MUSTANIR ONLINE
3.18K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
BERPIKIR DENGAN HATI
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Suatu ketika al-Ghazzali melakukan perjalanan panjang. Dalam perjalanannya itu ia membawa serta seluruh buku bacaannya. Konon di tengah jalan tiba-tiba datang segerombolan orang merampok seluruh bawaan al-Ghazzali, termasuk buku-bukunya. Padahal ia belum membaca seluruh isi buku itu. Yang telah ia baca pun belum seluruhnya dihafal.

Kejadian itu benar-benar telah menyadarkan al-Ghazzali, bahwa ilmu itu ada di dalam dada dan bukan dalam tulisan (al-‘ilm fi-s-sudur la fi-s-sutur). Sejak kejadian itu al-Ghazzali bertekad untuk selalu mengingat apa yang telah ia baca. Yang menarik tentu bukan peristiwa perampokannya, tapi kesimpulan al-Ghazzali tentang letak ilmu. Benarkah mengetahui dan pengetahuan itu ada di dalam dada? Apa bedanya ilmu darima’rifah.

Bicara ilmu adalah bicara obyeknya (realitas atau wujud) dan luas obyek ilmu adalah seluas realitas atau wujud. Maka dari itu realitas bagi Ghazzali dan juga para ulama adalah empiris dan non-empiris.

Realitas empiris pun dibagi sekurangnya menjadi tiga: realitas individual, realitas pembicaraan, dan realitas pikiran. Yangpertama adalah wujud yang riil dan empiris, yang kedua adalah wujud dalam pembicaraan yang bersifat verbal dan indikatif, dan yang ketiga adalah wujuddalam pikiran yang bersifat kognitif dan formal. Diatas dari segala realitas tersebut diatas adalah Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak.

Lalu bagaimana proses mengetahuinya? Bagi al-Ghazzali untuk realitas empiris dimulai dari kajian terhadap hal-hal yang khusus yang dapat dipahami dan dikomunikasikan dengan bahasa.

Ketika wujud individual dipahami oleh akal kita, bentuk (surah) dari realitas individual tersebut tercetak dalam mata, lalu pada imaginasi kita dan kemudian menjadi wujud dalam pikiran kita.

Ketika bentuk realitas atau wujud individual itu hadir dalam pikiran, ia menjadi ilmu, sebab obyek yang diketahui berhubungan dengan representasi dalam pikiran tersebut, persis seperti bayangan kita yang tercermin dalam kaca.

Jadi proses mengetahui mengharuskan adanya tiga hal yaitu: obyek ilmu pengetahuan, penerima dan proses kognisinya yang melibatkan penginderaan. Ketika realitas atau wujud empiris ada dalam pikiran ia tetap bernama realitas.

Demikian pula keimanan yang tidak empiris di dalam dada itu dapat disebut realitas juga. Jika realitas empiris – melalui proses – dapat tercermin dalam pikiran, maka Realitas Mutlak atau Wujud Mutlak, yaitu Tuhan dapat pula tercermin dalam diri manusia.

Dengan jalan empiris saja manusia telah dapat mengetahui dirinya sendiri, alam semesta dan Tuhannya. Wujud Tuhan dapat diketahui secara induktif dari ciptaanNya. Ilmu-ilmu empiris itu tentang ciptaan Tuhan itu merupakan aspek-aspek yang saling berhubungan dan membentuk kesatuan.

Pada maqam yang tertinggi orang akan sampai pada pandangan bahwa realitas dan kebenaran itu hanya satu dan tidak plural. Artinya dalam akalnya hanya ada satu realitas atau wujud, yaitu Wujud Mutlak, Aktor (fa’il) dari segala wujud yang plural yang nisbi.

Jikapun tidak dengan jalan empiris Tuhan dapat diketahui dengan mata hati. Sebab dalam diri manusia telah terdapat naluri (fitrah) mengenal tuhan (ma’rifatullah). Naluri itu diciptakan oleh Tuhan sebelum manusia lahir melalui syahadah awal (mithaq).

Syahadah inilah bekal manusia memperoleh ma’rifah. Nietzsche menuduh fitrah ini hanya pikiran dan khayalan. Dan khayalan itu, menurutnya, harus dibunuh agar orang dapat berpikir saintifik. God is dead artinya fitrah itu telah mati. Memang pengetahuan tentang ini bagi al-Ghazzali tidak dimiliki orang awam, termasuk Nietzsche.

Pengetahuan tentang Tuhan dengan jalan non-empiris dicapai dengan mata hati yang penuh cinta. Dalam Ihya ia menyatakan: “…metode terbaik untuk memperoleh kebenaran dan sekaligus kecintaan pada Allah adalah dengan metode deduktif dari ma’rifah tentang Allah kepada pengetahuan tentang realitas. Tapi ini adalah metode yang rumit dan tidak dipahami orang awam” (Ihya’, hal. 2619, vol. IV).

Jadi ternyata tempat ‘ilm dan ma’rifah adalah sama, yaitu di dalam hati (qalb), di dad
a. Berarti tempat aktifitas zikir, fikir, ‘ilm, iman, amal, cinta dan akhlaq adalah sama yaitu qalb.

Jika semua aktifitas itu seimbang maka sampailah seseorang itu pada derajat yaqin. Bangunan trilogi iman, ilmu, amal adalah paradigma keilmuan Islam yang kuat. Karena itu ilmu dalam Islam berdimensi amal dan amal berdimensi ilmu, keduanya bersumber pada iman.

Maka al-Ghazzali tegas “Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong”. Jadi, Muslim yang mengatakan “Hatinya di Mekkah otaknya di Jerman atau di New York”, berarti imannya tanpa ilmu, ilmunya tanpa iman. Hatinya berzikir tapi pikirannya (boleh jadi) sekuler-liberal.
DUALISME
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Dalam sebuah acara talk-show di sebuah stasiun TV Inggris tahun 90an ditampilkan isu pelacuran. Panelisnya pendidik, pastur, tokoh masyarakat dan beberapa pelacur. Hampir semua menyoroti profesi pelacur dengan nada sinis. Pelacur adalah sampah masyarakat. Pelacur mesti dijauhkan dari anak-anak. Merusak adat kesopanan sosial, dan seterusnya.

Tapi yang menarik giliran pelacur angkat bicara. “Saya memang pelacur. Dan saya melakukan ini karena saya janda. Saya menjalani profesi ini untuk menghidupi tiga orang anak saya. Kalian boleh saja mencemooh. Tapi siapa yang peduli jika anak-anak saya kelaparan, siapa! siapa!” ia berteriak lantang. “Supaya kalian semua tahu, lanjutnya, saya memang pelacur tapi hati saya tetap suci”. Hadirin pun bersorak.

Nampaknya orang bersorak bukan karena ia pelacur, tapi karena ia dualis. Menjadi pelacur dan merasa suci. Dua sifat yang kontradiktif. Yang saya heran justru mengapa mereka bersorak. Sebab doktrin dualisme sudah lama berakar di dalam pemikiran Barat. Asal usul terdekatnya adalah filsafat akal (philosophy of mind) yang digemari Descartes, Kant, Leibniz, Christian Wolf dan lain-lain.

Menurut Christian Wolff misalnya “The dualists (dualistae) are those who admit the existence of both material and immaterial substances” tapi wujud materi dan jiwa terpisah. Pengertian ini disepakati Pierre Bayle dan Leibniz.

Bahkan konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur. Dunia dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Thomas Hyde menemukan doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum Persiarum, 1700). Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan dualisme Yunani. Tuhan akhirnya dianggap sebagai person dan juga materi.

Bagi orang Mesir kuno Rē adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran. Lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan. Deva dalam agama Hindu adalah tuhan baik, musuhnya adalah asura tuhan jahat.

Di Babylonia peperangan antara Marduk dan Tiamat adalah mitos yang mewarnai worldview mereka. Mitologi Yunani selalu menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di Jerman perang antara Ases dan Vanes, meski berakhir damai.

Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas tak terbatas, berhenti-gerak, baik-buruk dan sebagainya. Empedocles setuju dengan Pythagoras, baginya dunia ini dikuasai oleh dua hal, cinta dan kebencian. Plato dalam dialog-dialognya memisahkan jiwa dari raga, inteligible dari sensible.

Tapi apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekedar persepsi yang menyimpang? Sebab nilai-nilai monistis (kesatuan) dalam realitas juga ada dan riil. Heraclitus dan Parmenides mengkritik dualisme Pythagoras.

Banyak itu pun berasal dari yang satu yang abadi. Yang dianggap saling berlawanan itu sebenarnya membentuk kesatuan dan tidak bisa dipisahkan. Aristotle ikut-ikutan. Dualisme Plato juga tidak benar. Jika jiwa diartikan bentuk (form) dari raga alami yang berpotensi hidup maka jiwa adalah pasangan raga. Jadi jiwa dan raga adalah suatu kesatuan. Tapi Aristotle ternyata masih dualis juga. Ia memisahkan akal dari jiwa.

Dalam kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud. Marduk ternyata turunan dari Tiamat. Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Leviathan ternyata diciptakan Tuhan. Pemberontak Mahabharata adalah dari keluarga yang sama.

Dalam agama Zoroaster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau Ohrmazd sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra Mainyu atau Ahriman. Tapi dalam kitab Gathas, kebaikan dan kejahatan adalah saudara kembar dan memilih salah satu karena kehendak.

Para pemikir Kristen mulanya memilih ikut Plato, tapi mulai abad ke 13 mereka pindah ikut Aristotle dengan beberapa modifikasi. Di zaman Renaissance dualisme Plato kembali menjadi pilihan. Tapi pada abad ke 17 Descartes memodifikasinya. Baginya yang riil itu adalah akal sebagai substansi yang berpikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menemp
ati ruang (extended substance).

Teori ini dikenal dengan Cartesian dualism. Tujuannya agar fakta-fakta di dunia materi (fisika) dapat dijelaskan secara matematis geometris dan mekanis. Kant dalam The Critique of Pure Reason mengkritik Descartes, tapi dia punya doktrin dualismenya sendiri. Pendek kata Neo-Platonisme, Cartesianisme dan Kantianisme adalah filsafat yang mencoba merenovasi doktrin dualisme. Tapi terjebak pada dualisme yang lain.

Perang antara monisme dan dualisme, sejatinya adalah pencarian konsep ke-esa-an (tauhid). Peperangan itu digambarkan dengan jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The Revolt Against Dualism. Fichte dan Hegel, misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin monisme, tapi bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga, tidak jelas. Nampaknya, karena arogansi akal yang tanpa wahyu (unaided reason) maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa dan raga dianggap dua entitas.

Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain, karena beda komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci. Atau sebaliknya, jiwa selalu dianggap baik dan raga pasti jahat.

Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahat itu timbul. Dalam Islam kerja raga adalah suruhan jiwa (innama al-a’mal bi al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa membawa kesehatan raga.

Dualis dikalangan antropolog pasti memandang manusia dari dua sisi: akal dan nafsu, jiwa dan raga, kebebasan dan taqdir (qadariyyah & jabariyyah). Dalam filsafat ilmu, dualisme pasti merujuk kepada dikotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif.

Kebenaran pun menjadi dua kebenaran obyektif dan sobyektif. Bahkan di zaman postmo kebenaran ada dua absolute dan relatif. Dalam Islam konsep tauhid inherent dalam semua konsep, tentunya asalkan sang sobyek berpikir tauhidi.

Nampaknya doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern, termasuk pelacur itu. Pernyataan pelacur itu tidak beda dari dialog dua sejoli dalam film Indecent Proposal, ”I slept with him but my heart is with you”.

Seorang dualis bisa saja berpesan “lakukan apa saja asal dengan niat baik”. Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran liberal akan berkata ‘jalankan syariat sesuka hatimu yang penting mencapai maqasid syariah”.

Kekacauan berpikir inilah kemudian yang melahirkan istilah “penjahat yang santun”, “koruptor yang dermawan”, “ateis yang baik”, “Pelacur yang moralis”, dan seterusnya.

Mungkin akibat ajaran dualisme pula Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata ”Hati saya di Mekkah, tapi otak saya di Chicago”. Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi pikirannya menghujatNya.
KHASANAH ISLAM DI NUSANTARA
Oleh: Dr Adian Husaini

Hari Kamis (27/8/2015) lalu, sebuah masjid di kawasan perkantoran Jalan Gatot Subroto Jakarta meminta saya mengisi kajian dhuhur dengan tema mengkaji isu “Fikih Kebinekaan dan Islam Nusantara”. Tidak dinafikan, dua isu tersebut menyita perhatian banyak kalangan muslim sejak awal Agustus lalu, sejalan dengan digelarnya Muktamar NU dan Muhammadiyah, Agustus 2015. Bahkan, kedua isu itu sudah menjadi bahan diskusi yang hangat dan panas di berbagai media massa.

Setelah membaca sejumlah artikel dan buku yang mempromosikan gagasan “Islam Nusantara” saya memahami bahwa ada sejumlah maksud dan gagasan yang baik untuk menjaga keberlangsungan dakwah dan mengembangkan eksistensi Islam di bumi Nusantara. Itu terlepas dari penggunaan istilah yang kontroversial. Saya menyarankan, istilah “Islam Nusantara” diganti dengan “Islam di Nusantara” atau “Budaya/Peradaban Islam Nusantara”.

Sebab, “Islam” dalam makna khusus (istilahan) adalah nama satu agama tertentu. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bukunya, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), menjelaskan, bahwa dalam soal makna Islam, hanya ada satu agama wahyu yang otentik, dan namanya sudah diberikan oleh Allah, yaitu Islam. Kata al-Attas: “Islam, then, is not merely a verbal noun signifying ‘submission’; it is also the name of particular religion descriptive of true submission, as well as the definition of religion: submission to God.

Karena langsung diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, maka nama “Islam” tidak bisa diganti-ganti dengan nama lain, seperti Mohamedanism, Arabism, Hagarism, dan sebagainya, sebagaimana yang telah diupayakan oleh para orientalis selama ratusan tahun. Itulah kenapa nama Islam berbeda dengan nama-nama adama lain, seperti Judaism, Catholicism, Hinduism, Buddhism, Protestantism, Confucianism, Jainism, Shintoism, dan sebagainya.

Sesuai dengan sifat ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang lintas zaman dan lintas budaya, sampai Hari Kiamat, maka aqidah dan ritual dalam Islam pun tidak tunduk oleh budaya, meskipun kaum Muslim ada yang berusaha melakukan proses Islamisasi budaya. Itu bisa dibuktikan hingga kini. Di mana saja, umat Islam bisa shalat dengan cara yang sama. Umat Islam bisa shalat di masjid mana saja. Mereka bisa saling makmum, satu dengan lainnya. Kecuali, tentu saja, masjid pengikut aliran sesat yang menganggap kaum Muslim di luar kelompoknya merupakan kaum sesat.

Bukan nama SOTO

Karena merupakan “genuine revealed religion”, maka selama ini para cendekiawan Muslim sedunia, pada umumnya, tidak menggunakan istilah “Islam Indonesia”, “Islam Amerika”, “Islam China”, “Islam Timor Leste”, “Islam Kutub Utara” dan sebagainya. Sebab, kaum Muslim memang merupakan umat dengan satu al-Quran, satu kiblat, dan satu panutan (uswah hasanah). Kaum Muslim di mana pun menyelenggarakan jenazah dengan cara yang sama; baik di daerah yang harga tanahnya murah atau yang teramat mahal. Muslim AS tidak mengkafani jenazah muslim dengan bendera AS, dan menyanyikan lagu kebangsaan negaranya saat menurunkan jezanah ke liang lahat. Hingga kini, belum ditemukan, kaum Muslim jualan kain kafan bercorak batik Pekalongan.

Jadi, karena Islam merupakan nama agama yang langsung diberikan oleh Allah, menurut hemat saya, sebaiknya kita berhati-hati dalam memberikan istilah. Itu sekedar pikiran dan saran. Toh, selama ini, sudah ratusan tahun, kita terbiasa menggunakan istilah “Islam” untuk menyebut nama agama kita. Tidak perlu nantinya berbagai daerah di Nusantara ini tergerak hatinya menggunakan istilah Islam yang beraneka ragam, seperti “Islam Betawi”, “Islam Lamongan”, “Islam Madura”, “Islam Makassar”, “Islam Medan”, dan sebagainya, seperti nama-nama SOTO yang terkenal di Nusantara. Nama Islam tidak bisa disamakan kedudukannya dengan nama-nama SOTO di Nusantara, yang terus berkembang aneka jenisnya.

Jadi, sekali lagi, “Islam” dalam makna khusus (bukan makna bahasa/lughatan), adalah nama satu agama. Dan nama itu tidak dibuat oleh manusia, tetapi sudah diwahyukan (revealed). K
arena merupakan “nama agama”, maka sangatlah riskan jika nama itu diubah-ubah atau ditambah-tambah. Makna “Islam”, secara istilahan, juga disebutkan oleh Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba’in al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: “Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah — jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim).

Jika mengacu pada kisah sukses dakwah Islam Wali Songo, maka para Wali Songo itu pun tidak menggunakan istilah “Islam Jawa” atau “Islam Nusantara” agar Islam diterima oleh masyarakat luas. Sebab, para Wali itu mengembangkan Islam, bukan Islam Arab, Islam India, Islam Turki, atau Islam Persia. Para Wali itu tidak menolak budaya lokal begitu saja, tetapi kadangkala mengubah budaya itu agar sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti budaya selametan, dan sejenisnya. Masjid Menara Kudus yang arsitekturnya mirip dengan pura Hindu masih bisa kita saksikan saat ini. Sunan Kudus pun meminta umat Islam tidak menyembelih sapi untuk qurban, diganti kerbau. Hingga kini, tradisi itu masih dipegang oleh sebagian umat Islam.

Kisah suksesnya dakwah para Wali Songo bukan dilakukan dengan berwacana tentang “Islam Nusantara” atau “Islam Arab”, tetapi dilakukan dengan strategi dan rencana yang matang, kesungguhan, keikhlasan, dan keteladanan akhlak mulia. Maka, terlepas dari “pro-kontra istilah Islam Nusantara”, ada satu tugas besar dari para cendekiawan Muslim Nusantara untuk menggali dan mengaktualkan kembali khazanah Islam di Nusantara.” Tujuannya agar Islam tidak diposisikan sebagai “barang asing” di Indonesia, sehingga masyarakat Nusantara dihasut untuk menjauhi Islam, karena dianggap budaya asing yang tidak cocok dengan budaya Nusantara.

Khazanah Nusantara

Saya sempat mengambil mata kuliah “Reading in Malay Metaphysical Literature” di ISTAC, tahun 2004. Ketika itu profesornya meminta mahasiswa membaca Kitab Hujjah al-Shadiq li-Daf’i al-Zindiq, karya Syekh Nuruddin al-Raniri, yang ditulis dalam bahasa Melayu tulisan Arab Melayu/Jawi. Ada juga mahasiswa dari Turki yang mengambil mata kuliah itu. Ketika itulah saya merasa bersyukur, bahwa sejak kecil sudah terbiasa dengan tradisi membaca Arab Melayu (Pegon), baik di Madrasah Diniyah maupun di Pesantren Salafiyyah.

Beberapa tahun kemudian, saya semakin banyak berinteraksi dengan pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang sejarah dan peradaban Islam Melayu-Nusantara ini. Buku klasik Prof. al-Attas adalah Islam dalam Sejarah Kebudayaan Budaya Melayu yang sudah diterbitkan di Indonesia tahun awal 1990-an.

Puncaknya, tahun 2013, Prof. al-Attas menerbitkan beliau Historical Fact and Fiction,yang memberikan perspektif dan fakta yang kuat tentang sejarah keagungan peradaban Melayu Islam itu. Perspektif (worldview) inilah yang sangat menentukan produk kajian tentang khazanah Islam di Nusantara. Jika menggunakan perspektif orientalis yang mengecilkan peranan Islam dalam sejarah Nusantara, maka akan lahirlah ilmuwan-ilmuwan yang justru tidak bangga dengan keagungan sejarah Islam Melayu itu sendiri.

Sebutlah contoh pemikiran Nuruddin al-Raniri (w. 1658) dalam kitabnya, Durrul Fara’id fi-Bahtsil Aqa’id, yang sangat mengkritisi pemikiran sofisme (sufasthaiyyah). Berdasarkan naskah yang dilatinkan oleh Prof. Wan Mohd Nor dan Dr. Khalif Muammar, Syekh Nuruddin al-Raniri menulis:

“Kata segala orang yang beriktikad sebenarnya: hakikat segala sesuatu itu teguh jua, ertinya kebenaran segala sesuatu itu tetap dan teguh jua adanya,dan pada pengetahuan akan dia sebenarnya, ertinya kita iktikadkan bahawa segala yang dilihat seperti langit dan bumi dan barang yang dalam keduanya itu iaitu jua pada penglihatan dan pada pengetahuan demikianlah sama jua pada iktikad…. Adapun pada i‘tiqad Sufasta’iyyah bersalahan dengan demikian itu, tetapi kata mereka itu cita–cita dan wahm dan khayal sia-sia jua. Dan lagi pula katanya se
gala suatu itu mengikut pada i‘tiqad jika di i‘tiqadkan pada suatu itu kekal maka iaitu kekal jua dan jika di i‘tiqadkan baharu maka baharu jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu dalam syak jua dan yang syak itu tiada berputusan ertinya segala suatu itu bukannya iaitu. Demikianlah i‘tiqad Sufasta’iyyah yang amat sesat itu”.

Begitu tinggi pemikiran Nuruddin al-Raniri tentang aqidah dan pemikiran Islam. Di abad ke-17 sudah lahir pemikir di Nusantara yang mengkritisi paham sofisme, satu filsafat pre-Socratic yang disebut Prof. Wan Mohd Nor sebagai “golongan anti-ilmu”. Jika sekarang banyak yang mengaku mencintai khazanah Islam di Nusantara, tetapi justru mengembangkan pemikiran sofisme yang juga merupakan gagasan relativisme kebenaran dan nilai-nilai akhlak, maka jelas itu salah ajar dan salah pikir.

Misalnya, gagasan bahwa “semua tafsir al-Quran itu bersifat relatif” karena merupakan produk akal manusia. Padahal, ada produk akal yang tidak relatif. Penafsiran ayat-ayat al-Quran yang bersifat qath’iy (tsubut dan dalalahnya), tidak bersifat relatif. Kata ‘khinzir’misalnya, pasti ditafsirkan ‘babi’. Jika ada yang menafsirkan ‘khinzir’ dengan ‘jengkol’, pasti salah secara mutlak! Para penggagas ide ‘Islam Nusantara’ pasti manusia yang berakal. Itu pasti. Mutlak pula kebenarannya. Jika ada manusia yang mengatakan, para penggagas ‘Islam Nusantara’ adalah manusia-manusia tidak berakal, pasti salah secara mutlak!

Juga, adalah hal yang aneh, jika kajian tentang khazanah Islam di Nusantara berujung kepada kebencian pada penerapan syariat Islam. Padahal, siapa yang menolak syariat Islam, maka tidak ada iman dalam dirinya. KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, menulis: ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.”

Karena itu, kita berharap pengembangan gagasan “Islam Nusantara” tidak menjadi kontra-produktif, yakni menjadikan banyak kaum Muslim menjadi tidak tertarik untuk mengkaji khazanah Islam di Nusantara, karena sudah curiga dengan istilah “Islam Nusantara” yang memang sebagian dipromosikan oleh kaum liberal dan kaum Syiah di Indonesia. Saya pun berharap, campur tangan birokrasi dalam pengembangan penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara ini dilakukan dengan keikhlasan, bukan karena memanfaatkan uang rakyat untuk memperkosa teks-teks khazanah Islam Nusantara, disesuaikan dengan hawa nafsu liberalisme.

Yang penting, kajian atau penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara itu dilakukan dengan niat ikhlas dan kejujuran untuk memajukan dakwah Islam di Nusantara. Jika tidak disertai niat ikhlas, khawatir uang yang diambil dari hak rakyat itu tidak akan menjadi berkah; bahkan bisa menjadi musibah; menimbulkan permusuhan antar-sesama, menyuburkan sifat serakah harta dan jabatan, dan menjauhkan diri dan keluarga dari kedamaian dan kebahagiaan. Kata Imam al-Ghazali, hubbud dunya ra’su kulli khathi’atin(cinta dunia itu pangkal segala kerusakan).

Prof. Azyumardi Azra menulis bahwa, “Ortodoksi Islam Nusantara” sederhananya memiliki tiga unsur utama. Pertama, kalam (teologi) Asy’ariyah; kedua, fikih Syafii meski menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali. (Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih sampai Konsep Historis, 2015, hlm. 172).

Benarkah “Islam Nusantara” yang selama ini dan akan dikembangkan, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam, adalah bersumber pada ajaran Asy’ariyah, Fiqih Syafii dan Tasawwuf Imam al-Ghazali, seperti ditulis oleh Prof. Azyumardi Azra?

Sejarah membuktikan, bahwa selama ini, UIN/IAIN sangat mengagungkan pemikiran Prof. Harun Nasution, yang berusaha menggusur kalam Asy’ari. Dalam pengantarnya untuk buku Studi Islam: Dinamika Baru, Prof. Virginia Hooker dari Australian National University mencatat: “Almarhum Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998) saat ini diakui dan dihormati sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di bidang penelitian Islam di Indonesia. Beliau diberi kredit sebagai sarjana yang ‘memperkenal
kan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal’. Pemikiran Nasution tentang Islam sebagai agama yang dinamik dikandung dalam buku yang bersangkutan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977). Buku ini merintis jalan untuk penelitian Islam secara ‘akademik’ lewat metode yang dipakai oleh penelitian ilmu sosial pada umumnya.”

Padahal, dalam buku “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution” (Jakarta : LSAF, 1989), disebutkan, ungkapan Harun Nasution: ”Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asy’ariyah mesti diganti dengan pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi tradisional Asy’ariyah harus diganti…”.

Jika mengikuti tradisi Kalam Asy’ari, Fiqih Syafii dan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak akan lahir pemikiran-pemikiran yang mempromosikan paham syirik Pluralisme Agama dan menolak syariat Islam. Jika mengamalkan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak ada rebutan jabatan rektor dan dekan di kampus-kampus Islam. Sebab, jabatan itu amanah yang berat, dunia-akhirat.

Karena itu, apa pun kondisinya, kita berharap, ada pengembangan keilmuan Islam yang serius di kampus-kampus Islam, untuk membangun tradisi ilmu yang sehat, yang mendorong para dosen dan mahasiswa semakin dekat dan semakin beradab kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 1 September 2015).*
-------
Untuk versi pdf silahkan download via link berikut:
https://www.dropbox.com/s/v3pu5i23i7fie2n/KHASANAH%20ISLAM%20DI%20NUSANTARA.pdf?dl=0
PROMO BUKU-BUKU TERBAIK KARYA BUYA HAMKA.

- 1001 Soal Kehidupan Rp. 115.000,-
- Pandangan Hidup Muslim Rp. 65.000,-
- Kesepaduan Ilmu dan Amal Saleh Rp. 50.000,-
- Dari Hati ke Hati Rp. 65.000,-
- Dari Lembah Cita-Cita Rp. 43.000,-
- Tafsir Al Azhar Juz Amma Rp. 130.000,-
- Bohong Di Dunia Rp. 43.000,-
- Ghirah: Cemburu Karena Allah 38.000,-
- Sejarah Umat Islam Rp. 230.000,-
- Angkatan Baru Rp. 37.000,-
- Buya Hamka Berbicara Perempuan Rp. 45.000,-
- Pribadi Hebat Rp. 45.000,-
- Keadilan Sosial dalam Islam Rp. 50.000,-
- Falsafah Ketuhanan Rp. 55.000,-

Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp ke 087878147997.
-Admin-
Assalamu'alaikum wrwb.
Kepada segenap kaum Muslimin Indonesia. Menyambut 100 tahun Indonesia, 2045, kita punya waktu 28 tahun untuk mewujudkan cita-cita mulia; memperkasa negara kita, Indonesia -- negeri muslim terbesar --menjadi negara adidaya. Kebangkitan satu bangsa mustilah diawali dari bangkitnya budaya ilmu, untuk membentuk generasi unggul. Itu artinya kita harus berani melakukan perubahan yang berarti dalam Pendidikan kita. Itulah reformasi institusi dan sistem Pendidikan. Mulai diri, keluarga, masjid, sekolah, pesantren, dan kampus kita. Sekaranglah saatnya! Jangan tunda lagi! Allahu Akbar! Merdeka!
Selamat membaca buku REFORMASI PENDIDIKAN menuju NEGARA ADIDAYA 2045 ini. Semoga bersabar dan meraih hikmah. Wassalamu'alaikum wrwb.
Depok, 17 Agustus 2017.
(Dr Adian Husaini).

http://www.ponpes-attaqwa.com/reformasi-pendidikan-menuju-negara-adidaya-2045/
MENJADI GURU BERADAB
Oleh: Dr. Adian Husaini

Dalam pandangan Islam, guru adalah ilmuwan dan muaddib (pendidik), karena tugas guru memang menanamkan adab dan berbagi ilmu. Dunia pendidikan sudah maklum, bahwa sukses dan gagalnya pendidikan bergantung kepada kualitas guru. Sebuah mahfudhat yang terkenal menyatakan: ‘... wal-ustādzu ahammu min al-tharīqah, wa rūhul ustadz ahammu min al-ustadz.” (... guru lebih penting daripada metode; dan jiwa guru lebih penting dari pada guru itu sendiri).
Ungkapan tersebut menekankan, bahwa perbaikan pendidikan memang harus dimulai dari perbaikan jiwa guru, yakni dari pola pikir dan amaliahnya. Dan itu harus dimulai dari pendidikan guru yang benar. Tidak mengherankan, jika para ulama begitu banyak menulis kitab tentang guru dan bagaimana menjadi guru yang baik. Salah satu ulama yang memberikan perhatian dalam masalah konsep adab yang memuat juga tentang adab guru adalah Ibn Jama’ah.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah bin Ali bin Jama’ah bin Hazim bin Shakhr, lahir di Ham‘ah tahun 639 H). Kitab beliau yang terkenal adalah “Tadzikrah al-Sami’ wa al-Mutakkalim Fî Adab al-‘Ilm wa al-Muta’allim”. Berikut ini adalah petikan adab ilmuwan (guru) yang diringkas oleh Dr. Akhmad Alim (seorang ulama muda dan dosen Universitas Ibn Khaldun Bogor) dari Kitab Ibnu Jamaah tersebut:

(a) Adab Ilmuwan Terhadap Dirinya Sendiri (Adab al-‘Alim fī Nafsihī)

Seorang ilmuwan harus syarat dengan adab. Tanpa adab, dirinya akan terjatuh dalam celaan, dan ilmu yang ada pada dirinya tidak membawa manfaat. Oleh karena itu, adab merupakan hal yang amat penting yang harus diperhatikan oleh setiap ilmuwan, agar ilmu yang dimilikinya menjadi penghias kebaikan, dan teladan bagi kehidupan. Adab ini secara keseluruhan akan menjadi pilar, yang mengantarkan ilmuwan ke dalam derajat keagungan, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah dalam QS.Al-Mujadilah : 11

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah mengangkat orang beriman dan berilmu beberapa derajat di antaramu beberapa derajat…” (Q.S. Al-Mujadalah : 11)

Dalam Kitab Tadzkirah Al-Sami’ Wa Al-Mutakallim disebutkan bahwa ada dua belas butir adab personal yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan, sehingga dengan adab tersebut akan lahir dari setiap ilmuan kepribadian yang patut untuk dicontoh dan dijadikan teladan dalam kehidupan. Adab tersebut adalah sebagaimana berikut :

1. Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan merasa diawasi oleh-Nya (muraqabatullah), baik ketika sendirian, maupun di keramaian. Dengan demikian, akhlaknya akan tetap terjaga, baik lisannya, perbuatannya, pemikirannya, dan pemahamannya, serta amanah keilmuaannya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27)

Ayat ini ditafsirkan oleh Ibn Jama’ah, bahwa dengan muraqabatullah seorang ilmuan tidak akan berperilaku khianat atas ilmu yang diamanahkan kepadanya, karena khianat ilmu berarti sama dengan menghianati Allah dan Rasul-Nya. Ibn Jama’ah berdalil bahwa ilmuan (ulama) adalah pewaris para Nabi dan Rasul, “para ulama adalah pewaris Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.“ (HR. Tirmizi).
2. Hendaknya setiap ilmuan memelihara ilmunya, sebagaimana para ulama salaf memeliharanya. Artinya, ia senantiasa menjaga ilmunya agar tidak jatuh ke dalam-hal yang rendah dan hina. Seperti menukar ilmu dengan segala hal yang sifatnya materi duniawi, sehingga dirinya terhalang dalam menyampaikan kebenaran, karena kebenaran yang ada pada ilmunya telah tergadaikan dengan dunia.
3. Hendaknya setiap ilmuan berperilaku zuhud dalam urusan duniawi. Artinya, dirinya tidak menggantungkan ilmunya pada kepentingan duniawi. Dunia ha
nya sebagai sarana penunjang keilmuannya, bukan tujuan akhir dalam kehidupannya.
4. Hendaknya setiap ilmuan tidak menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan duniawi, berupa jabatan, kekayaan, popularitas, atau untuk bersaing dengan orang lain. Dengan demikian, dirinya akan terhindar dari sifat tamak terhadap dunia, yang semua itu akan menjatuhkannya dalam kehinaan.
5. Hendaknya setiap ilmuan menghindari segala profesi, atau tempat-tempat yang secara syari’at dan adat dipandang kurang bermartabat. Hal itu, untuk menghindari praduga-praduga negatif yang menjatuhkan martabat (muru’ah) ilmuan.
6. Hendaknya setiap ilmuan menjaga syi’ar-syi’ar keislaman. Seperti melazimkan shalat secara berjama’ah di masjid, menyebarkan salam, beramar ma’ruf nahi munkar, sabar dan santun dalam bersikap. Demikian juga termasuk bagian syi’ar adalah berpegang teguh terhadap sunnah dalam bersikap, dan menjauhi segala macam bid’ah. Semua itu, akan melahirkan citra posisif terhadap diri ilmuan dan ilmu yang diembannya.
7. Hendaknya setiap ilmuan menjaga amalan-amalan sunah, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan. Seperti, rutinitas membaca Al-Qur’an beserta renungan maknanya, menjaga shalat-shalat sunat, puasa-puasa sunat, qiyamul lail, berdzikir, bershalawat, bertasbih. Demikian itu akan menambah kekuatan ruhani pada diri ilmuwan, sehingga teguh pendiriannya dalam mengemban amanah ilmunya.
8. Hendaknya setiap ilmuan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap masyarakat, memperlakukan mereka dengan akhlak yang mulia. Seperti, berwajah ceria saat berjumpa orang lain, menyebarkan salam, peduli sosial, membatu orang yang sedang kesusahan, pandai berterimakasih, membela orang yang tertindas, lemah lembut terhadap fakir miskin, dan bekerjasama dalam kebajikan.
9. Hendaknya setiap ilmuan mensucikan dirinya dari segala bentuk akhlak tercela, dan menghiasi dirinya dengan akhlak terpuji, baik lahir maupun batin. Oleh karenanya seorang ilmuan harus mengosongkan dirinya dari sifat iri hati, pemarah, menipu, takabur, pamer, mencari popularitas (sum’ah), persaingan duniawi, dusta, kikir. Kemudian mengisi dirinya dengan sifat qana’ah, pemaaf, jujur, tawadhu’, ikhlas, sidiq, amanah, dermawan.
10. Hendaknya setiap ilmuan rajin menambah wawasan keilmuannya, dengan cara memperbanyak membaca, menghapal, menganalisa, mengkaji masalah, meneliti, dan menuangkannya dalam bentuk karya ilmiyah. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Imam Syafii, dimana menurut salah satu muridnya yang bernama Ar-Rabi’, bahwa Imam Syafii jarang makan pada siang harinya, dan jarang tidur pada malam harinya, karena disibukkan dengan mengkaji banyak masalah-masalah keilmuan dan membukukannya.
11. Hendaknya setiap ilmuan tidak segan untuk belajar kepada orang yang berada di bawahnya, baik secara usia, kedudukan, maupun nasab. Hal itu dikarenakan, ilmu dan hikmah adalah barang yang hilang dari dari tangan orang mukmin, yang harus diraih kembali kepangkuannya.
12. Hendaknya setiap ilmuan memiliki keahlian dalam dunia tulis menulis, khususnya dalam bidang yang ditekuninya. Hal itu dimaksudkan sebagai wahana untuk menyalurkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat luas, dan pengembangan dunia akademik.
-BERSAMBUNG-
Jika kita setuju bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman, maka logis jika dikatakan bahwa siapapun yang korupsi dengan cara apapun seperti mempermudah kepentingan asing untuk keuntungan pribadi dan kelompok; melakukan kebijakan demi kepentingan golongan/partai/kelompok/organisasi sendiri dan mengesampingkan kepentingan golongan / partai / kelompok / organisasi orang lain setanah air; membuka keburukan orang-orang setanah air kepada orang asing, maka ia itu tergolong lemah imannya dan tidak benar-benar mencintai tanah airnya.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
HARGA PROMO!
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000,- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-)

Paket Ensiklopedia Anak Muslim ini akan membantu anak-anak mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan nikmat yang Allah karuniakan. Selain itu, juga membimbing mereka untuk menjadi anak saleh yang dirindukan surga.

Ensiklopedia Anak Muslim ini terdiri dari 12 Jilid, yaitu:
-AIR, karunia Allah
-BUMI, Amanah Allah
-ALLAH SEMESTA, Kebesaran Allah
-PAHLAWANKU, Berani Karena Benar
-IMAN, Mengantarmu Menuju SUrga
-HEWAN, Pesona Fauna Ciptaan Allah
-TUBUHKU, Anugerah Ciptaan Allah
-TRANSPORTASI & TEKNOLOGI, Kemudahan bagi Manusia
-MAKANNAN, Rezeki dari Allah
-ISLAM, Rahmat tak Terhingga dari Allah
-KESEHATAN, Nikmat dari Allah
------------------------------------

HARGA PROMO!
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000,- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-).

Pemesanan silahlan SMS/whatsapp ke 087878147997.

Syukran....
BELAJAR ADAB DARI KISAH LUQMAN
Oleh: Dr. Adian Husaini

Pada bulan Mei 2015, saya sempat mengadakan lawatan ke berbagai kota di Jawa dan mengisi ceramah serta diskusi di berbagai tempat. Salah satunya, pada 4 Mei 2015, pukul 19.30-21.30, saya mendapat kesempatan mengisi ceramah umum di Masjid Jogokaryan, Yogyakarta. Masjid ini sangat terkenal dengan manajerialnya yang mampu secara optimal memakmurkan masjid.

Tema ceramah malam itu tentang Pendidikan Keluarga. Sebagaimana dalam berbagai kesempatan, kesempatan itu saya gunakan kembali untuk menekankan pentingnya peran orang tua sebagai pendidik, sebagai guru yang utama bagi anak-anaknya. Juga, keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Abbas r.a. bahwa makna QS at-Tahrim ayat 6, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, adalah “addibūhum wa ‘allimūhum!”. Didiklah dirimu dan keluargamu agar menjadi manusia yang beradab dan berilmu. Jadi, “adab” dan “ilmu” adalah dua kata kunci dalam keselamatan kita dan keluarga kita dari api neraka.

Dikutip dalam Kitab Adabul Alim wal-Muta’allim, karya KH Hasyim Asy’ari, bahwa Imam asy-Syafii – rahimahullah – menyatakan, beliau mengejar adab seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang. Begitu pentingnya masalah “adab” ini sehingga menjadi landasan penting keselamatan kita di dunia dan akhirat.

Tentulah kita bertanya, apakah dunia pendidikan kita – mulai keluarga, sekolah, pesantren, madrasah, perguruan tinggi, dan sebagainya – sudah menekankan masalah adab ini? Adab adalah “pandangan dan sikap yang betul” terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah. Prof. Naquib al-Attas menyebut adab sebagai “right action”. Dalam bahasa kita, adab bisa dimaknai sebagai “sopan santun Islami”. Orang beradab tahu kedudukan dirinya sehingga bisa meletakkan dirinya dengan tepat dalam tatanan wujud di alam ini.
Al-Quran memberikan contoh keteladanan Luqman al-Hakim sebagai teladan dalam mendidik anaknya sebagaimana disebutkan dalam QS Luqman:12-19, yang artinya sebagai berikut:
(12). Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendirifile://localhost/C:/Users/encangirul/Documents/Islamic%20Corner/Tafsir%20Al%20Qur'an%20(baru) - _ftn3_4924; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.”
(13). Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
(14). Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.
(15). Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanyafile://localhost/C:/Users/encangirul/Documents/Islamic%20Corner/Tafsir%20Al%20Qur'an%20(baru) - _ftn15_4924, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(16). (Luqman berkata), "Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Mahateliti.
(17). Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.
(18). Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggaka
n diri.
(19). Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
****
Luqman al-Hakim telah mendapatkan hikmah dari Allah, yang dengan itu, ia bisa menerapkan pendidikan yang tepat pada anaknya. Sebab, menurut konsep Prof. Naquib al-Attas, adab memang datang dari hikmah; bukan datang dari sekolah atau kampus.

Nasehat-nasehat Luqman al-Hakim yang memberikan pelajaran berharga tentang adab ini, dimulai dari adab kepada Allah SWT: “Wahai anakku, jangan menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar!”
Sekali lagi, kita renungkan, “syirik adalah kezaliman yang besar!” Syirik itu zalim kepada Allah. Syirik itu biadab kepada Allah. Syirik adalah bentuk ‘kekurangajaran’ yang luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Syirik disebut zalim karena tidak “meletakkan” Allah pada tempatnya, sebagai al-Khaliq.

Syirik itu hakekatnya merendahkan martabat Allah, karena disetarakan dengan makhluk. Karena itu, riya’ disebut sebagai “syirik kecil” karena mempersembahkan amal perbuatan kepada makhluk; mengharapkan pujian dari makhluk; bukan mengharap pujian dan ridha dari al-Khaliq, Allah SWT.

Syirik itu juga pada hakekatnya merupakan tindak korupsi; karena merampas hak Allah SWT, sebagai Dzat Satu-satunya yang berhak disembah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bertanya kepada Muadz bin Jabal: “Tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya ?” Mu’adz berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Lalu, Nabi bersabda, (yaitu)“hendaknya mereka beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga…” (HR Bukhari dan Muslim).

Cobalah kita bedah hati kita masing-masing. Masih adakah terbersit noda-noda syirik itu? Astaghfirullah… Mungkin akan kita jumpai betapa mudahnya noda-noda syirik kecil itu bersemayam dalam hati kita. “Jangan syirik, anakku! Jangan sekutukan Allah dengan apa pun!” Itulah nasehat Luqman. Begitu dalam makna nasehat Luqman itu. Inilah adab tertinggi kepada Allah: tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga!
-BERSAMBUNG-