MUSTANIR ONLINE
3.2K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
FIRDAUS SUNNAH
Buku Tebaru Karya Dr Aidh Al Qarni

Sekilas tentang buku silahkan baca di foto back cover.
Berat 1,7kg.
Harga Rp. 245.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
KITA RENUNGKAN AL QUR'AN SURAT AL MAIDAH: 41.

Jangan kita resah dengan orang-orang yang bergegas menuju kekufuran. Mulut mereka mengaku iman, tetapi hatinya tidak beriman. Kita Ingatkan mereka agar bertobat, krn orang-orang MUNAFIK seperti itu, disediakan tempat di dasar neraka. ... Allahumma inni a'udzubika minan nifaq...

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ ۛ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا ۛ سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ ۖ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ ۖ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَٰذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا ۚ وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ ۚ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di rubah-rubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini maka hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
-Dr. Adian Husaini-
Kisah Iblis begitu banyak diceritakan dalam al-Quran. Pesannya sangat jelas kepada kita, orang Muslim: jangan contoh perilaku Iblis! Dia memang pintar, tapi licik, durhaka dan berani menantang Tuhan. Satu lagi: dalam menyesatkan manusia, Iblis menggunakan cara-cara yang halus dan canggih. Kata-katanya menawan. Iblis tidak membentak-bentak Adam dan Hawa. Iblis bermuka manis, bertutur kata lembut dan sopan. Bahkan, Iblis menampakkan sikap yang sangat simpatik kepada Adam dan Hawa. Iblis sepertinya tidak bertampang seram, seperti digambarkan selama ini dalam berbagai komik dan film atau sinetron. Tapi, Iblis itu bisa berwajah cantik dan menawan. Iblis tidak mengatakan: Wahai Adam, tidak usah pedulikan larangan Tuhan! Tapi, Iblis bersikap sebagai teman akrab. Iblis bersumpah kepada Adam dan Hawa, bahwa dia adalah sahabat karib yang menasehati Adam dan Hawa dengan tulus ikhlas. (QS 7:21). Allah juga mengingatkan, bahwa musuh para Nabi dan pengikutnya adalah setan dari jenis manusia dan setan jenis jin yang aktivitas mereka adalah membisikkan kata-kata indah (zukhrufal qauli) untuk menipu manusia. (QS 6:112).
-Dr. Adian Husaini-
UPAYA MENETAPI SHIRATHAL MUSTAQIM
Oleh: Adian Husaini

Sebagai Muslim, kita diwajibkan membaca doa dalam shalat, minimal 17 kali sehari: Ihdinash shirathal mustaqim (Ya Allah, Tunjukkanlah kami jalan yang lurus). Shirathal Mustaqim adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah atas mereka (para nabi, para syuhada, dan shalihin), dan bukannya jalan orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub) dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat (al-dhalliin).

Orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub) adalah mereka yang sudah tahu kebenaran, tetapi enggan menerima kebenaran. Bahkan, mereka kemudian menyembunyikan kebenaran, atau berusaha mengaburkan kebenaran, dengan berbagai cara, sehingga yang haq dilihat sebagai bathil dan yang bathil dilihat sebagai haq. Kaum al-maghdhub ini juga bukannya tidak tahu tentang Al-Quran. Bahkan, bisa jadi mereka sangat pandai berhujjah dengan Al-Quran.

Sayyidina Umar bin Khathab pernah menyatakan, bahwa yang paling beliau khawatirkan akan menimpa umat Islam adalahtergelincirnya orang-orang yang alim dan ketika orang-orang munafik sudah berhujjah dengan Al-Quran. Rasulullah saw juga pernah menyampaikan, bahwa yang paling beliau khawatirkan menimpa umat Islam adalah munculnya orang-orang munafik yang pandai berhujjah (kullu munaafiqin alimil lisan).

Jadi, golongan al-maghdhub adalah siapa saja yang sudah mengetahui kebenaran, tetapi enggan mengikuti kebenaran dan bahkan mengubah-ubah dan menyembunyikan kebenaran. Karena itulah, kita diperintahkan untuk berdoa, agar jangan sekali-kali kita termasuk ke dalam golongan seperti ini.

Begitu juga kita berdoa semoga tidak termasuk ke dalam golongan al-dhalliin, golongan yang tersesat. Mereka tersesat karena tidak tahu dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Karena ketidaktahuan atau kebodohan inilah, golongan ini akan menyangka yang benar sebagai bathil dan yang bathil mereka sangka benar.
Mereka adalah korban-korban dari tindakan golongan al-maghdhub yang telah terlebih dahulu mengubah-ubah kebenaran. Bacalah berulang-ulang QS al-Baqarah mulai ayat 40-120.
Kita akan memahami, bagaimana besarnya kemurkaan Allah SWT terhadap kaum Yahudi yang telah menolak dan mengubah-ubah kebenaran yang disampaikan kepada mereka oleh para nabi.

Merekalah yang menceritakan akan datangnya Nabi terakhir, tetapi ketika Nabi terakhir itu datang, dan ternyata bukan dari golongan mereka, maka kaum Yahudi pun menjadi kaum yang pertama ingkar kepada kenabian Muhammad saw.
Karena itu, kita juga diperintahkan senantiasa berdoa, agar jangan sampai termasuk ke dalam golongan yang tersesat ini. Salah satu doa yang biasanya dibaca oleh kaum Muslimin adalah Ya Allah tunjukkanlah yang benar itu benar, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menjauhinya.

Suatu ketika, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Rasulullah saw menggambar sebuah garis lurus. Lalu, beliau menggambar sejumlah garis yang mengarah ke kanan dan ke kiri dari garis lurus tersebut. Rasul saw mengatakan: Ini adalah garis-garis yang bermacam-macam.

Pada setiap garis ini ada setan yang menyeru kepadanya. Kemudian beliau membaca ayat Al-Quran: wa anna hadza shirathiy mustaqiiman fattabiuuhu wa laa tattabiu as-subula fatafarraqa bikum an sabiilihi. (Katakanlah, ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan yang lurus itu, dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang bermacam-macam itu, sehingga kalian akan tercarai-berai dari jalan yang lurus.

Allah SWT dalam QS Ali Imran: 101 juga mengingatkan kita semua agar bersungguh-sungguh dalam bertaqwa kepada-Nya dan jangan sekali-kali mati kecuali dalam keadaan Islam.
Karena itu, kita juga senantiasa berdoa, agar pada ujung kehidupan kita nanti, kita tetap dalam kondisi iman dan Islam, tidak syirik, tidak murtad, dan tidak kafir. Itulah yang disebut sebagai husnul khatimah, akhir kehidupan yang baik.

Diantara manusia, hanya diri kita sendiri yang tahu persis isi hati kita, apakah kita masih dalam iman ya
ng benar atau tidak.
Tetapi, tentu saja, untuk mengetahui mana yang iman dan mana yang kufur, mana yang haq dan mana yang bathil, tidak cukup dengan berdoa saja. Hal itu harus disertai dengan ilmu. Karena itu, kita diwajibkan untuk senantiasa mencari ilmu, sepanjang hidup. Dan ilmu yang terpenting adalah ilmu untuk memahami mana yang haq dan mana yang bathil.
llmu untuk membedakan mana yang haq dan mana yang bathil itu sudah diturunkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya.

Di zaman modern saat ini, dimana berbagai gagasan yang merusak Islam sudah begitu menyebar bagai virus ganas, umat Islam justru dihadapkan pada tantangan yang sangat berat dalam masalah keilmuan. Khususnya, ilmu untuk membedakan yang haq dan yang bathil. Sebab, pada zaman seperti ini, yang memperjuangkan kebathilan pun tidak jarang berhujjah dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi. Tetapi, cara pemahaman mereka terhadap Al-Quran sudah tidak sesuai dengan yang dirumuskan oleh Rasulullah dan pewaris beliau, para ulama yang shalih.

Bagi kita, umat Islam, Al-Quran yang merupakan wahyu Allah SWT adalah pedoman hidup yang utama. Cara memahami Al-Quran (metodologi tafsir) pun sudah diajarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat Nabi yang mulia. Para ulama pewaris nabi kemudian merumuskan metodologi tafsir dengan sangat cermat dan teliti. Karena Al-Quran adalah kitab yang terjaga lafaz dan maknanya, maka menurut Prof. Naquib al-Attas, ilmu tafsir adalah ilmu pasti. Tafsir, bukan ilmu spekulasi. Termasuk ketika menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran yang memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan (zhanniy). Perbedaan pendapat itu pun ada landasannya. Tidak asal beda.
Berangkat dari kepastian sumber, kepastian metodologi, dan kepastian makna itulah, selama ratusan tahun umat Islam berjaya mengarungi kehidupan di dunia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Umat Islam memiliki pedoman yang pasti, yaitu teks Al-Quran dan Sunnah Nabi. Ini berbeda dengan peradaban Barat yang tidak memiliki teks wahyu sebagai pedoman hidup mereka. Karena itu, mereka tidak membangun peradaban di atas dasar Bibel. Mereka membuat sistem politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya, bukan berdasarkan pada Bibel, tetapi kepada spekulasi akal semata.

Peradaban Barat tidak mempercayai Bibel sebagai teks dasar untuk mengatur seluruh aspek kehidupan mereka. Karena kondisi teks Bibel itu sendiri, dan karena pengalaman sejarah mereka, maka mereka memandang agama adalah urusan pribadi; agama adalah pengalaman rohani dan terkait dengan proses sejarah. Sehingga, bagi mereka, tidak ada yang tetap dalam agama. Apa saja bisa diubah. Yang dulunya dipandang salah dan sesat, beberapa abad kemudian diterima sebagai kebenaran. Yang dulunya haram bisa jadi halal, atau sebaliknya. Itu semua bisa terjadi karena tidak ada otentisitas dan finalitas teks dan makna Kitab Suci.

Orang Yahudi, misalnya, mengakui, bahwa Kitabnya sudah tidak bisa lagi dikenali, mana bagian yang asli dan mana yang tambahan. Th.C. Vriezen dalam bukunya, Agama Israel Kuno (2001), menulis: Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumber-sumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.

Kitab ini kemudian dipakai oleh kaum Kristen sebagai Bibel mereka, ditambahkan dengan Perjanjian Baru. Karena teks dan maknanya tidak terjaga, maka agama Yahudi dan Kristen selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, mengikuti perkembangan zaman. Ketika menghadapi hegemoni Barat modern, mereka pun tidak segan-segan mengubah ajaran-ajaran yang sangat mendasar
pada agama mereka.

Perilaku kaum Yahudi dan Kristen dalam mengubah-ubah agama mereka inilah yang kemudian diikuti oleh sebagian kalangan umat Islam dengan berbagai nama. Ada yang menamakan pembaruan Islam, ada yang menamakan liberalisasi Islam, ada yang namanya sekularisasi Islam, dan sebagainya. Jika kita cermati, perilaku para pembaru Islam akhir-akhir ini, sangat memprihatinkan. Mereka bukan sedang melakukan upaya tajdid yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran (shirathal mustaqim) dalam Islam. Banyak yang menggunakan logika asal-asalan dan kurang bertanggung jawab.

Jika ditunjukkan kekeliruan berfikir dan hujjah mereka, mereka juga tidak mau tahu, dan tidak mau mengkoreksi pendapatnya. Tetapi, mereka selalu menyatakan,Kami menginginkan perbaikan. Sangatlah berbeda sikap, pandangan, dan perilaku mereka dengan mujaddid Islam sejati, seperti Imam Syafii.

Betapa prihatinnya kita masih saja menemukan adanya kampanye terbuka di media massa tentang paham Pluralisme Agama, yang dalam pandangan Islam, jelas-jelas merupakan paham syirik, karena membenarkan semua agama, yang beberapa diantaranya sudah dikoreksi oleh Al-Quran.

Para ulama Islam pun sepanjang sejarah, tidak pernah mengembangkan paham kebenaran semua agama ini. Karena memang paham ini adalah paham yang aneh, sangat fatal, dan merusak. Begitu juga dalam implementasi fiqih, misalnya.
Sebagai contoh, hasil Keputusan Bahtsul Masail Muktamar NU ke-30 di PP Lirboyo Kediri, tahun 1999, dengan tegas menyatakan, bahwa doa bersama antar umat beragama adalah tidak boleh, kecuali cara dan isinya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam keputusan ini dikutip isi Hasyiyah Jamal ala Fathil Wahab II:119, yang melarang mengaminkan doa orang kafir. Dalam Muktamar NU itu juga ditegaskan, bahwa Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Muslim kecuali dalam keadaan darurat.

Hasil keputusan Muktamar NU ke-30 itu jelas sangat berbeda dengan isi buku Fiqih Lintas Agama, misalnya, yang menghapus sekat-sekat perbedaan agama dalam fiqih, sehingga perkawinan antar agama pun sudah dihalalkan.
Bahkan, sejumlah pendukung paham relarivisme dan pluralisme agama kemudian menjadi penghulu swasta untuk perkawinan antar-agama di berbagai tempat. Sudah banyak muslimah yang menjadi korban kekeliruan kelompok ini, sehingga rela dikawini oleh laki-laki non-Muslim.
Karena ketidaktahuan atau hawa nafsu, banyak yang memandang penghulu-penghulu swasta itu juga orang yang alim, karena bergelar doktor dan juga dosen di universitas-universitas Islam terkemuka. Di kampusnya, para penghulu swasta ini juga sangat berkuasa terhadap mahasiswanya, dan leluasa melampiaskan pikirannya, dengan mengarahkan isi skripsi, tesis, atau disertasi mahasiswa, sesuai dengan pikiran dan selera mereka.
Padahal, buku Fiqih Lintas Agama dan sejenisnya ini jelas-jelas sangat merusak agama, dan para penulisnya sangat tidak pantas diberi gelar mujaddid atau pembaru Islam. Sejatinya, mereka telah dengan sangat jelas merusak ilmu-ilmu Islam. Anehnya, tindakan mereka itu dibiarkan saja oleh para penguasa kampus, dan ada yang kemudian dianugerahi gelar guru besar dalam pemikiran Islam.

Ketika merombak hukum-hukum Islam tentang hubungan antar-agama, orang-orang yang mengaku melakukan pembaruan Islam ini sama sekali tidak merumuskan metodologi ushul fiqihnya. Tetapi, bahkan memulainya dengan mencerca Imam Syafii. Kita sudah beberapa kali menunjukkan kekeliruan pandangan Pluralisme Agama dan paham relativisme agama.
Tetapi, anehnya, ada saja yang menulis di media massa, bahwa apa yang dilakukan oleh pendukung paham syirik adalah mulia dan dalam rangka memperbaiki Islam, sebagaimana dilakukan oleh para ulama Islam sebelumnya. Tentu saja, pandangan seperti ini sangat keliru dan fitnah besar terhadap para ulama Islam terdahulu.
Tugas kita tentu saja, hanya melakukan amar maruf nahi munkar, meskipun kita sadar benar, banyak yang tidak rela jika kemunkaran dalam ilmu ini kita coba untuk diluruskan.

Itu bukan urusan kita lagi. Siapa pun juga yang ikhlas dan sungguh-sungguh dalam mencari kebena
ran, pasti akan ditunjukkan kebenaran itu oleh Allah SWT. Sekali lagi, di tengah kemelut pemikiran yang tidak menentu saat ini, kita hanya berdoa kepada Allah, semoga kita tetap berada di jalan yang lurus (ash-shirat al-mustaqim). Di zaman ini, menetapi jalan lurus bukanlah hal yang mudah, karena sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, di kiri kanan kita senantiasa terbentang jalan-jalan yang menyimpang yang seringkali dipoles dengan sangat indah dan menawan. Pada tiap jalan yang menyimpang itu, kata Rasul saw, ada setan yang mengajak manusia untuk mengikuti jalannya. Jadi, pilihan bagi orang-orang yang berilmu sudah sangat jelas: ikut shirath al-mustaqim, ikut jalan oran-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub), atau ikut jalannya orang-orang yang sesat (al-dhaalliin). Sungguh telah jelas, mana yang haq dan mana yang bathil, tentu bagi yang mau memahami. [Jakarta, 26 Januari 2007].

__oOo__
JIWA MANUSIA
MENURUT FAKHRUDDIN AL-RAZI

Oleh: Adnin Armas, M.A.
(Peneliti INSISTS)

Imam Fakhruddin al-Razi (m. 1210 M) dikenal sebagai seorang ulama besar yang ensiklopedis, menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Ia seorang mufassir al-Quran terkemuka. Ia juga pakar dalam bidang kedokteran, logika, matematika, dan fisika. Ia menulis kurang lebih dari dua ratus judul buku. Beberapa judul pun berjilid-jilid. Tulisannya tentang jiwa manusia terurai paling sedikit dalam tiga karyanya. Pertama, tentunya dalam Tafsir Besar-nya (al-Tafsir al-Kabir). Kedua, bukunya yang berjudul Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa Syarh Quwahuma. (Buku Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya). Ketiga, tulisannya yang lebih menukik, terdapat dalam magnum opus-nya (karya besar), yang berjudul al-Matalib al-Aliyah fi al-Ilm al-Ilahi (Kesimpulan-Kesimpulan Puncak dalam Ilmu Ketuhanan). Buku ini terdiri dari 9 jilid.

Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang unik. Keunikannya ada pada karakteristiknya yang khas. Manusia memang beda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Bagi Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Ini membedakan manusia bukan hanya dengan binatang dan tumbuhan, tapi juga dengan malaikat. Dalam kajian psikologi Barat, perbandingan manusia dengan malaikat dan setan tentunya tidak ditemukan.

Menurut al-Razi, malaikat hanya memiliki akal dan hikmah, tanpa tabiat dan hawa nafsu. Karena itu, malaikat selalu ber-tasbih, ber-tahmid dan melakukan taqdis. (QS 16:50; 66:6: 21:21). Malaikat juga tidak akan mengingkari perintah Allah Taala karena memang tidak memiliki hawa nafsu. Sebaliknya, binatang dan tumbuh-tumbuhan memiliki tabiat dan nafsu, namun tidak memiliki akal serta hikmah. Berbeda dengan malaikat, binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia memiliki kesemua karakteristik tersebut, yaitu akal, hikmah, tabiat dan hawa nafsu.

Karakteristik berbeda menyebabkan sifat juga berbeda. Bagi al-Razi, malaikat selalu memiliki kesempurnaan karena tidak punya hawa nafsu dan tabiat. Sebaliknya, binatang selalu memiliki kekurangan karena tidak punya akal dan hikmah. Nah, manusia ada di antara keduanya. Manusia memiliki akal dan hikmah, tapi manusia juga punya hawa nafsu dan tabiat. Karena ke-empat karakteristik tersebut, maka manusia memiliki sifat kekurangan dan kelebihan. Jika manusia menggunakan akal dan hikmah untuk mengatur hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Dengan menggunakan akal -- dan hikmah yang bersumber dari ajaran agama -- untuk menundukkan hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan menjadi khalifah Allah di bumi, sekaligus akan menjadi makhluk yang paling mulia. Sebaliknya, jika tabiat dan hawa nafsu yang menguasai diri dan akalnya, maka ia akan lebih hina dari binatang, yang memang tidak punya akal dan hikmah.

Jiwa Manusia
Menurut Fakhruddin al-Razi, jiwa manusia memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah tingkat yang menghadap ke alam ilahi (al-sabiqun, al-muqarrabun). Tingkatan ini dapat diraih hanya jika manusia mau melakukan praktek spiritual (al-riyadiyah al-ruhaniah) dengan istiqamah. Tingkatan berikutnya adalah tingkatan pertengahan (ashab al-maymanah, al-muqtasidun). Untuk mencapai tingkat kedua ini, diperlukan ilmu akhlak (‘ilm al-akhlaq). Tingkatan paling rendah adalah jiwa manusia yang sibuk mencari kesenangan kehidupan duniawi, (ashab al-shimal, al-dhalimun).

Fakhruddin al-Razi juga menyatakan bahwa ada tiga jenis jiwa manusia. Pertama, al-Nafs al-Mutmainnah (al-Fajr, 89: 27), yaitu jiwa yang tenang, jiwa yang penuh dengan kehidupan spiritualitas dan kedekatan dengan Tuhan. Kedua adalah al-Nafs al-lawwamah (al-Qiyamah 75: 2). Ketiga adalah al-Nafs al-Ammarah bi al-su (Yusuf, 12: 53), adalah jiwa yang selalu mengarahkan manusia kepada keburukan.

Fakhruddin al-Razi membedakan jiwa dengan tubuh. Menurutnya, jiwa bukanlah struktur lahiriah yang bisa dilihat secara inderawi (Ghayr al-bunyah al-zahirah al-mahshushah)
. Fakhruddin al-Razi membuktikan pendapatnya dengan akal dan wahyu. Adapun bukti akal sebagai berikut. Pertama, jiwa adalah satu. Oleh sebab itu, jiwa berbeda dengan tubuh dan bagian-bagiannya. Bahwa jiwa adalah satu, dapat dibuktikan secara spontan dan intuitif (a priori) dan bisa juga dengan bukti empiris (a posteriori). Spontan, karena ketika seorang mengatakan “aku/saya”, maka “aku/saya” merujuk kepada satu esensi (zat) yang khusus, dan tidak banyak.

Jiwa bisa juga dibuktikan secara empiris, yang berbeda dengan tubuh dan bagian-bagian tubuh: (a) Jiwa bukanlah himpunan bagian-bagian tubuh karena penglihatan tidak menghimpun seluruh kerja tubuh. (b) Jiwa juga tidak identik dengan bagian dari tubuh karena tidak ada dari bagian tubuh yang meliputi semua kerja tubuh. (c) Jika kita melihat sesuatu, kita mengetahuinya, setelah itu menyukainya ataupun membencinya, mendekatinya ataupun menjauhinya. Jika penglihatan adalah sesuatu, dan pengetahuan adalah sesuatu yang lain, maka yang melihat tidak akan mengetahui. Padahal, ketika saya melihat, saya mengetahui. Jadi, esensi dari penglihatan dan pengetahuan adalah satu. (d) Semua bagian tubuh adalah alat untuk jiwa. Jiwa melihat dengan mata, berfikir dengan otak, berbuat dengan hati, merasa dengan kulit, dan seterusnya.

Lalu, apa ”jiwa” itu? Fakhruddin al-Razi menggambarkan hakikat jiwa sebagai substansi yang berbeda dengan tubuh. Jiwa juga terpisah secara esensial dengan tubuh. Namun jiwa terhubungkan dengan tubuh dengan hubungan kerja dan administrasi (dzat al-nafs jawhar mughayir laha mufariq anha bi al-dhat mutaalliq biha tasarruf wa al-tadbir).

Setelah menyebutkan bukti-bukti akal, Fakhruddin al-Razi menyebutkan banyak ayat dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa jiwa bukanlah tubuh. Firman Allah, misalnya, dalam Surah Ali Imran ayat 169 yang artinya: ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS 3: 169). Jadi, jiwa bukan tubuh, karena sekalipun badan mereka telah gugur, namun jiwa mereka tetap hidup. Begitu juga disebutkan dalam al-Quran Surah Al-Muminun 40:46; Nuh 71: 25; Al-Anam: 93.

Pemikiran Fakhruddin al-Razi bahwa jiwa dan bukan tubuh -- yang mengatur tubuh sangat penting untuk direnungkan. Kita mungkin banyak menghabiskan uang untuk berobat, merawat kesehatan badan, menjaga tubuh dengan membeli berbagai produk kesehatan dan kosmetika, dan membeli pakaian dengan berbagai merek, model dan bentuk. Jika tidak menghabiskan banyak uang untuk keperluan dan keinginan tersebut, setiap hari kita mandi untuk membersihkan tubuh kita. Namun, apakah jiwa yang justru mengatur tubuh kita juga dibersihkan, diobati, dirawat dan dihiasi?

Manusia bisa saja memiliki tubuh bersih namun berjiwa kotor. Jadi, jiwa tidak selalu tergantung kepada penampilan tubuh. Kita berharap memiliki jiwa yang sehat dengan tubuh yang sehat. Jiwa yang tenang akan dapat diraih dengan mempelajari serta mengamalkan ibadah dan akhlak secara berkelanjutan. Inilah jiwa yang sehat, jiwa yang selalu mengingat Allah dan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. (***)
MUSUH AGAMA-AGAMA
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS)

Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.

Begitulah salah satu pernyataan tegas seorang pendukung paham Pluralisme Agama di Indonesia, seperti ia tulis dalam artikel di satu koran nasional. Pandangan semacam ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru. Klaim kebenaran agama bagi pemeluk masing-masing, dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Seolah-olah, kerukunan umat beragama harus dibangun di atas landasan teologi pluralis yang melarang setiap pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya masing-masing.

Maka, betapa tesengatnya pendukung Pluralisme Agama di Indonesia, ketika pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham Pluralisme Agama dan menyatakan sesat sejumlah aliran keagamaan. Karena itu, bisa dipahami, jika dalam berbagai seminar dan kesempatan, MUI menjadi bahan caci-maki. Banyak yang kelabakan. Bahkan ada yang kalap. Sebuah Jurnal yang diterbitkan di sebuah kampus Islam di Semarang pada edisi 28 Th XIII/2005, memuat laporan utama berjudul Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan. Dalam jurnal ini, misalnya, diturunkan wawancara dengan seorang aktivis HAM dengan judul MUI bisa Dijerat KUHP Provokator. Ia membuat usulan untuk MUI: Jebloskan penjara saja dengan jeratan pasal 55 provokator, jelas hukumannya sampai 5 tahun.

Amerika Serikat juga sangat getal mengucurkan dana untuk penyebaran paham Pluralisme, sehingga banyak yang menyambut dengan gegap gempita. Dalam situsnya, (http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html), ditulis: Kedutaan mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan.

Pluralisme Agama sebagaimana yang banyak ditulis oleh para penganut dan penyebarnya -- memang bukan sekedar konsep toleransi, saling menghormati antar pemeluk agama, tanpa mengganggu konsep-konsep khas dalam teologi masing-masing agama. Menafsirkan QS al-Baqarah:62, sebuah disertasi doktor Ilmu Tafsir di UIN Jakarta menulis: Jika diperhatikan secara seksama, jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabiah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dengan keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal saleh sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran.

Pandangan dan penafsiran semacam ini tentu saja sangat keliru dan sama sekali tidak berangkat dari posisi teologis Islam. Ribuan mufassir al-Quran yang mutabarah sejak dahulu kala tidak ada yang memahami ayat al-Quran tersebut seperti itu. Sebab, dengan logika sederhana pun kita bisa memahami, bahwa untuk dapat "beriman kepada Allah" dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Rasul Allah saw. Sebab, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; dapat mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Ini konsepsi teologis Islam.

Kaum Pluralis kadangkala memandang aspek keimanan ini sebagai hal yang kecil. Kata mereka, yang penting adalah nilai kemanusiaan. Manusia harus saling mengasihi, tanpa melihat agamanya apa; tanpa melihat jenis imannya. Tentu saja pandangan ini juga sangat keliru. Sebab, dalam kehidupan manusia pun, aspek pengakuan juga sangat penting. Anak menuntut pengakuan dari orang tuanya. Sebelum bekerja, Pr
esiden juga perlu pengakuan dari rakyat bahwa dia adalah Presiden. Anak yang tidak mau mengakui orang tuanya disebut anak durhaka. Maka, pengakuan (syahadah) itulah yang diminta oleh Allah kepada umat manusia. Yakni, agar manusia mengakui bahwa Dia adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah; dan bahwa Muhammad saw adalah utusan-Nya yang terakhir. Apa beratnya manusia untuk mau membuat pengakuan semacam ini?

Ada yang bilang, bahwa soal iman kepada kenabian Muhammad saw itu adalah soal kecil saja; masalah yang tidak penting; jadi tidak usah dibesar-besarkan; yang penting adalah kehidupan yang harmonis dan hormat-menghormati antar sesama manusia. Coba tanyakan kepada kaum yang mengaku Pluralis itu, jika iman kepada Nabi Muhammad saw adalah soal kecil, mengapa banyak yang keberatan untuk mengakui bahwa Muhammad saw adalah seorang Nabi. Mengapa? Jika itu dianggap masalah kecil, mengapa hanya untuk soal yang kecil saja, mereka tidak mau iman? Jadi jelas, bagi kaum Muslim, ini bukan soal kecil.

Bukan hanya kaum Muslim yang memandang Pluralisme Agama sebagai ancaman serius. Tahun 2000, Vatikan juga mengeluarkan Dekrit Dominus Iesus yang menolak paham Pluralisme Agama. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya, Dupuis menyatakan, bahwa kebenaran penuh (fullnes of thruth) tidak akan terlahir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan sebagaimana Kristen menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut.

Buku Toward a Christian theology of Religious Pluralism pada intinya menyatakan, bahwa Yesus bukan satu-satunya jalan keselamatan. Penganut agama lain juga akan mengalami keselamatan, tanpa melalui Yesus. Karena ajarannya itulah, pada Oktober 1988 ia mendapat notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman. Ia dinyatakan tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik. Surat itu ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger, yang kini menjadi Paus Benediktus XVI.

Jadi, Vatikan pun tidak bisa menerima pandangan semacam ini, yang menerima kebenaran semua agama. Vatikan bersikap tegas. Tentu saja, orang-orang liberal dalam Katolik juga protes dengan sikap itu. Sama halnya kaum liberal di kalangan Muslim, juga marah-marah terhadap fatwa MUI soal Pluralisme Agama. Untuk menegaskan kebenaran agama Katolik, pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II membuat pernyataan: The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete. (Ajaran Jesus Kristus adalah sudah tetap dan komplit).

Setiap pemeluk agama pasti memiliki posisi teologis yang berbeda-beda. Perbedaan itu harus dihormati. Kaum Pluralis Agama memang tidak jelas posisi teologisnya. Ia bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu, atau Budha. Benar kata Dr. Stevri Lumintang, posisi teologisnya memang abu-abu. Karena itulah, Dr. Stevri mencatat, dalam bukunya, Teologia Abu-abu, Pluralisme Agama, bahwa: ...Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru... (***)
MODERAT
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Istilah moderat akhir-akhir ini mencuat menjadi jawaban terhadap stigmatisasi umat Islam dengan fundamentalisme dan terrorisme. Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme. Tahun 2008 Sebuah symposium digelar di Tokyo Jepang. Isunya adalah tentang arti Muslim moderat dan masa depan politik Islam.

Karena pentingnya istilah ini maka pada edisi tahun 2000 keatas American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial. Sedikitnya ada tiga kelompok yang memperebutkan arti moderat ini yaiu mereka yang anti-Islam, orang Barat dan orang Islam.

Definisi Islam moderat yang anti Islam dapat dilihat pada situs “muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini diantaranya: moderat adalah yang tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, pro kebebasan beragama, pro-kesetaraan gender, menentang jihad, menentang supremasi Islam, pemerintah sekuler, pro atau netral terhadap Israel, tidak bereaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan terorisme serta pro-humanisme universal.

Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 justru dengan tegas menyatakan siapapun yang membela syariat tidak dapat dikatakan moderat. (No one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.

Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Muslim moderat, kata Graham Fuller adalah yang menolak literalisme dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain.

Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya.

Bagi Rabasa moderat adalah mereka yang dapat menerima kultur demokratik, mendukung demokrasi dan menerima HAM internasional, termasuk mengakui kesetaraan gender, kebebasan beribadah), menghormati pluralitas, menerima sumber hukum yang tidak sectarian, dan memusuhi terrorisme dan segala bentuk kekerasan.

Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing wrong”. Tapi justru yang menemukan kesalahannya adalah John L. Esposito. Dengan bijak dan adil dia kritik begini: Pertama, Jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Salat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat.

Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja.
Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik. Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya. Padahal kitab suci itulah yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina.

Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat adalah “a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic norms”. Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariat (Bukunya: The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini
oleh Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”.

Bagi Muqtedar Khan, cendekiawan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang berpikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar (QS. 5 : 48, 3 : 110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan menambahkan, Muslim yang menolak ketidakadilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan.

Jadi, istilah moderat bisa diplesetkan menjadi sama arti dengan liberal. Atau bahkan bisa menjadi anti Islam dan pro-Barat. Inilah alat untuk mengalahkan apa yang mereka sebut radikalisme. Padahal untuk mengalahkan bayang-bayang fundamentalisme tidak perlu liberalism. Dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus.
Meruntuhkan Mitos Nurcholish Madjid
Oleh: Adian Husaini

Pada 16 Desember 2006 lalu, sebuah peristiwa yang sangat bersejarah terjadi di Indonesia. Ketika itu, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, cendekiawan Muslim asal Gontor Ponorogo, menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka tasyakkuran gelar doktornya dari  International Institute of Islamic Thought and CivilizationInternational Islamic University Malaysia  (ISTAC-IIUM) Malaysia. Secara terbuka dan sistematis, Hamid memberikan kritik-kritik tajam terhadap gagasan pembaruan Islam yang pernah digulirkan oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawan di awal tahun 1970-an.

Hamid F. Zarkasyi yang juga Pemimpin Redaksi Majalah ISLAMIA dan direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), lulus program Ph.D. pada 6 Ramadhan 1427 H/29 September 2006, setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Al-Ghazalis Concept of Causality, di hadapan para penguji yang terdiri atas Prof. Dr. Osman Bakar, Prof. Dr. Ibrahim Zein, dan Prof. Dr. Torlah. Prof. Dr. Alparslan Acikgence, penguji eksternal dari Turki,  memuji kajian Hamid terhadap teori kausalitas al-Ghazali pada kajian sejarah pemikiran Islam. Sebab, pendekatan Hamid terhadap konsep kausalitas al-Ghazali telah menjelaskan sesuatu yang selama ini telah dilewatkan oleh kebanyakan pengkaji al-Ghazali.  

Acara tasyakkur Hamid F. Zarkasyi diselenggarakan INSISTS di Gedung Gema Insani, Depok, dan dihadiri sekitar 100 orang dari berbagai kalangan, tokoh dan pimpinan Ormas Islam, profesional, dosen, mahasiswa, dan aktivis dakwah. Selama hampir dua jam, hadirin dibuat tidak bergerak, khusyu menyimak paparan Hamid yang bertema Membangun Peradaban Islam yang Bermartabat. Pidato peradaban Hamid ini diakui sejumlah peserta sangat luar biasa, karena dipersiapkan dengan sangat serius dan berisi hal-hal yang mendasar dalam upaya membangun peradaban Islam yang dimulai dari upaya perumusan konsep-konsep mendasar dalam pemikiran Islam.

Melalui orasi ilmiahnya tersebut, Hamid Zarkasyi seperti layaknya pendekar yang baru turun gunung, setelah bertapa selama puluhan tahun. Sejak kecil sampai sarjana S-1, Hamid dibesarkan dan dididik ayahnya sendiri di lingkungan Pesantren Gontor. Barulah kemudian dia melanjutkan program masternya di Pakistan. Setelah mengabdi beberapa tahun di Gontor, Hamid kembali melanjutkan kuliah S-2 nya di Birmingham Inggris. Dari Inggris, dia langsung melanjutkan studi S-3 nya ke ISTAC. Barulah, pada tahun 2006, pada usia 48 tahun, Hamid baru menyelesaikan studi doktornya.

Bagi pembaca majalah ISLAMIA, sebenarnya sejak empat tahun ini, sosok Hamid sudah dikenal luas melalui berbagai artikelnya. Pemikirannya sudah tersebar luas dan memberikan dampak signifikan pada berbagai kalangan peminat studi Islam.

Tetapi, orasi ilmiahnya pada 16 Desember 2006, merupakan momentum penting. Secara substansi, orasi ilmiah Hamid Zarkasyi ini seperti proklamasi jati diri dan pemikirannya. Orasi itu bagai upaya untuk menyapu setidaknya membendung opini dan mitos yang terus dikembangkan oleh para pengikut Nurcholish Madjid, bahwa pemikiran Nurcholish Madjid adalah hebat dan ilmiah, sehingga tidak bisa dijangkau oleh para pengkritiknya.

Ada yang menulis, bahwa para pengkritik Nurcholish salah paham terhadap gagasan Nurcholish. Sedangkan yang mendukung Nurcholish  paham terhadap Nurcholish. Padahal, baik yang mendukung maupun yang mengkritik Nurcholish memang ada kemungkinan salah paham, jika tidak memahami benar dasar dan anatomi pemikiran Nurcholish Madjid.

Mengembangkan prasangka semacam itu tidaklah bermanfaat untuk melihat persoalan secara  jernih. Gagasan sekularisasi dan pembaruan Islam Nurcholish bukanlah gagasan yang rumit dan hanya dapat dipahami oleh pendukung Nurcholish. Gagasan itu dia tulis dalam bahasan Indonesia bukan bahasa Ibrani atau bahasa Mesir kuno.

Ide  Sekularisasi Islam juga mudah dirunut akarnya dari pemikiran Harvey Cox atau Robert N. Bellah. Corak pemikiran neo-modernis Nurcholish, bisa ditelusuri dari  pemikiran gurunya di Chicago University, Prof. Fazlur Rahman. Gagasan-gagasan ke
islamannya juga bisa dirunut pada pemikiran Wilfred Cantwell Smith. Nurcholish sendiri tidak mengeluarkan satu buku ilmiah yang utuh untuk menggambarkan pemikirannya sehingga bisa jadi ada aspek-aspek yang bertentangan dalam satu bagian tulisannya dengan bagian lainnya. Apalagi, setelah dia terjun ke dunia politik praktis, karena berminat menjadi presiden RI.  

Memang, kemunculan Nurcholish Madjid sebagai tokoh besar dalam pemikiran Islam, tidak bisa dilepaskan dari setting media massa tertentu. Karena itu, kritik-kritik terhadap Nurcholish, meskipun dilakukan oleh ilmuwan kaliber internasional seperti Prof. HM Rasjidi, tetap saja dikecilkan oleh media. Ketika menggulirkan pemikiran sekularisasinya, Nurcholish baru lulus S-1 dan Prof. Rasjidi adalah doktor lulusan Universitas Sorbone, Paris dan sempat menjadi professor di McGill University Kanada.

Tanpa menafikan kemungkinan adanya niat baik dari gagasan pembaruan Islam, gagasan ini  harus dilihat dari akarnya, yakni pengaruh peradaban Barat. Dewasa ini, tantangan ekternal terberat yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah hegemoni ilmu pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Dalam pidato ilmiahnya itu, Hamid Zarkasyi mampu menyuguhkan gambaran peradaban Islam yang sangat luar biasa dan memaparkan perbedaan yang fundamental antara peradaban Islam dengan peradaban Barat.

Sebelum memberikan kritiknya terhadap gagasan pembaruan Islam, Hamid F. Zarkasyi, telah membongkar hakekat peradaban Barat yang menurutnya dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri  zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme,  rasionalisme,  empirisisme, cara befikir dikhotomis, desakralisasi,  pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama).   

Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme  liberalisme, sekularisme dan sebagainya. John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan persamaan  (pluralisme) adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim. Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya.

Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru  seperti nihilisme, relativisme,  pluralisme dan persamaan (equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya. 

Fazlur Rahman mengakui, bahwa kaum modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis. Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada banyak cendekiawan Indonesia seperti  Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan terminologi Islam, Nurcholish berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan, maka. Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Istilah-istilah yang digunakan dalam pembaruan Islam adalah murni Barat, sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama.

Sekularisasi menurutnya adalah "menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam untuk mengukhrawikannya" kemudian diperkuat dengan idenya tentang "liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam" dengan memandang negatif tradisi dan kaum tradisionalis. Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisa