikat, "demo" memprotes iklim kampus yang dirasa makin hari semakin rasis (the racially charged climate on campus), demikian laporan surat kabar New York Times baru-baru ini (16/11/2015). Mereka menuntut perlakuan yang lebih adil terhadap semua warga kampus yang bukan kulit putih. Perguruan tinggi itu diminta bersikap lebih terbuka kepada orang dari semua bangsa, baik itu keturunan Anglo-Saxon, Hispanik, AfroAmerika, Semit (Yahudi dan Arab), maupun Asia (keturunan Jepang, Vietnam, Tionghoa, India dan sebagainya).

Sementara koran Perancis Le Monde (10/11/2015) merekam perdebatan intelektual yang meratapi ketiadaan faktor pemersatu dan penyeimbang berbagai kecenderungan nasionalisme saat ini (de réunir tout le continent et de contrebalancer les inclinaisons nationalistes de l'époque). Ini karena arus imigran yang membanjiri Eropa, Amerika dan Australia memunculkan persoalan besar antara integrasi dan isolasi, antara pluralisme dan rasisme. Tampak semakin kabur batasan antara rasa kebangsaan dan perbedaan keturunan.

Sejak lama para ilmuwan menganggap ras sebagai fakta biologis. Konon, ras manusia terdiri dari tiga puak induk: kaukasoid, negroid, dan mongoloid. Masing-masing dikatakan berasal dari kawasan di mana mereka dulunya tinggal, yaitu pegunungan Kaukasus di selatan Russia, wilayah Nigeria di Afrika, dan daerah Mongolia di Asia. Tipologi ini senada dengan legenda Israiliyat yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa di dunia adalah keturunan dari tiga anak Nabi Nuh: Sam (nenek-moyang ras Timur Tengah), Ham (nenek-moyang ras Afrika) dan Yafits (nenek-moyang ras Eropa).

Namun, mengatakan bahwa ras adalah fakta biologis sebenarnya membawa konsekuensi politik yang saling bertentangan. Tipologi di atas secara tidak langsung menganggap bangsa-bangsa selain kulit putih, kulit hitam, dan kulit kuning sebagai bukan manusia. Sebab, kalau orang-orang berkulit kemerahan dan sawo matang juga dianggap manusia, maka tindakan menindas, memperbudak, dan menghabisi mereka (seperti yang dilakukan terhadap penduduk asli benua Amerika dan Australia) adalah sangat biadab dan tidak bisa dibenarkan sama sekali. Di sisi lain, kalau perbedaan ras memang karena faktor keturunan, maka orang dapat mengklaim bahwa rasnya lebih unggul dari ras lain. Akan tetapi jalan pikiran semacam ini jika diikuti akan mengulang tragedi kebiadaban yang pernah terjadi saat Reconquista di Spanyol, di era kolonial, pada zaman Nazi di Jerman, dan sepanjang konflik di Palestina, sehingga muncul istilah pembunuhan ras (genocide) dan pembersihan etnis (ethnic cleansing).

Kendati dianggap tabu, masalah ke bangsaan dan keturunan mesti dibicarakan secara jujur dan jernih. Ini karena ia terkait dengan persoalan kekuasaan dan dominasi politik, struktur dan hirarki, serta sejarah panjang perjalanan manusia, terutama relasi dan interaksi antar kelompok satu sama lain. Alasan kebangsaan dan keturunan acapkali dijadikan pembenaran cara sistematis suatu kelompok untuk menguasai ranah kekuasaan, peluang karir tertentu dan membatasi atau bahkan memutus sama sekali akses kelompok lain. Jika sudah ada hirarki di antara mereka, maka ini akan menentukan kelompok mana yang lebih berkuasa dan unggul dibanding kelompok lain. Kelompok yang dominan lalu menganggap diri mereka berhak memperoleh 'jatah singa' dan menikmati berbagai keistimewaan di atas penderitaan kelompok lain dengan dukungan sejumlah lembaga dan seperangkat aturan hukum yang sengaja dicipta demi menyangga dan melanggengkan sistem rasis tersebut.

Rasa kebangsaan yang tak terkendali tidak hanya merasuki para penguasa dan politisi, akan tetapi juga para cendekiawan dan akademisi. Sebut saja, misalnya, Joseph Arthur de Gobineau yang mengatakan dalam bukunya (Essai sur l'inégalité des races humaines) bahwa semua peradaban berasal dari ras kulit putih yaitu bangsa Arya. Atau pendapat sejumlah sarjana orientalis yang melihat tasawwuf sebagi reaksi intelektual bangsa Arya terhadap domi
nasi Semit yang dalam hal ini diwakili oleh bangsa Arab dengan ajaran Islamnya. Tak terkecuali saintis Inggris Charles Darwin yang pernah menyatakan bahwa bangsa-bangsa beradab bisa dipastikan bakal melenyapkan dan menggantikan bangsa-bangsa biadab di seluruh dunia: : "… the civilized races of man will almost certainly extermi nate and replace the savage races throughout the world" (Lihat: The Descent of Man, Appleton New York 1888, hlm. 159-60).

Dan jika ditelusuri lebih jauh, ternyata sikap dan perilaku rasisme telah mendapatkan justifikasi sejak zaman Yunani kuno. Menurut Aristoteles, penduduk daerah dingin (Eropa) pada umumnya kurang trampil dan kurang cerdas, sementara orang-orang Asia kurang mampu berpikir dan bersaing sehingga mereka terus menerus dijajah dan diperbudak. Adalah 'kehen dak alam', katanya, bahwa manusia tercipta berbeda-beda bentuk dan warna kulitnya. Maka wajar saja bila sebagian manusia terlahir sebagai orang merdeka, sementara sebagian yang lain terlahir untuk menjadi budak. Pembagian ini sudah adil, ujarnya (Lihat: Aristotle, Politics, terj. Ernest Barker, Oxford University Press, 1961, buku I/1, hlm. 3; VII/7, hlm. 296; dan I/5, hlm. 13-14).

Kita juga bisa membaca Herodotus yang menulis bahwa orang-orang Ethiopia (kulit hitam) suka makan ular, kadal dan binatang melata lainnya, tidak dapat berbicara layaknya manusia dan hanya mampu mengeluarkan suara mengarut seperti bunyi kelelawar (Lihat The Greek Historians, terj. George Rawlinson, Random House New York 1942, bab IV, hlm. 188-291). Gabung an tiga hal, yaitu ciri-ciri fisik, mentalitas, dan merasa paling hebat (superiority complex), sering yang dijadikan acuan oleh sebagian ilmuan untuk membangun teori keunggulan ras dan menjustifikasi berbagai penindasan dan peperangan.

Pengamat sosial Joe R. Feagin (dalam jurnal American Sociological Review 1991, vol. 56, hlm. 101-16) melaporkan ternyata orang-orang kulit hitam di Amerika hingga saat ini masih sering mengalami pelecehan meski mereka sudah tergolong kelas menengah. Pelecehan itu bisa berupa perlakuan diskriminasif di tempat kerja, sikap maupun pelayanan beda di tempat perbelanjaan, hingga ucapan atau kata-kata yang menyiratkan penghinaan.

Perspektif Islam
Berbeda dengan kitab Perjanjian Lama (Kejadian 9:18-25) yang secara tidak langsung mengesahkan rasisme, kitab suci al- Qur'an berusaha mengikis habis segala bentuk kezaliman berbasis ras. Bahwa manusia diciptakan berbeda-beda rupa dan warna kulitnya, masing-masing mempunyai bahasa dan budaya sendiri, semua itu adalah petanda dari Sang Pencipta untuk direnungkan oleh mereka yang berilmu (ar- Rum 22).

Kebhinnekaan ras, etnis, dan suku semestinya mendorong manusia agar saling mengenal, saling menghargai, saling melindungi (al-Hujurat 13), bekerjasama, tolong menolong dan bahu-membahu dalam meraih kebahagiaan dan mengatasi masalah bersama (al-Ma'idah 2). Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh ras atau silsilah nenek-moyangnya, tetapi oleh volume ketaqwaannya (QS al-Hujurat 13). Tidak dibolehkan mengejek, melecehkan atau menjatuhkan satu sama lain. Juga dihimbau agar jangan saling mencurigai dan mencari-cari kesalahan atau kelemahan orang lain (QS al-Hujurat 11-12). Ayat terakhir ini meletakkan dasar anti pencemaran nama baik (defamation law).

Ditekankan bahwa kita mesti berlaku adil dan baik kepada manusia, apapun ras nya, dan tidak boleh berbuat zalim, munkar, keji serta melampaui batas (an-Nahl 90). Jangan sampai kebencian, prejudice atau fanatisme kelompok mempengaruhi kita sehingga bertindak zalim (al-Ma'idah 8).

Haram hukumnya membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan (bi-ghayri haqq). Tidak dibenarkan membunuh orang yang lemah (wanita, anak-anak, golongan lanjut usia), orang tak bersalah apa-apa, dan orang yang sudah menyerah. Membunuh seorang manusia yang bukan pembunuh (bi-ghayri nafs) dan bukan pula perusak adalah sama dengan membunuh seluruh manusia (al-Ma'iidah 32). Jangankan melakukan pembunuhan, sedang bersikap angkuh atau menganggap diri super dengan jelas dikecam (al-Isra' 38).

Satu-satunya alasan untuk merasa ba
ngga yang dibenarkan ialah bila kita sungguh-sungguh beriman (Al 'Imran 139), tanpa memandang ras, keturunan, warna kulit atau bentuk rupa. "Berbuat baiklah pada kedua orangtua, keluarga dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun tetangga jauh, teman sejawat, musafir, dan hamba sahayamu, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri" (an-Nisa' 36). Dan simaklah sabda Kanjeng Nabi saw: "Mereka [budak-budak itu] adalah saudarasaudaramu (hum ikhwanukum) dan milik yang dititipkan Allah kepadamu. Maka siapa yang saudaranya dititipkan padanya, hendaklah ia memberinya makanan yang ia makan, pakaian yang ia pakai, dan janganlah membebani mereka dengan pekerjaan berat yang tak sanggup mereka lakukan. Kalaupun terpaksa menyuruh, maka bantulah mereka mengerjakannya" (hadis riwayat Imam Muslim). Semoga rasa kebangsaan kita dipimpin oleh rasa keadilan.
----------
Dimuat di Republika Online 19 Nopember 2015
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
Penulis: HAMKA
Harga: 65.000,-

Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Demi pluralisme Barat tidak perlu pergi ke masjid dan ikut sholat atau ikut dikhitan. Sebaliknya, demi pluralism (toleran) Muslim tidak perlu makan daging babi, minum arak, melegalkan praktek lesbi dan homoseks; Demi pluralisme orang Nasrani tidak perlu ikut tahlilan, nyumbang dana untuk kurban atau zakat, dan orang Islam tidak perlu rame-rame ikut natalan atau minta dibaptis. Demi pluralisme orang Hindu tidak perlu menghancurkan patung mereka.
[Dr Hamid Fahmy Zarkasyi]
SATU TUHAN, SATU AGAMA!
Oleh: Dr. Adian Husaini


Dalam beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku. Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini.

Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih. Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta. Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN Jakarta.

Tentu, usaha penulis buku ini dalam mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh sufi tersebut perlu diberikan apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka kajian-kajian semacam ini yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi, sebagai karya terbuka, tentu buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini catatan kritis untuk buku ini:

Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions) sebagai dasar analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari konsep ini. Tidak ada catatan kritis apa pun terhadap konsep KTAA tersebut. Penulis buku ini sudah meyakini kebenaran konsep tersebut dan kemudian berusaha mencari legitimasi pada karya-karya klasik dan kontemporer dari para ulama dan sarjana Muslim klasik dan kontemporer.

Padahal, jika ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks dan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal. 21).

Itulah salah satu keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak “klaim kebenaran” dari masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan, bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru anti-pluralisme!

Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di dalam buku ini, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hal. 379).

Logikanya, jika ia mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham, seharusnya dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai berbagai kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme. Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hal. 379-380).

Kita balik bertanya, jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang benar, dan menyerang paham yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan sempit? Seorang “pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum pluralis ini memang mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar sendiri dengan pendapatnya, tetapi
menyalahkan umat beragama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri!

Kedua, dalam buku ini tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa batasannya? Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hal. 380).

Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa jumlah agama di dunia ini adalah ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama Bhairawatantra yang hidup di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).

Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam? Di era modern ini, masih banyak dijumpai agama yang mengajarkan agar pemimpin dan jemaatnya semuanya bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada juga agama pemuja setan. Maka, bisa juga ditanyakan, saat menulis bukunya ini, si dosen Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang memeluk dan meyakini agama apa? Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika dipungut oleh para pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah satu bentuk ritual suci kepada Tuhan!

Ketiga, sebagaimana kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku ini juga mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya sendiri, yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, ia menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan Bahaisme adalah dua agama yang secara eksplisit mengapresiasi pluralisme agama, dalam arti mengakui jalan-jalan keselamatan pada agama-agama lain, Bhagawatgita, salah satu kitab suci Hindu, memuat dua sloka popular yang selalu menjadi rujukan bagi pluralisme. Sloka itu berbunyi:
“Jalan mana pun ditempuh manusia
ke arah-Ku, semuanya Kuterima.
Wahai Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku
pada semua jalan.” (hal. 381).

Benarkah agama Hindu kondisinya seperti itu? Ternyata, ungkapan itu hanya khayalan penulis saja! Tahun 2006, terbit sebuah buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian kaum Pluralis yang suka mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”

Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” (Lihat, Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx.)

Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit” dengan menyimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya H
indu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.”

Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri!
Sebagaimana sejumlah penganut paham pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini pun mencoba mencari legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Sabean untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw., karena masing-masing umat memiliki wahyu dan nabi yang khusus, unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).

Jika si penulis buku tersebut mau meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis semacam itu. Dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi.

Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena al-Quran merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. (Lebih jauh tentang keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99).

Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sama sekali tidak berpendapat seperti yang ditulis oleh penulis buku ini. Secara ilmiah, cara-cara seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh seorang dosen Ushuluddin.

Keempat, penulis buku menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi dari para sarjana ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha. (hal. 2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut dengan mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron di Majalah Islamia, Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi Tentang Pluralisme Agama.” Padahal, Dr Mohd. Sani bin Badron telah menulis Tesis yang serius berjudul “Ibn al-Arabi’s Conception of Religion.” Tesis Sani bin Badron ini tidak ditemukan dalam daftar referensi buku ini.

Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin Badron mengkritik cara berpikir kaum Transendentalis yang memaksakan posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir mereka: “Then only may we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi – how far the Trancendentalists have been right or have been deviated by their own belief.”

Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan kajian serius tentang konsep agama-agama Ibn Arabi yang mengkritik cara-cara kaum Transendentalis dalam membaca karya Ibn Arabi. Berikut ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif berjudul “Pluralisme” dan Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan
sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb). Pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini tampak mendapat banyak pengikut di Indonesia.

Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”

Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).

Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).

Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”

Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.

Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah saw. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).

Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).

Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang konsep agama Ibn Arabi yang berbeda dengan cara pandang penulis buku ini, yang sudah beriman secara bulat-bulat kepada teori Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa membandingkan hasil kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian penulis disertasi ini.

Kelima, kesalahan fatal penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan mengimani tanpa kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal, banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat Maryamiyya yang dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World ; Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University Press, 2004).

Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and that its esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi melukis. Ia juga tak segan-segan membuat luk
isan telanjang, sebagai simbol esoterisme. (Ibid, hal. 148). Setelah mengaku “bertemu” dengan Bunda Maria (Virgin Mary), Schuon juga membuat lukisan yang terkadang menggambarkan Bunda Maria dalam keadaan telanjang bulat atau telanjang sebagian yang mempertontonkan payudaranya. Katanya, itu sebagai simbol untuk mengungkapkan kebenaran dan membebaskan kasih sayang. (to the unveiling of truth in the sense of gnosis and to liberating mercy.” (Ibid, hal 151). Tahun 1965, Schuon menikah lagi. Uniknya, kali ini ia menikahi salah satu muridnya sendiri, tanpa perlu bercerai dengan suaminya terdahulu. Perkawinan ini dijuluki sebagai “perkawinan vertikal” atau “perkawinan spiritual”. (Ibid, hal. 152-153).

Penutup.
Sebenarnya, teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun.

Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat, tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis. Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama!

Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir.

Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan.

Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham KTAA, bahwa aspek esoterik (batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim -- yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?

Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak agama itu sendiri.

Jika kita renungkan, yang logis bukan konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”, tetapi yang benar adalah “Satu Tuhan, Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayat-ayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya, yaitu agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu (revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion). Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan Iblis.

Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak perlu beriman kepada kenabian Muhammad saw. Karena itulah, saya membaca syahadat: Say
a bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, Tuhan saya jelas,yaitu Allah! Bukan asal Tuhan, atau Tuhan asal--asalan. Itu karena posisi saya sudah jelas, yaitu saya Muslim, saya sudah memilih Islam. Saya bukan Kristen, saya bukan Yahudi, saya bukan Hindu, atau penganut paham kebenaran semua agama. Itu keyakinan saya, dan saya sangat menghormati keyakinan yang berbeda dengan saya, meskipun saya tidak membenarkannya. Saya tidak boleh memaksa orang lain mengikuti pendapat saya. Itulah makna toleransi dan mutual understanding.

Jadi, sejatinya, teori Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah teori yang absurd (senseless). KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi “uculuddin” (bahasa Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah dosen di Fakultas Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”! Wallahu a’lam. (Depok, 20 Oktober 2011).
SEJARAH TEKS AL QU'RAN
Penulis: Prof. Dr. M.M. al-Azami

Sinopsis:
Buku ini menyajikan ide pemikiran secara lugas tentang kitab suci Al-Qur’an serta sistem preservasinya dan sekaligus membedah trick negatif dan sasaran tembak pihak orientalis. Asal-usul penerimaan wahyu, peranan Nabi Muhammad saw. dalam sosialisasi ajarannya, koleksi ayat-ayat serta setting naskah ak­hir seluruhnya dikupas secara jeli oleh penulisnya. Topik bahasan melingkupi, antara lain, asal-usul naskah bahasa Arab, sebutan Mushaf Ibn Mas’ud, metodologi ketat yang dikemas dalam pengolahan data, dan semua jenis fragmentasi naskah.Melalui sistem komparasi, penulis mendemonstrasikan intelektualnya dalam menguak sejarah Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berdasarkan pada sumber orisinal dalam membuktikan berbagai alternasi yang terjadi pada kitab Injil.
------------------
Sejarah Teks Al-Qur'an
Penulis: Prof. Dr. M.M. al-Azami
Harga: Rp 130.000,-
Pemesanan sms/whatsapp 087878147997.
-admin-
ADA APA DENGAN SYAFII MAARIF?
Oleh: Adian Husaini

Dalam berbagai tulisannya, ia memposisikan sebagai Bapak Bangsa. Namun, sebagaian justru banyak dianggap menyakiti kelompok Islam yang lain .

Dalam rapat pimpinan Dewan Dawah Islamiyah Indonesia (DDII), Rabu (12/7/2006) lalu, Ketua Umum DDII Hussein Umar tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya terhadap tulisan Syafii Maarif di Harian Republika sehari sebelumnya. Tulisan Syafii dalam kolom Resonansi itu berjudul Demi Keutuhan Bangsa. Seperti biasa, Syafii Maarif memposisikan sebagai Bapak Bangsa yang sangat peduli dengan keutuhan bangsa Indonesia. Ia menempatkan dirinya sebagai penyelamat bangsa.

Tentu saja, posisi itu ideal. Tapi, sayangnya, pada saat itulah, Syafii lupa, bahwa pada berbagai bagian tulisannya, dia justru telah menyinggung banyak kalangan, yang ironisnya adalah sahabat-sahabat dekatnya sendiri, dari kalangan kaum Muslim. Bahasa yang digunakan Syafii pun bukan bahasa yang arif, yang menunjukkan kedewasaan seorang Profesor yang usianya sudah mencapai 70 tahun lebih, tetapi justru bahasa yang bernada pelecehan dan kasar. Banyak kalangan belum lupa, bagaimana Syafii Maarif meluncurkan istilah preman berjubah untuk menunjuk kelompok yang tidak disukainya.

Dalam tulisannya di Republika kali ini, dia pun menggunakan istilah-istilah peyoratif yang kasar yang bernada memperhinakan kalangan-kalangan yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Misalnya, dia gunakan istilah-istilah otak-otak sederhana, kedunguan, kebahlulan, dan sebagainya. Istilah-istilah seperti itu harusnya dihindari oleh seorang Profesor yang sudah begitu kenyang makan asam garam dalam dunia pergerakan di Muhammadiyah. Apalagi, logika dan argumentasi Syafii Maarif dalam tulisannya itu juga banyak yang tidak tepat dan keliru. Marilah kita simak cara berpikir Syafii Maarif.

Secara umum, tulisan Syafii Maarif itu mencoba membenturkan antara upaya penerapan syariat Islam secara legal formal dengan keutuhan bangsa Indonesia. Syafii menulis, bahwa Keinginan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja dalam perda biasa, tidak dalam format Perda Syariah yang dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali.

Cobalah kita simak baik-baik ungkapan Syafii Maarif tersebut. Betapa keliru dan berbahayanya logika berpikir semacam itu. Logika ini juga aneh, ahistoris, dan sama dengan logika kaum misionaris Kristen yang aktif di Partai Damai Sejahtera (PDS) yang menggugat peberlakuan perda-perda yang bernuansa syariah. Orang seperti Syafii, aktivis PDS, dan sejenisnya telah terjebak ke dalam logika yang keliru, bahwa syariat Islam adalah hukum-hukum yang sifatnya lokal, temporal, dan hanya berlaku untuk satu golongan tertentu.

Sebaliknya, mereka berpikir, bahwa hukum-hukum kolonial Belanda dan hukum-hukum Barat lain adalah berlaku universal untuk seluruh umat manusia. Karena itulah, Syafii Maarif tidak menyoal pemberlakuan hukum kolonial, dan tidak menyatakannya bertentangan dengan integrasi bangsa Indonesia. Sebaliknya, perda Syariat Islam dikatakannya dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini sangat berbahaya. Bukanlah logika semacam ini sangat keliru. Bukankah Rasulullah saw diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Apakah bukan sesuatu yang paradoks, jika seorang yang mengaku Muslim tetapi justru menyatakan syariat Nabi Muhammad adalah ancaman bagi integrasi bangsa?
Dalam kasus Indonesia, hukum Islam sudah diberlakukan di kepulauan Nusantara, beratus-ratus tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda. Sebagai contoh, pada tahun 1628, Nuruddin ar-Raniri menulis Kitab Shirathal Mustaqim, yang merupakan kitab hukum pertama yang disebarkan ke seluruh Nusantara untuk menjadi pegangan umat Islam. Oleh Syekh Arsyad Banjar, kitab itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dalam sebuah Kitab berjudul Sabilul Muhtadin, serta dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa di daerah Kesultanan Banjar. Di daerah Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan pula beberapa kita
b hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan mereka. Hukum Islam diikuti pula oleh pemeluk Islam di wilayah-wilayah Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Ngampel, Mataram, dan juga Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup pada masa itu, seperti Sajinatul Hukum.

Dengan fakta-fakta tersebut, Prof. Muhammad Daud Ali, guru besar hukum Islam di Universitas Indonesia, menyimpulkan, bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri di dalam masyarakat. Sebagai hukum yang berdiri sendiri, hukum Islam telah ada dan berlaku di dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami Nusantara ini. (Lihat, Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam Juhaya S. Praja dkk, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1994), hal. 69-70.
Sebagai orang yang dihormati di berbagai kalangan, Syafii Maarif harusnya menjelaskan fakta-fakta sejarah tentang hukum Islam itu kepada kalangan non-Muslim dan orang-orang yang ketakutan terhadap syariah Islam; agar mereka paham dan tidak salah paham terhadap syariah Islam; bukannya malah menambah-nambah rasa syariah-fobia di kalangan non-Muslim. Sebab, syariah Islam memang bukan untuk menakut-nakuti.

Selain itu, harusnya Syafii Maarif mempertegas pemikirannya, pada bagian mana dari syariat Islam yang dia tidak setujui. Dia tidak perlu menyatakan, bahwa perda syariat bertentangan denan integrasi bangsa. Bagaimana mungkin pikiran seperti itu bisa hinggap pada benak seorang Profesor, sedangkan di Indonesia sudah begitu banyak hukum yang secara tegas merupakan pelaksanaan syariat Islam, seperti Bank Syariat, Asuransi Syariat, Reksadana Syariat, hukum perkawinan syariat, dan sebagainya. Jika meninggal dunia pun, tentu Syafii Maarif maunya dimakamkan secara syariat Islam, bukan secara hukum Amerika. Dan perda yang mengatur cara pemakaman dan perkawinan secara syariat Islam pasti tidak membahayakan integrasi bangsa, bukan?
Syafii memang ingin, agar perda anti maksiat diperjuangkan di bawah payung Pancasila, khususnya sila pertama. Syafii boleh saja berpendapat seperti itu. Tetapi, dia harusnya menghormati aspirasi kaum Muslim yang ingin pelaksanaan perda itu ditegaskan dalam format yang tegas. Jika mengaku demokrat, Syafii pun harus menghormati aspirasi semacam itu, dan jangan mencemooh dengan kata-kata dungu, bahlul, dan sebagainya. Dia harus berbesar hati menerima realitas bangsa yang plural dan bermacam-macam aspirasinya. Jika ingin diakui sebagai negarawan besar, harusnya Syafii mampu membaca realitas itu. Jangan aspirasi kaum PDS Kristen dia telan, sedangkan aspirasi kaum Muslim dia lecehkan dan dia perhinakan. Sayang, melalui kolomnya di Republika itu, Syafii Maarif justru memperhinakan dan mengecilkan dirinya sendiri.
Meskipun dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, dan pernah memimpin Muhammadiyah, Syafii Maarif bukanlah seorang pakar di bidang syariat Islam. Dia belum pernah menulis buku yang serius tentang itu. Dia memang guru besar sejarah, khususnya sejarah perpolitikan Islam di Indonesia. Karena itu, pendapat-pendapatnya tentang syariat Islam seringkali tidak sepenuhnya benar. Di dalam tulisannya itu pun Syafii membuat pernyataan yang sangat lemah argumentasinya. Sebagai contoh, dia tulis, Secara umum, bukankah isi syariah yang diwarisi sekarang ini sebagian besar adalah hasil ijtihad abad pertengahan yang pasti terikat dengan ruang dan waktu ?

Pernyataan Syafii Maarif ini terlalu gegabah bagi seorang bergelar professor. Hukum-hukum tentang zina, judi, jilbab, haji, shalat, zakat, puasa, dan sebagainya, sudah diberlakukan sejak zaman Nabi Muhammad saw. Para ulama berikutnya hanyalah melakukan sistematisasi dan melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah baru yang muncul di tengah masyarakat, dan bukan membuat syariah baru, yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. Jika yang dimaksud Syafii adalah kitab-kitab fiqih karya para ulama, maka itu pun sangat keliru.
Sebab, kegemilangan ilmu fiqih telah dicapai di masa imam-imam Mazhab.


Para Imam mazahab itu hidup di awal-awal sejarah Islam. Imam Abu Hanifah lahir tahun 699 M; Imam Maliki tahun 712 M; Imam Syafii tahun 767 M; dan Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 780 M. Jika Newton merumuskan teori gravitasi bukan berarti Newton yang menciptakan hukum gravitasi. Jika para ulama mazhab menggali dan merumuskan syariah Islam dalam kitabnya, dengan merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, bukan berarti ulama-ulama itu yang menciptakan hukum. Hukum itu tetap hukum Allah, sebagaimana hukum gravitasi.
Para Imam itulah yang kemudian menjadi rujukan umat Islam di berbagai dunia, tidak pandang waktu dan tempat. Karena sifatnya yang universal untuk manusia, hukum Islam tidak memandang waktu, tempat, dan budaya.


Khamr adalah haram untuk seluruh manusia, dimana pun dan kapan pun. Zina adalah haram, apakah untuk orang Yogya atau orang Arab. Zakat diwajibkan untuk seluruh Muslim di tempat mana pun dan kapan pun. Judi diharamkan untuk semua manusia. Seluruh ulama sepakat bahwa babi adalah haram, tidak pandang waktu dan tempat; tidak pandang, apakah di tempatnya banyak ternak babi atau ternak kambing. Riba diharamkan untuk semua manusia dan semua tempat. Menutup aurat diwajibkan untuk semua wanita Muslimah, tidak peduli, dimana pun dia berada; apakah di Yogya tempat tinggal Syafii Maarif atau di Amerika tempat tinggal Madonna.
Jadi, sangatlah sembarangan, jika Syafii Maarif menyatakan, bahwa syariah senantiasa terikat dengan ruang dan waktu. Tentu saja dalam pelaksanaan hukum ada perbedaan model dan gaya. Bisa saja model jilbab di Arab Saudi berbeda dengan di Bandung. Tetapi, semuanya wajib menutup seluruh aurat wanita, kecuali muka dan telapak tangan. Bisa saja merk khamr berbeda, antara vodka di Rusia dengan minuman Arak cap anjing di Indonesia. Tapi, semuanya adalah khamr dan hukumnya haram. Semuanya adalah syariah Islam, syariah yang satu. Umat Islam tidak pernah mengenal istilah syariah Arab, syariah Iran, syariah Pakistan, syariah Jawa, syariah Batak, syariah Padang, syariah India, syariah Papua, dan sebagainya.
Juga, sejarah Islam sebenarnya tidak mengenal istilah abad pertengahan sebagaimana dalam sejarah Barat. Bagi Barat, abad pertengahan adalah identik dengan zaman kemunduran dan zaman kegelapan (the dark ages). Jika Syafii Maarif menelaah dengan jeli sejarah Islam dan membandingkannya dengan sejarah Barat, maka tidak seharusnya dia mengikuti periodisasi sejarah sebagaimana yang dialami peradaban Barat. Ketika Barat berada dalam zaman kegelapannya, di abad pertengahan, justru kaum Muslim sedang berada dalam puncak-puncak ketinggian prestasi peradabannya. Ketika itulah, kaum Muslim memegang kendali dunia. Maka, istilah abad pertengahan dengan konotasi kemunduran seperti yang dialami peradaban Barat, tidak sepatutnya digunakan untuk sejarah umat Islam. Sebagai professor sejarah, Syafii Maarif harusnya memahami masalah ini.
Akan tetapi, di tengah berbagai kekeliruan dalam pola pikir Syafii Maarif, kita perlu memberikan apresiasi terhadap niatnya untuk membela Islam. Syafii tampak berbeda dengan orang seperti Dawam Rahardjo yang sudah tegas-tegas memposisikan dirinya sendiri di mana berada. Syafii dikenal sebagai orang yang hidup sederhana dan cukup tegas dalam masalah moralitas.


Sayangnya, dia banyak keliru dalam masalah pemikiran Islam. Satu hal yang perlu kita perhatikan dari kritik positif Syafii Maarif adalah seruannya agar orang-orang yang memperjuangkan syariah Islam benar-benar serius, bukan semata-mata untuk kepentingan isu politik sesaat. Dalam hal ini, kita tentu setuju, bahwa para penyeru syariah Islam seyogyanya menerapkannya untuk diri sendiri dan kelompoknya terlebih dahulu. Selain itu, Syafii juga benar, bahwa penerapan syariah memanglah sesuatu yang panjang dan komplek. Aspek legalitas syariah dalam bentuk hukum positif adalah salah satu aspek saja dari suksesnya penegakan syariah. Masih diperlukan unsur-unsur lain yang mendukungnya, seperti aparat hukum yang baik, sistem peradilan yang baik, dan juga kesiapan
masyarakat dalam menerima hukum Islam. Semua aspek itu harus dikerjakan secara simultan.
Kita memang heran, mengapa Syafii Maarif begitu sinis terhadap penerapan Syariah? Ada apa sebenarnya dengan Syafii Maarif? Tapi, kita doakan saja, semoga Professor Doktor Syafii Maarif meskipun di usianya yang senja bersedia ngaji lagi dengan baik kepada orang yang benar-benar ulama, agar tidak keliru cara berpikirnya dalam memandang Islam. Wallahu alam. (Depok, 13 Juli 2006).