ISLAM DAN INFORMASI
Dr Adian Husaini
Peneliti INSISTS
Pesan ayat al-Quran itu begitu jelas: dalam menerima suatu informasi, kaum Muslim diperintahkan memperhatikan kredibilitas sumber berita. Waspadai jika berita itu bersumber dari orang fasik. Siapakah orang yang disebut sebagai fasik?
Kata “fasik” (fasiq), berasal dari kata dasar “al fisq“ yang artinya “keluar” (khuruj). Para ulama mendefinisikan fasik sebagai “orang yang durhaka kepada Allah SWT karena meninggalkan perintah-Nya atau melanggar ketentuan-Nya”. Orang fasik adalah orang yang melakukan dosa besar atau banyak/sering melakukan dosa kecil. Memang tidak begitu mudah menentukan batasan yang tegas apakah seorang masuk kategori fasik. Di dalam Al Quran kata fasik muncul dalam berbagai konteks. Terkadang kata fasik dihubungkan langsung dengan kekafiran dan kedurhakaan (QS 49:7) dan terkadang digandengkan dengan kebohongan dan percekcokan (QS 2:197).
Di lapangan hukum Islam, kata “fasik” diperhadapkan dengan kata “‘adil“. Menurut jumhur ulama, adil adalah sifat tambahan dan tidak identik dengan Islam itu sendiri. Maksudnya, orang yang tidak adil (fasik) tidak langsung dikeluarkan dari Islam. Kategori fasik bisa terjadi akibat dosa besar atau dosa kecil, tetapi kategori kafir hanya mungkin terjadi akibat dosa besar. Dengan demikian, dapat dikatakan, setiap kafir pasti fasik, tetapi belum tentu setiap fasik adalah juga kafir. Sebagian ulama madzhab Syafii menyatakan, bahwa seorang dapat dikatakan sebagai tidak fasik (adil) apabila kebaikan dia lebih banyak dari kejahahatannya dan tidak terbukti bahwa ia sering berdusta.
Menyimak uraian para ulama ter sebut, dapat diambil pemahaman, bahwa orang fasik terlarang memegang suatu jabatan atau amanah yang berhubungan dengan “kepercayaan”. Posisi media massa dan wartawan adalah sebagai ”pembawa amanah” untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Harusnya, posisi ini tidak ditempati oleh orang-orang yang fasik. Artinya, QS al-Hujurat ayat 6 tersebut seharusnya menyadarkan umat Islam untuk menyiapkan tenaga-tenaga wartawan dan institusi media Islam yang adil dan profesional.
Asbabun Nuzul ayat 6 surat Al Hujurat itu berkaitan dengan kisah seorang bernama al-Walid bin Uqbah. Ia diutus oleh Nabi Muhammad saw untuk menarik zakat dari Bani Musthaliq yang telah menyatakan masuk Islam. Al-Walid tidak berhasil menarik zakat dan pulang kembali ke Madinah dengan mambawa laporan kepada Nabi SAW bahwa Bani Mushthaliq telah murtad dari Islam.
Nabi pun bersiap-siap mengirimkan pasukan ke Bani Musthaliq. Tapi, se belum itu terjadi, datanglah utusan Bani Mushthaliq dan membantah berita al-Walid. Maka turunlah ayat itu. Bahkan ayat tersebut memberi julukan yang hina kepada Al Walid, yaitu si “fasik”, tegasnya seorang pembohong. Ibnu Zaid, Muqatil, dan Sahl bin Abdullah memberi arti orang fasik sebagai pembohong (kadzdzaab). Sedangkan Abul Hasan al Warraq memberi arti orang fasik sebagai orang yang tidak segan-segan menyatakan suatu perbuatan dosa. (Lihat, Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu’ XXVI, hal. 191-192).
Kisah itu mengisyaratkan betapa pentingnya kaum Muslim sangat berhati-hati dalam menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi. Silakan menerima informasi dari kaum fasik, tapi harus dilakukan tabayyun terlebih dahulu. Lakukan cek dan ricek. Jangan percaya begitu saja informasi dari kaum fasik, apalagi kaum kafir. Apalagi, tidak ada informasi yang bebas nilai dan bebas misi. Informasi dalam bentuk berita, analisis, atau apa pun, disebarkan melalui media massa melalui proses pemilihan, penyuntingan, dan lay-out serta sudut pandang yang sarat kepentingan dan muatan nilai penulis dan media massanya.
Bahkan, secara khusus, al-Quran mengingatkan bahwa musuh utama para Nabi –dan tentu juga para pengikut Nabi– adalah setan-setan jenis manusia dan setan-setan jenis jin yang senantiasa menyebarkan ”kata-kata indah” (zukhru falqaul), dengan tujuan untuk menipu manusia. (QS an-An’am: 112). Iblis pun menggoda Adam dan Hawa dengan kata-kata indah dan ungkapan yang menawan, bukan dengan ungkapan dan bentakan kasar, sehingga b
Dr Adian Husaini
Peneliti INSISTS
Pesan ayat al-Quran itu begitu jelas: dalam menerima suatu informasi, kaum Muslim diperintahkan memperhatikan kredibilitas sumber berita. Waspadai jika berita itu bersumber dari orang fasik. Siapakah orang yang disebut sebagai fasik?
Kata “fasik” (fasiq), berasal dari kata dasar “al fisq“ yang artinya “keluar” (khuruj). Para ulama mendefinisikan fasik sebagai “orang yang durhaka kepada Allah SWT karena meninggalkan perintah-Nya atau melanggar ketentuan-Nya”. Orang fasik adalah orang yang melakukan dosa besar atau banyak/sering melakukan dosa kecil. Memang tidak begitu mudah menentukan batasan yang tegas apakah seorang masuk kategori fasik. Di dalam Al Quran kata fasik muncul dalam berbagai konteks. Terkadang kata fasik dihubungkan langsung dengan kekafiran dan kedurhakaan (QS 49:7) dan terkadang digandengkan dengan kebohongan dan percekcokan (QS 2:197).
Di lapangan hukum Islam, kata “fasik” diperhadapkan dengan kata “‘adil“. Menurut jumhur ulama, adil adalah sifat tambahan dan tidak identik dengan Islam itu sendiri. Maksudnya, orang yang tidak adil (fasik) tidak langsung dikeluarkan dari Islam. Kategori fasik bisa terjadi akibat dosa besar atau dosa kecil, tetapi kategori kafir hanya mungkin terjadi akibat dosa besar. Dengan demikian, dapat dikatakan, setiap kafir pasti fasik, tetapi belum tentu setiap fasik adalah juga kafir. Sebagian ulama madzhab Syafii menyatakan, bahwa seorang dapat dikatakan sebagai tidak fasik (adil) apabila kebaikan dia lebih banyak dari kejahahatannya dan tidak terbukti bahwa ia sering berdusta.
Menyimak uraian para ulama ter sebut, dapat diambil pemahaman, bahwa orang fasik terlarang memegang suatu jabatan atau amanah yang berhubungan dengan “kepercayaan”. Posisi media massa dan wartawan adalah sebagai ”pembawa amanah” untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Harusnya, posisi ini tidak ditempati oleh orang-orang yang fasik. Artinya, QS al-Hujurat ayat 6 tersebut seharusnya menyadarkan umat Islam untuk menyiapkan tenaga-tenaga wartawan dan institusi media Islam yang adil dan profesional.
Asbabun Nuzul ayat 6 surat Al Hujurat itu berkaitan dengan kisah seorang bernama al-Walid bin Uqbah. Ia diutus oleh Nabi Muhammad saw untuk menarik zakat dari Bani Musthaliq yang telah menyatakan masuk Islam. Al-Walid tidak berhasil menarik zakat dan pulang kembali ke Madinah dengan mambawa laporan kepada Nabi SAW bahwa Bani Mushthaliq telah murtad dari Islam.
Nabi pun bersiap-siap mengirimkan pasukan ke Bani Musthaliq. Tapi, se belum itu terjadi, datanglah utusan Bani Mushthaliq dan membantah berita al-Walid. Maka turunlah ayat itu. Bahkan ayat tersebut memberi julukan yang hina kepada Al Walid, yaitu si “fasik”, tegasnya seorang pembohong. Ibnu Zaid, Muqatil, dan Sahl bin Abdullah memberi arti orang fasik sebagai pembohong (kadzdzaab). Sedangkan Abul Hasan al Warraq memberi arti orang fasik sebagai orang yang tidak segan-segan menyatakan suatu perbuatan dosa. (Lihat, Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu’ XXVI, hal. 191-192).
Kisah itu mengisyaratkan betapa pentingnya kaum Muslim sangat berhati-hati dalam menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi. Silakan menerima informasi dari kaum fasik, tapi harus dilakukan tabayyun terlebih dahulu. Lakukan cek dan ricek. Jangan percaya begitu saja informasi dari kaum fasik, apalagi kaum kafir. Apalagi, tidak ada informasi yang bebas nilai dan bebas misi. Informasi dalam bentuk berita, analisis, atau apa pun, disebarkan melalui media massa melalui proses pemilihan, penyuntingan, dan lay-out serta sudut pandang yang sarat kepentingan dan muatan nilai penulis dan media massanya.
Bahkan, secara khusus, al-Quran mengingatkan bahwa musuh utama para Nabi –dan tentu juga para pengikut Nabi– adalah setan-setan jenis manusia dan setan-setan jenis jin yang senantiasa menyebarkan ”kata-kata indah” (zukhru falqaul), dengan tujuan untuk menipu manusia. (QS an-An’am: 112). Iblis pun menggoda Adam dan Hawa dengan kata-kata indah dan ungkapan yang menawan, bukan dengan ungkapan dan bentakan kasar, sehingga b
erhasil membujuk Adam dan Hawa melanggar larangan Allah. Henry Martyn, tokoh misionaris terkenal dengan ungkapan nya, “Aku datang untuk menghadapi umat Islam, bukan dengan senjata tapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan fisik tapi dengan logika, dan bukan dalam kebencian tapi dalam kasih.”
Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk “me naklukkan” dunia Islam perlu resep lain: gunakan “kata, logika, dan kasih”. Bukan kekuatan senjata atau kekerasan. Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.”
Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah misionaris pertama dan mungkin terbesar yang menghadapi para pengikut Muhammad.
Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi resep untuk “menaklukkan” dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai “beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen”.
Jangan heran, jika kaum misionaris kemudian sangat serius dan professional dalam mengembangkan media informasi untuk mengarahkan pemikiran masyarakat. Tugas media adalah membentuk citra (image), yang seringkali berbeda dengan realitas sebenarnya. Media bisa mencitrakan seorang sebagai “orang baik” dan “orang jahat” yang sering berbeda dengan kenyataan sebenarnya.
Informasi memang hal teramat penting dalam kehidupan manusia. Dan Nabi Muhammad saw memerintahkan: Berjihadlah melawan orang-orang mu syrik dengan hartamu, jiwamu, dan lidahmu. Kini, apa yang sudah dilakukan oleh umat Islam dalam berjuang di bidang media informasi ini? Sudahkah kita semua bersungguh-sungguh berjuang di bidang informasi ini? Jujurlah kita, tanya di sini, di hati ini!
Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk “me naklukkan” dunia Islam perlu resep lain: gunakan “kata, logika, dan kasih”. Bukan kekuatan senjata atau kekerasan. Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.”
Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah misionaris pertama dan mungkin terbesar yang menghadapi para pengikut Muhammad.
Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi resep untuk “menaklukkan” dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai “beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen”.
Jangan heran, jika kaum misionaris kemudian sangat serius dan professional dalam mengembangkan media informasi untuk mengarahkan pemikiran masyarakat. Tugas media adalah membentuk citra (image), yang seringkali berbeda dengan realitas sebenarnya. Media bisa mencitrakan seorang sebagai “orang baik” dan “orang jahat” yang sering berbeda dengan kenyataan sebenarnya.
Informasi memang hal teramat penting dalam kehidupan manusia. Dan Nabi Muhammad saw memerintahkan: Berjihadlah melawan orang-orang mu syrik dengan hartamu, jiwamu, dan lidahmu. Kini, apa yang sudah dilakukan oleh umat Islam dalam berjuang di bidang media informasi ini? Sudahkah kita semua bersungguh-sungguh berjuang di bidang informasi ini? Jujurlah kita, tanya di sini, di hati ini!
RAMADHAN SALE. DISKON 10% UNTUK SEMUA JUDUL BUKU-BUKU TERBAIK KARYA BUYA HAMKA. PLUS FREE ONGKIR UNTUK PULAU JAWA UNTUK MINIMAL TRANSAKSI SEBESAR 500RB.
- 1001 Soal Kehidupan Rp. 115.000,-
- Pandangan Hidup Muslim Rp. 65.000,-
- Kesepaduan Ilmu dan Amal Saleh Rp. 50.000,-
- Dari Hati ke Hati Rp. 65.000,-
- Dari Lembah Cita-Citan Rp. 43.000,-
- Tafsir Al Azhar Juz Amma Rp. 130.000,-
- Bohong Di Dunia Rp. 43.000,-
- Ghirah: Cemburu Karena Allah 38.000,-
- Sejarah Umat Islam Rp. 230.000,-
- Angkatan Baru Rp. 37.000,-
- Buya Hamka Berbicara Perempuan Rp. 45.000,-
- Pribadi Hebat Rp. 45.000,-
- Keadilan Sosial dalam Islam Rp. 50.000,-
Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp ke 087878147997.
Syukran...👇
- 1001 Soal Kehidupan Rp. 115.000,-
- Pandangan Hidup Muslim Rp. 65.000,-
- Kesepaduan Ilmu dan Amal Saleh Rp. 50.000,-
- Dari Hati ke Hati Rp. 65.000,-
- Dari Lembah Cita-Citan Rp. 43.000,-
- Tafsir Al Azhar Juz Amma Rp. 130.000,-
- Bohong Di Dunia Rp. 43.000,-
- Ghirah: Cemburu Karena Allah 38.000,-
- Sejarah Umat Islam Rp. 230.000,-
- Angkatan Baru Rp. 37.000,-
- Buya Hamka Berbicara Perempuan Rp. 45.000,-
- Pribadi Hebat Rp. 45.000,-
- Keadilan Sosial dalam Islam Rp. 50.000,-
Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp ke 087878147997.
Syukran...👇
KHASANAH ISLAM DI NUSANTARA
Oleh: Dr Adian Husaini
Hari Kamis (27/8/2015) lalu, sebuah masjid di kawasan perkantoran Jalan Gatot Subroto Jakarta meminta saya mengisi kajian dhuhur dengan tema mengkaji isu “Fikih Kebinekaan dan Islam Nusantara”. Tidak dinafikan, dua isu tersebut menyita perhatian banyak kalangan muslim sejak awal Agustus lalu, sejalan dengan digelarnya Muktamar NU dan Muhammadiyah, Agustus 2015. Bahkan, kedua isu itu sudah menjadi bahan diskusi yang hangat dan panas di berbagai media massa.
Setelah membaca sejumlah artikel dan buku yang mempromosikan gagasan “Islam Nusantara” saya memahami bahwa ada sejumlah maksud dan gagasan yang baik untuk menjaga keberlangsungan dakwah dan mengembangkan eksistensi Islam di bumi Nusantara. Itu terlepas dari penggunaan istilah yang kontroversial. Saya menyarankan, istilah “Islam Nusantara” diganti dengan “Islam di Nusantara” atau “Budaya/Peradaban Islam Nusantara”.
Sebab, “Islam” dalam makna khusus (istilahan) adalah nama satu agama tertentu. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), menjelaskan, bahwa dalam soal makna Islam, hanya ada satu agama wahyu yang otentik, dan namanya sudah diberikan oleh Allah, yaitu Islam. Kata al-Attas: “Islam, then, is not merely a verbal noun signifying ‘submission’; it is also the name of particular religion descriptive of true submission, as well as the definition of religion: submission to God.
Karena langsung diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, maka nama “Islam” tidak bisa diganti-ganti dengan nama lain, seperti Mohamedanism, Arabism, Hagarism, dan sebagainya, sebagaimana yang telah diupayakan oleh para orientalis selama ratusan tahun. Itulah kenapa nama Islam berbeda dengan nama-nama adama lain, seperti Judaism, Catholicism, Hinduism, Buddhism, Protestantism, Confucianism, Jainism, Shintoism, dan sebagainya.
Sesuai dengan sifat ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang lintas zaman dan lintas budaya, sampai Hari Kiamat, maka aqidah dan ritual dalam Islam pun tidak tunduk oleh budaya, meskipun kaum Muslim ada yang berusaha melakukan proses Islamisasi budaya. Itu bisa dibuktikan hingga kini. Di mana saja, umat Islam bisa shalat dengan cara yang sama. Umat Islam bisa shalat di masjid mana saja. Mereka bisa saling makmum, satu dengan lainnya. Kecuali, tentu saja, masjid pengikut aliran sesat yang menganggap kaum Muslim di luar kelompoknya merupakan kaum sesat.
Bukan nama SOTO
Karena merupakan “genuine revealed religion”, maka selama ini para cendekiawan Muslim sedunia, pada umumnya, tidak menggunakan istilah “Islam Indonesia”, “Islam Amerika”, “Islam China”, “Islam Timor Leste”, “Islam Kutub Utara” dan sebagainya. Sebab, kaum Muslim memang merupakan umat dengan satu al-Quran, satu kiblat, dan satu panutan (uswah hasanah). Kaum Muslim di mana pun menyelenggarakan jenazah dengan cara yang sama; baik di daerah yang harga tanahnya murah atau yang teramat mahal. Muslim AS tidak mengkafani jenazah muslim dengan bendera AS, dan menyanyikan lagu kebangsaan negaranya saat menurunkan jezanah ke liang lahat. Hingga kini, belum ditemukan, kaum Muslim jualan kain kafan bercorak batik Pekalongan.
Jadi, karena Islam merupakan nama agama yang langsung diberikan oleh Allah, menurut hemat saya, sebaiknya kita berhati-hati dalam memberikan istilah. Itu sekedar pikiran dan saran. Toh, selama ini, sudah ratusan tahun, kita terbiasa menggunakan istilah “Islam” untuk menyebut nama agama kita. Tidak perlu nantinya berbagai daerah di Nusantara ini tergerak hatinya menggunakan istilah Islam yang beraneka ragam, seperti “Islam Betawi”, “Islam Lamongan”, “Islam Madura”, “Islam Makassar”, “Islam Medan”, dan sebagainya, seperti nama-nama SOTO yang terkenal di Nusantara. Nama Islam tidak bisa disamakan kedudukannya dengan nama-nama SOTO di Nusantara, yang terus berkembang aneka jenisnya.
Jadi, sekali lagi, “Islam” dalam makna khusus (bukan makna bahasa/lughatan), adalah nama satu agama. Dan nama itu tidak dibuat oleh manusia, tetapi sudah diwahyukan (revealed). K
Oleh: Dr Adian Husaini
Hari Kamis (27/8/2015) lalu, sebuah masjid di kawasan perkantoran Jalan Gatot Subroto Jakarta meminta saya mengisi kajian dhuhur dengan tema mengkaji isu “Fikih Kebinekaan dan Islam Nusantara”. Tidak dinafikan, dua isu tersebut menyita perhatian banyak kalangan muslim sejak awal Agustus lalu, sejalan dengan digelarnya Muktamar NU dan Muhammadiyah, Agustus 2015. Bahkan, kedua isu itu sudah menjadi bahan diskusi yang hangat dan panas di berbagai media massa.
Setelah membaca sejumlah artikel dan buku yang mempromosikan gagasan “Islam Nusantara” saya memahami bahwa ada sejumlah maksud dan gagasan yang baik untuk menjaga keberlangsungan dakwah dan mengembangkan eksistensi Islam di bumi Nusantara. Itu terlepas dari penggunaan istilah yang kontroversial. Saya menyarankan, istilah “Islam Nusantara” diganti dengan “Islam di Nusantara” atau “Budaya/Peradaban Islam Nusantara”.
Sebab, “Islam” dalam makna khusus (istilahan) adalah nama satu agama tertentu. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), menjelaskan, bahwa dalam soal makna Islam, hanya ada satu agama wahyu yang otentik, dan namanya sudah diberikan oleh Allah, yaitu Islam. Kata al-Attas: “Islam, then, is not merely a verbal noun signifying ‘submission’; it is also the name of particular religion descriptive of true submission, as well as the definition of religion: submission to God.
Karena langsung diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, maka nama “Islam” tidak bisa diganti-ganti dengan nama lain, seperti Mohamedanism, Arabism, Hagarism, dan sebagainya, sebagaimana yang telah diupayakan oleh para orientalis selama ratusan tahun. Itulah kenapa nama Islam berbeda dengan nama-nama adama lain, seperti Judaism, Catholicism, Hinduism, Buddhism, Protestantism, Confucianism, Jainism, Shintoism, dan sebagainya.
Sesuai dengan sifat ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang lintas zaman dan lintas budaya, sampai Hari Kiamat, maka aqidah dan ritual dalam Islam pun tidak tunduk oleh budaya, meskipun kaum Muslim ada yang berusaha melakukan proses Islamisasi budaya. Itu bisa dibuktikan hingga kini. Di mana saja, umat Islam bisa shalat dengan cara yang sama. Umat Islam bisa shalat di masjid mana saja. Mereka bisa saling makmum, satu dengan lainnya. Kecuali, tentu saja, masjid pengikut aliran sesat yang menganggap kaum Muslim di luar kelompoknya merupakan kaum sesat.
Bukan nama SOTO
Karena merupakan “genuine revealed religion”, maka selama ini para cendekiawan Muslim sedunia, pada umumnya, tidak menggunakan istilah “Islam Indonesia”, “Islam Amerika”, “Islam China”, “Islam Timor Leste”, “Islam Kutub Utara” dan sebagainya. Sebab, kaum Muslim memang merupakan umat dengan satu al-Quran, satu kiblat, dan satu panutan (uswah hasanah). Kaum Muslim di mana pun menyelenggarakan jenazah dengan cara yang sama; baik di daerah yang harga tanahnya murah atau yang teramat mahal. Muslim AS tidak mengkafani jenazah muslim dengan bendera AS, dan menyanyikan lagu kebangsaan negaranya saat menurunkan jezanah ke liang lahat. Hingga kini, belum ditemukan, kaum Muslim jualan kain kafan bercorak batik Pekalongan.
Jadi, karena Islam merupakan nama agama yang langsung diberikan oleh Allah, menurut hemat saya, sebaiknya kita berhati-hati dalam memberikan istilah. Itu sekedar pikiran dan saran. Toh, selama ini, sudah ratusan tahun, kita terbiasa menggunakan istilah “Islam” untuk menyebut nama agama kita. Tidak perlu nantinya berbagai daerah di Nusantara ini tergerak hatinya menggunakan istilah Islam yang beraneka ragam, seperti “Islam Betawi”, “Islam Lamongan”, “Islam Madura”, “Islam Makassar”, “Islam Medan”, dan sebagainya, seperti nama-nama SOTO yang terkenal di Nusantara. Nama Islam tidak bisa disamakan kedudukannya dengan nama-nama SOTO di Nusantara, yang terus berkembang aneka jenisnya.
Jadi, sekali lagi, “Islam” dalam makna khusus (bukan makna bahasa/lughatan), adalah nama satu agama. Dan nama itu tidak dibuat oleh manusia, tetapi sudah diwahyukan (revealed). K
arena merupakan “nama agama”, maka sangatlah riskan jika nama itu diubah-ubah atau ditambah-tambah. Makna “Islam”, secara istilahan, juga disebutkan oleh Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba’in al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: “Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah — jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim).
Jika mengacu pada kisah sukses dakwah Islam Wali Songo, maka para Wali Songo itu pun tidak menggunakan istilah “Islam Jawa” atau “Islam Nusantara” agar Islam diterima oleh masyarakat luas. Sebab, para Wali itu mengembangkan Islam, bukan Islam Arab, Islam India, Islam Turki, atau Islam Persia. Para Wali itu tidak menolak budaya lokal begitu saja, tetapi kadangkala mengubah budaya itu agar sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti budaya selametan, dan sejenisnya. Masjid Menara Kudus yang arsitekturnya mirip dengan pura Hindu masih bisa kita saksikan saat ini. Sunan Kudus pun meminta umat Islam tidak menyembelih sapi untuk qurban, diganti kerbau. Hingga kini, tradisi itu masih dipegang oleh sebagian umat Islam.
Kisah suksesnya dakwah para Wali Songo bukan dilakukan dengan berwacana tentang “Islam Nusantara” atau “Islam Arab”, tetapi dilakukan dengan strategi dan rencana yang matang, kesungguhan, keikhlasan, dan keteladanan akhlak mulia. Maka, terlepas dari “pro-kontra istilah Islam Nusantara”, ada satu tugas besar dari para cendekiawan Muslim Nusantara untuk menggali dan mengaktualkan kembali khazanah Islam di Nusantara.” Tujuannya agar Islam tidak diposisikan sebagai “barang asing” di Indonesia, sehingga masyarakat Nusantara dihasut untuk menjauhi Islam, karena dianggap budaya asing yang tidak cocok dengan budaya Nusantara.
Khazanah Nusantara
Saya sempat mengambil mata kuliah “Reading in Malay Metaphysical Literature” di ISTAC, tahun 2004. Ketika itu profesornya meminta mahasiswa membaca Kitab Hujjah al-Shadiq li-Daf’i al-Zindiq, karya Syekh Nuruddin al-Raniri, yang ditulis dalam bahasa Melayu tulisan Arab Melayu/Jawi. Ada juga mahasiswa dari Turki yang mengambil mata kuliah itu. Ketika itulah saya merasa bersyukur, bahwa sejak kecil sudah terbiasa dengan tradisi membaca Arab Melayu (Pegon), baik di Madrasah Diniyah maupun di Pesantren Salafiyyah.
Beberapa tahun kemudian, saya semakin banyak berinteraksi dengan pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang sejarah dan peradaban Islam Melayu-Nusantara ini. Buku klasik Prof. al-Attas adalah Islam dalam Sejarah Kebudayaan Budaya Melayu yang sudah diterbitkan di Indonesia tahun awal 1990-an.
Puncaknya, tahun 2013, Prof. al-Attas menerbitkan beliau Historical Fact and Fiction,yang memberikan perspektif dan fakta yang kuat tentang sejarah keagungan peradaban Melayu Islam itu. Perspektif (worldview) inilah yang sangat menentukan produk kajian tentang khazanah Islam di Nusantara. Jika menggunakan perspektif orientalis yang mengecilkan peranan Islam dalam sejarah Nusantara, maka akan lahirlah ilmuwan-ilmuwan yang justru tidak bangga dengan keagungan sejarah Islam Melayu itu sendiri.
Sebutlah contoh pemikiran Nuruddin al-Raniri (w. 1658) dalam kitabnya, Durrul Fara’id fi-Bahtsil Aqa’id, yang sangat mengkritisi pemikiran sofisme (sufasthaiyyah). Berdasarkan naskah yang dilatinkan oleh Prof. Wan Mohd Nor dan Dr. Khalif Muammar, Syekh Nuruddin al-Raniri menulis:
“Kata segala orang yang beriktikad sebenarnya: hakikat segala sesuatu itu teguh jua, ertinya kebenaran segala sesuatu itu tetap dan teguh jua adanya,dan pada pengetahuan akan dia sebenarnya, ertinya kita iktikadkan bahawa segala yang dilihat seperti langit dan bumi dan barang yang dalam keduanya itu iaitu jua pada penglihatan dan pada pengetahuan demikianlah sama jua pada iktikad…. Adapun pada i‘tiqad Sufasta’iyyah bersalahan dengan demikian itu, tetapi kata mereka itu cita–cita dan wahm dan khayal sia-sia jua. Dan lagi pula katanya se
Jika mengacu pada kisah sukses dakwah Islam Wali Songo, maka para Wali Songo itu pun tidak menggunakan istilah “Islam Jawa” atau “Islam Nusantara” agar Islam diterima oleh masyarakat luas. Sebab, para Wali itu mengembangkan Islam, bukan Islam Arab, Islam India, Islam Turki, atau Islam Persia. Para Wali itu tidak menolak budaya lokal begitu saja, tetapi kadangkala mengubah budaya itu agar sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti budaya selametan, dan sejenisnya. Masjid Menara Kudus yang arsitekturnya mirip dengan pura Hindu masih bisa kita saksikan saat ini. Sunan Kudus pun meminta umat Islam tidak menyembelih sapi untuk qurban, diganti kerbau. Hingga kini, tradisi itu masih dipegang oleh sebagian umat Islam.
Kisah suksesnya dakwah para Wali Songo bukan dilakukan dengan berwacana tentang “Islam Nusantara” atau “Islam Arab”, tetapi dilakukan dengan strategi dan rencana yang matang, kesungguhan, keikhlasan, dan keteladanan akhlak mulia. Maka, terlepas dari “pro-kontra istilah Islam Nusantara”, ada satu tugas besar dari para cendekiawan Muslim Nusantara untuk menggali dan mengaktualkan kembali khazanah Islam di Nusantara.” Tujuannya agar Islam tidak diposisikan sebagai “barang asing” di Indonesia, sehingga masyarakat Nusantara dihasut untuk menjauhi Islam, karena dianggap budaya asing yang tidak cocok dengan budaya Nusantara.
Khazanah Nusantara
Saya sempat mengambil mata kuliah “Reading in Malay Metaphysical Literature” di ISTAC, tahun 2004. Ketika itu profesornya meminta mahasiswa membaca Kitab Hujjah al-Shadiq li-Daf’i al-Zindiq, karya Syekh Nuruddin al-Raniri, yang ditulis dalam bahasa Melayu tulisan Arab Melayu/Jawi. Ada juga mahasiswa dari Turki yang mengambil mata kuliah itu. Ketika itulah saya merasa bersyukur, bahwa sejak kecil sudah terbiasa dengan tradisi membaca Arab Melayu (Pegon), baik di Madrasah Diniyah maupun di Pesantren Salafiyyah.
Beberapa tahun kemudian, saya semakin banyak berinteraksi dengan pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang sejarah dan peradaban Islam Melayu-Nusantara ini. Buku klasik Prof. al-Attas adalah Islam dalam Sejarah Kebudayaan Budaya Melayu yang sudah diterbitkan di Indonesia tahun awal 1990-an.
Puncaknya, tahun 2013, Prof. al-Attas menerbitkan beliau Historical Fact and Fiction,yang memberikan perspektif dan fakta yang kuat tentang sejarah keagungan peradaban Melayu Islam itu. Perspektif (worldview) inilah yang sangat menentukan produk kajian tentang khazanah Islam di Nusantara. Jika menggunakan perspektif orientalis yang mengecilkan peranan Islam dalam sejarah Nusantara, maka akan lahirlah ilmuwan-ilmuwan yang justru tidak bangga dengan keagungan sejarah Islam Melayu itu sendiri.
Sebutlah contoh pemikiran Nuruddin al-Raniri (w. 1658) dalam kitabnya, Durrul Fara’id fi-Bahtsil Aqa’id, yang sangat mengkritisi pemikiran sofisme (sufasthaiyyah). Berdasarkan naskah yang dilatinkan oleh Prof. Wan Mohd Nor dan Dr. Khalif Muammar, Syekh Nuruddin al-Raniri menulis:
“Kata segala orang yang beriktikad sebenarnya: hakikat segala sesuatu itu teguh jua, ertinya kebenaran segala sesuatu itu tetap dan teguh jua adanya,dan pada pengetahuan akan dia sebenarnya, ertinya kita iktikadkan bahawa segala yang dilihat seperti langit dan bumi dan barang yang dalam keduanya itu iaitu jua pada penglihatan dan pada pengetahuan demikianlah sama jua pada iktikad…. Adapun pada i‘tiqad Sufasta’iyyah bersalahan dengan demikian itu, tetapi kata mereka itu cita–cita dan wahm dan khayal sia-sia jua. Dan lagi pula katanya se
gala suatu itu mengikut pada i‘tiqad jika di i‘tiqadkan pada suatu itu kekal maka iaitu kekal jua dan jika di i‘tiqadkan baharu maka baharu jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu dalam syak jua dan yang syak itu tiada berputusan ertinya segala suatu itu bukannya iaitu. Demikianlah i‘tiqad Sufasta’iyyah yang amat sesat itu”.
Begitu tinggi pemikiran Nuruddin al-Raniri tentang aqidah dan pemikiran Islam. Di abad ke-17 sudah lahir pemikir di Nusantara yang mengkritisi paham sofisme, satu filsafat pre-Socratic yang disebut Prof. Wan Mohd Nor sebagai “golongan anti-ilmu”. Jika sekarang banyak yang mengaku mencintai khazanah Islam di Nusantara, tetapi justru mengembangkan pemikiran sofisme yang juga merupakan gagasan relativisme kebenaran dan nilai-nilai akhlak, maka jelas itu salah ajar dan salah pikir.
Misalnya, gagasan bahwa “semua tafsir al-Quran itu bersifat relatif” karena merupakan produk akal manusia. Padahal, ada produk akal yang tidak relatif. Penafsiran ayat-ayat al-Quran yang bersifat qath’iy (tsubut dan dalalahnya), tidak bersifat relatif. Kata ‘khinzir’misalnya, pasti ditafsirkan ‘babi’. Jika ada yang menafsirkan ‘khinzir’ dengan ‘jengkol’, pasti salah secara mutlak! Para penggagas ide ‘Islam Nusantara’ pasti manusia yang berakal. Itu pasti. Mutlak pula kebenarannya. Jika ada manusia yang mengatakan, para penggagas ‘Islam Nusantara’ adalah manusia-manusia tidak berakal, pasti salah secara mutlak!
Juga, adalah hal yang aneh, jika kajian tentang khazanah Islam di Nusantara berujung kepada kebencian pada penerapan syariat Islam. Padahal, siapa yang menolak syariat Islam, maka tidak ada iman dalam dirinya. KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, menulis: ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.”
Karena itu, kita berharap pengembangan gagasan “Islam Nusantara” tidak menjadi kontra-produktif, yakni menjadikan banyak kaum Muslim menjadi tidak tertarik untuk mengkaji khazanah Islam di Nusantara, karena sudah curiga dengan istilah “Islam Nusantara” yang memang sebagian dipromosikan oleh kaum liberal dan kaum Syiah di Indonesia. Saya pun berharap, campur tangan birokrasi dalam pengembangan penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara ini dilakukan dengan keikhlasan, bukan karena memanfaatkan uang rakyat untuk memperkosa teks-teks khazanah Islam Nusantara, disesuaikan dengan hawa nafsu liberalisme.
Yang penting, kajian atau penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara itu dilakukan dengan niat ikhlas dan kejujuran untuk memajukan dakwah Islam di Nusantara. Jika tidak disertai niat ikhlas, khawatir uang yang diambil dari hak rakyat itu tidak akan menjadi berkah; bahkan bisa menjadi musibah; menimbulkan permusuhan antar-sesama, menyuburkan sifat serakah harta dan jabatan, dan menjauhkan diri dan keluarga dari kedamaian dan kebahagiaan. Kata Imam al-Ghazali, hubbud dunya ra’su kulli khathi’atin(cinta dunia itu pangkal segala kerusakan).
Prof. Azyumardi Azra menulis bahwa, “Ortodoksi Islam Nusantara” sederhananya memiliki tiga unsur utama. Pertama, kalam (teologi) Asy’ariyah; kedua, fikih Syafii meski menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali. (Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih sampai Konsep Historis, 2015, hlm. 172).
Benarkah “Islam Nusantara” yang selama ini dan akan dikembangkan, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam, adalah bersumber pada ajaran Asy’ariyah, Fiqih Syafii dan Tasawwuf Imam al-Ghazali, seperti ditulis oleh Prof. Azyumardi Azra?
Sejarah membuktikan, bahwa selama ini, UIN/IAIN sangat mengagungkan pemikiran Prof. Harun Nasution, yang berusaha menggusur kalam Asy’ari. Dalam pengantarnya untuk buku Studi Islam: Dinamika Baru, Prof. Virginia Hooker dari Australian National University mencatat: “Almarhum Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998) saat ini diakui dan dihormati sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di bidang penelitian Islam di Indonesia. Beliau diberi kredit sebagai sarjana yang ‘memperkenal
Begitu tinggi pemikiran Nuruddin al-Raniri tentang aqidah dan pemikiran Islam. Di abad ke-17 sudah lahir pemikir di Nusantara yang mengkritisi paham sofisme, satu filsafat pre-Socratic yang disebut Prof. Wan Mohd Nor sebagai “golongan anti-ilmu”. Jika sekarang banyak yang mengaku mencintai khazanah Islam di Nusantara, tetapi justru mengembangkan pemikiran sofisme yang juga merupakan gagasan relativisme kebenaran dan nilai-nilai akhlak, maka jelas itu salah ajar dan salah pikir.
Misalnya, gagasan bahwa “semua tafsir al-Quran itu bersifat relatif” karena merupakan produk akal manusia. Padahal, ada produk akal yang tidak relatif. Penafsiran ayat-ayat al-Quran yang bersifat qath’iy (tsubut dan dalalahnya), tidak bersifat relatif. Kata ‘khinzir’misalnya, pasti ditafsirkan ‘babi’. Jika ada yang menafsirkan ‘khinzir’ dengan ‘jengkol’, pasti salah secara mutlak! Para penggagas ide ‘Islam Nusantara’ pasti manusia yang berakal. Itu pasti. Mutlak pula kebenarannya. Jika ada manusia yang mengatakan, para penggagas ‘Islam Nusantara’ adalah manusia-manusia tidak berakal, pasti salah secara mutlak!
Juga, adalah hal yang aneh, jika kajian tentang khazanah Islam di Nusantara berujung kepada kebencian pada penerapan syariat Islam. Padahal, siapa yang menolak syariat Islam, maka tidak ada iman dalam dirinya. KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, menulis: ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.”
Karena itu, kita berharap pengembangan gagasan “Islam Nusantara” tidak menjadi kontra-produktif, yakni menjadikan banyak kaum Muslim menjadi tidak tertarik untuk mengkaji khazanah Islam di Nusantara, karena sudah curiga dengan istilah “Islam Nusantara” yang memang sebagian dipromosikan oleh kaum liberal dan kaum Syiah di Indonesia. Saya pun berharap, campur tangan birokrasi dalam pengembangan penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara ini dilakukan dengan keikhlasan, bukan karena memanfaatkan uang rakyat untuk memperkosa teks-teks khazanah Islam Nusantara, disesuaikan dengan hawa nafsu liberalisme.
Yang penting, kajian atau penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara itu dilakukan dengan niat ikhlas dan kejujuran untuk memajukan dakwah Islam di Nusantara. Jika tidak disertai niat ikhlas, khawatir uang yang diambil dari hak rakyat itu tidak akan menjadi berkah; bahkan bisa menjadi musibah; menimbulkan permusuhan antar-sesama, menyuburkan sifat serakah harta dan jabatan, dan menjauhkan diri dan keluarga dari kedamaian dan kebahagiaan. Kata Imam al-Ghazali, hubbud dunya ra’su kulli khathi’atin(cinta dunia itu pangkal segala kerusakan).
Prof. Azyumardi Azra menulis bahwa, “Ortodoksi Islam Nusantara” sederhananya memiliki tiga unsur utama. Pertama, kalam (teologi) Asy’ariyah; kedua, fikih Syafii meski menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali. (Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih sampai Konsep Historis, 2015, hlm. 172).
Benarkah “Islam Nusantara” yang selama ini dan akan dikembangkan, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam, adalah bersumber pada ajaran Asy’ariyah, Fiqih Syafii dan Tasawwuf Imam al-Ghazali, seperti ditulis oleh Prof. Azyumardi Azra?
Sejarah membuktikan, bahwa selama ini, UIN/IAIN sangat mengagungkan pemikiran Prof. Harun Nasution, yang berusaha menggusur kalam Asy’ari. Dalam pengantarnya untuk buku Studi Islam: Dinamika Baru, Prof. Virginia Hooker dari Australian National University mencatat: “Almarhum Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998) saat ini diakui dan dihormati sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di bidang penelitian Islam di Indonesia. Beliau diberi kredit sebagai sarjana yang ‘memperkenal
kan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal’. Pemikiran Nasution tentang Islam sebagai agama yang dinamik dikandung dalam buku yang bersangkutan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977). Buku ini merintis jalan untuk penelitian Islam secara ‘akademik’ lewat metode yang dipakai oleh penelitian ilmu sosial pada umumnya.”
Padahal, dalam buku “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution” (Jakarta : LSAF, 1989), disebutkan, ungkapan Harun Nasution: ”Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asy’ariyah mesti diganti dengan pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi tradisional Asy’ariyah harus diganti…”.
Jika mengikuti tradisi Kalam Asy’ari, Fiqih Syafii dan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak akan lahir pemikiran-pemikiran yang mempromosikan paham syirik Pluralisme Agama dan menolak syariat Islam. Jika mengamalkan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak ada rebutan jabatan rektor dan dekan di kampus-kampus Islam. Sebab, jabatan itu amanah yang berat, dunia-akhirat.
Karena itu, apa pun kondisinya, kita berharap, ada pengembangan keilmuan Islam yang serius di kampus-kampus Islam, untuk membangun tradisi ilmu yang sehat, yang mendorong para dosen dan mahasiswa semakin dekat dan semakin beradab kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 1 September 2015).*
-------
Untuk versi pdf silahkan download via link berikut:
https://www.dropbox.com/s/v3pu5i23i7fie2n/KHASANAH%20ISLAM%20DI%20NUSANTARA.pdf?dl=0
Padahal, dalam buku “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution” (Jakarta : LSAF, 1989), disebutkan, ungkapan Harun Nasution: ”Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asy’ariyah mesti diganti dengan pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi tradisional Asy’ariyah harus diganti…”.
Jika mengikuti tradisi Kalam Asy’ari, Fiqih Syafii dan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak akan lahir pemikiran-pemikiran yang mempromosikan paham syirik Pluralisme Agama dan menolak syariat Islam. Jika mengamalkan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak ada rebutan jabatan rektor dan dekan di kampus-kampus Islam. Sebab, jabatan itu amanah yang berat, dunia-akhirat.
Karena itu, apa pun kondisinya, kita berharap, ada pengembangan keilmuan Islam yang serius di kampus-kampus Islam, untuk membangun tradisi ilmu yang sehat, yang mendorong para dosen dan mahasiswa semakin dekat dan semakin beradab kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 1 September 2015).*
-------
Untuk versi pdf silahkan download via link berikut:
https://www.dropbox.com/s/v3pu5i23i7fie2n/KHASANAH%20ISLAM%20DI%20NUSANTARA.pdf?dl=0
Dropbox
KHASANAH ISLAM DI NUSANTARA.pdf
Shared with Dropbox
PROMO RAMADHAN!
TAFSIR AL AZHAR
Karya Fenomenal Prof. Dr. Hamka.
DISKON Rp. 500.000,-
UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 1.975.000,- dari harga normal Rp. 2.475.000,-
Dan
GRATIS ONGKOS KIRIM PULAU JAWA
Sinopsis:
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliu di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab. Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
Tafsir Al-Azhar
Penulis: Buya Hamka
1 set (berisi 9 jilid).
DISKON Rp. 500.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 1.975.000,- dari harga normal Rp. 2.475.000,-
Dan
GRATIS ONGKOS KIRIM PULAU JAWA
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp 087878147997.
-Admin-
TAFSIR AL AZHAR
Karya Fenomenal Prof. Dr. Hamka.
DISKON Rp. 500.000,-
UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 1.975.000,- dari harga normal Rp. 2.475.000,-
Dan
GRATIS ONGKOS KIRIM PULAU JAWA
Sinopsis:
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliu di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab. Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
Tafsir Al-Azhar
Penulis: Buya Hamka
1 set (berisi 9 jilid).
DISKON Rp. 500.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 1.975.000,- dari harga normal Rp. 2.475.000,-
Dan
GRATIS ONGKOS KIRIM PULAU JAWA
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp 087878147997.
-Admin-
TAFSIR FI ZHILALIL-QUR'AN
Penulis: Sayyid Quthb
1 set (12 jilid).
Harga Rp. 1.440.000,-
Diskon 15% jadi Rp. 1.224.000,-
Gratis ongkos kirim untuk Pulau Jawa
----------------------------------------------
Sinopsis:
Tiada yang lebih berharga dan berarti dalam hidup seorang hamba selain berinteraksi dengan Al-Qur'anul Karim. Al-Qur'an merupakan petunjuk hidup bagi manusia dalam mengarungi samudera kehidupan. Lalu, apakah ada aktivitas kehidupan manusia yang lebih berharga selain berinteraksi dengan Al-Khaliq yang menurunkannya? Kenikmatan apakah yang dapat menandingi nikmatnya berdialog dan bermunajat dengan Yang Menciptakan kita?
TAFSIR FI ZHILALIL-QUR'AN (Di Bawah Naungan Al-Qur'an) lahir dari perenungan penulisnya yang sangat mendalam dan interaksi yang begitu menyatu dengan Al-Qur'an. Ia merupakan buah dari tarbiyah Rabbani yang dikaruniakan kepada seorang hamba yang telah menjual dirinya dengan syahid di jalan-Nya di atas tiang gantungan. Ia lahir dari seorang mujahid agung yang mengungkapkan pemikiran-pemikirannya dalam gaya bahasa sastra yang tinggi.
Berkat semua itu, jadilah Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an: Di Bawah naungan Al-Qur'an sebagai sebuah buku tafsir yang berbeda dari buku-buku tafsir lainnya dengan kandungan hujjah dan jiwa perjuangan yang kuat.
Sesuai dengan judulnya, dalam buku ini kita akan menemukan nuansa Qur'ani yang begitu kental, seakan-akan kita berbicara langsung dengan Yang Menurunkannya, Allah Azza wa Jalla.
Suatu anugerah yang besar jika kita juga dapat merasakan nikmatnya hidup di bawah naungan Al-Qur'an sebagaimana yang telah dirasakan oleh asy-Syahid Sayyid Quthb rahimahullah.
TAFSIR FI ZHILALIL-QUR'AN
Penulis: Sayyid Quthb
1 set (12 jilid).
Harga Rp. 1.440.000,-
Diskon 15% jadi Rp. 1.224.000,-
Gratis ongkos kirim untuk Pulau Jawa
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Sayyid Quthb
1 set (12 jilid).
Harga Rp. 1.440.000,-
Diskon 15% jadi Rp. 1.224.000,-
Gratis ongkos kirim untuk Pulau Jawa
----------------------------------------------
Sinopsis:
Tiada yang lebih berharga dan berarti dalam hidup seorang hamba selain berinteraksi dengan Al-Qur'anul Karim. Al-Qur'an merupakan petunjuk hidup bagi manusia dalam mengarungi samudera kehidupan. Lalu, apakah ada aktivitas kehidupan manusia yang lebih berharga selain berinteraksi dengan Al-Khaliq yang menurunkannya? Kenikmatan apakah yang dapat menandingi nikmatnya berdialog dan bermunajat dengan Yang Menciptakan kita?
TAFSIR FI ZHILALIL-QUR'AN (Di Bawah Naungan Al-Qur'an) lahir dari perenungan penulisnya yang sangat mendalam dan interaksi yang begitu menyatu dengan Al-Qur'an. Ia merupakan buah dari tarbiyah Rabbani yang dikaruniakan kepada seorang hamba yang telah menjual dirinya dengan syahid di jalan-Nya di atas tiang gantungan. Ia lahir dari seorang mujahid agung yang mengungkapkan pemikiran-pemikirannya dalam gaya bahasa sastra yang tinggi.
Berkat semua itu, jadilah Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an: Di Bawah naungan Al-Qur'an sebagai sebuah buku tafsir yang berbeda dari buku-buku tafsir lainnya dengan kandungan hujjah dan jiwa perjuangan yang kuat.
Sesuai dengan judulnya, dalam buku ini kita akan menemukan nuansa Qur'ani yang begitu kental, seakan-akan kita berbicara langsung dengan Yang Menurunkannya, Allah Azza wa Jalla.
Suatu anugerah yang besar jika kita juga dapat merasakan nikmatnya hidup di bawah naungan Al-Qur'an sebagaimana yang telah dirasakan oleh asy-Syahid Sayyid Quthb rahimahullah.
TAFSIR FI ZHILALIL-QUR'AN
Penulis: Sayyid Quthb
1 set (12 jilid).
Harga Rp. 1.440.000,-
Diskon 15% jadi Rp. 1.224.000,-
Gratis ongkos kirim untuk Pulau Jawa
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Ideologi dan Teologi Liberal
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Kata-kata liberal diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berpikir (The old Liberalism). Dari makna kebebasan berpikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai makna.
Secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi (Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy).
Dalam konteks sosial liberalisme diartikan sebagai suatu etika sosial yang membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) secara umum (Coady, C.A.J. Distributive Justice). Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity) (Brinkley, Alan. Liberalism and Its Discontents).
Sejarahnya paham liberalisme ini berasal dari Yunani kuno, salah satu elemen terpenting peradaban Barat. Namun, perkembangan awalnya terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta, dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada bangsawan bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja John sendiri dan dianggap sebagai bentuk liberalisme awal (early liberalism).
Perkembangan liberalisme selanjutnya ditandai oleh revolusi tak berdarah yang terjadi pada tahun 1688 yang kemudian dikenal dengan sebutan The Glorious Revolution of 1688. Revolusi ini berhasil menurunkan Raja James II dari England dan Ireland (James VII) dari Scotland) serta mengangkat William II dan Mary II sebagai raja.
Setahun setelah revolusi ini, parlemen Inggris menyetujui sebuah undang-undang hak rakyat (Bill of Right) yang memuat penghapusan beberapa kekuasaan raja dan jaminan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris.
Pada saat bersamaan, seorang filosof Inggris, John Locke, mengajarkan bahwa setiap orang terlahir dengan hak-hak dasar (natural right) yang tidak boleh dirampas. Hak-hak dasar itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan berbicara.
Di dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690), John Locke menyatakan, pemerintah memiliki tugas utama untuk menjamin hak-hak dasar tersebut, dan jika ia tidak menjaga hak-hak dasar itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi.
Singkatnya pada abad ke 20 setelah berakhirnya perang dunia pertama pada tahun 1918, beberapa negara Eropa menerapkan prinsip pemerintahan demokrasi. Hak kaum perempuan untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi di dalam pemerintahan pun akhirnya diberikan.
Menjelang tahun 1930an, liberalisme mulai berkembang tidak hanya meliputi kebebasan berpolitik saja, tetapi juga mencakup kebebasan-kebebasan di bidang lainnya, misalnya ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.
Tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan empat kebebasan, yakni kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).
Pada tahun 1948, PBB mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights yang menetapkan sejumlah hak ekonomi dan sosial, di samping hak politik.
Jika ditilik dari perkembangannya, liberalisme secara umum memiliki dua aliran utama yang saling bersaing dalam menggunakan sebutan liberal. Yang pertama adalah Liberal Klasik atau Early Liberalism yang kemudian menjadi liberal ekonomi yang menekankan pada kebebasan dalam usaha individu, dalam hak memiliki kekayaan, dalam kebijakan ekonomi dan kebebasan melakukan kontrak serta menentang sistem welfare state.
Dan kedua adalah Liberal Sosial. Aliran ini menekankan peran negara yan
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Kata-kata liberal diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berpikir (The old Liberalism). Dari makna kebebasan berpikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai makna.
Secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi (Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy).
Dalam konteks sosial liberalisme diartikan sebagai suatu etika sosial yang membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) secara umum (Coady, C.A.J. Distributive Justice). Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity) (Brinkley, Alan. Liberalism and Its Discontents).
Sejarahnya paham liberalisme ini berasal dari Yunani kuno, salah satu elemen terpenting peradaban Barat. Namun, perkembangan awalnya terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta, dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada bangsawan bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja John sendiri dan dianggap sebagai bentuk liberalisme awal (early liberalism).
Perkembangan liberalisme selanjutnya ditandai oleh revolusi tak berdarah yang terjadi pada tahun 1688 yang kemudian dikenal dengan sebutan The Glorious Revolution of 1688. Revolusi ini berhasil menurunkan Raja James II dari England dan Ireland (James VII) dari Scotland) serta mengangkat William II dan Mary II sebagai raja.
Setahun setelah revolusi ini, parlemen Inggris menyetujui sebuah undang-undang hak rakyat (Bill of Right) yang memuat penghapusan beberapa kekuasaan raja dan jaminan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris.
Pada saat bersamaan, seorang filosof Inggris, John Locke, mengajarkan bahwa setiap orang terlahir dengan hak-hak dasar (natural right) yang tidak boleh dirampas. Hak-hak dasar itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan berbicara.
Di dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690), John Locke menyatakan, pemerintah memiliki tugas utama untuk menjamin hak-hak dasar tersebut, dan jika ia tidak menjaga hak-hak dasar itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi.
Singkatnya pada abad ke 20 setelah berakhirnya perang dunia pertama pada tahun 1918, beberapa negara Eropa menerapkan prinsip pemerintahan demokrasi. Hak kaum perempuan untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi di dalam pemerintahan pun akhirnya diberikan.
Menjelang tahun 1930an, liberalisme mulai berkembang tidak hanya meliputi kebebasan berpolitik saja, tetapi juga mencakup kebebasan-kebebasan di bidang lainnya, misalnya ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.
Tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan empat kebebasan, yakni kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).
Pada tahun 1948, PBB mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights yang menetapkan sejumlah hak ekonomi dan sosial, di samping hak politik.
Jika ditilik dari perkembangannya, liberalisme secara umum memiliki dua aliran utama yang saling bersaing dalam menggunakan sebutan liberal. Yang pertama adalah Liberal Klasik atau Early Liberalism yang kemudian menjadi liberal ekonomi yang menekankan pada kebebasan dalam usaha individu, dalam hak memiliki kekayaan, dalam kebijakan ekonomi dan kebebasan melakukan kontrak serta menentang sistem welfare state.
Dan kedua adalah Liberal Sosial. Aliran ini menekankan peran negara yan
g lebih besar untuk membela hak-hak individu (dalam pengertian yang luas), seringkali dalam bentuk hukum anti-diskriminasi.
Selain kedua tren liberalisme diatas yang menekankan pada hak-hak ekonomi, politik dan sosial terdapat liberalisme dalam bidang pemikiran termasuk pemikiran keagamaan. Liberal dalam konteks kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus terang, dan terbuka.
Kebebasan intelektual adalah aspek yang paling mendasar dari liberalisme sosial dan politik atau dapat pula disebut sisi lain dari liberalisme sosial dan politik. Kelahiran dan perkembangannya di Barat terjadi pada akhir abad ke 18, namun akar-akarnya dapat dilacak seabad sebelumnya (abad ke 17). Di saat itu dunia Barat terobsesi untuk membebaskan diri mereka dalam bidang intelektual, keagamaan, politik dan ekonomi dari tatanan moral, supernatural dan bahkan Tuhan.
Pada saat terjadi Revolusi Perancis tahun (1789) kebebasan mutlak dalam pemikiran, agama, etika, kepercayaan, berbicara, pers dan politik sudah dicanangkan. Prinsip-prinsip Revolusi Perancis itu bahkan dianggap sebagai Magna Charta liberalisme.
Konsekuensinya adalah penghapusan Hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang diperoleh dari Tuhan; penyingkiran agama dari kehidupan publik dan menjadikannya bersifat individual.
Selain itu agama Kristen dan Gereja harus dihindarkan agar tidak menjadi lembaga hukum ataupun sosial.
Ciri liberalisme pemikiran dan keagamaan yang paling menonjol adalah pengingkaran terhadap semua otoritas yang sesungguhnya, sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan diluar dan diatas manusia yang mengikatnya secara moral. Ini sejalan dengan doktrin nihilisme yang merupakan ciri khas pandangan hidup Barat postmodern yang telah disebutkan diatas.
Memang pada mulanya yang muncul adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari Tuhan, namun dari situlah lahir dan tumbuhnya liberalisme pemikiran keagamaan yang disebut juga theological liberalism. Perkembangan liberalisme pemikiran keagamaan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase perkembangan sebagai berikut:
Fase pertama, Dari abad ke 17 yang dimotori oleh filosof Perancis Rene Descartes yang mempromosikan doktrin rasionalisme atau Enlightenment yang berakhir pada pertengahan abad ke 18. Doktrin utamanya adalah a) Percaya pada akal manusia b) Keutamaan individu c) Imanensi Tuhan dan d) Meliorisme (percaya bahwa manusia itu berkembang dan dapat dikembangkan).
Fase kedua, Bermula pada akhir abad ke 18 dengan doktrin Romantisisme yang menekankan pada individualisme, artinya individu dapat menjadi sumber nilai. Kesadaran-diri (self-consciousness) itu dalam pengertian religious dapat menjadi Kesadaran-Tuhan (god-consciousness). Tokohnya adalah Jean-Jacques, Immanuel Kant, dan Friedrich Schleiermacher dan sebagainya.
Fase terakhir, Bermula pada pertengahan abad ke 19 hingga abad ke 20 ditandai dengan semangat modernisme dan postmodernisme yang menekankan pada ide tentang perkembangan (notion of progress). Agama kemudian diletakkan sebagai sesuatu yang berkembang progressif dan disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern serta diharapkan dapat merespon isu-isu yang diangkat oleh kultur modern.
Itulah sebabnya kajian mengenai doktrin-doktrin Kristen kemudian berubah bentuk menjadi kajian psikologis pengalaman keagamaan (psychological study of religious experience), kajian sosiologis lembaga-lembaga dan tradisi keagamaan (sociological study of religious institution), kajian filosofis tentang pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan (philosophical inquiry into religious knowledge and values).
Sementara itu pada abad ke 19 liberalisme dalam pemikiran keagamaan Katholik Roma berbentuk gerakan yang mendukung demokrasi politik dan reformasi gereja, namun secara teologis tetap mempertahankan ortodoksi.
Sedangkan dalam pemikiran Kristen Protestan liberalisme merupakan tren kebebasan intelektual yang menekankan pada substansi etis dan kemanusiaan Kristen dan mengurangi penekanan pada teologi yang dogmatis. Artinya dengan masukny
Selain kedua tren liberalisme diatas yang menekankan pada hak-hak ekonomi, politik dan sosial terdapat liberalisme dalam bidang pemikiran termasuk pemikiran keagamaan. Liberal dalam konteks kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berpikiran luas, terus terang, dan terbuka.
Kebebasan intelektual adalah aspek yang paling mendasar dari liberalisme sosial dan politik atau dapat pula disebut sisi lain dari liberalisme sosial dan politik. Kelahiran dan perkembangannya di Barat terjadi pada akhir abad ke 18, namun akar-akarnya dapat dilacak seabad sebelumnya (abad ke 17). Di saat itu dunia Barat terobsesi untuk membebaskan diri mereka dalam bidang intelektual, keagamaan, politik dan ekonomi dari tatanan moral, supernatural dan bahkan Tuhan.
Pada saat terjadi Revolusi Perancis tahun (1789) kebebasan mutlak dalam pemikiran, agama, etika, kepercayaan, berbicara, pers dan politik sudah dicanangkan. Prinsip-prinsip Revolusi Perancis itu bahkan dianggap sebagai Magna Charta liberalisme.
Konsekuensinya adalah penghapusan Hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang diperoleh dari Tuhan; penyingkiran agama dari kehidupan publik dan menjadikannya bersifat individual.
Selain itu agama Kristen dan Gereja harus dihindarkan agar tidak menjadi lembaga hukum ataupun sosial.
Ciri liberalisme pemikiran dan keagamaan yang paling menonjol adalah pengingkaran terhadap semua otoritas yang sesungguhnya, sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan diluar dan diatas manusia yang mengikatnya secara moral. Ini sejalan dengan doktrin nihilisme yang merupakan ciri khas pandangan hidup Barat postmodern yang telah disebutkan diatas.
Memang pada mulanya yang muncul adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari Tuhan, namun dari situlah lahir dan tumbuhnya liberalisme pemikiran keagamaan yang disebut juga theological liberalism. Perkembangan liberalisme pemikiran keagamaan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase perkembangan sebagai berikut:
Fase pertama, Dari abad ke 17 yang dimotori oleh filosof Perancis Rene Descartes yang mempromosikan doktrin rasionalisme atau Enlightenment yang berakhir pada pertengahan abad ke 18. Doktrin utamanya adalah a) Percaya pada akal manusia b) Keutamaan individu c) Imanensi Tuhan dan d) Meliorisme (percaya bahwa manusia itu berkembang dan dapat dikembangkan).
Fase kedua, Bermula pada akhir abad ke 18 dengan doktrin Romantisisme yang menekankan pada individualisme, artinya individu dapat menjadi sumber nilai. Kesadaran-diri (self-consciousness) itu dalam pengertian religious dapat menjadi Kesadaran-Tuhan (god-consciousness). Tokohnya adalah Jean-Jacques, Immanuel Kant, dan Friedrich Schleiermacher dan sebagainya.
Fase terakhir, Bermula pada pertengahan abad ke 19 hingga abad ke 20 ditandai dengan semangat modernisme dan postmodernisme yang menekankan pada ide tentang perkembangan (notion of progress). Agama kemudian diletakkan sebagai sesuatu yang berkembang progressif dan disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern serta diharapkan dapat merespon isu-isu yang diangkat oleh kultur modern.
Itulah sebabnya kajian mengenai doktrin-doktrin Kristen kemudian berubah bentuk menjadi kajian psikologis pengalaman keagamaan (psychological study of religious experience), kajian sosiologis lembaga-lembaga dan tradisi keagamaan (sociological study of religious institution), kajian filosofis tentang pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan (philosophical inquiry into religious knowledge and values).
Sementara itu pada abad ke 19 liberalisme dalam pemikiran keagamaan Katholik Roma berbentuk gerakan yang mendukung demokrasi politik dan reformasi gereja, namun secara teologis tetap mempertahankan ortodoksi.
Sedangkan dalam pemikiran Kristen Protestan liberalisme merupakan tren kebebasan intelektual yang menekankan pada substansi etis dan kemanusiaan Kristen dan mengurangi penekanan pada teologi yang dogmatis. Artinya dengan masukny
a paham liberalisme kedalam pemikiran keagamaan maka banyak konsep dasar dalam agama Kristen yang berubah.
Nicholas F. Gier, dari University of Idaho, Moscow, Idaho menyimpulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh liberal Amerika Serikat adalah sebagai berikut:
Pertama, Percaya pada Tuhan, tapi bukan Tuhan dalam kepercayaan Kristen Orthodok.
Kedua, Memisahkan antara doktrin Kristen dan etika Kristen.
Inilah yang membawa kelompok liberal untuk berkesimpulan bahwa orang ateis sekalipun dapat menjadi moralis.
Ketiga, Tidak percaya pada doktrin Kristen Orthodok.
Menolak sebagian atau keseluruhan doktrin-doktrin Trinitas, ketuhanan Yesus, perawan yang melahirkan, Bibel sebagai kata-kata Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan dan penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Doktrin satu-satunya yang mereka percaya, selain percaya akan adanya Tuhan adalah keabadian jiwa.
Keempat, Menerima secara mutlak pemisahan agama dan negara.
Para pendiri negara Amerika menyadari akibat dari pemerintahan negara-negara Eropa yang memaksakan doktrin suatu agama dan menekan agama lain. Maka dari itu kata-kata “Tuhan” dan “Kristen” tidak terdapat dalam undang-undang. Ini tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh agama liberal dalam konvensi konstitusi tahun 1787.
Kelima, Percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama.
Pada mulanya toleransi dibatasi hanya pada sekte-sekte dalam Kristen, namun toleransi dan kebebasan penuh bagi kaum ateis dan pemeluk agama non-Kristen hanya terjadi pada masa Benyamin Franklin, Jefferson dan Madison. Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama tapi bebas dari agama juga, artinya bebas beragama dan bebas untuk tidak beragama.
Jadi sejatinya liberalisme dalam bidang sosial dan politik dalam peradaban Barat telah memarginalkan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan politik secara perlahan-lahan. Agama tidak diberi tempat diatas kepentingan sosial dan politik.
Dan ketika liberalisme masuk kedalam pemikiran keagamaan Kristen Katholik dan Protestan ia telah mensubordinasikan gereja ke bawah kepentingan politik dan humanisme, serta mengurangi pentingnya teologi dalam bidang-bidang kehidupan.
Maka dari itu dalam liberalisme pemikiran keagamaan masalah yang pertama kali dipersoalkan adalah konsep Tuhan (teologi) kemudian doktrin atau dogma agama. Setelah itu, mempersoalkan kemudian memisahkan hubungan agama dan politik (sekularisme).
Akhirnya liberalisme pemikiran keagamaan menjadi berarti sekularisme dan dipicu oleh gelombang pemikiran postmodernisme yang menjunjung tinggi pluralisme, persamaan (equality), dan relativisme.
Kini paham liberalisme dibidang politik, ekonomi dan keagamaan yang merupakan sistem final kehidupan sosial di Barat itu diekspor ke negara-negara dunia ketiga termasuk kedalam dunia Islam.
Nicholas F. Gier, dari University of Idaho, Moscow, Idaho menyimpulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh liberal Amerika Serikat adalah sebagai berikut:
Pertama, Percaya pada Tuhan, tapi bukan Tuhan dalam kepercayaan Kristen Orthodok.
Kedua, Memisahkan antara doktrin Kristen dan etika Kristen.
Inilah yang membawa kelompok liberal untuk berkesimpulan bahwa orang ateis sekalipun dapat menjadi moralis.
Ketiga, Tidak percaya pada doktrin Kristen Orthodok.
Menolak sebagian atau keseluruhan doktrin-doktrin Trinitas, ketuhanan Yesus, perawan yang melahirkan, Bibel sebagai kata-kata Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan dan penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Doktrin satu-satunya yang mereka percaya, selain percaya akan adanya Tuhan adalah keabadian jiwa.
Keempat, Menerima secara mutlak pemisahan agama dan negara.
Para pendiri negara Amerika menyadari akibat dari pemerintahan negara-negara Eropa yang memaksakan doktrin suatu agama dan menekan agama lain. Maka dari itu kata-kata “Tuhan” dan “Kristen” tidak terdapat dalam undang-undang. Ini tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh agama liberal dalam konvensi konstitusi tahun 1787.
Kelima, Percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama.
Pada mulanya toleransi dibatasi hanya pada sekte-sekte dalam Kristen, namun toleransi dan kebebasan penuh bagi kaum ateis dan pemeluk agama non-Kristen hanya terjadi pada masa Benyamin Franklin, Jefferson dan Madison. Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama tapi bebas dari agama juga, artinya bebas beragama dan bebas untuk tidak beragama.
Jadi sejatinya liberalisme dalam bidang sosial dan politik dalam peradaban Barat telah memarginalkan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan politik secara perlahan-lahan. Agama tidak diberi tempat diatas kepentingan sosial dan politik.
Dan ketika liberalisme masuk kedalam pemikiran keagamaan Kristen Katholik dan Protestan ia telah mensubordinasikan gereja ke bawah kepentingan politik dan humanisme, serta mengurangi pentingnya teologi dalam bidang-bidang kehidupan.
Maka dari itu dalam liberalisme pemikiran keagamaan masalah yang pertama kali dipersoalkan adalah konsep Tuhan (teologi) kemudian doktrin atau dogma agama. Setelah itu, mempersoalkan kemudian memisahkan hubungan agama dan politik (sekularisme).
Akhirnya liberalisme pemikiran keagamaan menjadi berarti sekularisme dan dipicu oleh gelombang pemikiran postmodernisme yang menjunjung tinggi pluralisme, persamaan (equality), dan relativisme.
Kini paham liberalisme dibidang politik, ekonomi dan keagamaan yang merupakan sistem final kehidupan sosial di Barat itu diekspor ke negara-negara dunia ketiga termasuk kedalam dunia Islam.
PROMO RAMADHAN
DISKON Rp. 500.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET TAFSIR AL MUNIR
Penulis: Prof. Dr. Wahbah Zuhaili
Diskon Rp. 500.000, menjadi Rp. 2.095.000,- dari harga normal Rp 2.595.000,-
Gratis ongkos kirim ke wilayah pulau Jawa.
Tentang tafsit al munir:
Tafsir Al Munir adalah hasil karya tafsir terbaik yang pernah dimiliki umat islam di era modern ini. Buku ini sangat laris di timur tengah dan negara-negara di Jazirah Arab. Karya ini hadir sebagai rujukan utama di setiap kajian tafsir di setiap majlis ilmu. Secara bobot dan kualitas jelas memenuhi hal tersebut. Dalam karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili ini terdapat pembahasan-pembahasan penting dalam mengkaji al-qur
--------------------
TAFSIR AL MUNIR
1 Set (berisi 15 Jilid). Berat
+ 20Kg.
Penulis: Prof. Dr. Wahbah Zuhaili
Pembelian 1 set diskon Rp. 500.000, menjadi Rp. 2.095.000,- dari harga normal Rp 2.595.000,-
Gratis ongkos kirim ke wilayah pulau Jawa.
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
DISKON Rp. 500.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET TAFSIR AL MUNIR
Penulis: Prof. Dr. Wahbah Zuhaili
Diskon Rp. 500.000, menjadi Rp. 2.095.000,- dari harga normal Rp 2.595.000,-
Gratis ongkos kirim ke wilayah pulau Jawa.
Tentang tafsit al munir:
Tafsir Al Munir adalah hasil karya tafsir terbaik yang pernah dimiliki umat islam di era modern ini. Buku ini sangat laris di timur tengah dan negara-negara di Jazirah Arab. Karya ini hadir sebagai rujukan utama di setiap kajian tafsir di setiap majlis ilmu. Secara bobot dan kualitas jelas memenuhi hal tersebut. Dalam karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaili ini terdapat pembahasan-pembahasan penting dalam mengkaji al-qur
an yaitu metode penyusunan tafsir berdasar pada metode tafsir bil ma
tsur dan tafsir bir ra ya Ada penjelasan kandungan ayat secara terperinci dan menyeluruh. Dijelaskan sebab turunnya Al-Qur
an. dll--------------------
TAFSIR AL MUNIR
1 Set (berisi 15 Jilid). Berat
+ 20Kg.
Penulis: Prof. Dr. Wahbah Zuhaili
Pembelian 1 set diskon Rp. 500.000, menjadi Rp. 2.095.000,- dari harga normal Rp 2.595.000,-
Gratis ongkos kirim ke wilayah pulau Jawa.
Pemesanan silahkan SMS/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
TAMSIL ANJING UNTUK PENJUAL KEBENARAN
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya maka dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga).Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS al-Araf:175-176)
Menarik untuk merenungkan ayat Al-Quran tersebut. Ayat 175 surat al-Araf ini menceritakan tentang orang-orang yang telah didatangkan ayat-ayat Allah kepada mereka, tetapi dia kemudian melepaskan diri dari ayat-ayat itu.
Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka menjelaskan, bahwa orang-orang ini sudah terhitung pakar atau ahli dalam mengenal ayat-ayat Allah. Tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat Allah saja, kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu, maka pengetahuannya tentang ayat-ayat Allah itu satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia terlepas dari ayat-ayat itu. Ayat-ayat itu tanggal atau copot dari dirinya.
Dalam ayat ini, kata digunakan lafazh insalakha, arti asalnya ialah menyilih (ganti kulit. Bahasa Jawa: mlungsungi untuk ular). Atau, ketika orang menyembelih kambing, maka dia kuliti dan dia tanggalkan kulit kambing, sehingga tinggal badannya saja. Ini juga disebut insalakha.
Masih tulis Hamka dalam tafsirnya: Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih dan tahu tafsir, tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi. Allahu Akbar! Sebab akhlaknya telah rusak.
Maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat.
Kata Buya Hamka, rupanya karena hawa nafsu, maka ayat-ayat yang telah diketahui itu tidak lagi membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuat jadi gelap.
Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut syaitan, sehingga ayat-ayat yang dia kenal dan dia hafal itu bisa disalahgunakan. Dia pun bertambah lama bertambah sesat.
Seumpama ada seorang yang lama berdiam di Makkah dan telah disangka alim besar, tetapi karena disesatkan oleh syaitan, dia menjadi seorang pemabuk, dan tidak pernah bersembahyang lagi.
Maka, karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Quran yang dia hafal itu untuk mempertahankan kesesatannya, dengan jalan yang salah. Dia masih hafal ayat-ayat dan hadits itu, tetapi ayat dan hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia tinggal dalam keadaan telanjang. Naudzubillah min dzalik, demikian tulis Hamka dalam tafsir terkenalnya.
Terhadap manusia jenis ini, al-Quran menggunakan perumpamaan dan sebutan yang sangat buruk, yaitu mereka diumpakan sebagai anjing. Hamka memberi uraian terhadap tamsil orang yang menukar kebenaran dengan kekufuran ini: Laksana anjing, selalu kehausan saja, selalu lidahnya terulur karena tidak puas-puas karena tamaknya.
Walaupun dia sudah dihalaukan pergi, lidahnya masih terulur, karena masih haus, karena masih merasa belum kenyang, dan walaupun dibiarkan saja, lidahnya diulurkannya juga.
Cobalah pelajari dengan seksama, mengapa maka binatang yang satu itu, anjing, selalu mengulurkan lidah?
Sebabnya ialah karena tidak pernah merasa puas. Lebih-lebih pada siang hari, di kala panas mendenting-denting.
Anjing mengulurkan lidah terus, karena selalu merasa belum kenyang, karena hawanafsunya belum juga terpenuhi.
Tamsil Al-Quran tentang anjing untuk orang-orang yang membuang kebenaran dan mengikuti kebatilan ini sangat penting untuk kita renungkan, mengingat kita melihat satu fenomena aneh di Indonesia, banyaknya orang-orang yang dulunya belajar agama di institusi-institusi pendidikan Islam, mengerti ayat-ayat Allah, tetapi akhirnya justru
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya maka dia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga).Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS al-Araf:175-176)
Menarik untuk merenungkan ayat Al-Quran tersebut. Ayat 175 surat al-Araf ini menceritakan tentang orang-orang yang telah didatangkan ayat-ayat Allah kepada mereka, tetapi dia kemudian melepaskan diri dari ayat-ayat itu.
Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka menjelaskan, bahwa orang-orang ini sudah terhitung pakar atau ahli dalam mengenal ayat-ayat Allah. Tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat Allah saja, kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu, maka pengetahuannya tentang ayat-ayat Allah itu satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia terlepas dari ayat-ayat itu. Ayat-ayat itu tanggal atau copot dari dirinya.
Dalam ayat ini, kata digunakan lafazh insalakha, arti asalnya ialah menyilih (ganti kulit. Bahasa Jawa: mlungsungi untuk ular). Atau, ketika orang menyembelih kambing, maka dia kuliti dan dia tanggalkan kulit kambing, sehingga tinggal badannya saja. Ini juga disebut insalakha.
Masih tulis Hamka dalam tafsirnya: Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih dan tahu tafsir, tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi. Allahu Akbar! Sebab akhlaknya telah rusak.
Maka syaitanpun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat.
Kata Buya Hamka, rupanya karena hawa nafsu, maka ayat-ayat yang telah diketahui itu tidak lagi membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuat jadi gelap.
Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut syaitan, sehingga ayat-ayat yang dia kenal dan dia hafal itu bisa disalahgunakan. Dia pun bertambah lama bertambah sesat.
Seumpama ada seorang yang lama berdiam di Makkah dan telah disangka alim besar, tetapi karena disesatkan oleh syaitan, dia menjadi seorang pemabuk, dan tidak pernah bersembahyang lagi.
Maka, karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Quran yang dia hafal itu untuk mempertahankan kesesatannya, dengan jalan yang salah. Dia masih hafal ayat-ayat dan hadits itu, tetapi ayat dan hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia tinggal dalam keadaan telanjang. Naudzubillah min dzalik, demikian tulis Hamka dalam tafsir terkenalnya.
Terhadap manusia jenis ini, al-Quran menggunakan perumpamaan dan sebutan yang sangat buruk, yaitu mereka diumpakan sebagai anjing. Hamka memberi uraian terhadap tamsil orang yang menukar kebenaran dengan kekufuran ini: Laksana anjing, selalu kehausan saja, selalu lidahnya terulur karena tidak puas-puas karena tamaknya.
Walaupun dia sudah dihalaukan pergi, lidahnya masih terulur, karena masih haus, karena masih merasa belum kenyang, dan walaupun dibiarkan saja, lidahnya diulurkannya juga.
Cobalah pelajari dengan seksama, mengapa maka binatang yang satu itu, anjing, selalu mengulurkan lidah?
Sebabnya ialah karena tidak pernah merasa puas. Lebih-lebih pada siang hari, di kala panas mendenting-denting.
Anjing mengulurkan lidah terus, karena selalu merasa belum kenyang, karena hawanafsunya belum juga terpenuhi.
Tamsil Al-Quran tentang anjing untuk orang-orang yang membuang kebenaran dan mengikuti kebatilan ini sangat penting untuk kita renungkan, mengingat kita melihat satu fenomena aneh di Indonesia, banyaknya orang-orang yang dulunya belajar agama di institusi-institusi pendidikan Islam, mengerti ayat-ayat Allah, tetapi akhirnya justru
menjadi garda terdepan dalam melawan dan melecehkan ayat-ayat Allah sendiri.
Ini tidak bisa disalahkan pada lembaga pendidikannya begitu saja, tetapi perlu ditanyakan, mengapa ada manusia yang menjual kebenaran, membuang kebenaran yang telah diketahuinya, dan kemudian memilih menjadi anjing sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran.
Peringatan Allah SWT tersebut sangat penting untuk direnungkan oleh siapa saja. Oleh kita semua. Agar kita tidak masuk ke dalam kategori anjing yang menjulur-julurkan lidahnya.
Kita mengingatkan saudara-saudara kita, yang mungkin lupa akan peringatan Allah tersebut. Agar kita tidak mudah menjual ayat-ayat Allah, membuangnya, bahkan tak segan-segan menjadi garda terdepan dalam menghujat dan memutarbalikkan kebenaran.
Kita, misalnya, berkewajiban mengingatkan orang yang mengerti ayat-ayat Allah, malah menjadi penghujat ayat-ayat Allah itu sendiri, hanya karena terpesona dan terkagum-kagum oleh satu atau dua tulisan kaum orientalis yang melakukan studi Al-Quran.
Belum lama ini (5 Juli 2005), seorang yang mengaku Islam Liberal yang berasal dari satu pelosok kampung di wilayah Bekasi meluncurkan tulisan yang memuji-muji habis-habisan orientalis dalam studi Al-Quran. Tulisan itu dia beri judul AI-Qur'an dan Orientalisme.
Bagi yang mengikuti studi Al-Quran dengan cermat, tulisan ini sebenarnya berkualitas sampah, tidak ada data-data ilmiah yang ditampilkan, tetapi hanya berupa puji-pujian tanpa bukti terhadap kaum orientalis.
Tulisan ini sebenarnya sangat memalukan, bagi seorang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Timur Tengah. Tapi, tampak, bahwa rasa malu itu sudah hilang dari dirinya.
Tentang studi para orientalis terhadap Al-Quran, si penulis itu menyatakan:
Studi mereka tentang sejarah Alquran misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik.
Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Alquran.
Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum muslim adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan.
Saya pernah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah Alquran.
Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.
Cobalah kita simak kata-kata penulis yang juga dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadinamulya ini. Begitu tinggi dia menghargai orientalis dan sebaliknya mencurigai para ulama Islam.
Padahal, kita sudah diajarkan oleh Rasulullah saw untuk bersikap kritis terhadap sumber-sumber dari kaum Yahudi dan Kristen. Kita tidak boleh menolak atau menerima begitu saja.
Tetapi, bukti-bukti menunjukkan, banyak orientalis yang memang melakukan studinya dengan tidak jujur.
Justru orientalis yang disebut oleh penulis itu termasuk ke dalam daftar orientalis yang licik dalam studi Al-Quran. Bahkan, sebagian orientalis sudah mengritik kajian mereka.
Sebutlah contoh John Wansbrough. Seorang orientalis bernama Juynboll secara mendasar telah mengkritik Wansbrough karena terlalu selektif dalam memilih sumber-sumber rujukan yang sesuai dengan pra-anggapan penelitiannya.
Wansbrough berpendapat, bahwa tidak ada teks Al-Quran yang fixed sebelum akhir abad ke-2 Hijriah atau awal abad ke-3 Hijriah. Tetapi, Juynboll membuktikan, bahwa Wansbrough berlaku curang karena tidak memasukkan literatur Islam sebelum abad ke-2 yang dapat menggoyahkan teorinya, seperti Kitab Al- Alim wa al-Mutaallim and Risala ila Utsman al-Baitti yang keduanya ditulis oleh Abu Hanifah (150 H.).
Estelle Whellan juga telah meruntuhkan kesimpulan Wansbrough, dengan membuktikan bahwa teks Al Quran telah menjadi teks yang tetap pada abad pertama Hijrah.
Karena itu, kita heran, bagaimana si penulis artikel tersebut berani menyatakan bahwa Sejauh menya
Ini tidak bisa disalahkan pada lembaga pendidikannya begitu saja, tetapi perlu ditanyakan, mengapa ada manusia yang menjual kebenaran, membuang kebenaran yang telah diketahuinya, dan kemudian memilih menjadi anjing sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran.
Peringatan Allah SWT tersebut sangat penting untuk direnungkan oleh siapa saja. Oleh kita semua. Agar kita tidak masuk ke dalam kategori anjing yang menjulur-julurkan lidahnya.
Kita mengingatkan saudara-saudara kita, yang mungkin lupa akan peringatan Allah tersebut. Agar kita tidak mudah menjual ayat-ayat Allah, membuangnya, bahkan tak segan-segan menjadi garda terdepan dalam menghujat dan memutarbalikkan kebenaran.
Kita, misalnya, berkewajiban mengingatkan orang yang mengerti ayat-ayat Allah, malah menjadi penghujat ayat-ayat Allah itu sendiri, hanya karena terpesona dan terkagum-kagum oleh satu atau dua tulisan kaum orientalis yang melakukan studi Al-Quran.
Belum lama ini (5 Juli 2005), seorang yang mengaku Islam Liberal yang berasal dari satu pelosok kampung di wilayah Bekasi meluncurkan tulisan yang memuji-muji habis-habisan orientalis dalam studi Al-Quran. Tulisan itu dia beri judul AI-Qur'an dan Orientalisme.
Bagi yang mengikuti studi Al-Quran dengan cermat, tulisan ini sebenarnya berkualitas sampah, tidak ada data-data ilmiah yang ditampilkan, tetapi hanya berupa puji-pujian tanpa bukti terhadap kaum orientalis.
Tulisan ini sebenarnya sangat memalukan, bagi seorang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Timur Tengah. Tapi, tampak, bahwa rasa malu itu sudah hilang dari dirinya.
Tentang studi para orientalis terhadap Al-Quran, si penulis itu menyatakan:
Studi mereka tentang sejarah Alquran misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik.
Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Alquran.
Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum muslim adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan.
Saya pernah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah Alquran.
Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.
Cobalah kita simak kata-kata penulis yang juga dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadinamulya ini. Begitu tinggi dia menghargai orientalis dan sebaliknya mencurigai para ulama Islam.
Padahal, kita sudah diajarkan oleh Rasulullah saw untuk bersikap kritis terhadap sumber-sumber dari kaum Yahudi dan Kristen. Kita tidak boleh menolak atau menerima begitu saja.
Tetapi, bukti-bukti menunjukkan, banyak orientalis yang memang melakukan studinya dengan tidak jujur.
Justru orientalis yang disebut oleh penulis itu termasuk ke dalam daftar orientalis yang licik dalam studi Al-Quran. Bahkan, sebagian orientalis sudah mengritik kajian mereka.
Sebutlah contoh John Wansbrough. Seorang orientalis bernama Juynboll secara mendasar telah mengkritik Wansbrough karena terlalu selektif dalam memilih sumber-sumber rujukan yang sesuai dengan pra-anggapan penelitiannya.
Wansbrough berpendapat, bahwa tidak ada teks Al-Quran yang fixed sebelum akhir abad ke-2 Hijriah atau awal abad ke-3 Hijriah. Tetapi, Juynboll membuktikan, bahwa Wansbrough berlaku curang karena tidak memasukkan literatur Islam sebelum abad ke-2 yang dapat menggoyahkan teorinya, seperti Kitab Al- Alim wa al-Mutaallim and Risala ila Utsman al-Baitti yang keduanya ditulis oleh Abu Hanifah (150 H.).
Estelle Whellan juga telah meruntuhkan kesimpulan Wansbrough, dengan membuktikan bahwa teks Al Quran telah menjadi teks yang tetap pada abad pertama Hijrah.
Karena itu, kita heran, bagaimana si penulis artikel tersebut berani menyatakan bahwa Sejauh menya
ngkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan. Jelas kesimpulan yang ngawur.
Para orientalis sendiri tentu tertawa melihat kesimpulan penulis yang terlalu panjang dalam menjulurkan lidahnya. Apalagi, dia sendiri mengaku baru membaca sebagian karya para orientalis tersebut.
Belum tamat membacanya sudah memuji setinggi langit, dan taklid buta terhadap kajian orientalis.
Dalam film-film tentang zaman penjajahan Belanda, kita menyaksikan kaum pribumi para kaki tangan Belanda (londo ireng), tak jarang melakukan kekejaman melebihi orang Belanda sendiri terhadap kaum pribumi.
Biasanya, para londo ireng itu ingin, agar kesetiaanya kepada sang tuan tidak diragukan.
Untuk itu, ia menguliti dirinya sendiri, membuang seluruh identitas pribuminya, agar ia benar-benar tampak lebih Belanda ketimbang orang Belanda sendiri.
Disamping rajin memuji-muji tuannya, ia juga tak segan-segan memasok informasi tentang orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan sang penjajah. Tentu saja, semua itu ada imbalannya.
Tentang Arthur Jeffery, Adnin Armas, kandidat doktor di ISTAC Kuala Lumpur, yang baru menerbitkan bukunya, Metode Bibel dalam Studi Al-Quran membuktikan ketidakjujuran orientalis yang satu ini dalam melakukan studi Al-Quran.
Misalnya, dikatakan Jeffery, bahwa ketika Uthman r.a. mengirim teks standar ke Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar, Ibnu Masud menolak menyerahkan mushafnya.
Dia marah karena teks yang dibuat Zaid ibn Thabit yang lebih muda, lebih diprioritaskan dibandingkan mushafnya.
Padahal ketika Ibn Masud sudah menjadi Muslim, Zaid masih berada dalam pelukan orang-orang kafir.
Di sini tampak jelas kekeliruan atau ketidakjujuran Jeffery dalam menulis sejarah Al-Quran. Ia tidak mengkaji secara menyeluruh sikap Abdullah ibn Masud.
Padahal, Kitab al-Mashaahif yang diedit sendiri oleh Jeffery -- menunjukkan bahwa Ibn Masud meridhai kodifikasi yang dilakukan Uthman bin Affan. Ibnu Masud mempertimbangkan kembali pendapatnya yang awal dan kembali kepada pendapat Uthman dan para Sahabat lainnya.
Ibnu Masud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya. Jadi, pendapat Jeffery menjadi naïf karena justru dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery, Ibnu Masud pada akhirnya menyetujui kebijakan Utsman, yang disokong oleh para Sahabat lainnya.
Bukti-bukti kekeliruan orientalis dalam melakukan studi Islam sudah banyak ditunjukkan oleh para cendekiawan Muslim atau oleh para orientalis sendiri.
Kaum Muslim juga maklum, bahwa tidak semua hasil studi mereka ditolak begitu saja. Ada yang bermanfaat untuk kaum Muslim. Tetapi, memuji mereka tanpa ilmu pengetahuan yang memadai adalah sikap naif yang tidak perlu dilakukan.
Tamsil Al-Quran tentang anjing yang menjulur-julurkan lidahnya perlu kita renungkan secara mendalam.
Sebagai Muslim tentu kita tidak menginginkan diri kita sendiri termasuk kategori anjing sebagaimana digambarkan dalam surat al-Araf tersebut.
Jika kita sudah memahami ayat-ayat Allah SWT, seyogyanya kita berusaha memahami dan mengamalkannya.
Dan sebagai orang yang berakal sehat, kita tentu sangat khawatir jika diri kita sampai masuk kategori anjing. Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang bangga menduduki posisi 'anjing'. Na'udzubillah min dzalika. (Jakarta, 8 Juli 2005). oOo
Para orientalis sendiri tentu tertawa melihat kesimpulan penulis yang terlalu panjang dalam menjulurkan lidahnya. Apalagi, dia sendiri mengaku baru membaca sebagian karya para orientalis tersebut.
Belum tamat membacanya sudah memuji setinggi langit, dan taklid buta terhadap kajian orientalis.
Dalam film-film tentang zaman penjajahan Belanda, kita menyaksikan kaum pribumi para kaki tangan Belanda (londo ireng), tak jarang melakukan kekejaman melebihi orang Belanda sendiri terhadap kaum pribumi.
Biasanya, para londo ireng itu ingin, agar kesetiaanya kepada sang tuan tidak diragukan.
Untuk itu, ia menguliti dirinya sendiri, membuang seluruh identitas pribuminya, agar ia benar-benar tampak lebih Belanda ketimbang orang Belanda sendiri.
Disamping rajin memuji-muji tuannya, ia juga tak segan-segan memasok informasi tentang orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan sang penjajah. Tentu saja, semua itu ada imbalannya.
Tentang Arthur Jeffery, Adnin Armas, kandidat doktor di ISTAC Kuala Lumpur, yang baru menerbitkan bukunya, Metode Bibel dalam Studi Al-Quran membuktikan ketidakjujuran orientalis yang satu ini dalam melakukan studi Al-Quran.
Misalnya, dikatakan Jeffery, bahwa ketika Uthman r.a. mengirim teks standar ke Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar, Ibnu Masud menolak menyerahkan mushafnya.
Dia marah karena teks yang dibuat Zaid ibn Thabit yang lebih muda, lebih diprioritaskan dibandingkan mushafnya.
Padahal ketika Ibn Masud sudah menjadi Muslim, Zaid masih berada dalam pelukan orang-orang kafir.
Di sini tampak jelas kekeliruan atau ketidakjujuran Jeffery dalam menulis sejarah Al-Quran. Ia tidak mengkaji secara menyeluruh sikap Abdullah ibn Masud.
Padahal, Kitab al-Mashaahif yang diedit sendiri oleh Jeffery -- menunjukkan bahwa Ibn Masud meridhai kodifikasi yang dilakukan Uthman bin Affan. Ibnu Masud mempertimbangkan kembali pendapatnya yang awal dan kembali kepada pendapat Uthman dan para Sahabat lainnya.
Ibnu Masud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya. Jadi, pendapat Jeffery menjadi naïf karena justru dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery, Ibnu Masud pada akhirnya menyetujui kebijakan Utsman, yang disokong oleh para Sahabat lainnya.
Bukti-bukti kekeliruan orientalis dalam melakukan studi Islam sudah banyak ditunjukkan oleh para cendekiawan Muslim atau oleh para orientalis sendiri.
Kaum Muslim juga maklum, bahwa tidak semua hasil studi mereka ditolak begitu saja. Ada yang bermanfaat untuk kaum Muslim. Tetapi, memuji mereka tanpa ilmu pengetahuan yang memadai adalah sikap naif yang tidak perlu dilakukan.
Tamsil Al-Quran tentang anjing yang menjulur-julurkan lidahnya perlu kita renungkan secara mendalam.
Sebagai Muslim tentu kita tidak menginginkan diri kita sendiri termasuk kategori anjing sebagaimana digambarkan dalam surat al-Araf tersebut.
Jika kita sudah memahami ayat-ayat Allah SWT, seyogyanya kita berusaha memahami dan mengamalkannya.
Dan sebagai orang yang berakal sehat, kita tentu sangat khawatir jika diri kita sampai masuk kategori anjing. Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang bangga menduduki posisi 'anjing'. Na'udzubillah min dzalika. (Jakarta, 8 Juli 2005). oOo