KEBANGSAAN DAN KEADILAN
Oleh:
Dr. Syamsuddin Arif - Direktur Eksekutif INSISTS
Ribuan mahasiswa dan dosen Universitas Yale di Connecticut, Amerika Serikat, "demo" memprotes iklim kampus yang dirasa makin hari semakin rasis (the racially charged climate on campus), demikian laporan surat kabar New York Times baru-baru ini (16/11/2015). Mereka menuntut perlakuan yang lebih adil terhadap semua warga kampus yang bukan kulit putih. Perguruan tinggi itu diminta bersikap lebih terbuka kepada orang dari semua bangsa, baik itu keturunan Anglo-Saxon, Hispanik, AfroAmerika, Semit (Yahudi dan Arab), maupun Asia (keturunan Jepang, Vietnam, Tionghoa, India dan sebagainya).
Sementara koran Perancis Le Monde (10/11/2015) merekam perdebatan intelektual yang meratapi ketiadaan faktor pemersatu dan penyeimbang berbagai kecenderungan nasionalisme saat ini (de réunir tout le continent et de contrebalancer les inclinaisons nationalistes de l'époque). Ini karena arus imigran yang membanjiri Eropa, Amerika dan Australia memunculkan persoalan besar antara integrasi dan isolasi, antara pluralisme dan rasisme. Tampak semakin kabur batasan antara rasa kebangsaan dan perbedaan keturunan.
Sejak lama para ilmuwan menganggap ras sebagai fakta biologis. Konon, ras manusia terdiri dari tiga puak induk: kaukasoid, negroid, dan mongoloid. Masing-masing dikatakan berasal dari kawasan di mana mereka dulunya tinggal, yaitu pegunungan Kaukasus di selatan Russia, wilayah Nigeria di Afrika, dan daerah Mongolia di Asia. Tipologi ini senada dengan legenda Israiliyat yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa di dunia adalah keturunan dari tiga anak Nabi Nuh: Sam (nenek-moyang ras Timur Tengah), Ham (nenek-moyang ras Afrika) dan Yafits (nenek-moyang ras Eropa).
Namun, mengatakan bahwa ras adalah fakta biologis sebenarnya membawa konsekuensi politik yang saling bertentangan. Tipologi di atas secara tidak langsung menganggap bangsa-bangsa selain kulit putih, kulit hitam, dan kulit kuning sebagai bukan manusia. Sebab, kalau orang-orang berkulit kemerahan dan sawo matang juga dianggap manusia, maka tindakan menindas, memperbudak, dan menghabisi mereka (seperti yang dilakukan terhadap penduduk asli benua Amerika dan Australia) adalah sangat biadab dan tidak bisa dibenarkan sama sekali. Di sisi lain, kalau perbedaan ras memang karena faktor keturunan, maka orang dapat mengklaim bahwa rasnya lebih unggul dari ras lain. Akan tetapi jalan pikiran semacam ini jika diikuti akan mengulang tragedi kebiadaban yang pernah terjadi saat Reconquista di Spanyol, di era kolonial, pada zaman Nazi di Jerman, dan sepanjang konflik di Palestina, sehingga muncul istilah pembunuhan ras (genocide) dan pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Kendati dianggap tabu, masalah ke bangsaan dan keturunan mesti dibicarakan secara jujur dan jernih. Ini karena ia terkait dengan persoalan kekuasaan dan dominasi politik, struktur dan hirarki, serta sejarah panjang perjalanan manusia, terutama relasi dan interaksi antar kelompok satu sama lain. Alasan kebangsaan dan keturunan acapkali dijadikan pembenaran cara sistematis suatu kelompok untuk menguasai ranah kekuasaan, peluang karir tertentu dan membatasi atau bahkan memutus sama sekali akses kelompok lain. Jika sudah ada hirarki di antara mereka, maka ini akan menentukan kelompok mana yang lebih berkuasa dan unggul dibanding kelompok lain. Kelompok yang dominan lalu menganggap diri mereka berhak memperoleh 'jatah singa' dan menikmati berbagai keistimewaan di atas penderitaan kelompok lain dengan dukungan sejumlah lembaga dan seperangkat aturan hukum yang sengaja dicipta demi menyangga dan melanggengkan sistem rasis tersebut.
Rasa kebangsaan yang tak terkendali tidak hanya merasuki para penguasa dan politisi, akan tetapi juga para cendekiawan dan akademisi. Sebut saja, misalnya, Joseph Arthur de Gobineau yang mengatakan dalam bukunya (Essai sur l'inégalité des races humaines) bahwa semua peradaban berasal dari ras kulit putih yaitu bangsa Arya. Atau pendapat sejumlah sarjana orientalis yang melihat tasawwuf sebagi reaksi intelektual bangsa Arya terhadap domi
Oleh:
Dr. Syamsuddin Arif - Direktur Eksekutif INSISTS
Ribuan mahasiswa dan dosen Universitas Yale di Connecticut, Amerika Serikat, "demo" memprotes iklim kampus yang dirasa makin hari semakin rasis (the racially charged climate on campus), demikian laporan surat kabar New York Times baru-baru ini (16/11/2015). Mereka menuntut perlakuan yang lebih adil terhadap semua warga kampus yang bukan kulit putih. Perguruan tinggi itu diminta bersikap lebih terbuka kepada orang dari semua bangsa, baik itu keturunan Anglo-Saxon, Hispanik, AfroAmerika, Semit (Yahudi dan Arab), maupun Asia (keturunan Jepang, Vietnam, Tionghoa, India dan sebagainya).
Sementara koran Perancis Le Monde (10/11/2015) merekam perdebatan intelektual yang meratapi ketiadaan faktor pemersatu dan penyeimbang berbagai kecenderungan nasionalisme saat ini (de réunir tout le continent et de contrebalancer les inclinaisons nationalistes de l'époque). Ini karena arus imigran yang membanjiri Eropa, Amerika dan Australia memunculkan persoalan besar antara integrasi dan isolasi, antara pluralisme dan rasisme. Tampak semakin kabur batasan antara rasa kebangsaan dan perbedaan keturunan.
Sejak lama para ilmuwan menganggap ras sebagai fakta biologis. Konon, ras manusia terdiri dari tiga puak induk: kaukasoid, negroid, dan mongoloid. Masing-masing dikatakan berasal dari kawasan di mana mereka dulunya tinggal, yaitu pegunungan Kaukasus di selatan Russia, wilayah Nigeria di Afrika, dan daerah Mongolia di Asia. Tipologi ini senada dengan legenda Israiliyat yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa di dunia adalah keturunan dari tiga anak Nabi Nuh: Sam (nenek-moyang ras Timur Tengah), Ham (nenek-moyang ras Afrika) dan Yafits (nenek-moyang ras Eropa).
Namun, mengatakan bahwa ras adalah fakta biologis sebenarnya membawa konsekuensi politik yang saling bertentangan. Tipologi di atas secara tidak langsung menganggap bangsa-bangsa selain kulit putih, kulit hitam, dan kulit kuning sebagai bukan manusia. Sebab, kalau orang-orang berkulit kemerahan dan sawo matang juga dianggap manusia, maka tindakan menindas, memperbudak, dan menghabisi mereka (seperti yang dilakukan terhadap penduduk asli benua Amerika dan Australia) adalah sangat biadab dan tidak bisa dibenarkan sama sekali. Di sisi lain, kalau perbedaan ras memang karena faktor keturunan, maka orang dapat mengklaim bahwa rasnya lebih unggul dari ras lain. Akan tetapi jalan pikiran semacam ini jika diikuti akan mengulang tragedi kebiadaban yang pernah terjadi saat Reconquista di Spanyol, di era kolonial, pada zaman Nazi di Jerman, dan sepanjang konflik di Palestina, sehingga muncul istilah pembunuhan ras (genocide) dan pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Kendati dianggap tabu, masalah ke bangsaan dan keturunan mesti dibicarakan secara jujur dan jernih. Ini karena ia terkait dengan persoalan kekuasaan dan dominasi politik, struktur dan hirarki, serta sejarah panjang perjalanan manusia, terutama relasi dan interaksi antar kelompok satu sama lain. Alasan kebangsaan dan keturunan acapkali dijadikan pembenaran cara sistematis suatu kelompok untuk menguasai ranah kekuasaan, peluang karir tertentu dan membatasi atau bahkan memutus sama sekali akses kelompok lain. Jika sudah ada hirarki di antara mereka, maka ini akan menentukan kelompok mana yang lebih berkuasa dan unggul dibanding kelompok lain. Kelompok yang dominan lalu menganggap diri mereka berhak memperoleh 'jatah singa' dan menikmati berbagai keistimewaan di atas penderitaan kelompok lain dengan dukungan sejumlah lembaga dan seperangkat aturan hukum yang sengaja dicipta demi menyangga dan melanggengkan sistem rasis tersebut.
Rasa kebangsaan yang tak terkendali tidak hanya merasuki para penguasa dan politisi, akan tetapi juga para cendekiawan dan akademisi. Sebut saja, misalnya, Joseph Arthur de Gobineau yang mengatakan dalam bukunya (Essai sur l'inégalité des races humaines) bahwa semua peradaban berasal dari ras kulit putih yaitu bangsa Arya. Atau pendapat sejumlah sarjana orientalis yang melihat tasawwuf sebagi reaksi intelektual bangsa Arya terhadap domi
nasi Semit yang dalam hal ini diwakili oleh bangsa Arab dengan ajaran Islamnya. Tak terkecuali saintis Inggris Charles Darwin yang pernah menyatakan bahwa bangsa-bangsa beradab bisa dipastikan bakal melenyapkan dan menggantikan bangsa-bangsa biadab di seluruh dunia: : "… the civilized races of man will almost certainly extermi nate and replace the savage races throughout the world" (Lihat: The Descent of Man, Appleton New York 1888, hlm. 159-60).
Dan jika ditelusuri lebih jauh, ternyata sikap dan perilaku rasisme telah mendapatkan justifikasi sejak zaman Yunani kuno. Menurut Aristoteles, penduduk daerah dingin (Eropa) pada umumnya kurang trampil dan kurang cerdas, sementara orang-orang Asia kurang mampu berpikir dan bersaing sehingga mereka terus menerus dijajah dan diperbudak. Adalah 'kehen dak alam', katanya, bahwa manusia tercipta berbeda-beda bentuk dan warna kulitnya. Maka wajar saja bila sebagian manusia terlahir sebagai orang merdeka, sementara sebagian yang lain terlahir untuk menjadi budak. Pembagian ini sudah adil, ujarnya (Lihat: Aristotle, Politics, terj. Ernest Barker, Oxford University Press, 1961, buku I/1, hlm. 3; VII/7, hlm. 296; dan I/5, hlm. 13-14).
Kita juga bisa membaca Herodotus yang menulis bahwa orang-orang Ethiopia (kulit hitam) suka makan ular, kadal dan binatang melata lainnya, tidak dapat berbicara layaknya manusia dan hanya mampu mengeluarkan suara mengarut seperti bunyi kelelawar (Lihat The Greek Historians, terj. George Rawlinson, Random House New York 1942, bab IV, hlm. 188-291). Gabung an tiga hal, yaitu ciri-ciri fisik, mentalitas, dan merasa paling hebat (superiority complex), sering yang dijadikan acuan oleh sebagian ilmuan untuk membangun teori keunggulan ras dan menjustifikasi berbagai penindasan dan peperangan.
Pengamat sosial Joe R. Feagin (dalam jurnal American Sociological Review 1991, vol. 56, hlm. 101-16) melaporkan ternyata orang-orang kulit hitam di Amerika hingga saat ini masih sering mengalami pelecehan meski mereka sudah tergolong kelas menengah. Pelecehan itu bisa berupa perlakuan diskriminasif di tempat kerja, sikap maupun pelayanan beda di tempat perbelanjaan, hingga ucapan atau kata-kata yang menyiratkan penghinaan.
Perspektif Islam
Berbeda dengan kitab Perjanjian Lama (Kejadian 9:18-25) yang secara tidak langsung mengesahkan rasisme, kitab suci al- Qur'an berusaha mengikis habis segala bentuk kezaliman berbasis ras. Bahwa manusia diciptakan berbeda-beda rupa dan warna kulitnya, masing-masing mempunyai bahasa dan budaya sendiri, semua itu adalah petanda dari Sang Pencipta untuk direnungkan oleh mereka yang berilmu (ar- Rum 22).
Kebhinnekaan ras, etnis, dan suku semestinya mendorong manusia agar saling mengenal, saling menghargai, saling melindungi (al-Hujurat 13), bekerjasama, tolong menolong dan bahu-membahu dalam meraih kebahagiaan dan mengatasi masalah bersama (al-Ma'idah 2). Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh ras atau silsilah nenek-moyangnya, tetapi oleh volume ketaqwaannya (QS al-Hujurat 13). Tidak dibolehkan mengejek, melecehkan atau menjatuhkan satu sama lain. Juga dihimbau agar jangan saling mencurigai dan mencari-cari kesalahan atau kelemahan orang lain (QS al-Hujurat 11-12). Ayat terakhir ini meletakkan dasar anti pencemaran nama baik (defamation law).
Ditekankan bahwa kita mesti berlaku adil dan baik kepada manusia, apapun ras nya, dan tidak boleh berbuat zalim, munkar, keji serta melampaui batas (an-Nahl 90). Jangan sampai kebencian, prejudice atau fanatisme kelompok mempengaruhi kita sehingga bertindak zalim (al-Ma'idah 8).
Haram hukumnya membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan (bi-ghayri haqq). Tidak dibenarkan membunuh orang yang lemah (wanita, anak-anak, golongan lanjut usia), orang tak bersalah apa-apa, dan orang yang sudah menyerah. Membunuh seorang manusia yang bukan pembunuh (bi-ghayri nafs) dan bukan pula perusak adalah sama dengan membunuh seluruh manusia (al-Ma'iidah 32). Jangankan melakukan pembunuhan, sedang bersikap angkuh atau menganggap diri super dengan jelas dikecam (al-Isra' 38).
Satu-satunya alasan untuk merasa ba
Dan jika ditelusuri lebih jauh, ternyata sikap dan perilaku rasisme telah mendapatkan justifikasi sejak zaman Yunani kuno. Menurut Aristoteles, penduduk daerah dingin (Eropa) pada umumnya kurang trampil dan kurang cerdas, sementara orang-orang Asia kurang mampu berpikir dan bersaing sehingga mereka terus menerus dijajah dan diperbudak. Adalah 'kehen dak alam', katanya, bahwa manusia tercipta berbeda-beda bentuk dan warna kulitnya. Maka wajar saja bila sebagian manusia terlahir sebagai orang merdeka, sementara sebagian yang lain terlahir untuk menjadi budak. Pembagian ini sudah adil, ujarnya (Lihat: Aristotle, Politics, terj. Ernest Barker, Oxford University Press, 1961, buku I/1, hlm. 3; VII/7, hlm. 296; dan I/5, hlm. 13-14).
Kita juga bisa membaca Herodotus yang menulis bahwa orang-orang Ethiopia (kulit hitam) suka makan ular, kadal dan binatang melata lainnya, tidak dapat berbicara layaknya manusia dan hanya mampu mengeluarkan suara mengarut seperti bunyi kelelawar (Lihat The Greek Historians, terj. George Rawlinson, Random House New York 1942, bab IV, hlm. 188-291). Gabung an tiga hal, yaitu ciri-ciri fisik, mentalitas, dan merasa paling hebat (superiority complex), sering yang dijadikan acuan oleh sebagian ilmuan untuk membangun teori keunggulan ras dan menjustifikasi berbagai penindasan dan peperangan.
Pengamat sosial Joe R. Feagin (dalam jurnal American Sociological Review 1991, vol. 56, hlm. 101-16) melaporkan ternyata orang-orang kulit hitam di Amerika hingga saat ini masih sering mengalami pelecehan meski mereka sudah tergolong kelas menengah. Pelecehan itu bisa berupa perlakuan diskriminasif di tempat kerja, sikap maupun pelayanan beda di tempat perbelanjaan, hingga ucapan atau kata-kata yang menyiratkan penghinaan.
Perspektif Islam
Berbeda dengan kitab Perjanjian Lama (Kejadian 9:18-25) yang secara tidak langsung mengesahkan rasisme, kitab suci al- Qur'an berusaha mengikis habis segala bentuk kezaliman berbasis ras. Bahwa manusia diciptakan berbeda-beda rupa dan warna kulitnya, masing-masing mempunyai bahasa dan budaya sendiri, semua itu adalah petanda dari Sang Pencipta untuk direnungkan oleh mereka yang berilmu (ar- Rum 22).
Kebhinnekaan ras, etnis, dan suku semestinya mendorong manusia agar saling mengenal, saling menghargai, saling melindungi (al-Hujurat 13), bekerjasama, tolong menolong dan bahu-membahu dalam meraih kebahagiaan dan mengatasi masalah bersama (al-Ma'idah 2). Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh ras atau silsilah nenek-moyangnya, tetapi oleh volume ketaqwaannya (QS al-Hujurat 13). Tidak dibolehkan mengejek, melecehkan atau menjatuhkan satu sama lain. Juga dihimbau agar jangan saling mencurigai dan mencari-cari kesalahan atau kelemahan orang lain (QS al-Hujurat 11-12). Ayat terakhir ini meletakkan dasar anti pencemaran nama baik (defamation law).
Ditekankan bahwa kita mesti berlaku adil dan baik kepada manusia, apapun ras nya, dan tidak boleh berbuat zalim, munkar, keji serta melampaui batas (an-Nahl 90). Jangan sampai kebencian, prejudice atau fanatisme kelompok mempengaruhi kita sehingga bertindak zalim (al-Ma'idah 8).
Haram hukumnya membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan (bi-ghayri haqq). Tidak dibenarkan membunuh orang yang lemah (wanita, anak-anak, golongan lanjut usia), orang tak bersalah apa-apa, dan orang yang sudah menyerah. Membunuh seorang manusia yang bukan pembunuh (bi-ghayri nafs) dan bukan pula perusak adalah sama dengan membunuh seluruh manusia (al-Ma'iidah 32). Jangankan melakukan pembunuhan, sedang bersikap angkuh atau menganggap diri super dengan jelas dikecam (al-Isra' 38).
Satu-satunya alasan untuk merasa ba
ngga yang dibenarkan ialah bila kita sungguh-sungguh beriman (Al 'Imran 139), tanpa memandang ras, keturunan, warna kulit atau bentuk rupa. "Berbuat baiklah pada kedua orangtua, keluarga dekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun tetangga jauh, teman sejawat, musafir, dan hamba sahayamu, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri" (an-Nisa' 36). Dan simaklah sabda Kanjeng Nabi saw: "Mereka [budak-budak itu] adalah saudarasaudaramu (hum ikhwanukum) dan milik yang dititipkan Allah kepadamu. Maka siapa yang saudaranya dititipkan padanya, hendaklah ia memberinya makanan yang ia makan, pakaian yang ia pakai, dan janganlah membebani mereka dengan pekerjaan berat yang tak sanggup mereka lakukan. Kalaupun terpaksa menyuruh, maka bantulah mereka mengerjakannya" (hadis riwayat Imam Muslim). Semoga rasa kebangsaan kita dipimpin oleh rasa keadilan.
----------
Dimuat di Republika Online 19 Nopember 2015
----------
Dimuat di Republika Online 19 Nopember 2015
NASEHAT AL-GHAZALI UNTUK PELAJAR
Oleh:
Henri Shalahuddin, M.A.
(Peneliti INSISTS)
"Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiyat, demikian petuah masyhur guru Imam Syafii, Waqi. Ibnu Mas'ud r.a., salah satu Sahabat Nabi saw pernah berwasiat, bahwa hakekat ilmu itu bukanlah menumpuknya wawasan pengetahuan pada diri seseorang, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang bersemayam dalam hati. Kedudukan ilmu dalam Islam sangatlah penting. Rasulullah saw., bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi hingga semut dalam tanah, serta ikan di lautan benar-benar mendoakan bagi pengajar kebaikan". (HR. Tirmidzi).
Mengingat kedudukannya yang penting itu, maka menuntut ilmu adalah ibadah, memahaminya adalah wujud takut kepada Allah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan mengingatnya adalah tasbih. Dengan ilmu, manusia akan mengenal Allah dan menyembah-Nya. Dengan ilmu, mereka akan bertauhid dan memuja-Nya. Dengan ilmu, Allah meninggikan derajat segolongan manusia atas lainnya dan menjadikan mereka pelopor peradaban.
Oleh karena itu, sebelum menuntut ilmu, Imam al-Ghazali mengarahkan agar para pelajar membersihkan jiwanya dari akhlak tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah kalbu dan salah satu bentuk pendekatan batin kepada Allah. Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali dengan membersihkan diri dari hadas dan kotoran, demikian juga ibadah batin dan pembangunan kalbu dengan ilmu, akan selalu gagal jika berbagai perilaku buruk dan akhlak tercela tidak dibersihkan. Sebab kalbu yang sehat akan menjamin keselamatan manusia, sedangkan kalbu yang sakit akan menjerumuskannya pada kehancuran yang abadi. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah dengan mengikuti hawa nafsu. Sedangkan kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma'rifatullah), dan vitaminnya adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal).
Sebagai amalan ibadah, maka mencari ilmu harus didasari niat yang benar dan ditujukan untuk memperoleh manfaat di akherat. Sebab niat yang salah akan menyeret kedalam neraka, Rasulullah saw., bersabda: "Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR. Ibnu Majah).
Diawali dengan niat yang benar, maka bertambahlah kualitas hidayah Allah pada diri para ilmuwan. "Barang siapa bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia hanya semakin jauh dari Allah", demikian nasehat kaum bijak. Maka saat ditanya tentang fenomena kaum intelektual dan fuqaha yang berakhlak buruk, Imam al-Ghazali berkata: "Jika Anda mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakekat ilmu akherat, niscaya Anda akan paham bahwa yang sebenarnya menyebabkan ulama menyibukkan diri dengan ilmu itu bukan semata-mata karena mereka butuh ilmu itu, tapi karena mereka membutuhkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah".
Selanjutnya beliau menjelaskan makna nasehat kaum bijak pandai bahwa 'kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali harus diniatkan untuk Allah', berarti bahwa "Ilmu itu tidak mau membuka hakekat dirinya pada kami, namun yang sampai kepada kami hanyalah lafaz-lafaznya dan definisinya". (Ihya' 'Ulumiddin).
Ringkasnya, Imam al-Ghazali menekankan bahwa ilmu saja tanpa amal adalah junun (gila) dan amal saja tanpa ilmu adalah takabbur (sombong). Junun berarti berjuang berdasarkan tujuan yang salah. Sedangkan takabbur berarti tanpa memperdulikan aturan dan kaedahnya, meskipun tujuannya benar. Maka dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu; ilmu harus berdimensi iman; dan amal mesti berdasarkan ilmu. Inilah sejatinya konsep integritas pendidikan dalam Islam yang berbasis ta'dib. Ta'dib berarti proses pembentukan adab pada diri peserta didik. Maka dengan konsep pendidikan seperti ini, akan menghasilkan pelajar yang beradab, baik pada dirinya sendiri, lingkungannya, gurunya maupun pa
Oleh:
Henri Shalahuddin, M.A.
(Peneliti INSISTS)
"Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiyat, demikian petuah masyhur guru Imam Syafii, Waqi. Ibnu Mas'ud r.a., salah satu Sahabat Nabi saw pernah berwasiat, bahwa hakekat ilmu itu bukanlah menumpuknya wawasan pengetahuan pada diri seseorang, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang bersemayam dalam hati. Kedudukan ilmu dalam Islam sangatlah penting. Rasulullah saw., bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi hingga semut dalam tanah, serta ikan di lautan benar-benar mendoakan bagi pengajar kebaikan". (HR. Tirmidzi).
Mengingat kedudukannya yang penting itu, maka menuntut ilmu adalah ibadah, memahaminya adalah wujud takut kepada Allah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan mengingatnya adalah tasbih. Dengan ilmu, manusia akan mengenal Allah dan menyembah-Nya. Dengan ilmu, mereka akan bertauhid dan memuja-Nya. Dengan ilmu, Allah meninggikan derajat segolongan manusia atas lainnya dan menjadikan mereka pelopor peradaban.
Oleh karena itu, sebelum menuntut ilmu, Imam al-Ghazali mengarahkan agar para pelajar membersihkan jiwanya dari akhlak tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah kalbu dan salah satu bentuk pendekatan batin kepada Allah. Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali dengan membersihkan diri dari hadas dan kotoran, demikian juga ibadah batin dan pembangunan kalbu dengan ilmu, akan selalu gagal jika berbagai perilaku buruk dan akhlak tercela tidak dibersihkan. Sebab kalbu yang sehat akan menjamin keselamatan manusia, sedangkan kalbu yang sakit akan menjerumuskannya pada kehancuran yang abadi. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah dengan mengikuti hawa nafsu. Sedangkan kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma'rifatullah), dan vitaminnya adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal).
Sebagai amalan ibadah, maka mencari ilmu harus didasari niat yang benar dan ditujukan untuk memperoleh manfaat di akherat. Sebab niat yang salah akan menyeret kedalam neraka, Rasulullah saw., bersabda: "Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR. Ibnu Majah).
Diawali dengan niat yang benar, maka bertambahlah kualitas hidayah Allah pada diri para ilmuwan. "Barang siapa bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia hanya semakin jauh dari Allah", demikian nasehat kaum bijak. Maka saat ditanya tentang fenomena kaum intelektual dan fuqaha yang berakhlak buruk, Imam al-Ghazali berkata: "Jika Anda mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakekat ilmu akherat, niscaya Anda akan paham bahwa yang sebenarnya menyebabkan ulama menyibukkan diri dengan ilmu itu bukan semata-mata karena mereka butuh ilmu itu, tapi karena mereka membutuhkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah".
Selanjutnya beliau menjelaskan makna nasehat kaum bijak pandai bahwa 'kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali harus diniatkan untuk Allah', berarti bahwa "Ilmu itu tidak mau membuka hakekat dirinya pada kami, namun yang sampai kepada kami hanyalah lafaz-lafaznya dan definisinya". (Ihya' 'Ulumiddin).
Ringkasnya, Imam al-Ghazali menekankan bahwa ilmu saja tanpa amal adalah junun (gila) dan amal saja tanpa ilmu adalah takabbur (sombong). Junun berarti berjuang berdasarkan tujuan yang salah. Sedangkan takabbur berarti tanpa memperdulikan aturan dan kaedahnya, meskipun tujuannya benar. Maka dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu; ilmu harus berdimensi iman; dan amal mesti berdasarkan ilmu. Inilah sejatinya konsep integritas pendidikan dalam Islam yang berbasis ta'dib. Ta'dib berarti proses pembentukan adab pada diri peserta didik. Maka dengan konsep pendidikan seperti ini, akan menghasilkan pelajar yang beradab, baik pada dirinya sendiri, lingkungannya, gurunya maupun pa
da Penciptanya. Sehingga terjadi korelasi antara aktivitas pendidikan, orientasi dan tujuannya.
Ketika seseorang mempelajari ilmu-ilmu kedokteran, kelautan, tehnik, komputer dan ilmu-ilmu fardhu kifayah lainnya, maka mereka tidak memfokuskan niatnya pada nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, politik, atau tujuan pragmatis sesaat lainnya. Tapi kesemuanya ini dipelajarinya dalam rangka meningkatkan keimanan dan bermuara pada pengabdian pada Sang Pencipta. Disorientasi pendidikan diawali dengan hilangnya integritas nilai-nilai ta'dib dalam pendidikan (sekularisasi). Sekularisasi dalam dunia pendidikan berjalan dengan dua hal: (a) menempatkan ilmu-ilmu fardhu 'ain yang dianggap tidak menghasilkan nilai ekonomi dalam skala prioritas terakhir, atau dihapus sama sekali. Sehingga mahasiswa kedokteran misalnya, tidak perlu dikenalkan pelajaran-pelajaran agama. (b) mengutamakan pencapaian-pencapaian formalitas akademik. Sehingga keberhasilan seorang pelajar hanya ditentukan dari hasil nilai ujian yang menjadi ukuran pencapaian ilmu dan keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.
Rusaknya dunia pendidikan terjadi ketika ilmu diletakkan secara salah sebagai sarana untuk mengejar syahwat duniawi. Padahal Ali bin Abi Talib r.a., telah mengingatkan: "Barang siapa yang kecenderungannya hanya pada apa yang masuk kedalam perutnya, maka nilainya tidak lebih baik dari apa yang keluar dari perutnya". Wallahu a'lam wa ahkam bis shawab. (***)
Ketika seseorang mempelajari ilmu-ilmu kedokteran, kelautan, tehnik, komputer dan ilmu-ilmu fardhu kifayah lainnya, maka mereka tidak memfokuskan niatnya pada nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, politik, atau tujuan pragmatis sesaat lainnya. Tapi kesemuanya ini dipelajarinya dalam rangka meningkatkan keimanan dan bermuara pada pengabdian pada Sang Pencipta. Disorientasi pendidikan diawali dengan hilangnya integritas nilai-nilai ta'dib dalam pendidikan (sekularisasi). Sekularisasi dalam dunia pendidikan berjalan dengan dua hal: (a) menempatkan ilmu-ilmu fardhu 'ain yang dianggap tidak menghasilkan nilai ekonomi dalam skala prioritas terakhir, atau dihapus sama sekali. Sehingga mahasiswa kedokteran misalnya, tidak perlu dikenalkan pelajaran-pelajaran agama. (b) mengutamakan pencapaian-pencapaian formalitas akademik. Sehingga keberhasilan seorang pelajar hanya ditentukan dari hasil nilai ujian yang menjadi ukuran pencapaian ilmu dan keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.
Rusaknya dunia pendidikan terjadi ketika ilmu diletakkan secara salah sebagai sarana untuk mengejar syahwat duniawi. Padahal Ali bin Abi Talib r.a., telah mengingatkan: "Barang siapa yang kecenderungannya hanya pada apa yang masuk kedalam perutnya, maka nilainya tidak lebih baik dari apa yang keluar dari perutnya". Wallahu a'lam wa ahkam bis shawab. (***)
Historical Fact and Fiction
Penulis:
Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas
Sinopsis:
Selama puluhan tahun, Prof S.M.N. al-Attas sudah dikenal sebagai salah satu pendekar dalam sejarah Melayu. Sejak tahun 1980-an, bukunya, Islam and Secularism, sudah diterjemahkan dalam puluhan bahasa. Buku ini sudah menjelaskan proses Islamisasi di wilayah Nusantara. Bukunya yang lain, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4). Kedua buku ini sudah mengklarifikasi dan mengkritik sejumlah pendapat para orientalis tentang perkembangan Islam di Nusantara.
Kini, diusianya yang hampir menginjak 80 tahun, Prof al-Attas menerbitkan sebuah buku yang sangat penting tentang Islam dan Sejarah Melayu. Buku ini berjudul Historical Fact and Fiction. Buku ini sungguh luar biasa. Bisa dikatakan, Prof al-Attas membalik berbagai pandangan umum tentang sejarah Islam dan Melayu yang sudah dianggap mapan, sebagaimana yang selama ini diteorikan oleh sejarawan Barat dan lainnya. Bahkan, mungkin inilah satu bentuk interpretasi sejarah yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Dalam pengantarnya, Prof. al-Attas menyatakan: “My interpretation differs fundamentally from that which is generally accepted by historians of the Malay world. It is perhaps the first time that such an interpretation has ever been attempted.” (hal.xi).
Al-Attas, misalnya, berpendapat: “The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself.. Historians of the Archipelago have never considered language as an important source material for the study of history.” (hal. xvi).
Sebuah analisis menarik dilakukan al-Attas terhadap munculnya kata “kafur” dalam bahasa Arab dan “kapur” dalam bahasa Melayu. Ditambah dengan fakta-fakta sejarah di sekitar era Nabi Muhammad saw, serta cerita Hikayat Raja Pasai, al-Attas berpendapat, bahwa Islamisasi di wilayah Indonesia (diawali dari Pulau Sumatra) sudah langsung diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw. Hikayat Raja Pasai memang menyebutkan adanya perintah Nabi saw kepada sahabat-sahabat beliau, agar mereka menyebarkan Islam ke suatu tempat bernama “Samudra”.
Kata al-Attas: “The prophet was also a statesman and his knowledge of the region obtained from Arab seafarers who had been there would surely have been sufficiently obvious for him to urge the sending of missionaries there to convert the peoples of the region to Islam in order to secure Muslim economic domination as a world power. Unlike European powers that came much later for the same reason, the Muslim did not colonize, but convert. It is known in the Tang period (671) that Arab settlements ruled by an Arab King or prince (malik) already existed in Sumatra on the western coast of the island. The first proper Muslim kingdom in Sumatra was founded probably during the 8th and 9th centuries…” (hal. 3-4).
Banyak temuan-temuan dan analisis al-Attas dalam buku ini yang membalik pendapat para sejarawan Barat selama ini tentang sejarah perkembangan Islam di wilayah Melayu Nusantara. Dengan referensi yang kaya dan ketajaman analisisnya, pakar pemikiran Islam, saat peluncuran buku ini di UTM, 9 Setember 2011 lalu, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud menilai, bahwa dalam dunia Islam kontemporer, hanya dua orang sarjana yang benar-benar dapat dimartabatkan sebagai ahli Falsafah Sejarah. Pertama adalah Almarhum Malek Bennabi dari Algeria (meninggal 1973) dan kedua dalah Syed Muhamad Naquib al-Attas.
-----------------------------------------
Historical Fact and Fiction
Penulis:
Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Bahasa Inggris. Buku Import
Penerbit UTM, Malaysia
Harga: 980.000,-
Stock: 2 eks.
Lux, hardcover.
Kondisi: Baru
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997. 👇
Penulis:
Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas
Sinopsis:
Selama puluhan tahun, Prof S.M.N. al-Attas sudah dikenal sebagai salah satu pendekar dalam sejarah Melayu. Sejak tahun 1980-an, bukunya, Islam and Secularism, sudah diterjemahkan dalam puluhan bahasa. Buku ini sudah menjelaskan proses Islamisasi di wilayah Nusantara. Bukunya yang lain, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4). Kedua buku ini sudah mengklarifikasi dan mengkritik sejumlah pendapat para orientalis tentang perkembangan Islam di Nusantara.
Kini, diusianya yang hampir menginjak 80 tahun, Prof al-Attas menerbitkan sebuah buku yang sangat penting tentang Islam dan Sejarah Melayu. Buku ini berjudul Historical Fact and Fiction. Buku ini sungguh luar biasa. Bisa dikatakan, Prof al-Attas membalik berbagai pandangan umum tentang sejarah Islam dan Melayu yang sudah dianggap mapan, sebagaimana yang selama ini diteorikan oleh sejarawan Barat dan lainnya. Bahkan, mungkin inilah satu bentuk interpretasi sejarah yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Dalam pengantarnya, Prof. al-Attas menyatakan: “My interpretation differs fundamentally from that which is generally accepted by historians of the Malay world. It is perhaps the first time that such an interpretation has ever been attempted.” (hal.xi).
Al-Attas, misalnya, berpendapat: “The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself.. Historians of the Archipelago have never considered language as an important source material for the study of history.” (hal. xvi).
Sebuah analisis menarik dilakukan al-Attas terhadap munculnya kata “kafur” dalam bahasa Arab dan “kapur” dalam bahasa Melayu. Ditambah dengan fakta-fakta sejarah di sekitar era Nabi Muhammad saw, serta cerita Hikayat Raja Pasai, al-Attas berpendapat, bahwa Islamisasi di wilayah Indonesia (diawali dari Pulau Sumatra) sudah langsung diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw. Hikayat Raja Pasai memang menyebutkan adanya perintah Nabi saw kepada sahabat-sahabat beliau, agar mereka menyebarkan Islam ke suatu tempat bernama “Samudra”.
Kata al-Attas: “The prophet was also a statesman and his knowledge of the region obtained from Arab seafarers who had been there would surely have been sufficiently obvious for him to urge the sending of missionaries there to convert the peoples of the region to Islam in order to secure Muslim economic domination as a world power. Unlike European powers that came much later for the same reason, the Muslim did not colonize, but convert. It is known in the Tang period (671) that Arab settlements ruled by an Arab King or prince (malik) already existed in Sumatra on the western coast of the island. The first proper Muslim kingdom in Sumatra was founded probably during the 8th and 9th centuries…” (hal. 3-4).
Banyak temuan-temuan dan analisis al-Attas dalam buku ini yang membalik pendapat para sejarawan Barat selama ini tentang sejarah perkembangan Islam di wilayah Melayu Nusantara. Dengan referensi yang kaya dan ketajaman analisisnya, pakar pemikiran Islam, saat peluncuran buku ini di UTM, 9 Setember 2011 lalu, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud menilai, bahwa dalam dunia Islam kontemporer, hanya dua orang sarjana yang benar-benar dapat dimartabatkan sebagai ahli Falsafah Sejarah. Pertama adalah Almarhum Malek Bennabi dari Algeria (meninggal 1973) dan kedua dalah Syed Muhamad Naquib al-Attas.
-----------------------------------------
Historical Fact and Fiction
Penulis:
Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Bahasa Inggris. Buku Import
Penerbit UTM, Malaysia
Harga: 980.000,-
Stock: 2 eks.
Lux, hardcover.
Kondisi: Baru
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997. 👇
Muslimlah Daripada Liberal
Penulis: Adian Husaini
Sinopsis:
Inggris merupakan negeri liberal. Karya ini adalah kisah perjalanan seorang Adian Husaini selama di Inggris yang mengulas tentang kehidupan umat Muslim di sana.
Secara apik Adian Husaini menggambarkan kondisi umat di sana. Dalam balutan kata-kata. ia potret masjid-masjid yang bertumbuhan. Muslimin lndonesia yang berbaur dengan kaum Musliman dari penjuru dunia lainnya. para penduduk lokal yang berduyun-duyun masuk lslam. serta sebagian lslamofobia yang masih tersisa. Adian Husaini berhasil memotret itu semua.
--------------------------------------
Muslimlah Daripada Liberal
Penulis: Adian Husaini
Harga Rp. 65.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
Penulis: Adian Husaini
Sinopsis:
Inggris merupakan negeri liberal. Karya ini adalah kisah perjalanan seorang Adian Husaini selama di Inggris yang mengulas tentang kehidupan umat Muslim di sana.
Secara apik Adian Husaini menggambarkan kondisi umat di sana. Dalam balutan kata-kata. ia potret masjid-masjid yang bertumbuhan. Muslimin lndonesia yang berbaur dengan kaum Musliman dari penjuru dunia lainnya. para penduduk lokal yang berduyun-duyun masuk lslam. serta sebagian lslamofobia yang masih tersisa. Adian Husaini berhasil memotret itu semua.
--------------------------------------
Muslimlah Daripada Liberal
Penulis: Adian Husaini
Harga Rp. 65.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
ISLAM DAN SEKULARISME
Penulis Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Buku ini terdiri dari 5 Bab; Pertama, Latar Belakang Kristen Barat Masa Kini, Kedua, Pengertian Sekular-Sekularisasi-Sekulerisme, Ketiga, Islam Sebagai Faham Agama dan Asas Akhlak, Keempat, Dilema Muslim Kontemprer, dan Kelima, Dewesternisasi Ilmu yang dilanjutkan dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer sebagai antitesa dari Westernisasi Konsep-konsep Ilmu dari Barat.
Satu hal yang saya kagumi dari pemikiran dan perenungan yang mendalam dari Prof. Al-Attas adalah identifikasi masalah, pemetaan problem, metodologi, dan solusi alternatif bagi kebuntuan dan kesimpangsiuran (confusion) pemikiran Islam kontemporer, yang sistematis, kokoh dan konsisten. Al-Attas sanggup 'membaca' dan mengantisipasi dilema umat Islam yang kini baru dirasakan begitu kencang berhembus, sebelum ada seorang cendekiawan Islam pun yang memikirkannya, sejak 33 tahun silam. Tren yang berkembang saat itu, para cendekiawan muslim berlomba-lomba mengadopsi pemikiran sekularisme dan liberalisme, dan mengajukan justifikasinya dari dalil-dalil Islam. Ironis sekali! Namun, Al-Attas tidak tunduk kepada tren itu, ia justru memformulasikan jalan keluar atas dilema pemikiran Islam itu dengan matang dan ilmiah, berdiri tegak di atas pandangan dunia (worldview) Islam yang kokoh. Dengan demikian pemikiran Islam tidak perlu minder di hadapan konsep-konsep Barat, baik modern maupun postmodern, bahkan dapat menjadikan pemikiran Islam sebagai alternatif utama untuk mengatasi pelbagai dampak destruktif dari pemikiran Barat.
Al-Attas tak hanya canggih membaca unsur-unsur pembentuk kebudayaan Barat modern dengan implikasi epistemologisnya terhadap ilmu pengetahuan kontemporer, namun juga sangat brilian menganalisis konsep-konsep kunci seperti konsep agama, konsep wahyu dan konsep kitab suci, sehingga dengan memosisikannya dengan benar, maka umat Islam tak perlu mengalami proses sejarah yang dialami peradaban Barat modern dan postmodern yang dinamai Sekularisasi.
-Fahmi Salim-
------------------------------
ISLAM DAN SEKULARISME
Penulis Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Harga 139rb.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...👇
Penulis Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Buku ini terdiri dari 5 Bab; Pertama, Latar Belakang Kristen Barat Masa Kini, Kedua, Pengertian Sekular-Sekularisasi-Sekulerisme, Ketiga, Islam Sebagai Faham Agama dan Asas Akhlak, Keempat, Dilema Muslim Kontemprer, dan Kelima, Dewesternisasi Ilmu yang dilanjutkan dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer sebagai antitesa dari Westernisasi Konsep-konsep Ilmu dari Barat.
Satu hal yang saya kagumi dari pemikiran dan perenungan yang mendalam dari Prof. Al-Attas adalah identifikasi masalah, pemetaan problem, metodologi, dan solusi alternatif bagi kebuntuan dan kesimpangsiuran (confusion) pemikiran Islam kontemporer, yang sistematis, kokoh dan konsisten. Al-Attas sanggup 'membaca' dan mengantisipasi dilema umat Islam yang kini baru dirasakan begitu kencang berhembus, sebelum ada seorang cendekiawan Islam pun yang memikirkannya, sejak 33 tahun silam. Tren yang berkembang saat itu, para cendekiawan muslim berlomba-lomba mengadopsi pemikiran sekularisme dan liberalisme, dan mengajukan justifikasinya dari dalil-dalil Islam. Ironis sekali! Namun, Al-Attas tidak tunduk kepada tren itu, ia justru memformulasikan jalan keluar atas dilema pemikiran Islam itu dengan matang dan ilmiah, berdiri tegak di atas pandangan dunia (worldview) Islam yang kokoh. Dengan demikian pemikiran Islam tidak perlu minder di hadapan konsep-konsep Barat, baik modern maupun postmodern, bahkan dapat menjadikan pemikiran Islam sebagai alternatif utama untuk mengatasi pelbagai dampak destruktif dari pemikiran Barat.
Al-Attas tak hanya canggih membaca unsur-unsur pembentuk kebudayaan Barat modern dengan implikasi epistemologisnya terhadap ilmu pengetahuan kontemporer, namun juga sangat brilian menganalisis konsep-konsep kunci seperti konsep agama, konsep wahyu dan konsep kitab suci, sehingga dengan memosisikannya dengan benar, maka umat Islam tak perlu mengalami proses sejarah yang dialami peradaban Barat modern dan postmodern yang dinamai Sekularisasi.
-Fahmi Salim-
------------------------------
ISLAM DAN SEKULARISME
Penulis Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Harga 139rb.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...👇
Ukhuwwah Islamiyyah
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Memahami makna dan pelaksanaan persatuan Islam mesti merujuk kepada konsep din yang utuh. Artinya pandangan dikotomis dalam Islam, seperti dunia-akhirat, jiwa-raga, material-spiritual, obyektif-subyektif, juga tekstual-kontekstual dan lain sebagainya harus dihindari.
Model pemahaman yang dikotomis biasanya dilakukan oleh orientalis atau sekuleris, dan sudah barang tentu tidaklah menjamin pemahaman aspek yang lain apalagi keseluruhannya. Oleh sebab itu masalah persatuan umat harus diposisikan sebagai by-product dari proses ber-Islam dan harus dipahami dalam keseluruhan ke-Islaman, ke-Imanan dan ke-Ihsanan.
Oleh sebab itu aspek konseptual dalam ber-Islam harus secara fard ‘ain, sudah dipahami sebelum kita memahami konsep ‘persatuan’ umat Islam”. Jika tidak, kita akan terjerumus pada persoalan-persoalan furu’, persoalan teknikal, problem lokal dan hanya akan menghasilkan penyelesaian yang temporal dan parsial yang ujungnya adalah perselisihan.
Untuk dapat memahami esensi persatuan dalam Islam kita harus menggunakan terminologi yang tepat yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah. Karena setiap kata dalam al-Qur’an dan Sunnah memiliki dimensi yang luas yang sarat dengan nilai.
Kalau kita teliti al-Qur’an dengan seksama kita tidak akan mendapati kata-kata ‘persatuan’ atau ittihad. Karena kata-kata persatuan saja tidak memiliki nilai dan tujuan, artinya tidak ada kaitan langsung dengan Islam. Maka dari itu tidak terdapat perintah dalam al-Qur’an yang berbunyi ittahidu (bersatulah). Terminologi persatuan yang sarat dengan nilai itu dapat dirujuk pada ayat dibawah ini:
Dan berpeganglah (i’tasimu) kamu sekalian dengan dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai-cerai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan (allafa) antara hati kamu, lalu mejadikan kamu dengan nikmat Allah menjadi bersaudara, (ikhwana) dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran (3) : 103).
Pada ayat diatas kita dapati 3 kata kunci yang penting yaitu: i’tasimu, allafa dan ikhwana (ulfah, I’tisom dan ukhuwwah) yang kesemuanya merupakan suatu kesatuan proses.
‘Asoma artinya menjaga, memproteksi, mempertahankan. I’tasoma bi artinya menjaga agar tetap pada keadaan itu; mencari perlindungan, bertahan pada sesuatu (Hanswer, Arabic-English, Dictionary).
Tafsir dari kata-kata I’tasimu diatas ialah berpeganglah kamu pada kitab atau agamaNya (Dr. Muhammad Hasan al-Hamsi, al-Qur’an, Tafsir wa Bayan). Maka dari itu kata-kata I’tasoma atau I’tisom memiliki dimensi yang luas dan sarat dengan nilai, karena ia mengandung arti ber-Islam itu sendiri.
Kebalikan I’tisom (berpegang pada tali Allah) adalah tafarruq (berpecah belah). Dalam konteks sosial keagamaan kita makna ayat ini dapat dipahami dari 2 sisi: Pertama, Berarti bahwa agar tidak berpecah belah umat Islam harus menjaga, mempertahankan dan berpegang sekaligus pada Kitab dan Sunnah. Kedua, Ketika umat Islam telah berselisih atau berpecah maka penyelesaiannya adalah kembali kepada Kitab dan Sunnah Rasulullah.
Jika orang Islam telah ber-i’tisom maka selanjutnya Allah menjinakkan hati-hati mereka, sehingga dalam diri mereka timbul rasa kesamaan: Kesamaan din, aqidah dan syari’at. Dari kesamaan ini kemudian Allah menurunkan nikmatnya yaitu ukhuwwah atau persaudaraan. Ini dipertegas dalam al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” Dalam hadis juga dijelaskan bahwa: “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya”.
Dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan bahwa terminologi yang tepat untuk persatuan umat Islam adalah ukhuwwah yang asasnya adalah kesamaan dalam ber-i’tisom: kesamaan tempat kembali yaitu kitab dan sunnah, kesamaan tujuan mempertahankan agama Allah dan kesamaan segala sesuatu yang berkaitan dengan ber-islam itu sendiri.
Karena menggunakan istilah dari hubungan sedarah maka watak dasar u
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Memahami makna dan pelaksanaan persatuan Islam mesti merujuk kepada konsep din yang utuh. Artinya pandangan dikotomis dalam Islam, seperti dunia-akhirat, jiwa-raga, material-spiritual, obyektif-subyektif, juga tekstual-kontekstual dan lain sebagainya harus dihindari.
Model pemahaman yang dikotomis biasanya dilakukan oleh orientalis atau sekuleris, dan sudah barang tentu tidaklah menjamin pemahaman aspek yang lain apalagi keseluruhannya. Oleh sebab itu masalah persatuan umat harus diposisikan sebagai by-product dari proses ber-Islam dan harus dipahami dalam keseluruhan ke-Islaman, ke-Imanan dan ke-Ihsanan.
Oleh sebab itu aspek konseptual dalam ber-Islam harus secara fard ‘ain, sudah dipahami sebelum kita memahami konsep ‘persatuan’ umat Islam”. Jika tidak, kita akan terjerumus pada persoalan-persoalan furu’, persoalan teknikal, problem lokal dan hanya akan menghasilkan penyelesaian yang temporal dan parsial yang ujungnya adalah perselisihan.
Untuk dapat memahami esensi persatuan dalam Islam kita harus menggunakan terminologi yang tepat yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah. Karena setiap kata dalam al-Qur’an dan Sunnah memiliki dimensi yang luas yang sarat dengan nilai.
Kalau kita teliti al-Qur’an dengan seksama kita tidak akan mendapati kata-kata ‘persatuan’ atau ittihad. Karena kata-kata persatuan saja tidak memiliki nilai dan tujuan, artinya tidak ada kaitan langsung dengan Islam. Maka dari itu tidak terdapat perintah dalam al-Qur’an yang berbunyi ittahidu (bersatulah). Terminologi persatuan yang sarat dengan nilai itu dapat dirujuk pada ayat dibawah ini:
Dan berpeganglah (i’tasimu) kamu sekalian dengan dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai-cerai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan (allafa) antara hati kamu, lalu mejadikan kamu dengan nikmat Allah menjadi bersaudara, (ikhwana) dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran (3) : 103).
Pada ayat diatas kita dapati 3 kata kunci yang penting yaitu: i’tasimu, allafa dan ikhwana (ulfah, I’tisom dan ukhuwwah) yang kesemuanya merupakan suatu kesatuan proses.
‘Asoma artinya menjaga, memproteksi, mempertahankan. I’tasoma bi artinya menjaga agar tetap pada keadaan itu; mencari perlindungan, bertahan pada sesuatu (Hanswer, Arabic-English, Dictionary).
Tafsir dari kata-kata I’tasimu diatas ialah berpeganglah kamu pada kitab atau agamaNya (Dr. Muhammad Hasan al-Hamsi, al-Qur’an, Tafsir wa Bayan). Maka dari itu kata-kata I’tasoma atau I’tisom memiliki dimensi yang luas dan sarat dengan nilai, karena ia mengandung arti ber-Islam itu sendiri.
Kebalikan I’tisom (berpegang pada tali Allah) adalah tafarruq (berpecah belah). Dalam konteks sosial keagamaan kita makna ayat ini dapat dipahami dari 2 sisi: Pertama, Berarti bahwa agar tidak berpecah belah umat Islam harus menjaga, mempertahankan dan berpegang sekaligus pada Kitab dan Sunnah. Kedua, Ketika umat Islam telah berselisih atau berpecah maka penyelesaiannya adalah kembali kepada Kitab dan Sunnah Rasulullah.
Jika orang Islam telah ber-i’tisom maka selanjutnya Allah menjinakkan hati-hati mereka, sehingga dalam diri mereka timbul rasa kesamaan: Kesamaan din, aqidah dan syari’at. Dari kesamaan ini kemudian Allah menurunkan nikmatnya yaitu ukhuwwah atau persaudaraan. Ini dipertegas dalam al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” Dalam hadis juga dijelaskan bahwa: “Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim lainnya”.
Dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan bahwa terminologi yang tepat untuk persatuan umat Islam adalah ukhuwwah yang asasnya adalah kesamaan dalam ber-i’tisom: kesamaan tempat kembali yaitu kitab dan sunnah, kesamaan tujuan mempertahankan agama Allah dan kesamaan segala sesuatu yang berkaitan dengan ber-islam itu sendiri.
Karena menggunakan istilah dari hubungan sedarah maka watak dasar u
khuwwah hampir sama dengan hubungan sedarah, seperti yang ditegaskan dalam hadis Nabi:
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang mukmin dari orang mukmin yang lain, darahnya, hartanya, kehormatannya dan prasangka dengan prasangka buruk. (Hadith Riwayat, al-Hakim dari Ibn Abbas dari Ibn Abbas)
Watak seseorang dalam melindungi nyawa, harta, marwah keluarganya serta sikap husnudzdzan adalah “watak asasi manusia”, dan jika ini dilakukan karena alasan kesamaan agama ia menjadi ukhuwwah. Bahkan eratnya hubungan ukhuwwah ini oleh nabi diumpamakan sebagai suatu badan atau bangunan. Sabdanya:
Seumpama saling kasih mengasihi, saling berlemah lembut, dan saling sayang menyayangi orang beriman (mu’min) itu laksana satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit niscaya membuat anngota tubuh lainnya merasa sakit, demam dan tidak dapat tidur semalaman. Orang mu’min bagi mu’min yang lain adalah seperti bangunan, yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (H.R. Bukhari dan Muslim )
Hadis diatas menunjukkan bahwa gambaran hubungan ukhuwwah diantara orang-orang beriman adalah benar-benar asasi dan alami. Allah tidak mengkaitkan perpecahan dengan persatuan, tapi dengan persaudaraan yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan.
Perintah-perintah untuk tidak berpecah belah selalu dihubungkan dengan keimanan dan ketakwaan: Sebab itu bertakwalah pada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu. (al-Anfal: 1, lihat juga an-Nisa: 59, Ali Imran: 103).
Jadi, tidak ber-ukhuwwah tidak saja berarti tidak Islami tapi juga tidak manusiawi. Dan ini menunjukkan bahwa konsep Islam benar-benar sesuai dengan fitrah manusia, yaitu makhluk yang mengakui keberadaan Tuhan. Kemudian dengan fitrah-nya itu Allah menyempurnakannya dengan din yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu ukhuwwah secara umum meliputi tiga dimensi penting:
Pertama, dimensi keimanan (I’tiqadiyyah) yaitu dasar, asas atau tali pengikat segala bentuk hubungan ukhuwwah baik antar individu maupun antar individu dan masyarakat. Asas itu adalah i’tisom yang telah disebutkan diatas, yaitu hubungan dengan Allah sang pencipta.
Hubungan ini dasarnya adalah iman. Disini setiap individu dituntut untuk memahami dan memiliki ilmu berukhuwwah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan seandainya kamu berselisih akan sesuatu, maka kembalilah pada Allah dan Rasulnya, jika beriman kepada Allah dan hari akhir (An-Nisa’ : 59).
Persahabatan yang tidak karena Allah dan tidak merujuk kepada perintahNya bukanlah ukhuwwah. Karena itu istilah ukhuwwah wathaniyyah tidak relevan dan keluar dari konteks ini. (Hadis “Mencintai negara adalah sebagian dari iman” adalah hadis Dhaif).
Kedua, dimensi individual (fardiyyah) yakni ukhuwwah dalam bentuk nyata hubungan antar individu di masyarakat. Didalamnya terdapat etika hubungan, sikap mental, tutur kata, solidaritas, belas kasih, timbang rasa dan lain-lain yang telah disebutkan di atas.
Keseluruhan bentuk hubungan individu ini tidak lepas dari asas dimensi keimanan. Karena itu Rasulullah menjelaskan hubungan antara iman dan sikap-sikap kita dalam ber-ukhuwwah dalam sabdanya: Yang paling kokoh pertalian iman ialah kasih sayang pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah (HR.Ahmad)
Ketiga, dimensi sosial (ijtima’iyyah), yakni ukhuwwah dalam bentuk hubungan individu dengan masyarakatnya. Disini kesalehan individual harus disempurnakan dengan kesalehan sosial.
Bersikap lemah lembut dengan tetangga, kawan, saudara dan lain-lain tidak cukup jika tidak disertai kepedulian terhadap urusan umat Islam secara keseluruhan. Sabdanya: Barangsiapa tidak perduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka. (H.R. al-Hakim dari Hudzaifah dan ath-Thabrani dari Abu Dzar).
Jadi esensi ber-ukhuwwah adalah menyeluruh (syamil) mengandung proses beriman dan bertakwa, berbelas kasih antara individu dan peduli terhadap keadaan umat secara keseluruhan.
Ketiga dimensi ini tidak dapat dipisah-pisahkan, ia adalah suatu kesatuan. Jika terjadi perselisihan dalam proses pengamalan ketiga dimensi ini, maka penyelesaian psikologisnya adalah denga
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas orang mukmin dari orang mukmin yang lain, darahnya, hartanya, kehormatannya dan prasangka dengan prasangka buruk. (Hadith Riwayat, al-Hakim dari Ibn Abbas dari Ibn Abbas)
Watak seseorang dalam melindungi nyawa, harta, marwah keluarganya serta sikap husnudzdzan adalah “watak asasi manusia”, dan jika ini dilakukan karena alasan kesamaan agama ia menjadi ukhuwwah. Bahkan eratnya hubungan ukhuwwah ini oleh nabi diumpamakan sebagai suatu badan atau bangunan. Sabdanya:
Seumpama saling kasih mengasihi, saling berlemah lembut, dan saling sayang menyayangi orang beriman (mu’min) itu laksana satu jasad, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit niscaya membuat anngota tubuh lainnya merasa sakit, demam dan tidak dapat tidur semalaman. Orang mu’min bagi mu’min yang lain adalah seperti bangunan, yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. (H.R. Bukhari dan Muslim )
Hadis diatas menunjukkan bahwa gambaran hubungan ukhuwwah diantara orang-orang beriman adalah benar-benar asasi dan alami. Allah tidak mengkaitkan perpecahan dengan persatuan, tapi dengan persaudaraan yang berasaskan keimanan dan ketaqwaan.
Perintah-perintah untuk tidak berpecah belah selalu dihubungkan dengan keimanan dan ketakwaan: Sebab itu bertakwalah pada Allah dan perbaikilah hubungan diantara kamu. (al-Anfal: 1, lihat juga an-Nisa: 59, Ali Imran: 103).
Jadi, tidak ber-ukhuwwah tidak saja berarti tidak Islami tapi juga tidak manusiawi. Dan ini menunjukkan bahwa konsep Islam benar-benar sesuai dengan fitrah manusia, yaitu makhluk yang mengakui keberadaan Tuhan. Kemudian dengan fitrah-nya itu Allah menyempurnakannya dengan din yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu ukhuwwah secara umum meliputi tiga dimensi penting:
Pertama, dimensi keimanan (I’tiqadiyyah) yaitu dasar, asas atau tali pengikat segala bentuk hubungan ukhuwwah baik antar individu maupun antar individu dan masyarakat. Asas itu adalah i’tisom yang telah disebutkan diatas, yaitu hubungan dengan Allah sang pencipta.
Hubungan ini dasarnya adalah iman. Disini setiap individu dituntut untuk memahami dan memiliki ilmu berukhuwwah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Dan seandainya kamu berselisih akan sesuatu, maka kembalilah pada Allah dan Rasulnya, jika beriman kepada Allah dan hari akhir (An-Nisa’ : 59).
Persahabatan yang tidak karena Allah dan tidak merujuk kepada perintahNya bukanlah ukhuwwah. Karena itu istilah ukhuwwah wathaniyyah tidak relevan dan keluar dari konteks ini. (Hadis “Mencintai negara adalah sebagian dari iman” adalah hadis Dhaif).
Kedua, dimensi individual (fardiyyah) yakni ukhuwwah dalam bentuk nyata hubungan antar individu di masyarakat. Didalamnya terdapat etika hubungan, sikap mental, tutur kata, solidaritas, belas kasih, timbang rasa dan lain-lain yang telah disebutkan di atas.
Keseluruhan bentuk hubungan individu ini tidak lepas dari asas dimensi keimanan. Karena itu Rasulullah menjelaskan hubungan antara iman dan sikap-sikap kita dalam ber-ukhuwwah dalam sabdanya: Yang paling kokoh pertalian iman ialah kasih sayang pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah (HR.Ahmad)
Ketiga, dimensi sosial (ijtima’iyyah), yakni ukhuwwah dalam bentuk hubungan individu dengan masyarakatnya. Disini kesalehan individual harus disempurnakan dengan kesalehan sosial.
Bersikap lemah lembut dengan tetangga, kawan, saudara dan lain-lain tidak cukup jika tidak disertai kepedulian terhadap urusan umat Islam secara keseluruhan. Sabdanya: Barangsiapa tidak perduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka. (H.R. al-Hakim dari Hudzaifah dan ath-Thabrani dari Abu Dzar).
Jadi esensi ber-ukhuwwah adalah menyeluruh (syamil) mengandung proses beriman dan bertakwa, berbelas kasih antara individu dan peduli terhadap keadaan umat secara keseluruhan.
Ketiga dimensi ini tidak dapat dipisah-pisahkan, ia adalah suatu kesatuan. Jika terjadi perselisihan dalam proses pengamalan ketiga dimensi ini, maka penyelesaian psikologisnya adalah denga
n apa yang disebut ulfah (saling menjinakkan).
Jika seorang muslim tidak mau dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya maka ia tidak dapat dapat berukhuwwah. Kemampuan dan kemauan sesorang untuk menjinakkan dan dijinakkan hatinya adalah tanda keimanannya.
Sebab dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya yang terlebih dekat kedudukannya kepadaKu ialah yang terbaik akhlaknya dari pada kamu, yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana mereka itu menjinakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka". (H.R. Tabrani dari Jabir). Lihat hadis-hadis senada dibawah ini :
Sabda Nabi yang lain: “Orang mukmin itu ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya. (HR. Ahmad dan Tabrani dari Abu Hurairah dan sahih).
Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan amat dimarahi oleh Allah diantara kamu ialah orang-orang yang menyebar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara. (H.R. Tabrani dari Abu Hurairah).
Maka sangat bertentangan dengan hadis ini jika seseorang itu dianggap dekat dengan Allah tapi tidak dapat dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya.
Pemahaman kita terhadap makna ukhuwwah belumlah menunjukkan kesatuan tekstual dan kontekstual. Para cendekiawan kita dan juga masyarakat luas, di satu sisi, masih terjebak pada analisa terhadap realitas konflik umat Islam, dan tanpa mencoba mencari letak kesalahannya dari asas dimana bangunan ukhuwwah itu berdiri.
Dan di sisi lain kita terjebak pada pemahaman nas (al-Qur’an dan Hadis) yang sempit dan sepihak yang terkadang disesuaikan dengan kepentingan golongan. Yang terakhir ini dalam al-Qur’an dicap sebagai: Yucharrifun al-kalima ‘an mawadi’ihi. (Mengalihkan kata-kata dari konteksnya).
Ukhuwwah antar sesama umat Islam di Indonesia masih tergolong lemah, hal ini disebabkan oleh kurang sempurnanya pemahaman masyarakat terhadap esensi ukhuwwah yang pokok utamanya adalah aqidah.
Dimensi keimanan atau aqidah dalam ber-ukhuwwah masih tertutupi oleh aspek syari’at-nya, sehingga yang lebih sering muncul adalah masalah furu’iyyah dan ini mengandung potensi konflik sangat besar.
Akibatnya dimensi individual dan sosial dalam berukhuwwah terpengaruh oleh aspek syariat tadi. Fiqih yang dipelajari dan dikembangkan adalah Fiqih dalam hubungannya dengan ahkam al-syakhsiyyah dan masih sedikit yang berhubungan dengan ahwal ijtima’iyyah atau siyayasah syar’iyyah dimana ukhuwwah Islamiyyah merupakan aspek terpentingnya. Apa yang kemudian nampak adalah bahwa kesalehan individual lebih diutamakan daripada kesalehan sosial, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan.
Kurangnya aktifitas silaturrahmi diantara pemimpin umat Islam memberi sumbangan terbesar kepada lemahnya ukhuwwah ini. Karena dalam masyarakat yang paternalistik ini sikap masyarakat adalah produk dari sikap pemimpinnya. Karena itu proses ulfah menjadi sulit dilaksanakan.
Maka dari itu yang sangat urgen dilaksanakan saat ini adalah memperbanyak frekuensi silaturrahmi antar pemimpin golongan, partai dan kelompok, dengan agenda saling memahami, mencari kesamaan dari perbedaan-perbedaan yang ada, dengan niat yang ikhlas, lillah.
Jika seorang muslim tidak mau dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya maka ia tidak dapat dapat berukhuwwah. Kemampuan dan kemauan sesorang untuk menjinakkan dan dijinakkan hatinya adalah tanda keimanannya.
Sebab dalam hadis disebutkan: “Sesungguhnya yang terlebih dekat kedudukannya kepadaKu ialah yang terbaik akhlaknya dari pada kamu, yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, dimana mereka itu menjinakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka". (H.R. Tabrani dari Jabir). Lihat hadis-hadis senada dibawah ini :
Sabda Nabi yang lain: “Orang mukmin itu ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya. (HR. Ahmad dan Tabrani dari Abu Hurairah dan sahih).
Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan amat dimarahi oleh Allah diantara kamu ialah orang-orang yang menyebar fitnah, yang mencerai-beraikan diantara sesama saudara. (H.R. Tabrani dari Abu Hurairah).
Maka sangat bertentangan dengan hadis ini jika seseorang itu dianggap dekat dengan Allah tapi tidak dapat dijinakkan hatinya dan tidak mau menjinakkan hati saudaranya.
Pemahaman kita terhadap makna ukhuwwah belumlah menunjukkan kesatuan tekstual dan kontekstual. Para cendekiawan kita dan juga masyarakat luas, di satu sisi, masih terjebak pada analisa terhadap realitas konflik umat Islam, dan tanpa mencoba mencari letak kesalahannya dari asas dimana bangunan ukhuwwah itu berdiri.
Dan di sisi lain kita terjebak pada pemahaman nas (al-Qur’an dan Hadis) yang sempit dan sepihak yang terkadang disesuaikan dengan kepentingan golongan. Yang terakhir ini dalam al-Qur’an dicap sebagai: Yucharrifun al-kalima ‘an mawadi’ihi. (Mengalihkan kata-kata dari konteksnya).
Ukhuwwah antar sesama umat Islam di Indonesia masih tergolong lemah, hal ini disebabkan oleh kurang sempurnanya pemahaman masyarakat terhadap esensi ukhuwwah yang pokok utamanya adalah aqidah.
Dimensi keimanan atau aqidah dalam ber-ukhuwwah masih tertutupi oleh aspek syari’at-nya, sehingga yang lebih sering muncul adalah masalah furu’iyyah dan ini mengandung potensi konflik sangat besar.
Akibatnya dimensi individual dan sosial dalam berukhuwwah terpengaruh oleh aspek syariat tadi. Fiqih yang dipelajari dan dikembangkan adalah Fiqih dalam hubungannya dengan ahkam al-syakhsiyyah dan masih sedikit yang berhubungan dengan ahwal ijtima’iyyah atau siyayasah syar’iyyah dimana ukhuwwah Islamiyyah merupakan aspek terpentingnya. Apa yang kemudian nampak adalah bahwa kesalehan individual lebih diutamakan daripada kesalehan sosial, padahal keduanya tidak bisa dipisahkan.
Kurangnya aktifitas silaturrahmi diantara pemimpin umat Islam memberi sumbangan terbesar kepada lemahnya ukhuwwah ini. Karena dalam masyarakat yang paternalistik ini sikap masyarakat adalah produk dari sikap pemimpinnya. Karena itu proses ulfah menjadi sulit dilaksanakan.
Maka dari itu yang sangat urgen dilaksanakan saat ini adalah memperbanyak frekuensi silaturrahmi antar pemimpin golongan, partai dan kelompok, dengan agenda saling memahami, mencari kesamaan dari perbedaan-perbedaan yang ada, dengan niat yang ikhlas, lillah.
AGAR PARTAI ISLAM MENANG
Oleh: Dr. Adian Husaini
JUMAT (07/03/2014), usai khutbah Jumat di sebuah Masjid di kawasan Cibubur, seorang anak muda mendekati saya, dan bertanya, “Ustad, apakah benar ikut dalam pemilu ini haram hukumnya. Bahkan, ada yang mengatakan, ikut pemilu itu hukumnya kufur, karena berarti terlibat dalam demokrasi, yang merupakan sistem kufur?”
Berulang kali pertanyaan seperti ini saya terima. Benarkah seperti itu? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita ikuti dialog fiktif antara guru dan murid berikut ini. Mudah-mudahan dialog ini bisa kita ambil hikmahnya. Silakan mengikutinya.
Murid: Guru, saya dengar dari berita-berita, partai Islam diramalkan akan kalah dalam Pemilu 2014, bahkan mungkin akan semakin kecil perolehan suaranya. Apa benar begitu, Guru?
Guru: Baik kita sepakati dulu definisi partai Islam adalah partai yang berasaskan Islam. Memang, kalau hanya mendasarkan pada pemberitaan media massa pada umumnya, nasib partai-partai Islam seolah-olah kurang menggembirakan. Suara mereka kalah jauh dibandingkan dengan partai-partai sekuler. Banyak sebab yang diungkapkan. Kalau tidak ada perubahan yang signifikan dalam pembangunan citra partai Islam di tengah masyarakat – entah bagaimana caranya – bukan tidak mungkin perkiraan suara partai-partai Islam itu akan menjadi kenyataan. Dan nanti, akan dikampayekan, “ Lihat tuh… partai Islam sudah tidak laku! Masyarakat sudah lebih memilih partai sekuler!”
Murid: Lalu, apa yang harus dilakukan oleh partai Islam, Guru, agar selamat?
Guru: Saya mengusulkan, sebagai bagian taushiyah sesama Muslim, partai Islam perlu melakukan terobosan besar, tetapi semua itu tetap dilakukan dalam batas-batas etika Islam. Sebab, bagi Muslim, menjadi anggota legislatif itu bukan tujuan utama dan bukan segala-galanya. Saya minta maaf, menurut saya, kurang patut membuat iklan politik dengan bintang yang mengumbar aurat. Tujuan untuk meraih suara dari kalangan tertentu, menurut hemat saya, tidak harus dilakukan dengan cara menampilkan wakil dari kalangan tersebut. Saya paham, salah satu “ironi” dalam demokrasi, adalah tidak adanya penilaian kualitas suara. Yang dinilai hanya kuantitas. Suara kyai sama nilainya dengan suara penjahat. Suara pelacur sama hitungannya dengan suara wanita shalihah. Meskipun begitu, jika kita ingin menarik suara para pelacur tidak sepatutnya menampilkan sosok pelacur aktif sebagai bintang iklan partai Islam. Menurut saya, dan saya yakin, semua aktivis partai Islam sepakat, bahwa keridhaan Allah lebih penting ketimbang jumlah suara.
Murid: Guru, kalau partai Islam tidak dengan tegas menyuarakan Islam, apa masih perlu didukung?
Guru: Mendukung itu banyak bentuknya. Jika kita rajin memberikan taushiyah kepada tokoh-tokoh partai Islam, itu juga suatu dukungan. Begitu juga dengan dukungan doa. Dalam kaitan pemilu, pilihan kita hanya dua saja, ikut pemilu atau tidak. Jika ikut pemilu, maka kita harus memilih. Kita harus memilih yang ada; bukan yang kita inginkan keberadaannya. Nanti, kalau ada pilihan capres-cawapres, kita juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mungkin saja semua calonnya tidak ideal. Misalnya, calon yang satu tidak rajin solat, tetapi memiliki pandangan positif terhadap aspirasi Islam. Calon yang lain, kelihatan cukup rajin shalat, tetapi dikelilingi orang-orang yang sangat tidak aspiratif terhadap cita-cita Islam. Calon yang lain, rajin shalat, tidak korup, tetapi sangat lemah kemampuan intelektual dan leadershipnya sehingga peluang terpilih sangat kecil.
Murid: Kalau seperti itu, siapa yang harus didukung, Guru?
Guru: Sebenarnya, di sinilah tugas partai Islam untuk berjuang menampilkan calon-calon legislatif atau calon presiden yang ideal, sehingga laku dijual di tengah masyarakat. Calon seperti itu perlu disiapkan jauh-jauh sebelumnya. Saya yakin, masih ada tokoh yang layak dicalonkan, meskipun mungkin sekarang belum kelihatan. Dalam hal ini, perlu dipadukan aspek pragmatis dan idealis. Menurut saya, sudah saatnya partai Islam berani untuk mencalonkan sendiri calon presidennya. Pilih orang yang betul-betul mendekati
Oleh: Dr. Adian Husaini
JUMAT (07/03/2014), usai khutbah Jumat di sebuah Masjid di kawasan Cibubur, seorang anak muda mendekati saya, dan bertanya, “Ustad, apakah benar ikut dalam pemilu ini haram hukumnya. Bahkan, ada yang mengatakan, ikut pemilu itu hukumnya kufur, karena berarti terlibat dalam demokrasi, yang merupakan sistem kufur?”
Berulang kali pertanyaan seperti ini saya terima. Benarkah seperti itu? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita ikuti dialog fiktif antara guru dan murid berikut ini. Mudah-mudahan dialog ini bisa kita ambil hikmahnya. Silakan mengikutinya.
Murid: Guru, saya dengar dari berita-berita, partai Islam diramalkan akan kalah dalam Pemilu 2014, bahkan mungkin akan semakin kecil perolehan suaranya. Apa benar begitu, Guru?
Guru: Baik kita sepakati dulu definisi partai Islam adalah partai yang berasaskan Islam. Memang, kalau hanya mendasarkan pada pemberitaan media massa pada umumnya, nasib partai-partai Islam seolah-olah kurang menggembirakan. Suara mereka kalah jauh dibandingkan dengan partai-partai sekuler. Banyak sebab yang diungkapkan. Kalau tidak ada perubahan yang signifikan dalam pembangunan citra partai Islam di tengah masyarakat – entah bagaimana caranya – bukan tidak mungkin perkiraan suara partai-partai Islam itu akan menjadi kenyataan. Dan nanti, akan dikampayekan, “ Lihat tuh… partai Islam sudah tidak laku! Masyarakat sudah lebih memilih partai sekuler!”
Murid: Lalu, apa yang harus dilakukan oleh partai Islam, Guru, agar selamat?
Guru: Saya mengusulkan, sebagai bagian taushiyah sesama Muslim, partai Islam perlu melakukan terobosan besar, tetapi semua itu tetap dilakukan dalam batas-batas etika Islam. Sebab, bagi Muslim, menjadi anggota legislatif itu bukan tujuan utama dan bukan segala-galanya. Saya minta maaf, menurut saya, kurang patut membuat iklan politik dengan bintang yang mengumbar aurat. Tujuan untuk meraih suara dari kalangan tertentu, menurut hemat saya, tidak harus dilakukan dengan cara menampilkan wakil dari kalangan tersebut. Saya paham, salah satu “ironi” dalam demokrasi, adalah tidak adanya penilaian kualitas suara. Yang dinilai hanya kuantitas. Suara kyai sama nilainya dengan suara penjahat. Suara pelacur sama hitungannya dengan suara wanita shalihah. Meskipun begitu, jika kita ingin menarik suara para pelacur tidak sepatutnya menampilkan sosok pelacur aktif sebagai bintang iklan partai Islam. Menurut saya, dan saya yakin, semua aktivis partai Islam sepakat, bahwa keridhaan Allah lebih penting ketimbang jumlah suara.
Murid: Guru, kalau partai Islam tidak dengan tegas menyuarakan Islam, apa masih perlu didukung?
Guru: Mendukung itu banyak bentuknya. Jika kita rajin memberikan taushiyah kepada tokoh-tokoh partai Islam, itu juga suatu dukungan. Begitu juga dengan dukungan doa. Dalam kaitan pemilu, pilihan kita hanya dua saja, ikut pemilu atau tidak. Jika ikut pemilu, maka kita harus memilih. Kita harus memilih yang ada; bukan yang kita inginkan keberadaannya. Nanti, kalau ada pilihan capres-cawapres, kita juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mungkin saja semua calonnya tidak ideal. Misalnya, calon yang satu tidak rajin solat, tetapi memiliki pandangan positif terhadap aspirasi Islam. Calon yang lain, kelihatan cukup rajin shalat, tetapi dikelilingi orang-orang yang sangat tidak aspiratif terhadap cita-cita Islam. Calon yang lain, rajin shalat, tidak korup, tetapi sangat lemah kemampuan intelektual dan leadershipnya sehingga peluang terpilih sangat kecil.
Murid: Kalau seperti itu, siapa yang harus didukung, Guru?
Guru: Sebenarnya, di sinilah tugas partai Islam untuk berjuang menampilkan calon-calon legislatif atau calon presiden yang ideal, sehingga laku dijual di tengah masyarakat. Calon seperti itu perlu disiapkan jauh-jauh sebelumnya. Saya yakin, masih ada tokoh yang layak dicalonkan, meskipun mungkin sekarang belum kelihatan. Dalam hal ini, perlu dipadukan aspek pragmatis dan idealis. Menurut saya, sudah saatnya partai Islam berani untuk mencalonkan sendiri calon presidennya. Pilih orang yang betul-betul mendekati
kriteria pemimpin yang ideal dalam Islam. Bukan hanya karena tampan, kaya, atau populer. Ini semua perlu persiapan, perlu perencanaan, perhitungan, kesungguhan, dan yang terpenting, keyakinan akan kemenangan yang diraih dengan pertolongan Allah. Di partai-partai Islam sekarang, banyak orang-orang pintar, dan jika berpikir sunguh-sungguh, insyaAllah mampu mencari rumusan strategi yang baik.
Murid: Guru, saya sering mendengar sekarang, perjuangan melalui sistem demokrasi, lewat parlemen tidak membuahkan hasil. Bahkan, FIS di Aljazair dan juga Al Ikhwan al Muslimun di Mesir, setelah memenangkan Pemilu, akhirnya belum berhasil juga?
Guru: Kalau kita menilai sesuatu, harus dengan standar yang jelas. Apa yang dimaksud dengan “belum berhasil”? Apakah kalau belum berhasil meraih kekuasaan yang sempurna, lalu berarti perjuangan itu tidak ada hasilnya sama sekali? Banyak perjuangan para Nabi yang akhirnya berujung pada kekalahan melawan penguasa zalim, seperti Nabi Ibrahim. Apakah kita mengatakan, dengan begitu, bahwa perjuangan Nabi Ibrahim tidak ada hasilnya dan sia-sia? Tentu tidak! Ada juga gerakan-gerakan Islam yang berjuang tidak lewat pemilu dan mencitakan berdirinya negara Islam (khilafah Islamiyah), tapi sudah puluhan tahun belum juga terwujud khilafah tersebut, apakah lalu dikatakan, perjuangan mereka tidak ada hasilnya sama sekali alias sia-sia juga?
Di sinilah perlunya kita memahami masalah secara mendalam, meneliti secara hati-hati, sebelum menjatuhkan vonis, bahwa perjuangan tersebut adalah sia-sia atau bathil. Sebab, kadangkala yang kita nilai itu adalah orang-orang bahkan tokoh dan ulama yang juga bersungguh-sungguh dalam menegakkan cita-cita Islam. Bahkan, mungkin apa yang kita kerjakan sekarang ini, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. Lahum a’maaluhum, wa-lanaa a’maalunaa. Bagi mereka amal mereka, dan bagi kita amal kita sendiri.
Murid: Guru, partai-partai Islam itu kenapa sulit bersatu? Guru pernah bilang, mereka sedang dikeroyok untuk dimusnahkan?
Guru: Sebenarnya, yang berpecah belah itu bukan hanya partai Islam. Partai-partai sekuler juga terpecah belah. Inilah dunia manusia. Kita tidak bisa menemukan sosok atau kelompok ideal yang 100 persen sempurna. Pasti ada kekurangan dan kelemahannya. Betapa pun kondisinya, yang tetap perlu dijaga adalah silaturrahim-nya. Tapi, itu bukan berarti membenarkan perpecahan dalam Islam.
Sebab, jelas sekali, dalam QS Ali Imran:103, kita diperintahkan untuk berpegang pada “ikatan Allah” dan jangan berpecah belah, wa-laa tatafarraquu! Lebih jelas, dalam QS ash-Shaff: 4, bahwa Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi, laksana bangunan yang kokoh. Tentu, mafhum-mukhalafah-nya, Allah tidak cinta kepada kita, jika kita berjuang di Jalan Allah, tidak dalam barisan yang rapi; apalagi saling bermusuhan satu sama lain, saling jegal, saling caci, saling mengintai kelemahan saudara sendiri; yang lebih celaka, jika bersekutu dengan musuh untuk memerangi saudara sendiri. Jadi, berjuang di jalan Allah saja tidak cukup. Berjuang harus dalam barisan yang rapi; dalam ikatan yang kokoh. Lebih parah lagi, jika tidak berjuang; atau berjuang tetapi tidak berjuang di jalan Allah, tetapi di jalan thaghut atau jalan setan. Mari kita introspeksi, apakah kita berjuang di jalan Allah, karena Allah, untuk memperjuangkan kebenaran, demi tegaknya kalimah Allah; atau berjuang untuk kebanggaan diri sendiri atau lebih untuk kebanggaan kelompok!?
Murid: Guru, saya sering mendengar sekarang, perjuangan melalui sistem demokrasi, lewat parlemen tidak membuahkan hasil. Bahkan, FIS di Aljazair dan juga Al Ikhwan al Muslimun di Mesir, setelah memenangkan Pemilu, akhirnya belum berhasil juga?
Guru: Kalau kita menilai sesuatu, harus dengan standar yang jelas. Apa yang dimaksud dengan “belum berhasil”? Apakah kalau belum berhasil meraih kekuasaan yang sempurna, lalu berarti perjuangan itu tidak ada hasilnya sama sekali? Banyak perjuangan para Nabi yang akhirnya berujung pada kekalahan melawan penguasa zalim, seperti Nabi Ibrahim. Apakah kita mengatakan, dengan begitu, bahwa perjuangan Nabi Ibrahim tidak ada hasilnya dan sia-sia? Tentu tidak! Ada juga gerakan-gerakan Islam yang berjuang tidak lewat pemilu dan mencitakan berdirinya negara Islam (khilafah Islamiyah), tapi sudah puluhan tahun belum juga terwujud khilafah tersebut, apakah lalu dikatakan, perjuangan mereka tidak ada hasilnya sama sekali alias sia-sia juga?
Di sinilah perlunya kita memahami masalah secara mendalam, meneliti secara hati-hati, sebelum menjatuhkan vonis, bahwa perjuangan tersebut adalah sia-sia atau bathil. Sebab, kadangkala yang kita nilai itu adalah orang-orang bahkan tokoh dan ulama yang juga bersungguh-sungguh dalam menegakkan cita-cita Islam. Bahkan, mungkin apa yang kita kerjakan sekarang ini, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. Lahum a’maaluhum, wa-lanaa a’maalunaa. Bagi mereka amal mereka, dan bagi kita amal kita sendiri.
Murid: Guru, partai-partai Islam itu kenapa sulit bersatu? Guru pernah bilang, mereka sedang dikeroyok untuk dimusnahkan?
Guru: Sebenarnya, yang berpecah belah itu bukan hanya partai Islam. Partai-partai sekuler juga terpecah belah. Inilah dunia manusia. Kita tidak bisa menemukan sosok atau kelompok ideal yang 100 persen sempurna. Pasti ada kekurangan dan kelemahannya. Betapa pun kondisinya, yang tetap perlu dijaga adalah silaturrahim-nya. Tapi, itu bukan berarti membenarkan perpecahan dalam Islam.
Sebab, jelas sekali, dalam QS Ali Imran:103, kita diperintahkan untuk berpegang pada “ikatan Allah” dan jangan berpecah belah, wa-laa tatafarraquu! Lebih jelas, dalam QS ash-Shaff: 4, bahwa Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi, laksana bangunan yang kokoh. Tentu, mafhum-mukhalafah-nya, Allah tidak cinta kepada kita, jika kita berjuang di Jalan Allah, tidak dalam barisan yang rapi; apalagi saling bermusuhan satu sama lain, saling jegal, saling caci, saling mengintai kelemahan saudara sendiri; yang lebih celaka, jika bersekutu dengan musuh untuk memerangi saudara sendiri. Jadi, berjuang di jalan Allah saja tidak cukup. Berjuang harus dalam barisan yang rapi; dalam ikatan yang kokoh. Lebih parah lagi, jika tidak berjuang; atau berjuang tetapi tidak berjuang di jalan Allah, tetapi di jalan thaghut atau jalan setan. Mari kita introspeksi, apakah kita berjuang di jalan Allah, karena Allah, untuk memperjuangkan kebenaran, demi tegaknya kalimah Allah; atau berjuang untuk kebanggaan diri sendiri atau lebih untuk kebanggaan kelompok!?
AL-AHKAM AS-SULTHANIYAH
dan Pemikiran Kenegaraan dalam Islam
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam
Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M), yang nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Asy-Syafii. Kitab ini menunjukkan ketinggian peradaban Islam yang dibangun diatas dasar ilmu-ilmu Islam (ulumuddin). Di zaman ketika Eropa masih dalam zaman kegelapan (sekitar 500-1500 M), kaum Muslim telah menghasilkan karya-karya yang gemilang dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam ilmu politik, dengan terbitnya buku karya Imam al-Mawardi ini.
Dan ini tidaklah mengherankan, sebab, Islam bukan hanya wujud dalam bentuk ajaran-ajaran spiritual keagamaan, tetapi Islam juga wujud dalam bentuk peradaban yang mencakup berbagai sistem kehidupan, baik sistem politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Islam juga satu-satunya agama yang memberikan keteladanan yang tinggi dalam bidang politik dan pemerintahan. Islam bukan hanya membangun aspek duniawi dalam bentuk peradaban materi, tetapi tujuan Islam yang juga diamanahkan kepada para penguasanya adalah membangun manusia-manusia Muslim yang unggul. Prestasi Islam dalam mencetak pemimpin yang unggul ini belum terlampaui oleh peradaban lain di muka bumi. Islam pernah melahirkan penguasa-penguasa yang luar biasa yang bergelimang dengan kekuasaan dan harta benda, tetapi hatinya sama sekali tidak tertakluk pada dunia. Adakah pemimpin dunia dari peradaban lain yang pernah mencapai prestasi Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz, dalam bidang pemerintahan?
Sebagai contoh, mantan biarawati Katolik, Karen Armstrong memuji Umar Ibn Khattab saat menaklukkan Jerusalem (636 M). Secara tegas Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa sebelumnya. Ia mencatat: Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambilalihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” (Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228).
Pelopor Ilmu Kenegaraan
Umat Islam adalah umat pertama yang menata pemerintahan dengan cara-cara administrasi tertulis yang sangat jelas. Bahkan, Piagam Madinah adalah merupakan Konstitusi tertulis pertama di dunia. Dr. Muhammad Hamidullah, dalam bukunya The Prophets Establishing a State and His Succession (Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1988), menempatkan satu bab berjudul “The First Written-Constitution in the World untuk menyebut Piagam Madinah. Jadi, sebelum Rasulullah saw, meskipun banyak pemikir yang membicarakan tentang masalah politik dan kenegaraan, tetapi belum ada satu pun negara yang memiliki Konstitusi tertulis seperti negara Madinah.
Jauh sebelum ilmu politik internasional berkembang di Barat, ulama-ulama Islam juga telah melahirkan karya-karya besar dalam bidang ini. Salah satu yang terkenal, misalnya, ialah Kitab al-Siyar al-Kabir karya Imam Syaibani (w. 804). Kitab ini, pada tahun 1965, diterjemahkan oleh Prof. Majid Khadduri, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Islamic Law of Nations (Baltimore: The John Hopkins Press, 1966). Kepeloporan Syaibani dalam bidang
dan Pemikiran Kenegaraan dalam Islam
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam
Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M), yang nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi Asy-Syafii. Kitab ini menunjukkan ketinggian peradaban Islam yang dibangun diatas dasar ilmu-ilmu Islam (ulumuddin). Di zaman ketika Eropa masih dalam zaman kegelapan (sekitar 500-1500 M), kaum Muslim telah menghasilkan karya-karya yang gemilang dalam berbagai bidang keilmuan, termasuk dalam ilmu politik, dengan terbitnya buku karya Imam al-Mawardi ini.
Dan ini tidaklah mengherankan, sebab, Islam bukan hanya wujud dalam bentuk ajaran-ajaran spiritual keagamaan, tetapi Islam juga wujud dalam bentuk peradaban yang mencakup berbagai sistem kehidupan, baik sistem politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Islam juga satu-satunya agama yang memberikan keteladanan yang tinggi dalam bidang politik dan pemerintahan. Islam bukan hanya membangun aspek duniawi dalam bentuk peradaban materi, tetapi tujuan Islam yang juga diamanahkan kepada para penguasanya adalah membangun manusia-manusia Muslim yang unggul. Prestasi Islam dalam mencetak pemimpin yang unggul ini belum terlampaui oleh peradaban lain di muka bumi. Islam pernah melahirkan penguasa-penguasa yang luar biasa yang bergelimang dengan kekuasaan dan harta benda, tetapi hatinya sama sekali tidak tertakluk pada dunia. Adakah pemimpin dunia dari peradaban lain yang pernah mencapai prestasi Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Umar bin Abdul Aziz, dalam bidang pemerintahan?
Sebagai contoh, mantan biarawati Katolik, Karen Armstrong memuji Umar Ibn Khattab saat menaklukkan Jerusalem (636 M). Secara tegas Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa sebelumnya. Ia mencatat: Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambilalihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” (Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228).
Pelopor Ilmu Kenegaraan
Umat Islam adalah umat pertama yang menata pemerintahan dengan cara-cara administrasi tertulis yang sangat jelas. Bahkan, Piagam Madinah adalah merupakan Konstitusi tertulis pertama di dunia. Dr. Muhammad Hamidullah, dalam bukunya The Prophets Establishing a State and His Succession (Islamabad: Pakistan Hijra Council, 1988), menempatkan satu bab berjudul “The First Written-Constitution in the World untuk menyebut Piagam Madinah. Jadi, sebelum Rasulullah saw, meskipun banyak pemikir yang membicarakan tentang masalah politik dan kenegaraan, tetapi belum ada satu pun negara yang memiliki Konstitusi tertulis seperti negara Madinah.
Jauh sebelum ilmu politik internasional berkembang di Barat, ulama-ulama Islam juga telah melahirkan karya-karya besar dalam bidang ini. Salah satu yang terkenal, misalnya, ialah Kitab al-Siyar al-Kabir karya Imam Syaibani (w. 804). Kitab ini, pada tahun 1965, diterjemahkan oleh Prof. Majid Khadduri, ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Islamic Law of Nations (Baltimore: The John Hopkins Press, 1966). Kepeloporan Syaibani dalam bidang
ilmu hubungan internasional jauh melampaui ilmuwan Hugo Grotius (m. 1645) yang dianggap sebagai peletak dasar hukum internasional saat ini. Tetapi, meskipun demikian, bisa ditanyakan kepada para mahasiswa kajian hubungan internasional di banyak universitas Islam, apakah mereka mengenal nama Imam Syaibani atau tidak.
Ketika mempelajari ilmu pengetahuan di jurusannya, mahasiswa diperkenalkan dengan asal-asul keilmuan dalam perspektif Barat, yang biasanya dimulai dengan pemikiran para Filosof Yunani dan langsung meloncat ke pemikiran para ilmuwan Barat abad modern. Didang bidang ilmu politik, misalnya, mahasiswa diperkenalkan dengan sejarah pemikiran politik, mulai pemikiran politik Aristoteles, Plato, dan langsung meloncat ke pemikir-pemikir politik Eropa abad modern. Sebagai misal, dalam buku World Masterpieces (New York: WW Norton&Company Inc, 1956), yang menghimpun karya-karya besar ilmuwan dunia sepanjang sejarah, sama sekali tidak dijumpai karya-karya para ilmuwan Muslim. Dalam bidang politik, yang dianggap pemikir besar adalah Niccolo Machiavelli. Hal serupa bisa dijumpai juga pada buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (Victoria, The Cranlana Program, 2002).
Tahun 1911, orientalis Belanda Snouck Hurgronje menerbitkan bukunya Nederland en de Islam, yang berisi pemikiran dan strategi westernisasi umat Islam: (1) Dalam bidang yang murni agama, pemerintah dan pejabat-pejabatnya harus menjamin dan memelihara kebebasan mutlak, (2) Dalam bidang politik, kebebasan itu harus dibatasi untuk kepentingan bersama, (3) Dalam bidang hukum Islam, pemerintah harus menjauhi intervensi yang dipaksakan, sekalipun harus mendorong ke arah proses evolusi hukum sebanyak mungkin, (4) Garis-garis kebijaksanaan yang kurang lebih negatif ini harus menuju ke arah tujuan yang positif, yaitu kemajuan orang-orang Islam yang harus dibebaskan dari beberapa peninggalnan ajaran abad pertengahan yang tidak berguna yang menyeret mereka hingga demikian lamanya agar supaya dengan jalan ini dengan perantaraan pendidikan dan pengajaran dapat memperoleh kesempatan asosiasi kultural dengan kebudayaan Barat. (Dikutip dari: Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 32.
Al-Ahkam al-Sulthaniyah
Dalam situasi seperti ini, maka penelaahan buku-buku karya ulama Islam, seperti buku al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi, sangatlah penting dan berharga. Buku ini mengandung untaian pemikiran politik Islam yang sangat kaya; mengatur berbagai aspek tata cara pengelolaan pemerintahan. Khazanah Islam seperti ini sebagaimana dengan khazanah keilmuan Islam lainnya kini dianggap tidak penting, bahkan dianggap tidak bernilai ilmiah, sehingga sama sekali tidak diperkenalkan kepada para siswa dan mahasiswa jurusan ilmu politik. Maka, jangan heran, jika banyak sekali sarjana ilmu politik yang sama buta sama sekali dengan khazanah politik Islam. Bahkan, mereka tidak merasa perlu tahu, dan menganggap konsep-konsep politik Islam sudah ketinggalan zaman dan tidak perlu dikaji atau ditengok lagi.
Sebagai contoh dalam pemikiran tentang proses pemilihan kepala negara, para elite politik Muslim Indonesia, sepertinya enggan menggali khazanah klasik pemikiran al-Mawardi. Hampir semua terlena dalam euforia demokrasi dan pemilihan langsung kepala daerah. Bahwa pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) adalah jalan terbaik untuk memilih kepala daerah. Padahal, proses pemilihan bukanlah substansi penting. Yang terpenting adalah syarat-syarat kepala negara atau kepala daerah yang terpenuhi, sesuai dengan ajaran Islam. Misal, tentang pengangkatan Imam (Khalifah), Al-Mawardi menyebutkan bahwa jabatan imamah dianggap sah dengan dua cara: (1) dengan pemilihan oleh ahlul halli wal aqdi (2) penunjukan oleh khalifah sebelumnya. Al-Mawardi menjelaskan dengan sangat detail bagaimana prosedur pemilihan khalifah oleh ahlul halli wal aqdi. Berbagai pendapat ulama ditampilkan dalam bukunya. Cara kedua, dengan cara penunjukan oleh khalifah sebelumnya, menurut al-Mawardi, juga dibenarkan oleh syariat Islam.
Bagi pemuja paham de
Ketika mempelajari ilmu pengetahuan di jurusannya, mahasiswa diperkenalkan dengan asal-asul keilmuan dalam perspektif Barat, yang biasanya dimulai dengan pemikiran para Filosof Yunani dan langsung meloncat ke pemikiran para ilmuwan Barat abad modern. Didang bidang ilmu politik, misalnya, mahasiswa diperkenalkan dengan sejarah pemikiran politik, mulai pemikiran politik Aristoteles, Plato, dan langsung meloncat ke pemikir-pemikir politik Eropa abad modern. Sebagai misal, dalam buku World Masterpieces (New York: WW Norton&Company Inc, 1956), yang menghimpun karya-karya besar ilmuwan dunia sepanjang sejarah, sama sekali tidak dijumpai karya-karya para ilmuwan Muslim. Dalam bidang politik, yang dianggap pemikir besar adalah Niccolo Machiavelli. Hal serupa bisa dijumpai juga pada buku berjudul Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (Victoria, The Cranlana Program, 2002).
Tahun 1911, orientalis Belanda Snouck Hurgronje menerbitkan bukunya Nederland en de Islam, yang berisi pemikiran dan strategi westernisasi umat Islam: (1) Dalam bidang yang murni agama, pemerintah dan pejabat-pejabatnya harus menjamin dan memelihara kebebasan mutlak, (2) Dalam bidang politik, kebebasan itu harus dibatasi untuk kepentingan bersama, (3) Dalam bidang hukum Islam, pemerintah harus menjauhi intervensi yang dipaksakan, sekalipun harus mendorong ke arah proses evolusi hukum sebanyak mungkin, (4) Garis-garis kebijaksanaan yang kurang lebih negatif ini harus menuju ke arah tujuan yang positif, yaitu kemajuan orang-orang Islam yang harus dibebaskan dari beberapa peninggalnan ajaran abad pertengahan yang tidak berguna yang menyeret mereka hingga demikian lamanya agar supaya dengan jalan ini dengan perantaraan pendidikan dan pengajaran dapat memperoleh kesempatan asosiasi kultural dengan kebudayaan Barat. (Dikutip dari: Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 32.
Al-Ahkam al-Sulthaniyah
Dalam situasi seperti ini, maka penelaahan buku-buku karya ulama Islam, seperti buku al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi, sangatlah penting dan berharga. Buku ini mengandung untaian pemikiran politik Islam yang sangat kaya; mengatur berbagai aspek tata cara pengelolaan pemerintahan. Khazanah Islam seperti ini sebagaimana dengan khazanah keilmuan Islam lainnya kini dianggap tidak penting, bahkan dianggap tidak bernilai ilmiah, sehingga sama sekali tidak diperkenalkan kepada para siswa dan mahasiswa jurusan ilmu politik. Maka, jangan heran, jika banyak sekali sarjana ilmu politik yang sama buta sama sekali dengan khazanah politik Islam. Bahkan, mereka tidak merasa perlu tahu, dan menganggap konsep-konsep politik Islam sudah ketinggalan zaman dan tidak perlu dikaji atau ditengok lagi.
Sebagai contoh dalam pemikiran tentang proses pemilihan kepala negara, para elite politik Muslim Indonesia, sepertinya enggan menggali khazanah klasik pemikiran al-Mawardi. Hampir semua terlena dalam euforia demokrasi dan pemilihan langsung kepala daerah. Bahwa pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) adalah jalan terbaik untuk memilih kepala daerah. Padahal, proses pemilihan bukanlah substansi penting. Yang terpenting adalah syarat-syarat kepala negara atau kepala daerah yang terpenuhi, sesuai dengan ajaran Islam. Misal, tentang pengangkatan Imam (Khalifah), Al-Mawardi menyebutkan bahwa jabatan imamah dianggap sah dengan dua cara: (1) dengan pemilihan oleh ahlul halli wal aqdi (2) penunjukan oleh khalifah sebelumnya. Al-Mawardi menjelaskan dengan sangat detail bagaimana prosedur pemilihan khalifah oleh ahlul halli wal aqdi. Berbagai pendapat ulama ditampilkan dalam bukunya. Cara kedua, dengan cara penunjukan oleh khalifah sebelumnya, menurut al-Mawardi, juga dibenarkan oleh syariat Islam.
Bagi pemuja paham de
mokrasi, pemikiran al-Mawardi mungkin akan dicemooh. Padahal, sejak zaman Yunani Kuno, demokrasi adalah sistem yang dibenci. Demokrasi menyimpan kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan haknya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan orang pedalaman yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh, atau pemerkosa.
Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga. Plato memimpikan munculnya the wisest people sebagai pemimpin ideal di suatu negara, The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.
Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 keledai. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-e-Masyriq.
Aristoteles (384-322 BC), murid Plato, juga menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya. Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di Barat. Beberapa ide ini datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS. (Lihat, Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company, 1983), vol I, hal. 98-106; James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973), hal. 29; Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 37.
Dalam buku al-Ahkam as-Sulthaniyah, sistem pemerintahan Islam dikaji dengan cukup terperinci. Pemikiran-pemikiran politik yang ada di sini bisa ditelaah dan diambil sebagai bahan pemikiran para politisi Muslim maupun para akademisi Muslim dan para ulama untuk diaplikasikan dalam situasi zaman sekarang ini. Tetapi, yang terpenting. kajian-kajian terhadap karya para ulama kita seyogyanya mampu menyadarkan betapa karya-karya klasik Islam kaya dengan khazanah pemikiran yang sangat relevan jika dikaji dan diterapkan di zaman sekarang. Tentu saja, tidak semuanya dapat diterapkan di dalam satu sistem yang tidak mengambil Islam sebagai satu totalitas sistem kehidupan. Wallahu alam bish-shawab. (***)
Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga. Plato memimpikan munculnya the wisest people sebagai pemimpin ideal di suatu negara, The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.
Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 keledai. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-e-Masyriq.
Aristoteles (384-322 BC), murid Plato, juga menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya. Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di Barat. Beberapa ide ini datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS. (Lihat, Sharif, M.M., History of Muslim Philosophy, (Karachi: Royal Book Company, 1983), vol I, hal. 98-106; James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973), hal. 29; Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 37.
Dalam buku al-Ahkam as-Sulthaniyah, sistem pemerintahan Islam dikaji dengan cukup terperinci. Pemikiran-pemikiran politik yang ada di sini bisa ditelaah dan diambil sebagai bahan pemikiran para politisi Muslim maupun para akademisi Muslim dan para ulama untuk diaplikasikan dalam situasi zaman sekarang ini. Tetapi, yang terpenting. kajian-kajian terhadap karya para ulama kita seyogyanya mampu menyadarkan betapa karya-karya klasik Islam kaya dengan khazanah pemikiran yang sangat relevan jika dikaji dan diterapkan di zaman sekarang. Tentu saja, tidak semuanya dapat diterapkan di dalam satu sistem yang tidak mengambil Islam sebagai satu totalitas sistem kehidupan. Wallahu alam bish-shawab. (***)
SALURKAN INFAQ TERBAIK ANDA UNTUK PENGEMBANGAN PEMBANGUNAN PESANTREN AT TAQWA DEPOK YANG DIBINA LANGSUNG OLEH DR. ADIAN HUSAINI.
Pesantren at-Taqwa Depok berusaha mengambil dan menerapkan konsep adab untuk diterapkan dalam lembaga pendidikannya, agar bisa membentuk manusia-manusia yang beradab. Yakni, manusia yang baik; manusia yang beradab kepada Allah, yang tidak syirik kepada Allah; manusia yang beradab kepada Rasulullah saw, yakni yang mencintai Rasul saw dan menjadikannya sebagai suri tauladan (uswatun hasanah). Manusia beradab juga hormat dan taat kepada guru dan orang tua; menghargai dan cinta ilmu serta memahami kedudukan ilmu pada tempatnya; memahami potensi dirinya dan berusaha keras untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
Link Donasi:
https://m.kitabisa.com/quranic
Pesantren at-Taqwa Depok berusaha mengambil dan menerapkan konsep adab untuk diterapkan dalam lembaga pendidikannya, agar bisa membentuk manusia-manusia yang beradab. Yakni, manusia yang baik; manusia yang beradab kepada Allah, yang tidak syirik kepada Allah; manusia yang beradab kepada Rasulullah saw, yakni yang mencintai Rasul saw dan menjadikannya sebagai suri tauladan (uswatun hasanah). Manusia beradab juga hormat dan taat kepada guru dan orang tua; menghargai dan cinta ilmu serta memahami kedudukan ilmu pada tempatnya; memahami potensi dirinya dan berusaha keras untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
Link Donasi:
https://m.kitabisa.com/quranic
Kitabisa
Klik untuk donasi - Pembangunan Pondok Pesantren AT-Taqwa, Depok
Pesantren Berprestasi, punya tanah wakaf 4000mtrsq, perlu dana pembangunan pondok