Dalam buku Ceryl Bernard berjudul "Civil Democratic Society" terbitan Rand Corporation, umat Islam dibagi menjadi 4 golongan:
1) Muslim Fundamentalis
2) Muslimin Tradisionalis
3) Muslim moderat (liberal)
dan
Muslim Sekuler
Buku ini diterbitkan sebagai masukan bagi Security Council AS; untuk menghadapi terrorisme pasca 9/11. Salah satu saran dalam buku ini CEGAH persatuan Muslim Fundamentalis dengan Muslim Tradisiona dan DUKUNG muslim moderat (baca: liberal). Apakah strategi ini dijalankan dan berjalan? Mari kita lihat.
Akhir akhir ini kita menyaksikan ada orang atau kelompok Islam yang seperti sengaja mencari cari perbedaan dengan orang atau kelompok Muslim lain. Akhirnya, karena tidak bisa menerima pandangan, mazhab, pemikiran orang dan kelompok Muslim yang lain. Maka terjadilah kondisi dimana sesama Muslim saling menyalahkan, saling menyesatkan, mengkafirkan, bahkan saling memusuhi dan mengancam. Padahal masih sama2 dalam kelompok ahlussunnah waljamaah.
Akibatnya, ketika umat Islam menghadapi masalah, mereka itu lebih semangat menyelamatkan diri dan kelompoknya daripada membela Islam dan umat Islam. Bahkan karena bencinya pada kelompok umat Islam yang lain, sudi berlemah lembut dan kerjasama dengan non Muslim, bahkan yang lebih radikal lagi adalah membela non-muslim.
Ini adalah kondisi yang diinginkan oleh Strategi Bernard diatas. Tapi ternyata itu bukan yang diinginkan Rasulullah, sebab sabdanya:
"Barangsiapa yang tidak perduli terhadap urusan umat Islam, maka dia tidak termasuk golongan mereka (umat Islam)." al-Hadith.
Pertolongan Allah datang justru pada saat seorang Muslim menolong saudara seimannya. Jadi, marilah berfikir jernih, cerdas dan strategis.
Wallahul muwafiq ila aqwamittariq, wa billahi at taufiq wal hidayah.
- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
1) Muslim Fundamentalis
2) Muslimin Tradisionalis
3) Muslim moderat (liberal)
dan
Muslim Sekuler
Buku ini diterbitkan sebagai masukan bagi Security Council AS; untuk menghadapi terrorisme pasca 9/11. Salah satu saran dalam buku ini CEGAH persatuan Muslim Fundamentalis dengan Muslim Tradisiona dan DUKUNG muslim moderat (baca: liberal). Apakah strategi ini dijalankan dan berjalan? Mari kita lihat.
Akhir akhir ini kita menyaksikan ada orang atau kelompok Islam yang seperti sengaja mencari cari perbedaan dengan orang atau kelompok Muslim lain. Akhirnya, karena tidak bisa menerima pandangan, mazhab, pemikiran orang dan kelompok Muslim yang lain. Maka terjadilah kondisi dimana sesama Muslim saling menyalahkan, saling menyesatkan, mengkafirkan, bahkan saling memusuhi dan mengancam. Padahal masih sama2 dalam kelompok ahlussunnah waljamaah.
Akibatnya, ketika umat Islam menghadapi masalah, mereka itu lebih semangat menyelamatkan diri dan kelompoknya daripada membela Islam dan umat Islam. Bahkan karena bencinya pada kelompok umat Islam yang lain, sudi berlemah lembut dan kerjasama dengan non Muslim, bahkan yang lebih radikal lagi adalah membela non-muslim.
Ini adalah kondisi yang diinginkan oleh Strategi Bernard diatas. Tapi ternyata itu bukan yang diinginkan Rasulullah, sebab sabdanya:
"Barangsiapa yang tidak perduli terhadap urusan umat Islam, maka dia tidak termasuk golongan mereka (umat Islam)." al-Hadith.
Pertolongan Allah datang justru pada saat seorang Muslim menolong saudara seimannya. Jadi, marilah berfikir jernih, cerdas dan strategis.
Wallahul muwafiq ila aqwamittariq, wa billahi at taufiq wal hidayah.
- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Syariah
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Tahun 2007 lalu Abdullahi Ahmad an-Naim bedah buku terjemahannya. Judul bukunya Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariat Islam. Sebagai salah seorang pembedah saya mengemukakan beberapa kritikan. Diantaranya saya mengkiritik konsepnya tentang syariah, Negara, public reason dsb. Menurutnya, syariat Islam tercipta selama tiga abad pertama Hijrah. Syariah hanyalah interpretasi Muslim atas kitab suci mereka. Muslim generasi awal tidak mengenal dan tidak menerapkan syariah (hal.33).
Nampaknya, ia tidak percaya bahwa dalam al-Quran terdapat syariah atau hukum. Kalau syariah diartikan jalan berarti juga inkar bahwa Islam adalah jalan. Jadi syariah itu dibuat oleh manusia. Di akhir diskusi dia menghadiahi saya bukunya itu dan menorehkan tanda tangan serta menulis With profound appreciation. Mungkin dia menerima keritikan saya. Wallahu alam
Teori an-Naim lalu saya kaitkan dengan definisi Cheryl Bernard dari Rand Coorporation, AS. Dalam bukunya Civil Democratic Islam, Cheryl mendefinisikan syariah sebagai the entire body of Islamic law and guidance, based on the Quran, hadith and scholarly judgments, and open to selective use and interpretation. Intinya syariah itu adalah produk hukum. Seorang pembela Islam Liberal menulis dalam sebuah koran tidak ada hukum Tuhan, yang ada hanya hukum manusia. Ketiganya bermaksud sama mengartikan syariah sebagai hasil interpretasi manusia Muslim terhadap kitab sucinya.
Apa yang dimaksud interpretasi ternyata beda dari Tafsir atau Tawil. Interpretasi mementingkan sejarah teks. Al-Quran dibedah sejarahnya, dikait-kaitkan dengan situasi politik, sosial, psikologis, ideologi dsb. Alhasil, al-Quran menjadi bukan wahyu suci, tapi produk budaya Arab. Tafsir pun tidak lagi berkaitan dengan teks, tapi dengan budaya disekitar teks. Maka, sebab khusus ayat itu diturunkan (khusus-u-sabab) lebih penting dari arti eksplisit (perintah) ayat itu (umum-ul-lafz). Karena teori ini para ulama mufassir pun dicurigai sebagai memiliki kepentingan, kalau tidak terjerat kondisi sosial budaya. Lalu timbul rumus Penafsiran ulama itu kondisional dan relatif, yang mutlak hanya Tuhan. Para Kyai di pesantren bingung. Cara berfikir seperti itu tidak ada dalam kitab kuning.
Ternyata itu semua adalah bagian dari sekenario intelektual untuk menumpas Muslim fundamentalis. Buktinya terdapat pada saran Cheryl Bernard Challenge their interpretation of Islam and expose inaccuracies (tantanglah interpretasi mereka [fundamentalis] tentang Islam dan beberkan ketidak-akuratannya). Saran ini ditaati cendekiawan Muslim liberal dengan penuh takzim. Respon para dosen Ilmu Tafsir malah lebih kreatif satu ayat seribu tafsir, kitab-kitab Tafsir klasik tidak relevan lagi, bahkan tidak kontekstual.
Untuk membuktikan seribu tafsir muncullah tafsir baru untuk menjual dagangan feminisme radikal, misalnya. Seorang professor pemikiran Islam menyatakan bahwa lesbianism itu halal. Sekumpulan dosen fakultas syariah menyatakan bahwa homoseksualisme itu tidak dilarang syariat Islam. Tafsir baru menghasilkan syariat (hukum) baru. Hukum baru nikah beda agama, hukum waris, wanita menjadi imam laki-laki, hak wanita menceraikan suami dan sebagainya muncul mengejutkan.
Tafsir-tafsir baru itu nampaknya adalah pengamalan dari dawuh Cheryl Bernard. Menafsirkan berarti to depart from, modify, and selectively ignore elements of the original religious doctrine. (menyimpang dari, memodifikasi, dan secara selektif mengesampingkan elemen-elemen dari doktrin keagamaan yang asli). Itulah liberalisasi syariah. Siapapun bebas menafsirkan hukum apa saja. Siapapun bebas mencipta syariah. Islam adalah liberal.
Bukan hanya itu, liberalisasi plus sekularisasi menolak praktek syariah. Ketika sejumlah daerah sepakat menyusun PERDA bagi pelanggar tindak a-moral seperti mencuri, minuman keras, berzina, berjudi dan berkelahi, semua orang sepakat dan gembira. Tapi ketika orang-orang liberal sekuler mencium bau syariah, sontak mereka protes. Meski tidak berbunyi perda syariah, perda itu dianggap inkonstitusional dan
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Tahun 2007 lalu Abdullahi Ahmad an-Naim bedah buku terjemahannya. Judul bukunya Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariat Islam. Sebagai salah seorang pembedah saya mengemukakan beberapa kritikan. Diantaranya saya mengkiritik konsepnya tentang syariah, Negara, public reason dsb. Menurutnya, syariat Islam tercipta selama tiga abad pertama Hijrah. Syariah hanyalah interpretasi Muslim atas kitab suci mereka. Muslim generasi awal tidak mengenal dan tidak menerapkan syariah (hal.33).
Nampaknya, ia tidak percaya bahwa dalam al-Quran terdapat syariah atau hukum. Kalau syariah diartikan jalan berarti juga inkar bahwa Islam adalah jalan. Jadi syariah itu dibuat oleh manusia. Di akhir diskusi dia menghadiahi saya bukunya itu dan menorehkan tanda tangan serta menulis With profound appreciation. Mungkin dia menerima keritikan saya. Wallahu alam
Teori an-Naim lalu saya kaitkan dengan definisi Cheryl Bernard dari Rand Coorporation, AS. Dalam bukunya Civil Democratic Islam, Cheryl mendefinisikan syariah sebagai the entire body of Islamic law and guidance, based on the Quran, hadith and scholarly judgments, and open to selective use and interpretation. Intinya syariah itu adalah produk hukum. Seorang pembela Islam Liberal menulis dalam sebuah koran tidak ada hukum Tuhan, yang ada hanya hukum manusia. Ketiganya bermaksud sama mengartikan syariah sebagai hasil interpretasi manusia Muslim terhadap kitab sucinya.
Apa yang dimaksud interpretasi ternyata beda dari Tafsir atau Tawil. Interpretasi mementingkan sejarah teks. Al-Quran dibedah sejarahnya, dikait-kaitkan dengan situasi politik, sosial, psikologis, ideologi dsb. Alhasil, al-Quran menjadi bukan wahyu suci, tapi produk budaya Arab. Tafsir pun tidak lagi berkaitan dengan teks, tapi dengan budaya disekitar teks. Maka, sebab khusus ayat itu diturunkan (khusus-u-sabab) lebih penting dari arti eksplisit (perintah) ayat itu (umum-ul-lafz). Karena teori ini para ulama mufassir pun dicurigai sebagai memiliki kepentingan, kalau tidak terjerat kondisi sosial budaya. Lalu timbul rumus Penafsiran ulama itu kondisional dan relatif, yang mutlak hanya Tuhan. Para Kyai di pesantren bingung. Cara berfikir seperti itu tidak ada dalam kitab kuning.
Ternyata itu semua adalah bagian dari sekenario intelektual untuk menumpas Muslim fundamentalis. Buktinya terdapat pada saran Cheryl Bernard Challenge their interpretation of Islam and expose inaccuracies (tantanglah interpretasi mereka [fundamentalis] tentang Islam dan beberkan ketidak-akuratannya). Saran ini ditaati cendekiawan Muslim liberal dengan penuh takzim. Respon para dosen Ilmu Tafsir malah lebih kreatif satu ayat seribu tafsir, kitab-kitab Tafsir klasik tidak relevan lagi, bahkan tidak kontekstual.
Untuk membuktikan seribu tafsir muncullah tafsir baru untuk menjual dagangan feminisme radikal, misalnya. Seorang professor pemikiran Islam menyatakan bahwa lesbianism itu halal. Sekumpulan dosen fakultas syariah menyatakan bahwa homoseksualisme itu tidak dilarang syariat Islam. Tafsir baru menghasilkan syariat (hukum) baru. Hukum baru nikah beda agama, hukum waris, wanita menjadi imam laki-laki, hak wanita menceraikan suami dan sebagainya muncul mengejutkan.
Tafsir-tafsir baru itu nampaknya adalah pengamalan dari dawuh Cheryl Bernard. Menafsirkan berarti to depart from, modify, and selectively ignore elements of the original religious doctrine. (menyimpang dari, memodifikasi, dan secara selektif mengesampingkan elemen-elemen dari doktrin keagamaan yang asli). Itulah liberalisasi syariah. Siapapun bebas menafsirkan hukum apa saja. Siapapun bebas mencipta syariah. Islam adalah liberal.
Bukan hanya itu, liberalisasi plus sekularisasi menolak praktek syariah. Ketika sejumlah daerah sepakat menyusun PERDA bagi pelanggar tindak a-moral seperti mencuri, minuman keras, berzina, berjudi dan berkelahi, semua orang sepakat dan gembira. Tapi ketika orang-orang liberal sekuler mencium bau syariah, sontak mereka protes. Meski tidak berbunyi perda syariah, perda itu dianggap inkonstitusional dan
menyulut disintegrasi bangsa.
Ketika pornografi merajalela di tanah air, semua sepakat itu merusak moral bangsa. Semua pun sepakat untuk diatur dalam Undang-Undang Pornografi (UUP). Namun, begitu terdengar bahwa pornografi itu haram hukumnya, RUUP itu menuai badai protes. Memberlakukan UUP dianggap sebagai Islamisasi, memberangus kebebasan seni dan kreatifitas dan membunuh budaya.
Karena menolak syariah konon perumus RUU Pornografi bingung mencari batasan (hudud). Apa batasan aurat dalam seni, kreatifitas dan budaya? Berapa sentimeter goyang yang diperbolehkan, berapa cm paha boleh dibuka? Ternyata syariah ditolak, nurani pun digasak. To do away with the one is to do away with another, kata Nietzsche.
Padahal ketika, Spice Girl, grup musik Inggeris tahun 90 an pentas di Perancis mereka dilempari telur busuk. Gara-gara berpakaian tak senonoh. Ternyata, orang sekulerpun masih punya nurani. Mengapa negeri Muslim ini tidak. Boleh jadi, goyang ngebor dangdut Indonesia di Perancis sana haram hukumnya.
Muslim negeri nampak begitu kompak-toleran pada kemaksiatan. Ketika yang liberal menegaskan tidak ada hukum Tuhan, yang sekuler akur tidak ada yang haram dinegeri ini. Para artis tambah yakin buka-bukaan boleh asal professional. Artinya anda boleh berbuat dosa asal dibayar tinggi. Anda boleh selingkuh (berzina) asal tidak menyakiti orang lain. Prinsipnya benar-benar mem-Barat. Itulah liberal yang menurut Cheryl are the most Westernized.
Sejatinya, syariah tidak lain dari hukum, undang-undang atau jalan. Undang-undang yang sesuai dengan nurani atau fitrah manusia. Jalan hidup yang membebaskan, mensucikan, menenangkan, membersihkan, manusia dari segala nestapa kehidupan dunia. Yang taat hukum akan melangkah menemukan fitrah diri. Yang melanggar akan rmenentangnya alias menzalimi diri sendiri (zalim li nafsihi), awal dari kezaliman yang lebih besar yaitu ingkar Tuhan. Tapi Muslim yang baik adalah yang menjadikan syariah sebagai jalan. Bukan kewajiban tap keperluan. Saya tidak hanya wajib puasa, misalnya, tapi perlu. Taat dan berserah diri pada aturan itulah ber-islam. Pesan Nabi Berserah dirilah anda akan selamat (aslim taslam), Selamat dari kejahatan diri, manusia dan kehidupan.
Ketika pornografi merajalela di tanah air, semua sepakat itu merusak moral bangsa. Semua pun sepakat untuk diatur dalam Undang-Undang Pornografi (UUP). Namun, begitu terdengar bahwa pornografi itu haram hukumnya, RUUP itu menuai badai protes. Memberlakukan UUP dianggap sebagai Islamisasi, memberangus kebebasan seni dan kreatifitas dan membunuh budaya.
Karena menolak syariah konon perumus RUU Pornografi bingung mencari batasan (hudud). Apa batasan aurat dalam seni, kreatifitas dan budaya? Berapa sentimeter goyang yang diperbolehkan, berapa cm paha boleh dibuka? Ternyata syariah ditolak, nurani pun digasak. To do away with the one is to do away with another, kata Nietzsche.
Padahal ketika, Spice Girl, grup musik Inggeris tahun 90 an pentas di Perancis mereka dilempari telur busuk. Gara-gara berpakaian tak senonoh. Ternyata, orang sekulerpun masih punya nurani. Mengapa negeri Muslim ini tidak. Boleh jadi, goyang ngebor dangdut Indonesia di Perancis sana haram hukumnya.
Muslim negeri nampak begitu kompak-toleran pada kemaksiatan. Ketika yang liberal menegaskan tidak ada hukum Tuhan, yang sekuler akur tidak ada yang haram dinegeri ini. Para artis tambah yakin buka-bukaan boleh asal professional. Artinya anda boleh berbuat dosa asal dibayar tinggi. Anda boleh selingkuh (berzina) asal tidak menyakiti orang lain. Prinsipnya benar-benar mem-Barat. Itulah liberal yang menurut Cheryl are the most Westernized.
Sejatinya, syariah tidak lain dari hukum, undang-undang atau jalan. Undang-undang yang sesuai dengan nurani atau fitrah manusia. Jalan hidup yang membebaskan, mensucikan, menenangkan, membersihkan, manusia dari segala nestapa kehidupan dunia. Yang taat hukum akan melangkah menemukan fitrah diri. Yang melanggar akan rmenentangnya alias menzalimi diri sendiri (zalim li nafsihi), awal dari kezaliman yang lebih besar yaitu ingkar Tuhan. Tapi Muslim yang baik adalah yang menjadikan syariah sebagai jalan. Bukan kewajiban tap keperluan. Saya tidak hanya wajib puasa, misalnya, tapi perlu. Taat dan berserah diri pada aturan itulah ber-islam. Pesan Nabi Berserah dirilah anda akan selamat (aslim taslam), Selamat dari kejahatan diri, manusia dan kehidupan.
Qalbu
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Akhir-akhir ini pendidikan disoroti sebagai terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.
Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia meliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan praktis.
Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: Pertama, Letak iman, ilmu dan amal tersebut dalam jiwa manusia. Kedua, Bagaimana menanamkan itu semua kedalam diri manusia.
Sistem apa yang cocok untuk pengembangan anak dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistem pendidikan yang terpadu, perlu dipikirkan terus menerus dan seksama.
Namun, sebelum berpikir tentang metode atau sistem perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwa manusia yang akan menjadi obyek pendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis buku berjudul Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr wa al-Qalb wa al-Fuad wa al-Lub. (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar), Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb (akal pikiran).
Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyata berbeda artinya dari istilah qalb, hati atau kalbu. Fuad yang diIndonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang beriman. Ulul Albab adalah orang yang berakal pikiran tauhidi.
Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang dibedah dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang komprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.
Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata didalam mata. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah, cita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu pun masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb.
Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah inti atau pusat dari hati (qalb).
Jika sadr ada didalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “Maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”.
Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahaya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan.
Sebagai raja, qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka didalam qalb itu pun terdapat ilmu.
Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandangan. Ketika seseorang berpikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada di tengah-tengah hati, sedangkan hati di tengah-tengah sadar.
Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya keimanan dan sadr tempat cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Akhir-akhir ini pendidikan disoroti sebagai terlalu intelektualistis. Terkadang juga dianggap terlalu job-oriented (berorientasi kerja). Sementara pendidikan agama dituduh sebagai terlampau spiritualistis sehingga nampak tidak rasional.
Sebenarnya pendidikan dalam Islam tidak demikian. Ia meliputi seluruh aspek dalam diri manusia. Tidak melulu spiritualistis dan tidak pula terlalu intelektualistis atau pragmatis dan praktis.
Pendidikan dalam Islam berkaitan dengan soal ilmu dan ilmu dalam Islam berdimensi iman dan amal. Oleh sebab itu pendidikan Islam mengharuskan pemahaman tentang dua hal: Pertama, Letak iman, ilmu dan amal tersebut dalam jiwa manusia. Kedua, Bagaimana menanamkan itu semua kedalam diri manusia.
Sistem apa yang cocok untuk pengembangan anak dalam berbagai aspek kejiwaannya dalam sebuah sistem pendidikan yang terpadu, perlu dipikirkan terus menerus dan seksama.
Namun, sebelum berpikir tentang metode atau sistem perlu dijelaskan terlebih dulu konsep jiwa manusia yang akan menjadi obyek pendidikan itu. Sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
Hakim Tirmidhi seorang ulama abad ke 9 menulis buku berjudul Bayan al-Farq, Bayn al-Sadr wa al-Qalb wa al-Fuad wa al-Lub. (Penjelasan Tentang Perbedaan antara Sadr (sadar), Qalb (kalbu/hati), Fuad (nurani) dan Lubb (akal pikiran).
Istilah-istilah sadr yang dalam bahasa Indonesia menjadi sadar-kesadaran ternyata berbeda artinya dari istilah qalb, hati atau kalbu. Fuad yang diIndonesiakan menjadi nurani berbeda lagi dari lubb yang arti sebenarnya adalah akal pikiran yang beriman. Ulul Albab adalah orang yang berakal pikiran tauhidi.
Namun itu semua merujuk kepada sesuatu yang bersifat batiniyah. Jika seseorang dibedah dadanya tentu sadr, qalb, fuad dan lub itu tidak akan ditemukan secara fisik. Maka dalam buku ini Hakim Tirmidhi menjelaskan bahwa hati atau qalb itu adalah nama yang komprehensif yang kesemuanya bersifat batiniyah alias tidak zahir alias tidak empiris.
Sadr ada di dalam qalb seperti kedudukan putihnya mata didalam mata. Sadr adalah pintu masuk segala sesuatu ke dalam diri manusia. Perasaan waswas, lalai, kebencian, kejahatan, kelapangan dan kesempitan masuk melalui sadr. Nafsu amarah, cita-cita, keinginan, nafsu birahi, itu pun masuk kedalam sadr dan bukan kedalam qalb.
Akan tetapi sadr itu juga tempat masuknya ilmu yang datang melalui pendengaran atau khabar. Maka dari itu pengajaran, hafalan, dan pendengaran itu berhubungan dengan sadr. Dinamakan sadr karena merujuk kepada kata sadara (muncul), atau sadr (pusat). Jadi kesadaran adalah inti atau pusat dari hati (qalb).
Jika sadr ada didalam qalb maka qalb itu ada dalam genggaman nafs atau jiwa. Namun, qalb itu adalah raja dan jiwa itu adalah kerajaannya. “Jika rajanya baik” seperti sabda Nabi, “Maka baiklah bala tentaranya dan jika rusak maka rusaklah bala tentaranya”.
Demikian pula baik-buruknya jasad itu tergantung pada hati (qalb). Hati (qalb) itu bagaikan lampu dan baiknya suatu lampu itu terlihat dari cahaya. Dan baiknya hati terlihat dari cahaya ketaqwaan dan keyakinan.
Sebagai raja, qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya Iman, cahaya kekhusyu’an, ketaqwaan, kecintaan, keridhaan, keyakinan, ketakutan, harapan, kesabaran, kepuasan. Karena iman dalam Islam berasaskan pada ilmu, maka qalb juga merupakan sumber ilmu. Karena sadr itu tempat masuknya ilmu, sedangkan qalb itu tempat keimanan, maka didalam qalb itu pun terdapat ilmu.
Jika qalb (hati) itu adalah mata maka fuad itu adalah hitamnya pupil mata. Fuad ini adalah tempat bersemayamnya ma’rifah, ide, pemikiran, konsep, pandangan. Ketika seseorang berpikir maka fuadnya lebih dulu yang bekerja baru kemudian hatinya. Fuad itu ada di tengah-tengah hati, sedangkan hati di tengah-tengah sadar.
Jika qalb adalah mata, sadr adalah putih mata, fuad adalah hitamnya pupil mata, maka lubb adalah cahaya mata. Jika qalb adalah tempat bersemayamnya cahaya keimanan dan sadr tempat cahaya keislaman, dan fuad adalah tempat cahaya ma’rifah maka lubb berkaitan dengan cahaya
ketauhidan.
Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berpikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman.
Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nurani (fuad) dan pikirannya (lubb) berjalan seimbang.
Gambaran diatas mungkin nampak terlalu spiritual atau dalam bahasa Kant transcendent. Tapi memang proses berpikir demikian adanya. Hanya saja yang ditekankan disini bukan bagaimana ilmu didapat akan tetapi bagaimana ia berproses menuju dari ilmu menjadi iman.
Apabila pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia seperti digambarkan Hakim Tirmidhi diatas maka yang akan lahir adalah manusia-manusia tinggi ilmu dan imannya sekaligus banyak amalnya. Yaitu manusia-manusia yang hati (qalb), kesadaran (sadr), nurani (fuad) dan pikirannya (lubb) berjalan seimbang.
KEBANGSAAN DAN KEADILAN
Oleh:
Dr. Syamsuddin Arif - Direktur Eksekutif INSISTS
Ribuan mahasiswa dan dosen Universitas Yale di Connecticut, Amerika Serikat, "demo" memprotes iklim kampus yang dirasa makin hari semakin rasis (the racially charged climate on campus), demikian laporan surat kabar New York Times baru-baru ini (16/11/2015). Mereka menuntut perlakuan yang lebih adil terhadap semua warga kampus yang bukan kulit putih. Perguruan tinggi itu diminta bersikap lebih terbuka kepada orang dari semua bangsa, baik itu keturunan Anglo-Saxon, Hispanik, AfroAmerika, Semit (Yahudi dan Arab), maupun Asia (keturunan Jepang, Vietnam, Tionghoa, India dan sebagainya).
Sementara koran Perancis Le Monde (10/11/2015) merekam perdebatan intelektual yang meratapi ketiadaan faktor pemersatu dan penyeimbang berbagai kecenderungan nasionalisme saat ini (de réunir tout le continent et de contrebalancer les inclinaisons nationalistes de l'époque). Ini karena arus imigran yang membanjiri Eropa, Amerika dan Australia memunculkan persoalan besar antara integrasi dan isolasi, antara pluralisme dan rasisme. Tampak semakin kabur batasan antara rasa kebangsaan dan perbedaan keturunan.
Sejak lama para ilmuwan menganggap ras sebagai fakta biologis. Konon, ras manusia terdiri dari tiga puak induk: kaukasoid, negroid, dan mongoloid. Masing-masing dikatakan berasal dari kawasan di mana mereka dulunya tinggal, yaitu pegunungan Kaukasus di selatan Russia, wilayah Nigeria di Afrika, dan daerah Mongolia di Asia. Tipologi ini senada dengan legenda Israiliyat yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa di dunia adalah keturunan dari tiga anak Nabi Nuh: Sam (nenek-moyang ras Timur Tengah), Ham (nenek-moyang ras Afrika) dan Yafits (nenek-moyang ras Eropa).
Namun, mengatakan bahwa ras adalah fakta biologis sebenarnya membawa konsekuensi politik yang saling bertentangan. Tipologi di atas secara tidak langsung menganggap bangsa-bangsa selain kulit putih, kulit hitam, dan kulit kuning sebagai bukan manusia. Sebab, kalau orang-orang berkulit kemerahan dan sawo matang juga dianggap manusia, maka tindakan menindas, memperbudak, dan menghabisi mereka (seperti yang dilakukan terhadap penduduk asli benua Amerika dan Australia) adalah sangat biadab dan tidak bisa dibenarkan sama sekali. Di sisi lain, kalau perbedaan ras memang karena faktor keturunan, maka orang dapat mengklaim bahwa rasnya lebih unggul dari ras lain. Akan tetapi jalan pikiran semacam ini jika diikuti akan mengulang tragedi kebiadaban yang pernah terjadi saat Reconquista di Spanyol, di era kolonial, pada zaman Nazi di Jerman, dan sepanjang konflik di Palestina, sehingga muncul istilah pembunuhan ras (genocide) dan pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Kendati dianggap tabu, masalah ke bangsaan dan keturunan mesti dibicarakan secara jujur dan jernih. Ini karena ia terkait dengan persoalan kekuasaan dan dominasi politik, struktur dan hirarki, serta sejarah panjang perjalanan manusia, terutama relasi dan interaksi antar kelompok satu sama lain. Alasan kebangsaan dan keturunan acapkali dijadikan pembenaran cara sistematis suatu kelompok untuk menguasai ranah kekuasaan, peluang karir tertentu dan membatasi atau bahkan memutus sama sekali akses kelompok lain. Jika sudah ada hirarki di antara mereka, maka ini akan menentukan kelompok mana yang lebih berkuasa dan unggul dibanding kelompok lain. Kelompok yang dominan lalu menganggap diri mereka berhak memperoleh 'jatah singa' dan menikmati berbagai keistimewaan di atas penderitaan kelompok lain dengan dukungan sejumlah lembaga dan seperangkat aturan hukum yang sengaja dicipta demi menyangga dan melanggengkan sistem rasis tersebut.
Rasa kebangsaan yang tak terkendali tidak hanya merasuki para penguasa dan politisi, akan tetapi juga para cendekiawan dan akademisi. Sebut saja, misalnya, Joseph Arthur de Gobineau yang mengatakan dalam bukunya (Essai sur l'inégalité des races humaines) bahwa semua peradaban berasal dari ras kulit putih yaitu bangsa Arya. Atau pendapat sejumlah sarjana orientalis yang melihat tasawwuf sebagi reaksi intelektual bangsa Arya terhadap domi
Oleh:
Dr. Syamsuddin Arif - Direktur Eksekutif INSISTS
Ribuan mahasiswa dan dosen Universitas Yale di Connecticut, Amerika Serikat, "demo" memprotes iklim kampus yang dirasa makin hari semakin rasis (the racially charged climate on campus), demikian laporan surat kabar New York Times baru-baru ini (16/11/2015). Mereka menuntut perlakuan yang lebih adil terhadap semua warga kampus yang bukan kulit putih. Perguruan tinggi itu diminta bersikap lebih terbuka kepada orang dari semua bangsa, baik itu keturunan Anglo-Saxon, Hispanik, AfroAmerika, Semit (Yahudi dan Arab), maupun Asia (keturunan Jepang, Vietnam, Tionghoa, India dan sebagainya).
Sementara koran Perancis Le Monde (10/11/2015) merekam perdebatan intelektual yang meratapi ketiadaan faktor pemersatu dan penyeimbang berbagai kecenderungan nasionalisme saat ini (de réunir tout le continent et de contrebalancer les inclinaisons nationalistes de l'époque). Ini karena arus imigran yang membanjiri Eropa, Amerika dan Australia memunculkan persoalan besar antara integrasi dan isolasi, antara pluralisme dan rasisme. Tampak semakin kabur batasan antara rasa kebangsaan dan perbedaan keturunan.
Sejak lama para ilmuwan menganggap ras sebagai fakta biologis. Konon, ras manusia terdiri dari tiga puak induk: kaukasoid, negroid, dan mongoloid. Masing-masing dikatakan berasal dari kawasan di mana mereka dulunya tinggal, yaitu pegunungan Kaukasus di selatan Russia, wilayah Nigeria di Afrika, dan daerah Mongolia di Asia. Tipologi ini senada dengan legenda Israiliyat yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa di dunia adalah keturunan dari tiga anak Nabi Nuh: Sam (nenek-moyang ras Timur Tengah), Ham (nenek-moyang ras Afrika) dan Yafits (nenek-moyang ras Eropa).
Namun, mengatakan bahwa ras adalah fakta biologis sebenarnya membawa konsekuensi politik yang saling bertentangan. Tipologi di atas secara tidak langsung menganggap bangsa-bangsa selain kulit putih, kulit hitam, dan kulit kuning sebagai bukan manusia. Sebab, kalau orang-orang berkulit kemerahan dan sawo matang juga dianggap manusia, maka tindakan menindas, memperbudak, dan menghabisi mereka (seperti yang dilakukan terhadap penduduk asli benua Amerika dan Australia) adalah sangat biadab dan tidak bisa dibenarkan sama sekali. Di sisi lain, kalau perbedaan ras memang karena faktor keturunan, maka orang dapat mengklaim bahwa rasnya lebih unggul dari ras lain. Akan tetapi jalan pikiran semacam ini jika diikuti akan mengulang tragedi kebiadaban yang pernah terjadi saat Reconquista di Spanyol, di era kolonial, pada zaman Nazi di Jerman, dan sepanjang konflik di Palestina, sehingga muncul istilah pembunuhan ras (genocide) dan pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Kendati dianggap tabu, masalah ke bangsaan dan keturunan mesti dibicarakan secara jujur dan jernih. Ini karena ia terkait dengan persoalan kekuasaan dan dominasi politik, struktur dan hirarki, serta sejarah panjang perjalanan manusia, terutama relasi dan interaksi antar kelompok satu sama lain. Alasan kebangsaan dan keturunan acapkali dijadikan pembenaran cara sistematis suatu kelompok untuk menguasai ranah kekuasaan, peluang karir tertentu dan membatasi atau bahkan memutus sama sekali akses kelompok lain. Jika sudah ada hirarki di antara mereka, maka ini akan menentukan kelompok mana yang lebih berkuasa dan unggul dibanding kelompok lain. Kelompok yang dominan lalu menganggap diri mereka berhak memperoleh 'jatah singa' dan menikmati berbagai keistimewaan di atas penderitaan kelompok lain dengan dukungan sejumlah lembaga dan seperangkat aturan hukum yang sengaja dicipta demi menyangga dan melanggengkan sistem rasis tersebut.
Rasa kebangsaan yang tak terkendali tidak hanya merasuki para penguasa dan politisi, akan tetapi juga para cendekiawan dan akademisi. Sebut saja, misalnya, Joseph Arthur de Gobineau yang mengatakan dalam bukunya (Essai sur l'inégalité des races humaines) bahwa semua peradaban berasal dari ras kulit putih yaitu bangsa Arya. Atau pendapat sejumlah sarjana orientalis yang melihat tasawwuf sebagi reaksi intelektual bangsa Arya terhadap domi
nasi Semit yang dalam hal ini diwakili oleh bangsa Arab dengan ajaran Islamnya. Tak terkecuali saintis Inggris Charles Darwin yang pernah menyatakan bahwa bangsa-bangsa beradab bisa dipastikan bakal melenyapkan dan menggantikan bangsa-bangsa biadab di seluruh dunia: : "… the civilized races of man will almost certainly extermi nate and replace the savage races throughout the world" (Lihat: The Descent of Man, Appleton New York 1888, hlm. 159-60).
Dan jika ditelusuri lebih jauh, ternyata sikap dan perilaku rasisme telah mendapatkan justifikasi sejak zaman Yunani kuno. Menurut Aristoteles, penduduk daerah dingin (Eropa) pada umumnya kurang trampil dan kurang cerdas, sementara orang-orang Asia kurang mampu berpikir dan bersaing sehingga mereka terus menerus dijajah dan diperbudak. Adalah 'kehen dak alam', katanya, bahwa manusia tercipta berbeda-beda bentuk dan warna kulitnya. Maka wajar saja bila sebagian manusia terlahir sebagai orang merdeka, sementara sebagian yang lain terlahir untuk menjadi budak. Pembagian ini sudah adil, ujarnya (Lihat: Aristotle, Politics, terj. Ernest Barker, Oxford University Press, 1961, buku I/1, hlm. 3; VII/7, hlm. 296; dan I/5, hlm. 13-14).
Kita juga bisa membaca Herodotus yang menulis bahwa orang-orang Ethiopia (kulit hitam) suka makan ular, kadal dan binatang melata lainnya, tidak dapat berbicara layaknya manusia dan hanya mampu mengeluarkan suara mengarut seperti bunyi kelelawar (Lihat The Greek Historians, terj. George Rawlinson, Random House New York 1942, bab IV, hlm. 188-291). Gabung an tiga hal, yaitu ciri-ciri fisik, mentalitas, dan merasa paling hebat (superiority complex), sering yang dijadikan acuan oleh sebagian ilmuan untuk membangun teori keunggulan ras dan menjustifikasi berbagai penindasan dan peperangan.
Pengamat sosial Joe R. Feagin (dalam jurnal American Sociological Review 1991, vol. 56, hlm. 101-16) melaporkan ternyata orang-orang kulit hitam di Amerika hingga saat ini masih sering mengalami pelecehan meski mereka sudah tergolong kelas menengah. Pelecehan itu bisa berupa perlakuan diskriminasif di tempat kerja, sikap maupun pelayanan beda di tempat perbelanjaan, hingga ucapan atau kata-kata yang menyiratkan penghinaan.
Perspektif Islam
Berbeda dengan kitab Perjanjian Lama (Kejadian 9:18-25) yang secara tidak langsung mengesahkan rasisme, kitab suci al- Qur'an berusaha mengikis habis segala bentuk kezaliman berbasis ras. Bahwa manusia diciptakan berbeda-beda rupa dan warna kulitnya, masing-masing mempunyai bahasa dan budaya sendiri, semua itu adalah petanda dari Sang Pencipta untuk direnungkan oleh mereka yang berilmu (ar- Rum 22).
Kebhinnekaan ras, etnis, dan suku semestinya mendorong manusia agar saling mengenal, saling menghargai, saling melindungi (al-Hujurat 13), bekerjasama, tolong menolong dan bahu-membahu dalam meraih kebahagiaan dan mengatasi masalah bersama (al-Ma'idah 2). Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh ras atau silsilah nenek-moyangnya, tetapi oleh volume ketaqwaannya (QS al-Hujurat 13). Tidak dibolehkan mengejek, melecehkan atau menjatuhkan satu sama lain. Juga dihimbau agar jangan saling mencurigai dan mencari-cari kesalahan atau kelemahan orang lain (QS al-Hujurat 11-12). Ayat terakhir ini meletakkan dasar anti pencemaran nama baik (defamation law).
Ditekankan bahwa kita mesti berlaku adil dan baik kepada manusia, apapun ras nya, dan tidak boleh berbuat zalim, munkar, keji serta melampaui batas (an-Nahl 90). Jangan sampai kebencian, prejudice atau fanatisme kelompok mempengaruhi kita sehingga bertindak zalim (al-Ma'idah 8).
Haram hukumnya membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan (bi-ghayri haqq). Tidak dibenarkan membunuh orang yang lemah (wanita, anak-anak, golongan lanjut usia), orang tak bersalah apa-apa, dan orang yang sudah menyerah. Membunuh seorang manusia yang bukan pembunuh (bi-ghayri nafs) dan bukan pula perusak adalah sama dengan membunuh seluruh manusia (al-Ma'iidah 32). Jangankan melakukan pembunuhan, sedang bersikap angkuh atau menganggap diri super dengan jelas dikecam (al-Isra' 38).
Satu-satunya alasan untuk merasa ba
Dan jika ditelusuri lebih jauh, ternyata sikap dan perilaku rasisme telah mendapatkan justifikasi sejak zaman Yunani kuno. Menurut Aristoteles, penduduk daerah dingin (Eropa) pada umumnya kurang trampil dan kurang cerdas, sementara orang-orang Asia kurang mampu berpikir dan bersaing sehingga mereka terus menerus dijajah dan diperbudak. Adalah 'kehen dak alam', katanya, bahwa manusia tercipta berbeda-beda bentuk dan warna kulitnya. Maka wajar saja bila sebagian manusia terlahir sebagai orang merdeka, sementara sebagian yang lain terlahir untuk menjadi budak. Pembagian ini sudah adil, ujarnya (Lihat: Aristotle, Politics, terj. Ernest Barker, Oxford University Press, 1961, buku I/1, hlm. 3; VII/7, hlm. 296; dan I/5, hlm. 13-14).
Kita juga bisa membaca Herodotus yang menulis bahwa orang-orang Ethiopia (kulit hitam) suka makan ular, kadal dan binatang melata lainnya, tidak dapat berbicara layaknya manusia dan hanya mampu mengeluarkan suara mengarut seperti bunyi kelelawar (Lihat The Greek Historians, terj. George Rawlinson, Random House New York 1942, bab IV, hlm. 188-291). Gabung an tiga hal, yaitu ciri-ciri fisik, mentalitas, dan merasa paling hebat (superiority complex), sering yang dijadikan acuan oleh sebagian ilmuan untuk membangun teori keunggulan ras dan menjustifikasi berbagai penindasan dan peperangan.
Pengamat sosial Joe R. Feagin (dalam jurnal American Sociological Review 1991, vol. 56, hlm. 101-16) melaporkan ternyata orang-orang kulit hitam di Amerika hingga saat ini masih sering mengalami pelecehan meski mereka sudah tergolong kelas menengah. Pelecehan itu bisa berupa perlakuan diskriminasif di tempat kerja, sikap maupun pelayanan beda di tempat perbelanjaan, hingga ucapan atau kata-kata yang menyiratkan penghinaan.
Perspektif Islam
Berbeda dengan kitab Perjanjian Lama (Kejadian 9:18-25) yang secara tidak langsung mengesahkan rasisme, kitab suci al- Qur'an berusaha mengikis habis segala bentuk kezaliman berbasis ras. Bahwa manusia diciptakan berbeda-beda rupa dan warna kulitnya, masing-masing mempunyai bahasa dan budaya sendiri, semua itu adalah petanda dari Sang Pencipta untuk direnungkan oleh mereka yang berilmu (ar- Rum 22).
Kebhinnekaan ras, etnis, dan suku semestinya mendorong manusia agar saling mengenal, saling menghargai, saling melindungi (al-Hujurat 13), bekerjasama, tolong menolong dan bahu-membahu dalam meraih kebahagiaan dan mengatasi masalah bersama (al-Ma'idah 2). Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh ras atau silsilah nenek-moyangnya, tetapi oleh volume ketaqwaannya (QS al-Hujurat 13). Tidak dibolehkan mengejek, melecehkan atau menjatuhkan satu sama lain. Juga dihimbau agar jangan saling mencurigai dan mencari-cari kesalahan atau kelemahan orang lain (QS al-Hujurat 11-12). Ayat terakhir ini meletakkan dasar anti pencemaran nama baik (defamation law).
Ditekankan bahwa kita mesti berlaku adil dan baik kepada manusia, apapun ras nya, dan tidak boleh berbuat zalim, munkar, keji serta melampaui batas (an-Nahl 90). Jangan sampai kebencian, prejudice atau fanatisme kelompok mempengaruhi kita sehingga bertindak zalim (al-Ma'idah 8).
Haram hukumnya membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan (bi-ghayri haqq). Tidak dibenarkan membunuh orang yang lemah (wanita, anak-anak, golongan lanjut usia), orang tak bersalah apa-apa, dan orang yang sudah menyerah. Membunuh seorang manusia yang bukan pembunuh (bi-ghayri nafs) dan bukan pula perusak adalah sama dengan membunuh seluruh manusia (al-Ma'iidah 32). Jangankan melakukan pembunuhan, sedang bersikap angkuh atau menganggap diri super dengan jelas dikecam (al-Isra' 38).
Satu-satunya alasan untuk merasa ba
ngga yang dibenarkan ialah bila kita sungguh-sungguh beriman (Al 'Imran 139), tanpa memandang ras, keturunan, warna kulit atau bentuk rupa. "Berbuat baiklah pada kedua orangtua, keluarga dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun tetangga jauh, teman sejawat, musafir, dan hamba sahayamu, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri" (an-Nisa' 36). Dan simaklah sabda Kanjeng Nabi saw: "Mereka [budak-budak itu] adalah saudarasaudaramu (hum ikhwanukum) dan milik yang dititipkan Allah kepadamu. Maka siapa yang saudaranya dititipkan padanya, hendaklah ia memberinya makanan yang ia makan, pakaian yang ia pakai, dan janganlah membebani mereka dengan pekerjaan berat yang tak sanggup mereka lakukan. Kalaupun terpaksa menyuruh, maka bantulah mereka mengerjakannya" (hadis riwayat Imam Muslim). Semoga rasa kebangsaan kita dipimpin oleh rasa keadilan.
----------
Dimuat di Republika Online 19 Nopember 2015
----------
Dimuat di Republika Online 19 Nopember 2015
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
Penulis: HAMKA
Harga: 65.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Penulis: HAMKA
Harga: 65.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Demi pluralisme Barat tidak perlu pergi ke masjid dan ikut sholat atau ikut dikhitan. Sebaliknya, demi pluralism (toleran) Muslim tidak perlu makan daging babi, minum arak, melegalkan praktek lesbi dan homoseks; Demi pluralisme orang Nasrani tidak perlu ikut tahlilan, nyumbang dana untuk kurban atau zakat, dan orang Islam tidak perlu rame-rame ikut natalan atau minta dibaptis. Demi pluralisme orang Hindu tidak perlu menghancurkan patung mereka.
[Dr Hamid Fahmy Zarkasyi]
[Dr Hamid Fahmy Zarkasyi]
SATU TUHAN, SATU AGAMA!
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku. Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini.
Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih. Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta. Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN Jakarta.
Tentu, usaha penulis buku ini dalam mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh sufi tersebut perlu diberikan apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka kajian-kajian semacam ini yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi, sebagai karya terbuka, tentu buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini catatan kritis untuk buku ini:
Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions) sebagai dasar analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari konsep ini. Tidak ada catatan kritis apa pun terhadap konsep KTAA tersebut. Penulis buku ini sudah meyakini kebenaran konsep tersebut dan kemudian berusaha mencari legitimasi pada karya-karya klasik dan kontemporer dari para ulama dan sarjana Muslim klasik dan kontemporer.
Padahal, jika ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks dan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal. 21).
Itulah salah satu keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak “klaim kebenaran” dari masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan, bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru anti-pluralisme!
Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di dalam buku ini, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hal. 379).
Logikanya, jika ia mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham, seharusnya dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai berbagai kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme. Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hal. 379-380).
Kita balik bertanya, jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang benar, dan menyerang paham yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan sempit? Seorang “pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum pluralis ini memang mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar sendiri dengan pendapatnya, tetapi
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku. Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini.
Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih. Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta. Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN Jakarta.
Tentu, usaha penulis buku ini dalam mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh sufi tersebut perlu diberikan apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka kajian-kajian semacam ini yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi, sebagai karya terbuka, tentu buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini catatan kritis untuk buku ini:
Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions) sebagai dasar analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari konsep ini. Tidak ada catatan kritis apa pun terhadap konsep KTAA tersebut. Penulis buku ini sudah meyakini kebenaran konsep tersebut dan kemudian berusaha mencari legitimasi pada karya-karya klasik dan kontemporer dari para ulama dan sarjana Muslim klasik dan kontemporer.
Padahal, jika ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks dan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal. 21).
Itulah salah satu keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak “klaim kebenaran” dari masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan, bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru anti-pluralisme!
Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di dalam buku ini, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hal. 379).
Logikanya, jika ia mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham, seharusnya dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai berbagai kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme. Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hal. 379-380).
Kita balik bertanya, jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang benar, dan menyerang paham yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan sempit? Seorang “pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum pluralis ini memang mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar sendiri dengan pendapatnya, tetapi
menyalahkan umat beragama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri!
Kedua, dalam buku ini tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa batasannya? Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hal. 380).
Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa jumlah agama di dunia ini adalah ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama Bhairawatantra yang hidup di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).
Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam? Di era modern ini, masih banyak dijumpai agama yang mengajarkan agar pemimpin dan jemaatnya semuanya bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada juga agama pemuja setan. Maka, bisa juga ditanyakan, saat menulis bukunya ini, si dosen Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang memeluk dan meyakini agama apa? Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika dipungut oleh para pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah satu bentuk ritual suci kepada Tuhan!
Ketiga, sebagaimana kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku ini juga mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya sendiri, yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, ia menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan Bahaisme adalah dua agama yang secara eksplisit mengapresiasi pluralisme agama, dalam arti mengakui jalan-jalan keselamatan pada agama-agama lain, Bhagawatgita, salah satu kitab suci Hindu, memuat dua sloka popular yang selalu menjadi rujukan bagi pluralisme. Sloka itu berbunyi:
“Jalan mana pun ditempuh manusia
ke arah-Ku, semuanya Kuterima.
Wahai Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku
pada semua jalan.” (hal. 381).
Benarkah agama Hindu kondisinya seperti itu? Ternyata, ungkapan itu hanya khayalan penulis saja! Tahun 2006, terbit sebuah buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian kaum Pluralis yang suka mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”
Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” (Lihat, Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx.)
Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit” dengan menyimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya H
Kedua, dalam buku ini tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa batasannya? Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hal. 380).
Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa jumlah agama di dunia ini adalah ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama Bhairawatantra yang hidup di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).
Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam? Di era modern ini, masih banyak dijumpai agama yang mengajarkan agar pemimpin dan jemaatnya semuanya bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada juga agama pemuja setan. Maka, bisa juga ditanyakan, saat menulis bukunya ini, si dosen Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang memeluk dan meyakini agama apa? Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika dipungut oleh para pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah satu bentuk ritual suci kepada Tuhan!
Ketiga, sebagaimana kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku ini juga mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya sendiri, yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, ia menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan Bahaisme adalah dua agama yang secara eksplisit mengapresiasi pluralisme agama, dalam arti mengakui jalan-jalan keselamatan pada agama-agama lain, Bhagawatgita, salah satu kitab suci Hindu, memuat dua sloka popular yang selalu menjadi rujukan bagi pluralisme. Sloka itu berbunyi:
“Jalan mana pun ditempuh manusia
ke arah-Ku, semuanya Kuterima.
Wahai Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku
pada semua jalan.” (hal. 381).
Benarkah agama Hindu kondisinya seperti itu? Ternyata, ungkapan itu hanya khayalan penulis saja! Tahun 2006, terbit sebuah buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian kaum Pluralis yang suka mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”
Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” (Lihat, Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx.)
Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit” dengan menyimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya H
indu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.”
Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri!
Sebagaimana sejumlah penganut paham pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini pun mencoba mencari legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Sabean untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw., karena masing-masing umat memiliki wahyu dan nabi yang khusus, unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).
Jika si penulis buku tersebut mau meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis semacam itu. Dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena al-Quran merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. (Lebih jauh tentang keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99).
Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sama sekali tidak berpendapat seperti yang ditulis oleh penulis buku ini. Secara ilmiah, cara-cara seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh seorang dosen Ushuluddin.
Keempat, penulis buku menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi dari para sarjana ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha. (hal. 2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut dengan mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron di Majalah Islamia, Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi Tentang Pluralisme Agama.” Padahal, Dr Mohd. Sani bin Badron telah menulis Tesis yang serius berjudul “Ibn al-Arabi’s Conception of Religion.” Tesis Sani bin Badron ini tidak ditemukan dalam daftar referensi buku ini.
Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin Badron mengkritik cara berpikir kaum Transendentalis yang memaksakan posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir mereka: “Then only may we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi – how far the Trancendentalists have been right or have been deviated by their own belief.”
Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan kajian serius tentang konsep agama-agama Ibn Arabi yang mengkritik cara-cara kaum Transendentalis dalam membaca karya Ibn Arabi. Berikut ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif berjudul “Pluralisme” dan Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan
Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri!
Sebagaimana sejumlah penganut paham pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini pun mencoba mencari legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Sabean untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw., karena masing-masing umat memiliki wahyu dan nabi yang khusus, unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).
Jika si penulis buku tersebut mau meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis semacam itu. Dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena al-Quran merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. (Lebih jauh tentang keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99).
Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sama sekali tidak berpendapat seperti yang ditulis oleh penulis buku ini. Secara ilmiah, cara-cara seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh seorang dosen Ushuluddin.
Keempat, penulis buku menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi dari para sarjana ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha. (hal. 2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut dengan mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron di Majalah Islamia, Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi Tentang Pluralisme Agama.” Padahal, Dr Mohd. Sani bin Badron telah menulis Tesis yang serius berjudul “Ibn al-Arabi’s Conception of Religion.” Tesis Sani bin Badron ini tidak ditemukan dalam daftar referensi buku ini.
Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin Badron mengkritik cara berpikir kaum Transendentalis yang memaksakan posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir mereka: “Then only may we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi – how far the Trancendentalists have been right or have been deviated by their own belief.”
Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan kajian serius tentang konsep agama-agama Ibn Arabi yang mengkritik cara-cara kaum Transendentalis dalam membaca karya Ibn Arabi. Berikut ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif berjudul “Pluralisme” dan Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan
sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb). Pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini tampak mendapat banyak pengikut di Indonesia.
Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).
Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah saw. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang konsep agama Ibn Arabi yang berbeda dengan cara pandang penulis buku ini, yang sudah beriman secara bulat-bulat kepada teori Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa membandingkan hasil kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian penulis disertasi ini.
Kelima, kesalahan fatal penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan mengimani tanpa kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal, banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat Maryamiyya yang dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World ; Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University Press, 2004).
Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and that its esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi melukis. Ia juga tak segan-segan membuat luk
Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).
Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah saw. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36).
Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Futuhat, bab 495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang konsep agama Ibn Arabi yang berbeda dengan cara pandang penulis buku ini, yang sudah beriman secara bulat-bulat kepada teori Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa membandingkan hasil kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian penulis disertasi ini.
Kelima, kesalahan fatal penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan mengimani tanpa kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal, banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat Maryamiyya yang dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World ; Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University Press, 2004).
Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and that its esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi melukis. Ia juga tak segan-segan membuat luk
isan telanjang, sebagai simbol esoterisme. (Ibid, hal. 148). Setelah mengaku “bertemu” dengan Bunda Maria (Virgin Mary), Schuon juga membuat lukisan yang terkadang menggambarkan Bunda Maria dalam keadaan telanjang bulat atau telanjang sebagian yang mempertontonkan payudaranya. Katanya, itu sebagai simbol untuk mengungkapkan kebenaran dan membebaskan kasih sayang. (to the unveiling of truth in the sense of gnosis and to liberating mercy.” (Ibid, hal 151). Tahun 1965, Schuon menikah lagi. Uniknya, kali ini ia menikahi salah satu muridnya sendiri, tanpa perlu bercerai dengan suaminya terdahulu. Perkawinan ini dijuluki sebagai “perkawinan vertikal” atau “perkawinan spiritual”. (Ibid, hal. 152-153).
Penutup.
Sebenarnya, teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun.
Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat, tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis. Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama!
Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir.
Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan.
Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham KTAA, bahwa aspek esoterik (batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim -- yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?
Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak agama itu sendiri.
Jika kita renungkan, yang logis bukan konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”, tetapi yang benar adalah “Satu Tuhan, Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayat-ayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya, yaitu agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu (revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion). Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan Iblis.
Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak perlu beriman kepada kenabian Muhammad saw. Karena itulah, saya membaca syahadat: Say
Penutup.
Sebenarnya, teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun.
Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat, tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis. Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama!
Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir.
Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan.
Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham KTAA, bahwa aspek esoterik (batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim -- yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?
Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak agama itu sendiri.
Jika kita renungkan, yang logis bukan konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”, tetapi yang benar adalah “Satu Tuhan, Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayat-ayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya, yaitu agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu (revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion). Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan Iblis.
Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak perlu beriman kepada kenabian Muhammad saw. Karena itulah, saya membaca syahadat: Say
a bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, Tuhan saya jelas,yaitu Allah! Bukan asal Tuhan, atau Tuhan asal--asalan. Itu karena posisi saya sudah jelas, yaitu saya Muslim, saya sudah memilih Islam. Saya bukan Kristen, saya bukan Yahudi, saya bukan Hindu, atau penganut paham kebenaran semua agama. Itu keyakinan saya, dan saya sangat menghormati keyakinan yang berbeda dengan saya, meskipun saya tidak membenarkannya. Saya tidak boleh memaksa orang lain mengikuti pendapat saya. Itulah makna toleransi dan mutual understanding.
Jadi, sejatinya, teori Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah teori yang absurd (senseless). KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi “uculuddin” (bahasa Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah dosen di Fakultas Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”! Wallahu a’lam. (Depok, 20 Oktober 2011).
Jadi, sejatinya, teori Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah teori yang absurd (senseless). KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi “uculuddin” (bahasa Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah dosen di Fakultas Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”! Wallahu a’lam. (Depok, 20 Oktober 2011).
SEJARAH TEKS AL QU'RAN
Penulis: Prof. Dr. M.M. al-Azami
Sinopsis:
Buku ini menyajikan ide pemikiran secara lugas tentang kitab suci Al-Qur’an serta sistem preservasinya dan sekaligus membedah trick negatif dan sasaran tembak pihak orientalis. Asal-usul penerimaan wahyu, peranan Nabi Muhammad saw. dalam sosialisasi ajarannya, koleksi ayat-ayat serta setting naskah akhir seluruhnya dikupas secara jeli oleh penulisnya. Topik bahasan melingkupi, antara lain, asal-usul naskah bahasa Arab, sebutan Mushaf Ibn Mas’ud, metodologi ketat yang dikemas dalam pengolahan data, dan semua jenis fragmentasi naskah.Melalui sistem komparasi, penulis mendemonstrasikan intelektualnya dalam menguak sejarah Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berdasarkan pada sumber orisinal dalam membuktikan berbagai alternasi yang terjadi pada kitab Injil.
------------------
Sejarah Teks Al-Qur'an
Penulis: Prof. Dr. M.M. al-Azami
Harga: Rp 130.000,-
Pemesanan sms/whatsapp 087878147997.
-admin-
Penulis: Prof. Dr. M.M. al-Azami
Sinopsis:
Buku ini menyajikan ide pemikiran secara lugas tentang kitab suci Al-Qur’an serta sistem preservasinya dan sekaligus membedah trick negatif dan sasaran tembak pihak orientalis. Asal-usul penerimaan wahyu, peranan Nabi Muhammad saw. dalam sosialisasi ajarannya, koleksi ayat-ayat serta setting naskah akhir seluruhnya dikupas secara jeli oleh penulisnya. Topik bahasan melingkupi, antara lain, asal-usul naskah bahasa Arab, sebutan Mushaf Ibn Mas’ud, metodologi ketat yang dikemas dalam pengolahan data, dan semua jenis fragmentasi naskah.Melalui sistem komparasi, penulis mendemonstrasikan intelektualnya dalam menguak sejarah Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berdasarkan pada sumber orisinal dalam membuktikan berbagai alternasi yang terjadi pada kitab Injil.
------------------
Sejarah Teks Al-Qur'an
Penulis: Prof. Dr. M.M. al-Azami
Harga: Rp 130.000,-
Pemesanan sms/whatsapp 087878147997.
-admin-