Novel:
MERANTAU KE DELI
Penulis Prof Dr Hamka
Sinopsis:
Poniem seorang perempuan Jawa yang ketika di perantauan harus rela hidup sebagai istri simpanan dari Tuan Tanah di Deli dan Leman seorang pemuda asal Minangkabau yang penuh keyakinan dan optimis di tanah perantauan loyal setia dan percaya kepada sanak familinya. Benih cinta tumbuh. Mereka kemudian menikah dan pergi dari kehidupan perkebunan. Memulai hidup baru dan hidup berumah tangga dengan perbedaan budaya. Kehidupan rumah tangga mereka mengalami goncangan hebat ketika muncul dorongan keluarga besar Leman di kampung agar Leman beristrikan perempuan Minangkabau. Dengan Mariatun gadis asli Minangkabau Leman kemudian menikah lagi. Selain itu kehadiran Suyono laki-laki asal Jawa juga memainkan peran penting dalam kehidupan Leman dan Poniem. Kehidupan rumah tangga mereka tidak lagi sama. Gelombang yang mengguncang rumah tangga mereka semakin besar. Bagaimanakah Leman mempertahankan biduk rumah tangga dengan kedua istrinya dan juga kehadiran Suyono dalam rumah mereka? Berhasilkah Leman?
--------------------
Novel:
MERANTAU KE DELI
Penulis Prof Dr Hamka
Harga Rp. 59.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878146997.
Syukran...👇
MERANTAU KE DELI
Penulis Prof Dr Hamka
Sinopsis:
Poniem seorang perempuan Jawa yang ketika di perantauan harus rela hidup sebagai istri simpanan dari Tuan Tanah di Deli dan Leman seorang pemuda asal Minangkabau yang penuh keyakinan dan optimis di tanah perantauan loyal setia dan percaya kepada sanak familinya. Benih cinta tumbuh. Mereka kemudian menikah dan pergi dari kehidupan perkebunan. Memulai hidup baru dan hidup berumah tangga dengan perbedaan budaya. Kehidupan rumah tangga mereka mengalami goncangan hebat ketika muncul dorongan keluarga besar Leman di kampung agar Leman beristrikan perempuan Minangkabau. Dengan Mariatun gadis asli Minangkabau Leman kemudian menikah lagi. Selain itu kehadiran Suyono laki-laki asal Jawa juga memainkan peran penting dalam kehidupan Leman dan Poniem. Kehidupan rumah tangga mereka tidak lagi sama. Gelombang yang mengguncang rumah tangga mereka semakin besar. Bagaimanakah Leman mempertahankan biduk rumah tangga dengan kedua istrinya dan juga kehadiran Suyono dalam rumah mereka? Berhasilkah Leman?
--------------------
Novel:
MERANTAU KE DELI
Penulis Prof Dr Hamka
Harga Rp. 59.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878146997.
Syukran...👇
NURANI HOMO
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi - Direktur INSISTS
Asal muasal praktek homo (hubungan sejenis) di zaman ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan feminism dan kesetaraan gender di Barat. Kelompok yang paling keras memperjuangkan hal ini adalah feminis radikal libertarian dan radikal.
Dalam bukunya The Myth of ….Orgasm Ann Koedt banyak bicara kepuasan seks ini seperti memberi berargumentasi begini: "jika laki-laki berhak memperoleh kepuasan seksualnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan wanita, maka wanita pun berhak memperoleh kepuasan seksualnya tanpa laki-laki". Maka tak pelak lagi sejak 1970 Lesbianisme benar-benar muncul sebagai gerakan perempuan.
Jika kondisi para wanita di Barat demikian, maka tidak aneh jika kemudian laki-laki merespon. Kira-kira para lelaki disana akan sesumbar: "jika para wanita telah dapat memperoleh kepuasan seks mereka sendiri, maka kami pun dapat mendapatkan kepuasan seks kami sendiri". Itu semua merupakan embrio dari praktek dan prilaku homo alias hubungan sejenis alias lesbi dan gay.
Tapi argumen feminis tentang praktek homoseks ini membingungkan dan tidak normal. Para feminis sepakat bahwa ge rak an mereka berdasarkan keyakinan bah wa gender ditentukan oleh konstruk social. Artinya seseorang itu menjadi laki-laki atau perempuan karena masyarakat meng ingin kan demikian. Mengapa laki-laki macho dan masculine sedang perempuan itu feminin adalah karena masyarakat. Itu lah diantara alasannya mengapa gerakan femenisme dan kesetaraan gender men coba merubah masyarakat agar memperlakukan laki-laki dan perempuan setara.
Anehnya, ketika kini mereka membela kaum lesbi, gay, biseksual dan transgender, keyakinan mereka itu berubah. Sese orang menjadi homo itu adalah bawaan sejak lahir dan tidak dapat diubah. Misi yang mereka perjuangkan pun berganti ya itu agar pelaku homo, biseksual dan transgender ini diterima oleh masyarakat. Mengapa harus minta diterima masyara kat jika mereka lahir karena konstruk social.
Di kalangan psikolog di Amerika peru bahan yang terjadi lebih aneh lagi. Jika sebelum ini mereka sepakat bahwa peri kalu homoseks dan lesbi itu dianggap ab normal, maka kini mereka sepakat bahwa perilaku itu diangap normal belaka. Tidak puas dianggap normal kini berkembang menjadi tuntutan agar mereka dibolehkan menikah dengan sesama jenis.
Islam mengajarkan bahwa jenis kela min laki-laki dan perempuan itu dicipta kan demi kelestarian jenis manusia de ngan segala martabat kemanusiaannya (QS. an- Nisa [4]: 1). Perilaku seks yang menyimpang seperti homoseksual, lesbia nisme dan seks diluar pernikahan justru akan memusnahkan jenis makhluq manusia.
Maka jika orang al-Qur'an difahami dengan akal yang cerdas maka LGBT ti dak hanya menjijikkan, tapi bertentang an dengan naluri manusia normal. Me nikah seperti diatur dalam pasal 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 adalah "… .ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Jika ada yang masih berdalih "tidak ada larangan khusus dalam al-Qur'an", maka kita perlu faham mengapa Islam mengajarkan agar laki-laki diperlakukan seperti laki-laki dan perempuan seperti perempu an. Nabi saw. melaknat laki-laki yang me nyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki (HR. al-Bukhari). Na bi saw. juga memerintahkan kaum muslim agar me ngeluarkan kaum waria dari rumah-rumah mereka. Dalam riwa yat Abu Daud di ceritakan bahwa Beliau saw. pernah me merintahkan para saha bat mengusir se orang waria dan mengasingkannya ke Baqi'.
Dalam kasus kaum Nabi Luth Allah telah memperingatkan "Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk memuas kan nafsu syahwat kamu Dengan meninggalkan perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum Yang melampaui batas". (Su rah Al-'Araf : 80 81). Adapun mengenai hukumnya Nabi pun bersabda : Ba rangsiapa yang mendapatinya mela kukan amalan kaum Luth, maka bunuhlah pembuat dan yang kena buat"(Al-Mustad rak ' Ala Sahihain : 4/395 : hadis no : 8049). Sedangkan mereka yang melakukan amalan
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi - Direktur INSISTS
Asal muasal praktek homo (hubungan sejenis) di zaman ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan feminism dan kesetaraan gender di Barat. Kelompok yang paling keras memperjuangkan hal ini adalah feminis radikal libertarian dan radikal.
Dalam bukunya The Myth of ….Orgasm Ann Koedt banyak bicara kepuasan seks ini seperti memberi berargumentasi begini: "jika laki-laki berhak memperoleh kepuasan seksualnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan wanita, maka wanita pun berhak memperoleh kepuasan seksualnya tanpa laki-laki". Maka tak pelak lagi sejak 1970 Lesbianisme benar-benar muncul sebagai gerakan perempuan.
Jika kondisi para wanita di Barat demikian, maka tidak aneh jika kemudian laki-laki merespon. Kira-kira para lelaki disana akan sesumbar: "jika para wanita telah dapat memperoleh kepuasan seks mereka sendiri, maka kami pun dapat mendapatkan kepuasan seks kami sendiri". Itu semua merupakan embrio dari praktek dan prilaku homo alias hubungan sejenis alias lesbi dan gay.
Tapi argumen feminis tentang praktek homoseks ini membingungkan dan tidak normal. Para feminis sepakat bahwa ge rak an mereka berdasarkan keyakinan bah wa gender ditentukan oleh konstruk social. Artinya seseorang itu menjadi laki-laki atau perempuan karena masyarakat meng ingin kan demikian. Mengapa laki-laki macho dan masculine sedang perempuan itu feminin adalah karena masyarakat. Itu lah diantara alasannya mengapa gerakan femenisme dan kesetaraan gender men coba merubah masyarakat agar memperlakukan laki-laki dan perempuan setara.
Anehnya, ketika kini mereka membela kaum lesbi, gay, biseksual dan transgender, keyakinan mereka itu berubah. Sese orang menjadi homo itu adalah bawaan sejak lahir dan tidak dapat diubah. Misi yang mereka perjuangkan pun berganti ya itu agar pelaku homo, biseksual dan transgender ini diterima oleh masyarakat. Mengapa harus minta diterima masyara kat jika mereka lahir karena konstruk social.
Di kalangan psikolog di Amerika peru bahan yang terjadi lebih aneh lagi. Jika sebelum ini mereka sepakat bahwa peri kalu homoseks dan lesbi itu dianggap ab normal, maka kini mereka sepakat bahwa perilaku itu diangap normal belaka. Tidak puas dianggap normal kini berkembang menjadi tuntutan agar mereka dibolehkan menikah dengan sesama jenis.
Islam mengajarkan bahwa jenis kela min laki-laki dan perempuan itu dicipta kan demi kelestarian jenis manusia de ngan segala martabat kemanusiaannya (QS. an- Nisa [4]: 1). Perilaku seks yang menyimpang seperti homoseksual, lesbia nisme dan seks diluar pernikahan justru akan memusnahkan jenis makhluq manusia.
Maka jika orang al-Qur'an difahami dengan akal yang cerdas maka LGBT ti dak hanya menjijikkan, tapi bertentang an dengan naluri manusia normal. Me nikah seperti diatur dalam pasal 1 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 adalah "… .ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Jika ada yang masih berdalih "tidak ada larangan khusus dalam al-Qur'an", maka kita perlu faham mengapa Islam mengajarkan agar laki-laki diperlakukan seperti laki-laki dan perempuan seperti perempu an. Nabi saw. melaknat laki-laki yang me nyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki (HR. al-Bukhari). Na bi saw. juga memerintahkan kaum muslim agar me ngeluarkan kaum waria dari rumah-rumah mereka. Dalam riwa yat Abu Daud di ceritakan bahwa Beliau saw. pernah me merintahkan para saha bat mengusir se orang waria dan mengasingkannya ke Baqi'.
Dalam kasus kaum Nabi Luth Allah telah memperingatkan "Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk memuas kan nafsu syahwat kamu Dengan meninggalkan perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum Yang melampaui batas". (Su rah Al-'Araf : 80 81). Adapun mengenai hukumnya Nabi pun bersabda : Ba rangsiapa yang mendapatinya mela kukan amalan kaum Luth, maka bunuhlah pembuat dan yang kena buat"(Al-Mustad rak ' Ala Sahihain : 4/395 : hadis no : 8049). Sedangkan mereka yang melakukan amalan
musahaqah (lesbian), hukuman yang dikenakan kepada pelakunya adalah dengan dijatuhkan hukuman takzir. (Qanun Jinayah Syar'iyyah : m/s 38)
Berkaitan dengan perilaku homo ini Nabi bersabda "Apabila seorang lelaki men datangi lelaki lain (liwat), maka ke duaduanya adalah berzina"(Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra : 8/233 : hadis No : 16810). Selain dianggap berzina para pe laku homoseks ini dimurkai Allah. Nabi SAW bersabda "Empat golongan berada dalam kemur kaan Allah di pagi dan pe tang, iaitu lelaki yang menyerupai perempuan, pe rempuan yang menyerupai lelaki, me re ka yang melakukan setubuh dengan bina tang dan mereka yang melakukan setubuh sesama lelaki (homoseksual)"(Kanz Al-'Ummal : 12/31 : Hadith no : 43982.).
Jadi, lesbi dan homoseks sama dengan zina dan lebih keji. Jika alasannya karena sejak lahir telah ditakdirkan men jadi lesbi dan homoseks, mengapa Allah menganggap ini pelanggaran syariatnya? Jika Allah ridho dengan para pelaku homo dan lesbi, mestinya Allah menurunkan ke hidupan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Tapi mengapa pula jika cemburu mereka saling membunuh? Me ngapa pula Allah malah mengazab me reka dengan HIV dan penyakit rumit lain nya. Mengapa? Disini nurani homo disoal dan dipersoalkan!!.
----------
Tulisan ini dimuat di Jurnal Islamia-Republika 18 Februari 2016 dan Republika Online 19 Februari 2016.
Berkaitan dengan perilaku homo ini Nabi bersabda "Apabila seorang lelaki men datangi lelaki lain (liwat), maka ke duaduanya adalah berzina"(Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra : 8/233 : hadis No : 16810). Selain dianggap berzina para pe laku homoseks ini dimurkai Allah. Nabi SAW bersabda "Empat golongan berada dalam kemur kaan Allah di pagi dan pe tang, iaitu lelaki yang menyerupai perempuan, pe rempuan yang menyerupai lelaki, me re ka yang melakukan setubuh dengan bina tang dan mereka yang melakukan setubuh sesama lelaki (homoseksual)"(Kanz Al-'Ummal : 12/31 : Hadith no : 43982.).
Jadi, lesbi dan homoseks sama dengan zina dan lebih keji. Jika alasannya karena sejak lahir telah ditakdirkan men jadi lesbi dan homoseks, mengapa Allah menganggap ini pelanggaran syariatnya? Jika Allah ridho dengan para pelaku homo dan lesbi, mestinya Allah menurunkan ke hidupan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Tapi mengapa pula jika cemburu mereka saling membunuh? Me ngapa pula Allah malah mengazab me reka dengan HIV dan penyakit rumit lain nya. Mengapa? Disini nurani homo disoal dan dipersoalkan!!.
----------
Tulisan ini dimuat di Jurnal Islamia-Republika 18 Februari 2016 dan Republika Online 19 Februari 2016.
HOMOSEKSUAL DAN UMAT ISLAM
Oleh: Adian Husaini
Masalah homoseksual dan lesbian di Indonesia kini memasuki babak-babak yang semakin menentukan. Sebagai sebuah negeri Muslim terbesar, Indonesia menjadi ajang pertaruhan penting perguliran kasus ini. Anehnya, hampir tidak ada organisasi yang serius menanggapi masalah ini. Padahal, ibarat penyakit, masalahnya sudah semakin kronis, karena belum mendapatkan terapi serius.
Ahad (26/6), Front Pembela Islam (FPI) memprotes penyelenggaraan Miss Waria Indonesia, di Gedung Sarinah. Namun, protes FPI tidak digubris. Kontes itu tetap jalan. Ini merupakan kontes yang kedua. Pemenang kontes Miss Waria tahun lalu, Meggie Megawatie (bernama asli Totok Sugiarto), berhasil masuk dalam jajaran 10 besar dalam kontes waria se-dunia di Thailand. Menurut Laporan Jawa Pos (25/6/2005), kali ini, Gubernur Sutiyoso menyumbang Rp 100 juta untuk penyelenggaraan kontes waria.
Persoalan homoseks bukanlah persoalan ‘kodrat’ manusia. Tapi, menyangkut masalah orientasi dan praktik seksual sesama jenis. Kodrat bahwa seorang berpotensi sebagai ‘homo’ atau ‘lesbi’ adalah anugerah dan ujian Tuhan. Tetapi, penyaluran seksual sesama jenis merupakan dosa yang dikecam keras dalam ajaran agama. Belum lama ini (8/6/2005), Paus Benediktus XVI menegaskan, bahwa Gereja Katolik melarang pernikahan sesama jenis dan menentang aborsi. Sikap ini disampaikan menjelang referendum di Italia soal reproduksi dan inseminasi buatan. Meskipun banyak pastor yang terjerat skandal hoseksual, Paus tetap bersikap tegas terhadap masalah homoseksual.
Pada 18 Juni lalu, lebih dari 500.000 umat Katolik berkampanye didukung sekitar 20 uskup senior untuk menentang hukum baru di Spanyol yang mengesahkan perkawinan sesama jenis. Meskipun mayoritas Katolik, Spanyol kini merupakan negara kedua yang melegalkan pasangan homoseksual – setelah Belanda dan Belgia. Mayoritas kaum Katolik di Spanyol tampaknya tidak menggubris larangan Paus. Kaum Kristen di Barat pada umumnya, memang sudah lama menghadapi dilema dan masalah berat dalam soal homoseksual. Prinsip sekular-liberal yang diimani sebagai pedoman dan pandangan hidup mereka, telah merelatifkan dan meliberalkan nilai-nilai moral. Maka, praktik homoseksual yang dikutuk oleh Bible dan para tokoh Gereja sejak dulu, kini semakin merajalela.
Di kalangan Yahudi, praktik homoseksual juga semakin menggejala dan menggurita. Tahun lalu, di Israel, dalam satu acara perkumpulan yang digalang oleh kelompok homoseksual/lesbian (Agudah), tokoh Partai Likud pun ikut mendukung agenda kaum homoseks itu. Bat-Sheva Shtauchler, tokoh Likud, menyatakan: "We will support everything. Who said the Likud doesn't cooperate with the community?" Biasanya, Likud termasuk yang menentang keras praktik homoseksual, karena dalam Bible memang disebutkan, pelaku homoseksual harus dihukum mati.
Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:13, disebutkan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Dalam Islam, hingga kini, praktik homoseksual tetap dipandang sebagai tindakan bejat. Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.
Untuk pelaku praktik lesbi (wanita dengan wanita), diberikan ganjaran hukuman kurungan dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya. (QS 4:15). Para fuqaha membedakan hukuman antara pelaku homoseksual (sesama laki-laki) dengan lesbian (sesama wanita). Pelaku lesbi tidak dihukum mati. Dalam Kitab Fathul Mu’in – kitab fiqih yang dikaji di pesantren-pesantren Indonesia -- dikatakan, bahw
Oleh: Adian Husaini
Masalah homoseksual dan lesbian di Indonesia kini memasuki babak-babak yang semakin menentukan. Sebagai sebuah negeri Muslim terbesar, Indonesia menjadi ajang pertaruhan penting perguliran kasus ini. Anehnya, hampir tidak ada organisasi yang serius menanggapi masalah ini. Padahal, ibarat penyakit, masalahnya sudah semakin kronis, karena belum mendapatkan terapi serius.
Ahad (26/6), Front Pembela Islam (FPI) memprotes penyelenggaraan Miss Waria Indonesia, di Gedung Sarinah. Namun, protes FPI tidak digubris. Kontes itu tetap jalan. Ini merupakan kontes yang kedua. Pemenang kontes Miss Waria tahun lalu, Meggie Megawatie (bernama asli Totok Sugiarto), berhasil masuk dalam jajaran 10 besar dalam kontes waria se-dunia di Thailand. Menurut Laporan Jawa Pos (25/6/2005), kali ini, Gubernur Sutiyoso menyumbang Rp 100 juta untuk penyelenggaraan kontes waria.
Persoalan homoseks bukanlah persoalan ‘kodrat’ manusia. Tapi, menyangkut masalah orientasi dan praktik seksual sesama jenis. Kodrat bahwa seorang berpotensi sebagai ‘homo’ atau ‘lesbi’ adalah anugerah dan ujian Tuhan. Tetapi, penyaluran seksual sesama jenis merupakan dosa yang dikecam keras dalam ajaran agama. Belum lama ini (8/6/2005), Paus Benediktus XVI menegaskan, bahwa Gereja Katolik melarang pernikahan sesama jenis dan menentang aborsi. Sikap ini disampaikan menjelang referendum di Italia soal reproduksi dan inseminasi buatan. Meskipun banyak pastor yang terjerat skandal hoseksual, Paus tetap bersikap tegas terhadap masalah homoseksual.
Pada 18 Juni lalu, lebih dari 500.000 umat Katolik berkampanye didukung sekitar 20 uskup senior untuk menentang hukum baru di Spanyol yang mengesahkan perkawinan sesama jenis. Meskipun mayoritas Katolik, Spanyol kini merupakan negara kedua yang melegalkan pasangan homoseksual – setelah Belanda dan Belgia. Mayoritas kaum Katolik di Spanyol tampaknya tidak menggubris larangan Paus. Kaum Kristen di Barat pada umumnya, memang sudah lama menghadapi dilema dan masalah berat dalam soal homoseksual. Prinsip sekular-liberal yang diimani sebagai pedoman dan pandangan hidup mereka, telah merelatifkan dan meliberalkan nilai-nilai moral. Maka, praktik homoseksual yang dikutuk oleh Bible dan para tokoh Gereja sejak dulu, kini semakin merajalela.
Di kalangan Yahudi, praktik homoseksual juga semakin menggejala dan menggurita. Tahun lalu, di Israel, dalam satu acara perkumpulan yang digalang oleh kelompok homoseksual/lesbian (Agudah), tokoh Partai Likud pun ikut mendukung agenda kaum homoseks itu. Bat-Sheva Shtauchler, tokoh Likud, menyatakan: "We will support everything. Who said the Likud doesn't cooperate with the community?" Biasanya, Likud termasuk yang menentang keras praktik homoseksual, karena dalam Bible memang disebutkan, pelaku homoseksual harus dihukum mati.
Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:13, disebutkan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Dalam Islam, hingga kini, praktik homoseksual tetap dipandang sebagai tindakan bejat. Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.
Untuk pelaku praktik lesbi (wanita dengan wanita), diberikan ganjaran hukuman kurungan dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya. (QS 4:15). Para fuqaha membedakan hukuman antara pelaku homoseksual (sesama laki-laki) dengan lesbian (sesama wanita). Pelaku lesbi tidak dihukum mati. Dalam Kitab Fathul Mu’in – kitab fiqih yang dikaji di pesantren-pesantren Indonesia -- dikatakan, bahw
a pelaku lesbi (musaahaqah) diberi sanksi sesuai dengan keputusan penguasa (ta’zir). Bisa jadi, penguasa atau hakim membedakan jenis hukuman antara pelaku lesbi yang ‘terpaksa’ dengan yang profesional. Apalagi, untuk para promotor lesbi. Apapun, hingga kini, praktik homoseksual dan lesbian tetap dipandang sebagai praktik kejahatan kriminal, dan tidak patut dipromosikan apalagi dilegalkan.
Ajaib
Menyimak posisi ajaran Islam dan Kristen yang tegas terhadap masalah homoseksual, harusnya berbagai pihak tidak memberi kesempatan untuk mempromosikanya. Karena itu, adalah ajaib, jika saat ini, begitu banyak media massa yang membuat opini seolah-olah homoseksual adalah suatu ‘tindakan mulia’ (amal salih) yang perlu diterima oleh masyarakat. Promosi dan kampanye besar-besaran legalisasi homoseksual ini berusaha menggiring opini masyarakat untuk menerima praktik homoseksual.
Pada Hari Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, dalam acara Good Morning, Trans TV melakukan kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis. Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbi bernama Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama pasangannya – yang juga seorang wanita. Agustin, yang mengaku menyukai sesama wanita sejak umur 12 tahun, ditampilkan sebagai sosok yang “tertindas”, diusir oleh keluarganya, pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, gara-gara dirinya seorang lesbi. Kini ia bekerja di LSM Koalisi Perempuan Indonesia.
Ketika ditanya, mengapa dia berani membuka dirinya, sebagai seorang lesbi, Agustin menyatakan, bahwa dia sudah capek berbohong. Dia ingin jujur dan mengimbau masyarakat bisa memahami dan menerimanya. Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah sesuatu yang baik. Seorang psikolog yang juga seorang wanita (tidak dijelaskan apakah dia lesbi atau tidak) juga menjelaskan bahwa homoseksual dan lesbian bukan praktik yang abnormal, tetapi merupakan orientasi dan praktik seksual yang normal.
Acara Trans TV itu tentu saja perlu diberi perhatian serius oleh kaum Muslimin. Sebab, ini merupakan kampanye dan promosi perkawinan sesama jenis yang bersifat massal dan terbuka. Selama ini, banyak TV yang menayangkan acara – baik sinetron, komedi, film – yang secara terselubung berisi kampanye dukungan buat kaum homo. Hanya saja, biasanya tidak sampai kepada bentuk dukungan terhadap perkawinan sesama jenis.
Kasus leluasanya kampanye besar-besaran legalisasi homoseksual dan dukungan (pendiaman) terhadap kontes Miss Waria bisa dilihat sebagai satu gejala ‘mulai lumpuhnya’ peran ‘nahi-munkar’ organisasi dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Mungkin banyak tokoh sedang sibuk ngurus ‘yang lain’, atau sedang mengalami “kegagapan” menghadapi arus globalisasi dan hegemoni media televisi yang saat ini menjadi “penguasa moral” dan penentu nilai-nilai moral baru di tengah masyarakat. Salah satu dampak globalisasi adalah lahirnya sikap “ketidakberdayaan” (powerless) yang gagap dan gamang dalam menyikapi kedigdayaan media informasi seperti TV. Penjungkirbalikan nilai-nilai ‘haq’ dan ‘bathil’ merupakan masalah paling serius yang dihadapi kaum Muslim saat ini. Harusnya, organisasi Islam besar – NU, Muhammadiyah, MUI, Al-Irsyad, DDII, PKS, PPP, dan sebagainya – memahami, bahwa masalah pencegahan kemunkaran dalam bentuk perzinahan atau homoseksual adalah persoalan besar dan serius, yang tidak kalah seriusnya dibandingkan masalah korupsi uang. Para tokoh organisasi itu pasti paham, beratnya sanksi perzinahan dalam Islam. Urusan menghentikan kemunkaran bukanlah hanya tugas FPI atau KISDI semata. Kita berharap, kemenangan partai Islam di wilayah terentu berbanding lurus dengan pengurangan tindakan kemunkaran di wilayah itu. Jangan sampai politiknya menang, tapi kemunkaran malah berkembang, yang mendekatkan masyarakat pada turunnya azab Allah SWT.
Mengikuti jejak kalangan Kristen, di kalangan Islam, bahkan di lingkungan pendidikan tinggi Islam, juga sudah muncul suara yang mendukung perkawinan sejenis. Tahun 2004, “Jurnal Justisia” terbitan Fakultas Syariah IAIN W
Ajaib
Menyimak posisi ajaran Islam dan Kristen yang tegas terhadap masalah homoseksual, harusnya berbagai pihak tidak memberi kesempatan untuk mempromosikanya. Karena itu, adalah ajaib, jika saat ini, begitu banyak media massa yang membuat opini seolah-olah homoseksual adalah suatu ‘tindakan mulia’ (amal salih) yang perlu diterima oleh masyarakat. Promosi dan kampanye besar-besaran legalisasi homoseksual ini berusaha menggiring opini masyarakat untuk menerima praktik homoseksual.
Pada Hari Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, dalam acara Good Morning, Trans TV melakukan kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis. Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbi bernama Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama pasangannya – yang juga seorang wanita. Agustin, yang mengaku menyukai sesama wanita sejak umur 12 tahun, ditampilkan sebagai sosok yang “tertindas”, diusir oleh keluarganya, pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, gara-gara dirinya seorang lesbi. Kini ia bekerja di LSM Koalisi Perempuan Indonesia.
Ketika ditanya, mengapa dia berani membuka dirinya, sebagai seorang lesbi, Agustin menyatakan, bahwa dia sudah capek berbohong. Dia ingin jujur dan mengimbau masyarakat bisa memahami dan menerimanya. Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah sesuatu yang baik. Seorang psikolog yang juga seorang wanita (tidak dijelaskan apakah dia lesbi atau tidak) juga menjelaskan bahwa homoseksual dan lesbian bukan praktik yang abnormal, tetapi merupakan orientasi dan praktik seksual yang normal.
Acara Trans TV itu tentu saja perlu diberi perhatian serius oleh kaum Muslimin. Sebab, ini merupakan kampanye dan promosi perkawinan sesama jenis yang bersifat massal dan terbuka. Selama ini, banyak TV yang menayangkan acara – baik sinetron, komedi, film – yang secara terselubung berisi kampanye dukungan buat kaum homo. Hanya saja, biasanya tidak sampai kepada bentuk dukungan terhadap perkawinan sesama jenis.
Kasus leluasanya kampanye besar-besaran legalisasi homoseksual dan dukungan (pendiaman) terhadap kontes Miss Waria bisa dilihat sebagai satu gejala ‘mulai lumpuhnya’ peran ‘nahi-munkar’ organisasi dan tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Mungkin banyak tokoh sedang sibuk ngurus ‘yang lain’, atau sedang mengalami “kegagapan” menghadapi arus globalisasi dan hegemoni media televisi yang saat ini menjadi “penguasa moral” dan penentu nilai-nilai moral baru di tengah masyarakat. Salah satu dampak globalisasi adalah lahirnya sikap “ketidakberdayaan” (powerless) yang gagap dan gamang dalam menyikapi kedigdayaan media informasi seperti TV. Penjungkirbalikan nilai-nilai ‘haq’ dan ‘bathil’ merupakan masalah paling serius yang dihadapi kaum Muslim saat ini. Harusnya, organisasi Islam besar – NU, Muhammadiyah, MUI, Al-Irsyad, DDII, PKS, PPP, dan sebagainya – memahami, bahwa masalah pencegahan kemunkaran dalam bentuk perzinahan atau homoseksual adalah persoalan besar dan serius, yang tidak kalah seriusnya dibandingkan masalah korupsi uang. Para tokoh organisasi itu pasti paham, beratnya sanksi perzinahan dalam Islam. Urusan menghentikan kemunkaran bukanlah hanya tugas FPI atau KISDI semata. Kita berharap, kemenangan partai Islam di wilayah terentu berbanding lurus dengan pengurangan tindakan kemunkaran di wilayah itu. Jangan sampai politiknya menang, tapi kemunkaran malah berkembang, yang mendekatkan masyarakat pada turunnya azab Allah SWT.
Mengikuti jejak kalangan Kristen, di kalangan Islam, bahkan di lingkungan pendidikan tinggi Islam, juga sudah muncul suara yang mendukung perkawinan sejenis. Tahun 2004, “Jurnal Justisia” terbitan Fakultas Syariah IAIN W
alisongo Semarang, menulis “cover story” dengan judul “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dikatakan di Jurnal ini, bahwa “Hanya orang primitif saja yang yang melihat perkwinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya.”
Kini, dalam soal homoseksual, manusia seperti memutar jarum sejarah: menganggap enteng, memberikan legitimasi, dan ujungnya adalah azab Allah. Dan Rasulullah saw mengingatkan: “Tidaklah (sebagian) dari suatu kaum yang berbuat maksiat, dan di kalangan mereka ada orang yang mampu mencegahnya atas mereka, lalu dia tidak berbuat, melainkan hampir-hampir Allah meratakan dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah). (Depok, 28 Juni 2005)
Kini, dalam soal homoseksual, manusia seperti memutar jarum sejarah: menganggap enteng, memberikan legitimasi, dan ujungnya adalah azab Allah. Dan Rasulullah saw mengingatkan: “Tidaklah (sebagian) dari suatu kaum yang berbuat maksiat, dan di kalangan mereka ada orang yang mampu mencegahnya atas mereka, lalu dia tidak berbuat, melainkan hampir-hampir Allah meratakan dengan azab dari sisi-Nya.” (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah). (Depok, 28 Juni 2005)
PROMO RAMADHAN!
TAFSIR AL AZHAR
Karya Fenomenal Prof. Dr. Hamka.
DISKON Rp. 500.000,-
UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 1.975.000,- dari harga normal Rp. 2.475.000,-
Dan
GRATIS ONGKOS KIRIM PULAU JAWA
Sinopsis:
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliu di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab. Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
Tafsir Al-Azhar
Penulis: Buya Hamka
1 set (berisi 9 jilid).
DISKON Rp. 500.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 1.975.000,- dari harga normal Rp. 2.475.000,-
Dan
GRATIS ONGKOS KIRIM PULAU JAWA
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp 087878147997.
-Admin-
TAFSIR AL AZHAR
Karya Fenomenal Prof. Dr. Hamka.
DISKON Rp. 500.000,-
UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 1.975.000,- dari harga normal Rp. 2.475.000,-
Dan
GRATIS ONGKOS KIRIM PULAU JAWA
Sinopsis:
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliu di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab. Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
Tafsir Al-Azhar
Penulis: Buya Hamka
1 set (berisi 9 jilid).
DISKON Rp. 500.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 1.975.000,- dari harga normal Rp. 2.475.000,-
Dan
GRATIS ONGKOS KIRIM PULAU JAWA
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp 087878147997.
-Admin-
Toleransi Tanpa Pluralisme
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika sekarang ini ada kepala negara Islam mengirim surat meminta Tony Blair agar masuk Islam tentu dianggap pelecehan dan intoleransi. Bukan hanya karena mustahil Blair sudi, tapi doktrin postmodern dan teologi global “mengharamkan” hal tersebut. Doktrin pluralisme agama melarang menganggap agama orang lain salah, dan agama sendiri paling benar, karena itu dianggap benih terorisme dan fundamentalisme.
Pluralitas agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin peradaban Barat postmodern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan dan bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme Nietzche, tokoh filosof Barat postmo.
Filsafat kemudian menjalar ke tengah-tengah diskursus teologi Kristen. Ketika doktrin extra ecclesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) tidak dapat dipertahankan lagi, maka para teolog Kristen membuat kreasi teologis yang disebut teologi inklusif. Artinya semua agama selamat dalam pelukan Kristen.
Namun gereja masih dianggap belum “maju” jika belum sesuai dengan doktrin relativisme Nietzche. Orang-orang seperti Wilfred Cantwell Smith, John Hicklah dan para pemikir Kristen pakar teori Comparative Religion kemudian meneruskannya menjadi upaya peleburan perbedaan yang disebut doktrin inklusifisme. (Agama) yang satu – dalam konteks pluralisme agama – mengakui (kebenaran agama) yang lain.
Ide inilah yang kemudian berubah menjadi pluralisme. Truth claim (mengklaim kebenaran agamanya sendiri) diharamkan. Pokoknya semua harus mengakui (kebenaran) semua. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Sebab kebenaran itu adalah relatif, yang absolut hanya Tuhan.
Disini hak asasi untuk beragama dan berkeyakinan seakan-akan dibela dan dijunjung tinggi. Sikap-sikap seperti itu disebut sikap pluralis. Tapi benarkah Islam sejalan dengan doktrin pluralisme seperti itu?
Jika cara berpikir seperti itu diterapkan kedalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, tentu Islam bertentangan dengan makna pluralisme seperti itu. Surat-surat Nabi mengajak raja Romawi, Persia, Ethiopia dan lain-lain untuk masuk Islam bertentangan dengan doktrin pluralisme.
Jika doktrin pluralisme agama harus mengakui kebenaran agama lain, Islam hanya mengakui Islam yang paling benar disisi Allah (Sesungguhnya al-Din (yang diterima) disisi Allah adalah Islam). Jadi Islam adalah agama yang eksklusif dan tidak pluralis.
Biasanya cendekiawan Muslim pembela doktrin pluralisme agama menggunakan al-Ma'idah: 69 dan al-Baqarah: 62 untuk menjustifikasi doktrin tersebut. Dalam al-Ma'idah: 69 berbunyi “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang [diantara mereka] yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”. (Bandingkan dengan al-Baqarah: 62).
Ayat di atas dipahami sebagai membenarkan agama-agama Yahudi, Kristen dan Sabiin. Bahkan mereka memasukkan agama-agama lain yang serupa dengan Sabiin, seperti Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya dalam kategori ini. Alasannya karena Sabiin adalah agama penyembah bintang-bintang alias agama musyrik.
Jika dilihat dari sibaq dan siyaq ayat tersebut maka penafsiran itu menjadi tidak tepat. Sebelumnya (pada al-Ma’idah: 65) disebutkan bahwa “Jika orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami masukkan surga”.
Kata “jika” (law anna) adalah pra-kondisi yang berarti bahwa ahlul kitab itu tidak beriman kepada Allah SWT. Selanjutnya (pada ayat 67) disebutkan bahwa ahlul kitab itu tidak berarti apa-apa jika tidak menjalankan apa yang ada dalam Kitab Taurat dan Injil.
Sudah tentu ini bukan Taurat dan Injil (Bible) yang ada sekarang. Sebab kitab-kitab itu dalam pandangan Islam tidak asli lagi. Jika yang dimaksud adalah Bible maka implikasinya bahwa Trinitas dalam Bible itu diterima al-Qur’an. Padahal pada ayat ke 71 dan 73 disebutkan bahwa ahlul kitab yang percaya
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika sekarang ini ada kepala negara Islam mengirim surat meminta Tony Blair agar masuk Islam tentu dianggap pelecehan dan intoleransi. Bukan hanya karena mustahil Blair sudi, tapi doktrin postmodern dan teologi global “mengharamkan” hal tersebut. Doktrin pluralisme agama melarang menganggap agama orang lain salah, dan agama sendiri paling benar, karena itu dianggap benih terorisme dan fundamentalisme.
Pluralitas agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin peradaban Barat postmodern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan dan bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme Nietzche, tokoh filosof Barat postmo.
Filsafat kemudian menjalar ke tengah-tengah diskursus teologi Kristen. Ketika doktrin extra ecclesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) tidak dapat dipertahankan lagi, maka para teolog Kristen membuat kreasi teologis yang disebut teologi inklusif. Artinya semua agama selamat dalam pelukan Kristen.
Namun gereja masih dianggap belum “maju” jika belum sesuai dengan doktrin relativisme Nietzche. Orang-orang seperti Wilfred Cantwell Smith, John Hicklah dan para pemikir Kristen pakar teori Comparative Religion kemudian meneruskannya menjadi upaya peleburan perbedaan yang disebut doktrin inklusifisme. (Agama) yang satu – dalam konteks pluralisme agama – mengakui (kebenaran agama) yang lain.
Ide inilah yang kemudian berubah menjadi pluralisme. Truth claim (mengklaim kebenaran agamanya sendiri) diharamkan. Pokoknya semua harus mengakui (kebenaran) semua. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Sebab kebenaran itu adalah relatif, yang absolut hanya Tuhan.
Disini hak asasi untuk beragama dan berkeyakinan seakan-akan dibela dan dijunjung tinggi. Sikap-sikap seperti itu disebut sikap pluralis. Tapi benarkah Islam sejalan dengan doktrin pluralisme seperti itu?
Jika cara berpikir seperti itu diterapkan kedalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, tentu Islam bertentangan dengan makna pluralisme seperti itu. Surat-surat Nabi mengajak raja Romawi, Persia, Ethiopia dan lain-lain untuk masuk Islam bertentangan dengan doktrin pluralisme.
Jika doktrin pluralisme agama harus mengakui kebenaran agama lain, Islam hanya mengakui Islam yang paling benar disisi Allah (Sesungguhnya al-Din (yang diterima) disisi Allah adalah Islam). Jadi Islam adalah agama yang eksklusif dan tidak pluralis.
Biasanya cendekiawan Muslim pembela doktrin pluralisme agama menggunakan al-Ma'idah: 69 dan al-Baqarah: 62 untuk menjustifikasi doktrin tersebut. Dalam al-Ma'idah: 69 berbunyi “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang [diantara mereka] yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”. (Bandingkan dengan al-Baqarah: 62).
Ayat di atas dipahami sebagai membenarkan agama-agama Yahudi, Kristen dan Sabiin. Bahkan mereka memasukkan agama-agama lain yang serupa dengan Sabiin, seperti Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya dalam kategori ini. Alasannya karena Sabiin adalah agama penyembah bintang-bintang alias agama musyrik.
Jika dilihat dari sibaq dan siyaq ayat tersebut maka penafsiran itu menjadi tidak tepat. Sebelumnya (pada al-Ma’idah: 65) disebutkan bahwa “Jika orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami masukkan surga”.
Kata “jika” (law anna) adalah pra-kondisi yang berarti bahwa ahlul kitab itu tidak beriman kepada Allah SWT. Selanjutnya (pada ayat 67) disebutkan bahwa ahlul kitab itu tidak berarti apa-apa jika tidak menjalankan apa yang ada dalam Kitab Taurat dan Injil.
Sudah tentu ini bukan Taurat dan Injil (Bible) yang ada sekarang. Sebab kitab-kitab itu dalam pandangan Islam tidak asli lagi. Jika yang dimaksud adalah Bible maka implikasinya bahwa Trinitas dalam Bible itu diterima al-Qur’an. Padahal pada ayat ke 71 dan 73 disebutkan bahwa ahlul kitab yang percaya
Trinitas adalah kafir. Apa yang dimaksud ayat itu adalah ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang membawa konsep tauhid.
Oleh sebab itu, kajian al-Baydhawi menunjukkan bahwa ayat itu merujuk kepada ahlul kitab sebelum datangnya Islam. Dan karena kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan (mansukh). Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiin dan sebagainya itu kini telah mansukh.
Ini diperkuat oleh al-Thabari bahwa surat al-Baqarah: 62 dan Ali Imran: 69 itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75: "Barangsiapa memeluk agama selain Islam ….". Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih, mausu'ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma'thur, 2 jld, jld 1, Dar al-Ma'athir, Madinah, 1999, 169).
Selanjutnya, mengenai pemahaman bahwa orang-orang Sabiin penyembah bintang-bintang, alias musyrik yang disebut bersamaan dengan Yahudi dan Nasrani juga diakui kebenarannya oleh al-Qur’an asal percaya pada Tuhan dan hari akhir serta berbuat baik.
Pendapat ini memiliki kelemahan premisnya. Ternyata menurut al-Thabari tidak begitu. Penganut Sabiin adalah orang yang percaya pada Yahudi dan Nasrani shalat lima waktu dan menghadap kiblat. Jadi bukan musyrik. (Lihat Hikmat Ibn Bashir, al-Tafsir al-Sahih, hal. 169).
Maka dari itu menurut Ibn Taimiyyah beriman kepada Allah dan hari akhir itu termasuk konsekuensi-konsekuensi lainnya yang berarti masuk Islam. Kecuali mereka yang hidup sebelum datangnya Islam.
Lalu mengapa dalam ayat itu disebut “Sesungguhnya orang-orang beriman” yang kemudian diikuti “Yang beriman kepada Allah”? Apakah ini merujuk kepada orang yang percaya kepada agama apa saja atau orang Islam saja? Yang dimaksud “Orang-orang beriman” dalam ayat itu menurut ibn Qutaybah adalah orang-orang yang mengaku beriman tapi sebenarnya tidak alias munafiq. (Ibn Qutaybah, Ta'wil Mushkilat al-Qur'an, ed. Sayyid Ahmad Safar, Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1973, 482).
Jadi, jika pluralisme diartikan sebagai pengakuan kebenaran agama lain, Islam jelas menolak pluralisme. Logikanya, jika Islam mengakui kebenaran agama lain, mengapa Islam mengajak agama lain masuk Islam. (al-Nahl: 126). Mengapa pula Nabi sendiri mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia masuk Islam.
Jika pluralisme melarang adanya klaim kebenaran atau menganggap agamanya paling benar sendiri. Tentu Islam tidak masuk kategori agama yang pluralistis. Apa yang dibawa Islam adalah melengkapi kitab-kitab yang datang sebelumnya. Bahkan lebih dari itu Islam juga menyalahkan penyelewengan yang dilakukan pengikut kitab-kitab (ahlul kitab).
Meskipun Islam tidak mengandung ajaran yang pluralistis, namun Islam adalah agama yang memiliki toleransi tinggi. Ayat-ayat Ali Imran: 20, al-Kafirun: 2-6, menunjukkan bahwa Islam adalah eksklusif tapi tidak memaksa manusia untuk mengikutinya. Al-Nahl: 126 juga menunjukkan cara-cara yang beradab dalam berdakwah, tidak ada paksaan dan kekerasan ataupun tipu daya. Masih banyak lagi ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an.
Ajaran toleransi ini bukan hanya terdapat dalam teks, tapi juga diterapkan dalam kehidupan dakwah umat Islam. Pada awal Islam, suku-suku di jazirah Arab masuk Islam secara sukarela, karena argumentasi, karena kagum pada pribadi Nabi, karena konsep Tauhid dalam Islam dan lain sebagainya.
Pada periode Umar bin Khattab, umat Islam menguasai Yerussalem tanpa peperangan. Umat Islam datang dan menguasai tapi tidak menghancurkan. Islam malah menjadi penengah pertikaian antara sekte-sekte Kristen yang sering terjadi di dalam Kanisah al-Qiyamah.
Dalam sejarahnya, Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling damai ketika dibawah kekuasaan Islam. Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan secara damai.
Di Cordoba umat Islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi. Tapi sesudah kerajaan Bani Umayyah jatuh, orang-orang Kristen Barat mengusir umat Islam secara biadab. Mereka tidak mempunyai ajaran toleransi. Bahkan orang-orang Kristen
Oleh sebab itu, kajian al-Baydhawi menunjukkan bahwa ayat itu merujuk kepada ahlul kitab sebelum datangnya Islam. Dan karena kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan (mansukh). Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiin dan sebagainya itu kini telah mansukh.
Ini diperkuat oleh al-Thabari bahwa surat al-Baqarah: 62 dan Ali Imran: 69 itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75: "Barangsiapa memeluk agama selain Islam ….". Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih, mausu'ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma'thur, 2 jld, jld 1, Dar al-Ma'athir, Madinah, 1999, 169).
Selanjutnya, mengenai pemahaman bahwa orang-orang Sabiin penyembah bintang-bintang, alias musyrik yang disebut bersamaan dengan Yahudi dan Nasrani juga diakui kebenarannya oleh al-Qur’an asal percaya pada Tuhan dan hari akhir serta berbuat baik.
Pendapat ini memiliki kelemahan premisnya. Ternyata menurut al-Thabari tidak begitu. Penganut Sabiin adalah orang yang percaya pada Yahudi dan Nasrani shalat lima waktu dan menghadap kiblat. Jadi bukan musyrik. (Lihat Hikmat Ibn Bashir, al-Tafsir al-Sahih, hal. 169).
Maka dari itu menurut Ibn Taimiyyah beriman kepada Allah dan hari akhir itu termasuk konsekuensi-konsekuensi lainnya yang berarti masuk Islam. Kecuali mereka yang hidup sebelum datangnya Islam.
Lalu mengapa dalam ayat itu disebut “Sesungguhnya orang-orang beriman” yang kemudian diikuti “Yang beriman kepada Allah”? Apakah ini merujuk kepada orang yang percaya kepada agama apa saja atau orang Islam saja? Yang dimaksud “Orang-orang beriman” dalam ayat itu menurut ibn Qutaybah adalah orang-orang yang mengaku beriman tapi sebenarnya tidak alias munafiq. (Ibn Qutaybah, Ta'wil Mushkilat al-Qur'an, ed. Sayyid Ahmad Safar, Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1973, 482).
Jadi, jika pluralisme diartikan sebagai pengakuan kebenaran agama lain, Islam jelas menolak pluralisme. Logikanya, jika Islam mengakui kebenaran agama lain, mengapa Islam mengajak agama lain masuk Islam. (al-Nahl: 126). Mengapa pula Nabi sendiri mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia masuk Islam.
Jika pluralisme melarang adanya klaim kebenaran atau menganggap agamanya paling benar sendiri. Tentu Islam tidak masuk kategori agama yang pluralistis. Apa yang dibawa Islam adalah melengkapi kitab-kitab yang datang sebelumnya. Bahkan lebih dari itu Islam juga menyalahkan penyelewengan yang dilakukan pengikut kitab-kitab (ahlul kitab).
Meskipun Islam tidak mengandung ajaran yang pluralistis, namun Islam adalah agama yang memiliki toleransi tinggi. Ayat-ayat Ali Imran: 20, al-Kafirun: 2-6, menunjukkan bahwa Islam adalah eksklusif tapi tidak memaksa manusia untuk mengikutinya. Al-Nahl: 126 juga menunjukkan cara-cara yang beradab dalam berdakwah, tidak ada paksaan dan kekerasan ataupun tipu daya. Masih banyak lagi ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an.
Ajaran toleransi ini bukan hanya terdapat dalam teks, tapi juga diterapkan dalam kehidupan dakwah umat Islam. Pada awal Islam, suku-suku di jazirah Arab masuk Islam secara sukarela, karena argumentasi, karena kagum pada pribadi Nabi, karena konsep Tauhid dalam Islam dan lain sebagainya.
Pada periode Umar bin Khattab, umat Islam menguasai Yerussalem tanpa peperangan. Umat Islam datang dan menguasai tapi tidak menghancurkan. Islam malah menjadi penengah pertikaian antara sekte-sekte Kristen yang sering terjadi di dalam Kanisah al-Qiyamah.
Dalam sejarahnya, Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling damai ketika dibawah kekuasaan Islam. Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan secara damai.
Di Cordoba umat Islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi. Tapi sesudah kerajaan Bani Umayyah jatuh, orang-orang Kristen Barat mengusir umat Islam secara biadab. Mereka tidak mempunyai ajaran toleransi. Bahkan orang-orang Kristen
yang dekat dengan orang-orang Islam dirazia oleh tim inquisisi Kristen.
Demikian pula ketika Islam masuk ke Persia kekaisaran disana sangat lemah dan tercabik-cabik, sehingga kedatangan Islam memberikan solusi bagi persoalan politik disana. Pada tahun 700an ketika Qutaibah bin Muslim menjabat Gubernur Khurasan, ia dengan damai meluaskan kawasan Muslim ke Bukhara, Samarqand, dan ke Timur hingga mencapai perbatasan Cina.
Dalam catatan sejarah Cina periode dinasti Tang (713-742), misalnya tertulis begini: “Mereka (orang-orang Islam) datang ke pusat Kerajaan laksana banjir, dan membawa hadiah kitab suci yang disimpan di ruangan tersendiri di dalam istana. Kitab itu dipandang sebagai standar dan sumber hukum yang dipandang suci. Sejak masa ini, ajaran-ajaran agama dari negeri asing ini menjadi bercampur dengan ajara-ajaran agama pribumi dan dipraktekkan dalam kehidupan rakyat secara terbuka diseluruh wilayah Imperium Tang”.
Orientalis pakar sejarah asal Perancis, Du Halde, mencatat bahwa orang Islam menetap di Cina selama lebih 6 abad tidak ada kegiatan dakwah yang mencolok, kecuali hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni anak kaum penyembah api yang miskin.
Ketika terjadi kelaparan di Chantong mereka menyantuni lebih dari 10.000 anak miskin, sehingga ketika anak-anak itu dewasa mereka menjadi Muslim. Semua itu berjalan tanpa paksaan dan masyarakat tidak merasa keberatan. Pada tahun 1323-1328, anak Timur Khan cucu Kubilay Khan, bernama Ananda, menggantikan ayahnya dan masuk Islam. Ia lalu membangun 4 masjid di Peking.
Begitulah, meskipun Islam adalah agama misi, tapi ia tetap berpegang pada prinsip la ikraha fi al-din (Tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Peperangan memang terjadi antara bala tentara Islam dan daerah yang dimasuki mereka. Namun Islam tidak memerangi penganut agama lain agar mereka masuk Islam.
Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi penduduk alam semesta. Ini tidak berarti bahwa Islam mengakui kebenaran agama apapun di seluruh dunia. Rahmat Islam terdapat pada ajaran-ajarannya yang universal, yang sesuai dengan fitrah manusia.
Menurut Ibn Taimiyyah Allah menurunkan fitrah pada alam dan pada manusia, dan melengkapi kedua fitrah itu dengan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an. Dan pada ketiga fitrah itu Allah meletakkan ayat-ayat, yaitu ayat kauniyyah, ayat qauliyyah dan ayat nafsiyyah.
Rahmat Islam adalah kekayaan konsep-konsepnya yang mencerminkan sebuah pandangan hidup. Didalamnya terdapat ruang-ruang bagi ilmu pengetahuan, etika, estetika, logika, metafisika, sains, teknologi, teologi dan sebagainya.
Karena itulah maka konsep-konsep asing dapat terakomodasikan dalam peradaban Islam, sehingga bangsa selain Islam dapat dengan mudah memanfaatkan konsep-konsep Islam bagi kepentingan kebudayaan mereka.
Pandangan hidup Islam telah membuka wawasan dan prinsip-prinsip baru bagi kehidupan bangsa Eropa. Kemampuan umat Islam menerjemahkan filsafat dan sains Yunani membawa rahmat bagi kebangkitan Barat. Proses dari Yunani ke Arab kemudian ke Latin merupakan fakta sejarah bahwa peranan Islam bagi bangunnya peradaban Barat tidak dapat diragukan lagi.
Demikian pula Islam masuk ke Spanyol, Persia, India dan Mesir membawa cara pandang terhadap dunia yang khas. Islam tidak datang ke suatu Negara untuk menjajah dan menguras kekayaan alam Negara itu, seperti yang dilakukan bangsa Barat ke negara-negara Islam.
Islam memakmurkan Negara yang telah dikuasainya dan tidak membawanya pulang ke Arab misalnya. Oleh sebab itu, istilah yang tepat untuk serangan Islam adalah al-fath, pembukaan dan bukan penjajahan.
Kedatangan pandangan hidup Islam ke dunia Melayu (Asia Tenggara) telah membawa perubahan konsep waktu, konsep ada, konsep hidup dan sebagainya. kepada masyarakat yang animistis dan dinamistis waktu itu.
Dan yang pasti Islam masuk ke dunia Melayu tanpa peperangan. Peperangan yang ada hanyalah peperangan konsep, konsep teologi agama-agama Hindu, animisme dan dinamisme dengan mudah dikalahkan oleh konsep universal Islam. Jadi, Islam bertentangan dengan
Demikian pula ketika Islam masuk ke Persia kekaisaran disana sangat lemah dan tercabik-cabik, sehingga kedatangan Islam memberikan solusi bagi persoalan politik disana. Pada tahun 700an ketika Qutaibah bin Muslim menjabat Gubernur Khurasan, ia dengan damai meluaskan kawasan Muslim ke Bukhara, Samarqand, dan ke Timur hingga mencapai perbatasan Cina.
Dalam catatan sejarah Cina periode dinasti Tang (713-742), misalnya tertulis begini: “Mereka (orang-orang Islam) datang ke pusat Kerajaan laksana banjir, dan membawa hadiah kitab suci yang disimpan di ruangan tersendiri di dalam istana. Kitab itu dipandang sebagai standar dan sumber hukum yang dipandang suci. Sejak masa ini, ajaran-ajaran agama dari negeri asing ini menjadi bercampur dengan ajara-ajaran agama pribumi dan dipraktekkan dalam kehidupan rakyat secara terbuka diseluruh wilayah Imperium Tang”.
Orientalis pakar sejarah asal Perancis, Du Halde, mencatat bahwa orang Islam menetap di Cina selama lebih 6 abad tidak ada kegiatan dakwah yang mencolok, kecuali hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni anak kaum penyembah api yang miskin.
Ketika terjadi kelaparan di Chantong mereka menyantuni lebih dari 10.000 anak miskin, sehingga ketika anak-anak itu dewasa mereka menjadi Muslim. Semua itu berjalan tanpa paksaan dan masyarakat tidak merasa keberatan. Pada tahun 1323-1328, anak Timur Khan cucu Kubilay Khan, bernama Ananda, menggantikan ayahnya dan masuk Islam. Ia lalu membangun 4 masjid di Peking.
Begitulah, meskipun Islam adalah agama misi, tapi ia tetap berpegang pada prinsip la ikraha fi al-din (Tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Peperangan memang terjadi antara bala tentara Islam dan daerah yang dimasuki mereka. Namun Islam tidak memerangi penganut agama lain agar mereka masuk Islam.
Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi penduduk alam semesta. Ini tidak berarti bahwa Islam mengakui kebenaran agama apapun di seluruh dunia. Rahmat Islam terdapat pada ajaran-ajarannya yang universal, yang sesuai dengan fitrah manusia.
Menurut Ibn Taimiyyah Allah menurunkan fitrah pada alam dan pada manusia, dan melengkapi kedua fitrah itu dengan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an. Dan pada ketiga fitrah itu Allah meletakkan ayat-ayat, yaitu ayat kauniyyah, ayat qauliyyah dan ayat nafsiyyah.
Rahmat Islam adalah kekayaan konsep-konsepnya yang mencerminkan sebuah pandangan hidup. Didalamnya terdapat ruang-ruang bagi ilmu pengetahuan, etika, estetika, logika, metafisika, sains, teknologi, teologi dan sebagainya.
Karena itulah maka konsep-konsep asing dapat terakomodasikan dalam peradaban Islam, sehingga bangsa selain Islam dapat dengan mudah memanfaatkan konsep-konsep Islam bagi kepentingan kebudayaan mereka.
Pandangan hidup Islam telah membuka wawasan dan prinsip-prinsip baru bagi kehidupan bangsa Eropa. Kemampuan umat Islam menerjemahkan filsafat dan sains Yunani membawa rahmat bagi kebangkitan Barat. Proses dari Yunani ke Arab kemudian ke Latin merupakan fakta sejarah bahwa peranan Islam bagi bangunnya peradaban Barat tidak dapat diragukan lagi.
Demikian pula Islam masuk ke Spanyol, Persia, India dan Mesir membawa cara pandang terhadap dunia yang khas. Islam tidak datang ke suatu Negara untuk menjajah dan menguras kekayaan alam Negara itu, seperti yang dilakukan bangsa Barat ke negara-negara Islam.
Islam memakmurkan Negara yang telah dikuasainya dan tidak membawanya pulang ke Arab misalnya. Oleh sebab itu, istilah yang tepat untuk serangan Islam adalah al-fath, pembukaan dan bukan penjajahan.
Kedatangan pandangan hidup Islam ke dunia Melayu (Asia Tenggara) telah membawa perubahan konsep waktu, konsep ada, konsep hidup dan sebagainya. kepada masyarakat yang animistis dan dinamistis waktu itu.
Dan yang pasti Islam masuk ke dunia Melayu tanpa peperangan. Peperangan yang ada hanyalah peperangan konsep, konsep teologi agama-agama Hindu, animisme dan dinamisme dengan mudah dikalahkan oleh konsep universal Islam. Jadi, Islam bertentangan dengan
prinsip pluralisme agama, tapi memiliki rasa toleransi yang tiada bandingannya.
Sesungguhnya kebaikan itu memancarkan sinar pada wajah dan cahaya dalam hati, memberi keluasan rezeki dan kekuatan dalam tubuh serta rasa cinta pada hati-hati insan ciptaan Allah. (Ibn Abbas, dalam Tafsir Miqbas).
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Tidak akan ditemukan manusia Indonesia yang bisa mengamalkan Pancasila 100 persen, yang seluruh ucapan dan perbuatannya bisa dijadikan contoh keteladanan. Kita memerintahkan anak kita menolong fakir miskin, menyantuni anak yatim, karena itu perintah Allah SWT, sesuai ajaran Islam; bukan karena perintah Pancasila. Dan yakinlah kita, di akhirat nanti, tidak akan ditanya oleh Allah, apakah kita sudah mengamalkan Pancasila atau tidak!
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=925229624283655&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=925229624283655&id=153825841424041
SEMINAR PANCASILA DI SEMARANG
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada 16 Februari 2015 lalu, saya memenuhi undangan Seminar tentang Pancasila yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian MPR dan Universitas Islam Sultan Agung (Unisula) Semarang. Tempat acaranya di Kota Semarang juga. Di antara yang hadir sebagai pembicara adalah Prof. Jimly ash-Shiddiqy, Prof. Ali Mansur dari Unisula, Prof. Irianto Widisuseno dari Universitas Diponegoro Semarang, Ahmad Zaky Siraj, anggota Komisi III DPR RI, dan lain-lain.
Pada kesempatan dan forum yang penting itu, saya menyampaikan hal penting untuk dipikirkan dan dipertimbangkan oleh para elite negara Indonesia, khususnya kalangan akademisi dan pejabat negara yang duduk di MPR. Yakni, bagaimana mendudukkan Pancasila secara tepat dengan agama-agama yang ada di Indonesia, khususnya hubungan Pancasila dengan agama Islam. Itu perlu, agar sosialisasi Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tidak mengalami kegagalan sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Baru dan orde-orde sebelumnya.
Secara terbuka, saya mengajak hadirin saat itu untuk berpikir secara jujur, apakah Pancasila memang harus diletakkan sebagai worldview (pandangan hidup/pandangan dunia/pandangan alam) dan pedoman amal tersendiri, yaitu pandangan hidup Pancasila, selain worldview dan pedoman amal Islam? Seringkali kita mendengar ungkapan, bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia. Bahkan, sering dikatakan, bahwa Pancasila adalah juga panduan moral bangsa Indonesia.
Misalnya, dalam TOR Seminar yang dikirimkan kepada saya disebutkan: “Pancasila disamping sebagai ideologi, dasar dan falsafah negara, juga menjadi cita cita moral dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang selama bangsa Indonesia ada telah memberi pandangan dan arah kepada bangsa dan negara kita menjalani kehidupan bernegara sesuai dengan jati dirinya yang membedakan dengan bangsa bangsa lain di dunia. Seiring dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila telah menjadi sumber primer dalam memecahkan persoalan bangsa yang bersifat multidimensional. Harus diakui, Pancasila mempunyai nilai historis yang kuat yang dapat meningkatkan spirit kebangsaan, tetapi di sisi lain Pancasila mempunyai nilai spiritual-ideologis yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk meneropong persoalan kekinian dan kemasadepanan.
Di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi saat ini, dalam pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Pancasila biasa diletakkan sebagai worldview dan pedoman moral tersendiri. Sebagai contoh, dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SD/MI Kelas IV (Buku Teks Pengayaan Kurikulum 2013), disebutkan bahwa, “Sila-sila Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman berperilaku bermasyarakat. Nilai-nilai luhur yang mencerminkan pengamalan sila-sila Pancasila sudah seharusnya dilaksanakan dengan baik oleh setiap warga negara.” (hlm. 10).
Pada tahun 1978, ada peristiwa politik nasional yang sangat menghebohkan, yaitu kontroversi seputar pengesahan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau dikenal juga dengan istilah “Ekaprasetia Pancakarsa”. Disebutkan dalam TAP MPR tersebut, bahwa makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai berikut:
1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
5. Menolak kepercayaan atheisme di Indonesia.
Inilah salah satu contoh penafsiran Pancasila sila Pertama yang pernah diajarkan di sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai bagian dari proyek Penataran P4 di masa Orde Baru. Sejak duduk di bangku SMP sampai dengan menempuh kuliah di Perguruan Tinggi, sampai saya bertugas sebagai wartawan di Istana Negara, masalah Moral Pancasila i
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada 16 Februari 2015 lalu, saya memenuhi undangan Seminar tentang Pancasila yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian MPR dan Universitas Islam Sultan Agung (Unisula) Semarang. Tempat acaranya di Kota Semarang juga. Di antara yang hadir sebagai pembicara adalah Prof. Jimly ash-Shiddiqy, Prof. Ali Mansur dari Unisula, Prof. Irianto Widisuseno dari Universitas Diponegoro Semarang, Ahmad Zaky Siraj, anggota Komisi III DPR RI, dan lain-lain.
Pada kesempatan dan forum yang penting itu, saya menyampaikan hal penting untuk dipikirkan dan dipertimbangkan oleh para elite negara Indonesia, khususnya kalangan akademisi dan pejabat negara yang duduk di MPR. Yakni, bagaimana mendudukkan Pancasila secara tepat dengan agama-agama yang ada di Indonesia, khususnya hubungan Pancasila dengan agama Islam. Itu perlu, agar sosialisasi Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tidak mengalami kegagalan sebagaimana pernah terjadi di masa Orde Baru dan orde-orde sebelumnya.
Secara terbuka, saya mengajak hadirin saat itu untuk berpikir secara jujur, apakah Pancasila memang harus diletakkan sebagai worldview (pandangan hidup/pandangan dunia/pandangan alam) dan pedoman amal tersendiri, yaitu pandangan hidup Pancasila, selain worldview dan pedoman amal Islam? Seringkali kita mendengar ungkapan, bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia. Bahkan, sering dikatakan, bahwa Pancasila adalah juga panduan moral bangsa Indonesia.
Misalnya, dalam TOR Seminar yang dikirimkan kepada saya disebutkan: “Pancasila disamping sebagai ideologi, dasar dan falsafah negara, juga menjadi cita cita moral dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang selama bangsa Indonesia ada telah memberi pandangan dan arah kepada bangsa dan negara kita menjalani kehidupan bernegara sesuai dengan jati dirinya yang membedakan dengan bangsa bangsa lain di dunia. Seiring dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila telah menjadi sumber primer dalam memecahkan persoalan bangsa yang bersifat multidimensional. Harus diakui, Pancasila mempunyai nilai historis yang kuat yang dapat meningkatkan spirit kebangsaan, tetapi di sisi lain Pancasila mempunyai nilai spiritual-ideologis yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk meneropong persoalan kekinian dan kemasadepanan.
Di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi saat ini, dalam pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Pancasila biasa diletakkan sebagai worldview dan pedoman moral tersendiri. Sebagai contoh, dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SD/MI Kelas IV (Buku Teks Pengayaan Kurikulum 2013), disebutkan bahwa, “Sila-sila Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman berperilaku bermasyarakat. Nilai-nilai luhur yang mencerminkan pengamalan sila-sila Pancasila sudah seharusnya dilaksanakan dengan baik oleh setiap warga negara.” (hlm. 10).
Pada tahun 1978, ada peristiwa politik nasional yang sangat menghebohkan, yaitu kontroversi seputar pengesahan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau dikenal juga dengan istilah “Ekaprasetia Pancakarsa”. Disebutkan dalam TAP MPR tersebut, bahwa makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai berikut:
1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
5. Menolak kepercayaan atheisme di Indonesia.
Inilah salah satu contoh penafsiran Pancasila sila Pertama yang pernah diajarkan di sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi sebagai bagian dari proyek Penataran P4 di masa Orde Baru. Sejak duduk di bangku SMP sampai dengan menempuh kuliah di Perguruan Tinggi, sampai saya bertugas sebagai wartawan di Istana Negara, masalah Moral Pancasila i
tu sangat ditekankan. Di awal perkuliahan, saya diwajibkan mengikuti Penataran P4 program 100 jam, dan saya dinyatakan lulus dengan baik.
Tapi, sebagai aktivis mahasiswa Muslim, saya dipaksa untuk memahami, betapa Pancasila dipaksakan sebagai nilai-nilai sekuler di kampus. Pemerintah Orde Baru ketika itu – dengan senjata Pancasila – melarang siswi muslimah berjilbab di sekolah. Dengan alasan pengamalan Pancasila pula, kegiatan-kegiatan keislaman dibatasi dan diawasi dengan ketat. Islam dilarang dijadikan sebagai asas partai politik dan organisasi massa. Meskipun akhirnya pemerintah Orde Baru lebih akomodatif terhadap aspirasi Islam, kejatuhan pemerintah Orde Baru diikuti juga dengan hancurnya pamor Pancasila di tengah masyarakat.
Setelah Orde Baru runtuh, maka penafsiran Pancasila dengan model Penataran P4 sudah tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah atau Parguruan Tinggi. Sepanjang sejarahnya, Pancasila memang selalu memunculkan beragam penafsiran. Banyak yang bicara tentang pentingnya berpegang pada Pancasila, namun dengan penafsiran yang bermacam-macam.
*
Setelah Orde Baru runtuh, tampaknya, Pancasila masih ditetapkan sebagai pandangan hidup dan pedoman amal bagi umat Islam. Dalam seminar di Semarang itu saya memang hanya menyampaikan pandangan dan aspirasi sebagai seorang Muslim. Saya tidak berani mengklaim mewakili agama-agama lain. Ketika itu, saya memohon dengan hormat, agar para petinggi kita di MPR, khususnya mereka yang muslim, berani berpikir serius, bertanya kepada hati nurani masing-masing, benarkah Pancasila bisa dijadikan sebagai pandangan hidup (worldview) dan pedoman moral bangsa Indonesia? Sementara, pada saat yang sama, setiap Muslim juga diajarkan oleh agamanya, bahwa Islam adalah pandangan hidup dan juga pedoman amal bagi setiap muslim.
Sebenarnya, dalam sejarah perjalanan Pancasila, telah terjadi diskusi yang panjang dan menarik tentang masalah ini, khususnya terkait dengan kedudukan Islam dan hubungannya dengan Pancasila. Menurut analisis Adnan Buyung Nasution, terjadinya polemik dan konfrontasi ide antara Islam dan Pancasila dalam sejarah di Indonesia, adalah akibat dikembangkannya konsep Pancasila sebagai doktrin atau pandangan dunia (worldview) yang komplek dan khas, sehingga berbenturan dengan pandangan dunia lain, seperti Islam. Lebih jauh, Adnan Buyung Nasution menulis:
”Saya berpendapat bahwa kejadian ini sebagian ada hubungannya dengan kenyataan bahwa sejak tahun 1945 dan khususnya pada tahun-tahun berlangsungnya kampanye pemilihan umum, Pancasila dikembangkan menjadi doktrin atau pandangan dunia yang kompleks, yang berbeda dengan padangan-pandangan dunia lain. Perbedaannya dengan Islam, yang pada dasarnya sudah mempunyai pandangan dunia yang khas, menjadi semakin tajam karena setiap pandangan dunia selalu akan dianggap lebih benar, lebih lengkap dan sempurna dibandingkan dengan pandangan dunia lain oleh para penganutnya. Karena itu, perkembangan Pancasila menjadi doktrin dan pandangan dunia yang khas sebenarnya tidak menguntungkan, kalau dinilai dari tujuannya mempersatukan bangsa. Perkembangan doktrinal Pancasila mengubahnya – atau sekurang-kurangnya cenderung mengubahnya – dari platform bersama ideologi politik dan aliran pemikiran yang berbeda-beda di Indonesia, sesuai dengan rumusan pertama yang disampaikan oleh Soekarno pada tahun 1945 (Yamin I, 1959:61-81), menjadi ideologi yang khas yang bertentangan dengan ideologi lain yang ada di Indonesia. Pancasila juga menjadi saingan utama bagi agama Islam, yang bagi para penganutnya merupakan wahyu Ilahi mengenai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat!” (Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 63-64).
Suatu worldview (Pandangan Hidup/Pandangan Alam/pandangan dunia/weltanchauung) memiliki unsur-unsur tentang pemahaman manusia tentang dirinya, Tuhannya, dan alam ini; tentang asal-usul manusia, tujuan hidupnya, dan tentang kehidupan setelah kematiannya. Semua itu berakar pada pemaham
Tapi, sebagai aktivis mahasiswa Muslim, saya dipaksa untuk memahami, betapa Pancasila dipaksakan sebagai nilai-nilai sekuler di kampus. Pemerintah Orde Baru ketika itu – dengan senjata Pancasila – melarang siswi muslimah berjilbab di sekolah. Dengan alasan pengamalan Pancasila pula, kegiatan-kegiatan keislaman dibatasi dan diawasi dengan ketat. Islam dilarang dijadikan sebagai asas partai politik dan organisasi massa. Meskipun akhirnya pemerintah Orde Baru lebih akomodatif terhadap aspirasi Islam, kejatuhan pemerintah Orde Baru diikuti juga dengan hancurnya pamor Pancasila di tengah masyarakat.
Setelah Orde Baru runtuh, maka penafsiran Pancasila dengan model Penataran P4 sudah tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah atau Parguruan Tinggi. Sepanjang sejarahnya, Pancasila memang selalu memunculkan beragam penafsiran. Banyak yang bicara tentang pentingnya berpegang pada Pancasila, namun dengan penafsiran yang bermacam-macam.
*
Setelah Orde Baru runtuh, tampaknya, Pancasila masih ditetapkan sebagai pandangan hidup dan pedoman amal bagi umat Islam. Dalam seminar di Semarang itu saya memang hanya menyampaikan pandangan dan aspirasi sebagai seorang Muslim. Saya tidak berani mengklaim mewakili agama-agama lain. Ketika itu, saya memohon dengan hormat, agar para petinggi kita di MPR, khususnya mereka yang muslim, berani berpikir serius, bertanya kepada hati nurani masing-masing, benarkah Pancasila bisa dijadikan sebagai pandangan hidup (worldview) dan pedoman moral bangsa Indonesia? Sementara, pada saat yang sama, setiap Muslim juga diajarkan oleh agamanya, bahwa Islam adalah pandangan hidup dan juga pedoman amal bagi setiap muslim.
Sebenarnya, dalam sejarah perjalanan Pancasila, telah terjadi diskusi yang panjang dan menarik tentang masalah ini, khususnya terkait dengan kedudukan Islam dan hubungannya dengan Pancasila. Menurut analisis Adnan Buyung Nasution, terjadinya polemik dan konfrontasi ide antara Islam dan Pancasila dalam sejarah di Indonesia, adalah akibat dikembangkannya konsep Pancasila sebagai doktrin atau pandangan dunia (worldview) yang komplek dan khas, sehingga berbenturan dengan pandangan dunia lain, seperti Islam. Lebih jauh, Adnan Buyung Nasution menulis:
”Saya berpendapat bahwa kejadian ini sebagian ada hubungannya dengan kenyataan bahwa sejak tahun 1945 dan khususnya pada tahun-tahun berlangsungnya kampanye pemilihan umum, Pancasila dikembangkan menjadi doktrin atau pandangan dunia yang kompleks, yang berbeda dengan padangan-pandangan dunia lain. Perbedaannya dengan Islam, yang pada dasarnya sudah mempunyai pandangan dunia yang khas, menjadi semakin tajam karena setiap pandangan dunia selalu akan dianggap lebih benar, lebih lengkap dan sempurna dibandingkan dengan pandangan dunia lain oleh para penganutnya. Karena itu, perkembangan Pancasila menjadi doktrin dan pandangan dunia yang khas sebenarnya tidak menguntungkan, kalau dinilai dari tujuannya mempersatukan bangsa. Perkembangan doktrinal Pancasila mengubahnya – atau sekurang-kurangnya cenderung mengubahnya – dari platform bersama ideologi politik dan aliran pemikiran yang berbeda-beda di Indonesia, sesuai dengan rumusan pertama yang disampaikan oleh Soekarno pada tahun 1945 (Yamin I, 1959:61-81), menjadi ideologi yang khas yang bertentangan dengan ideologi lain yang ada di Indonesia. Pancasila juga menjadi saingan utama bagi agama Islam, yang bagi para penganutnya merupakan wahyu Ilahi mengenai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat!” (Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 63-64).
Suatu worldview (Pandangan Hidup/Pandangan Alam/pandangan dunia/weltanchauung) memiliki unsur-unsur tentang pemahaman manusia tentang dirinya, Tuhannya, dan alam ini; tentang asal-usul manusia, tujuan hidupnya, dan tentang kehidupan setelah kematiannya. Semua itu berakar pada pemaham
an tentang Tuhan. Jadi, konsep Tuhan itulah yang menentukan pemahaman manusia tentang aspek-aspek kehidupan lainnya, termasuk pemahaman terhadap dirinya.
Dalam hal ini, di Indonesia telah muncul pemahaman yang beragam tentang Tuhan dan Tuhan Yang Maha Esa, yang bersumber pada ajaran agama dan budaya. Tetapi, menurut hemat penulis, jika ditelaah dengan cermat dari segi sejarah penyusunan teksnya dan masuknya sejumlah kosa-kata kunci dalam Islam (Islamic basic vovabularies), akan tampak jelas, besarnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila. Itu misalnya, terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting.
Contoh ”kerancuan” perumusan pandangan hidup bangsa Indonesia terjadi pada perumusan tentang asal-usul manusia Indonesia. Hingga kini, dalam kurikulum pendidikan nasional, masih dikembangkan pandangan Darwinisme, bahwa manusia Indonesia berasal dari hominid, makhluk sejenis monyet. Di tulis dalam satu Buku Sejarah kelas X (Kurikulum 2013):
“Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera.”
Pendapat itu dikutip dari pernyataan Charles Darwin (1809-1882). Ditampilkanlah gambar “nenek moyang bangsa Indonesia” berupa sebuah keluarga homo erectus yang mulutnya monyong, tanpa balutan baju dan celana. Entah bagaimana prosesnya, mulut kita sekarang tidak monyong, seperti gambar itu? Apakah menurut Pandangan hidup Pancasila, nenek moyang bangsa Indonesia adalah sejenis kera? Tentu saja, saya sangat keberatan. Sebab, saya bukan bani monyet, tapi saya yakin, saya adalah bani Adam.
Cara pandang terhadap asal-usul manusia semacam ini terjadi karena pemahaman yang menolak wahyu Tuhan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dan itu berakar dari pemahaman terhadap Tuhan. Siapakah sebenarnya Tuhan Yang Maha Esa yang dimaksud dalam Pancasila? Ketika kita saat ini ingin kembali menekankan kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka perlu dipertegas, pemahaman hidup yang bagaimana, apakah bersumber pada wahyu atau budaya? Kita pun perlu bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.
Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut. Menjadikan Pancasila sebagai Pandangan Hidup tersendiri yang terlepas dari pandangan hidup Islam, akan menimbulkan ”benturan nilai” pada diri seorang Muslim yang menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya.
Bagi seorang Muslim, ajaran Islam sudah cukup untuk menjadi pandangan hidupnya. Artinya, jika seorang Muslim memiliki pandangan hidup Islam, maka itu secara otomatis juga memiliki pandangan hidup Pancasila. Sebab, negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid). Jika Pancasila juga sebuah pandangan hidup dan Islam juga pandangan hidup, lalu pandangan hidup mana yang benar, mana yang lebih sempurna? Jika rakyat Indonesia yang muslim dipaksa untuk memahami dan memeluk Pandangan hidup Pancasila dan pada saat yang sama juga harus berpandangan hidup Islam, maka suatu ketika akan muncul benturan nilai dalam diri seorang Muslim.
Karena itu, lebih tepat dan maslahat bagi bangsa Indonesia, jika Pancasila diletakkan sebagai ”common platform” kenegaraan dengan mendorong setiap pemeluk agama untuk menjadikan agamanya masing-masing sebagai Pandangan Hidup-nya. Dengan cara itulah, maka Pancasila akan semak
Dalam hal ini, di Indonesia telah muncul pemahaman yang beragam tentang Tuhan dan Tuhan Yang Maha Esa, yang bersumber pada ajaran agama dan budaya. Tetapi, menurut hemat penulis, jika ditelaah dengan cermat dari segi sejarah penyusunan teksnya dan masuknya sejumlah kosa-kata kunci dalam Islam (Islamic basic vovabularies), akan tampak jelas, besarnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila. Itu misalnya, terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting.
Contoh ”kerancuan” perumusan pandangan hidup bangsa Indonesia terjadi pada perumusan tentang asal-usul manusia Indonesia. Hingga kini, dalam kurikulum pendidikan nasional, masih dikembangkan pandangan Darwinisme, bahwa manusia Indonesia berasal dari hominid, makhluk sejenis monyet. Di tulis dalam satu Buku Sejarah kelas X (Kurikulum 2013):
“Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera.”
Pendapat itu dikutip dari pernyataan Charles Darwin (1809-1882). Ditampilkanlah gambar “nenek moyang bangsa Indonesia” berupa sebuah keluarga homo erectus yang mulutnya monyong, tanpa balutan baju dan celana. Entah bagaimana prosesnya, mulut kita sekarang tidak monyong, seperti gambar itu? Apakah menurut Pandangan hidup Pancasila, nenek moyang bangsa Indonesia adalah sejenis kera? Tentu saja, saya sangat keberatan. Sebab, saya bukan bani monyet, tapi saya yakin, saya adalah bani Adam.
Cara pandang terhadap asal-usul manusia semacam ini terjadi karena pemahaman yang menolak wahyu Tuhan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dan itu berakar dari pemahaman terhadap Tuhan. Siapakah sebenarnya Tuhan Yang Maha Esa yang dimaksud dalam Pancasila? Ketika kita saat ini ingin kembali menekankan kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka perlu dipertegas, pemahaman hidup yang bagaimana, apakah bersumber pada wahyu atau budaya? Kita pun perlu bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.
Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut. Menjadikan Pancasila sebagai Pandangan Hidup tersendiri yang terlepas dari pandangan hidup Islam, akan menimbulkan ”benturan nilai” pada diri seorang Muslim yang menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya.
Bagi seorang Muslim, ajaran Islam sudah cukup untuk menjadi pandangan hidupnya. Artinya, jika seorang Muslim memiliki pandangan hidup Islam, maka itu secara otomatis juga memiliki pandangan hidup Pancasila. Sebab, negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid). Jika Pancasila juga sebuah pandangan hidup dan Islam juga pandangan hidup, lalu pandangan hidup mana yang benar, mana yang lebih sempurna? Jika rakyat Indonesia yang muslim dipaksa untuk memahami dan memeluk Pandangan hidup Pancasila dan pada saat yang sama juga harus berpandangan hidup Islam, maka suatu ketika akan muncul benturan nilai dalam diri seorang Muslim.
Karena itu, lebih tepat dan maslahat bagi bangsa Indonesia, jika Pancasila diletakkan sebagai ”common platform” kenegaraan dengan mendorong setiap pemeluk agama untuk menjadikan agamanya masing-masing sebagai Pandangan Hidup-nya. Dengan cara itulah, maka Pancasila akan semak
in kokoh posisinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seorang Muslim yang beriman dan bertaqwa, taat pada ajaran agamanya, secara otomatis dianggap telah menjadi Pancasilais sejati, meskipun tidak pernah mengikuti pelajaran Pancasila. Sebab, Islam pun memerintahkan agar umatnya menjadi warga negara yang baik, dimana pun berada. Warga negara yang baik bukan yang taat secara membabi buta begitu saja kepada penguasa. Jika penguasa salah, maka ia wajib mengingatkan. Jika penguasa betul, maka disokongnya.
Itulah yang antara lain ditegaskan Buya Hamka, dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas (Dewan Pertahanan Keamanan Nasional), pada 25 Agustus 1976: “Ada yang sebagai orang kecemasan menerangkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang kita cantumkan dalam UUD ’45, pasal 29 itu bukanlah Tuhan sebagai yang diajarkan oleh suatu agama. Ada pula yang menafsirkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu bersumber dari jiwa bangsa Indonesia sendiri, lama sebelum agama Islam datang ke Indonesia. Tafsir-tafsir yang berbagai ragam itu kadang-kadang dengan tidak disadari telah menyinggung perasaan orang yang beragama, seakan-akan Tuhan sepanjang ajaran agama itu tidaklah boleh dicampur-aduk dengan Tuhan Kenegaraan. Maka, supaya perselisihan ini dapat diredakan, atau sekurang-kurangnya dapat mengembalikan sesuatu kepada proporsinya yang asal, ingat sajalah bahwa dalam Preambule UUD’45 itu telah dituliskan dengan jelas: “atas berkat rahmat Allah”. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.” ( Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: GIP), hlm. 224.
Meletakkan Pancasila sebagai pedoman moral bangsa tersendiri juga memunculkan persoalan yang serius dalam kaitan dengan kedudukan agama sebagai pedoman amal dan moral bagi pemeluknya. Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”. Isinya, mengupas dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.
”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”
Pertanyaan ”bagaimana cara menggosok gigi menurut Pancasila ” sangat penting untuk direnungkan. Sebab, kita akhirnya kesulitan untuk merumuskan apa itu ”moral Pancasila”, siapa contoh teladan dalam pelaksanaan ”moral Pancasila”. Bagi seorang Muslim, moral atau karakter diatur oleh ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah saw adalah suri tauladan dalam pendidikan akhlak. Islam punya konsep dan contoh yang jelas dan sempurna dalam pendidikan adab dan akhlak.
Karena itu, dalam seminar Pancasila di Semarang itu, saya mengusulkan, agar pemerintah tidak perlu memaksakan pendidikan karakter Pancasila kepada umat Islam. Sebab, umat Islam sudah memiliki konsep pendidikan akhlak sendiri. Pemerintah cukup mendorong agar pemeluk agama, khususnya Islam, menerapkan pendidikan adab dan akhlak dengan sungguh-sungguh, sehingga mereka menjadi muslim yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, sebagaimana ditegaskan dalam tujuan pendidikan nasional (UU No 20/2003).
Kita berharap, ke depan tidak ada dikotomi lagi bagi seorang Muslim dalam menentukan standar amalnya. Orang yang baik menurut Islam, secara otomatis juga baik menurut Pancasila. JIka Pancasila terus dibenturkan dengan Islam, kita khawatir, lagi-lagi, sosialisasi Pancasila sebagai Pandangan hidup dan pedomana amal bagi umat Islam ini sebenarnya m
Itulah yang antara lain ditegaskan Buya Hamka, dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas (Dewan Pertahanan Keamanan Nasional), pada 25 Agustus 1976: “Ada yang sebagai orang kecemasan menerangkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang kita cantumkan dalam UUD ’45, pasal 29 itu bukanlah Tuhan sebagai yang diajarkan oleh suatu agama. Ada pula yang menafsirkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu bersumber dari jiwa bangsa Indonesia sendiri, lama sebelum agama Islam datang ke Indonesia. Tafsir-tafsir yang berbagai ragam itu kadang-kadang dengan tidak disadari telah menyinggung perasaan orang yang beragama, seakan-akan Tuhan sepanjang ajaran agama itu tidaklah boleh dicampur-aduk dengan Tuhan Kenegaraan. Maka, supaya perselisihan ini dapat diredakan, atau sekurang-kurangnya dapat mengembalikan sesuatu kepada proporsinya yang asal, ingat sajalah bahwa dalam Preambule UUD’45 itu telah dituliskan dengan jelas: “atas berkat rahmat Allah”. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.” ( Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: GIP), hlm. 224.
Meletakkan Pancasila sebagai pedoman moral bangsa tersendiri juga memunculkan persoalan yang serius dalam kaitan dengan kedudukan agama sebagai pedoman amal dan moral bagi pemeluknya. Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”. Isinya, mengupas dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.
”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”
Pertanyaan ”bagaimana cara menggosok gigi menurut Pancasila ” sangat penting untuk direnungkan. Sebab, kita akhirnya kesulitan untuk merumuskan apa itu ”moral Pancasila”, siapa contoh teladan dalam pelaksanaan ”moral Pancasila”. Bagi seorang Muslim, moral atau karakter diatur oleh ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah saw adalah suri tauladan dalam pendidikan akhlak. Islam punya konsep dan contoh yang jelas dan sempurna dalam pendidikan adab dan akhlak.
Karena itu, dalam seminar Pancasila di Semarang itu, saya mengusulkan, agar pemerintah tidak perlu memaksakan pendidikan karakter Pancasila kepada umat Islam. Sebab, umat Islam sudah memiliki konsep pendidikan akhlak sendiri. Pemerintah cukup mendorong agar pemeluk agama, khususnya Islam, menerapkan pendidikan adab dan akhlak dengan sungguh-sungguh, sehingga mereka menjadi muslim yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, sebagaimana ditegaskan dalam tujuan pendidikan nasional (UU No 20/2003).
Kita berharap, ke depan tidak ada dikotomi lagi bagi seorang Muslim dalam menentukan standar amalnya. Orang yang baik menurut Islam, secara otomatis juga baik menurut Pancasila. JIka Pancasila terus dibenturkan dengan Islam, kita khawatir, lagi-lagi, sosialisasi Pancasila sebagai Pandangan hidup dan pedomana amal bagi umat Islam ini sebenarnya m
erupakan kampanye sekularisasi dan liberalisasi terselubung. Jika itu maksudnya, maka akan sulit berhasil. Kita sepatutnya bersedia belajar dari sejarah. Wallahu a’lam bish-shawab. Uraian lebih jauh tentang Pancasila silakan membaca buku saya: Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: GIP, 2010). (Jakarta, 27 februari 2015).