MUSTANIR ONLINE
3.18K subscribers
865 photos
164 videos
56 files
901 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
bukan sekedar mengurus KTP, pajak, dan kesejahteraan ekonomi. Tapi, pemimpin akan dimintai tanggung jawab apakah ia telah berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan rakyatnya, atau justru ia merusak keimanan rakyatnya. Indonesia adalah negeri penuh berkah, amanah para wali dan para pejuang Islam yang beratus-ratus tahun berjuang di negeri ini; menyemai benih Tauhid, hingga negeri yang sebelumnya 100% penduduknya tak tersentuh Risalah kenabian, kemudian menjadi hampir seluruhnya muslim.

Pemimpin bertaqwa bukan hanya mengusahakan agar rakyat bisa terpenuhi sandang, pangan, dan papannya, tetapi juga sungguh-sungguh dalam membangun jiwanya sendiri dan jiwa rakyatnya, agar mereka terbebas dari penyakit-penyakit jiwa, seperti sombong, serakah, rakus dunia, riya’, iri hati/dengki, dan sebagainya. Sebab, Allah SWT sudah mengabarkan bahwa sangatlah beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sangatlah celaka orang yang mengotori jiwanya. (QS 91:9-10). Mungkin bukan kebetulan, jika penggubah lagu Indonesia menyerukan: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!

Kita syukuri nikmat Allah, bahwa kita menjadi Muslim, dan tinggal di negeri yang indah, subur dan makmur. Tentu menjadi tanggung jawab kita semua untuk memakmurkan negeri ini, melaksanakan tugas kita sebagai khalifatullah, menjadikan negeri anugerah Ilahi ini menjadi negeri adil-makmur di bawah naungan ridho Ilahi (baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur).

Saudara-saudaraku para politisi Muslim, pimpinan Partai Islam, dan segenap umat Islam Indonesia, kita akui, saat ini, panggung politik Indonesia didominasi oleh wacana politik sekuler. Wacana-wacana duniawi, urusan ekonomi, janji-janji kesejahteraan hidup, menjadi wacana yang sangat dominan. Wacana keimanan, akhlak, dan pembangunan jiwa menjadi terpinggirkan; dianggap “tidak laku dijual”; bahkan dianggap tidak relevan. Seolah-olah, semua masalah bangsa ini akan bisa diselesaikan dengan akal dan materi. Agama dianggap tidak penting. Panduan Nabi saw dalam berasyarakat dan bernegara diabaikan begitu saja. Kadangkala, untuk basa-basi politik, Nabi hanya diingat saat perayaan Maulid. Kyai atau ulama jadi pelengkap untuk baca doa dalam upacara bendera.

Padahal, sebagai Muslim, kita diajarkan, bahwa manusia itu bukan sekedar kumpulan tulang dan daging. Manusia beda dengan binatang. Manusia punya jiwa, ada Ruh. Tujuan manusia adalah hidup bahagia. Kekuatan manusia pun terbatas. Kita diajar oleh Nabi kita: Ihrish ‘alaa maa yanfauka, wasta’in billahi, wa-laa ta’jizan…. (Bersemangatlah selalu untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan sekali-kali merasa lemah dan tidak mampu!”)

Masalah bangsa kita sangat besar dan komplek. Dengan utang luar negeri di atas Rp 2.000 trilyun, kerusakan sumber daya alam yang makin meluas, pragmatisme dan fragmentasi masyarakat yang sangat mengemuka, dan setumpuk masalah bangsa lainnya, diperlukan solusi yang bukan hanya bersifat “rasional” tapi juga “supra-rasional” dengan memohon rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sebagaimana telah begitu indah ditegaskan oleh para founfing fathers dalam Pembukaan UUD 1945 dalam pencapaian kemerdekaan negara kita.

Karena itu, sepatutnya, kita malu kepada Allah, jika mengaku-aku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi pada saat yang sama juga membiarkan berkembangnya kemusyrikan di negeri kita. Padahal, kita tahu, syirik adalah dosa besar yang tak terampunkan. Syirik adalah kezaliman yang sangat besar. (QS 31:13). Kita sepatutnya malu, menengadahkan tangan kepada-Nya, memohon negeri kita diberkati Allah, sementara pada saat yang sama, kita membiarkan berbagai tindakan yang jelas-jelas melawan perintah dan larangan Allah SWT.

Tuan-Tuan penguasa memberikan kebebasan seluas-luasnya wanita mengumbar auratnya, sementara di sebagian instansi pemerintah, muslimah justru dilarang menutup auratnya. Pada berbagai kesempatan, kontes-kontes yang mengumbar aurat justru dikembangkan. Bagaimana para pemimpin kita nanti harus bertanggung jawab, saat mereka dihadapkan kepada Hakim Satu-satunya di Hari Kiamat? Apa jawab mereka kepada Sang
Khaliq?

Saudaraku, seluruh kaum Muslimin Indonesia, para politisi Muslim, dan pimpinan Patai Islam…. Kita sangat mafhum, bahwa hidup di dunia ini sangatah singkat. Kuasa dan harta yang kita kejar sekuat tenaga, tak akan membawa bahagia, bahkan bisa menjadi bencana, jika tidak kita niatkan untuk ibadah kepada Allah SWT. Betapa banyak pemimpin dunia yang — di dunia pun — tak mengenyam bahagia, selalu dirundung masalah demi masalah, dan di akhirat ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Tanggung jawabnya sangatlah berat.

Saya paham, demi pertimbangan untuk meraih suara dalam Pemilu, jargon “menegakkan Tauhid” mungkin kini dianggap tidak layak untuk dijual. Jargon pemberantasan korupsi dianggap lebih layak dijual kepada rakyat untuk meraih dukungan mereka. Tapi, sebagai pelanjut perjuangan para Nabi dalam penegakan misi kenabian, kita hanyalah satu mata rantai dari serangkaian derap langkah panjangnya para Nabi utusan Yang Maha Kuasa.

Kita tatap dengan semangat dan penuh optimis masa depan perjuangan Islam di Indonesia. Kita arahkan pandangan kita ke ufuk cakrawala yang jauh, tanpa mengabaikan realitas kondisi dan situasi yang terjadi. Realitas penting untuk menjadi pertimbangan kita. Tetapi, misi abadi kenabian, penegakan kalimah Tauhid dan menebar rahmat ke seluruh alam, tidak boleh tenggelam oleh kepentingan pragmatis kekuasaan semata. “Dialah Allah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan ad-Din yang Haq untuk dimenangkan atas berbagai agama lainnya, walaupun kaum musyrik membencinya.” (QS ash-Shaf:9).

Nabi Ibrahim (a.s.) yang begitu mulia dan selalu kita panjatkan doa untuknya, memang diusir dan dibakar oleh sang penguasa. Tapi, al-Quran lebih membela Ibrahim, dan sama sekali tidak bersimpati kepada raja yang musyrik dan zalim, meskipun sang raja itu besar kuasanya. Meskipun Firaun jauh lebih kuat dari Musa (a.s.), tapi al-Quran tidak pernah sedikit pun memberikan pujian untuk Fir’aun. Ketika kecil dan ketika kuat, Daud a.s. tetap dipuji karena keteguhannya memperjuangkan kalimah Tauhid.

Jika tidak ingin dimusuhi kaumnya yang musyrik, logikanya, lebih aman dan nyaman, jika Nabi Muhammad saw tidak mendahulukan seruan tauhidnya dan mengkritisi kemusyrikan yang telah menjadi tradisi bangsanya. Meskipun ditentang keras, dimusuhi, diboikot, diancam dibunuh, dan sebagainya, Nabi saw tetap mengajak kaumnya untuk meninggalkan agama mereka yang syirik dan memeluk Islam, mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan mengakui Muhammad saw sebagai utusan-Nya yang terakhir.

Mungkin, jika ingin dakwahnya diterima secara luas, tidak dimusuhi kaum dan keluarganya sendiri, dan bisa hidup lebih nyaman, Nabi Muhammad saw hanya akan mengangkat isu-isu ekonomi dan kesejahteraan, dengan – misalnya — membentuk semacam koperasi atau Perseroan Terbatas. Bangsa Arab akan menerima ajakan itu, karena Rasulullah saw juga pedagang yang sukses dan manusia terpercaya. Meski pun al-Quran memerintahkan kepedulian sosial yang tinggi sejak dakwah di periode awal di Makkah, tetapi seruan untuk menegakkan Tauhid adalah isu utama dalam dakwah Nabi.

Hanya dengan Tauhid, iman kepada Allah dan rasul-Nya, maka manusia menjadi mulia, di dunia dan akhirat. Kita camkan benar peringatan al-Quran: “Jangan merasa hina dan jangan berduka! Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kalian mukmin!” (QS 3:139).

Umat Islam adalah ummatur-risalah. Kita mendapatkan amanah dari Allah SWT. Kita kibarkan panji Tauhid, panji jiad fi-sabilillah dalam berbagai lini kehidupan, meski banyak yang enggan melirik, bahkan ada yang sinis dan mencibirnya. Sebab, hanya dengan IMAN kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad fi-sabilillah, maka manusia akan selamat dari siksa neraka. (QS 61:10-11).

Mari kita pilih PEMIMPIN TERBAIK, berdasarkan kriteria IMAN dan TAQWA-nya, yang kita percayai memiliki ilmu dan pribadi unggul, yang mampu memimpin dan membawa negeri ini kepada keberkahan Ilahi; pemimpin yang cerdas, yang tawadhu’, tidak angkuh, tidak jumawa, tidak munafik, tidak rakus dunia, tidak silau gemerlapnya dunia, yang bersedia memaduka
n panca indera dan akalnya dengan wahyu Allah SWT.

Sekali lagi, jangan sampai kita salah pilih, karena Rasulullah saw sudah memperingatkan:
“Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”(HR Al-Hakim).


Memilih pemimpin adalah urusan penting dalam agama kita. Sepatutnya kita bersikap hati-hati. Semoga kita dan keluarga kita mendapatkan ridha dan rahmat dari Allah SWT. Amin.
-------
Sumber: http://www.fpi.or.id/2016/03/bersatulah-pilih-pemimpin-taqwa-untuk.html?m=1
PEMIMPIN POSTMODERN
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pemimpin selalu identik dengan tokoh, idola, figure sentral, bahkan bisa merupakan jelmaan ratu adil. Namun kini di zaman postmodern pemimpin lahir dari wacana atau diskursus melalui media masa. Betapa idealnya seorang pemimpin dimasa lalu dapat dilacak dari pemimpin atau raja-raja pada abad Pertengahan di Barat. Pemimpin politik, waktu itu, adalah agamawan. Mereka dipilih setelah diketahui umum bahwa mereka berasal dari tujuh turunan keluarga yang tidak cacat moral. Namun, hingga abad 19 kreteria pemimpin seperti itu mulai pudar sehingga sulit diperoleh. Tidak ada lagi pemimpin bermoral bishop dan tidak ada bishop berkualitas politisi. Agama dan politik pun bercerai.

Para pakar pun mencari criteria ideal seorang pemimpin. Pikiran dan criteria Niccolò Machiavelli (1469-1527) abad 19 di anggap awal kriteria pemimpin ideal tanpa faktor agama. Thomas Carlyle, misalnya, menulis buku Heroes and Hero Wor ship (1841) untuk mengidentifikas bakat, skill dan ciri-ciri fisik orang yang menjadi penguasa.

Francis Galton dalam bukunya Hereditary Genius (1869) menguji kualitas pemimpin pada keluarga-keluarga orang berpengaruh. Ia menemukan bahwa keluarga pemimpin berbakat pemimpin. Artinya pemimpin itu dilahirkan. Namun, ini dibantah oleh teori Cecil Rhodes (1853-1902) yang masih percaya bahwa karakter dan instink peimimpin itu bisa dididik. Tapi sekalipun karakteristik pemimpin ditemukan (tahun 1940-an) namun suatu kriteria tidak bisa berlaku untuk semua jenis masyarakat. Untuk itu para pakar menggunakan teori yang telah dirintis oleh McGrath (1962) teori Functional Leadership Model. Pemimpin ini dipilih sesuai dengan yang dikehendaki rakyat atau organisasi yaitu untuk melayani.

Pada abad yang sama Bernard Bass (1978) mengembangkan teori yang disebut Transactional dan transformational leadership. Yang pertama adalah pemimpin yang diberi kekuasaan oleh kelompok atau rakyat untuk mengerjakan suatu tugas tertentu. kedua adalah pemimpin yang visioner yang bertugas menstimulasi dan menanamkan visi kepada rakyat. Bagaimanapun teori tentang kepemiminan hingga abad 21 ini masih gagal menemukan rumusan sifat-sifat ideal seorang pemimpin.

Kini sering terjadi tiba-tiba seorang pemimpin muncul atau terpilih diluar kriteria pemimpin. Politik dan politisi kini menjadi pemilik criteria, bukan pakar. Intelektualitas, nilai-nilai, kecakapan sosial, kepakaran dan kecakapan dalam problem solving dan mungkin juga kenegarawanan seiringkali absen dari diri pemimpin terpilih. Mengapa bisa terjadi demikian?

Teka teki ini mungkin terjawab oleh temuan teori pemimpin yang digagas oleh Oxford School Leadership. Teorinya disebut Neo-emergent theory. Dalam teori yang dianggap paling mutakhir ini pemimpin dipromosikan oleh informasi yang diciptakan oleh stakeholdernya me lalui media masa atau media social. Namun yang dipromosikan bukan karakter sesungguhnya dari pemimpin yang diinginkan, tapi wacana-wacana ideal tentang pemimpin yang dipromosikan itu. Teori ini digambarkan sebagai berikut: "the press, blogs and other sources re port their own views of leaders, which may be based on reality, but may also be based on a political command, a pay ment, or an inherent interest of the author, media, or leader. Therefore, one can argue that the perception of all leaders is created and in fact does not reflect their true leadership qualities at all."

Teori Neo-emergent itu mungkin bisa disebut teori pencitraan atau pemimpin media masa atau sosial (sosmed). Demokrasi bisa berubah menjadi "mediakrasi" (kekuasaan media). Media pun sudah di bawah petunjuk kekuatan politik, pemodal, konglomerat dan sebangsanya.

Sudah tentu ini diluar nalar waras. Tapi memang Logika postmodern tidak lagi memakai sillogisme, tapi bahasa dan makna. Makna menentukan segalanya. Siapa yang memberi makna adalah siapa saja. Maka tidak heran Akbar S Ahmed menyimpulkan bahwa ide-ide postmodernisme dipicu oleh media. Media bisa bermain-main dengan makna. Koruptor bisa tiba-tiba menjadi pelopor. Culas bisa menjadi lugas dan tegas. Tukang maki menjad
i pemimpin bernyali. Pakar barter menjadi berkarakter dan sebagainya.

Logika bahasa Postmodern dalam media diracik dengan faham humanisme meng hasilkan pemimpin yang unik. Pemimpin yang keras meledak-ledak, anehaneh dan dianggap gila itu pemimpin ber karakter. Bahkan berkarakter itu bisa dimaknai menjadi bermoral dan ber akhlaq. Padahal kata character sendiri bermasalah sebab ia sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan. Berkarakter bisa diartikan ber "peran" dan bukan suatu sifat yang melekat erat dalam diri. Sifat inilah yang diletakkan oleh media kepada seseorang yang akan didaulat sebagai pemimpin. Pemimpin akhirnya menjadi seperti wa yang yang memerlukan dan diperlukan seorang dalang.

Kata "moral" pun rancu, karena dalam Oxford English Dictionary moral adalah perilaku baik-buruk. Standar baik buruk itu bersumber dari kesepakatan manusia (human convention). Bahkan apa yang di sebut "hukum moral" atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial.

Maknanya moral dan etika menjadi longgar tergantung masyarakat. Jadi ber-moral artinya berperilaku sesuai dengan atur an masyarakat, dan tidak selalu religius. Maka bermoral dan berkarakter tidak bisa disamakan dengan berakhla1. Kata akhlaq serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim). Jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berfikir, berkehendak dan berplerilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya. Fitrah seseorang itu adalah bertuhan, beragama dan tentu berislam.

Maka pemimpin berkarakter saja tidak cukup mensejahterakan masyarakat, demikian pula pemimpin bermoral. Sebab seorang pemimpin yang tegas, pekerja keras, pandai membangun infra struktur publik bisa dianggap berkarakter. Meski pun dibalik itu boleh jadi ia melakukan kecurangan dan tindah amoral secara rahasia. Seorang yang tidak ambisius, nampak sederhana, halus dalam percakapan, dan murah senyum bisa diberi label bermoral.

Namun jika ia sering berbohong, pembenci, penipu, zalim pada sesama, apalagi menentang Tuhan, maka ia tidak berakhlaq. Meski kondisi berfikir masyarakat dunia saat ini nampak begitu postmodern, sebaiknya pemimpin yang dihasilkan adalah tokoh yang tetap menjaga akhlaqnya dan beramanah. Kemuliaannya tidak dihasilkan oleh luar dirinya alias orang lain, atau selain dirinya, itulah akhlaq. Per buatan, perkataan dan pikirannya, seperti kata Umar bin Khattab, harus sama. Itulah amanah. Jika tidak maka yang ada hanya pemimpin amoral dan pengkhianat.
MENGAPA HARUS KARTINI?
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

Mengapa harus Kartini? Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk sejarah Indonesia. Mengapa harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan Sarekat Islam? Bukankah Sarekat Islam adalah organisasi nasional pertama? Mengapa harus Ki Hajar Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad Dahlan, untuk menyebut tokoh pendidikan? Mengapa harus dilestarikan ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani sebagai jargon pendidikan nasional Indonesia? Bukankah katanya, kita berbahasa satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah kepada semua guru dari Sabang sampai Merauke. Berapa orang yang paham makna slogan pendidikan nasional itu? Mengapa tidak diganti, misalnya, dengan ungkapan Iman, Ilmu, dan amal, sehingga semua orang Indonesia paham maknanya.

Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran Kartini tidak terlepas dari buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat Eropanya, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911. Buku ini dianggap sebagai grand idea yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Kata mereka, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu.

Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan Sartika dan Rohana dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang ber inisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiranpikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecu
t Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim ke terbe lakang an kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.

Di Aceh kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus menda -pat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan, begitu kata Rohana Kudus.

Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien. Putri sejati. Putri Indonesia…, mungkin tidak pernah muncul masalah Gerakan Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita diwajibkan berjuang untuk menyongsong tak dir yang lebih baik di masa depan. Dan itu bisa dimulai dengan bertanya, secara serius: Mengapa Harus Kartini?
Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah
Oleh: Dr. Adian Husaini

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh.

VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semaca
m sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pad
a masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama
👍1
Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.

Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel.

Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.
SIAPA MENYATUKAN NUSANTARA?
Oleh: Dr. Adian Husaini

Sejumlah pemikir dan tokoh di Indonesia pernah mengungkap teori “lapis-budaya”. Bahwa, kata mereka, Pancasila sebenarnya digali dari bumi Indonesia asli. Bahkan, seorang tokoh ternama, mengaku, ia menggali Pancasila dari bumi Indonesia yang paling dalam, yakni zaman pra-Hindu.

Teori “lapis budaya”, misalnya, pernah diungkap oleh Pendeta Dr. Eka Darmaputera, dalam disertasi doktornya yang berjudul Pancasila and the Search for Identity and Modernity, di Ph.D. Joint Graduate Program Boston and Andover Newton Theological School, tahun 1982. Eka menyebutkan adanya tiga lapisan budaya di Indonesia, yaitu Indonesia asli, India, dan Islam. Tentang lapisan asli Indoenesia, Eka menyimpulkan:
“Lapisan asli Indonesia merupakan sesuatu yang amat sulit, bila tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dijabarkan dengan lengkap dan pasti. Kesepakatan yang ada ialah, bahwa sebelum datangnya peradaban India ke Indonesia, ia telah mencapai tingkat kebudayaan yang relatif tinggi dan berakar cukup dalam. Secara umum, lapisan ini dapat digambarkan sebagai berikut: dasar peradabannya adalah pertanian (sawah dan ladang); struktur sosialnya adalah desa; kepercayaan agamaniahnya adalah animisme; …” (Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997).

Upaya untuk mengaitkan Indonesia dengan budaya asli pernah ditentang keras oleh Prof. Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi, tokoh Pujangga Baru ini justru mengajak bangsa Indonesia untuk menengok ke Barat: “Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.” Namun, Takdir menepis tuduhan bahwa ia mengarahkan Indonesia agar membebek pada Barat. Katanya: “Saya tidak pernah berkata, bahwa generasi baru tidak usah tahu kebudayaan lama. Saya hanya berkata, bahwa generasi baru harus bebas, jangan terikat kepada kebudayaan lama.” (Lihat, buku Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, cet.ke-3).

Upaya untuk membangun citra bahwa Indonesia mengalami zaman kejayaan saat berada di zaman pra-Islam, secara sistematis dikembangkan oleh para orientalis. T. Ceyler Young, seorang orientalis membuat pengakuan: “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut”. (Muhammad Quthb, Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).

Mohammad Natsir, seorang pahlawan nasional, menyebut upaya mengecilkan peran Islam dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bentuk ”nativisasi”. Sejak usia dini, anak-anak Muslim Indonesia sudah dicekoki dengan ajaran sejarah, bahwa Indonesia pernah jaya di bawah Kerajaan Majapahit. Lalu, datanglah kerajaan Islam, bernama Kerajaan Demak, menghancurkan kejayaan Hindu tersebut. Jadi, seolah-olah hendak ditanamkan pada para siswa, bahwa kedatangan Islam tidak membangun kejayaan Indonesia, tetapi justru menghancurkan kejayaannya. Islam tidak pernah menjadi pemersatu bangsa. Majapahitlah yang menyatukan Indonesia. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang kuat, Majapahit pernah menyatukan seluruh wilayah Nusantara.

Prof. Dr. C.C. Berg melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan, bahwa wilayah Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit (Depok: Komunitas Bambu, 2009).

Ada juga cerita yang memposisikan Majapahit sebagai “penjajah”, sehingga muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukkan. Babad Soengenep, misalnya, menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita yang mendasari Perang Bubat yang merupakan kesalahan besar dalam diploma
si Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk menikahkan putrinya dengan sang Prabu Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian mengantarkan putrinya hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai kebiasaan kuno, raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu untuk menjemput mempelainya.

Padahal, sejarah membuktikan, para ulama dan pendakwah Islam-lah yang menyatukan wilayah Nusantara dalam satu agama, satu bahasa, dan satu pandangan alam (worldview). Bahkan, penyatuan itu sampai meliputi wilayah Thailan Selatan, Filipina Selatan, dan Malaka. Bahasa Melayu yang telah di-Islamkan menjadi alat pemersatu bangsa yang efektif.

Keberadaan dan penyebaran bahasa Melayu pernah dianggap sebagai ancaman bagi misi Kristen oleh tokoh Jesuit, Frans van Lith (m. 1926). Dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia, Karel A. Steenbrink, mengutip ucapan van Lith: “Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.”

Kiprah Pater van Lith dalam gerakan misi di Jawa digambarkan oleh Fl. Hasto Rosariyanto, SJ dalam bukunya, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009). Dalam buku ini diceritakan, bahwa dalam suatu Kongres bahasa Jawa, secara provokatif van Lith memperingatkan orang-orang Jawa untuk berbangga akan budaya mereka dan karena itu mereka harus menghapus bahasa Melayu dari sekolah. Van Lith lebih suka mempromosikan bahasa Belanda, karena dianggapnya sebagai bahasa kemajuan.

Misi ini kemudian gagal. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia mengikrarkan sumpah: Berbahasa satu, bahasa Indonesia. (***)
BUNDEL ISLAMIA EDISI AWAL 2004 sampai EDISI TERBARU 2017

Dibundel secara LUX. Terdiri 2 bundel (seperti gambar). Berat sekitar 6,5 Kg. Penulisnya antara lain: Dr Hamid Fahmy Zadkasyi, Prof Wan Noor Wan Daud, Dr Syamsuddin Arif, Dr Adian Husaini, Prof Khalif Muammar, dll.

Bagi yang berminat bundel Jurnal Islamia dari edisi awal 2004 sampai edisi terbaru 2017 silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...
KULIAH KEMANA?
Oleh: Dr Adian Husaini

Dalam beberapa waktu terakhir, banyak muncul pertanyaan dari sejumlah orangtua: “Anak saya baiknya kuliah kemana? Atau, “Apakah kuliah di universitas ini atau universitas itu bagus?” Ada orangtua menyampaikan kasus; anaknya diterima di dua jurusan pada universitas yang berbeda. Mana yang harus dipilih? Dan seterusnya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu lazim bermunculan, khususnya usai ujian akhir tingkat SMA. Biasanya, pertanyaan itu muncul terkait dengan proyeksi orangtua atau pelajar tentang masa depan kehidupan dan karir mereka. Hingga kini, gambaran tentang profesi ideal bagi para pelajar termasuk di berbagai sekolah Islam, tampaknya masih belum banyak berubah.

Jurusan-jurusan — istilah sekarang ‘Program Studi’ – yang menjadi idola pelajar untuk dimasuki masih seperti masa-masa sebelumnya, yaitu Kedokteran, Akuntansi, Teknik Informatika, dan sebagainya. Jurusan-jurusan ‘agama’ seperti Jurusan Dakwah, Tarbiyah, Ushuluddin, Tafsir-Hadits, dan sejenisnya belum menjadi tujuan utama para pelajar yang memiliki kualifikasi intelektual tertinggi di sekolahnya. Yang cukup ‘laku’ saat ini adalah jurusan Tarbiyah dan Ekonomi Islam, karena dianggap menjanjikan lapangan kerja yang cukup bergengsi.

Walhasil, sesuai dengan arahan berpikir para pejabat di bidang pendidikan, pembentukan suatu jurusan atau program studi (Prodi) memang masih dikaitkan dengan urusan lapangan kerja atau karir profesi seseorang. Hal itu juga diberlakukan untuk ilmu-ilmu keagamaan (ulumuddin). Jika suatu perguruan tinggi hendak membuka suatu Prodi, maka disyaratkan untuk menjelaskan, lulusannya akan bekerja di mana.

Maka, tidak terlalu keliru jika dikatakan, lembaga pendidikan tinggi utamanya diarahkan untuk menjadi lembaga kursus atau balai latihan kerja. Karena itu, jangan heran, jika sekolah dan universitas kalah profesional dengan lembaga bimbingan belajar atau lembaga-lembaga kursus dalam menyiapkan tenaga kerja. Lucunya, ada sekolah-sekolah – yang dikatakan — unggulan masih menyewa lembaga bimbingan belajar untuk membantu siswanya agar lulus Ujian Nasional dengan baik.

Pola pikir pendidikan yang terlalu pragmatis dan materialis sebenarnya tidak sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga menyebutkan, bahwa Pendidikan Tinggi bertujuan: (a). berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; (b). dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; (c). dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan (d). terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”

*

Begitulah tujuan pendidikan nasional di Indonesia, seperti tertulis secara resmi dalam Undang-undang. Jika dicermati, secara umum, tujuan itu sangat baik, yakni mencetak manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. Masalahnya, apakah dalam aplikasinya, tujuan itu benar-benar diwujudkan?

Untuk mencapai tujuan pendidikan itulah maka diperlukan tiga unsur penting
, yakni: guru/dosen, kurikulum, dan metode pembelajaran. Agar mencapai tujuan pendidikan, yakni membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa, maka haruslah disusun kurikulum yang bisa mengantarkan anak didik kepada tujuannya. Logisnya, kurikulum itu harus bersumber dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Karena itu, adalah hal yang aneh, jika tujuan pendidikan untuk membentuk manusia beriman dan bertaqwa, tapi kurikulum pendidikannya justru “menolak” wahyu sebagai sumber ilmu.

Contoh mudahnya, sebenarnya keliru dan janggal, mahasiswa Muslim di UI, ITB, IPB, UGM, Unair, ITS dan sebagainya, tidak diajarkan Ulumuddin secara memadai. Para mahasiswa Muslim tidak mempelajari Ulumul Quran, Ulumul Hadits, Ushul Fiqih, Bahasa Arab, Tarikh Islam, dan sebagainya. Ilmu-ilmu wahyu (revealed knowledge) itu dianggap bukan ilmu (knowledge) sebab tidak bersifat rasional dan empiris. Masih terjadi antara “ilmu umum” dan “ilmu agama”. Padahal, dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama sebenarnya merupakan model pendidikan warisan penjajah yang sudah out of date. Saat ini, di tingkat TK sampai SMA sudah banyak bermunculan Sekolah-sekolah Islam atau Pesantren Terpadu yang tidak lagi mendikotomikan antara ilmu-ilmu agama (ulumuddin) dan ilmu-ilmu rasional-empiris – yang dalam istilah sekarang disebut “ilmu-ilmu umum”.

Kurikulum pendidikan yang masih memandang wahyu Allah bukan sebagai sumber ilmu adalah kurikulum sekuler yang seyogyanya tidak dipaksakan kepada mahasiswa Muslim. Konsep kurikulum dalam Islam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah secara proporsional, sesuai dengan tujuan dan kemampuan pelajar/mahasiswa. IlmuFardhu ‘Ain adalah ilmu yang wajib dimiliki setiap Muslim, seperti ilmu aqidah Islam, ibadah wajib, dan sebagainya. Sedangkan ilmu Fardhu Kifayah adalah ilmu yang wajib dimiliki oleh sebagian Muslim; tidak seluruhnya, seperti ilmu pengobatan, elektronika, tekbik bangunan, ilmu komputer, dan sebagainya.

Misalnya, untuk anak-anak Muslim super cerdas, bisa ditargetkan, sarjana lulusan UI, ITB, atau IPB, UGM,– minimal — harus memahami aqidah Islam dan tantangan pemikiran kontemporer, menghafal al-Quran 10 juz, menguasai bahasa Arab dengan bauk, memahami dasar-dasar Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan sebagainya, ditambah dengan ilmu-ilmu empiris-rasional, sesuai dengan kebutuhan dan minatnya, seperti matematika, fisika, statistika, jurnalistik, akuntansi, kedokteran hewan, ilmu gizi, arsitektur, dan sebagainya.

Jadi, seharusnya, untuk mahasiswa Muslim, mereka bisa mendapatkan muatan kurikulum di Perguruan Tinggi dengan komposisi 50:50, yakni 50% ulumuddin (ilmu wahyu/revealed knowledge) dan 50% ilmu-ilmu rasional-empiris. Apakah ini mungkin? Kita jawab: sangat mungkin! Itu sudah banyak terbukti di tingkat SMA. Kini, tidak sulit menemukan lulusan SMA yang sudah hafal al-Quran, menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan baik, sekaligus juga menguasai mata pelajaran sains kontemporer.

Sayangnya, setelah mereka memasuki Perguruan Tinggi Umum, “ilmu wahyu” mereka tidak berkembang; bahkan mungkin berangsur-angsur memudar, karena tidak mendapatkan media untuk pengembangannya.

Karena itulah, sudah saatnya, Perguruan Tinggi di Indonesia memiliki Pusat Studi Islam yang kuat. Di berbagai Universitas di Barat saja, sejak ratusan tahun lalu sudah dijumpai pusat-pusat studi Islam yang canggih, meskipun semua itu dibentuk untuk tujuan orientalisme secara umum.

Hanya saja, salah satu masalah besar yang dihadapi di Indonesia adalah digunakannya “metode liberal” dalam Studi Islam. Yakni, metode pengkajian Islam ala orientalis, yang berselubung jargon “metode ilmiah” tetapi ujung-ujungnya menanamkan keraguan dan kebingungan terhadap kebenaran serta menjauhkan mahasiswa dari pembentukan akhlak mulia.

Model pendidikan ulumuddin metode orientalis itulah yang kini banyak dijumpai di Perguruan Tinggi. Yakni, pendidikan ulumuddin yang berselubung jargon ilmiah dan netral terhadap kebenaran. Metode semacam ini sangat meracuni pikiran, karena membuat seorang merasa benar dan bangga ketika ia tidak memi
hak antara yang haq dan yang bathil. Padahal, setiap Muslim dituntut untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.

****

Nabi Muhammad saw pernah menyampaikan sebuah pesan penting: “Manusia itu adalah barang tambang, laksana emas dan perak. Orang-orang terbaik diantara mereka di masa Jahiliyah adalah orang-orang terbaik juga di masa Islam, apabila mereka faqih fid-ddin.”(Muttafaq ‘alaih). Juga, sabda Nabi saw: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya pandai mengenai agama (yufaqqih-hu fid-din) dan ia diilhami PetunjukNYa.” (Muttafaq ‘alaih).

Kedua petunjuk Rasulullah saw itu sangat menarik untuk kita cermati. Bahwa, manusia itu laksana barang tambang, seperti emas dan perak. Allah memang menciptakan manusia dengan kualitas dasar dan potensi yang sama. Ada yang dikaruniai kecerdasan super tinggi seperti Imam Syafii, al-Ghazai, Ibn Rusyd, Ibn Sina, BJ Habibie, dan sebagainya. Ada juga yang diberi potensi kecerdasan sedang-sedang saja. Ada juga yang diberi amanah ringan, berupa tingkat kecerdasan yang sangat rendah. Dengan perbedaan potensi itulah roda kehidupan manusia bisa berjalan.

Allah berfirman: Tsumma latus’alunna yaumaidzin ‘anin-na’im. (Sungguh kalian akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat nanti atas segala nikmat (yang Kami berikan)).

Orang-orang yang dikaruniai nikmat kecerdasan mendapatkan amanah yang lebih berat ketimbang orang yang kecerdasannya lebih rendah. Orang yang mendapatkan nikmat kekayaan, akan berbeda tanggung jawabnya dengan yang hidupnya serba kekurangan.

Karena itulah, orang yang dikaruniai potensi kecerdasan tinggi memiliki tanggung jawab keilmuan yang lebih tinggi dari orang lain dengan potensi kecerdasan di bawahnya. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, bahwa manusia adalah laksana barang tambang. Manusia yang kualitasnya emas, di masa jahiliyah, akan menjadi emas juga di masa Islam. Dengan syarat, dia faham agama (mutafaqih fid-din). Sebab, orang yang faham agama adalah salah satu ciri tanda kebaikan yang dimilikinya. Lihatlah bagaimana seorang Umar bin Khathab, Khalid bin Walid, Amr bin Ash, dan sebagainya, yang sebelumnya adalah tokoh-tokoh musyrik Arab lalu menjadi orang-orang hebat setelah mereka memahami Islam dengan baik.

Maka, adalah sudah sepatutnya jika seorang mahasiswa Muslim memahami ulumuddin dengan baik dan juga memahami ilmu-ilmu empiris-rasional yang bisa dijadikan sebagai bekal untuk membangun kemandirian dirinya di masa mendatang. Untuk mewujudkan itu, pemerintah berkewajiban memberikan jalan agar mahasiswa Muslim memahami ilmu pengetahuan secara proporsional.

Struktur kurikulum di “Perguruan Tinggi Umum” yang mengajarkan Pendidikan Agama Islam (PAI) hanya 2 SKS selama masa kuliah. Itu sangat jauh dari kurikulum ideal, dalam perspektif Islam. Seharusnya mahasiswa Muslim diberi kesempatan untuk melaksanakan kewajibannya menuntut ilmu agama dengan memadai. Sekali lagi, ini adalah kewajiban pemerintah sebagai pelaksanaan UU Pendidikan Tinggi.

Pada titik inilah kita bisa memahami, bahwa realitasnya, Pendidikan Tinggi kita masih dihegemoni dengan pola pikir sekuler yang menjauhkan para mahasiswa Muslim untuk mendapatkan ilmu secara benar dan proporsional. Dalam kondisi seperti ini, menjadi kewajiban orangtua dan calon mahasiswa Muslim untuk memahami konsep ilmu dalam Islam. Bahwa, kewajiban utama seorang Muslim adalah mencari ilmu (thalabul ilmi). Kuliah di Perguruan Tinggi harus dimaknai sebagai salah bentuk thalabul ilmi. Karena itu, pertanyaan yang tepat bukan “kuliah dimana?” tetapi yang tepat adalah “ilmu apa yang wajib saya pelajari?”

Dengan memahami konsep ilmu dalam Islam, seorang mahasiswa Muslim yang belajar di Fakultas Kedokteran Hewan, Teknik Arsitektur, dan sebagainya, akan paham ilmu-ilmu apa lagi yang wajib ia pelajari di luar kurikulum resmi di kampusnya? Sesuai dengan potensi dan kesempatannya, si mahasiswa wajib mempelajari ilmu-ilmu yang dapat meningkatkan dan menjaga keimanannya, untuk menjalankan ibadah dengan benar, dan juga untuk membekali dirinya dengan berbagai kemampuan yang menjadikannya se
bagai juru dakwah yang mumpuni.

Dari sinilah kita memahami betapa pentingnya para orangtua memahami konsep ilmu dan ilmu pendidikan Islam. Tujuannya, agar ia dapat mendidik atau mengarahkan pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tuntunan Islam. Dalam istilah Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendidikan adalah proses ‘ta’dib’ yang bertujuan melahirkan manusia beradab. Untuk itu, sangat penting memahami konsep adab dalam Islam, agar tujuan pendidikan dapat tercapai.

Jurnal Islamia-Republika (16/5/2013) kerjasama INSISTS-Republika, menurunkan laporan utama sebanyak tiga halaman tentang kurikulum pendidikan yang baik dalam Islam. Salah satu artikel yang menarik ditulis oleh Muhammad Ardiansyah berjudul “Kurikulum Adab dalam Syair Imam Syafii.” Artikel itu menarik untuk kita simak, sebagai bekal kita dan para orangtua, juga calon mahasiswa yang akan menuntut ilmu.

Berikut ini beberapa adab dalam mencari ilmu dalam syair-syair Imam Syafi’i yang dikutip dari Kitab Diwân al-Imâm al-Syâfi’i karya Muhammad Abdurrahim (Beirut:Dar al-Fikr, 1995).

(1) Ikhlas Karena Allah: “Siapa menuntut ilmu untuk meraih kebahagiaan negeri akhirat; ia kan beruntung meraih kemuliaan dari Allah yang Maha Pemberi Petunjuk; Maka dia pun akan meraih kebaikan yang berasal dari hamba-Nya”

(2) Meninggalkan Perbuatan Dosa: “Aku mengadu kepada Wakî’ tentang kelemahan hafalanku; ia pun memberikan nasehat Agar aku meninggalkan maksiat; Ia memberitahuku pula bahwa ilmu itu cahaya; dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang maksiat.”

(3) Menuntut Ilmu Sejak Dini: “Siapa yang kehilangan waktu belajar pada waktu mudanya; takbirkan dia empat kali; anggap saja ia sudah mati. Seorang pemuda akan berarti apabila ia berilmu dan bertaqwa; Jika dua hal itu tiada, pemuda pun tak bermakna lagi.”

(4) Mencatat Setiap Ilmu yang dipelajari: “Ilmu itu bagaikan binatang buruan, dan menulis adalah pengikatnya; ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat; Sebab diantara bentuk kebodohan, engkau memburu seekor rusa; lalu kau biarkan rusa itu bebas begitu saja.”

(5) Sabar Dibimbing Guru: “Sabarlah dengan sikap guru yang terasa pahit di hatimu; sebab kegagalan itu disebabkan meninggalkan guru. Barangsiapa yang tak mau merasakan pahitnya menuntut ilmu sesaat; sepanjang hidupnya ia akan menjadi orang hina karena kebodohannya.”

(6) Manajemen Waktu yang Baik: “Takkan ada seorang pun yang akan mencapai seluruh ilmu; takkan ada, meskipun ia terus berusaha seribu tahun lamanya. Sesungguhnya ilmu itu bagaikan lautan yang sangat dalam, sebab itu ambilah semua yang terbaik dari ilmu yang ada.”

(7) Menikmati Ilmu yang Dipelajari: “Malam-malamku untuk mempelajari ilmu terasa lebih indah daripada bersentuhan dengan wanita cantik dan aroma parfum. Mata penaku yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertasku lebih nikmat daripada bercinta dan bercumbu. Menepuk debu-debu yang menempel di lembaran-lembara kertasku lebih indah suaranya daripada tepukan rebana gadis jelita.”

(8) Bergaul dengan Orang Berilmu dan Saleh: “Bergaullah dengan orang-orang berilmu dan bertemanlah dengan orang-orang saleh diantara mereka; sebab berteman dengan mereka sangat bermanfaat dan bergaul dengan mereka akan membawa keuntungan. Janganlah kau merendahkan mereka dengan pandanganmu; sebab mereka seperti bintang yang memberi petunjuk, tak ada bintang yang seperti mereka

(9) Mengembara Mencari Ilmu: “Mengembaralah! Engkau akan mendapat sahabat-sahabat pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup adalah dalam bekerja keras. Saya berpendapat bahwa air jika tetap di suatu tempat, ia akan busuk. Jika ia mengalir barulah ia bersih, dan kalau tidak mengalir akan menjadi kotor. Singa, jika tidak keluar dari sarangnya, ia tak akan dapat makan. Anak panah jika tak meluncur dari busurnya ia takkan mengena.”

(10) Menghargai Pendapat Orang Lain: “Jika anda benar-benar memiliki ilmu dan pemahaman tentang ikhtilaf ulama dulu dan sekarang. Maka hadapilah lawan diskusimu dengan tenang dan bijak; jangan sombong dan keras kepala

(11) Tak Pernah Puas dengan Ilmunya: “Setiap
aku mendapat pelajaran dari masa, setiap itu pula aku tahu segala kekurangan akalku. Setiap ilmuku bertambah Setiap itu pula bertambah pengetahuanku akan kebodohanku.”

Demikianlah adab mencari ilmu rumusan Imam Syafii rahimahullah, yang kiranya bisa dijadikan panduan oleh para mahasiswa menuntut ilmu, dimana pun ia kuliah. Semoga bermanfaat. Amin.*/Kuala Lumpur, 21 Mei 2013