MUSTANIR ONLINE
3.21K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
PLURALISME DAN GEREJA
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

"Our goal is a Christian nation. We have a Biblical duty, we are called by God, to conquer this country. We don't want equal time. We don't want pluralism." Randall Terry, Founder of Operation Rescue.

Jika Christian Nation diganti Daulah Islamiyah, dan Biblical Duty diganti Jihad dan God ditukar Allah, pasti penulisnya jadi buronan. Dalam standar buku When Religion Become Evil karya Charles Kimbal, Randall dan agama Kristen sudah tentu masuk kategori agama jahat (evil) dan melanggar HAM.

Jika Randall pernah membaca tulisan Akbar S. Ahmed tahun 90an bahwa “Postmodernisme dipicu oleh semangat pluralisme”, berarti Randall tengah melawan arus kebudayaan Barat postmodern. Sebab ia pasti tahu bahwa pluralisme menjadi ordo di zaman postmo. Padahal di Barat siapa melawan faham ini, termasuk Randall pasti dapat stigma intoleran, mungkin juga teroris.

Sudah jamak postmodernisme lahir sebagai kemurkaan terhadap modernisme dan kejengkelan terhadap nilai dan kebenaran (nihilisme). Pluralisme menurut Peter Berger, (1967) merupakan alternatif pengganti sekularisme yang telah gagal di dunia Islam.

Kalau al-Attas menganggap sekularisme sebagai program, kita bisa yakin pluralisme adalah proyek postmodernisme. Dilaksanakan dengan dana, strategi dan agen-agen untuk setiap Negara dan agama. Dipopulerkan oleh tokoh dan didukung tokoh populer. Dipromosikan pada dua wilayah sekaligus yakni sacred, dan profane.

Tidak mudah tapi ini proyek peradaban. Karena itu makna pluralisme dibuat ambigu. Misi umumnya adalah memberangus fundamentalisme, persis seperti postmo. Tapi makna istilahnya dibuat bersayap. Terkadang bermakna toleransi dan disaat lain berarti relativisme.

Tapi kalangan agamawan Kristen telah mencium trik ini. Robert E. Regier & Timothy J. Dailey misalnya dalam Religious 'Pluralism' or Tolerance?", sudah menaruh curiga. Menurutnya, banyak orang hari ini yang dibingungkan oleh istilah toleransi keagamaan tradisional Barat dengan pluralisme agama.

Pluralisme agama berarti semua agama sama-sama valid. Jika demikian, lanjutnya, maka akan terjadi relativisme moral dan ketidakberaturan etika (ethical chaos). Kesan Rick Rood, seorang tokoh Katholik lainnya, juga sama “Dalam pluralisme agama semua agama adalah sama-sama benarnya sebagai jalan menuju Tuhan”.

Bahkan John Stott, teolog Anglican (dalam interview tahun 1998) tidak hanya curiga. Ia menuduh target pluralisme pada akhirnya adalah melarang penyebaran agama, khususnya Kristen (evangelisme). Sudah tentu trik ini tidak dipahami oleh para blind supporter pluralisme. Padahal diantara narasumber mereka yaitu Diana L. Eck, pimpinan proyek pluralisme Amerika, tidak menafikan sayap relativisme itu. Menurutnya agama-agama dan pandangan hidup sekuler adalah sama benar dan validnya.

Benar jika dilihat dari dalam kulturnya sendiri. Untuk itu, kata Diana L. Eck., dalam The Challenge of Pluralism, pluralitas harus digandengkan dengan pluralisme. Pengakuan terhadap pluralitas agama-agama tidak cukup, harusnya juga mengakui realitas kebenaran agama-agama, tegasnya.

Kini makna toleransi dan relativisme dalam pluralisme telah dibumikan menjadi makna sosiologis dan teologis. Tapi ini justru merungsingkan pihak gereja. Dr. Dawe Robert L. Dabney dalam Christian Century May 12, 1982 menulis bahwa gaung pluralisme telah memasuki ruang-ruang gereja. “Namun pemahaman kita cenderung sosiologis daripada teologis” tulisnya.

Tapi secara sosiologis sekalipun, menurut profesor teologi di Union Theological Seminary, Richmond, Virginia itu masih terdapat sisi negatifnya. Negatifnya gereja harus menerima berbagai pandangan baik konservatif ataupun liberal, yang saleh atau yang brengsek, feminis atau tradisionalis, aliran kiri atau kanan. Artinya nanti aliran setan sekalipun harus ditolerir.

Jadi sebenarnya mendukung pluralisme sosiologis juga masih riskan secara teologis. Orang diluar gereja merasa aman dari upaya penyingkiran. Tapi secara teologis mengakui keragaman kebenaran termasuk ateisme justru bertentangan secara teologis dengan gerej
a dan agama manapun.

Itulah sebabnya uskup pertama Baltimore Dr. Dawe John Carroll bingung, jika gereja bersikap terlalu eksklusif Kristen menjadi tidak laku di pasaran yang penuh persaingan. Jika bersifat inklusif atau pluralis maka berarti mengakui semua sebagai sama-sama benar adanya. Ini masalah.

Namun mereka tidak sadar dampak sosial ternyata tidak sebesar konsekuensi religius. Sebab ternyata para peneliti menemukan bahwa pluralisme agama melemahkan keterlibatan masyarakat dalam agama. Penelitian Finke dan Stark (1988) menyimpulkan bahwa pluralisme menghilangkan kegairahan beragama.

Ketika Negara atau lembaga publik tidak lagi mengobarkan kebaikan suatu agama, maka pemeluk agama-agama itu akan kehilangan kualitas atau intensitas keimanan atau kepercayaan pada agamanya. Akibatnya, keterlibatan masyarakat pada agama menjadi turun. Semakin pluralis seseorang semakin rendah semangatnya pergi ke gereja, begitulah simpul Finke dan Stark.

Lebih jeli lagi adalah kesimpulan Kenneth R. Samples, Abad dua puluh telah membawa tantangan yang tidak ada duanya dalam sejarah Kristen. Pada abad ini relevansi Kristen dan kebenarannya yang tertinggi telah dipertanyakan untuk pertama kalinya. Penghinaan terhadap klaim kebenaran Kristen yang sentral datang dari dua kelompok berbeda: humanis sekuler yang ateis dan suasana pluralisme agama yang terus berkembang (The Challenge of Religious Pluralism, Christian Research Journal)

Kesimpulan Sensus Olson and Hadaway (1998) di Kanada juga sama. Pluralisme menggerogoti semangat masyarakat dalam kegiatan keagamaan di Amerika Utara. Stark dan Bainbridge (1987) juga mencatat ketika seseorang berbeda pendapat tentang (ajaran) suatu agama, maka salah satunya akan berkurang keimanannya. Tapi anehnya, Berger, salah seorang konseptor pluralisme, berkesimpulan bahwa secara kognitif pluralisme agama telah menjadikan individu sulit mengimani agama tertentu.

Selain itu kesimpulan Joseph M. Mcshane, S.J., Dosen religious studies di LeMoyne College di Syracuse, New York menarik dicermati. Dalam masa 200 tahun gereja-gereja Amerika menikmati “karunia” pluralisme tapi pada kurun waktu 40 tahun terakhir, gereja akhirnya harus menanggung efek pluralisme yang merusak. Kini di Amerika orang sulit membedakan antara penganut Katholik dan orang awam.

Mengamati situasi diatas Gregory Koukl, rekan John Scott menjadi marah dan emosional mirip Randall. Dengan tegas dan blak-blakan ia mengatakan “Saya rasa konsep pluralisme agama masa kini adalah bodoh (stupid). Konsep bodohnya adalah ide bahwa semua agama pada dasarnya sama-sama benar”. Emosinya tercermin dari serapah dalam bahasa informal Amerikanya That is just flat out stupid.
DAHSYATNYA HARI KIAMAT
Penulis: Ibnu Katsir

Umur dunia sudah tua. Banyak peristiwa bencana alam yang telah menelan korban nyawa. Alam seakan memberi isyarat agar manusia menyadari bahwa dunia ini fana. Kehidupan di bumi akan berakhir apabila kiamat tiba. Kiamat merupakan perkara ghaib dan hanya Allah Ta'ala saja yang mengetahuinya. Meskipun demikian Allah memberitahukan tanda-tandanya kepada Muhammad s.a.w. sebagai rasul-Nya.
Buku Dahsyatnya Hari Kiamat ini merupakan karya ulama besar Ibnu Katsir yang mencoba mengompilasikan peristiwa-peristiwa dahsyat yang akan menimpa manusia, sebelum peristiwa kubra, yaitu Kiamat. Di dalamnya menjelaskan berbagai peristiwa, huru-hara, tanda-tanda kiamat,fitnah dajjal, turunnya Nabi Isa a.s., kaum Ya’juj dan Ma’juj, hari kebangkitan, hari perhitungan, timbangan, jembatan (ash-Shirâth), surga, neraka, dan lain sebagainya. Semuanya sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah s.a.w., manusia mulia dan ma’shum yang tidak pernah berbicara dengan hawa nafsu, melainkan berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah Ta’ala melalui malaikat Jibril.
Keistimewaan buku ini tak terbantahkan. Disamping kefakihan penulis dalam bidang tafsir dan hadis, keautentikan isi yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis-hadis sahih memantaskan buku ini untuk menjadi referensi yang lengkap, akurat dan tepercaya bagi seluruh kaum Muslimin yang haus akan ilmu.
--------------------
DAHSYATNYA HARI KIAMAT
Penulis: Ibnu Katsir

ISBN: 978-979-1303-85-9
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Jenis Buku: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Cetakan: ke-1
Kategori: Panduan Islam
Jumlah Hlm: xxii + 622 = 644 hlm
Berat: 1 Kg
Harga: Rp. 150.000,-
Pemesan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
-Admin-
Dalam al-Quran dijelaskan, bahwa Iblis dikutuk dan diusir karena menolak perintah Allah. Iblis tidaklah ateis atau agnostik. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ke-Esaan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Tetapi, meskipun ia tahu kebenaran, ia disebut kafir, karena mengingkari dan menolak untuk tunduk patuh kepada Tuhan YME.
-Dr. Adian Husaini-
MEMAHAMI DAN MENYIKAPI PAHAM SESAT
Oleh: Dr. Adian Husaini

Pada akhir tahun 2013 lalu, saya mendapatkan undangan untuk memberikan paparan tentang masalah aliran dan paham sesat di depan ratusan peserta Mukernas Persistri, di Bandung. Persistri adalah oragnisasi sayap perempuan dari Ormas Persatuan Islam (Persis), seperti Muslimat NU, Muslimat Dewan Dakwah, atau Aisyiyah Muhammadiyah. Dalam dialog, para peserta mengungkapkan tentang keresahan mereka tentang merebaknya berbagai aliran dan paham sesat di tengah-tengah masyarakat dan bagaimana cara menanggulanginya.

Acara semacam itu, saya pandang penting, sebab bagi kaum Muslim, memahami yang sesat termasuk hal yang pokok dalam masalah agama. Setiap hari, dalam shalat, mereka wajib berdoa untuk dijauhkan dari jalan orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub) dan juga jalan orang-orang yang sesat (al-dhaallin). Jalan yang sesat adalah jalan yang menyimpang dari jalan yang lurus.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah saw dikabarkan pernah menggambar sebuah garis lurus di hadapan pada sahabat beliau. Nabi berkata bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus” (haadzaa shiraathullaahi mustaqiimaa). Lalu, pada garis lurus itu, beliau menggambar garis yang menyimpang ke kiri dan ke kanan. Beliau katakan: “haadzihis subul mutafarriqatun; ‘alaa kulli sabiilin minhaa syaithaanun yad’uw ilaihi.” Lalu, beliau membaca ayat al-Quran: “wa anna hadza shirathiy mustaqiiman fattabi’uuhu wa laa tattabi’u as-subula fatafarraqa bikum ‘an sabiilihi.”

Jadi, setiap Muslim wajib memahami, mana jalan yang lurus (shirathal mustaqim) dan mana jalan yang sesat. Di jalan sesat itulah, kata Nabi saw, ada setan yang selalu berusaha menyeret orang Muslim ke jalan setan, atau jalan sesat itu. Orang yang sesat ada dua jenis, yakni yang sesat secara sengaja dan yang sesat karena bodoh. “Karena sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam keadaan sesat; lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jalan hidup bapak-bapak mereka itu.” (QS ash-Shaffat: 69-70).

Ada juga orang-orang yang di akhirat dijebloskan ke neraka, karena tersesat hidunya di dunia. Mereka hanya ikut-ikutan secara membabi buta kepada para pemimpin mereka yang sesat. Apapun yang dikatakan dan dikerjakan pemimpinnya diikuti, tanpa mau berpikir dan mencari kebenaran. Penghuni neraka itu berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.” (QS al-Ahzab: 67-68).

Jadi, ada orang-orang bodoh dan tidak mau menuntut ilmu yang kemudian tersesat, karena hanya ikut-ikutan pada tradisi nenek moyangnya yang juga tersesat. (Lihat, QS az-Zukhruf: 21-23). Mereka tidak mau berpikir dan mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh. Padahal, mereka dikaruniai akal untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Manusia-manusia seperti ini pun tak lepas dari azab Allah SWT.

Ayat al-Quran itu menggambarkan, betapa menyesalnya orang-orang bodoh atau orang yang membodohkan dirinya sendiri; hanya ikut-ikutan paham sesat yang dianut pemimpinnya, tanpa mau melakukan kajian kritis. “Dan mereka (penghuni neraka) itu berkata, andaikan kami dulu mau mendengar dan mau berpikir, maka kami tidak akan menjadi penghuni neraka Sa’ir.” (QS al-Mulk: 10).

Di era globalisasi, kita masih saja menyaksikan banyaknya orang pintar dan terkadang juga penguasa, ikut-ikutan suatu paham atau pemikiran seseorang tokoh tanpa membaca dan menelaah pemikirannya. Mereka hanya ikut arus opini. Mereka takut untuk melawan opini yang dikembangkan media massa. Atau mereka justru mungkin sengaja memanfaatkan arus opini untuk kepentingan peningkatan citra di tengah masyarakat. Mereka tidak mau menelaah karya-karya si tokoh dengan serius dan mencermati kelemahan-kelemahan serta kekeliruannya. Kadangkala kebencian sudah ditanamkan terhadap para pemikir yang mengkritisi paham sesat yang dianut tokoh pujaannya.

Jenis kesesatan yang kedua,
adalah manusia yang tahu jalan yang benar, tetapi karena godaan hawa nafsu dan kecanggihan tipu daya setan, maka mereka menolak jalan yang benar. Contoh yang jelas adalah kasus Iblis yang menolak perintah Allah karena kesombongan. Iblis adalah contoh utama dalam hal ini. Iblis tahu benar bahwa yang dilakukannya – membangkang perintah Allah SWT – adalah salah. Tapi, karena api kedengkian membakar dirinya, maka ia memilih jalan sesat dengan sadar. Ia berani membangkang perintah Allah karena kesombohan dan kedengkian.

“Fenomena Iblis” ini bisa dengan mudah kita jumpai di era kini. Dan Iblis paham betul, bagaimana cara menyesatkan manusia melalui jalan ini. Mungkin karena merasa lebih senior, merasa lebih kuasa, merasa lebih kaya, atau merasa lebih pintar, maka seseorang bisa menolak kebenaran yang disampaian padanya.

Begitu banyak jerat-jerat ditabur setan untuk menjerat manusia ke jalan sesat. Karena itu, kiat sederhana untuk selamat dari jalan sesat adalah mengikuti petunjuk Allah SWT. “Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (QS Thaha: 123).

Kriteria sesat
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dikenal dengan rumusannya: “Islam is the only genuine revealed religion.” Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang murni. Agama-agama selain Islam sudah menjadi agama budaya (cultural religion). Sebagai agama wahyu yang murni, Islam memiliki konsep-konsep yang tetap (tsawabit) yang dirumuskan berdasarkan wahyu, dan bukan oleh budaya atau konsensus umat Islam. Islam juga satu-satunya agama yang memiliki “model yang abadi” yang disebut sebagai “uswatun hasanah”. Karena adanya konsep-konsep yang tsawabit dan dipandu dengan uswatun hasanah yang abadi, maka Islam tetap terjaga keabadiannya sebagai agama wahyu.

Dengan kondisinya seperti itu, maka umat Islam secara umum sangat mudah menentukan mana yang “lurus” dan mana yang “sesat”. Umat Islam paham mana bagian ajaran shalat yang wajib dikerjakan oleh seluruh kaum muslimin, tanpa khilafiyah di dalamnya. Misalnya, rukun shalat takbiratul ihram, keharusan ruku’, sujud, i’tidal, dan sebagainya. Hal-hal yang “tsawabit” seperti itu adaah merupakan perkara unik dan khas yang hanya ada dalam konsep ritual Islam. Dengan konsep seperti itu, maka Islam merupakan satu-satunya agama yang diakui keabsahannya oleh Allah SWT. (QS ali Imran:19). Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di akhirat termasuk orang-orang yang ragu. (QS Ali Imran:85).

Konsep Islam sebagai agama wahyu juga mempermudah untuk mementukan mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, kriteria sesat atau tidak ditentukan oleh wahyu, dan bukan oleh budaya. Tanpa dekrit kekuasaan, kaum muslim bisa memahami, bahwa orang yang mengerjakan shalat tanpa sujud, pasti termasuk sesat. Orang yang mengerjakan puasa tiga hari tiga malam berendam dalam air comberan untuk meraih kesaktian bisa dikategorikan melaksanakan ajaran sesat. Sebab hal itu melanggar perkara yang termasuk kategori “ma’luumun minad diin bidh-dharury”.

Bagaimana cara menentukan paham atau aliran sesat? Untuk kaum Muslim di Indonesia, 10 kriteria paham/aliran sesat yang dirumuskan Majlis Ulama Indonesia sudah memadai untuk dijadikan pegangan: (1) Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam (2) Meyakini/mengikuti aqidah yg tidak sesuai dg adalli syar’i (Al Qur’an & As Sunnah) (3) Meyakini turunnya wahyu sesudah AlQur’an (4) Mengingkari autentitas dan kebenaran Al Qur’an (5) Menafsirkan Al Qur’an yg tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir (6) Mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam (7) Menghina, melecehkan/ atau merendahkan Nabi dan Rosul (8) Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terkahir (9) Mengubah, menambah dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syari’at (10) Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i.

Tantangan pluralisme
Di tengah serbuan paham liberalisme, kaum Muslim Indonesia kini diguyur dan dicekoki dengan aneka rupa pemahaman yang memuja pluralisme tanpa memandang penting perbedaan antara Ta
uhid dan syirik, antara haq dan bathil, antara iman dan kufur. Kaum Muslim diharuskan berpikir, bahwa semua warga negara punya hak yang sama untuk menyebarkan paham atau aliran apa pun. Negara pun diminta bersikap netral terhadap semua agama atau aliran. Pejabat diminta “cuek”, dan tidak peduli, apakah rakyatnya menyembah Tuhan atau menyembah Tuyul.

Kita masih ingat, bagaimana pada tahun 2010 lalu, ada sejumlah tokoh dan lembaga menggugat keabsahan UU No 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Gugatan itu – jika dikabulkan – akan berdampak pada “penyamaan” kedudukan semua agama dan aliran keagamaan atau pemikiran, dengan alasan “kebebasan beragama” dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 18.

Kata mereka, negara tidak boleh memihak, menganakemaskan atau menganaktirikan suatu kelompok masyarakat atas dasar keyakinannya. Negara tidak boleh terlibat dalam satu Tafsir keagamaan tertentu. Bahkan, sejumlah buku secara terbuka menuntut agar – demi Kebebasan Beragama -- Indonesia juga memberikan kebebasan untuk semua agama, semua paham keagamaan, termasuk propaganda Ateisme. Seorang saksi ahli di Mahkamah Konstitusi, pada 17 Februari 2010, menyatakan, bahwa: “Persoalan utama dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu jauh dalam urusan agama. Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama.”

Cara pandang “negara yang netral agama” seperti itu jelas tidak sesuai dengan UUD 1945 dan juga fakta yang terjadi di berbagai negara di dunia. Setiap agama atau paham, pasti menganggap bahwa agama atau pahamnya yang benar. Jika ada yang bertentangan dengan pahamnya, maka paham itu akan ditolaknya. Komunisme lahir sebagai sikap protes terhadap Kapitalisme. Sekularisme di Eropa lahir karena penolakan masyarakat Barat terhadap konsep teokrasi. Islam diturunkan Allah sebagai koreksi atas praktik kemusyrikan dan kezaliman yang terjadi di tengah umat manusia. Bahkan, seringkali kita membaca, kaum liberal pun menempatkan liberalisme sebagai koreksi terhadap fundamentalisme.

Dalam acara Mukernas Persistri tersebut, sejumlah peserta mengemukakan kekhawatiran mereka tentang merebaknya aliran Syiah di Indonesia. Kekhawatiran mereka itu bisa dimengerti. Sebab, Indonesia adalah negeri Muslim Sunni. Sudah banyak contoh, negeri Muslim yang terkoyak oleh konflik Sunni-Syii; bahkan akhirnya terjadi saling bunuh yang tiada berkesudahan. Seyogyanya, dalam era seperti ini, pihak Syiah menyadari dan tidak memaksakan diri untuk mengembangkan pahamnya di Indonesia. Sebab, cepat atau lambat, akan terjadi konflik yang melelahkan, seperti di Syiria, Yaman, Afghanistan, Pakistan, dan sebagainya.

Harusnya para pemimpin Muslim Sunni di Indonesia juga menyadari hal ini. Sikap sebagian pemimpin Muslim Sunni yang mendukung atau melegalkan pengembangan paham Syiah di Indonesia dan berbagai paham sesat, sejatinya laksana menumbuhkembangkan sel-sel kanker ganas, yang makin lama akan menggerogoti sel-sel tubuh yang sehat. Jika mereka cinta pada negeri Muslim terbesar ini, bukan seperti itu caranya. Mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Mengobati penyakit sedini mungkin jauh lebih bijak ketimbang membiarkan penyakit berkembang biak dengan semena-mena.

Dalam istilah tokoh Islam Indonesia, Muhammad Natsir, jika mau memadamkan api, maka padamkanlah api sewaktu kecil. Jangan nunggu api semakin membesar. Hingga kini, terbukti kaum Syiah di Indonesia masih tetap konsisten dengan kebencian dan laknatnya terhadap Sayyidina Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Aisyah r.a. Berbagai buku dan situs-situs internet dengan gamblang menunjukkan perbedaan yang sangat fundamental antara ajaran-ajaran pokok kaum Syiah dengan kaum Muslim pada umumnya. Pada tahun 2013 lalu, MUI Pusat telah menerbitkan buku berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia” yang dengan mudah dapat dinduh dari berbagai situs online.

Selain aliran-aliran sesat yang terstruktur, ada juga paham sesat yang merebak luas di tengah masyarakat, bahkan di kalangan cendekiawan. Salah satu c
ontoh adalah paham “relativisme” kebenaran. Di awal-awal Januari 2014, dalam beberapa acara dialog dengan guru-guru di sekolah Islam dan pesantren, masih ada saja pertanyaan seputar paham relativisme ini. Masih ada guru yang bertanya, “Bukankah manusia itu itu relatif pemikiranya. Yang mutlak hanya Tuhan. Maka, hanya Tuhan saja yang paham kebenaran, sehingga manusia tidak boleh merasa benar sendiri dengan pendapatnya, dengan menyesatkan atau menyalahkan pendapat orang lain.”

Kita sudah beberapa kali menjawab secara logis, kekeliruan paham relativisme kebenaran seperti itu. Cara berpikir relativisme sebenarnya paradoks dengan ucapannya sendiri. Orang yang mengatakan, bahwa hanya Tuhan yang tahu kebenaran, sejatinya ia juga menvonis dirinya sendiri, bahwa ia tidak tahu yang benar. Sebab, dia bukan Tuhan. Ia manusia juga. Maka, mengapa ia merasa bahwa yang diucapkannya itu benar? Setidaknya, ia percaya bahwa huruf-huruf yang dikeluarkannya itu ia yakini kebenarannya. Ia yakin dengan ucapannya, tetapi orang lain dilarang untuk meyakini kebenaran yang diyakininya. Itu sikap yang paradoks. Inkonsisten antara cara berpikir dan ucapannya sendiri.

Jika konsisten dengan jalan pikiran relativismenya, harusnya ia berucap, “Hanya Tuhan dan saya yang tahu kebenaran!”

Di tengah hiruk pikuknya manusia-manusia yang memuja dan membela paham dan aliran sesat saat ini, maka sebagai Muslim, setiap hari kita diperintahkan senantiasa berdoa kepada Allah, semoga kita selamat dari jalan yang sesat; agar kita senantiasa dibimbing oleh Allah untuk senantiasa mampu mengenali dan mengikuti jalan kebenaran dan tidak terjebak di jalan kesesatan yang tak lain adalah jalan setan. Amin Ya Rabbal Alamin. (Cengkareng, 18 Januari 2014).
Perilaku, akhlak, dan sikap hidup seseorang berkaitan erat dengan keimanannya pada Tuhan. Semakin tinggi iman seseorang pada Tuhan semakin baik perilaku, akhlak dan sikapnya dalam hidup.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
HUMANISME
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Saya punya pengalaman menarik, waktu itu dalam suatu acara bersama para wali murid sekolah anak saya di kawasan Aston Birmingham tahun 1998. Setelah kenalan dengan saya salah seorang ibu-ibu bertanya “Anda belajar apa?” saya jawab “Theology”. Ups if you want to have a friend don’t talk about religion and politic” katanya.

Mendengar theology ia seperti terkejut dan menjadi tidak bersahabat lalu meninggalkan saya. Lama saya termangu dan bertanya-tanya. Ada apa dengan agama? Mengapa agama tidak jadi alat persahabatan? Saya terus memendam pertanyaan itu selama saya di Inggris.

Kini saya baru mengerti. Sensus tahun 2001 di Inggris menunjukkan sedikitnya 15.5% penduduknya tidak beragama. Survei Kementerian Dalam Negeri Inggris tahun 2004 menyatakan 22% penduduknya tidak percaya pada agama. Survei yang lain menunjukkan 30-40% penduduk Inggris mengaku ateis dan agnostik, dan 65% nya pemuda.

Polling Ipsos MORI bulan November 2006 membuktikan 36% penduduk Inggris menganut paham humanisme dalam soal moralitas. Itulah sebabnya mengapa di Inggris orang lebih banyak konsultasi ke the British Humanist Association daripada ke pastur di gereja. Ibu-ibu wali murid itu mungkin seorang humanis.

Humanisme ternyata seumur peradaban Barat. Istilah humanisme tercipta tahun 1808. Aslinya bahasa Italia umanista, yang berarti guru atau murid sastra klasik. Tapi cikal bakalnya dapat dilacak dari Yunani kuno, Romawi dan Renaissance abad ke 14. Semangat mengkaji filsafat, seni, sastra klasik sangat tinggi. Keyakinan mereka pada kekuatan individu dan kemampuan manusia untuk menentukan kebenaran cukup kuat.

Lucunya, paham yang mencibir agama itu datang dari dalam agama. Adalah kardinal Pelagius (354-420) yang mulai berwacana bahwa manusia punya kapasitas untuk berkembang sendiri tanpa Tuhan. Bisa tahu baik buruk dengan akalnya.

Mula-mula Jerome dan St. Augustine yang mengkritik. Tapi ketika Pelagius tidak percaya pada doktrin dosa warisan (original sin) dan menolak doktrin predestinasi Calvinisme ia dianggap melawan gereja. Roma dan the Council of Orange tahun 529 akhirnya men“fatwa”kan ide Pelagius itu sesat. Tapi waktu itu belum ada kelompok liberal yang membela Pelagius dan men”tolol”kan petinggi Roma, seperti liberal disini yang men”tolol”kan MUI.

Anehnya, meski difatwa sesat wacana Pelagius terus menghiasi perjalanan sejarah Katholik abad pertengahan, mengiringi dendang Humanisme Renaissance, dan memotivasi Liberalisme modern. Protestan yang kata Weber memendam jiwa kapitalisme itu langsung bersahabat dengan humanisme. Sebab worldview humanisme, Protestan dan kapitalisme sejalan.

Perkawinan Kristen dan humanisme seperti tidak tertahankan lagi. Humanisme Kristen (Christian Humanism) akhirnya lahir, tapi seperti ada kelainan genetik. Teologinya dirubah menjadi berorientasi kemanusiaan. Anak cucu Pelagius pun bermunculan.

Teolog Belanda Erasmus, pengarang Inggris dan juga penganut Katholik Roma Thomas More, penulis Perancis Francois Rabelais, sastrawan dan cendekiawan Itali Francesco Petrarch and Giovanni Pico della Mirandola adalah humanis Kristen tulen.

Zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke 18 serta kebebasan berpikir abad ke 19 telah memoles humanisme menjadi berwajah modern. Pergumulan antara agama, modernisme dan humanisme terus berlangsung. Awalnya humanisme berteduh di rumah agama. Tapi kemudian meninggalkan dan memaki agama.

Di Inggris perkawinan humanisme dan agama awalnya masih bisa dipertahankan. Organisasi humanisme paling awal bernama Humanistic Religious Association didirikan di London tahun 1853. Namun, ketika buah perkawinan itu membesar di zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke 18 dan 19, ia berwajah modernis dan meninggalkan agama.

Perkumpulan humanis bernama the British Humanist Association tidak lagi memakai sifat “religious”. Claire Raynes, wakil Presidennya, mengaku seperti pindah rumah ketika bergabung dengan organisasi Humanisme itu. Alasannya, dalam humanisme tidak ada intimidasi seperti dalam agama.

Sewaktu Salman Rushdi menulis The Satanic Vers
es tidak ada yang sadar bahwa agama sedang dihabisi seorang humanis sekuler. Dalam sebuah acara Nightline TV ABC pada 13 Februari 1989 terus terang dia nyatakan “…saya tidak percaya pada mereka yang mengklaim tahu seluruh kebenaran dan mencoba memaksa dunia ini agar ikut kebenaran itu.” Lebih jelas lagi dalam pernyataannya di New York Review tanggal 2 Maret.

Jadi dia sebenarnya telah berada di luar agama dan menjadi sebagai humanis sekuler. Dan melalui karyanya Satanic Verses “Saya mencoba memberi visi sekuler dan humanis terhadap agama besar ini (maksudnya Islam)”, katanya dalam New York Review 2 Maret 1989. Di Barat anak yang telah dewasa memang berhak minggat dari rumah. Orang beragama berhak murtad.

Di Amerika humanisme seperti anak nakal. Organisasi pertamanya (berdiri Februari 1877) tidak sudi memakai kata “religious”. Pemrakarsanya F.C.S. Schiller didukung oleh Charles Francis Potter dipengaruhi oleh doktrin pragmatisme William James.

Organisasi yang didirikan Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist jelas-jelas bernama the Council for Secular Humanism. Demikian pula Humanist Society of New York yang didirikan Charles Francis Potter tahun 1929 juga sekuler.

Penasehatnya Julian Huxley, John Dewey, Albert Einstein dan Thomas Mann. Ini disusul oleh kelompok-kelompok seperti the Council for Democratic and Secular Humanism dan the American Rationalist Federation dan sebagainya. Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis. Modalnya akal dan sains, alat penyebarannya adalah demokrasi. Dan semua itu demi kepentingan kemanusiaan.

Di era globalisasi dan teknologi modern disaat mana agama kehilangan otoritasnya, humanisme talak tiga dari agama. Fenomenanya terlihat ketika Potter bersama istrinya Clara Cook Potter berani menerbitkan buku aneh (tahun 1930) berjudul Humanism: A New Religion.

Disinilah humanisme tidak hanya pindah rumah dari agama tapi sudah menjadi rival agama. Ini tidak hanya mensekulerkan agama, tapi meng-agamakan paham sekuler. Inilah agama yang tidak lagi berhubungan dengan Tuhan. Tidak aneh jika kemudian “Fatwa” tentang kemanusiaan kini direbut humanisme.

Dari awal humanisme memang sudah berwatak sekuler. Tapi resmi berwajah sekuler ketika berdiri the Council for Secular Humanism oleh Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist. Karena sekularisme inklusif dalam modernisme, humanisme modern dan humanisme sekuler sama saja.

Garda depannya adalah kelompok-kelompok seperti the Council for Democratic and Secular Humanism dan the American Rationalist Federation. Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis. Andalannya akal dan sains, demokrasi dan kepentingan kemanusiaan. Paul Kurtz dan Potter mungkin sudah lama berwacana bagaimana menghabisi agama.

Babak-babak marginalisasi agama oleh humanisme modern dan sekuler terus berlangsung. Ketika globalisme dan teknologi modern bangkit kekuasaan agama jatuh. Humanisme religius pun kehilangan watak religiusnya.

Namun watak humanisme yang sejak awal telah menggugat agama itu akhirnya tidak dapat menutupi identitasnya. Humanis adalah ateis. Faktanya semua aktifis humanis tidak sungkan lagi mengklaim dirinya ateis dan agnostik. Robert G. Ingersoll, seorang humanis sekuler terang-terangan berkata: “Kini saya yakin hantu (ghost) dan tuhan (god) adalah mitos. Aku bebas berpikir dan berbuat apa saja… aku bebas! Bagi humanis sekuler tidak perlu lagi teriak "hallelujah!" Jika ia Muslim pasti ia benci dengan yel Allahu Akbar.

Lucunya humanisme religius sama-sama menanda tangani Manifesto Humanist I & II tahun 1933 dan 1973. Tapi kedua manifesto itu dihegemoni humanisme sekuler. Sementara Humanisme Kristen sudah dikuasai oleh Unitarianisme dan Universalisme. Suatu organisasi keagamaan liberal dibawah gereja the Unitarian Universalist (UU) Amerika Utara. Kini kelompok Unitarian yang liberal ini telah dianggap telah keluar dari Kristen.

Puncaknya kemenangan humanisme sekuler terjadi tahun 2008. Pemerintah Inggris pada tanggal 8 Mei 2008 menyetujui Undang-undang Kriminal, Keadilan dan Keimigrasian. Undang-und
ang itu mengandung amandemen untuk menghapus larangan penistaan agama.

Hak istimewa gereja dan agama tidak sesuai lagi dengan masyarakat Inggris modern. Undang-undang ini benar-benar bertujuan menjaga masyarakat beserta hak-hak mereka, dan tidak melindungi pemikiran dan kepercayaan mereka dari kritik.

Meski demikian, buku Potter berjudul Humanism: New Religion, masih dicibir kalangan gereja di Amerika. Mereka membuat artikel plesetan berjudul Humanisme: The Atheist's Religion! Bibelnya: Manifesto Humanism; Obyek sembahannya: Manusia; Pendeta dan Misionarisnya: Para pendidik; Seminarinya: Guru-guru sekolah; Gerejanya: Universitas. Mungkin “jihad” nya adalah “memerangi” agama.

Akhirnya manusia sudah bukan makhluk Tuhan, tapi hasil evolusi. Tidak ada kehidupan sesudah mati. Prinsip hidup humanis sangat simple: makan, minum dan kawinlah sepuasmu karena mungkin besok akan mati. Lakukan apa saja asal kamu suka. Seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi eutanasia adalah hak asasi dan tidak ada yang berhak mencampuri anda.

Cara perang melawan agama itu mudah. Manifesto Humanisme di Amerika Selatan pada 7 Mei 2005 mendeklarasikan kembali lagu-lagu Yunani “Humans are the measure of all things". Jika pluralisme agama memindah pusat orbit dunia agama (world of religion) kepada satu Tuhan, humanisme memindahkan orbit segala sesuatu dari Tuhan kepada manusia.

Tuhan bukan lagi pusat dan ukuran segala sesuatu. Salah laku dalam hal seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi, eutanasia dan lain-lain kini tidak lagi diukur dari agama. "Baik buruk”, kata Betrand Russell yang ateis itu, “adalah kualitas milik obyek yang terpisah dari opini kita.” Sebab, ukuran moral adalah obyektif bukan subyektif atau normatif.

Pantas! Takbir yang diikuti dengan menjotos hidung sampai berdarah adalah kekerasan. Tapi mutilasi tanpa takbir dianggap tindak kriminal biasa. Merazia tempat maksiat dengan takbir demi nahi munkar melanggar HAM.

Tapi, razia polisi demi keamanan dan tanpa takbir adalah biasa. Artinya jangan bawa-bawa agama untuk kemanusiaan, apalagi berbentuk kekerasan. Pokoknya agama dipasung agar tidak masuk ke ranah publik dan humanisme diusung agar menjadi agama publik. Ukuran moralitas bukan agama tapi publik. Moralis tidak harus religius.

Disini sayup-sayup mulai terdengar Christian Humanism kini diterjemahkan menjadi Muslim Humanis. Dengan bahasa fiqih mereka berfatwa “Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia, maka ukurannya juga bukan Tuhan”, “Tujuan (maqasid) syariat lebih penting dari syariat” artinya “Kemanusiaan lebih penting dari syariat”, “Konteks lebih penting daripada teks”.

Tidak! Memang tidak ada yang salah dalam agama. Tapi agama telah kalah dari Humanisme. Manusia tidak lagi untuk Tuhan, tapi Tuhan untuk manusia. Moralis tidak selalu harus religius. Sila ketuhanan boleh jadi nantinya diganti dengan sila kemanusiaan. Sebab, disini ilmuwannya sudah berani berfatwa “Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia”, kemanusiaan lebih penting dari syariat.

Kini ukurannya bukan syariat tapi insaniyah atau basyariah. Dulu saja Tertulian secara pejoratif mengeluh "What has Jerusalem to do with Athens?" (maksudnya apa gunanya agama bagi akal). Mungkin keluh kesah Tertulian itu akan berubah begini: Apa yang bisa dilakukan agama jika semua demi manusia?.

Kini waktunya kita menyoal diri (muhasabah) apa gunanya agama jika kita hanya ingin surga (dunia). Apa gunanya qalbu jika syahwat sudah menggebu? Saya akhirnya paham mengapa penganut humanisme itu tidak bisa ngopi bersama sambil bicara agama dan Tuhan. Karena mereka telah merasa jadi tuhan.
EVIL OF LIBERALISM
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Dalam sebuah situs Katholik di Amerika, terdapat artikel berjudul The Evil of Liberalism, ditulis oleh Judson Taylor, tokoh besar Misionaris. Artikel itu ditulis pada awal abad ke 19 (1850an), dalam sebuah buku kumpulan essai berjudul An Old Landmark Re-Set diterbitkan ulang tahun 1856 dengan editor Elder Taylor.

Di dalam pengantarnya editor situs itu menulis bahwa misi yang disampaikan artikel itu lebih cocok untuk kita pada hari ini. Sebab perkembangan liberalisme keagamaan, akhir-akhir ini benar-benar menakjubkan orang tapi seluruhnya destruktif bagi kitab suci Kristen.

Makalah itu dimulai dengan pernyataan tegas “Liberalisme telah menggantikan Persecutiton”. Persecutiton artinya penganiayaan atau pembunuhan. Dalam tradisi Kristen penganiayaan terjadi karena adanya keyakinan yang menyimpang (heresy) dalam teologi. Artinya liberalisme sama dengan penganiayaan.

Hanya saja, lanjutnya, jika Persecution membunuh orang, tapi menyuburkan penyebabnya, maka liberalisme membunuh sebabnya dan menyuburkan pikiran orang. Dalam artian liberalisme memenangkan akal manusia daripada firman atau ajaran Tuhan.

Memang dalam sejarah agama Katholik, Persecution atau yang lebih hebat lagi inquisition merupakan alat pembela kebenaran agama. Cara ini, kata Judson Taylor, lebih disukai daripada kompromi Kebenaran versi liberal.

Kompromi kebenaran mungkin sekarang ini menjadi relativisme yang mengakui semua benar meskipun salah satunya salah. Itu pun tidak konsisten, dalam banyak kasus, orang liberal yakin bahwa Bible banyak masalah sedangkan kebejatan moral zaman ini malah tidak masalah.

Judson nampaknya belum curiga pada paham nihilisme atau pluralisme pemikir liberal. Sebab memang, ketika artikel ini ditulis, pemikiran Nietzsche masih sedang mencari bentuknya, dan Paham pluralisme agama masih belum lahir. Dalam bahasa Judson, kaum liberal lebih cenderung permisif alias bersahabat dengan semua sekte dan kemungkaran.

Blunder yang terbesar di zaman ini, kata Judson, adalah mengakui liberalisme yang mendukung kesesatan demi persatuan (union). Padahal persatuan (kebenaran dan kesalahan) yang dimaksud liberal itu justru akan berakhir dengan kekacauan. Selain itu, cara berpikir liberal yang konon netral dan rasional itu ternyata memihak juga.

Akhirnya, Judson membuat ciri-ciri liberalisme keagamaan menjadi tujuh tapi yang utama ada enam: Pertama: Banyak mengingkari firman Tuhan. Kedua: Mengakui berbagai kesalahan di zamanya dan juga kebenaran. Tapi lebih banyak mengakui kesalahan. Ketiga: Mengakui Tuhan hanya sebatas untuk kepentingan kemanusiaan, ketika ajaran Tuhan tidak dapat diterima maka akal manusia dimenangkan. Keempat: Tidak ada yang mutlak dan pasti tentang Tuhan. Kelima: Mempromosikan keraguan beragama yang tidak berarti. Keenam: Mendukung keyakinan keagamaan dan prakteknya yang populer.

Orang yang berpikir liberal umumnya hanya ingin menghargai pemikiran bebas. Bebas dari kepercayaan yang dianggap membelenggu. Aroma humanisme begitu menonjol. Sebab manusia menjadi ukuran segala sesuatu (man is a measure of everything).

Gejala liberalisme di alam pikiran Kristiani abad ke 19 itu sudah nampak jelas kesamaannya dengan liberalisasi pemikiran Islam di dunia Islam saat ini. Pertama: Muslim liberal menggugat al-Qur’an. Kedua: Muslim liberal membela aliran sesat. Ketiga: Muslim liberal mendahulukan akal dan kemanusiaan daripada Tuhan. Keempat: Muslim liberal mendukung paham relativisme. Kelima: Muslim liberal mempromosikan paham skeptisisme.

Ketika kami ceramah pemikiran di Surabaya, seorang audien yang kebetulan muallaf tiba-tiba menyalami kami. Ia lalu meyakinkan kami bahwa liberalisasi pemikiran dalam Islam tidak jauh beda dari pengalamannya dalam Katholik.

Ucapan muallaf tersebut tidak perlu banyak bukti. Cukup dari pernyataan seorang mahasiswa liberal yaitu bahwa ‘Agar Islam maju, maka tirulah Protestan’ Itulah, liberalisme yang nama dan substansinya merupakan hasil adopsi total konsep-konsep Liberal Barat. Jika, dijustifikasi menjadi Islam Liberal maka itu berarti
Islam yang mem-Barat.
Dalam buku Ceryl Bernard berjudul "Civil Democratic Society" terbitan Rand Corporation, umat Islam dibagi menjadi 4 golongan:
1) Muslim Fundamentalis
2) Muslimin Tradisionalis
3) Muslim moderat (liberal)
dan
Muslim Sekuler

Buku ini diterbitkan sebagai masukan bagi Security Council AS; untuk menghadapi terrorisme pasca 9/11. Salah satu saran dalam buku ini CEGAH persatuan Muslim Fundamentalis dengan Muslim Tradisiona dan DUKUNG muslim moderat (baca: liberal). Apakah strategi ini dijalankan dan berjalan? Mari kita lihat.

Akhir akhir ini kita menyaksikan ada orang atau kelompok Islam yang seperti sengaja mencari cari perbedaan dengan orang atau kelompok Muslim lain. Akhirnya, karena tidak bisa menerima pandangan, mazhab, pemikiran orang dan kelompok Muslim yang lain. Maka terjadilah kondisi dimana sesama Muslim saling menyalahkan, saling menyesatkan, mengkafirkan, bahkan saling memusuhi dan mengancam. Padahal masih sama2 dalam kelompok ahlussunnah waljamaah.

Akibatnya, ketika umat Islam menghadapi masalah, mereka itu lebih semangat menyelamatkan diri dan kelompoknya daripada membela Islam dan umat Islam. Bahkan karena bencinya pada kelompok umat Islam yang lain, sudi berlemah lembut dan kerjasama dengan non Muslim, bahkan yang lebih radikal lagi adalah membela non-muslim.

Ini adalah kondisi yang diinginkan oleh Strategi Bernard diatas. Tapi ternyata itu bukan yang diinginkan Rasulullah, sebab sabdanya:
"Barangsiapa yang tidak perduli terhadap urusan umat Islam, maka dia tidak termasuk golongan mereka (umat Islam)." al-Hadith.

Pertolongan Allah datang justru pada saat seorang Muslim menolong saudara seimannya. Jadi, marilah berfikir jernih, cerdas dan strategis.
Wallahul muwafiq ila aqwamittariq, wa billahi at taufiq wal hidayah.

- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Syariah
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Tahun 2007 lalu Abdullahi Ahmad an-Naim bedah buku terjemahannya. Judul bukunya Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariat Islam. Sebagai salah seorang pembedah saya mengemukakan beberapa kritikan. Diantaranya saya mengkiritik konsepnya tentang syariah, Negara, public reason dsb. Menurutnya, syariat Islam tercipta selama tiga abad pertama Hijrah. Syariah hanyalah interpretasi Muslim atas kitab suci mereka. Muslim generasi awal tidak mengenal dan tidak menerapkan syariah (hal.33).

Nampaknya, ia tidak percaya bahwa dalam al-Quran terdapat syariah atau hukum. Kalau syariah diartikan jalan berarti juga inkar bahwa Islam adalah jalan. Jadi syariah itu dibuat oleh manusia. Di akhir diskusi dia menghadiahi saya bukunya itu dan menorehkan tanda tangan serta menulis With profound appreciation. Mungkin dia menerima keritikan saya. Wallahu alam

Teori an-Naim lalu saya kaitkan dengan definisi Cheryl Bernard dari Rand Coorporation, AS. Dalam bukunya Civil Democratic Islam, Cheryl mendefinisikan syariah sebagai the entire body of Islamic law and guidance, based on the Quran, hadith and scholarly judgments, and open to selective use and interpretation. Intinya syariah itu adalah produk hukum. Seorang pembela Islam Liberal menulis dalam sebuah koran tidak ada hukum Tuhan, yang ada hanya hukum manusia. Ketiganya bermaksud sama mengartikan syariah sebagai hasil interpretasi manusia Muslim terhadap kitab sucinya.

Apa yang dimaksud interpretasi ternyata beda dari Tafsir atau Tawil. Interpretasi mementingkan sejarah teks. Al-Quran dibedah sejarahnya, dikait-kaitkan dengan situasi politik, sosial, psikologis, ideologi dsb. Alhasil, al-Quran menjadi bukan wahyu suci, tapi produk budaya Arab. Tafsir pun tidak lagi berkaitan dengan teks, tapi dengan budaya disekitar teks. Maka, sebab khusus ayat itu diturunkan (khusus-u-sabab) lebih penting dari arti eksplisit (perintah) ayat itu (umum-ul-lafz). Karena teori ini para ulama mufassir pun dicurigai sebagai memiliki kepentingan, kalau tidak terjerat kondisi sosial budaya. Lalu timbul rumus Penafsiran ulama itu kondisional dan relatif, yang mutlak hanya Tuhan. Para Kyai di pesantren bingung. Cara berfikir seperti itu tidak ada dalam kitab kuning.

Ternyata itu semua adalah bagian dari sekenario intelektual untuk menumpas Muslim fundamentalis. Buktinya terdapat pada saran Cheryl Bernard Challenge their interpretation of Islam and expose inaccuracies (tantanglah interpretasi mereka [fundamentalis] tentang Islam dan beberkan ketidak-akuratannya). Saran ini ditaati cendekiawan Muslim liberal dengan penuh takzim. Respon para dosen Ilmu Tafsir malah lebih kreatif satu ayat seribu tafsir, kitab-kitab Tafsir klasik tidak relevan lagi, bahkan tidak kontekstual.

Untuk membuktikan seribu tafsir muncullah tafsir baru untuk menjual dagangan feminisme radikal, misalnya. Seorang professor pemikiran Islam menyatakan bahwa lesbianism itu halal. Sekumpulan dosen fakultas syariah menyatakan bahwa homoseksualisme itu tidak dilarang syariat Islam. Tafsir baru menghasilkan syariat (hukum) baru. Hukum baru nikah beda agama, hukum waris, wanita menjadi imam laki-laki, hak wanita menceraikan suami dan sebagainya muncul mengejutkan.

Tafsir-tafsir baru itu nampaknya adalah pengamalan dari dawuh Cheryl Bernard. Menafsirkan berarti to depart from, modify, and selectively ignore elements of the original religious doctrine. (menyimpang dari, memodifikasi, dan secara selektif mengesampingkan elemen-elemen dari doktrin keagamaan yang asli). Itulah liberalisasi syariah. Siapapun bebas menafsirkan hukum apa saja. Siapapun bebas mencipta syariah. Islam adalah liberal.

Bukan hanya itu, liberalisasi plus sekularisasi menolak praktek syariah. Ketika sejumlah daerah sepakat menyusun PERDA bagi pelanggar tindak a-moral seperti mencuri, minuman keras, berzina, berjudi dan berkelahi, semua orang sepakat dan gembira. Tapi ketika orang-orang liberal sekuler mencium bau syariah, sontak mereka protes. Meski tidak berbunyi perda syariah, perda itu dianggap inkonstitusional dan
menyulut disintegrasi bangsa.

Ketika pornografi merajalela di tanah air, semua sepakat itu merusak moral bangsa. Semua pun sepakat untuk diatur dalam Undang-Undang Pornografi (UUP). Namun, begitu terdengar bahwa pornografi itu haram hukumnya, RUUP itu menuai badai protes. Memberlakukan UUP dianggap sebagai Islamisasi, memberangus kebebasan seni dan kreatifitas dan membunuh budaya.

Karena menolak syariah konon perumus RUU Pornografi bingung mencari batasan (hudud). Apa batasan aurat dalam seni, kreatifitas dan budaya? Berapa sentimeter goyang yang diperbolehkan, berapa cm paha boleh dibuka? Ternyata syariah ditolak, nurani pun digasak. To do away with the one is to do away with another, kata Nietzsche.

Padahal ketika, Spice Girl, grup musik Inggeris tahun 90 an pentas di Perancis mereka dilempari telur busuk. Gara-gara berpakaian tak senonoh. Ternyata, orang sekulerpun masih punya nurani. Mengapa negeri Muslim ini tidak. Boleh jadi, goyang ngebor dangdut Indonesia di Perancis sana haram hukumnya.

Muslim negeri nampak begitu kompak-toleran pada kemaksiatan. Ketika yang liberal menegaskan tidak ada hukum Tuhan, yang sekuler akur tidak ada yang haram dinegeri ini. Para artis tambah yakin buka-bukaan boleh asal professional. Artinya anda boleh berbuat dosa asal dibayar tinggi. Anda boleh selingkuh (berzina) asal tidak menyakiti orang lain. Prinsipnya benar-benar mem-Barat. Itulah liberal yang menurut Cheryl are the most Westernized.

Sejatinya, syariah tidak lain dari hukum, undang-undang atau jalan. Undang-undang yang sesuai dengan nurani atau fitrah manusia. Jalan hidup yang membebaskan, mensucikan, menenangkan, membersihkan, manusia dari segala nestapa kehidupan dunia. Yang taat hukum akan melangkah menemukan fitrah diri. Yang melanggar akan rmenentangnya alias menzalimi diri sendiri (zalim li nafsihi), awal dari kezaliman yang lebih besar yaitu ingkar Tuhan. Tapi Muslim yang baik adalah yang menjadikan syariah sebagai jalan. Bukan kewajiban tap keperluan. Saya tidak hanya wajib puasa, misalnya, tapi perlu. Taat dan berserah diri pada aturan itulah ber-islam. Pesan Nabi Berserah dirilah anda akan selamat (aslim taslam), Selamat dari kejahatan diri, manusia dan kehidupan.
Qalbu
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Akhir-akhir ini pendidikan disoroti sebagai terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.
Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia meliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan praktis.

Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: Pertama, Letak iman, ilmu dan amal tersebut dalam jiwa manusia. Kedua, Bagaimana menanamkan itu semua kedalam diri manusia.

Sistem apa yang cocok untuk pengembangan anak dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistem pendidikan yang terpadu, perlu dipikirkan terus menerus dan seksama.
Namun, sebelum berpikir tentang metode atau sistem perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwa manusia yang akan menjadi obyek pendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.

Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis buku berjudul Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr wa al-Qalb wa al-Fuad wa al-Lub. (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar), Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb (akal pikiran).

Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyata berbeda artinya dari istilah qalb, hati atau kalbu. Fuad yang diIndonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang beriman. Ulul Albab adalah orang yang berakal pikiran tauhidi.

Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang dibedah dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang komprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.

Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata didalam mata. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah, cita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu pun masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb.

Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah inti atau pusat dari hati (qalb).

Jika sadr ada didalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “Maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”.
Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahaya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan.

Sebagai raja, qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka didalam qalb itu pun terdapat ilmu.

Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandangan. Ketika seseorang berpikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada di tengah-tengah hati, sedangkan hati di tengah-tengah sadar.

Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya keimanan dan sadr tempat cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya
ketauhidan.

Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berpikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman.

Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nurani (fuad) dan pikirannya (lubb) berjalan seimbang.