MUSTANIR ONLINE
3.2K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
MENYIMAK PERAN BUNG KARNO DALAM PERUMUSAN PANCASILA, LEBIH TEPAT HARI LAHIR PANCASILA ADALAH 22 JUNI
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia)

Jika ditelaah secara cermat, Ir. Soekarno (Bung Karno) sejatinya memainkan peransentral dalam perumusan Pancasila 1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus 1945. Karena itu sebenarnya bisa saja Hari Lahir Pancasila ditetapkan pada 1 Juni, 22 Juni, atau 18 Agustus. Dan tokoh sentralnya tetap Bung Karno. Untuk itu diperlukan kejujuran dan kelapangan hati dalam menjaga keutuhan NKRI dan mewujudkan kemaslahatannya. Mari kita telaah kembali peristiwa penting yang terjadi pada ketiga tanggal tersebut.

Pada 1 Juni 1945, untuk pertama kalinya, istilah “Pancasila” disebutkan oleh BungKarno dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada hari itu,di forum BPUPK, Bung Karno mengusulkan rumusan dasar Negara Negara, yang terdiri ataslima sila: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakatatau demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.

Jadi, benar! Untuk pertama kalinya istilah “Pancasila” diangkat oleh Bung Karno pada 1Juni. Tetapi, dalam sejarah perumusan Pancasila, 1 Juni 1945 itu baru gagasan awal. Melihatrealitas perdebatan dalam sidang-sidang BPUPK, Bung Karno kemudian mengambil inisiatif mengumpulkan sembilan tokoh bangsa, termasuk dirinya. Mereka adalah: Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subardjo, Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, AbikusnoTjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakkir, dan AA Maramis.

Para tokoh itu diundang ke rumah Bung Karno untuk merumuskan Dasar NegaraIndonesia merdeka. Hebatnya, di bawah koordinasi Bung Karno, hanya dalam beberapa hari,mereka berhasil merumuskan dokumen bersejarah yang hebat, yaitu Piagam Jakarta. Piagam ini lahir pada 22 Juni 1945. Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta itu, sama dengan rumusan Pancasila sekarang(versi 18 Agustus 1945), kecuali sila pertama berbunyi: “Ketuhanan, dengan kewajibanmenjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Bung Karno memahami bahwa ada dua arus utama aspirasi ideologi politik kenegaraan diIndonesia, yaitu: Islam dan Kebangsaan. Itu fakta. Bung Karno berusaha memadukan duapotensi bangsa itu. Karena itulah, ketika Piagam Jakarta dipersoalkan oleh kedua belah pihak, maka Soekarno pun membelanya. Berulangkali Soekarno meminta agar rumusan itu diterima. Dalamrapat BPUPK 11 Juli 1945, Soekarno menyatakan: “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromisuntuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringatkita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.”

Dalam rapat BPUPK tanggal 16 Juli 1945, Soekarno kembali tampil sebagai juru bicarauntuk menengahi polemik sebelumnya: “Marilah kita setujui usul saya itu; terimalah clausule didalam Undang-undang Dasar, bahwa Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kemudian artikel 28, yang mengenai urusan agama, tetap sebagai yang telah kita putuskan, yaitu ayat ke-1 berbunyi: “Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajibanmenjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.”… Saya minta, supaya apa yang saya usulkan itu diterima dengan bulat-bulat oleh anggota sekalian…”.

Sikap konsisten Bung Karno terhadap Piagam Jakarta ditunjukkan dengan kehadirannya dalam acara Peringatan Hari Lahir Piagam Jakarta, pada 22 Juni 1965. Bahkan, ketika itu, BungKarno mengatakan: “Nah, Jakarta Charter ini saudara-saudara, sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut… Perhatikan, di antaranya penandatangan daripada Jakarta Charter ini, ada satu yang beragama Kristen saudara-saudara, yaitu Mr. A.A. Maramis.
Itu menunjukkan bahwa sebagai tadi dikatakan Pak Roeslan Abdulgani, Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, ya yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!”

Jadi, begitu besar dan begitu sentral peran Bung Karno dalam perumusan Pancasila versi 22 Juni 1945. Karena itu, tidaklah tepat jika ada warga bangsa yang alergi dengan Piagam Jakarta. Sebab, kata Bung Karno, Piagam Jakarta inilah yang mempersatukan rakyat Indonesia. Akan tetapi, sejarah menunjukkan, bahwa pada 18 Agustus 1945 ada perubahan lagi pada naskah Pancasila. Tujuh kata pada sila pertama dicoret, dan diganti dengan rumusan: Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun tidak terlibat langsung dalam melobi sejumlah tokoh Islam, Soekarno menyetujui Bung Hatta yang berperan aktif. Jika dicermati, ada perubahan cukup mendasar dalam rumusan Pancasila versi 1 Juni dan 22 Juni dan 18 Agustus 1945. Pancasila 22 Juni dan 18 Juni adalah rumusan Soekarno bersama para tokoh bangsa lain. Jadi, itu bukanlah rumusan seorang Bung Karno sendirian. Pancasila saat ini adalah hasil kesepakatan tokoh-tokoh bangsa yang memiliki berbagai aspirasi ideologis, termasuk para tokoh Islam yang tergabung dalam Panitia Sembilan di BPUPK, yaitu KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan AbdulKahar Muzakkir. Tokoh Masyumi, Mr. Mohamad Roem pernah mengingatkan kekeliruan pengkultusan seseorang dalam soal perumusan dan pemaknaan Pancasila. Di masa Orde Lama (1959-1965), pemikiran Soekarno banyak dijadikan sebagai tafsir baku terhadap Pancasila. Soekarno ditempatkan sebagai penafsir tunggal atas Pancasila. Padahal, menurut Mr. Mohamad Roem, Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, bukan lagi merupakan pikiran Soekarno semata. Ia telah merupakan buah pemikiran para anggota BPUPK, khususnya yang tergabung dalam Panitia Kecil (Panitia Sembilan). (Dikutip dari makalah Mohamad Roem,Lahirnya Pancasila, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).

Contoh perbedaan mendasar antara rumusan Pancasila versi 1 Juni 1945 dengan Pancasila rumusan resmi saat ini, adalah pada sila kedua. Rumusan Soekarno (Internasionalisme atau Perikemanusiaan) maupun Yamin (perikemanusiaan), sangat berbeda dengan rumusan resmi: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Rumusan resmi Pancasila saat ini membuktikan, bahwa Pancasila telah memasukkan dua istilah penting dalam Islam, yaitu “adil” dan “adab”. Istilah itu dikenal di Nusantara setelah kedatangan Islam. Kata “adil” dan “adab” termasuk sebagian dari istilah-istilah pokok dalam Islam yang dipahami secara universal oleh kaum Muslimin di mana pun (Islamic basic vocabularies). Sama dengan istilah “hikmah” dan “musyawarah”.

Jadi, menyimak tiga peristiwa penting dalam perumusan Pancasila, jika boleh mengusulkan, lebih tepat Hari Lahir Pancasila itu adalah 22 Juni atau 18 Agustus. Tokoh utama dalam perumusan itu tetap Bung Karno. Bedanya, pada 22 Juni dan 18 Agustus, Bung Karno telah menerima pikiran dari para tokoh bangsa lain. Silakan dipilih! (Depok, 1 Juni 2022).
PERKEMBANGAN DAN PEMURNIAN TASAWUF
Penulis: Prof. Dr. Hamka

Melalui buku ini, Buya Hamka dengan keluasan dan pemahamannya yang utuh, memberi kita cara pandang untuk melihat Tasawuf Islam seperti apa adanya.

Perkembangan dan pertumbuhan Tasawuf Islam banyak diwarnai kesalahpahaman, bahkan hingga saat ini. Misalnya, ada yang menyebutkan pertumbuhan Tasawuf Islam terpengaruh oleh ajaran Kristen hingga filsafat. Pun demikian dengan beberapa ajarannya, seperti Hulul, Kasyaf, Tajalli, al-Wihdat’ul Munthalaqah, atau Wihdatul Wujud. Kesalahpahaman bahkan sampai pada titik pertentangan yang sengit, terutama dengan kalangan Fiqih. Sampai-sampai seorang tokoh Tasawuf harus berakhir di tiang gantung.
----------------------------------
PERKEMBANGAN DAN PEMURNIAN TASAWUF
Penulis: Prof. Dr. Hamka
Berat: 300 gr
Ukuran: 13.5 × 20.5 cm
Isi: 349 halaman
Penerbit: Republika Penerbit
Harga: Rp. 115.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran
BLASPHEMY
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Dalam suatu symposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Orangnya energik dan simpatik. Ia salah seorang peneliti pada Rand Coorporation, NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca 11 Sept. Banyak buku diterbitkan oleh NGO ini. Di saat coffee break ia sengaja menghampiri saya dan langsung “menembak”, What is wrong with Ahmadiyah in Indonesia? Saya katakan “itu adalah kasus penistaan agama (religious blasphemy)”. Oh no, that was the problem of freedom of speech ……bla…bla…bla.

Memang ia banyak tahu tentang Indonesia dan bahkan saya merasa pertanyaannya seperti ingin ikut campur urusan umat Islam. Saya lalu teringat makalah David E Kaplan, Hearts, Minds and Dollars, “Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi dalam Islam”. Kelihatannya, Rabasa ditugaskan untuk proyek yang disebut dalam makalah David itu.

“Baik, kalau begitu bagaimana dengan keberatan umat Kristiani terhadap aliran Jehovah yang dianggap sesat? Itu kan juga kasus penistaan agama?!!” tanya saya. Dia, yang berkulit putih itu menjadi sedikit memerah seperti menahan sesuatu. “Ya tapi orang Kristen tidak melaporkan kasus ini ke pemerintah”, jawabnya. Disini saya faham bahwa dia keberatan dengan campur tangan pemerintah dalam urusan agama. Tentu ini mindset yang tipikal orang Barat sekuler. Agama tidak boleh masuk ruang publik dan tidak boleh menyatu dengan kekuasaan, apapun bentuknya. Padahal, yang saya tahu, aliran Children of God dan Jehovah Witnesses dilarang kejaksaan Agung atas permintaan Ditjen Bimas Kristen karena dianggap sempalan Kristen. Ini bisa dipastikan merupakan hasil dari laporan para orang-orang Kristen.

Tapi kemudian saya katakan, kalau kita serahkan penyelesaian urusan blasphemy kemasyarakat, akan mengakibatkan chaos, atau kegaduhan. Anda tahun sendiri bagaimana masyarakat main hakim sendiri terhadap penganut Ahmadiyah di daerah-daerah. Dan jumlah mereka cukup banyak. Mengapa mereka begitu karena pemerintah tidak campur tangan. Saya juga sampaikan bahwa penganut Ahmadiyah sendiri menganggap siapapun yang tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi adalah kafir. Jadi, bukan hanya umat Islam yang menganggap Ahmadiyah salah, tapi Ahmadiyah justru menganggap umat Islam selain mereka itu salah. Ini tentu sudah merusak arti benar dan salah dalam ranah akidah dan syariah Islam. Rabasa ternyata tidak banyak tahu tentang kepercayaan Ahmadiyah. Akhirnya dia mengalihkan pembicaraan, let’s talk something else”, katanya.

Blasphemy atau blasfemie (bhs. Perancis) adalah istilah yang digunakan untuk penistaan agama di Barat. Kata blasphemy dalam Online Etymology Dictionary, © 2001 Douglas Harper berasal dari bahasa Latin blasphemia atau bahkan dari Yunani blasphēmein. Artinya irreligious, pernyataan, perkataan jahat atau menyakitkan, terkadang juga diartikan bodoh.

Secara definitif blasphemy adalah kejahatan menghina atau menista atau menunjukkan pelecehan atau kurang menghargai Tuhan, agama, ajarannya serta tulisan-tulisan-tulisan mengnainya. Juga berarti sikap menghina terhadap sesuatu yang dianggap sakral. (Merriam-Webster's Dictionary of Law, © 1996). Menurut The American Heritage blasphemy adalah aktifitas, pernyataan, tulisan yang merupakan penghinaan, irreligius, mengenai Tuhan atau sesuatu lainnya yang sakral.

Dalam the Random House Dictionary dan juga The American Heritage menganggap seseorang sebagai Tuhan atau mengaku memiliki kualitas seperti Tuhan termasuk blasphemy. Pengertian Easton Bible Dictionary (1897) bahkan lebih detail lagi. Blasphemy termasuk mengingkari adanya Roh Kudus, Bible, kemessiahan Jesus atau menganggap mukjizat Jesus itu sebagai kekuatan setan.
Masalahnya ketika para pemeluk agama merasa agamanya dinistakan, para pemikir liberal sekuler menganggap para pemeluk agama-agama telah membatasi kebebasan berpendapat mereka. Agama, menurut mereka menggunakan dalih blasphemy, penistaaan, bid’ah, musyrik, tabu dsb. untuk membungkam kebebasan berpikir mereka. Sedangkan dalih yang digunakan agamawan hanya bersumber dari persepsi para agamawan yang terbatas. Semenatara para pemeluk agama melihat orang-orang itu tidak mempunyai pengetahuan otoritatif untuk berbicara soal agama. Perbedaan pendapat ini nampaknya tidak punya jalan rekonsiliasi. Inilah Clash of worldview atau dalam bahasa Peter Berger collision of consciousness.

Benar, inti masalahnya ada pada perbedaan worldview. Di Barat pandangan agama dan alam pikiran masyarakat Barat khususnya masyarakat ilmiyah (scientific community) tidak pernah bertemu alias bentrok atau clash. Standar kebenaran alam pikiran masyarakat Barat sendiri selalu berubah-rubah. John Milton, sastrawan dan penulis politik Inggeris pernah bentrok dengan parlemen. Itu gara-gara brosur buatannya yang dianggap liar, tidak bertanggung jawab, tidak masuk akal dan illegal. Tapi menurut Milton itu pendapat individu. Pendapat individu yang berbeda-beda adalah modal bagi kesatuan bangsa. Oleh sebab itu menggali kebenaran dan ide-ide cemerlang tidak dapat dicapai kecuali dengan merujuk pendapat banyak orang, bukan segelintir orang.

Namun, yang akan menentukan sesuatu itu benar dan salah, menurut Milton bukan individu tapi gabungan pendapat individu-individu. Namun meski mayoritas telah bersuara, setiap individu dibebaskan untuk menemukan kebenaran mereka sendiri-sendiri. Tapi anehnya kata Milton jika fakta-fakta dibiarkan telanjang, kebenaran akan mengalahkan kebatilan dalam kompetisi terbuka. Masalah utama dalam teori Milton adalah standar kebenaran. Kebenaran, disatu sisi ditentukan oleh mayoritas, disisi lain oleh pasar bebas, tapi disisi lain juga tergantung pada individu masing-masing untuk menerima atau menolak.

Teori Milton kabur, tapi itu justru kondusif untuk membela kebebasan berpendapat. Meskipun dalam realitasnya tidak selalu begitu. Noam Chomsky mencoba merumuskan begini:”Jika anda percaya pada kebebasan berbicara, anda percaya pada kebebasan berbicara untuk mendukung pendapat yang tidak kau sukai”. (If you're in favor of freedom of speech, that means you're in favor of freedom of speech precisely for views you despise). Tapi kenyataannya Stalin dan Hitler yang mengaku mendukung kebebasan berbicara hanya mendukung pendapat yang mereka sukai. Sama, orang-orang yang tidak suka agama tentu akan membela pendapat yang mereka sukai, meski tidak disukai agamawan. Itulah poin konfliknya.

Kembali ke soal blasphemy. Sekurangnya ada dua sumber blasphermy di Barat baik individual maupun kelompok. Pertama dari luar agama dan kedua dari dalam agama. Masalahnya kemudian ketika suatu agama dinistakan oleh orang di luar agama atau diluar otoritas siapa yang berhak memvonis? Dan jika dari dalam agama itu sendiri, siapa pula yang berhak menghukuminya? Pertanyaan yang sama mungkin bisa diajukan. Ketika suatu negara dihina atau diserang oleh orang dari lular negara atau dari dalam negara itu, siapa yang berhak mengadili??

Baik mengikuti teori Milton maupun Chomsky blasmphemy tetap saja tidak dapat dibenarkan. Dalam teori Milton menista agama dapat menjadi illegal alias haram karena hanya pendapat segelintir orang dan tidak dapat dipegang kebebarannya. Dan jika mengikuti teori Chomsky orang-orang diluar komunitas agama atau yang tidak otoritatif tidak dapat berpendapat semau mereka karena harus menghormati apapun kepercayaan agama-agama meski tidak mereka sukai. Anta ta’iq wa ana ma’I famata nattifiq. Itulah clash of worldview.
👍2
As-Syekh ِAl-Allamah Abdul Aziz Asy-Syahawy (Mufti Tertinggi Madzhab Syafi’i di Mesir) sedang mengulang Hasiyah Syarqawi ala Attahrir.

Di depan beliau ada karung padi ? Ya, beliau ketika di rumah merupakan sosok Kyai desa yang sangat sederhana, layaknya penduduk desa biasa bertani dan nggarap sawah.

● Photo oleh Sidi Ade Rizal Kuncoro

---
Sumber: Maktabah At-Turmusy Litturots
MUNDUR KE BELAKANG MANA YANG ANDA MAKSUDKAN???

Suatu ketika, seseorang bertanya kepada Dr. Muhammad Imarah dengan pertanyaan yang sedikit mengejek dan mengolok:

"Saya dengar, Anda ingin sekali syariat Islam ini diterapkan, apakah Anda ingin membawa kami mundur ke belakang?"

Mendapatkan pertanyaan bernada merendahkan itu, beliau pun menjawab dengan balik bertanya:

"Ke belakang yang mana maksud Anda?
Apakah belakang yang anda maksud adalah 100 tahun yang lalu, saat Islam menguasai separuh dunia selama 500 tahun?

" Atau maksud anda lebih jauh lagi ke belakang saat dimana Dinasti Mamalik (Mamluk) menyelamatkan dunia dari ganasnya serbuan Mongol dan Tartar?"

"Atau lebih jauh lagi ke belakang saat Dinasti Abbasiyyah menguasai separuh dunia?"

"Atau ke belakang sebelumnya, di masa Dinasti Umayyah, atau sebelumnya lagi saat Umar bin Khatab menguasai banyak kawasan di dunia ini?"

"Atau di masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, saat beliau mengirim surat ke penguasa Imperium Romawi kala itu, Naqfur, beliau menulis:
"Dari Harun Ar-Rasyid Amirul mukminin, kepada Naqfur guguk Romawi (كلب الروم)"

"Atau ke belakang saat Abdurrahman ad-Dakhil bersama pasukannya berhasil menaklukkan Italia dan Prancis? Itu jika dalam bidang politik" .

"Atau maksudmu ke belakang adalah dalam bidang keilmuan, ketika ulama Arab seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Alkhawarizmi, Ibnu Jabir, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dll, mengajarkan dunia Arab dan dunia barat tentang ilmu kedokteran, farmasi, arsitektur, falak dan sastra?"

" Atau ke belakang maksudmu dalam hal kehormatan? Ketika seorang Yahudi kafir mengerjai seorang muslimah hingga terlepas baju abayanya sampai ia berteriak histeris, maka Khalifah Al Mu'tashim mengirim pasukan untuk membalas apa yang dia lakukan dan mengusir orang Yahudi dari negaranya. Sementara hari ini, para muslimah diperkosa sedangkan pemimpin negeri muslim hanya diam tak bisa berbuat apa-apa?"

"Atau ke belakang maksudmu saat kaum muslimin membangun universitas pertama di Spanyol yang menggemparkan Eropa kala itu, sehingga sejak itu, pakaian jubah longgar besar dari Arab itu menjadi pakaian wisuda hampir semua universitas dunia? Dan dibagian atasnya ada topi yang datar dimana dahulu dijadikan tempat meletakkan Al Qur'an saat acara wisuda?"

"Atau maksudmu ke belakang, saat Kairo menjadi kota paling indah di dunia?"

"Atau ketika 1 Dinar Iraq setara dengan 483 dolar?"

"Atau maksudmu ke belakang, saat orang-orang melarikan diri dari Eropa yang dilanda kemiskinan dan pergi menyelamatkan diri menuju Aleksandria (Mesir), atau ketika Amerika meminta bantuan Mesir untuk menyelamatkan Eropa dari kelaparan?"

"Tolong beritahukan padaku, mundur ke belakang mana yang kamu maksudkan??"

Dan si penanya hanya bisa diam, membisu tak tahu apa yang mau diucapkan.(***)

Alih bahasa: Ahmad Budiman, Lc
---------

Artikel-artikel dan info buku juga bisa didapatkan di link berikut, silahkan bergabung jika berkenan. Syukran...
https://t.me/adianhusaini
NASIHAT-NASIHAT PERADABAN
Penulis: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

"Peradaban Islam bersumber dari al-Qur'an dan al-Sunnah, yang dalam sejarahnya dikembangkan oleh tradisi intelektual Islam, disebarluaskan oleh keperkasaan bala tentara, dan dipertahankan oleh kekuasaan politik. Dan kemudian, peradaban ilmu menjadi panglima sepanjang sejarah peradaban Islam, sehingga menjadi rahmat bagi seluruh bangsa-bangsa di dunia yang masih dirasakan hingga kini."
-----------------------------
NASIHAT-NASIHAT PERADABAN
Penulis: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Ukuran: 13,5 x 19 cm
Isi: 92 halaman
Sampul: Soft Cover
Harga: Rp. 65.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.
KETIKA ANIES BASWEDAN MEMIMPIN: Menggerakkan, Menginspirasi
Penulis: Muhammad Husnil

Buku ini ditulis dari dekat dengan pengamatan mendalam, menguraikan kisah-kisah seputar rekam jejak gaya kepemimpinan Anies Baswedan. Ketika Anies memimpin, semua tergerak, semua terinspirasi.

Jejak kepemimpinan Anies Baswedan terbentang sejak masa kanak-kanak dan remaja. Lewat Kelabang Anies menggerakkan teman-temannya untuk berkumpul dan beraktivitas, terutama olahraga. Keluarga tentu saja menjadi persemaian pertama tumbuhnya benih-benih kepemimpinan.

Beragam aktivitas sejak duduk di bangku sekolah menengah hingga perguruan tinggi semakin mengasah kepemimpinan Anies. Persinggungannya dengan dunia luar saat masih di SMA menjadikan Anies sebagai warga dunia sejak belia. Menjadi pemimpin saat terjadi konflik mengajarkan Anies berdiplomasi, bernegosiasi dan berkompromi.

Gerakan Indonesia Mengajar yang digagas Anies saat menjadi rektor Universitas Paramadina telah menginspirasi anak muda Indonesia untuk peduli kepada saudara sebangsanya. Dari sini lahir gerakan-gerakan sosial lainnya.

Buku ini ditulis dari dekat dengan pengamatan mendalam, menguraikan kisah-kisah seputar rekam jejak gaya kepemimpinan Anies Baswedan. Ketika Anies memimpin, semua tergerak, semua terinspirasi.
------------------------
KETIKA ANIES BASWEDAN MEMIMPIN: Menggerakkan, Menginspirasi
Penulis: Muhammad Husnil
Berat: 300 gr
Ukuran: 13.5 × 20.5 cm
Isi: 272 halaman
Penerbit: Republika Penerbit
Harga: Rp. 85.000,-

Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997

Syukran.
Segala Solusi Ada Dalam Islam

Kami yakin semua solusi dan bimibingan kehidupan baik untuk kebaikan dunia dan kahirat sudah diajarkan oleh agama Islam. Semuanya sendi kehidupan besar maupun perkara sekecil apapun maka hukumnya telah diatur oleh syariat.

Sebagimana kisah ketika seorang kafir ketika ia berkata kepada sahabat Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu,

قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ

“Sungguh Nabi kalian- Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah mengajari kalian tentang segala hal sampai tata cara buang air”.

Maka Salman menjawab,

أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بَأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بَرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

“Betul, Sungguh kami dilarang menghadap kiblat saat buang air besar atau kecil, (kami juga dilarang) cebok dengan menggunakan tangan kanan atau cebok kurang dari 3 batu, atau cebok dengan kotoran hewan atau tulang”. [HR. Muslim no.262, Abu Dawud no. 7, At-Tirmidzi no.16, An-Nasa’i no.41 & 49, Ibnu Majah no.316]



Dan kami tekankan bahwa yang semua yang diatur urusan dunia-akhirat adalah hukumnya. Bukan berbagai perkara dunia misalnya aturan lalu-lintas ada dalam syariat, tetapi hukumnya ada yaitu wajib mentaatinya dalam rangka taat kepada pemerintah/ waliyul amri. Dan taat kepada pemerintah ada ajarannya dala islam. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أنتم أعلم بأمور دنياكم

“ Kalian lebih tahu urusan dunia kalian” [HR. Muslim no. 2363]



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam TIDAK bersabda,

أنتم أعلم بأحكام أمور دنياكم

“ Kalian lebih tahu hukum-hukum urusan dunia kalian” .


Sumber: Raehanul Bahraen
----------
Perhatikan Adab Bertanya
1. Tidak terburu-buru menagih jawaban
Contoh ketika SMS/WA: "Ustadz, tolong jelaskan hukum shalat ini beserta dalilnya dan rinciannya, kalau bisa cepat dibalas ustadz, ini sedang membuat bantahan"
Mungkin jawabannya: "Silahkan buka buku sifat shalat"

Perlu dipahami bahwa guru kita juga banyak urusan dan bisa jadi terbatas ilmi dan waktu. Agar mendapat ilmu yang berkah tidak boleh tergesa-gesa dan harus beradab dengan guru.[1]

2. Tidak bertanya yang bisa "mengadu domba"
Contohnya di suatu majelis ilmu sesi tanya jawab,
Fulan: Ustadz, apa hukumnya ini?
Ustadz: Hukumnya mubah
Fulan: Tapi ustadz A berpendapat haram ustadz !

Ini bukan adab yang baik dan bisa membenturkan pendapat ustadz tersebut karena mereka sezaman dan selevel. Berbeda halnya jika ia membawa dalil berupa hadits atau perkataan ulama berbeda zaman, ini tidaklah mengapa

3. Tidak terlalu banyak bertanya yang tidak perlu dan fakta itu belum terjadi
contoh:
Fulan: Kalau di bulan arah kiblatnya ke mana? Apa hukum makan daging dinosaurus?

Mungkin jawabannya: Tolong SMS saya kalau kamu sudah di bulan ya

Terlalu banyak bertanya seperti ini adalah sebab kehancuran umat terdahulu sebagaimana dalam hadits [2]
Semisal pertanyaan Bani Israil mengenai sapi apa yang harus disembelih sebagai qurban, mereka banyak bertanya ciri-cirinya akhirnya memberatkan mereka

4. Tidak bertanya untuk melawan dan mendebat
Bertanya dengan pertanyaan menjebak atau untuk memancing saja bukan untuk mencari jawaban atau diskusi.

Ibnul Qayyim menjelaskan menuntut ilmu itu bukan untuk melawan,: “Jika anda duduk bersama seorang ‘alim (ahli ilmu) maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk
melawan.”

Inilah yang dimaksud hadits orang yang menuntut ilmu untuk menyombongkan diri di depan ulama dan mendebat orang bodoh.
-Raehanul Bahraen-
Snouck Hurgronje, Hamka, Hingga Kini
Oleh: Dr. Adian Husaini

Prof Dr Hamka pernah menulis sebuah artikel menarik berjudul “Islam dan Majapahit”, yang dimuat dalam buku "Dari Perbendaharaan Lama" (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982). Bagi pengkaji sejarah Islam di Indonesia, artikel Hamka ini teramat sayang untuk dilewatkan.

Hamka memulai artikelnya dengan ungkapan pembuka: “Meskipun telah hidup di zaman baru dan penyelidik sejarah sudah lebih luas dari pada dahulu, masih banyak orang yang mencoba memutar balikkan sejarah. Satu di antara pemutarbalikkan itu ialah dakwah setengah orang yang lebih tebal rasa Hindunya daripada Islamnya, berkata bahwa keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Islam.

Padahal bukanlah begitu kejadiannya. Malahan sebaliknya.”Hamka menjelaskan, bahwa Kerajaan Majapahit pada zaman kebesarannya, terutama semasa dalam kendali Maha Patih Gajah Mada, memang adalah sebuah kerajaan Hindu yang besar di Indonesia, dan pernah mengadakan ekspansi, serangan dan tekanan atas pulau-pulau Indonesia yang lain. Dalam kitab “Negarakertagama” disebutkan daftar negeri taklukkan Majapahit.

Berbagai Kerajaan, baik Hindu, Budha, maupun Kerajaan Islam ditaklukkan. Kerajaan Islam Pasai dan Terengganu pun dihancurkan oleh Majapahit. Pasai tidak pernah bangkit lagi sebagai sebuah kerajaan. Tapi, Pasai kaya dengan para ulama. Di dalam sejarah Melayu, Tun Sri Lanang menulis, bahwa setelah Kerajaan Malaka naik dan maju, senantiasa juga ahli-ahli agama di Malaka menanyakan hukum-hukum Islam yang sulit ke Pasai. Dan jika ada orang-orang besar Pasai datang ziarah ke Malaka, mereka disambut juga oleh Sultan-sultan di Malaka dengan serba kebesaran.

Menurut Hamka, jika Pasai ditaklukkan dengan senjata, maka para ulama Pasai kemudian datang ke Tanah Jawa dengan dakwah, dengan keteguhan cita-cita dan ideologi. Para ulama datang ke Gresik sambil berniaga dan berdakwah. Terdapatlah nama-nama Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ibrahim Asmoro, atau Jumadil Kubro, ayah dari Maulana Ishak yang berputera Sunan Giri (Raden Paku) dan Sunan Ngampel (Makhdum Ibrahim).

“Dengan sabar dan mempunyai rancangan yang teratur, guru-guru Islam berdarah Arab-Persia-Aceh, itu menyebarkan agamanya di Jawa Timur, sampai Giri menjadi pusat penyiaran Islam, bukan saja untuk tanah Jawa, bahkan sampai ke Maluku. Sampai akhirnya Sunan Bonang (Raden Rahmat) dapat mengambil Raden Patah, putra Raja Majapahit yang terakhir (Brawijaya) dikawinkan dengan cucunya, dan akhirnya dijadikan Raja Islam yang pertama di Demak,” tulis Hamka.

Tindakan para wali dalam penyebaran Islam di Jawa itu tidak dapat dicela oleh raja-raja Majapahit. Bahkan, kekuasaan dan kewibawaan mereka di tengah masyarakat semakin meluas. Ada wali yang diangkat sebagai adipati Kerajaan Majapahit.

****

Hamka menolak keras pandangan yang menyatakan, bahwa Majapahit runtuh karena diserang Islam. Itu adalah pemutarbalikan sejarah yang sengaja disebarkan oleh orientalis seperti Snouck Hourgronje. Upaya ini dilakukan untuk menjauhkan bangsa Indonesia agar tidak menjadikan Islam sebagai basis semangat kebangsaan.

“Maksud ini berhasil,” papar Hamka. Akibatnya, dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga.

Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit.

Simaklah paparan Hamka selanjutnya berikut ini: “Marilah kita jadikan saja segala kejadian itu, menjadi kekayaan sejarah kita, dan jangan dicoba memutar balik keadaan, agar kokohkan kesatuan bangsa Indonesia, di bawah lambaian Merah Putih! Kalau tuan membusungkan dada menyebut Gajah Mada, maka orang di Sriwijaya akan berkata bahwa yang mendirikan Candi Borobudur itu ialah
seorang Raja Budha dari Sumatra yang pernah menduduki pulau Jawa. Kalau tuan membanggakan Majapahit, maka orang Melayu akan membuka Sitambo lamanya pula, menyatakan bahwa Hang Tuah pernah mengamuk dalam kraton sang Prabu Majapahit dan tidak ada kstaria Jawa yang berani menangkapnya.

Memang, di zaman jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.

Tahukan tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Diponegoro, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau?

Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan disana beliau berkubur buat selama-lamanya?

Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana.”

Peringatan Hamka, ulama terkenal, ini kiranya sangat patut dicamkan! Upaya sebagian kalangan, baik LSM dalam dan luar negeri maupun sebagian unsur pemerintah untuk menjauhkan Islam dari masyarakat – dengan cara membangkitkan kembali tradisi-tradisi pra-Islam atau menanamkan paham sekularisme – sejatinya akan membawa Indonesia ke jurang bencana.

Fenomana ini pun menunjukkan, bahwa tantangan dakwah Islam di Tanah Jawa --dan nusantara-- sejatinya masih belum berubah. Jika Wali Songo dan para pendakwah Islam lainnya di Tanah Jawa telah memulai langkah-langkah yang spektakuler, mengubah agama penduduk mayoritas negeri ini menjadi Muslim, maka kaum Muslim selanjutnya berkewajiban melanjutkannya.

Dalam buku terkenalnya, Fiqhud Da’wah, M. Natsir menegaskan, bahwa dakwah adalah kewajiban setiap muslim. “Tidak boleh seorang Muslim dan Muslimah menghindarkan diri dari padanya.” (3-11-2011)
👍1