si dalam Kristen, dan tidak ada modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam ajaran Islam.
Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationism).
Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme, pluralisme, equality (persamaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi framework pemikiran. Lebih-lebih trend pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah belajar dengan para orientalis di Barat.
Hamid memandang, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, termasuk di Indonesia, ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang memang bertekun khusus dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran Islam. Terkadang merupakan gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya oleh media.
Jika pun ada komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadai untuk suatu proyek pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung meng-copy konsep-konsep Barat modern dan postmodern.
Untuk itu, simpul Hamid, apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing, terutama Barat, khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian.
Demikian, paparan dan kritik Hamid F. Zarkasyi terhadap gagasan pembaruan Islam. Meskipun selama ini banyak yang sudah mengkritik gagasan sekularisasi Nurcholish madjid, tetapi kritik Hamid Zarkasyi ini memiliki signifikansi yang sangat tinggi.
Pertama, karena kualitas kritik Hamid yang sangat ilmiah dalam membongkar akar-akar pemikiran Nurcholish Madjid dan kedua, karena Hamid Zarkasyi adalah putra KH Imam Zarkasyi, pendiri pesantren Gontor, dimana Nurcholish pernah nyantri.
Tidak bisa dipungkiri, bagi sebagian orang, sosok Nurcholish Nurcholish identik dengan pesantren Gontor.
Padahal, kata Hamid, ayahnya sendiri pernah menyatakan, bahwa Nurcholish memang dari Gontor, tetapi Gontor bukanlah Nurcholish. Memang, jika dicermati, Nurcholish memang sempat nyantri di Gontor, tetapi pemikiran sekularisasi apalagi pluralismenya bukanlah berasal dari Gontor. Setelah nyantri, Nurcholish melanjutkan studi S-1 nya di IAIN Jakarta dan kemudian ke University of Chicago.
KH Khalil Ridwan, alumnus Gontor yang berpuluh-puluh tahun merasa gusar dengan penyebaran pemikiran Nurcholish Madjid, termasuk di kalangan alumni Gontor, mengaku sangat bersyukur dengan kelulusan doktor Hamid Zarkasyi. Dia pun mengaku bersyukur karena Hamid berani dan mampu mengupas pemikiran Nurcholish Madjid dengan baik dan menunjukkan kekeliruannya. Karena itu, dalam sambutannya dalam acara tasyakkuran tersebut, KH Khalil Ridwan be
Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationism).
Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme, pluralisme, equality (persamaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi framework pemikiran. Lebih-lebih trend pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah belajar dengan para orientalis di Barat.
Hamid memandang, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, termasuk di Indonesia, ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang memang bertekun khusus dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran Islam. Terkadang merupakan gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya oleh media.
Jika pun ada komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadai untuk suatu proyek pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung meng-copy konsep-konsep Barat modern dan postmodern.
Untuk itu, simpul Hamid, apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing, terutama Barat, khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian.
Demikian, paparan dan kritik Hamid F. Zarkasyi terhadap gagasan pembaruan Islam. Meskipun selama ini banyak yang sudah mengkritik gagasan sekularisasi Nurcholish madjid, tetapi kritik Hamid Zarkasyi ini memiliki signifikansi yang sangat tinggi.
Pertama, karena kualitas kritik Hamid yang sangat ilmiah dalam membongkar akar-akar pemikiran Nurcholish Madjid dan kedua, karena Hamid Zarkasyi adalah putra KH Imam Zarkasyi, pendiri pesantren Gontor, dimana Nurcholish pernah nyantri.
Tidak bisa dipungkiri, bagi sebagian orang, sosok Nurcholish Nurcholish identik dengan pesantren Gontor.
Padahal, kata Hamid, ayahnya sendiri pernah menyatakan, bahwa Nurcholish memang dari Gontor, tetapi Gontor bukanlah Nurcholish. Memang, jika dicermati, Nurcholish memang sempat nyantri di Gontor, tetapi pemikiran sekularisasi apalagi pluralismenya bukanlah berasal dari Gontor. Setelah nyantri, Nurcholish melanjutkan studi S-1 nya di IAIN Jakarta dan kemudian ke University of Chicago.
KH Khalil Ridwan, alumnus Gontor yang berpuluh-puluh tahun merasa gusar dengan penyebaran pemikiran Nurcholish Madjid, termasuk di kalangan alumni Gontor, mengaku sangat bersyukur dengan kelulusan doktor Hamid Zarkasyi. Dia pun mengaku bersyukur karena Hamid berani dan mampu mengupas pemikiran Nurcholish Madjid dengan baik dan menunjukkan kekeliruannya. Karena itu, dalam sambutannya dalam acara tasyakkuran tersebut, KH Khalil Ridwan be
👍1
rharap Hamid berusaha keras untuk memberikan penjelasan kepada para alumni Gontor yang lain dan juga kepada umat Islam pada umumnya. Dia pun tak lupa berpesan, agar Hamid senantiasa mengamalkan doa yang diajarkan KH Imam Zarkasyi tentang keselamatan dalam agama. Gelar doktor tidak menjamin orang tidak tersesat, pesan Kyai Khalil yang juga pemimpin pesantren Husnayain.
Bagaimana pun canggihnya, orasi ilmiah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi ini hanya akan bermanfaat bagi orang yang hati dan akalnya masih mau mengkaji dan menerima kebenaran. Bagi para sofis yang keras kepala (inad), yang sudah a-priori dan menutup hati dan pikirannya untuk kebenaran, maka tidak ada lagi hujjah yang bermanfaat. Meskipun sudah terbukti bisa terbang, seekor burung gagak tetap dia katakan kambing hitam. Wallahu alam. [Yogyakarta, 22 Desember].
Bagaimana pun canggihnya, orasi ilmiah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi ini hanya akan bermanfaat bagi orang yang hati dan akalnya masih mau mengkaji dan menerima kebenaran. Bagi para sofis yang keras kepala (inad), yang sudah a-priori dan menutup hati dan pikirannya untuk kebenaran, maka tidak ada lagi hujjah yang bermanfaat. Meskipun sudah terbukti bisa terbang, seekor burung gagak tetap dia katakan kambing hitam. Wallahu alam. [Yogyakarta, 22 Desember].
Hasil Penelitian Depag tentang Faham Liberal Keagamaan
Oleh: Adian Husaini
Pada Senin (20 November 2006), saya mengisi acara ceramah dan diskusi tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Sore hari, acara dikhususkan untuk para ustad dan tokoh masyarakat Gresik dan sekitarnya. Saat itu, hadir lebih dari 200 orang. Malam harinya, acara dilakukan dalam bentuk pengajian umum di lapangan terbuka, yang dihadiri ribuan masyarakat dari daerah Gresik dan Lamongan. Bahkan, banyak jamaah dari jauh yang datang dengan kendaraan truk.
Saya terkejut menyaksikan besarnya minat masyarakat Gresik untuk mendengarkan pemaparan tentang Islam Liberal. Menurut pimpinan pesantren, hal itu disebabkan masalah paham liberal keagamaan yang lebih populer dengan sebutan Islam Liberal sudah disebarkan sampai ke pelosok-pelosok kampung dan perguruan tinggi Islam. Pesantren pun terkena getahnya, karena ada alumninya yang terkena virus liberal ketika kuliah di perguruan tinggi tertentu.
Disamping itu, pesantren Maskumambang memang pesantren tua yang memiliki tradisi ilmu yang cukup baik dan memiliki ribuan alumni yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Pesantren ini dipimpin oleh seorang kyai cerdas dan kharismatis bernama KH Nadjih Ahjat (71 tahun), yang kini juga duduk sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Dewan Dawah Islamiyah Indonesia. Disamping mengajar dan berceramah, Kyai Nadjih Ahjat juga seorang penulis buku yang handal dan penerjemah sejumlah kitab berbahasa Arab. Saya sudah mengenal nama Kyai Nadjih sejak duduk di bangku SMAN 2 Bojonegoro, sekitar tahun 1981. Salah satu bukunya yang berjudul Iman Jalan Menuju Hidup Sukses, merupakan salah satu buku bacaan favorit saya.
Buku ini memberikan dorongan semangat yang tinggi agar seorang muslim dapat meraih prestasi-prestasi besar dalam kehidupan dengan tetap berpegang dasar iman yang kuat.
Kepada ribuan masyarakat muslim itulah, saya membacakan hasil penelitian Litbang Departemen Agama tentang apa itu paham Islam Liberal, yang sebagian telah kita ungkapkan pada catatan yang lalu. Salah satu yang membuat mereka takjub adalah pendapat bahwa umat boleh menyembah Tuhan apa saja, dengan cara apa saja, dan juga pandangan bahwa Al-Quran bukan lagi dianggap wahyu yang suci, tetapi merupakan produk budaya.
Tentulah masyarakat Jawa Timur masih mengingat peristiwa yang menghebohkan yang terjadi di IAIN Surabaya bulan Mei lalu, ketika seorang dosennya menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri, dengan alasan bahwa tulisan itu tidak suci. Si dosen juga berpendapat, bahwa Al-Quran adalah produk budaya dan tulisannya tidak suci. Kepada masyarakat yang hadir saya menjelaskan, bahwa cara pikir liberal itu memang sudah diajarkan di sejumlah perguruan tinggi Islam.
Dan tentu saja, cara pikir seperti itu adalah sesuatu yang sangat keliru. Sesuatu tulisan, karena merupakan simbol dari Yang Maha Suci, maka tulisan itu menjadi suci.
Jangankan tulisan yang menjadi simbol nama Allah, tulisan yang menjadi simbol nama Presiden saja akan berbeda nilainya dengan tulisan yang menjadi simbol nama kecoa atau tikus. Cobalah kaum liberal yang menyatakan tulisan Allah dan Al-Quran tidak suci itu datang kepada Presiden SBY. Di depan Presiden, tulislah namanya pada secarik kertas, kemudian injaklah tulisan itu dengan kaki, dengan mata sedikit membelalak, sebagaimana dilakukan oleh dosen IAIN Surabaya ketika menginjak lafaz Allah. Normalnya, Presiden SBY pasti tersinggung dan marah dengan tindakan yang melecehkan namanya itu. Bagaimana dengan Allah, jika nama-Nya dengan sengaja diinjak oleh manusia? Bukankah sangat wajar jika Allah murka jika nama-Nya saja diinjak oleh makhluk-Nya?! Dalam soal keimanan dan peribadahan, Allah sudah mengutus Rasul-Nya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw, untuk mengenalkan nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan bagaimana cara menyembah-Nya yang benar. Maka, sebagai kaum Muslim, kita tidak melakukan ibadah secara sembarangan, melainkan harus berdasarkan petunjuk dan contoh dari Rasulullah saw. Kita tidak shalat secara sembarangan. Kita takbir, membaca al-Fatihah,
Oleh: Adian Husaini
Pada Senin (20 November 2006), saya mengisi acara ceramah dan diskusi tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Sore hari, acara dikhususkan untuk para ustad dan tokoh masyarakat Gresik dan sekitarnya. Saat itu, hadir lebih dari 200 orang. Malam harinya, acara dilakukan dalam bentuk pengajian umum di lapangan terbuka, yang dihadiri ribuan masyarakat dari daerah Gresik dan Lamongan. Bahkan, banyak jamaah dari jauh yang datang dengan kendaraan truk.
Saya terkejut menyaksikan besarnya minat masyarakat Gresik untuk mendengarkan pemaparan tentang Islam Liberal. Menurut pimpinan pesantren, hal itu disebabkan masalah paham liberal keagamaan yang lebih populer dengan sebutan Islam Liberal sudah disebarkan sampai ke pelosok-pelosok kampung dan perguruan tinggi Islam. Pesantren pun terkena getahnya, karena ada alumninya yang terkena virus liberal ketika kuliah di perguruan tinggi tertentu.
Disamping itu, pesantren Maskumambang memang pesantren tua yang memiliki tradisi ilmu yang cukup baik dan memiliki ribuan alumni yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Pesantren ini dipimpin oleh seorang kyai cerdas dan kharismatis bernama KH Nadjih Ahjat (71 tahun), yang kini juga duduk sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Dewan Dawah Islamiyah Indonesia. Disamping mengajar dan berceramah, Kyai Nadjih Ahjat juga seorang penulis buku yang handal dan penerjemah sejumlah kitab berbahasa Arab. Saya sudah mengenal nama Kyai Nadjih sejak duduk di bangku SMAN 2 Bojonegoro, sekitar tahun 1981. Salah satu bukunya yang berjudul Iman Jalan Menuju Hidup Sukses, merupakan salah satu buku bacaan favorit saya.
Buku ini memberikan dorongan semangat yang tinggi agar seorang muslim dapat meraih prestasi-prestasi besar dalam kehidupan dengan tetap berpegang dasar iman yang kuat.
Kepada ribuan masyarakat muslim itulah, saya membacakan hasil penelitian Litbang Departemen Agama tentang apa itu paham Islam Liberal, yang sebagian telah kita ungkapkan pada catatan yang lalu. Salah satu yang membuat mereka takjub adalah pendapat bahwa umat boleh menyembah Tuhan apa saja, dengan cara apa saja, dan juga pandangan bahwa Al-Quran bukan lagi dianggap wahyu yang suci, tetapi merupakan produk budaya.
Tentulah masyarakat Jawa Timur masih mengingat peristiwa yang menghebohkan yang terjadi di IAIN Surabaya bulan Mei lalu, ketika seorang dosennya menginjak lafaz Allah yang ditulisnya sendiri, dengan alasan bahwa tulisan itu tidak suci. Si dosen juga berpendapat, bahwa Al-Quran adalah produk budaya dan tulisannya tidak suci. Kepada masyarakat yang hadir saya menjelaskan, bahwa cara pikir liberal itu memang sudah diajarkan di sejumlah perguruan tinggi Islam.
Dan tentu saja, cara pikir seperti itu adalah sesuatu yang sangat keliru. Sesuatu tulisan, karena merupakan simbol dari Yang Maha Suci, maka tulisan itu menjadi suci.
Jangankan tulisan yang menjadi simbol nama Allah, tulisan yang menjadi simbol nama Presiden saja akan berbeda nilainya dengan tulisan yang menjadi simbol nama kecoa atau tikus. Cobalah kaum liberal yang menyatakan tulisan Allah dan Al-Quran tidak suci itu datang kepada Presiden SBY. Di depan Presiden, tulislah namanya pada secarik kertas, kemudian injaklah tulisan itu dengan kaki, dengan mata sedikit membelalak, sebagaimana dilakukan oleh dosen IAIN Surabaya ketika menginjak lafaz Allah. Normalnya, Presiden SBY pasti tersinggung dan marah dengan tindakan yang melecehkan namanya itu. Bagaimana dengan Allah, jika nama-Nya dengan sengaja diinjak oleh manusia? Bukankah sangat wajar jika Allah murka jika nama-Nya saja diinjak oleh makhluk-Nya?! Dalam soal keimanan dan peribadahan, Allah sudah mengutus Rasul-Nya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw, untuk mengenalkan nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan bagaimana cara menyembah-Nya yang benar. Maka, sebagai kaum Muslim, kita tidak melakukan ibadah secara sembarangan, melainkan harus berdasarkan petunjuk dan contoh dari Rasulullah saw. Kita tidak shalat secara sembarangan. Kita takbir, membaca al-Fatihah,
ruku, Itidal, sujud, salam, dan sebagainya, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh utusan Allah. Para ulama tidak mengarang tata cara ibadah dalam Islam. Mereka hanya merumuskan apa-apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Tetapi, anehnya, kaum liberal lalu berteriak, Boleh menyembah tuhan apa saja, dan boleh menyembah Tuhan dengan cara apa saja. Semua benar. Tidak ada yang salah!.
Tentu saja pendapat kaum liberal yang masih mengaku Islam ini sangat ajaib dalam pandangan Islam. Tetapi, yang memprihatinkan kita, sejumlah peneliti Litbang Departemen Agama, malah memberikan dukungan kepada paham liberal, dan menyudutkan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti paham liberal tersebut. Kaum Muslim yang tidak liberal diberi cap-cap dan julukan-julukan yang melecehkan atau menyudutkan, seperti cap Muslim fundamentalis, muslim konservatif, muslim kerdil, dan sebagainya.
Misalnya, peneliti Depag yang meneliti paham keagamaan liberal di lingkungan UIN Jakarta, menulis:
Gagasan-gagasan keislaman liberal tentunya sangat berbeda dengan pemahaman keislaman kaum fundamentalis sehingga menimbulkan forum permusuhan antara kalangan fundamentalis dengan liberal ketika duduk satu meja pada forum-forum diskusi yang melibatkan kedua pihak.
Peneliti yang melakukan penelitian di lingkungan IAIN Surabaya juga menulis kesimpulan:
Di Surabaya, akademisi dan tokoh-tokoh keagamaan secara substansial banyak mendukung pemikiran Islam Liberal, meskipun menolak istilah liberal pada dirinya. Istilah liberal, sebaiknya tidak usah digunakan dalam pergulatan wacana keagamaan, sehingga tidak ada klaim-klaim yang membingungkan. Konflik pemikiran antara kalangan Muslim liberal yang menurut saya adalah Islam rasional dengan kalangan muslim kerdil yang menurut saya adalah Islam irrasional mungkin harus dipahami sebagai konflik pemikiran biasa, karena dengan itu akan lahir dinamika keagamaan yang sehat, yang penting tidak ada konflik fisik.
Peneliti faham liberal di lingkungan IAIN Sumatera Utara menulis dalam laporannya: Faham yang seringkali bertentangan dengan faham liberal adalah doktrin konservatif yang secara sederhana menyatakan dukungannya terhadap pemeliharaan status quo. Cara penamaan dikotomis ini memang bagian dari strategi untuk mengkampanyekan paham liberal dalam Islam. Sama dengan cara George W. Bush dalam memerangi terorisme dengan mengatakan: either you are with us or with the terrorists; ikut AS atau ikut teroris; menjadi liberal atau menjadi muslim kerdil, radikal, militan, dan sebagainya.
Penggunaan istilah dikotomis ini seringkali menjebak. Sampai ada peneliti Depag yang tampaknya tidak mendukung paham Islam Liberal pun ikut-ikutan membuat istilah dikotomis dalam laporan penelitiannya. Ia menulis dalam laporan penelitian di Makassar:
Pemikiran keagamaan yang diungkapkan oleh mereka yang mengaku dirinya berpaham liberal banyak mendapat tanggapan negatif dari kelompok konservatif. Puncaknya dengan dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 yang menolak paham liberal, agaknya menjadi sinyal bahwa ada wacana seputar agama di Indonesia yang problematis.
Dari berbagai contoh tersebut kita bisa melihat, bagaimana kuatnya cengkeraman pola pikir dikotomis yang dikembangkan para ilmuwan Barat dalam memandang fenomena pemikiran keagamaan. Istilah-istilah yang berasal dari fenonema masyarakat Kristen di Barat kemudian dipaksakan masuk ke dalam khazanah keilmuan dalam studi keislaman. Sangatlah tidak mudah menjebol hegemoni penggunaan istilah-istilah Barat dalam pemikiran dan studi Islam yang sudah terlanjur mencengkeram otak para profesor, doktor, dan peneliti di kalangan akademisi Muslim dewasa ini.
Tentu saja kita tidak apriori dengan penggunaan istilah-istilah asing, dari mana pun datangnya, asalkan itu tidak bertentangan dan tidak merusak konsep-konsep dasar dalam Islam. Sebagaimana beberapa kali kita catat, penggunaan istilah-istilah fundamentalis, radikal, militan, dalam tradisi Kristen-Yahudi sangat tidak sesuai jika diaplikasikan untuk Islam. Sama halnya, kita juga tidak bisa secara sembarangan menggunak
Tetapi, anehnya, kaum liberal lalu berteriak, Boleh menyembah tuhan apa saja, dan boleh menyembah Tuhan dengan cara apa saja. Semua benar. Tidak ada yang salah!.
Tentu saja pendapat kaum liberal yang masih mengaku Islam ini sangat ajaib dalam pandangan Islam. Tetapi, yang memprihatinkan kita, sejumlah peneliti Litbang Departemen Agama, malah memberikan dukungan kepada paham liberal, dan menyudutkan kaum Muslim yang tidak mau mengikuti paham liberal tersebut. Kaum Muslim yang tidak liberal diberi cap-cap dan julukan-julukan yang melecehkan atau menyudutkan, seperti cap Muslim fundamentalis, muslim konservatif, muslim kerdil, dan sebagainya.
Misalnya, peneliti Depag yang meneliti paham keagamaan liberal di lingkungan UIN Jakarta, menulis:
Gagasan-gagasan keislaman liberal tentunya sangat berbeda dengan pemahaman keislaman kaum fundamentalis sehingga menimbulkan forum permusuhan antara kalangan fundamentalis dengan liberal ketika duduk satu meja pada forum-forum diskusi yang melibatkan kedua pihak.
Peneliti yang melakukan penelitian di lingkungan IAIN Surabaya juga menulis kesimpulan:
Di Surabaya, akademisi dan tokoh-tokoh keagamaan secara substansial banyak mendukung pemikiran Islam Liberal, meskipun menolak istilah liberal pada dirinya. Istilah liberal, sebaiknya tidak usah digunakan dalam pergulatan wacana keagamaan, sehingga tidak ada klaim-klaim yang membingungkan. Konflik pemikiran antara kalangan Muslim liberal yang menurut saya adalah Islam rasional dengan kalangan muslim kerdil yang menurut saya adalah Islam irrasional mungkin harus dipahami sebagai konflik pemikiran biasa, karena dengan itu akan lahir dinamika keagamaan yang sehat, yang penting tidak ada konflik fisik.
Peneliti faham liberal di lingkungan IAIN Sumatera Utara menulis dalam laporannya: Faham yang seringkali bertentangan dengan faham liberal adalah doktrin konservatif yang secara sederhana menyatakan dukungannya terhadap pemeliharaan status quo. Cara penamaan dikotomis ini memang bagian dari strategi untuk mengkampanyekan paham liberal dalam Islam. Sama dengan cara George W. Bush dalam memerangi terorisme dengan mengatakan: either you are with us or with the terrorists; ikut AS atau ikut teroris; menjadi liberal atau menjadi muslim kerdil, radikal, militan, dan sebagainya.
Penggunaan istilah dikotomis ini seringkali menjebak. Sampai ada peneliti Depag yang tampaknya tidak mendukung paham Islam Liberal pun ikut-ikutan membuat istilah dikotomis dalam laporan penelitiannya. Ia menulis dalam laporan penelitian di Makassar:
Pemikiran keagamaan yang diungkapkan oleh mereka yang mengaku dirinya berpaham liberal banyak mendapat tanggapan negatif dari kelompok konservatif. Puncaknya dengan dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 yang menolak paham liberal, agaknya menjadi sinyal bahwa ada wacana seputar agama di Indonesia yang problematis.
Dari berbagai contoh tersebut kita bisa melihat, bagaimana kuatnya cengkeraman pola pikir dikotomis yang dikembangkan para ilmuwan Barat dalam memandang fenomena pemikiran keagamaan. Istilah-istilah yang berasal dari fenonema masyarakat Kristen di Barat kemudian dipaksakan masuk ke dalam khazanah keilmuan dalam studi keislaman. Sangatlah tidak mudah menjebol hegemoni penggunaan istilah-istilah Barat dalam pemikiran dan studi Islam yang sudah terlanjur mencengkeram otak para profesor, doktor, dan peneliti di kalangan akademisi Muslim dewasa ini.
Tentu saja kita tidak apriori dengan penggunaan istilah-istilah asing, dari mana pun datangnya, asalkan itu tidak bertentangan dan tidak merusak konsep-konsep dasar dalam Islam. Sebagaimana beberapa kali kita catat, penggunaan istilah-istilah fundamentalis, radikal, militan, dalam tradisi Kristen-Yahudi sangat tidak sesuai jika diaplikasikan untuk Islam. Sama halnya, kita juga tidak bisa secara sembarangan menggunak
an istilah-istilah Islam untuk kaum Kristen-Yahudi.
Misalnya, dalam khazanah Islam, seorang Muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah dan beramal shalih, kita sebut termasuk dari Muslimin yang muttaqin dan shalihin. Maka, kita tidak patut menyebut George W. Bush yang dikenal fanatik terhadap agama Kristen sebagai seorang Nasrani yang termasuk orang-orang yang shalihin dan muttaqin. Andaikan George W. Bush mati dalam Perang di Iraq, tidak patut kita sebut ia telah mati syahid.
Karena itulah, setiap ilmuwan Muslim seyogyanya berhati-hati dalam mengambil istilah dari Yahudi, Kristen, Barat, atau dari mana saja. Seorang ilmuwan Muslim harusnya tidak latah dalam menjiplak istilah dari agama atau peradaban lain. Misalnya, karena banyak kaum Kristen dan Yahudi sudah menjadi sekular dan mendukung negara sekular, lalu dengan latah menyatakan, bahwa kaum Muslim juga harus menjadi sekular dan mendukung negara sekular, sebagaimana kaum Kristen dan Yahudi. Pikiran seperti ini terlalu sederhana dan tidak berpikir panjang, bahwa ada banyak perbedaan yang mendasar antara karakteristik agama Islam dengan ajaran Kristen/Yahudi.
Akibat pikiran sederhana itu, maka Islam harus dirombak habis-habisan, disekularkan, diliberalkan. Aqidah Islam harus dibongkar dengan paham Pluralisme Agama. Syariah Islam harus dibubarkan dan diganti dengan hukum-hukum sekular. Dengan konsep negara sekular, maka pemerintah tidak boleh membatasi agama yang diakui. Semua agama harus diperlakukan sama.
Padahal, AS dan negara-negara Barat lain pun juga tidak memperlakukan kaum Islam sama dengan Kristen! Sebagai Muslim, seharusnya kita menghindarkan kelatahan-kelatahan dalam mengikuti tradisi Yahudi dan Kristen.
Sekularisasi dan liberalisasi sendiri telah merepotkan banyak kaum Kristen, dan kini dijejalkan kepada kaum Muslim, dengan dukungan dana besar-besaran dari negara-negara Barat. Dari hasil penelitian Depag itu kita bisa melihat, bagaimana kuatnya cengkeraman paham liberal itu di lingkungan perguruan tinggi dan institusi Islam. Institusi yang diharapkan menjaga dan mengembangkan Islam sudah terasuki paham-paham liberal yang jelas-jelas meruntuhkan bangunan aqidah dan syariah Islam.
Bahkan, dari hasil penelitian di lingkungan UIN Jakarta, diteliti tentang satu organisasi mahasiswa UIN Jakarta (Formaci) yang berpaham liberal yang pernah menolak kewajiban jilbab di UIN, mendukung sekularisasi, menolak penerapan syariat Islam di berbagai daerah, dan mendukung perkawinan beda agama. Dengan berpegang kepada paham kebebasan berpikir dan atas dasar kemanusiaan, anggota Formaci sering menjadi saksi pernikahan beda agama. Ditulis dalam laporan penelitian ini:
Seseorang yang sudah pacaran 5 tahun kemudian mau menikah terhalang oleh perbedaan agama, memberi arti bahwa agama hanyalah sebagai penghalang bagi terlaksananya niat baik dua insan untuk membangun rumah tangga.
Berbeda dengan organisasi-organisasi Islam lainnya, sistem kepengurusan dalam Formaci dipilih melalui rapat umum anggota yang disebut dengan konsili satu istilah yang biasa digunakan dalam tradisi Katolik dimana para uskup dan tokoh Gereja berkumpul untuk memutuskan masalah-masalah dan doktrin penting dalam Gereja Katolik. Entah mengapa dan dengan tujuan apa istilah itu diambil oleh Formaci, bukannya menggunakan istilah-istilah munas, mukernas, kongres, muktamar, dan sebagainya.
Demikianlah realitas tentang perkembangan liberalisme keagamaan sebagaimana hasil penelitian Litbang Departemen Agama. Penelitian ini telah membuka mata kita lebih jauh tentang fenomena liberalisasi Islam di Indonesia. Semoga umat Islam Indonesia dapat mengambil hikmah dari hasil penelitian ini dan menyiapkan diri lebih baik lagi dalam bidang keilmuan untuk mencegah berkembangnya paham yang jelas-jelas merusak agama Islam ini. Wallahu alam. [Depok, 24 November 2006].
Misalnya, dalam khazanah Islam, seorang Muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah dan beramal shalih, kita sebut termasuk dari Muslimin yang muttaqin dan shalihin. Maka, kita tidak patut menyebut George W. Bush yang dikenal fanatik terhadap agama Kristen sebagai seorang Nasrani yang termasuk orang-orang yang shalihin dan muttaqin. Andaikan George W. Bush mati dalam Perang di Iraq, tidak patut kita sebut ia telah mati syahid.
Karena itulah, setiap ilmuwan Muslim seyogyanya berhati-hati dalam mengambil istilah dari Yahudi, Kristen, Barat, atau dari mana saja. Seorang ilmuwan Muslim harusnya tidak latah dalam menjiplak istilah dari agama atau peradaban lain. Misalnya, karena banyak kaum Kristen dan Yahudi sudah menjadi sekular dan mendukung negara sekular, lalu dengan latah menyatakan, bahwa kaum Muslim juga harus menjadi sekular dan mendukung negara sekular, sebagaimana kaum Kristen dan Yahudi. Pikiran seperti ini terlalu sederhana dan tidak berpikir panjang, bahwa ada banyak perbedaan yang mendasar antara karakteristik agama Islam dengan ajaran Kristen/Yahudi.
Akibat pikiran sederhana itu, maka Islam harus dirombak habis-habisan, disekularkan, diliberalkan. Aqidah Islam harus dibongkar dengan paham Pluralisme Agama. Syariah Islam harus dibubarkan dan diganti dengan hukum-hukum sekular. Dengan konsep negara sekular, maka pemerintah tidak boleh membatasi agama yang diakui. Semua agama harus diperlakukan sama.
Padahal, AS dan negara-negara Barat lain pun juga tidak memperlakukan kaum Islam sama dengan Kristen! Sebagai Muslim, seharusnya kita menghindarkan kelatahan-kelatahan dalam mengikuti tradisi Yahudi dan Kristen.
Sekularisasi dan liberalisasi sendiri telah merepotkan banyak kaum Kristen, dan kini dijejalkan kepada kaum Muslim, dengan dukungan dana besar-besaran dari negara-negara Barat. Dari hasil penelitian Depag itu kita bisa melihat, bagaimana kuatnya cengkeraman paham liberal itu di lingkungan perguruan tinggi dan institusi Islam. Institusi yang diharapkan menjaga dan mengembangkan Islam sudah terasuki paham-paham liberal yang jelas-jelas meruntuhkan bangunan aqidah dan syariah Islam.
Bahkan, dari hasil penelitian di lingkungan UIN Jakarta, diteliti tentang satu organisasi mahasiswa UIN Jakarta (Formaci) yang berpaham liberal yang pernah menolak kewajiban jilbab di UIN, mendukung sekularisasi, menolak penerapan syariat Islam di berbagai daerah, dan mendukung perkawinan beda agama. Dengan berpegang kepada paham kebebasan berpikir dan atas dasar kemanusiaan, anggota Formaci sering menjadi saksi pernikahan beda agama. Ditulis dalam laporan penelitian ini:
Seseorang yang sudah pacaran 5 tahun kemudian mau menikah terhalang oleh perbedaan agama, memberi arti bahwa agama hanyalah sebagai penghalang bagi terlaksananya niat baik dua insan untuk membangun rumah tangga.
Berbeda dengan organisasi-organisasi Islam lainnya, sistem kepengurusan dalam Formaci dipilih melalui rapat umum anggota yang disebut dengan konsili satu istilah yang biasa digunakan dalam tradisi Katolik dimana para uskup dan tokoh Gereja berkumpul untuk memutuskan masalah-masalah dan doktrin penting dalam Gereja Katolik. Entah mengapa dan dengan tujuan apa istilah itu diambil oleh Formaci, bukannya menggunakan istilah-istilah munas, mukernas, kongres, muktamar, dan sebagainya.
Demikianlah realitas tentang perkembangan liberalisme keagamaan sebagaimana hasil penelitian Litbang Departemen Agama. Penelitian ini telah membuka mata kita lebih jauh tentang fenomena liberalisasi Islam di Indonesia. Semoga umat Islam Indonesia dapat mengambil hikmah dari hasil penelitian ini dan menyiapkan diri lebih baik lagi dalam bidang keilmuan untuk mencegah berkembangnya paham yang jelas-jelas merusak agama Islam ini. Wallahu alam. [Depok, 24 November 2006].
KRITERIA PEMIMPIN
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.
Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan tepercaya. “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashash :26)
Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh” artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.
Dari kriteria diatas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang Muslim dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang disimpulkan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan amanah jika ia tidak memahami syariah.
Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Allah
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.
Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan tepercaya. “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashash :26)
Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh” artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.
Dari kriteria diatas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang Muslim dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang disimpulkan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan amanah jika ia tidak memahami syariah.
Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Allah
dan berkhidmat kepada masyarakat. Untuk beribadah diperlukan ilmu dan iman, untuk berkhidmat diperlukan ilmu untuk mensejahterakan rakyat. Oleh sebab,“Pemimpin yang tidak berusaha meningkatkan materi dan akhlaq serta kesejahteraan rakyat tidak akan masuk surga”. (HR Bukhari).
Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat, peduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.
Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta jabatan dan partai politiknya? *
Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat, peduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.
Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta jabatan dan partai politiknya? *
Hamka dan Pluralisme Agama
Oleh: Adian Husaini
Pada Selasa, 21 Nopember 2006, Syafii Maarif menulis kolom resonansi di Republika yang berjudul Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah. Hari itu, saya sedang di Gresik mengisi acara kajian tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Mulai pagi hingga malam hari, bertubi-tubi SMS masuk ke HP saya yang mempersoalkan isi tulisan Syafii Maarif tersebut. Rabu paginya,
setibanya di Jakarta, saya baru sempat membaca tulisan Syafii Maarif. Setelah saya cek ke Tafsir al-Azhar, karya Buya Hamka, seperti yang dirujuk Syafii Maarif, memang ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sosok Prof. Hamka, ulama terkenal yang legendaris.
Pluralisme Agama tampaknya memang sudah menjadi alat penghancur aqidah Islam yang sangat intensif disebarkan ke berbagai pelosok. Kamis (30 November 2006), malam, seseorang yang tinggal di satu kota kecil di propinsi Banten, menelepon saya dan meminta untuk datang ke kota itu karena baru saja diselenggarakan satu seminar yang menyebarkan paham Pluralisme Agama.
Ayat Al-Quran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh kalangan pendukung paham Pluralisme Agama untuk menjustifikasi paham Pluralisme Agama, bahwa semua agama adalah merupakan jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang satu. Tidak peduli siapa pun nama dan sifat Tuhan itu ; dan tidak peduli bagaimana pun cara menyembah Tuhan itu.
Dalam bahasa Nurcholish Madjid: bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Dalam bukunya, The Worlds Religions, Huston Smith juga menulis satu sub-bab berjudul Many Paths to the Same Summit. Ia menulis: Truth is one; sages call it by different names. (Kebenaran memang satu; orang-orang bijak menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda).
Jadi, dalam pandangan Pluralisme Agama versi transendentalisme ini, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan Pluralis kemudian mencari-cari dalil dalam kitab sucinya masing-masing untuk mendukung paham ini. Yang dari kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk menjustifikasi pandangannya. Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip Bagawad Gita IV:11: Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.
Tentu saja, legitimasi paham Pluralisme Agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari masing-masing agama. Tahun 2000, Vatikan telah menolak Paham Pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus.
Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham Pluralisme Agama berjudul: Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham Pluralisme Agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham Universalisme Radikal.
Penyalahgunaan
Di kalangan kaum Pluralis agama yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asalkan beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, serta berbuat baik terhadap sesama manusia, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan masuk sorga. Tidak pandang agamanya apa, Tuhannya siapa, dan bagaimana cara menyembah Tuhannya. Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya, tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad saw. Untuk mencari legitimasi, yang sering dijadikan rujukan adalah Tafsir al-Manar-nya yang ditulis oleh Rasyid Ridha.
Prof. Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berju
Oleh: Adian Husaini
Pada Selasa, 21 Nopember 2006, Syafii Maarif menulis kolom resonansi di Republika yang berjudul Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah. Hari itu, saya sedang di Gresik mengisi acara kajian tentang Islam Liberal di Pesantren Maskumambang Gresik, Jawa Timur. Mulai pagi hingga malam hari, bertubi-tubi SMS masuk ke HP saya yang mempersoalkan isi tulisan Syafii Maarif tersebut. Rabu paginya,
setibanya di Jakarta, saya baru sempat membaca tulisan Syafii Maarif. Setelah saya cek ke Tafsir al-Azhar, karya Buya Hamka, seperti yang dirujuk Syafii Maarif, memang ada sejumlah hal yang perlu diperjelas dari tulisan Syafii, agar tidak menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sosok Prof. Hamka, ulama terkenal yang legendaris.
Pluralisme Agama tampaknya memang sudah menjadi alat penghancur aqidah Islam yang sangat intensif disebarkan ke berbagai pelosok. Kamis (30 November 2006), malam, seseorang yang tinggal di satu kota kecil di propinsi Banten, menelepon saya dan meminta untuk datang ke kota itu karena baru saja diselenggarakan satu seminar yang menyebarkan paham Pluralisme Agama.
Ayat Al-Quran yang dibahas Syafii Maarif memang saat ini sedang gencar-gencarnya disosialisasikan oleh kalangan pendukung paham Pluralisme Agama untuk menjustifikasi paham Pluralisme Agama, bahwa semua agama adalah merupakan jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang satu. Tidak peduli siapa pun nama dan sifat Tuhan itu ; dan tidak peduli bagaimana pun cara menyembah Tuhan itu.
Dalam bahasa Nurcholish Madjid: bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Dalam bukunya, The Worlds Religions, Huston Smith juga menulis satu sub-bab berjudul Many Paths to the Same Summit. Ia menulis: Truth is one; sages call it by different names. (Kebenaran memang satu; orang-orang bijak menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda).
Jadi, dalam pandangan Pluralisme Agama versi transendentalisme ini, tidak ada agama yang salah, dan tidak boleh satu pemeluk agama yang mengklaim hanya agamanya sendiri sebagai jalan satu-satunya menuju Tuhan. Kalangan Pluralis kemudian mencari-cari dalil dalam kitab sucinya masing-masing untuk mendukung paham ini. Yang dari kalangan Islam biasanya menjadikan QS 2:62 dan 5:69 untuk menjustifikasi pandangannya. Kalangan Hindu pluralis, misalnya, biasanya suka mengutip Bagawad Gita IV:11: Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.
Tentu saja, legitimasi paham Pluralisme Agama dengan ayat-ayat tertentu dalam kitab suci masing-masing agama mendapatkan perlawanan keras dari masing-masing agama. Tahun 2000, Vatikan telah menolak Paham Pluralisme dengan mengeluarkan dekrit Dominus Jesus.
Tahun 2004, seorang pendeta Kristen di Malang menulis buku serius tentang paham Pluralisme Agama berjudul: Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham Pluralisme Agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham Universalisme Radikal.
Penyalahgunaan
Di kalangan kaum Pluralis agama yang beragama Islam, QS 2:62 dan 5:69 biasanya dijadikan legitimasi untuk menyatakan, bahwa umat beragama apa pun, asalkan beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, serta berbuat baik terhadap sesama manusia, maka dia akan mendapat pahala dari Allah dan masuk sorga. Tidak pandang agamanya apa, Tuhannya siapa, dan bagaimana cara menyembah Tuhannya. Karena itu, untuk mendapatkan keselamatan di akhirat, kaum Yahudi dan Kristen, misalnya, tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad saw. Untuk mencari legitimasi, yang sering dijadikan rujukan adalah Tafsir al-Manar-nya yang ditulis oleh Rasyid Ridha.
Prof. Abdul Aziz Sachedina, misalnya, dalam satu artikelnya berju
dul Is Islamic Revelation an Abrogation of Judaeo-Christian Revelation? Islamic self-identification, menyatakan: Rasyid Ridha tidak mensyaratkan iman kepada kenabian Muhammad bagi kaum Yahudi dan Kristen yang berkeinginan untuk diselamatkan, dan karena itu, ini secara implisit menetapkan validitas kitab Yahudi dan Kristen.
Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip Tafsir al-Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka yang dakwah Nabi Muhammad saw tidak sampai. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, diantaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
Al-Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa disebut ahl al-fathrah, yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan pemaaf yang bisa membebaskan mereka dari hukuman (lâ 'udzr lahum dûn al-'uqûbah), karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian yang benar.
Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat "beriman kepada Allah" dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, sebagaimana disyaratkan dalam QS 2:62-dan 5:69, seseorang pasti harus beriman kepada Rasul Allah saw, yaitu Nabi Muhammad saw. Sebab, dalam konsep keimanan Islam, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad saw, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar. Jika tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw, mustahil manusia dapat mengenal Allah dan beribadah degan benar, karena Allah SWT hanya memberi penjelasan tentang semua itu melalui rasul-Nya.
Pendapat Hamka
Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir terkemuka yang lain. Termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.
Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmanNya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih."
Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Al-Quran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika seseorang beriman kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad saw, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam pandangan Hamka, siapa pun yang tidak beriman kepada Allah, Al-Quran, dan Nabi Muhammad saw, meskipun dia mengaku secara formal beragama Islam, tetap tidak akan mendapatkan keselamatan. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.
Soal keimanan kepada Nabi Muhammad saw dan Al-Quran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi
Sachedina dan sejumlah Pluralis lainnya tidak cermat dan tidak lengkap dalam mengutip Tafsir al-Manar, sehingga berkesimpulan seperti itu. Padahal, dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka yang dakwah Nabi Muhammad saw tidak sampai. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Rasyid Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, diantaranya: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
Al-Manar juga menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, tidak bisa disebut ahl al-fathrah, yang berhak memperoleh keselamatan dan tidak ada alasan pemaaf yang bisa membebaskan mereka dari hukuman (lâ 'udzr lahum dûn al-'uqûbah), karena mereka masih dapat mengenali ajaran kenabian yang benar.
Dengan logika sederhana sebenarnya kita bisa memahami, bahwa untuk dapat "beriman kepada Allah" dan Hari Akhirat dengan benar dan beramal saleh dengan benar, sebagaimana disyaratkan dalam QS 2:62-dan 5:69, seseorang pasti harus beriman kepada Rasul Allah saw, yaitu Nabi Muhammad saw. Sebab, dalam konsep keimanan Islam, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Juga, hanya melalui Nabi Muhammad saw, kita dapat mengetahui, bagaimana cara beribadah kepada Allah dengan benar. Jika tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw, mustahil manusia dapat mengenal Allah dan beribadah degan benar, karena Allah SWT hanya memberi penjelasan tentang semua itu melalui rasul-Nya.
Pendapat Hamka
Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir terkemuka yang lain. Termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: "Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi." Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.
Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmanNya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih."
Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Al-Quran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika seseorang beriman kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad saw, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam pandangan Hamka, siapa pun yang tidak beriman kepada Allah, Al-Quran, dan Nabi Muhammad saw, meskipun dia mengaku secara formal beragama Islam, tetap tidak akan mendapatkan keselamatan. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.
Soal keimanan kepada Nabi Muhammad saw dan Al-Quran itulah yang sejak awal ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Orang Yahudi menolak mengimani Nabi Isa dan Nabi Muhammad saw. Dan kaum Nasrani menolak untuk beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan kaum Muslim mengimani Nabi
Musa, Nabi Isa, dan juga Nabi Muhammad saw, sebagai penutup para Nabi.
Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa haramnya merayakan Natal Bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh bedanya dengan para pengusung paham Pluralisme Agama. Hamka sangat tegas dalam masalah keimanan.
Dalam catatan ini, kita pernah mengutip satu tulisan Buya Hamka yang berjudul: Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme. Di situ, Prof. Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau toleransi, tetapi akan menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka memberikan komentar tentang usulan akan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan.
Hamka menulis: Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan Al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka, kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima, kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.
Kita perlu menggarisbawahi ungkapan Buya Hamka, bahwa dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.
Ya, tentu kita maklum, bahwa dalam soal keyakinan memang tidak ada kompromi. Jika kita yakin bahwa Iblis adalah musuh yang nyata, maka tidak mungkin kita juga mengakuinya sebagai teman akrab. Jika seorang Muslim yakin bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib, maka tidak mungkin pada saat yang sama dia juga meyakini konsep trinitas dalam Kristen. Lakum dinukum waliya din. Bagi kami agama kami, bagi anda agama anda. Demikianlah sikap yang diajarkan dalam Al-Quran. Kita menghormati keyakinan orang lain, tanpa mengurangi keyakinan kita sebagai seorang Muslim. (Depok, 1 Desember 2006).
Hamka adalah sosok ulama yang gigih dalam membela aqidah Islam. Tahun 1981, dia memilih mundur dari Ketua Majlis Ulama Indonesia, daripada harus menarik kembali fatwa haramnya merayakan Natal Bersama bagi umat Islam. Beberapa hari kemudian, beliau meninggal dunia. Sosok Hamka sangat jauh bedanya dengan para pengusung paham Pluralisme Agama. Hamka sangat tegas dalam masalah keimanan.
Dalam catatan ini, kita pernah mengutip satu tulisan Buya Hamka yang berjudul: Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme. Di situ, Prof. Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau toleransi, tetapi akan menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka memberikan komentar tentang usulan akan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan.
Hamka menulis: Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan Al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka, kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima, kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.
Kita perlu menggarisbawahi ungkapan Buya Hamka, bahwa dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.
Ya, tentu kita maklum, bahwa dalam soal keyakinan memang tidak ada kompromi. Jika kita yakin bahwa Iblis adalah musuh yang nyata, maka tidak mungkin kita juga mengakuinya sebagai teman akrab. Jika seorang Muslim yakin bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib, maka tidak mungkin pada saat yang sama dia juga meyakini konsep trinitas dalam Kristen. Lakum dinukum waliya din. Bagi kami agama kami, bagi anda agama anda. Demikianlah sikap yang diajarkan dalam Al-Quran. Kita menghormati keyakinan orang lain, tanpa mengurangi keyakinan kita sebagai seorang Muslim. (Depok, 1 Desember 2006).
Ada Ideologi Besar yang Mencoba Diskreditkan Ulama
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah gerakan besar dikhawatirkan menjadi sumber di balik kekisruhan kondisi di Indonesia belakangan ini. Hal itu disampaikan Wakil Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi. Dia menilai, gerakan besar itu perlu diwaspadai apalagi munculnya tindakan kriminalisasi terhadap ulama.
"Saya melihat ada gerakan besar di balik itu, ada satu ideologi besar yang mencoba mendiskreditkan ulama," kata Hamid kepada Republika.co.id Ahad (5/2).
Ia mengingatkan, tindakan serupa sebenarnya pernah terjadi di Barat, tapi menimpa pendeta-pendeta yang berseberangan dengan pemerintah. Itu terjadi pada awal tahun 2000, ketika para pendeta banyak melakukan protes kepada Pemerintah AS.
Setelah itu, kata dia, isu-isu mengenai keburukan pendeta cukup banyak di-blow up media-media, dan salah satu yang memperburuk itu dilakukan secara masif. Ia menegaskan, hal tersebut akan berbahaya jika skenario itu yang sedang terjadi di Indonesia.
"Di negara-negara Barat yang masih sekuler, mereka mungkin tidak begitu peduli dengan agama, tapi ini di Indonesia yang masyarakatnya religius," ujar Hamid.
Dia menekankan, kondisi-kondisi seperti itu sudah seharusnya yang menjadi pertimbangan pemerintah. Menurut Hamid, masyarakat Indonesia bukan tidak mungkin memberikan respons yang masif pula, sehingga pemerintah tidak bisa main-main terhadap persoalan ini.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah gerakan besar dikhawatirkan menjadi sumber di balik kekisruhan kondisi di Indonesia belakangan ini. Hal itu disampaikan Wakil Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi. Dia menilai, gerakan besar itu perlu diwaspadai apalagi munculnya tindakan kriminalisasi terhadap ulama.
"Saya melihat ada gerakan besar di balik itu, ada satu ideologi besar yang mencoba mendiskreditkan ulama," kata Hamid kepada Republika.co.id Ahad (5/2).
Ia mengingatkan, tindakan serupa sebenarnya pernah terjadi di Barat, tapi menimpa pendeta-pendeta yang berseberangan dengan pemerintah. Itu terjadi pada awal tahun 2000, ketika para pendeta banyak melakukan protes kepada Pemerintah AS.
Setelah itu, kata dia, isu-isu mengenai keburukan pendeta cukup banyak di-blow up media-media, dan salah satu yang memperburuk itu dilakukan secara masif. Ia menegaskan, hal tersebut akan berbahaya jika skenario itu yang sedang terjadi di Indonesia.
"Di negara-negara Barat yang masih sekuler, mereka mungkin tidak begitu peduli dengan agama, tapi ini di Indonesia yang masyarakatnya religius," ujar Hamid.
Dia menekankan, kondisi-kondisi seperti itu sudah seharusnya yang menjadi pertimbangan pemerintah. Menurut Hamid, masyarakat Indonesia bukan tidak mungkin memberikan respons yang masif pula, sehingga pemerintah tidak bisa main-main terhadap persoalan ini.
Din Tantang Polri Bongkar Kasus Rekening Gendut Polisi
Hidayatullah.com–Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr Din Syamsudin mengaku terusik hatinya ketika ada aktivis muslim yang dikriminalisasi dengan tuduhan yang tidak berdasar.
Hal itu, terkait kasus yang menimpa Adnin Armas, Ketua Yayasan Keadilan Untuk Semua, yang kabarnya dijadikan tersangka oleh kepolisian atas kasus dana infaq umat Islam kepada Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI yang dihimpun menggunakan rekening yayasan yang diketuainya.
Din menilai, Polri sudah melampaui batas. Ia pun menantang kepolisian untuk tidak pilih kasih dalam membongkar kasus serupa.
“Kalau mau dibongkar semuanya. Kita bisa kasih kasusnya, seperti uang Teman Ahok, atau rekening gendut Polri. Atau apa, kalau mau ayo bongkar semuanya,” ucap Din kepada hidayatullah.com, di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (23/02/2017).
Ia mengungkapkan, pilihannya hanya dua, bongkar semua kasus serupa tanpa pilih kasih. Atau hentikan kasus tersebut.
“Saya berharap itu tidak dilanjutkan oleh Polri. Agar tidak menambah sesak dada umat Islam dengan ketidakadilan,” ujarnya.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini mewanti-wanti, bahwa jika aparat berlebihan menegakkan hukum, apalagi sampai tidak adil. Semua itu akan kembali ke dirinya sendiri.
“Saya berharap Polri jernih melihat ini,” tandas Din.*
Hidayatullah.com–Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr Din Syamsudin mengaku terusik hatinya ketika ada aktivis muslim yang dikriminalisasi dengan tuduhan yang tidak berdasar.
Hal itu, terkait kasus yang menimpa Adnin Armas, Ketua Yayasan Keadilan Untuk Semua, yang kabarnya dijadikan tersangka oleh kepolisian atas kasus dana infaq umat Islam kepada Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI yang dihimpun menggunakan rekening yayasan yang diketuainya.
Din menilai, Polri sudah melampaui batas. Ia pun menantang kepolisian untuk tidak pilih kasih dalam membongkar kasus serupa.
“Kalau mau dibongkar semuanya. Kita bisa kasih kasusnya, seperti uang Teman Ahok, atau rekening gendut Polri. Atau apa, kalau mau ayo bongkar semuanya,” ucap Din kepada hidayatullah.com, di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (23/02/2017).
Ia mengungkapkan, pilihannya hanya dua, bongkar semua kasus serupa tanpa pilih kasih. Atau hentikan kasus tersebut.
“Saya berharap itu tidak dilanjutkan oleh Polri. Agar tidak menambah sesak dada umat Islam dengan ketidakadilan,” ujarnya.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini mewanti-wanti, bahwa jika aparat berlebihan menegakkan hukum, apalagi sampai tidak adil. Semua itu akan kembali ke dirinya sendiri.
“Saya berharap Polri jernih melihat ini,” tandas Din.*
JIWA MANUSIA
MENURUT FAKHRUDDIN AL-RAZI
Oleh: Adnin Armas, M.A.
(Peneliti INSISTS)
Imam Fakhruddin al-Razi (m. 1210 M) dikenal sebagai seorang ulama besar yang ensiklopedis, menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Ia seorang mufassir al-Quran terkemuka. Ia juga pakar dalam bidang kedokteran, logika, matematika, dan fisika. Ia menulis kurang lebih dari dua ratus judul buku. Beberapa judul pun berjilid-jilid. Tulisannya tentang jiwa manusia terurai paling sedikit dalam tiga karyanya. Pertama, tentunya dalam Tafsir Besar-nya (al-Tafsir al-Kabir). Kedua, bukunya yang berjudul Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa Syarh Quwahuma. (Buku Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya). Ketiga, tulisannya yang lebih menukik, terdapat dalam magnum opus-nya (karya besar), yang berjudul al-Matalib al-Aliyah fi al-Ilm al-Ilahi (Kesimpulan-Kesimpulan Puncak dalam Ilmu Ketuhanan). Buku ini terdiri dari 9 jilid.
Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang unik. Keunikannya ada pada karakteristiknya yang khas. Manusia memang beda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Bagi Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Ini membedakan manusia bukan hanya dengan binatang dan tumbuhan, tapi juga dengan malaikat. Dalam kajian psikologi Barat, perbandingan manusia dengan malaikat dan setan tentunya tidak ditemukan.
Menurut al-Razi, malaikat hanya memiliki akal dan hikmah, tanpa tabiat dan hawa nafsu. Karena itu, malaikat selalu ber-tasbih, ber-tahmid dan melakukan taqdis. (QS 16:50; 66:6: 21:21). Malaikat juga tidak akan mengingkari perintah Allah Taala karena memang tidak memiliki hawa nafsu. Sebaliknya, binatang dan tumbuh-tumbuhan memiliki tabiat dan nafsu, namun tidak memiliki akal serta hikmah. Berbeda dengan malaikat, binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia memiliki kesemua karakteristik tersebut, yaitu akal, hikmah, tabiat dan hawa nafsu.
Karakteristik berbeda menyebabkan sifat juga berbeda. Bagi al-Razi, malaikat selalu memiliki kesempurnaan karena tidak punya hawa nafsu dan tabiat. Sebaliknya, binatang selalu memiliki kekurangan karena tidak punya akal dan hikmah. Nah, manusia ada di antara keduanya. Manusia memiliki akal dan hikmah, tapi manusia juga punya hawa nafsu dan tabiat. Karena ke-empat karakteristik tersebut, maka manusia memiliki sifat kekurangan dan kelebihan. Jika manusia menggunakan akal dan hikmah untuk mengatur hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Dengan menggunakan akal -- dan hikmah yang bersumber dari ajaran agama -- untuk menundukkan hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan menjadi khalifah Allah di bumi, sekaligus akan menjadi makhluk yang paling mulia. Sebaliknya, jika tabiat dan hawa nafsu yang menguasai diri dan akalnya, maka ia akan lebih hina dari binatang, yang memang tidak punya akal dan hikmah.
Jiwa Manusia
Menurut Fakhruddin al-Razi, jiwa manusia memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah tingkat yang menghadap ke alam ilahi (al-sabiqun, al-muqarrabun). Tingkatan ini dapat diraih hanya jika manusia mau melakukan praktek spiritual (al-riyadiyah al-ruhaniah) dengan istiqamah. Tingkatan berikutnya adalah tingkatan pertengahan (ashab al-maymanah, al-muqtasidun). Untuk mencapai tingkat kedua ini, diperlukan ilmu akhlak (‘ilm al-akhlaq). Tingkatan paling rendah adalah jiwa manusia yang sibuk mencari kesenangan kehidupan duniawi, (ashab al-shimal, al-dhalimun).
Fakhruddin al-Razi juga menyatakan bahwa ada tiga jenis jiwa manusia. Pertama, al-Nafs al-Mutmainnah (al-Fajr, 89: 27), yaitu jiwa yang tenang, jiwa yang penuh dengan kehidupan spiritualitas dan kedekatan dengan Tuhan. Kedua adalah al-Nafs al-lawwamah (al-Qiyamah 75: 2). Ketiga adalah al-Nafs al-Ammarah bi al-su (Yusuf, 12: 53), adalah jiwa yang selalu mengarahkan manusia kepada keburukan.
Fakhruddin al-Razi membedakan jiwa dengan tubuh. Menurutnya, jiwa bukanlah struktur lahiriah yang bisa dilihat secara inderawi (Ghayr al-bunyah al-zahirah al-mahshushah)
MENURUT FAKHRUDDIN AL-RAZI
Oleh: Adnin Armas, M.A.
(Peneliti INSISTS)
Imam Fakhruddin al-Razi (m. 1210 M) dikenal sebagai seorang ulama besar yang ensiklopedis, menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Ia seorang mufassir al-Quran terkemuka. Ia juga pakar dalam bidang kedokteran, logika, matematika, dan fisika. Ia menulis kurang lebih dari dua ratus judul buku. Beberapa judul pun berjilid-jilid. Tulisannya tentang jiwa manusia terurai paling sedikit dalam tiga karyanya. Pertama, tentunya dalam Tafsir Besar-nya (al-Tafsir al-Kabir). Kedua, bukunya yang berjudul Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa Syarh Quwahuma. (Buku Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya). Ketiga, tulisannya yang lebih menukik, terdapat dalam magnum opus-nya (karya besar), yang berjudul al-Matalib al-Aliyah fi al-Ilm al-Ilahi (Kesimpulan-Kesimpulan Puncak dalam Ilmu Ketuhanan). Buku ini terdiri dari 9 jilid.
Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang unik. Keunikannya ada pada karakteristiknya yang khas. Manusia memang beda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Bagi Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Ini membedakan manusia bukan hanya dengan binatang dan tumbuhan, tapi juga dengan malaikat. Dalam kajian psikologi Barat, perbandingan manusia dengan malaikat dan setan tentunya tidak ditemukan.
Menurut al-Razi, malaikat hanya memiliki akal dan hikmah, tanpa tabiat dan hawa nafsu. Karena itu, malaikat selalu ber-tasbih, ber-tahmid dan melakukan taqdis. (QS 16:50; 66:6: 21:21). Malaikat juga tidak akan mengingkari perintah Allah Taala karena memang tidak memiliki hawa nafsu. Sebaliknya, binatang dan tumbuh-tumbuhan memiliki tabiat dan nafsu, namun tidak memiliki akal serta hikmah. Berbeda dengan malaikat, binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia memiliki kesemua karakteristik tersebut, yaitu akal, hikmah, tabiat dan hawa nafsu.
Karakteristik berbeda menyebabkan sifat juga berbeda. Bagi al-Razi, malaikat selalu memiliki kesempurnaan karena tidak punya hawa nafsu dan tabiat. Sebaliknya, binatang selalu memiliki kekurangan karena tidak punya akal dan hikmah. Nah, manusia ada di antara keduanya. Manusia memiliki akal dan hikmah, tapi manusia juga punya hawa nafsu dan tabiat. Karena ke-empat karakteristik tersebut, maka manusia memiliki sifat kekurangan dan kelebihan. Jika manusia menggunakan akal dan hikmah untuk mengatur hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Dengan menggunakan akal -- dan hikmah yang bersumber dari ajaran agama -- untuk menundukkan hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan menjadi khalifah Allah di bumi, sekaligus akan menjadi makhluk yang paling mulia. Sebaliknya, jika tabiat dan hawa nafsu yang menguasai diri dan akalnya, maka ia akan lebih hina dari binatang, yang memang tidak punya akal dan hikmah.
Jiwa Manusia
Menurut Fakhruddin al-Razi, jiwa manusia memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah tingkat yang menghadap ke alam ilahi (al-sabiqun, al-muqarrabun). Tingkatan ini dapat diraih hanya jika manusia mau melakukan praktek spiritual (al-riyadiyah al-ruhaniah) dengan istiqamah. Tingkatan berikutnya adalah tingkatan pertengahan (ashab al-maymanah, al-muqtasidun). Untuk mencapai tingkat kedua ini, diperlukan ilmu akhlak (‘ilm al-akhlaq). Tingkatan paling rendah adalah jiwa manusia yang sibuk mencari kesenangan kehidupan duniawi, (ashab al-shimal, al-dhalimun).
Fakhruddin al-Razi juga menyatakan bahwa ada tiga jenis jiwa manusia. Pertama, al-Nafs al-Mutmainnah (al-Fajr, 89: 27), yaitu jiwa yang tenang, jiwa yang penuh dengan kehidupan spiritualitas dan kedekatan dengan Tuhan. Kedua adalah al-Nafs al-lawwamah (al-Qiyamah 75: 2). Ketiga adalah al-Nafs al-Ammarah bi al-su (Yusuf, 12: 53), adalah jiwa yang selalu mengarahkan manusia kepada keburukan.
Fakhruddin al-Razi membedakan jiwa dengan tubuh. Menurutnya, jiwa bukanlah struktur lahiriah yang bisa dilihat secara inderawi (Ghayr al-bunyah al-zahirah al-mahshushah)
. Fakhruddin al-Razi membuktikan pendapatnya dengan akal dan wahyu. Adapun bukti akal sebagai berikut. Pertama, jiwa adalah satu. Oleh sebab itu, jiwa berbeda dengan tubuh dan bagian-bagiannya. Bahwa jiwa adalah satu, dapat dibuktikan secara spontan dan intuitif (a priori) dan bisa juga dengan bukti empiris (a posteriori). Spontan, karena ketika seorang mengatakan “aku/saya”, maka “aku/saya” merujuk kepada satu esensi (zat) yang khusus, dan tidak banyak.
Jiwa bisa juga dibuktikan secara empiris, yang berbeda dengan tubuh dan bagian-bagian tubuh: (a) Jiwa bukanlah himpunan bagian-bagian tubuh karena penglihatan tidak menghimpun seluruh kerja tubuh. (b) Jiwa juga tidak identik dengan bagian dari tubuh karena tidak ada dari bagian tubuh yang meliputi semua kerja tubuh. (c) Jika kita melihat sesuatu, kita mengetahuinya, setelah itu menyukainya ataupun membencinya, mendekatinya ataupun menjauhinya. Jika penglihatan adalah sesuatu, dan pengetahuan adalah sesuatu yang lain, maka yang melihat tidak akan mengetahui. Padahal, ketika saya melihat, saya mengetahui. Jadi, esensi dari penglihatan dan pengetahuan adalah satu. (d) Semua bagian tubuh adalah alat untuk jiwa. Jiwa melihat dengan mata, berfikir dengan otak, berbuat dengan hati, merasa dengan kulit, dan seterusnya.
Lalu, apa ”jiwa” itu? Fakhruddin al-Razi menggambarkan hakikat jiwa sebagai substansi yang berbeda dengan tubuh. Jiwa juga terpisah secara esensial dengan tubuh. Namun jiwa terhubungkan dengan tubuh dengan hubungan kerja dan administrasi (dzat al-nafs jawhar mughayir laha mufariq anha bi al-dhat mutaalliq biha tasarruf wa al-tadbir).
Setelah menyebutkan bukti-bukti akal, Fakhruddin al-Razi menyebutkan banyak ayat dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa jiwa bukanlah tubuh. Firman Allah, misalnya, dalam Surah Ali Imran ayat 169 yang artinya: ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS 3: 169). Jadi, jiwa bukan tubuh, karena sekalipun badan mereka telah gugur, namun jiwa mereka tetap hidup. Begitu juga disebutkan dalam al-Quran Surah Al-Muminun 40:46; Nuh 71: 25; Al-Anam: 93.
Pemikiran Fakhruddin al-Razi bahwa jiwa dan bukan tubuh -- yang mengatur tubuh sangat penting untuk direnungkan. Kita mungkin banyak menghabiskan uang untuk berobat, merawat kesehatan badan, menjaga tubuh dengan membeli berbagai produk kesehatan dan kosmetika, dan membeli pakaian dengan berbagai merek, model dan bentuk. Jika tidak menghabiskan banyak uang untuk keperluan dan keinginan tersebut, setiap hari kita mandi untuk membersihkan tubuh kita. Namun, apakah jiwa yang justru mengatur tubuh kita juga dibersihkan, diobati, dirawat dan dihiasi?
Manusia bisa saja memiliki tubuh bersih namun berjiwa kotor. Jadi, jiwa tidak selalu tergantung kepada penampilan tubuh. Kita berharap memiliki jiwa yang sehat dengan tubuh yang sehat. Jiwa yang tenang akan dapat diraih dengan mempelajari serta mengamalkan ibadah dan akhlak secara berkelanjutan. Inilah jiwa yang sehat, jiwa yang selalu mengingat Allah dan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. (***)
Jiwa bisa juga dibuktikan secara empiris, yang berbeda dengan tubuh dan bagian-bagian tubuh: (a) Jiwa bukanlah himpunan bagian-bagian tubuh karena penglihatan tidak menghimpun seluruh kerja tubuh. (b) Jiwa juga tidak identik dengan bagian dari tubuh karena tidak ada dari bagian tubuh yang meliputi semua kerja tubuh. (c) Jika kita melihat sesuatu, kita mengetahuinya, setelah itu menyukainya ataupun membencinya, mendekatinya ataupun menjauhinya. Jika penglihatan adalah sesuatu, dan pengetahuan adalah sesuatu yang lain, maka yang melihat tidak akan mengetahui. Padahal, ketika saya melihat, saya mengetahui. Jadi, esensi dari penglihatan dan pengetahuan adalah satu. (d) Semua bagian tubuh adalah alat untuk jiwa. Jiwa melihat dengan mata, berfikir dengan otak, berbuat dengan hati, merasa dengan kulit, dan seterusnya.
Lalu, apa ”jiwa” itu? Fakhruddin al-Razi menggambarkan hakikat jiwa sebagai substansi yang berbeda dengan tubuh. Jiwa juga terpisah secara esensial dengan tubuh. Namun jiwa terhubungkan dengan tubuh dengan hubungan kerja dan administrasi (dzat al-nafs jawhar mughayir laha mufariq anha bi al-dhat mutaalliq biha tasarruf wa al-tadbir).
Setelah menyebutkan bukti-bukti akal, Fakhruddin al-Razi menyebutkan banyak ayat dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa jiwa bukanlah tubuh. Firman Allah, misalnya, dalam Surah Ali Imran ayat 169 yang artinya: ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS 3: 169). Jadi, jiwa bukan tubuh, karena sekalipun badan mereka telah gugur, namun jiwa mereka tetap hidup. Begitu juga disebutkan dalam al-Quran Surah Al-Muminun 40:46; Nuh 71: 25; Al-Anam: 93.
Pemikiran Fakhruddin al-Razi bahwa jiwa dan bukan tubuh -- yang mengatur tubuh sangat penting untuk direnungkan. Kita mungkin banyak menghabiskan uang untuk berobat, merawat kesehatan badan, menjaga tubuh dengan membeli berbagai produk kesehatan dan kosmetika, dan membeli pakaian dengan berbagai merek, model dan bentuk. Jika tidak menghabiskan banyak uang untuk keperluan dan keinginan tersebut, setiap hari kita mandi untuk membersihkan tubuh kita. Namun, apakah jiwa yang justru mengatur tubuh kita juga dibersihkan, diobati, dirawat dan dihiasi?
Manusia bisa saja memiliki tubuh bersih namun berjiwa kotor. Jadi, jiwa tidak selalu tergantung kepada penampilan tubuh. Kita berharap memiliki jiwa yang sehat dengan tubuh yang sehat. Jiwa yang tenang akan dapat diraih dengan mempelajari serta mengamalkan ibadah dan akhlak secara berkelanjutan. Inilah jiwa yang sehat, jiwa yang selalu mengingat Allah dan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. (***)
Kriminalisasi Ulama Berdampak Buruk Terhadap Pembangunan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi, menekankan perlakuan tak adil kepada ulama tidak akan memberi manfaat. Bahkan, ia mengingatkan, kriminalisasi malah bisa menghambat laju pembangunan. "Kalau begini, bangsa ini tidak akan kondusif untuk pembangunan," kata Hamid kepada Republika.co.id, Ahad (5/2).
Pasalnya, nanti umat akan senantiasa mengajukan banyak tuntutan kepada pemerintah, tentu saja sebagai semacam balasan atas ketidakadilan yang banyak dirasakan. Ia menuturkan, ketidakadilan itu bisa muncul misalnya dari sulitnya proses atas apa yang dilaporkan.
Sedangkan, kata dia, mereka para penegak hukum yang merupakan tangan kanan dari pemerintah atau umara, begitu cepat memproses suatu kasus yang menimpa ulama. Ia berpendapat, tindakan itu terbilang sangat tidak baik, karena akan berbahaya untuk masa depan.
Ia mengingatkan, lembaga penegak hukum seperti Polri merupakan tangan pemerintah, dan pemerintah seharusnya bisa bersikap secara resmi. Hamid mengaku heran, kasus-kasus seperti narkoba dan BLBI bisa begitu saja diampuni, dibiarkan berlarut dan diputar-putar.
"Sementara, ulama begitu ada kesalahan langsung diproses atau dikriminalkan," ujar pria yang akrab disapa Gus Hamid.
http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/02/06/okxi4k384-kriminalisasi-ulama-berdampak-buruk-pada-pembangunan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi, menekankan perlakuan tak adil kepada ulama tidak akan memberi manfaat. Bahkan, ia mengingatkan, kriminalisasi malah bisa menghambat laju pembangunan. "Kalau begini, bangsa ini tidak akan kondusif untuk pembangunan," kata Hamid kepada Republika.co.id, Ahad (5/2).
Pasalnya, nanti umat akan senantiasa mengajukan banyak tuntutan kepada pemerintah, tentu saja sebagai semacam balasan atas ketidakadilan yang banyak dirasakan. Ia menuturkan, ketidakadilan itu bisa muncul misalnya dari sulitnya proses atas apa yang dilaporkan.
Sedangkan, kata dia, mereka para penegak hukum yang merupakan tangan kanan dari pemerintah atau umara, begitu cepat memproses suatu kasus yang menimpa ulama. Ia berpendapat, tindakan itu terbilang sangat tidak baik, karena akan berbahaya untuk masa depan.
Ia mengingatkan, lembaga penegak hukum seperti Polri merupakan tangan pemerintah, dan pemerintah seharusnya bisa bersikap secara resmi. Hamid mengaku heran, kasus-kasus seperti narkoba dan BLBI bisa begitu saja diampuni, dibiarkan berlarut dan diputar-putar.
"Sementara, ulama begitu ada kesalahan langsung diproses atau dikriminalkan," ujar pria yang akrab disapa Gus Hamid.
http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/02/06/okxi4k384-kriminalisasi-ulama-berdampak-buruk-pada-pembangunan
Mohon berkenan memberi dukungan untuk ust. Adnin Armas, MA
Yg menghadapi kriminalisasi terkait dg aksi Bela Islam. Adnin merupakan ketua Yayasan Keadilan Untuk Semua yg meminjamkan rekening yayasan untuk GNPF guna menampung sumbangan kaum Muslimin dlm aksi Bela Islam
https://www.change.org/p/umat-islam-indonesia-dukungan-untuk-ulama-intelektual-muslim-ustadz-h-adnin-armas-ma
Yg menghadapi kriminalisasi terkait dg aksi Bela Islam. Adnin merupakan ketua Yayasan Keadilan Untuk Semua yg meminjamkan rekening yayasan untuk GNPF guna menampung sumbangan kaum Muslimin dlm aksi Bela Islam
https://www.change.org/p/umat-islam-indonesia-dukungan-untuk-ulama-intelektual-muslim-ustadz-h-adnin-armas-ma
Change.org
Umat Islam Indonesia: DUKUNGAN
UNTUK ULAMA & INTELEKTUAL MUSLIM:
USTADZ H. ADNIN ARMAS, MA.
UNTUK ULAMA & INTELEKTUAL MUSLIM:
USTADZ H. ADNIN ARMAS, MA.
PETISI KEPRIHATINAN, SIMPATI DAN DUKUNGAN UNTUK ULAMA & INTELEKTUAL MUSLIM: USTADZ H. ADNIN ARMAS, MA.
Bismillahirrahmanirrahim
KEPADA USTAD ADNIN ARMAS.. YANG KAMI CINTAI DAN KAMI BANGGAKAN JANGAN GENTAR DAN BERKECIL HATI! KAMI SEMUA, MURID-MURID…
Bismillahirrahmanirrahim
KEPADA USTAD ADNIN ARMAS.. YANG KAMI CINTAI DAN KAMI BANGGAKAN JANGAN GENTAR DAN BERKECIL HATI! KAMI SEMUA, MURID-MURID…
Tafsir Yahudi, Tafsir Liberal, Tafsir Iblis
Oleh: Dr. Adian Husaini
Laman http://www.timesofisrael.com (4/3/2016), masih memampang satu judul berita “US Jews among the most supportive of gay marriage”. Disebutkan bahwa kaum Yahudi Amerika merupakan komunitas tertinggi yang memberikan dukungan terhadap legalisasi perkawinan sejenis (perkawinan homo dan lesbi) di AS. Itulah hasil survei “Pew Research Center for the People and the Press.”
Menurut hasil survei yang dilakukan dalam rentang tahun 2012-2013, sebanyak 76 persen Yahudi AS mendukung pengesahan (legalisasi) perkawinan sesama jenis; sedangkan 18 persen menentang, dan 8 persen tidak menyatakan sikapnya. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan pemeluk Protestan (34 persen) dan pemeluk Katolik (53 persen).
Bahkan, angka 76 persen itu lebih tinggi dibandingkan dengan dukungan terhadap perkawinan sesama jenis di kalangan kaum Demokrat (61 persen) dan kaum yang mengaku dirinya “liberal” (72 persen). Di kalangan warga AS yang mengaku tidak berafiliasi dengan satu agama saja, jumlah yang mendukung perkawinan sejenis sebanyak 75 persen; masih di bawah 1 persen dari komunitas Yahudi. (http://www.timesofisrael.com/us-jews-among-the-most-supportive-of-gay-marriage/).
Itulah salah satu prestasi kaum Yahudi dalam legalisasi perkawinan sejenis. Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul: “Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes”.
Dikatakan, bahwa:
“Vice President Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and other issues.
Biden says culture and arts change people’s attitudes. He cites social media and the old NBC TV series “Will and Grace” as examples of what helped changed attitudes on gay marriage. Biden says, quote, “Think … behind of all that, I bet you 85 percent of those changes, whether it’s in Hollywood or social media, are a consequence of Jewish leaders in the industry.” Biden says the influence is immense and that those changes have been for the good.”
Pernyataan Joe Biden itu tidak dapat dipandang enteng. Bahwa, para tokoh Yahudi-lah yang telah mendorong terjadinya perubahan sikap bangsa Amerika terhadap perkawinan sejenis. Bahwa, budaya dan kesenian adalah media yang berhasil mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Ia pun menyebut peran penting media sosial dan satu film serial TV “Will and Grace” di NBC-TV. Biden berani bertaruh bahwa 85 persen perubahan itu dimainkan oleh para tokoh Yahudi yang berperan besar di Hollywood atau media sosial.
Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah. Prof. Norman Cantor, dalam bukunya, The Sacred Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka setara dengan kekuatan 20 persen penduduk AS. Bahkan, Prof. Cantor menulis, “Jews were over represented in the learned professions by a factor of five or six.”
Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, “If there is Jewish power, it’s the power of the word, the power of Jewish columnist and Jewish opinion makers.” Ia pun menambahkan, “And if you can shape opinion, you can shape events.” Jadi, kata Fisher, jika Anda bisa membentuk opini, maka Anda akan mampu mencipta aneka peristiwa. (Dikutip dari buku The New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper, Washington, DC: American Free Press, 2004).
Pengaruh tokoh-tokoh Yahudi dalam mempromosikan legalisasi perkawinan sejenis – seperti disebutkan Joe Biden – tentu tak lepas dari proses liberalisasi pemikiran tentang homoseksual dalam ajaran Yahudi. Dan Cohn-Sherbok, dalam bukunya, Modern Judaism, (New York: St Martin Press, 1996, hlm. 98), mengungkapkan perkembangan pemikiran kalangan Yahudi reformis terhadap status huku
Oleh: Dr. Adian Husaini
Laman http://www.timesofisrael.com (4/3/2016), masih memampang satu judul berita “US Jews among the most supportive of gay marriage”. Disebutkan bahwa kaum Yahudi Amerika merupakan komunitas tertinggi yang memberikan dukungan terhadap legalisasi perkawinan sejenis (perkawinan homo dan lesbi) di AS. Itulah hasil survei “Pew Research Center for the People and the Press.”
Menurut hasil survei yang dilakukan dalam rentang tahun 2012-2013, sebanyak 76 persen Yahudi AS mendukung pengesahan (legalisasi) perkawinan sesama jenis; sedangkan 18 persen menentang, dan 8 persen tidak menyatakan sikapnya. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan pemeluk Protestan (34 persen) dan pemeluk Katolik (53 persen).
Bahkan, angka 76 persen itu lebih tinggi dibandingkan dengan dukungan terhadap perkawinan sesama jenis di kalangan kaum Demokrat (61 persen) dan kaum yang mengaku dirinya “liberal” (72 persen). Di kalangan warga AS yang mengaku tidak berafiliasi dengan satu agama saja, jumlah yang mendukung perkawinan sejenis sebanyak 75 persen; masih di bawah 1 persen dari komunitas Yahudi. (http://www.timesofisrael.com/us-jews-among-the-most-supportive-of-gay-marriage/).
Itulah salah satu prestasi kaum Yahudi dalam legalisasi perkawinan sejenis. Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul: “Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes”.
Dikatakan, bahwa:
“Vice President Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and other issues.
Biden says culture and arts change people’s attitudes. He cites social media and the old NBC TV series “Will and Grace” as examples of what helped changed attitudes on gay marriage. Biden says, quote, “Think … behind of all that, I bet you 85 percent of those changes, whether it’s in Hollywood or social media, are a consequence of Jewish leaders in the industry.” Biden says the influence is immense and that those changes have been for the good.”
Pernyataan Joe Biden itu tidak dapat dipandang enteng. Bahwa, para tokoh Yahudi-lah yang telah mendorong terjadinya perubahan sikap bangsa Amerika terhadap perkawinan sejenis. Bahwa, budaya dan kesenian adalah media yang berhasil mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Ia pun menyebut peran penting media sosial dan satu film serial TV “Will and Grace” di NBC-TV. Biden berani bertaruh bahwa 85 persen perubahan itu dimainkan oleh para tokoh Yahudi yang berperan besar di Hollywood atau media sosial.
Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah. Prof. Norman Cantor, dalam bukunya, The Sacred Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka setara dengan kekuatan 20 persen penduduk AS. Bahkan, Prof. Cantor menulis, “Jews were over represented in the learned professions by a factor of five or six.”
Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, “If there is Jewish power, it’s the power of the word, the power of Jewish columnist and Jewish opinion makers.” Ia pun menambahkan, “And if you can shape opinion, you can shape events.” Jadi, kata Fisher, jika Anda bisa membentuk opini, maka Anda akan mampu mencipta aneka peristiwa. (Dikutip dari buku The New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper, Washington, DC: American Free Press, 2004).
Pengaruh tokoh-tokoh Yahudi dalam mempromosikan legalisasi perkawinan sejenis – seperti disebutkan Joe Biden – tentu tak lepas dari proses liberalisasi pemikiran tentang homoseksual dalam ajaran Yahudi. Dan Cohn-Sherbok, dalam bukunya, Modern Judaism, (New York: St Martin Press, 1996, hlm. 98), mengungkapkan perkembangan pemikiran kalangan Yahudi reformis terhadap status huku
Timesofisrael
The Times of Israel
News from Israel, the Middle East and the Jewish World
m homoseksual. Menurut mereka, perumusan hukum-hukum Yahudi modern harus memperhitungkan aspek psikologis. Homoseksual misalnya, meskipun dilarang dalam Bibel, saat ini perlu dibolehkan, sebab saat ini manusia telah memiliki pemahaman terhadap seksualitas yang lebih tercerahkan (a more enlightened understanding of human sexuality).
Padahal, Bibel Yahudi (Perjanjian Lama) telah menegaskan: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.” (Imamat 18:22). “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian … (Imamat 20:13).
Jadi, pada intinya, kaum Yahudi yang menghalalkan perkawinan sejenis itu berpandangan bahwa hukum-hukum agama mereka boleh diubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Tidak ada hukum yang dipandang tetap dalam hukum-hukum agama mereka. Meskipun banyak kaum Yahudi yang masih memandang homoseksual sebagai suatu kejahatan, tetapi mereka saat ini kalah dominan dengan Yahudi-yahudi yang sudah mendukung perkawinan sejenis. Agama dijadikan sebagai permainan.
Al-Quran menjelaskan bahwa salah satu sifat bangsa Yahudi ini adalah menyelimuti kebenaran dengan kebatilan. “Janganlah kalian mencampur aduk kebenaran dengan kebatilan dan kalian sembunyikan kebenaran, sedangkan kalian mengetahuinya.” (QS al-Baqarah: 42). Kaum Yahudi juga terkenal dalam merusak kitab sucinya sendiri, sehingga tidak diketahui lagi mana yang asli dan mana yang tambahan. (QS al-Baqarah: 75, 79).
Dalam kasus LGBT, perubahan sikap kaum Yahudi sangat mencolok. Di Israel, kaum homoseksual telah mendapatkan kebebasan yang sangat luas. Aktivitas seksual sesama jenis telah disahkan tahun 1988. Diskriminasi berdasarkan orientasi seksual telah dilarang tahun 1992. Juga, kaum homoseksual ini mendapatkan hak untuk menjadi tentara Israel. Jajak pendapat terakhir menunjukkan mayoritas warga Israel mendukung perkawinan sejenis. (https://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_rights_in_Israel).
Tafsir Liberal dan Iblis
Dalam sebuah tulisannya yang beredar di media online seorang pegiat paham liberal melakukan penafsiran dengan cara tertentu, sehingga ia berkesimpulan, bahwa perkawinan sesama jenis bisa diterima, dengan alasan “kemaslahatan”. Ia menulis di ujung artikelnya: “Perlu diakui, sebagaimana tidak (ada) dalil yang secara eksplisit melarang pernikahan sejenis, juga tidak ada dalil yang jelas-jelas membolehkannya. Lalu, apa prinsip-prinsip dasar yang memungkinkan perkawinan sejenis dapat dibenarkan? Jawabnya, konsep kemaslahatan yang bermuara pada terwujudnya kesataraan, keadilan, dan kehormatan manusia. Konsep kemaslahatan ini muncul cukup awal dalam tradisi yurisprudensi Islam dan terus berkembang hingga sekarang, yang mengindikasikan bahwa konsep itu merepresentasikan “spirit” agama yang mampu menyerap perkembangan zaman.”Tidak sulit untuk berargumen secara rinci kenapa atas nama kemaslahatan perkawinan sejenis dapat dibenarkan. Karena keterbatasan ruang (dan waktu), saya dapat katakan bahwa pelembagaan perkawinan sejenis memungkinkan pasangan dapat menikmati berbagai hak keistimewaan (privileges) yang dinikmati suami-istri lain.” (https://www.inspirasi.co/post/detail/5806/munim-sirry-menafsir-kisah-nabi-luth-secara-berbeda).
Artikel ini telah mendapatkan tanggapan luas karena bersamaan dengan munculnya gerakan secara masif untuk melegalkan perkawinan sesama jenis di Indonesia. Tentu saja kesimpulan model penafsiran semacam ini memunculkan ketakjuban di kalangan para ilmuwan tafsir. Sebab, selama 1400 tahun lebih, baru ada orang yang berani menafsirkan ayat-ayat tentang kisah Luth dan kemudian menyimpulkan perkawinan sejenis dibolehkan. Ada dua kemungkinan: selama 1400 tahun lebih para ulama Islam tidak ada yang paham al-Quran, atau pegiat liberal ini memiliki kecerdasan di atas seluruh sahabat Nabi saw dan para ulama Islam sedunia. Atau ada kemungkinan lain.
Pakar Tafsir al-Quran Fahmi Salim menulis artikel di Harian Republika (26/2/2016) berjudul “Menakar ‘Tafsir Baru’ LGBT”. Fahmi Salim membuktikan, bahwa tidak ada
Padahal, Bibel Yahudi (Perjanjian Lama) telah menegaskan: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.” (Imamat 18:22). “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian … (Imamat 20:13).
Jadi, pada intinya, kaum Yahudi yang menghalalkan perkawinan sejenis itu berpandangan bahwa hukum-hukum agama mereka boleh diubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Tidak ada hukum yang dipandang tetap dalam hukum-hukum agama mereka. Meskipun banyak kaum Yahudi yang masih memandang homoseksual sebagai suatu kejahatan, tetapi mereka saat ini kalah dominan dengan Yahudi-yahudi yang sudah mendukung perkawinan sejenis. Agama dijadikan sebagai permainan.
Al-Quran menjelaskan bahwa salah satu sifat bangsa Yahudi ini adalah menyelimuti kebenaran dengan kebatilan. “Janganlah kalian mencampur aduk kebenaran dengan kebatilan dan kalian sembunyikan kebenaran, sedangkan kalian mengetahuinya.” (QS al-Baqarah: 42). Kaum Yahudi juga terkenal dalam merusak kitab sucinya sendiri, sehingga tidak diketahui lagi mana yang asli dan mana yang tambahan. (QS al-Baqarah: 75, 79).
Dalam kasus LGBT, perubahan sikap kaum Yahudi sangat mencolok. Di Israel, kaum homoseksual telah mendapatkan kebebasan yang sangat luas. Aktivitas seksual sesama jenis telah disahkan tahun 1988. Diskriminasi berdasarkan orientasi seksual telah dilarang tahun 1992. Juga, kaum homoseksual ini mendapatkan hak untuk menjadi tentara Israel. Jajak pendapat terakhir menunjukkan mayoritas warga Israel mendukung perkawinan sejenis. (https://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_rights_in_Israel).
Tafsir Liberal dan Iblis
Dalam sebuah tulisannya yang beredar di media online seorang pegiat paham liberal melakukan penafsiran dengan cara tertentu, sehingga ia berkesimpulan, bahwa perkawinan sesama jenis bisa diterima, dengan alasan “kemaslahatan”. Ia menulis di ujung artikelnya: “Perlu diakui, sebagaimana tidak (ada) dalil yang secara eksplisit melarang pernikahan sejenis, juga tidak ada dalil yang jelas-jelas membolehkannya. Lalu, apa prinsip-prinsip dasar yang memungkinkan perkawinan sejenis dapat dibenarkan? Jawabnya, konsep kemaslahatan yang bermuara pada terwujudnya kesataraan, keadilan, dan kehormatan manusia. Konsep kemaslahatan ini muncul cukup awal dalam tradisi yurisprudensi Islam dan terus berkembang hingga sekarang, yang mengindikasikan bahwa konsep itu merepresentasikan “spirit” agama yang mampu menyerap perkembangan zaman.”Tidak sulit untuk berargumen secara rinci kenapa atas nama kemaslahatan perkawinan sejenis dapat dibenarkan. Karena keterbatasan ruang (dan waktu), saya dapat katakan bahwa pelembagaan perkawinan sejenis memungkinkan pasangan dapat menikmati berbagai hak keistimewaan (privileges) yang dinikmati suami-istri lain.” (https://www.inspirasi.co/post/detail/5806/munim-sirry-menafsir-kisah-nabi-luth-secara-berbeda).
Artikel ini telah mendapatkan tanggapan luas karena bersamaan dengan munculnya gerakan secara masif untuk melegalkan perkawinan sesama jenis di Indonesia. Tentu saja kesimpulan model penafsiran semacam ini memunculkan ketakjuban di kalangan para ilmuwan tafsir. Sebab, selama 1400 tahun lebih, baru ada orang yang berani menafsirkan ayat-ayat tentang kisah Luth dan kemudian menyimpulkan perkawinan sejenis dibolehkan. Ada dua kemungkinan: selama 1400 tahun lebih para ulama Islam tidak ada yang paham al-Quran, atau pegiat liberal ini memiliki kecerdasan di atas seluruh sahabat Nabi saw dan para ulama Islam sedunia. Atau ada kemungkinan lain.
Pakar Tafsir al-Quran Fahmi Salim menulis artikel di Harian Republika (26/2/2016) berjudul “Menakar ‘Tafsir Baru’ LGBT”. Fahmi Salim membuktikan, bahwa tidak ada
Wikipedia
LGBTQ rights in Israel
Lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) rights in Israel are considered the most developed in the Middle East. Although same-sex sexual activity was legalized in 1988, the former law against sodomy had not been enforced since a court decision in 1963.…
perbedaan di kalangan para ulama tentang buruknya perilaku homoseksual itu. Al-Quran menyebut sebagai “fahisyah” (kejahatan yang keji). Perbedaan mereka adalah tentang bentuk hukuman yang harus dijatuhkan kepada para pelaku homoseksual. Seorang guru di pesantren juga menulis artikel bagus yang menjawab tulisan pegiat liberal tersebut.
Tentulah sebagai muslim kita sangat menyayangkan dan sedih dengan munculnya artikel-artikel yang membolehkan perkawinan sejenis, khususnya yang dilakukan oleh orang-orang yang secara keilmuan logisnya tidak berani melakukan hal tersebut. Sebab, al-Quran tidak bisa ditafsirkan sembarangan dan semaunya sendiri. Menafsirkan UUD 1945 saja ada metode dan caranya. Itu terkait dengan otoritas keilmuan. Meskipun terkenal dengan kecerdasannya yang luar biasa, Pak BJ Habibie tidak diakui otoritasnya dalam soal penafsiran UUD 1945. Kecuali jika Pak Habibie kemudian menekuni bidang itu dan menulis karya ilmiah yang otoritatif tentang penafsiran UUD 1945, yang diakui pada ilmuwan di bidangnya.
Begitu juga dalam soal penafsiran al-Quran. Perlu otoritas keilmuan yang memadai untuk diakui sebagai mufassir al-Quran. Untuk mengajukan satu metodologi baru dalam penafsiran al-Quran, perlu seorang menulis kitab Ulumul Quran atau Kitab Metodologi Ilmu Tafsir yang berkualitas tinggi dan bisa diuji secara ilmiah. Minimal, ia membuktikan telah melahirkan karya Tafsir al-Quran yang bermutu. Jika belum mampu menjadi mujtahid, sebaiknya belajar lagi kepada para ulama yang mumpuni ilmunya. Tidak baik bersikap asal beda (Jawa: Waton Suloyo/WtS). Kita perlu orang pinter dan bener. Umat Islam merindukan sosok-sosok ilmuwan dan ulama yang tinggi ilmunya tetapi juga tahu diri.
Jika dasar untuk melegalkan perkawinan sesama jenis adalah karena “tidak ada dalil yang melarang secara eksplisit dalam al-Quran”, maka dalam al-Quran juga tidak larangan secara eksplisit untuk menikah dengan anjing, dengan babi, dengan kunyuk, atau dengan tuyul. Di sinilah perlunya metodologi yang shahih dalam menafsirkan al-Quran Ketiadaan metodologi yang shahih ini akan menyebabkan kekacauan ilmu.
Kita bisa menyimak sebuah buku berjudul Fiqih Lintas Agama (editor: Mun’im A. Sirry), yang secara serampangan memberikan tuduhan yang tidak beradab kepada Imam al-Syafi’i rahimahullah:
“Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Quran dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i.” (Mun’im A. Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), hlm. 5.)
Maka, dalam menyikapi persoalan ini, kita perlu merenungkan ujung artikel Fahmi Salim yang mengingatkan:
“Dalam soal penyelewengan Tafsir al-Quran, Allah telah menunjukkan bagaimana Iblis pun telah melakukannya. QS al-A’raf ayat 20 menjelaskan, bahwa Iblis melakukan penafsiran semena-mena – sesuai kehendaknya — terhadap larangan Allah agar Adam menjauhi Pohon itu. Lalu, Iblis membuat tafsiran, ‘Tuhan melarang kalian berdua (Adam dan Hawa), karena kalian bisa jadi malaikat atau jadi makhluk yang kekal abadi’.
Bahkan, untuk meyakinkan Adam dan Hawa, Iblis sampai bersumpah bahwa ia adalah pemberi nasihat yang jujur. Kala itu Adam dan isterinya terpedaya akibat tafsir sesat berbungkus nasehat ala Iblis. Tentu kita sebagai keturunan Adam tidak ingin terperosok ke dalam jurang yang sama.”
Kata-kata Fahmi Salim, sarjana Ilmu Tafsir lulusan al-Azhar Kairo itu, perlu kita renungkan. Iblis memang tidak mengatakan kepada Adam dan Hawa, “Wahai Adam, jangan pe
Tentulah sebagai muslim kita sangat menyayangkan dan sedih dengan munculnya artikel-artikel yang membolehkan perkawinan sejenis, khususnya yang dilakukan oleh orang-orang yang secara keilmuan logisnya tidak berani melakukan hal tersebut. Sebab, al-Quran tidak bisa ditafsirkan sembarangan dan semaunya sendiri. Menafsirkan UUD 1945 saja ada metode dan caranya. Itu terkait dengan otoritas keilmuan. Meskipun terkenal dengan kecerdasannya yang luar biasa, Pak BJ Habibie tidak diakui otoritasnya dalam soal penafsiran UUD 1945. Kecuali jika Pak Habibie kemudian menekuni bidang itu dan menulis karya ilmiah yang otoritatif tentang penafsiran UUD 1945, yang diakui pada ilmuwan di bidangnya.
Begitu juga dalam soal penafsiran al-Quran. Perlu otoritas keilmuan yang memadai untuk diakui sebagai mufassir al-Quran. Untuk mengajukan satu metodologi baru dalam penafsiran al-Quran, perlu seorang menulis kitab Ulumul Quran atau Kitab Metodologi Ilmu Tafsir yang berkualitas tinggi dan bisa diuji secara ilmiah. Minimal, ia membuktikan telah melahirkan karya Tafsir al-Quran yang bermutu. Jika belum mampu menjadi mujtahid, sebaiknya belajar lagi kepada para ulama yang mumpuni ilmunya. Tidak baik bersikap asal beda (Jawa: Waton Suloyo/WtS). Kita perlu orang pinter dan bener. Umat Islam merindukan sosok-sosok ilmuwan dan ulama yang tinggi ilmunya tetapi juga tahu diri.
Jika dasar untuk melegalkan perkawinan sesama jenis adalah karena “tidak ada dalil yang melarang secara eksplisit dalam al-Quran”, maka dalam al-Quran juga tidak larangan secara eksplisit untuk menikah dengan anjing, dengan babi, dengan kunyuk, atau dengan tuyul. Di sinilah perlunya metodologi yang shahih dalam menafsirkan al-Quran Ketiadaan metodologi yang shahih ini akan menyebabkan kekacauan ilmu.
Kita bisa menyimak sebuah buku berjudul Fiqih Lintas Agama (editor: Mun’im A. Sirry), yang secara serampangan memberikan tuduhan yang tidak beradab kepada Imam al-Syafi’i rahimahullah:
“Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Quran dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i.” (Mun’im A. Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), hlm. 5.)
Maka, dalam menyikapi persoalan ini, kita perlu merenungkan ujung artikel Fahmi Salim yang mengingatkan:
“Dalam soal penyelewengan Tafsir al-Quran, Allah telah menunjukkan bagaimana Iblis pun telah melakukannya. QS al-A’raf ayat 20 menjelaskan, bahwa Iblis melakukan penafsiran semena-mena – sesuai kehendaknya — terhadap larangan Allah agar Adam menjauhi Pohon itu. Lalu, Iblis membuat tafsiran, ‘Tuhan melarang kalian berdua (Adam dan Hawa), karena kalian bisa jadi malaikat atau jadi makhluk yang kekal abadi’.
Bahkan, untuk meyakinkan Adam dan Hawa, Iblis sampai bersumpah bahwa ia adalah pemberi nasihat yang jujur. Kala itu Adam dan isterinya terpedaya akibat tafsir sesat berbungkus nasehat ala Iblis. Tentu kita sebagai keturunan Adam tidak ingin terperosok ke dalam jurang yang sama.”
Kata-kata Fahmi Salim, sarjana Ilmu Tafsir lulusan al-Azhar Kairo itu, perlu kita renungkan. Iblis memang tidak mengatakan kepada Adam dan Hawa, “Wahai Adam, jangan pe
dulikan larangan Allah itu!” Bukan begitu cara Iblis menyesatkan. Tetapi, Iblis menggunakan cara intelektual; memberikan penafsiran yang menyesatkan terhadap Kalam Allah itu. Bahwa, kata Iblis, maksud larangan itu adalah agar Adam tidak menjadi Malaikat atau tidak kekal di sorga. Iblis berlagak sebagai ahli tafsir. Karena penampilan dan cara pendekatan Iblis memang mempesona, maka Adam pun terpedaya, dan kemudian mengakui kesalahannya, bertobat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Itulah beda antara Adam dengan Iblis. Adam bersalah, lalu sadar dan bertobat. Sementara Iblis jelas-jelas melakukan kesalahan, tetapi bersikap sombong, angkuh, tetap membangkang kepada Allah, dan bangga menjadi kafir. Semoga kita dan keluarga kita selamat dari aneka tipu daya Iblis dan para setan terkutuk yang tak henti-hentinya berusaha menyesatkan kita dari jalan Allah yang lurus. Amin.
Itulah beda antara Adam dengan Iblis. Adam bersalah, lalu sadar dan bertobat. Sementara Iblis jelas-jelas melakukan kesalahan, tetapi bersikap sombong, angkuh, tetap membangkang kepada Allah, dan bangga menjadi kafir. Semoga kita dan keluarga kita selamat dari aneka tipu daya Iblis dan para setan terkutuk yang tak henti-hentinya berusaha menyesatkan kita dari jalan Allah yang lurus. Amin.