Jangan Merusak Agama Karena Salah Pilih Suami
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Ini peristiwa penting sekitar 7 tahun lalu. Tepatnya, 18 September 2014. Ketika itu, saya menghadiri sebuah seminar di Kuala Lumpur Malaysia. Temanya: “Manusia Beradab dan Moderniti Alternatif”. Pembicara utama adalah pakar pemikiran Islam Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud.
Diantara sekian banyak tantangan modernitas yang dihadapi kaum Muslim di era modern ini, Prof. Wan Mohd Nor mengungkapkan pentingnya menjaga konsep keluarga Islam. Tetapi, tentu saja dengan pendekatan yang sesuai dengan kondisi saat ini.
Ketika itu, Prof. Wan Mohd Nor mengungkap pengalamannya, sewaktu bebicara dalam sebuah seminar di Afrika Selatan, beberapa tahun sebelumnya. Ia mengungkap konsep “istri wajib taat pada suami” dalam keluarga muslim. Tentu ini terkait dengan konsep kepemimpinan laki-laki dalam keluarga.
Apa yang dibahas oleh Prof. Wan Mohd Nor itu sangat penting dan sangat relevan. Sebab, memang, saat ini konsep “istri wajib taat pada suami” itu banyak ditentang oleh sebagian perempuan, termasuk di kalangan muslimah. Konsep itu dianggap bertentangan dengan ide “kesetaraan gender”. Bahkan, ada yang menyebut, kata yang paling dibenci di kalangan aktivis kesetaraan gender sekuler adalah kata “taat pada suami”.
Silakan disimak banyaknya artikel di media massa atau jurnal seputar kepemimpinan dalam keluarga. Begitu mudah kita jumpai artikel-artikel yang ditulis oleh mahasiswa, dosen, atau aktivis LSM Kesetaraan Gender, yang menolak konsep keharusan laki-laki sebagai kepala keluarga.
Contohnya, satu buku berjudul: Bias Jender dalam Pemahaman Islam (Pusat Studi Jender IAIN Walisongo Semarang (2002), menyimpulkan: kepala rumah tangga tidak harus laki-laki: “Dalam pemahaman ini, kepemimpinan keluarga dapat dipegang oleh siapa saja, suami atau istri, yang memiliki kriteria fadl dan infaq-nya lebih baik. (hlm. 91).
Dalam sebuah artikel berjudul “Kepala Keluarga Mengapa Mesti Laki-laki?” ditulis: “Kepala keluarga bukanlah jabatan normatif yang bisa digunakan untuk melegitimasikan penindasan dan pendominasian satu pihak kepada pihak lainnya. Tapi kepala keluarga merupakan jabatan fungsional. Ia dilekatkan berdasarkan kemampuan dan kebiasaan. Ketika peranan seorang istri begitu dominan dan signifikan dalam keberlangsungan kehidupan perekonomian keluarga, maka ia mempunyai tugas sebagaimana fungsinya sebagai kepala keluarga. Sungguh, istri seperti itu layak dihormati sebagai seorang kepala keluarga.
Sebaliknya, ketika seorang suami, – karena sulit mencari pekerjaan misalnya – hanya berada di rumah. Maka siapa bilang ia tidak bisa melakukan urusan domestik rumah tangga? Dan siapa bilang itu sebagai suatu kesalahan atau aib?” (Sumber: https://fahmina.or.id/kepala-keluarga-mengapa-mesti-laki-laki/ ).
*
Jadi, begitulah contoh-contoh gugatan terhadap konsep keluarga Islam, yang justru dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keilmuan tentang ilmu-ilmu agama. Patut disayangkan, jika orang muslim yang justru membongkar konsep-konsep keluarga Islam, karena terjebak dengan konsep “kesetaraan gender”, yang justru akan menyeret perempuan ke jurang kesengsaraan.
Dalam bukunya yang berjudul “Membiarkan Berbeda”, dosen IPB Dr. Ratna Megawangi mengungkapkan gagasan sejumlah aktivis gender di Barat yang menggugat peran perempuan sebagai ibu rumah tangga. Sarah Grimke (1838), misalnya, menyatakan bahwa wanita yang menikah telah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran (suami). Katanya: ”Man has exercised the most unlimited and brutal power over woman in the peculiar character f husband – a word in most countries synonymous with tyrant.”
Padahal, menurut Ratna Megawangi, wanita-wanita Jepang, sangat berbahagia dengan kehidupan mereka sebagai ”ibu rumah tangga.” Hasil survei The Economic Planning Agency di Jepangtahun 1992 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen perempuan menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas utamanya.
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Ini peristiwa penting sekitar 7 tahun lalu. Tepatnya, 18 September 2014. Ketika itu, saya menghadiri sebuah seminar di Kuala Lumpur Malaysia. Temanya: “Manusia Beradab dan Moderniti Alternatif”. Pembicara utama adalah pakar pemikiran Islam Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud.
Diantara sekian banyak tantangan modernitas yang dihadapi kaum Muslim di era modern ini, Prof. Wan Mohd Nor mengungkapkan pentingnya menjaga konsep keluarga Islam. Tetapi, tentu saja dengan pendekatan yang sesuai dengan kondisi saat ini.
Ketika itu, Prof. Wan Mohd Nor mengungkap pengalamannya, sewaktu bebicara dalam sebuah seminar di Afrika Selatan, beberapa tahun sebelumnya. Ia mengungkap konsep “istri wajib taat pada suami” dalam keluarga muslim. Tentu ini terkait dengan konsep kepemimpinan laki-laki dalam keluarga.
Apa yang dibahas oleh Prof. Wan Mohd Nor itu sangat penting dan sangat relevan. Sebab, memang, saat ini konsep “istri wajib taat pada suami” itu banyak ditentang oleh sebagian perempuan, termasuk di kalangan muslimah. Konsep itu dianggap bertentangan dengan ide “kesetaraan gender”. Bahkan, ada yang menyebut, kata yang paling dibenci di kalangan aktivis kesetaraan gender sekuler adalah kata “taat pada suami”.
Silakan disimak banyaknya artikel di media massa atau jurnal seputar kepemimpinan dalam keluarga. Begitu mudah kita jumpai artikel-artikel yang ditulis oleh mahasiswa, dosen, atau aktivis LSM Kesetaraan Gender, yang menolak konsep keharusan laki-laki sebagai kepala keluarga.
Contohnya, satu buku berjudul: Bias Jender dalam Pemahaman Islam (Pusat Studi Jender IAIN Walisongo Semarang (2002), menyimpulkan: kepala rumah tangga tidak harus laki-laki: “Dalam pemahaman ini, kepemimpinan keluarga dapat dipegang oleh siapa saja, suami atau istri, yang memiliki kriteria fadl dan infaq-nya lebih baik. (hlm. 91).
Dalam sebuah artikel berjudul “Kepala Keluarga Mengapa Mesti Laki-laki?” ditulis: “Kepala keluarga bukanlah jabatan normatif yang bisa digunakan untuk melegitimasikan penindasan dan pendominasian satu pihak kepada pihak lainnya. Tapi kepala keluarga merupakan jabatan fungsional. Ia dilekatkan berdasarkan kemampuan dan kebiasaan. Ketika peranan seorang istri begitu dominan dan signifikan dalam keberlangsungan kehidupan perekonomian keluarga, maka ia mempunyai tugas sebagaimana fungsinya sebagai kepala keluarga. Sungguh, istri seperti itu layak dihormati sebagai seorang kepala keluarga.
Sebaliknya, ketika seorang suami, – karena sulit mencari pekerjaan misalnya – hanya berada di rumah. Maka siapa bilang ia tidak bisa melakukan urusan domestik rumah tangga? Dan siapa bilang itu sebagai suatu kesalahan atau aib?” (Sumber: https://fahmina.or.id/kepala-keluarga-mengapa-mesti-laki-laki/ ).
*
Jadi, begitulah contoh-contoh gugatan terhadap konsep keluarga Islam, yang justru dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keilmuan tentang ilmu-ilmu agama. Patut disayangkan, jika orang muslim yang justru membongkar konsep-konsep keluarga Islam, karena terjebak dengan konsep “kesetaraan gender”, yang justru akan menyeret perempuan ke jurang kesengsaraan.
Dalam bukunya yang berjudul “Membiarkan Berbeda”, dosen IPB Dr. Ratna Megawangi mengungkapkan gagasan sejumlah aktivis gender di Barat yang menggugat peran perempuan sebagai ibu rumah tangga. Sarah Grimke (1838), misalnya, menyatakan bahwa wanita yang menikah telah terpenjara dalam sebuah tirani, di bawah kekuasaan seorang tiran (suami). Katanya: ”Man has exercised the most unlimited and brutal power over woman in the peculiar character f husband – a word in most countries synonymous with tyrant.”
Padahal, menurut Ratna Megawangi, wanita-wanita Jepang, sangat berbahagia dengan kehidupan mereka sebagai ”ibu rumah tangga.” Hasil survei The Economic Planning Agency di Jepangtahun 1992 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen perempuan menyatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas utamanya.
Hasil polling kantor Perdana Menteri Jepang pada tahun yang sama juga menunjukkan, 90 persen perempuan Jepang menganggap pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci adalah tugas perempuan.
Tapi, ironisnya, banyak kalangan pegiat Kesetaraan Gender justru ingin membuang jauh-jauh istilah ”pengabdian pada suami”, yang merupakan sumber kebahagiaan pada perempuan. Menurut Ratna Megawangi, konsep semacam ini sering tidak dimengerti oleh masyarakat Barat.
Ia mencontohkan banyak teman Jepangnya yang berbahagia dengan konsep pembagian tugas yang jelas. Bahwa, suami sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga yang bertanggung jawab atas wilayah keluarga dan pengasuhan anak. Tapi, karena ideologi kebencian pada laki-laki dan menganggap peran Ibu rumah tangga sebagai ”penjara perempuan”, maka banyak pegiat Kesetaraan Gender yang menggugat apa yang mereka sebut sebagai dominasi laki-laki.
Dalam kaitan inilah, pengalaman Prof. Wan Mohd Nor di Afrika Selatan penting untuk disimak. Saat itu, usai seminar, seorang perempuan berkerudung mendatanginya dan menanyakan, bagaimana mungkin ia harus mentaati suaminya, sementara di kantor, ia memimpin 300 laki-laki?
Prof. Wan Mohd Nor menjelaskan, bahwa konsep adab dalam Islam, di antaranya memang menempatkan suami sebagai kepala keluarga. Ini konsep yang adil. Konsep itu justru memberikan amanah dan beban yang berat bagi laki-laki. Sebaliknya, konsep itu justru meringankan beban wanita.
Tentu saja, menurut Prof. Wan Mohd Nor, sebagai pemimpin suami tidak boleh berlaku zalim dengan amanah yang diterimanya serta bertindak sewenang-wenang terhadap istrinya. Suami yang bijak akan memahami kondisi istrinya dan memperlakukannya dengan baik. “Karena itu, pilihlah suami yang hebat pula,” kata Profesor yang juga beristrikan seorang profesor ini.
*
Kita tidak menutup mata terhadap penindasan atau ketidakadilan yang dialami oleh sebagian kaum perempuan, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Tetapi, jangan sampai kasus-kasus itu dijadikan legitimasi untuk merusak konsep keluarga Islam. Jika perempuan mengalami penindasan oleh laki-laki, perlu dilihat kasus per kasus.
Apakah perempuan-perempuan itu ditindas dan dianiaya karena keperempuanannya? Atau karena si perempuan itu memang jahat kelakuannya? Juga, simaklah, apakah laki-laki yang menjadi penindas itu karena kelelakiannya atau karena akhlaknya yang buruk? Jika laki-laki menjadi penindas adalah karena kelelakiannya, maka semua laki-laki pasti menindas.
Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah saw, merupakan perempuan kaya dan bangsawan terpandang. Tetapi, ia tetap istri Nabi dan bahagia taat kepada suaminya. Selama ratusan tahun, banyak perempuan hebat di Nusantara ini tetap menjalani kehidupan sebagai istri yang taat kepada suami, meskipun mereka punya kekayaan yang melebihi suaminya. Mereka tidak merasa tertindas. Sebab, mereka yakin, ketaatan pada suami dalam hal yang baik, adalah suatu ibadah.
Itulah bentuk kebahagiaan bagi muslimah yang yakin akan akhirat. Tentu saja, orang sekuler tak paham soal ini. Jadi, kucinya, untuk menciptakan kehidupan rumah tangga dan masyarakat yang bahagia, bukan konsep keluarga Islam yang dirusak. Tapi, didiklah laki-laki dan perempuan agar menjadi manusia-manusia yang berakhlak mulia.
Juga, pilihlah suami yang baik dan patut ditaati. Jangan karena salah pilih suami, lalu agama yang dirusak!
Tapi, ironisnya, banyak kalangan pegiat Kesetaraan Gender justru ingin membuang jauh-jauh istilah ”pengabdian pada suami”, yang merupakan sumber kebahagiaan pada perempuan. Menurut Ratna Megawangi, konsep semacam ini sering tidak dimengerti oleh masyarakat Barat.
Ia mencontohkan banyak teman Jepangnya yang berbahagia dengan konsep pembagian tugas yang jelas. Bahwa, suami sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga yang bertanggung jawab atas wilayah keluarga dan pengasuhan anak. Tapi, karena ideologi kebencian pada laki-laki dan menganggap peran Ibu rumah tangga sebagai ”penjara perempuan”, maka banyak pegiat Kesetaraan Gender yang menggugat apa yang mereka sebut sebagai dominasi laki-laki.
Dalam kaitan inilah, pengalaman Prof. Wan Mohd Nor di Afrika Selatan penting untuk disimak. Saat itu, usai seminar, seorang perempuan berkerudung mendatanginya dan menanyakan, bagaimana mungkin ia harus mentaati suaminya, sementara di kantor, ia memimpin 300 laki-laki?
Prof. Wan Mohd Nor menjelaskan, bahwa konsep adab dalam Islam, di antaranya memang menempatkan suami sebagai kepala keluarga. Ini konsep yang adil. Konsep itu justru memberikan amanah dan beban yang berat bagi laki-laki. Sebaliknya, konsep itu justru meringankan beban wanita.
Tentu saja, menurut Prof. Wan Mohd Nor, sebagai pemimpin suami tidak boleh berlaku zalim dengan amanah yang diterimanya serta bertindak sewenang-wenang terhadap istrinya. Suami yang bijak akan memahami kondisi istrinya dan memperlakukannya dengan baik. “Karena itu, pilihlah suami yang hebat pula,” kata Profesor yang juga beristrikan seorang profesor ini.
*
Kita tidak menutup mata terhadap penindasan atau ketidakadilan yang dialami oleh sebagian kaum perempuan, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Tetapi, jangan sampai kasus-kasus itu dijadikan legitimasi untuk merusak konsep keluarga Islam. Jika perempuan mengalami penindasan oleh laki-laki, perlu dilihat kasus per kasus.
Apakah perempuan-perempuan itu ditindas dan dianiaya karena keperempuanannya? Atau karena si perempuan itu memang jahat kelakuannya? Juga, simaklah, apakah laki-laki yang menjadi penindas itu karena kelelakiannya atau karena akhlaknya yang buruk? Jika laki-laki menjadi penindas adalah karena kelelakiannya, maka semua laki-laki pasti menindas.
Khadijah al-Kubra, istri Rasulullah saw, merupakan perempuan kaya dan bangsawan terpandang. Tetapi, ia tetap istri Nabi dan bahagia taat kepada suaminya. Selama ratusan tahun, banyak perempuan hebat di Nusantara ini tetap menjalani kehidupan sebagai istri yang taat kepada suami, meskipun mereka punya kekayaan yang melebihi suaminya. Mereka tidak merasa tertindas. Sebab, mereka yakin, ketaatan pada suami dalam hal yang baik, adalah suatu ibadah.
Itulah bentuk kebahagiaan bagi muslimah yang yakin akan akhirat. Tentu saja, orang sekuler tak paham soal ini. Jadi, kucinya, untuk menciptakan kehidupan rumah tangga dan masyarakat yang bahagia, bukan konsep keluarga Islam yang dirusak. Tapi, didiklah laki-laki dan perempuan agar menjadi manusia-manusia yang berakhlak mulia.
Juga, pilihlah suami yang baik dan patut ditaati. Jangan karena salah pilih suami, lalu agama yang dirusak!
Mengapa Politik Sekuler Menang di Dunia?
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Hiruk pikuk beberapa pemilu legislatif di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menyisakan satu pertanyaan: ”Mengapa partai-partai berasas Islam suaranya lebih sedikit dibanding partai-partai yang tidak berasas Islam? Ada yang bertanya: ”Mengapa partai Islam kalah? Mengapa partai sekuler menang dan lebih diminati masyarakat Indonesia?
Mengapa itu terjadi? Terlepas dari pro-kontra soal mekanisme pemilu itu sendiri, kita perlu memahami, bahwa saat ini umat Islam – sebagaimana umat manusia lainnya di seluruh dunia – hidup dalam satu dunia yang dihegemoni oleh peradaban Barat yang mengusung nilai-nilai liberal sekular. Peradaban Barat adalah peradaban materialisme yang mengagungkan empat hal, yaitu: kekayaan (wealth), kekuasaan (power), kecantikan (beauty) dan popularitas (popularity). Empat hal itulah yang ’didewakan’.
Di dunia semacam itu, faktor kuasa, kecantikan, dan popularitas sangat penting untuk meraih kuasa. Kolaborasi artis-pejabat-penguasa semakin sering kita lihat. Bahkan, kita melihat, bagaimana kuatnya hegemoni artis dalam kehidupan masyarakat. Siapa yang mempunyai kecantikan, menjadi modal penting untuk meraih popularitas dan juga kekayaan dan kekuasaan.
Peradaban semacam ini memang tidak menjadikan iman dan akhlak sebagai nilai acuan. Baik buruk dan martabat seseorang tidak lagi ditentukan oleh ketinggian akhlaknya, tetapi oleh kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dan popularitasnya.
Karena itulah, bagi politisi-politisi Muslim tentu saja tidak mudah bersaing dengan orang-orang yang sudah popular. Jadilah politisi Muslim tergantung kepada yang lain, sehingga untuk mengajukan calon presiden sendiri saja kurang percaya diri.
Karena melihat politik sebagai sekedar alat untuk meraih kekuasaan, maka politik semacam itu bisa menghalalkan segala cara. Yang penting dapat kuasa atau mempertahankan kuasa. Tidak peduli apakah kuasa itu didapat dengan cara yang baik atau tidak. Inilah yang disebut politik sekular, yakni politik yang sama sekali membuang pertimbangan aspek ilahiyah dan ukhrawiyah.
Itulah politik bebas nilai. Politik sekular. Secara sistematis, politik sekular ini diteorikan oleh Niccolo Machiavelli. Politik dibebaskan dari nilai-nilai moral dan agama. Dalam sejarah pemikiran politik, nama Machiavelli memang monumental. Oleh para pemikir di Barat kemudian, karya Machiaveli, The Prince, dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam social politik umat manusia. Sebuah buku berjudul “World Masterpieces” yang diterbitkan oleh WW Norton&Company, New York, tahun 1974 (cetakan kelima) menempatkan karya Machiaveli ini sebagai salah satu karya besar dalam sejarah umat manusia yang muncul di zaman renaissance.
Perjalanan hidup Machiavelli sendiri cukup menyedihkan. Ia pernah ditahan dan disiksa. Ia dituduh melawan pemerintah Italia sekitar tahun 1495. Ia menulis The Prince pada umur 44 tahun, dan baru dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya. Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang memberikan predikat sebagai “amoral”. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah “survival” (mempertahankan kekuasaan).
Politik semacam itu melampaui nilai-nilai moral keagamaan. Dengan membuang faktor “baik dan buruk” dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara. Penguasa-penguasa yang sukses, kata dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan.
Maka, kata Machiavelli lagi, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan teror.
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Hiruk pikuk beberapa pemilu legislatif di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menyisakan satu pertanyaan: ”Mengapa partai-partai berasas Islam suaranya lebih sedikit dibanding partai-partai yang tidak berasas Islam? Ada yang bertanya: ”Mengapa partai Islam kalah? Mengapa partai sekuler menang dan lebih diminati masyarakat Indonesia?
Mengapa itu terjadi? Terlepas dari pro-kontra soal mekanisme pemilu itu sendiri, kita perlu memahami, bahwa saat ini umat Islam – sebagaimana umat manusia lainnya di seluruh dunia – hidup dalam satu dunia yang dihegemoni oleh peradaban Barat yang mengusung nilai-nilai liberal sekular. Peradaban Barat adalah peradaban materialisme yang mengagungkan empat hal, yaitu: kekayaan (wealth), kekuasaan (power), kecantikan (beauty) dan popularitas (popularity). Empat hal itulah yang ’didewakan’.
Di dunia semacam itu, faktor kuasa, kecantikan, dan popularitas sangat penting untuk meraih kuasa. Kolaborasi artis-pejabat-penguasa semakin sering kita lihat. Bahkan, kita melihat, bagaimana kuatnya hegemoni artis dalam kehidupan masyarakat. Siapa yang mempunyai kecantikan, menjadi modal penting untuk meraih popularitas dan juga kekayaan dan kekuasaan.
Peradaban semacam ini memang tidak menjadikan iman dan akhlak sebagai nilai acuan. Baik buruk dan martabat seseorang tidak lagi ditentukan oleh ketinggian akhlaknya, tetapi oleh kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dan popularitasnya.
Karena itulah, bagi politisi-politisi Muslim tentu saja tidak mudah bersaing dengan orang-orang yang sudah popular. Jadilah politisi Muslim tergantung kepada yang lain, sehingga untuk mengajukan calon presiden sendiri saja kurang percaya diri.
Karena melihat politik sebagai sekedar alat untuk meraih kekuasaan, maka politik semacam itu bisa menghalalkan segala cara. Yang penting dapat kuasa atau mempertahankan kuasa. Tidak peduli apakah kuasa itu didapat dengan cara yang baik atau tidak. Inilah yang disebut politik sekular, yakni politik yang sama sekali membuang pertimbangan aspek ilahiyah dan ukhrawiyah.
Itulah politik bebas nilai. Politik sekular. Secara sistematis, politik sekular ini diteorikan oleh Niccolo Machiavelli. Politik dibebaskan dari nilai-nilai moral dan agama. Dalam sejarah pemikiran politik, nama Machiavelli memang monumental. Oleh para pemikir di Barat kemudian, karya Machiaveli, The Prince, dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam social politik umat manusia. Sebuah buku berjudul “World Masterpieces” yang diterbitkan oleh WW Norton&Company, New York, tahun 1974 (cetakan kelima) menempatkan karya Machiaveli ini sebagai salah satu karya besar dalam sejarah umat manusia yang muncul di zaman renaissance.
Perjalanan hidup Machiavelli sendiri cukup menyedihkan. Ia pernah ditahan dan disiksa. Ia dituduh melawan pemerintah Italia sekitar tahun 1495. Ia menulis The Prince pada umur 44 tahun, dan baru dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya. Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang memberikan predikat sebagai “amoral”. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah “survival” (mempertahankan kekuasaan).
Politik semacam itu melampaui nilai-nilai moral keagamaan. Dengan membuang faktor “baik dan buruk” dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara. Penguasa-penguasa yang sukses, kata dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan.
Maka, kata Machiavelli lagi, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan teror.
Ditulis dalam The Prince: “It is necessary for a prince, who wishes to maintain himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according to the necessity of the case.” Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia telah mengangkat persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.
Sejarawan Marvin Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik. “In secularizing and rationalizing political philosophy, he initiated a trend of thought that we recognized as distinctly modern,” tulis Perry. Jadi, sumbangan terbesar Machiavelli adalah menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan negara, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dipandang sebagai politik modern.
Politik sekular ala Machiavelli itu tentulah tidak sesuai dengan Islam. Islam memandang semua aktivitas manusia, termasuk politik, adalah bagian dari ibadah, dan sudah diatur dalam Islam. Banyak ulama Islam telah menulis kitab-kitab bermutu tinggi tentang politik, seperti al-Mawardi yang menulis al-Ahkam al-Sulthaniyah dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang menulis al-Siyasah Syar’iyyah fil Islam. Seharusnya, dalam berpolitik, umat Islam juga merujuk kepada ajaran Islam itu sendiri. Pada intinya, politik harus dilakukan sebagai satu bentuk ibadah, dan bukan sekedar seni untuk meraih kekuasaan.
Tradisi politik sekular tidak dikenal dalam ajaran Islam. Sekularisme di Eropa dipicu oleh trauma sistem teokrasi yang menindas rakyat. Fenomena ini tidak terjadi dalam dunia Islam. Kaum Muslim selalu melihat politik sebagai bagian dari agama. Politik adalah ibadah. Tujuan utama politik adalah untuk menyebarkan kebenaran, dan menjaga agama melalui kekuasaan. Karena tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun harus mulia pula. Tujuan tidak menghalalkan segala cara.
Islam tidak mengenal sistem teokrasi dan tradisi politik sekular. Bernard Lewis, professor di Princeton University mengakui, bahwa kaum Muslim memang tidak mengembangkan tradisi sekular dalam sejarah mereka. Bahkan, kaum Muslim akan selalu menentang keras tradisi sekular tersebut. Ini berbeda dengan tradisi Kristen di Barat. “From the beginning, Christians were taught both by precept and practice to distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of the two. Muslims received no such instruction,” tulis Lewis dalam bukunya, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002).
Jadi, sejatinya, politik sekular dan liberal, apalagi politik ‘machiavellis’ harusnya tidak dikenal dalam tradisi Islam dan juga di Indonesia yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Politik semacam ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Tetapi, pada akhirnya, kita tidak bisa menuding ke luar. Para politisi Muslim itulah yang harus membuktikan, dengan pikiran, kerja, dan keteladanan, bahwa politik Islam adalah politik terbaik. Bahwa politik benar-benar bertujuan untuk ibadah dan bukan refleksi dari syahwat mencintai dunia (hubbud-dunya). Wallaahu A’lam bish-shawab. (***).
Sejarawan Marvin Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik. “In secularizing and rationalizing political philosophy, he initiated a trend of thought that we recognized as distinctly modern,” tulis Perry. Jadi, sumbangan terbesar Machiavelli adalah menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan negara, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dipandang sebagai politik modern.
Politik sekular ala Machiavelli itu tentulah tidak sesuai dengan Islam. Islam memandang semua aktivitas manusia, termasuk politik, adalah bagian dari ibadah, dan sudah diatur dalam Islam. Banyak ulama Islam telah menulis kitab-kitab bermutu tinggi tentang politik, seperti al-Mawardi yang menulis al-Ahkam al-Sulthaniyah dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang menulis al-Siyasah Syar’iyyah fil Islam. Seharusnya, dalam berpolitik, umat Islam juga merujuk kepada ajaran Islam itu sendiri. Pada intinya, politik harus dilakukan sebagai satu bentuk ibadah, dan bukan sekedar seni untuk meraih kekuasaan.
Tradisi politik sekular tidak dikenal dalam ajaran Islam. Sekularisme di Eropa dipicu oleh trauma sistem teokrasi yang menindas rakyat. Fenomena ini tidak terjadi dalam dunia Islam. Kaum Muslim selalu melihat politik sebagai bagian dari agama. Politik adalah ibadah. Tujuan utama politik adalah untuk menyebarkan kebenaran, dan menjaga agama melalui kekuasaan. Karena tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun harus mulia pula. Tujuan tidak menghalalkan segala cara.
Islam tidak mengenal sistem teokrasi dan tradisi politik sekular. Bernard Lewis, professor di Princeton University mengakui, bahwa kaum Muslim memang tidak mengembangkan tradisi sekular dalam sejarah mereka. Bahkan, kaum Muslim akan selalu menentang keras tradisi sekular tersebut. Ini berbeda dengan tradisi Kristen di Barat. “From the beginning, Christians were taught both by precept and practice to distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of the two. Muslims received no such instruction,” tulis Lewis dalam bukunya, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002).
Jadi, sejatinya, politik sekular dan liberal, apalagi politik ‘machiavellis’ harusnya tidak dikenal dalam tradisi Islam dan juga di Indonesia yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Politik semacam ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Tetapi, pada akhirnya, kita tidak bisa menuding ke luar. Para politisi Muslim itulah yang harus membuktikan, dengan pikiran, kerja, dan keteladanan, bahwa politik Islam adalah politik terbaik. Bahwa politik benar-benar bertujuan untuk ibadah dan bukan refleksi dari syahwat mencintai dunia (hubbud-dunya). Wallaahu A’lam bish-shawab. (***).
Childfree, Apakah Pilihan Beradab?
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Beberapa hari ini ada sejumlah pertanyaan – dalam forum kuliah atau media sosial – tentang topik childfree. Topik ini menghangat setelah beberapa selebritis menyampaikan secara terbuka sikapnya. Ada pasangan suami-istri yang memutuskan menjadi pasangan childfree.
Artinya, mereka memutuskan untuk tidak akan mempunyai anak. Meskipun secara medis, pasangan itu dimungkinkan untuk mempunyai anak.
Ada lagi selebriti yang menyatakan, bahwa dengan tidak mempunyai anak, maka ia merasa telah membantu dunia yang sudah kelebihan populasi. Katanya, sekarang sudah terlalu banyak manusia yang tinggal di planet bumi ini.
Bagaimana kita memandang fenomena childfree? Seorang praktisi pendidikan, Adriano Rusfi, berpendapat, bahwa dalam pandangan Islam, sudah tentu tidak ada istilah childfree atau menolak berketurunan. Apalagi pada pasangan yang sudah menikah. Dalam Islam, salah satu tujuan perkawinan memang mempunyai anak.
Dalam Islam, menurut Adriano Rusfi, tidak mendayagunakan fungsi tubuh adalah jahil. Sedangkan mendayagunakan fungsi tubuh secara berlebihan adalah zalim. Keduanya sama-sama bentuk dosa. Rasulullah saw telah bersabda agar kita “berbanyak-banyak” atau “berketurunan”. (sumber)
*
Pada tahun 2010, saat berkunjung ke Inggris, saya banyak ditemani oleh seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil doktor di University College of London (UCL). Suatu saat, ia mengajak beberapa anaknya yang masih kecil dalam acara di London. Menurutnya, ada teman-teman kuliahnya di UCL yang heran melihat ia ke kampus dengan membawa sejumlah anak. “Apa itu tidak merepotkan?” tanya mereka, seperti ditirukan oleh mahasiswa Indonesia tersebut.
Tentu saja, di sejumlah negara Barat, fenomena perempuan tidak mau punya anak sudah menjadi hal biasa. Mereka punya prinsip “kedaulatan alat reproduksi”. Perempuan itu sendiri – bukan suami atau orang lain — yang berhak memutuskan apakah ia mau punya anak atau tidak.
Dalam sistem keluarga di Barat, suami dan istri punya kedudukan setara. Tidak boleh suami memaksakan keinginannya untuk punya anak kepada istrinya. Tidak ada konsep “istri harus taat suami” dalam rumah tangga mereka. Punya anak atau tidak adalah hasil kesepakatan. Jika anak dianggap merepotkan karir atau kehidupan sang istri, maka lebih baik tidak punya anak.
Sistem keluarga dan sosial seperti ini telah memunculkan krisis penduduk di sejumlah negara di Barat dan negara-negara modern lainnya. Tahun 2012 lalu, Jerman mengkhawatirkan rendahnya angka pertumbuhan penduduknya. Menurut data statistik, angka kelahiran bayi di negara tersebut menempati angka terendah sepanjang sejarah. Rendahnya angka kelahiran di negara tersebut menimbulkan kekhawatiran persoalan populasi negara tersebut di masa depan.
Data Kantor Statistik Federal Jerman di Wiesbaden mengungkap pada tahun 2011 terdapat 663.000 bayi yang dilahirkan di negara tersebut. Hal ini berarti, menurun sebanyak 15.000 kelahiran lebih sedikit dari angka tahun lalu, atau turun 2,2 persen. Sebagai perbandingan, ada sekitar 1,4 juta bayi yang dilahirkan di Jerman pada 1964. Setelah itu, tingkat kelahiran bayi terus mengalami penurunan.
Sejak 1972, angka kematian telah melebihi jumlah dari angka kelahiran bayi. Sementara jarak antara perbandingan angka kematian dan angka kelahiran juga meningkat selama beberapa tahun terakhir, ketika jumlah kematian pada 2011 mengalami sedikit penurunan sebesar 0,7 persen sehingga mencapai 852.000.
Dalam skenario tersebut, angka rata-rata kematian akan meningkat sebagai akibat dari masyarakat yang semakin tua. Statistik menunjukkan, warga Jerman tidak hanya cenderung untuk memiliki sedikit anak, namun juga kurang berminat untuk menikah. Hal tersebut diperlihatkan dengan penurunan angka pernikahan yang terjadi dari tahun ke tahun sebesar 1,1 persen. Tercatat hanya ada 378.000 pasangan yang menikah pada 2011. (sumber)
*
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Beberapa hari ini ada sejumlah pertanyaan – dalam forum kuliah atau media sosial – tentang topik childfree. Topik ini menghangat setelah beberapa selebritis menyampaikan secara terbuka sikapnya. Ada pasangan suami-istri yang memutuskan menjadi pasangan childfree.
Artinya, mereka memutuskan untuk tidak akan mempunyai anak. Meskipun secara medis, pasangan itu dimungkinkan untuk mempunyai anak.
Ada lagi selebriti yang menyatakan, bahwa dengan tidak mempunyai anak, maka ia merasa telah membantu dunia yang sudah kelebihan populasi. Katanya, sekarang sudah terlalu banyak manusia yang tinggal di planet bumi ini.
Bagaimana kita memandang fenomena childfree? Seorang praktisi pendidikan, Adriano Rusfi, berpendapat, bahwa dalam pandangan Islam, sudah tentu tidak ada istilah childfree atau menolak berketurunan. Apalagi pada pasangan yang sudah menikah. Dalam Islam, salah satu tujuan perkawinan memang mempunyai anak.
Dalam Islam, menurut Adriano Rusfi, tidak mendayagunakan fungsi tubuh adalah jahil. Sedangkan mendayagunakan fungsi tubuh secara berlebihan adalah zalim. Keduanya sama-sama bentuk dosa. Rasulullah saw telah bersabda agar kita “berbanyak-banyak” atau “berketurunan”. (sumber)
*
Pada tahun 2010, saat berkunjung ke Inggris, saya banyak ditemani oleh seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil doktor di University College of London (UCL). Suatu saat, ia mengajak beberapa anaknya yang masih kecil dalam acara di London. Menurutnya, ada teman-teman kuliahnya di UCL yang heran melihat ia ke kampus dengan membawa sejumlah anak. “Apa itu tidak merepotkan?” tanya mereka, seperti ditirukan oleh mahasiswa Indonesia tersebut.
Tentu saja, di sejumlah negara Barat, fenomena perempuan tidak mau punya anak sudah menjadi hal biasa. Mereka punya prinsip “kedaulatan alat reproduksi”. Perempuan itu sendiri – bukan suami atau orang lain — yang berhak memutuskan apakah ia mau punya anak atau tidak.
Dalam sistem keluarga di Barat, suami dan istri punya kedudukan setara. Tidak boleh suami memaksakan keinginannya untuk punya anak kepada istrinya. Tidak ada konsep “istri harus taat suami” dalam rumah tangga mereka. Punya anak atau tidak adalah hasil kesepakatan. Jika anak dianggap merepotkan karir atau kehidupan sang istri, maka lebih baik tidak punya anak.
Sistem keluarga dan sosial seperti ini telah memunculkan krisis penduduk di sejumlah negara di Barat dan negara-negara modern lainnya. Tahun 2012 lalu, Jerman mengkhawatirkan rendahnya angka pertumbuhan penduduknya. Menurut data statistik, angka kelahiran bayi di negara tersebut menempati angka terendah sepanjang sejarah. Rendahnya angka kelahiran di negara tersebut menimbulkan kekhawatiran persoalan populasi negara tersebut di masa depan.
Data Kantor Statistik Federal Jerman di Wiesbaden mengungkap pada tahun 2011 terdapat 663.000 bayi yang dilahirkan di negara tersebut. Hal ini berarti, menurun sebanyak 15.000 kelahiran lebih sedikit dari angka tahun lalu, atau turun 2,2 persen. Sebagai perbandingan, ada sekitar 1,4 juta bayi yang dilahirkan di Jerman pada 1964. Setelah itu, tingkat kelahiran bayi terus mengalami penurunan.
Sejak 1972, angka kematian telah melebihi jumlah dari angka kelahiran bayi. Sementara jarak antara perbandingan angka kematian dan angka kelahiran juga meningkat selama beberapa tahun terakhir, ketika jumlah kematian pada 2011 mengalami sedikit penurunan sebesar 0,7 persen sehingga mencapai 852.000.
Dalam skenario tersebut, angka rata-rata kematian akan meningkat sebagai akibat dari masyarakat yang semakin tua. Statistik menunjukkan, warga Jerman tidak hanya cenderung untuk memiliki sedikit anak, namun juga kurang berminat untuk menikah. Hal tersebut diperlihatkan dengan penurunan angka pernikahan yang terjadi dari tahun ke tahun sebesar 1,1 persen. Tercatat hanya ada 378.000 pasangan yang menikah pada 2011. (sumber)
*
Sebenarnya soal menikah dan memiliki anak sudah diletakkan secara adil dalam Islam. Jika seorang memiliki worldview (pandangan hidup) yang benar, maka seorang akan mampu memahami dan menempatkan masalah ini secara adil dan beradab.
Perintah Nabi untuk menikah diberikan kepada para pemuda yang sudah “mampu”. Jika tidak mampu, ya berpuasalah. Rasulullah saw menyebut nikah adalah sunnah beliau dan siapa yang membenci sunnah beliau maka ia bukan termasuk golongan Nabi. Menikah juga satu bentuk ibadah.
Tetapi, tidak setiap orang wajib menikah. Jika ia terjatuh dalam zina, karena tidak menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Ada ulama – meskipun sangat kecil jumlahnya – yang memilih untuk tidak menikah dan menyibukkan diri dalam aktivitas keilmuan dan perjuangan.
Begitu juga soal anak. Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa ia senang memiliki anak (QS 3:14). Maka, merupakan sikap yang adil dan beradab, sesuai dengan fitrah manusia, jika suami-istri ingin punya anak. Tidak perlu khawatir soal rizki anak, sebab Allah sudah menjamin rizki anak-anak itu. Dalam praktiknya, jika orang tuanya tidak mampu, maka mereka wajib dibantu oleh saudara atau anak-anak itu menjadi tanggung jawab negara.
Anak-anak manusia itu harta yang sangat berharga. Anak manusia lebih berharga daripada anak kambing atau anak babi. Logisnya, manusia didorong untuk punya banyak anak. Tetapi, dengan syarat, orang tua harus bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Karena itulah, tugas orang tua adalah mencari ilmu agar bisa mendidik anak dengan baik. Sebab, anak-anak yang salah didik, bisa lebih rendah nilainya dan lebih merusak masyarakat daripada anak kambing atau anak babi.
Jadi, soal childfree perlu diletakkan pada tempatnya, dilihat secara adil dan beradab. Jika ada satu penyakit atau kondisi tertentu, baik saja mengambil keputusan childfree. Kata kuncinya: bertanya kepada ahlinya!
Bagi yang mampu memiliki anak dan mampu mendidik dengan baik, maka beranaklah sebanyak-banyaknya. Itu perintah Nabi. Jika belum mampu mendidik, maka belajarlah dengan benar! Carilah ilmu yang benar!
Keputusan suami istri untuk childfree – yang tidak adil dan beradab — akan berakibat pada diri mereka sendiri. Yang rugi mereka sendiri! Tuhan tidak rugi apa-apa. Begitu juga masyarakat dan negara juga tidak rugi apa-apa.
Jika orang zalim tidak mau punya anak, dan tidak mau menerima nasehat yang baik, maka orang-orang baik seharusnya memperbanyak anak. Begitu sederhana solusinya! Wallahu A’lam bish-shawab.
Perintah Nabi untuk menikah diberikan kepada para pemuda yang sudah “mampu”. Jika tidak mampu, ya berpuasalah. Rasulullah saw menyebut nikah adalah sunnah beliau dan siapa yang membenci sunnah beliau maka ia bukan termasuk golongan Nabi. Menikah juga satu bentuk ibadah.
Tetapi, tidak setiap orang wajib menikah. Jika ia terjatuh dalam zina, karena tidak menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Ada ulama – meskipun sangat kecil jumlahnya – yang memilih untuk tidak menikah dan menyibukkan diri dalam aktivitas keilmuan dan perjuangan.
Begitu juga soal anak. Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa ia senang memiliki anak (QS 3:14). Maka, merupakan sikap yang adil dan beradab, sesuai dengan fitrah manusia, jika suami-istri ingin punya anak. Tidak perlu khawatir soal rizki anak, sebab Allah sudah menjamin rizki anak-anak itu. Dalam praktiknya, jika orang tuanya tidak mampu, maka mereka wajib dibantu oleh saudara atau anak-anak itu menjadi tanggung jawab negara.
Anak-anak manusia itu harta yang sangat berharga. Anak manusia lebih berharga daripada anak kambing atau anak babi. Logisnya, manusia didorong untuk punya banyak anak. Tetapi, dengan syarat, orang tua harus bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Karena itulah, tugas orang tua adalah mencari ilmu agar bisa mendidik anak dengan baik. Sebab, anak-anak yang salah didik, bisa lebih rendah nilainya dan lebih merusak masyarakat daripada anak kambing atau anak babi.
Jadi, soal childfree perlu diletakkan pada tempatnya, dilihat secara adil dan beradab. Jika ada satu penyakit atau kondisi tertentu, baik saja mengambil keputusan childfree. Kata kuncinya: bertanya kepada ahlinya!
Bagi yang mampu memiliki anak dan mampu mendidik dengan baik, maka beranaklah sebanyak-banyaknya. Itu perintah Nabi. Jika belum mampu mendidik, maka belajarlah dengan benar! Carilah ilmu yang benar!
Keputusan suami istri untuk childfree – yang tidak adil dan beradab — akan berakibat pada diri mereka sendiri. Yang rugi mereka sendiri! Tuhan tidak rugi apa-apa. Begitu juga masyarakat dan negara juga tidak rugi apa-apa.
Jika orang zalim tidak mau punya anak, dan tidak mau menerima nasehat yang baik, maka orang-orang baik seharusnya memperbanyak anak. Begitu sederhana solusinya! Wallahu A’lam bish-shawab.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi:
Awal Menciptakan Peradaban
Menikah adalah ikatan sakral nan agung. Dalam Islam, menikah berarti me nyempurnakan separuh dari agamanya. Menikah penuh dengan nilai-nilai religi.
Bagai mana tidak, sesuatu yang awalnya diharamkan, berubah hukum menjadi sesuatu yang dinilai mubah bahkan berpahala dan menjadi ibadah.
Makna dalam pernikahan ini yang kadang terluput dari orang yang menikah. Menikah pada dasarnya menciptakan generasi saleh yang menjadi batu bata peradaban Islam. Namun, dengan dalih cinta, makna dalam ini kabur, salah satunya dengan kampanye nikah beda agama. Umat mesti menyadari hakikat pernikahan yang bukan berlandaskan cinta dan nafsu saja. Inilah yang ditegaskan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr Hamid Fahmy Zarkasyi. Berikut petikan wawancaranya bersama Wartawan Republika Hannan Putra.
Apa makna suci pernikahan?
Pernikahan bukan sekadar hubungan suami istri. Pernikahan itu adalah untuk menghasilkan generasi, yaitu anak-anak yang saleh yang kemudian akan mendoakan kedua orang tuanya. Sekarang, bagaimana anak-anak itu akan menjadi anak yang saleh, kalau orang tuanya beda agama. Anak-anak akan kebingungan memilih agamanya, apakah dia menjadi Muslim atau tidak. Hadis soal ini jelas, "Setiap anak adam yang lahir ke dunia itu dalam keadaan fitrah (Islam). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR Muslim).
Di sinilah masalahnya, kalau orang tuanya menikah dengan orang yang berbeda agama, itu pasti ada persoalan. Pasti salah satu orang tuanya ingin anaknya mengikutinya. Inilah kasus yang banyak terjadi. Seperti kita lihat kasus nikah beda agama para artis yang marak di televisi. Orang Islam yang menikah beda agama, mereka tidak berniat untuk menghasilkan waladun shalihun yad’u lahu (anak yang saleh yang akan men doakan kedua orang tuanya).
Seberapa penting urgensi pernikahan dalam Islam?
Pernikahan dalam Islam kita sebut dengan mitsaqan ghalizha. Ikatan ini bukan hanya dengan manusia, tapi dengan Tuhan. Orang Islam lakilaki yang menikah dengan wanita non-Muslim sekalipun, tugas utamanya adalah menjadikan dia Muslimah dahulu. Artinya, tetap tujuannya untuk menikah adalah untuk menciptakan kesalehan yang kemudian akan melahirkan anak yang saleh.
Apa maksud ayat, "salah satu tanda kebesaran Allah adalah menikah"?
Ada banyak hal dalam pernikahan itu yang menjadi tanda kebesaran Allah. Dalam Alquran kan disebutkan, salah satu tanda kebesaran Allah adalah Dia menciptakan makhluknya berpasangpasangan. Ada laki-laki dan perempuan.
Men cip ta kan laki-laki dan perempuan itu hikmahnya agar mereka ini menikah. Dari pernikahan itu menghasilkan anak-anak yang menjadi penerus generasi.
Jadi, pernikahan itu bukan hanya sekadar hubungan suami-istri dengan dasar saling mencintai. Bukan hanya itu. Ada sesuatu yang agung di balik pernikahan itu. Inilah yang dijelaskan dalam ayat itu. Mereka yang menikah (beda agama) tanpa berdasarkan akidah, mungkin tidak membaca ayat ini. Bagi mereka hanya sekadar saling mencintai.
Inilah yang menjadikan alasan bagi mereka yang menghalalkan nikah beda agama. karena keduanya sudah saling mencintai, mengapa harus kita larang untuk menikah? Tapi mereka ini hanya bicara sebatas cinta. Mereka tidak membahas soal sesudah pernikahan. Mereka tidak mau tahu, bahwa ayat-ayat Alquran sebenarnya membahas perkara di balik pernikahan itu.
Inilah yang perlu kita pahami tentang makna menikah itu, bahwa menikah adalah menjalin ikatan dengan Tuhan di samping menjalin ikatan dengan manusia. Kemudian, ada ikatan pula dengan regenerasi. Di sini sebenarnya peradaban itu. Kalau kita bicara soal peradaban, menikah adalah awal peradaban manusia itu. Menikah berarti melahirkan peradaban, dari menikah, melahirkan keturunan, dan keturunan itu besar kemudian menikah lagi. Inilah hal yang agung itu.
Awal Menciptakan Peradaban
Menikah adalah ikatan sakral nan agung. Dalam Islam, menikah berarti me nyempurnakan separuh dari agamanya. Menikah penuh dengan nilai-nilai religi.
Bagai mana tidak, sesuatu yang awalnya diharamkan, berubah hukum menjadi sesuatu yang dinilai mubah bahkan berpahala dan menjadi ibadah.
Makna dalam pernikahan ini yang kadang terluput dari orang yang menikah. Menikah pada dasarnya menciptakan generasi saleh yang menjadi batu bata peradaban Islam. Namun, dengan dalih cinta, makna dalam ini kabur, salah satunya dengan kampanye nikah beda agama. Umat mesti menyadari hakikat pernikahan yang bukan berlandaskan cinta dan nafsu saja. Inilah yang ditegaskan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr Hamid Fahmy Zarkasyi. Berikut petikan wawancaranya bersama Wartawan Republika Hannan Putra.
Apa makna suci pernikahan?
Pernikahan bukan sekadar hubungan suami istri. Pernikahan itu adalah untuk menghasilkan generasi, yaitu anak-anak yang saleh yang kemudian akan mendoakan kedua orang tuanya. Sekarang, bagaimana anak-anak itu akan menjadi anak yang saleh, kalau orang tuanya beda agama. Anak-anak akan kebingungan memilih agamanya, apakah dia menjadi Muslim atau tidak. Hadis soal ini jelas, "Setiap anak adam yang lahir ke dunia itu dalam keadaan fitrah (Islam). Kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR Muslim).
Di sinilah masalahnya, kalau orang tuanya menikah dengan orang yang berbeda agama, itu pasti ada persoalan. Pasti salah satu orang tuanya ingin anaknya mengikutinya. Inilah kasus yang banyak terjadi. Seperti kita lihat kasus nikah beda agama para artis yang marak di televisi. Orang Islam yang menikah beda agama, mereka tidak berniat untuk menghasilkan waladun shalihun yad’u lahu (anak yang saleh yang akan men doakan kedua orang tuanya).
Seberapa penting urgensi pernikahan dalam Islam?
Pernikahan dalam Islam kita sebut dengan mitsaqan ghalizha. Ikatan ini bukan hanya dengan manusia, tapi dengan Tuhan. Orang Islam lakilaki yang menikah dengan wanita non-Muslim sekalipun, tugas utamanya adalah menjadikan dia Muslimah dahulu. Artinya, tetap tujuannya untuk menikah adalah untuk menciptakan kesalehan yang kemudian akan melahirkan anak yang saleh.
Apa maksud ayat, "salah satu tanda kebesaran Allah adalah menikah"?
Ada banyak hal dalam pernikahan itu yang menjadi tanda kebesaran Allah. Dalam Alquran kan disebutkan, salah satu tanda kebesaran Allah adalah Dia menciptakan makhluknya berpasangpasangan. Ada laki-laki dan perempuan.
Men cip ta kan laki-laki dan perempuan itu hikmahnya agar mereka ini menikah. Dari pernikahan itu menghasilkan anak-anak yang menjadi penerus generasi.
Jadi, pernikahan itu bukan hanya sekadar hubungan suami-istri dengan dasar saling mencintai. Bukan hanya itu. Ada sesuatu yang agung di balik pernikahan itu. Inilah yang dijelaskan dalam ayat itu. Mereka yang menikah (beda agama) tanpa berdasarkan akidah, mungkin tidak membaca ayat ini. Bagi mereka hanya sekadar saling mencintai.
Inilah yang menjadikan alasan bagi mereka yang menghalalkan nikah beda agama. karena keduanya sudah saling mencintai, mengapa harus kita larang untuk menikah? Tapi mereka ini hanya bicara sebatas cinta. Mereka tidak membahas soal sesudah pernikahan. Mereka tidak mau tahu, bahwa ayat-ayat Alquran sebenarnya membahas perkara di balik pernikahan itu.
Inilah yang perlu kita pahami tentang makna menikah itu, bahwa menikah adalah menjalin ikatan dengan Tuhan di samping menjalin ikatan dengan manusia. Kemudian, ada ikatan pula dengan regenerasi. Di sini sebenarnya peradaban itu. Kalau kita bicara soal peradaban, menikah adalah awal peradaban manusia itu. Menikah berarti melahirkan peradaban, dari menikah, melahirkan keturunan, dan keturunan itu besar kemudian menikah lagi. Inilah hal yang agung itu.
👍1
Bagaimana Islam memandu umatnya dalam memilih jodoh?
Hadisnya sudah jelas soal ini. Islam menuntun kita, agar pilihan kita tidak salah, kita disuruh untuk beristikharah. Istikharah tentu saja dengan ilmu. Jadi, memilih jodoh itu dengan ilmu. Soal ini kan ketentuannya sudah jelas dari Nabi. Bagaimana keturunannya, hartanya, rupanya, dan agamanya. Ini kriteria yang sangat manusiawi sekali. Orang zaman sekarang pun, untuk menikah itu tidak sekadar karena cantik. Bukan sekadar cinta.
Jadi, kalau untuk menikah, harus jelas orang tua dan keturunannya seperti apa. Agamanya juga dilihat seperti apa. Kalau orang yang religius pasti akan mempertimbangkan aspek-aspek seperti yang di dalam hadis itu. Dia pasti akan berhati-hati untuk pernikahan yang nilainya sangat sakral itu. Hal-hal ini mungkin tidak akan nyambung dengan perspektif orang yang tidak beragama.
Apa fadhilah (keutamaan) menikah?
Menikah adalah solusi dari pengharaman zina. Masalah syahwat, kalau dia tidak ditampung dalam institusi pernikahan, dia akan merusak seluruh sistem yang ada. Dengan syahwat orang bisa mencuri, berjudi, membunuh, dan perbuatan kriminal lainnya. Tapi dengan menikah, orang akan sakinah (tenang). Tidak mungkin orang yang sudah sakinah akan berlaku buruk, misalkan selingkuh. Itu tidak mungkin.
Dari sinilah kita bisa menciptakan masyarakat yang baik. Bagaimana mungkin pernikahan yang cu ma dasarnya karena cinta tadi itu bisa menciptakan sakinah? Bayangkan, hanya karena alasan berdasarkan cinta, hubungan pernikahan ini sudah bisa dilangsungkan. Entah model masyarakat seperti apa yang akan lahir nanti?
Apa makna sakinah, mawadah , warahmah yang benar?
Orang yang sudah mempunyai sakan (rumah) dan mempunyai istri, intinya sudah mempunyai tempat kembali (sakana) itu merasa nyaman. Di situlah dia nanti akan mencintai keluarganya. Kalau sudah sakinah (tenang) hubungan suami istri itu akan baik. Jika berumah tangga tujuannya adalah untuk ibadah, pasti anak keturunan yang akan dilahirkan akan saleh.
Orang yang tidak sakinah dalam rumah tangga nya, bagaimana dia akan membangun sebuah rumah tangga yang menciptakan generasi-generasi soleh. Mana mungkin generasi yang nantinya akan menjadi orang-orang besar akan lahir dari rumah tangga yang tidak sakinah. Apalagi tidak ada mawaddah dan rahmahnya.
----
ed: hafidz muftisany / ROL
Hadisnya sudah jelas soal ini. Islam menuntun kita, agar pilihan kita tidak salah, kita disuruh untuk beristikharah. Istikharah tentu saja dengan ilmu. Jadi, memilih jodoh itu dengan ilmu. Soal ini kan ketentuannya sudah jelas dari Nabi. Bagaimana keturunannya, hartanya, rupanya, dan agamanya. Ini kriteria yang sangat manusiawi sekali. Orang zaman sekarang pun, untuk menikah itu tidak sekadar karena cantik. Bukan sekadar cinta.
Jadi, kalau untuk menikah, harus jelas orang tua dan keturunannya seperti apa. Agamanya juga dilihat seperti apa. Kalau orang yang religius pasti akan mempertimbangkan aspek-aspek seperti yang di dalam hadis itu. Dia pasti akan berhati-hati untuk pernikahan yang nilainya sangat sakral itu. Hal-hal ini mungkin tidak akan nyambung dengan perspektif orang yang tidak beragama.
Apa fadhilah (keutamaan) menikah?
Menikah adalah solusi dari pengharaman zina. Masalah syahwat, kalau dia tidak ditampung dalam institusi pernikahan, dia akan merusak seluruh sistem yang ada. Dengan syahwat orang bisa mencuri, berjudi, membunuh, dan perbuatan kriminal lainnya. Tapi dengan menikah, orang akan sakinah (tenang). Tidak mungkin orang yang sudah sakinah akan berlaku buruk, misalkan selingkuh. Itu tidak mungkin.
Dari sinilah kita bisa menciptakan masyarakat yang baik. Bagaimana mungkin pernikahan yang cu ma dasarnya karena cinta tadi itu bisa menciptakan sakinah? Bayangkan, hanya karena alasan berdasarkan cinta, hubungan pernikahan ini sudah bisa dilangsungkan. Entah model masyarakat seperti apa yang akan lahir nanti?
Apa makna sakinah, mawadah , warahmah yang benar?
Orang yang sudah mempunyai sakan (rumah) dan mempunyai istri, intinya sudah mempunyai tempat kembali (sakana) itu merasa nyaman. Di situlah dia nanti akan mencintai keluarganya. Kalau sudah sakinah (tenang) hubungan suami istri itu akan baik. Jika berumah tangga tujuannya adalah untuk ibadah, pasti anak keturunan yang akan dilahirkan akan saleh.
Orang yang tidak sakinah dalam rumah tangga nya, bagaimana dia akan membangun sebuah rumah tangga yang menciptakan generasi-generasi soleh. Mana mungkin generasi yang nantinya akan menjadi orang-orang besar akan lahir dari rumah tangga yang tidak sakinah. Apalagi tidak ada mawaddah dan rahmahnya.
----
ed: hafidz muftisany / ROL
Kita Bukan Bangsa Munafik
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tahun 1951, Buya Hamka, menulis dalam sebuah risalah kecil berjudul “Urat Tunggang Pancasila”. Hamka menyebutkan, bahwa suatu bangsa, menurut kaum yang memperjuangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan mencapai derajat yang setinggi-tingginya, selama mereka masih memegang tiga perkara pokok dari Kemerdekaan, yaitu (1) Merdeka iradah, (2) merdeka pikiran, dan (3) merdeka jiwa.
“Kepercayaan inilah yang menyebabkan tidak ada ketakutan. Tidak takut miskin, dan tidak sombong lantaran kaya. Tahan seketika dapat sengsara, dan tahan pula seketika dapat ni’mat. Dan tidak pula canggung seketika jatuh dari ni’mat. Karena yang dikerjakan dalam hidup ini adalah bakti dan ibadah belaka. Dan kalau pokok ini yang runtuh (kemerdekaan jiwa), inilah permulaan hilang kemerdekaan. Walaupun serdadu asing tidak ada di dalamnya lagi. Bahkan, pemerintahannya itulah yang akan asing baginya.” (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Media Dakwah, 1985, hlm. 28-29).
Para pendiri bangsa kita telah menegaskan, bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Para ulama NU yang bermusyawarah nasional di Situbondo tahun 1983 menegaskan, bahwa bagi umat Islam, sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu bermakna Tauhid dalam ajaran Islam.
Tentu, kita memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak bermakna sekedar mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi, pada saat yang sama, manusia hidup tanpa mempedulikan Tuhan. Apalagi, sampai berani melawan Tuhan. Lebih parah lagi, jika berani mengubah-ubah ajaran Tuhan, dengan tujuan untuk menyesatkan manusia.
Sikap hanya mau mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa – tetapi menolak untuk diatur oleh-Nya — seperti itu pernah dilakukan oleh makhluk durjana bernama Iblis yang telah dilaknat oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena membangkang atas perintah-Nya.
Berulang kali al-Quran mengingatkan agar umat Islam jangan sekali-kali mengikuti langkah Iblis dan setan atau terjebak dalam godaan setan, sehingga tersesat dari jalan lurus. Setiap muslim telah berjanji dan berikrar: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!”
Maknanya jelas, seorang Muslim hanya mengakui Tuhan yang Esa, yaitu Allah SWT. Ia menolak tuhan-tuhan lain. Ia berjanji untuk hanya menyembah dan taat kepada Allah, bukan taat kepada Tuyul atau makhluk apa pun juga! Ia pun mengakui, berikrar, bersaksi, bahwa Allah sudah mengirimkan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia, yaitu Muhammad saw, yang ajaran-ajarannya pasti menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Betulkah ciri utama manusia Indonesia – seperti dikatakan budayawan Mokhtar Lubis – adalah munafik? Yakni, lain yang dikata, lain pula yang dibuat? Kita jawab,”Tidak!” Bangsa Indonesia adalah manusia-manusia jujur, dan bukan bangsa munafik! Setidaknya, itulah doa kita, agar kita semua terhindar dari sifat munafik.
Yang jelas, al-Quran begitu banyak menjelaskan ciri-ciri orang-orang munafik. Diantaranya, jika bertemu orang mukmin, mereka mengaku-aku beriman; dan jika bertemu sesama munafik, mereka pun mengaku bagian dari golongan munafik juga. Mereka hanya melakukan pelecehan dan penghinaan kepada orang-orang beriman. (QS 2:14).
Sikap dan perilaku jahat kaum munafik – yang secara lahir mengaku beriman, tetapi batinnya mencintai kekufuran – bahkan diabadikan dalam satu surat khusus, yaitu Surat al-Munafiqun (63). Mereka dikenal sebagai pendusta, mengaku-aku beriman padahal selalu memusuhi kaum Muslimin.
Kadang, mereka tak segan bersumpah-sumpah agar bisa dipercaya. Padahal, mereka selalu berusaha menghalagi manusia untuk mendekat kepada Allah. Juga, tak jarang penampilan lahiriah kaum munafik itu sangat memukau; ucapan-ucapan mereka pun banyak didengar orang. Jika diajak beriman, mereka bersikap angkuh, membuang muka, enggan menerima kebenaran. (QS 63:1-5).
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tahun 1951, Buya Hamka, menulis dalam sebuah risalah kecil berjudul “Urat Tunggang Pancasila”. Hamka menyebutkan, bahwa suatu bangsa, menurut kaum yang memperjuangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan mencapai derajat yang setinggi-tingginya, selama mereka masih memegang tiga perkara pokok dari Kemerdekaan, yaitu (1) Merdeka iradah, (2) merdeka pikiran, dan (3) merdeka jiwa.
“Kepercayaan inilah yang menyebabkan tidak ada ketakutan. Tidak takut miskin, dan tidak sombong lantaran kaya. Tahan seketika dapat sengsara, dan tahan pula seketika dapat ni’mat. Dan tidak pula canggung seketika jatuh dari ni’mat. Karena yang dikerjakan dalam hidup ini adalah bakti dan ibadah belaka. Dan kalau pokok ini yang runtuh (kemerdekaan jiwa), inilah permulaan hilang kemerdekaan. Walaupun serdadu asing tidak ada di dalamnya lagi. Bahkan, pemerintahannya itulah yang akan asing baginya.” (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Media Dakwah, 1985, hlm. 28-29).
Para pendiri bangsa kita telah menegaskan, bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Para ulama NU yang bermusyawarah nasional di Situbondo tahun 1983 menegaskan, bahwa bagi umat Islam, sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu bermakna Tauhid dalam ajaran Islam.
Tentu, kita memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak bermakna sekedar mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi, pada saat yang sama, manusia hidup tanpa mempedulikan Tuhan. Apalagi, sampai berani melawan Tuhan. Lebih parah lagi, jika berani mengubah-ubah ajaran Tuhan, dengan tujuan untuk menyesatkan manusia.
Sikap hanya mau mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa – tetapi menolak untuk diatur oleh-Nya — seperti itu pernah dilakukan oleh makhluk durjana bernama Iblis yang telah dilaknat oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena membangkang atas perintah-Nya.
Berulang kali al-Quran mengingatkan agar umat Islam jangan sekali-kali mengikuti langkah Iblis dan setan atau terjebak dalam godaan setan, sehingga tersesat dari jalan lurus. Setiap muslim telah berjanji dan berikrar: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!”
Maknanya jelas, seorang Muslim hanya mengakui Tuhan yang Esa, yaitu Allah SWT. Ia menolak tuhan-tuhan lain. Ia berjanji untuk hanya menyembah dan taat kepada Allah, bukan taat kepada Tuyul atau makhluk apa pun juga! Ia pun mengakui, berikrar, bersaksi, bahwa Allah sudah mengirimkan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia, yaitu Muhammad saw, yang ajaran-ajarannya pasti menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Betulkah ciri utama manusia Indonesia – seperti dikatakan budayawan Mokhtar Lubis – adalah munafik? Yakni, lain yang dikata, lain pula yang dibuat? Kita jawab,”Tidak!” Bangsa Indonesia adalah manusia-manusia jujur, dan bukan bangsa munafik! Setidaknya, itulah doa kita, agar kita semua terhindar dari sifat munafik.
Yang jelas, al-Quran begitu banyak menjelaskan ciri-ciri orang-orang munafik. Diantaranya, jika bertemu orang mukmin, mereka mengaku-aku beriman; dan jika bertemu sesama munafik, mereka pun mengaku bagian dari golongan munafik juga. Mereka hanya melakukan pelecehan dan penghinaan kepada orang-orang beriman. (QS 2:14).
Sikap dan perilaku jahat kaum munafik – yang secara lahir mengaku beriman, tetapi batinnya mencintai kekufuran – bahkan diabadikan dalam satu surat khusus, yaitu Surat al-Munafiqun (63). Mereka dikenal sebagai pendusta, mengaku-aku beriman padahal selalu memusuhi kaum Muslimin.
Kadang, mereka tak segan bersumpah-sumpah agar bisa dipercaya. Padahal, mereka selalu berusaha menghalagi manusia untuk mendekat kepada Allah. Juga, tak jarang penampilan lahiriah kaum munafik itu sangat memukau; ucapan-ucapan mereka pun banyak didengar orang. Jika diajak beriman, mereka bersikap angkuh, membuang muka, enggan menerima kebenaran. (QS 63:1-5).
Jika kita telah berikrar menjadi muslim, apa pun posisi dan kedudukan sosial kita, maka tidak relevan lagi, kita berdiskusi, apakah Indonesia ini negara agama atau negara sekuler. Wacana bahwa Indonesia adalah “bukan negara agama dan bukan negara sekuler” tidak berlaku bagi seorang Muslim yang memiliki pandangan alam (weltanchaung/worldview) Islam.
Sebab, di mana pun, dan kapan pun, seorang Muslim akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah, yang cinta dan ridha untuk selalu berusaha mentaati ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepada kita melalui utusan-Nya yang terakhir (yaitu Nabi Muhammad saw).
Islam tidak memaksa orang lain untuk menerima hidayah Allah. Iman dan kufur menjadi tanggung jawab diri masing-masing. Apalagi, kita semua, umat Nabi Muhammad saw, tugasnya hanya menyampaikan imbauan kebenaran kepada para pemimpin dan masyarakat. Semoga kita semua, bangsa Indonesia, berhenti melecehkan sila Ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa.
Semoga kita selamat dari sifat-sifat buruk kaum munafik yang secara sadar atau tidak telah berani melecehkan Tuhan Yang Maha Esa, dengan hanya mengaku-aku berketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dirinya membenci, melecehkan dan terus berusaha menyingkirkan ajaran-ajaran Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negaranya.
Semoga kita selamat; juga keluarga, sahabat, dan para pemimpin kita, dari sifat-sifat orang munafik itu. Sebab, di akhirat, orang-orang munafik akan ditempatkan di dasar neraka. (Depok, 28 Desember 2021).
Sebab, di mana pun, dan kapan pun, seorang Muslim akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah, yang cinta dan ridha untuk selalu berusaha mentaati ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepada kita melalui utusan-Nya yang terakhir (yaitu Nabi Muhammad saw).
Islam tidak memaksa orang lain untuk menerima hidayah Allah. Iman dan kufur menjadi tanggung jawab diri masing-masing. Apalagi, kita semua, umat Nabi Muhammad saw, tugasnya hanya menyampaikan imbauan kebenaran kepada para pemimpin dan masyarakat. Semoga kita semua, bangsa Indonesia, berhenti melecehkan sila Ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa.
Semoga kita selamat dari sifat-sifat buruk kaum munafik yang secara sadar atau tidak telah berani melecehkan Tuhan Yang Maha Esa, dengan hanya mengaku-aku berketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dirinya membenci, melecehkan dan terus berusaha menyingkirkan ajaran-ajaran Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negaranya.
Semoga kita selamat; juga keluarga, sahabat, dan para pemimpin kita, dari sifat-sifat orang munafik itu. Sebab, di akhirat, orang-orang munafik akan ditempatkan di dasar neraka. (Depok, 28 Desember 2021).
Salah Alamat Yahudi Mau Mendidik Rakyat Indonesia Tentang Bahaya Rasialisme
Oleh: Dr. Adian Husaini
Kepada BBC News Indonesia, Pemimpin Sinagog Yahudi dan pengelola Museum Holokos di Minahasa, Rabi Yakoov Baruch, menyatakan: “Saya ingin mengedukasi masyarakat Indonesia tentang bahayanya rasialisme dan kebencian.” (BBC News Indonesia, Kamis (03/02/2022).
Ia juga menyatakan: “Kalau kita tidak memerangi rasialisme dan kebencian sejak dini, dan itu bisa terlambat, maka peristiwa seperti holokos akan menjadi pelajaran buat kita… Bukan untuk hanya genosida terhadap bangsa Yahudi saja, tapi terhadap suku etnis manapun. Itu tidak bisa dibenarkan.”
Menurut Rabi Yakoov, Museum Holokos didirikan bukan kampanyekan normalisasi hubungan RI-Israel. “Saya menjelaskan kembali sikap Yahudi Indonesia mendukung keputusan pemerintah Indonesia, yang sampai saat ini mempunyai sikap terhadap konflik Israel-Palestina itu seperti apa, kita tahu. Kami mendukung sepenuhnya,” kata Yakoov.
Bahkan, katanya, Museum Holokos itu tidak mendapat bantuan pihak asing dalam bentuk “uang atau apa pun”. Pembangunan museum itu disebutnya “murni dari hasil keringat kami.”
“Kami hanya dibantu diberi gambar [foto], karena kami tidak memiliki sumber untuk membuat gambar,” ungkapnya di hadapan perwakilan MUI Sulut. Yakoov juga menegaskan, pihaknya “tidak mengendorse negara asing atau untuk kepentingan asing”.
“Semuanya dalam bingkai NKRI, di mana Konstitusi kita menentang segala bentuk penjajahan, termasuk kita belajar dari penjajahan Nazi di Eropa,” jelasnya. (https://www.suara.com/news/2022/02/05/171824/museum-holokos-di-minahasa-polemik-antara-zionisme-dengan-yudaisme).
Pernyataan Rabi Yakoov yang ingin mengedukasi masyarakat Indonesia akan bahaya rasialisme patut kita cermati. Sebab, sepatutnya, hal itu dilakukan kepada masyarakat Yahudi, khususnya negara Yahudi Israel, yang dikenal sebagai negara rasis. Laporan Human Right Watch (HRW) tahun 2021 menyebutkan, Israel memang melakukan kejahatan politik rasialis terhadap warga non-Yahudi. (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210427190439-120-635578/human-rights-watch-sebut-israel-melakukan-kejahatan-apartheid).
Sang Rabi Yahudi itu juga menyatakan, bahwa pendirian Museum Holokos itu berada dalam bingkai NKRI yang konstitusinya menentang segala bentuk penjajahan. Nah, patut kita tanya kepada beliau, negara mana yang saat ini masih menjajah? Tidak lain, adalah negara Yahudi Israel!
Itulah yag ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dalam pidatonya di PBB, bulan Mei 2021 lalu. Media sindonews.com, 21 Mei 2021, menulis berita berjudul: “Menlu Retno di PBB: Israel Negara Penjajah Palestina, Harus Direspons Seluruh Negara!” (https://international.sindonews.com/read/433490/42/menlu-retno-di-pbb-israel-negara-penjajah-palestina-harus-direspons-seluruh-negara-1621577144).
Sejak merampas tanah Palestina dan mendirikan negara Yahudi, 14 Mei 1948, kaum Yahudi Zionis ini tak henti-hentinya menebar teror dan kekejaman. Pada 10 November 1975, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 3379 (xxx) yang menyatakan: “Zionisme adalah sebentuk rasisme dan diskriminasi rasial.”
Tahun 1955, Indonesia memelopori Konferensi Asia-Afrika, yang salah satu jiwa pokoknya jiwa anti-Zionisme. Mantan Menlu RI, Roeslan Abdulgani, menulis, dalam konferensi tersebut Zionisme dikatakan sebagai “the last chapter in the book of old colonialism, and the one of the blackest and darkest chapter in human history”. Menurut Roeslan, “Zionisme boleh dikatakan sebagai kolonialisme yang paling jahat dalam jaman modern sekarang ini.”
Penjajahan kaum Yahudi atas Palestina amat sangat jelas melanggar banyak resolusi PBB. Karena itu, sikap Indonesia tetap kokoh memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel. Maka, aneh, jika pendirian Museum Holokos ditujukan untuk mengajari masyarakat Indonesia tentang bahaya rasialisme.
Oleh: Dr. Adian Husaini
Kepada BBC News Indonesia, Pemimpin Sinagog Yahudi dan pengelola Museum Holokos di Minahasa, Rabi Yakoov Baruch, menyatakan: “Saya ingin mengedukasi masyarakat Indonesia tentang bahayanya rasialisme dan kebencian.” (BBC News Indonesia, Kamis (03/02/2022).
Ia juga menyatakan: “Kalau kita tidak memerangi rasialisme dan kebencian sejak dini, dan itu bisa terlambat, maka peristiwa seperti holokos akan menjadi pelajaran buat kita… Bukan untuk hanya genosida terhadap bangsa Yahudi saja, tapi terhadap suku etnis manapun. Itu tidak bisa dibenarkan.”
Menurut Rabi Yakoov, Museum Holokos didirikan bukan kampanyekan normalisasi hubungan RI-Israel. “Saya menjelaskan kembali sikap Yahudi Indonesia mendukung keputusan pemerintah Indonesia, yang sampai saat ini mempunyai sikap terhadap konflik Israel-Palestina itu seperti apa, kita tahu. Kami mendukung sepenuhnya,” kata Yakoov.
Bahkan, katanya, Museum Holokos itu tidak mendapat bantuan pihak asing dalam bentuk “uang atau apa pun”. Pembangunan museum itu disebutnya “murni dari hasil keringat kami.”
“Kami hanya dibantu diberi gambar [foto], karena kami tidak memiliki sumber untuk membuat gambar,” ungkapnya di hadapan perwakilan MUI Sulut. Yakoov juga menegaskan, pihaknya “tidak mengendorse negara asing atau untuk kepentingan asing”.
“Semuanya dalam bingkai NKRI, di mana Konstitusi kita menentang segala bentuk penjajahan, termasuk kita belajar dari penjajahan Nazi di Eropa,” jelasnya. (https://www.suara.com/news/2022/02/05/171824/museum-holokos-di-minahasa-polemik-antara-zionisme-dengan-yudaisme).
Pernyataan Rabi Yakoov yang ingin mengedukasi masyarakat Indonesia akan bahaya rasialisme patut kita cermati. Sebab, sepatutnya, hal itu dilakukan kepada masyarakat Yahudi, khususnya negara Yahudi Israel, yang dikenal sebagai negara rasis. Laporan Human Right Watch (HRW) tahun 2021 menyebutkan, Israel memang melakukan kejahatan politik rasialis terhadap warga non-Yahudi. (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210427190439-120-635578/human-rights-watch-sebut-israel-melakukan-kejahatan-apartheid).
Sang Rabi Yahudi itu juga menyatakan, bahwa pendirian Museum Holokos itu berada dalam bingkai NKRI yang konstitusinya menentang segala bentuk penjajahan. Nah, patut kita tanya kepada beliau, negara mana yang saat ini masih menjajah? Tidak lain, adalah negara Yahudi Israel!
Itulah yag ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, dalam pidatonya di PBB, bulan Mei 2021 lalu. Media sindonews.com, 21 Mei 2021, menulis berita berjudul: “Menlu Retno di PBB: Israel Negara Penjajah Palestina, Harus Direspons Seluruh Negara!” (https://international.sindonews.com/read/433490/42/menlu-retno-di-pbb-israel-negara-penjajah-palestina-harus-direspons-seluruh-negara-1621577144).
Sejak merampas tanah Palestina dan mendirikan negara Yahudi, 14 Mei 1948, kaum Yahudi Zionis ini tak henti-hentinya menebar teror dan kekejaman. Pada 10 November 1975, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 3379 (xxx) yang menyatakan: “Zionisme adalah sebentuk rasisme dan diskriminasi rasial.”
Tahun 1955, Indonesia memelopori Konferensi Asia-Afrika, yang salah satu jiwa pokoknya jiwa anti-Zionisme. Mantan Menlu RI, Roeslan Abdulgani, menulis, dalam konferensi tersebut Zionisme dikatakan sebagai “the last chapter in the book of old colonialism, and the one of the blackest and darkest chapter in human history”. Menurut Roeslan, “Zionisme boleh dikatakan sebagai kolonialisme yang paling jahat dalam jaman modern sekarang ini.”
Penjajahan kaum Yahudi atas Palestina amat sangat jelas melanggar banyak resolusi PBB. Karena itu, sikap Indonesia tetap kokoh memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel. Maka, aneh, jika pendirian Museum Holokos ditujukan untuk mengajari masyarakat Indonesia tentang bahaya rasialisme.
Kaum muslim tentu tidak membolehkan kebencian terhadap ras mana pun. Sebab, Al-Quran mengajarkan bahwa derajat manusia bukan ditentukan oleh ras-nya, tetapi ditentukan oleh iman dan taqwanya. Karena itulah, dalam sejarah Islam, selama ratusan tahun, kaum Yahudi justru dilindungi oleh umat Islam di Andalusia dan Turki Utsmani.
Karen Armstrong menulis dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991): “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire.”
Jadi, tujuan Sang Rabi Yahudi di Minahasa untuk mengajari masyarakat Indonesia akan bahaya rasialisme sepatutnya ditujukan kepada kaum Yahudi sendiri, dan khususnya kepada negara Yahudi Israel. Resolusi Mejelis Umum PBB sudah menyebutkan: “Zionisme adalah sebentuk rasisme dan diskriminasi rasial.”
Karen Armstrong menulis dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991): “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire.”
Jadi, tujuan Sang Rabi Yahudi di Minahasa untuk mengajari masyarakat Indonesia akan bahaya rasialisme sepatutnya ditujukan kepada kaum Yahudi sendiri, dan khususnya kepada negara Yahudi Israel. Resolusi Mejelis Umum PBB sudah menyebutkan: “Zionisme adalah sebentuk rasisme dan diskriminasi rasial.”
IJMA'
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada tanggal 27-28 Mei 2013 yang lalu Gerakan Fathullah Gulen mengadakan perhelatan besar di Istanbul. Acara yang diadakan di Istanbul Convention Center itu dihadiri oleh sekitar 5000 peserta dari 80 negara. Acaranya tidak seserius seminar karena jumlah pesertanya yang cukup banyak, dan tidak sesederhana Tabligh Akbar atau istighatsah karena materinya cukup penting dan berbobot.
Konferensi dua hari dengan tema Ijma wa al-Wa’yu al-jama’i (Ijma’ dan Kesadaran Bersama) menghadirkan kurang lebih 18 pembicara dari negara-negara Arab, India, Tunis, Maroko, Sudan, Qatar, Negeria, dan Turkey sendiri. Diantaranya adalah Prof. Dr. Ali Juma mantan Mufti Besar Mesir, Rashid al-Ghannushi, Tunisia, Prof. Dr. Isam al-Bashir, Sudan, Prof. Dr. Sayfu’d-Din Abdul Fattah, Cairo University, Prof. Dr. Muhammad Babaammi, Aljazair, Mukhtar ash-Shinqitee, Qatar, Prof. Dr. Abdul Majid Najjar, Tunisia dan beberapa ulama dan intelektual asal Turkey sendiri.
Diantara yang topic penting yang diangkat adalah sbb: Ijma Sebagai Sumber Ilmu, Kebenaran Ijma, Pentingnya Ijma Para Sahabat Nabi, Praktek Ijma’ di Zaman Umar, Khulafa al-Rasyidun dan Masyarakat Rasyid, Ijma’ Politik di zaman Sahabat, Institusionalisasi Ijma’, Standar Nilai dan Metode Training bagi Menciptakan Kultur Ijma, Aspek Spiritual dalam Kultur Ijma’, Dinamika Melahirkan Generasi Ijma’.
Dalam Key Note Speech-nya Ali Jum’ah membuka pernyataan yang cukup menarik. Semua bidang umat Islam kini bermasalah, bidang politik misalnya hingga kini belum mencapai periode anak-anak sekalipun. Bidang ekonomi Islam kini masih memerlukan kerja yang lebih keras lagi, dan sebagainya. Maka dari itu kita sangat membutuhkan kesadaran bersama dalam bentuk Ijma’.
Ijma’ dalam tradisi Fiqih berarti kesepakatan semua mujtahid dari ummat Muhammad saw pada zaman tertentu sesudah zaman Nabi Muhammad dalam masalah syariah. Disini tauladan yang diambil para ulama adalah Ijma’ yang dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidun (para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk).
Ijma’ yang diakukan oleh para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk dasarnya adalah keimanan, ketaqwaan, keikhlasan, ilmu pengetahuan, kesabaran, kesungguhan, kesadaran individu terhadap jama’ah. Artinya para khalifah yang mendapat petunjuk itu (khulafa’ al-rasyidun) itu didukung oleh masyarakat yang mendapat petunjuk pula (mujtama’ al-rasyid).
Maka kesepakatan (Ijma’) masyarakat di zaman tabi’in untuk memilih pemimpin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali itu adalah termasuk ijma’, dan itu tidak salah karena mendapat petunjuk Allah. Sebab Rasulullah telah meramalkan “Ummatku tidak akan berijma’ (bersepakat) dalam kesesatan.” Mazhab atau kelompok apapun yang menyalahkan ijma’ tersebut maka maka kelompok itu telah menyalahkan Nabi.
Tidak ada yang menafikan bahwa ‘ijma adalah sumber ilmu dalam Islam, dan kini umat Islam kini perlu melakukannya. Namun, persoalannya bagaimana ber-ijma’ di zaman sekarang ini. Ijma’ dalam masalah Fiqih adalah wajib menurut Abdul Hamid Mazkur. Tapi kini tantangannya tidak hanya dalam bidang Fiqih, bidang-bidang lain juga memerlukan ‘ijma.
Sayfu’d-Din Abdul Fattah, guru besar Universitas Kairo, menawarkan trilogi ijma. Pertama memaknai ulang kata ummah, kedua mengkaitkan ijma dengan pembaharuan, dan ketiga pelembagaan pelaksanaan Ijma’. Ketiga komponen ijma’ ini perlu diperjelas sebelum umat Islam melakukan suatu ijma’. Ini akan dapat menentukan apakah suatu kesepakatan dapat disebut Ijma’ atau tidak.
Kata ummah perlu dimaknai ulang, sebab ummah tidak sama dengan nation, kata Prof. Abbadi dari Maroko. Sedangkan ruang lingkup ijma’, menurut Prof. Abd. Hamid Mazkur dapat diperluas kepada masalah-masalah kemanusiaan dan bahkan keilmuan. Disini Abdul Majid Najjar dari Tunis mengusulkan agar universitas dijadikan tempat ijma’ para cendekiawan dalam masalah-masalah keilmuan. Sudah tentu, katanya, prosedur dan syarat ijma’ yang ditetapkan fuqaha harus ditepati.
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada tanggal 27-28 Mei 2013 yang lalu Gerakan Fathullah Gulen mengadakan perhelatan besar di Istanbul. Acara yang diadakan di Istanbul Convention Center itu dihadiri oleh sekitar 5000 peserta dari 80 negara. Acaranya tidak seserius seminar karena jumlah pesertanya yang cukup banyak, dan tidak sesederhana Tabligh Akbar atau istighatsah karena materinya cukup penting dan berbobot.
Konferensi dua hari dengan tema Ijma wa al-Wa’yu al-jama’i (Ijma’ dan Kesadaran Bersama) menghadirkan kurang lebih 18 pembicara dari negara-negara Arab, India, Tunis, Maroko, Sudan, Qatar, Negeria, dan Turkey sendiri. Diantaranya adalah Prof. Dr. Ali Juma mantan Mufti Besar Mesir, Rashid al-Ghannushi, Tunisia, Prof. Dr. Isam al-Bashir, Sudan, Prof. Dr. Sayfu’d-Din Abdul Fattah, Cairo University, Prof. Dr. Muhammad Babaammi, Aljazair, Mukhtar ash-Shinqitee, Qatar, Prof. Dr. Abdul Majid Najjar, Tunisia dan beberapa ulama dan intelektual asal Turkey sendiri.
Diantara yang topic penting yang diangkat adalah sbb: Ijma Sebagai Sumber Ilmu, Kebenaran Ijma, Pentingnya Ijma Para Sahabat Nabi, Praktek Ijma’ di Zaman Umar, Khulafa al-Rasyidun dan Masyarakat Rasyid, Ijma’ Politik di zaman Sahabat, Institusionalisasi Ijma’, Standar Nilai dan Metode Training bagi Menciptakan Kultur Ijma, Aspek Spiritual dalam Kultur Ijma’, Dinamika Melahirkan Generasi Ijma’.
Dalam Key Note Speech-nya Ali Jum’ah membuka pernyataan yang cukup menarik. Semua bidang umat Islam kini bermasalah, bidang politik misalnya hingga kini belum mencapai periode anak-anak sekalipun. Bidang ekonomi Islam kini masih memerlukan kerja yang lebih keras lagi, dan sebagainya. Maka dari itu kita sangat membutuhkan kesadaran bersama dalam bentuk Ijma’.
Ijma’ dalam tradisi Fiqih berarti kesepakatan semua mujtahid dari ummat Muhammad saw pada zaman tertentu sesudah zaman Nabi Muhammad dalam masalah syariah. Disini tauladan yang diambil para ulama adalah Ijma’ yang dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidun (para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk).
Ijma’ yang diakukan oleh para Khalifah Yang Mendapat Petunjuk dasarnya adalah keimanan, ketaqwaan, keikhlasan, ilmu pengetahuan, kesabaran, kesungguhan, kesadaran individu terhadap jama’ah. Artinya para khalifah yang mendapat petunjuk itu (khulafa’ al-rasyidun) itu didukung oleh masyarakat yang mendapat petunjuk pula (mujtama’ al-rasyid).
Maka kesepakatan (Ijma’) masyarakat di zaman tabi’in untuk memilih pemimpin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali itu adalah termasuk ijma’, dan itu tidak salah karena mendapat petunjuk Allah. Sebab Rasulullah telah meramalkan “Ummatku tidak akan berijma’ (bersepakat) dalam kesesatan.” Mazhab atau kelompok apapun yang menyalahkan ijma’ tersebut maka maka kelompok itu telah menyalahkan Nabi.
Tidak ada yang menafikan bahwa ‘ijma adalah sumber ilmu dalam Islam, dan kini umat Islam kini perlu melakukannya. Namun, persoalannya bagaimana ber-ijma’ di zaman sekarang ini. Ijma’ dalam masalah Fiqih adalah wajib menurut Abdul Hamid Mazkur. Tapi kini tantangannya tidak hanya dalam bidang Fiqih, bidang-bidang lain juga memerlukan ‘ijma.
Sayfu’d-Din Abdul Fattah, guru besar Universitas Kairo, menawarkan trilogi ijma. Pertama memaknai ulang kata ummah, kedua mengkaitkan ijma dengan pembaharuan, dan ketiga pelembagaan pelaksanaan Ijma’. Ketiga komponen ijma’ ini perlu diperjelas sebelum umat Islam melakukan suatu ijma’. Ini akan dapat menentukan apakah suatu kesepakatan dapat disebut Ijma’ atau tidak.
Kata ummah perlu dimaknai ulang, sebab ummah tidak sama dengan nation, kata Prof. Abbadi dari Maroko. Sedangkan ruang lingkup ijma’, menurut Prof. Abd. Hamid Mazkur dapat diperluas kepada masalah-masalah kemanusiaan dan bahkan keilmuan. Disini Abdul Majid Najjar dari Tunis mengusulkan agar universitas dijadikan tempat ijma’ para cendekiawan dalam masalah-masalah keilmuan. Sudah tentu, katanya, prosedur dan syarat ijma’ yang ditetapkan fuqaha harus ditepati.
Majid, bahkan menawarkan agar perlemen Negara Islam dijadikan lembaga ijma’. Jika ada ada angota non-Muslim di dalamnya maka ia harus berdasarkan keahlian dalam bidang tertentu.
Semua pembicara seperti sepakat bahwa umat Islam perlu melakukan ‘ijma dalam bidang politik, budaya, ekonomi, kemanusiaan dan lain sebagainya. Untuk itu konferensi rekomendasi, diantaranya, agar konferensi seperti ini diadaka disetiap Negara Islam. Yang terpenting adalah agar ummat Islam seluruh dunia menciptakan organisasi khusus dan pusat-pusat studi keilmuan untuk mendukung proses ijma’ dalam berbagai bidang.
Semua pembicara seperti sepakat bahwa umat Islam perlu melakukan ‘ijma dalam bidang politik, budaya, ekonomi, kemanusiaan dan lain sebagainya. Untuk itu konferensi rekomendasi, diantaranya, agar konferensi seperti ini diadaka disetiap Negara Islam. Yang terpenting adalah agar ummat Islam seluruh dunia menciptakan organisasi khusus dan pusat-pusat studi keilmuan untuk mendukung proses ijma’ dalam berbagai bidang.
TAFSIR AL AZHAR
Penulis: Prof. Dr. Hamka
DISKON Rp. 400.000,- & GRATIS ONGKOS KIRIM
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliau di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab.
Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
TAFSIR AL AZHAR
Penulis: Prof. Dr. Hamka
- DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 2.570.000,- (Harga normal Rp. 2.970.000,-)
- Gratis Ongkos Kirim.
1 set berisi 9 jilid (plus box) dengan berat 16 Kg.
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
Penulis: Prof. Dr. Hamka
DISKON Rp. 400.000,- & GRATIS ONGKOS KIRIM
Tafsir al-Azhar adalah hasil karya terbesar dari ulama ternama yaitu Prof. Dr. HAMKA. Dalam penyusunan Tafsir al-Azhar (sebagian ditulis ketika beliau di penjara) Buya HAMKA menggunakan metode tahlili (analitis) tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, tafsir dengan tafsir muktabar, penggunaan syair, menggunakan analisis bilma’tsur, menganalisis dengan kemampuan analisis sendiri dan disusun tanpa membawa pertikaian antar madzhab.
Tafsir al-Azhar menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ungkapan yang teliti menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an dengan bahasa yang indah dan menarik dan menghubungkan ayat dengan realitas sosial dan sistem budaya yang ada. Buya HAMKA membicarakan permasalahan sejarah sosial dan budaya di Indonesia. Beliau juga mendemonstrasikan keluasan pengetahuan, menekankan pemahaman ayat secara menyeluruh (mengutip ulama-ulama terdahulu) mendialogkan antara teks Al-Qur’an dengan kondisi umat Islam saat Tafsir al-Azhar ditulis.
------------------------------
TAFSIR AL AZHAR
Penulis: Prof. Dr. Hamka
- DISKON Rp. 400.000,- UNTUK PEMBELIAN 1 SET menjadi 2.570.000,- (Harga normal Rp. 2.970.000,-)
- Gratis Ongkos Kirim.
1 set berisi 9 jilid (plus box) dengan berat 16 Kg.
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
WhatsApp.com
Eko Heru Prayitno
Business Account
This media is not supported in your browser
VIEW IN TELEGRAM
blue shoes can't
Penjelasan Menarik Dr. Khalif Muammar Tentang Aswaja dan Ekstrimisme
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dr. Khalif Muammar adalah salah satu murid kepercayaan Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Saat ini, ia mendapat kepercayaan sebagai Direktur RZS CASIS-UTM (Raja Zarith Sofiah Center for Advanced Studies on Science, Islam, and Civlization — Universiti Teknologi Malaysia).
Dr. Khalif menyelesaikan studi S1 nya dalam bidang syariah di Yordania. Sedangkan S2 dan S3-nya diselesaikan di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur. Diantara banyak murid Prof. Naquib al-Attas, Dr. Khalif Muammar dipercaya oleh Prof. Naquib al-Attas untuk menerjemahkan buku “Islam and Secularism” ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu pemikiran yang menarik dari Dr. Khalif Muammar adalah paparannya tentang konsep Ahlus Sunnah wal-Jamaah (Aswaja).
Dalam mendefinisikan Aswaja, Dr. Khalif Muammar mengutip pendapat Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, yang menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) terdiri atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ra’y dan al-Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.
Menurut Dr. Khalif Muammar, berdasarkan penjelasan tersebut, bisa dipahami, konsep Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asya’irah atau Hanabilah dalam pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al-Salaf al-Salih.
Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai teks-teks aqidah, seperti ‘Aqa’id al-Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-‘Aqidah al-Sanusiyyah dan sebagainya.
Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya.
Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya (al-‘indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme.
Teks Aqidah, khususnya al-‘Aqa’id al-Nasafi, juga menjelaskan tentang sumber atau saluran ilmu. Bahwa ilmu dapat dicapai oleh manusia melalui pancaindera yang sehat (al-hawass al-salimah), berita yang benar (wahyu) dan akal yang selamat. Dari rumusan ini kita mendapatkan panduan dalam menyikapi ilmu sains dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya.
Dengan prinsip ini, umat Islam tidak menolak penelitian empiris dan rasional, induktif dan deduktif, selama ilmu-ilmu ini tidak melampaui batasannya, sehingga terlalu diagungkan dan dijadikan ukuran dalam persoalan yang tidak terjangkau oleh pancaindera dan akal seperti yang berlaku dalam peradaban sekular.
Dalam al-Farq Bayn al-Firaq dijelaskan tentang kesesatan golongan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, Batiniyyah, Khawarij, Syi’ah, dan al-Hasywiyyah. Abd al-Qahir al-Baghdadi menjelaskan 15 perkara yang menjadi prinsip dalam menyikapi dengan tegas golongan sesat (ahl-al-ziyagh).
Dalam Teks Aqidah juga dijelaskan tentang otoritas para Sahabat Nabi, Ulama, dan para imam. Prinsip ini berbeda dengan golongan Syiah yang menolak kepimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidun selain Sayyidina ‘Ali r.a. Para ulama Aswaja mengakui semua imam Khulafa’ al-Rasyidun tanpa prejudis.
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dr. Khalif Muammar adalah salah satu murid kepercayaan Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Saat ini, ia mendapat kepercayaan sebagai Direktur RZS CASIS-UTM (Raja Zarith Sofiah Center for Advanced Studies on Science, Islam, and Civlization — Universiti Teknologi Malaysia).
Dr. Khalif menyelesaikan studi S1 nya dalam bidang syariah di Yordania. Sedangkan S2 dan S3-nya diselesaikan di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur. Diantara banyak murid Prof. Naquib al-Attas, Dr. Khalif Muammar dipercaya oleh Prof. Naquib al-Attas untuk menerjemahkan buku “Islam and Secularism” ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu pemikiran yang menarik dari Dr. Khalif Muammar adalah paparannya tentang konsep Ahlus Sunnah wal-Jamaah (Aswaja).
Dalam mendefinisikan Aswaja, Dr. Khalif Muammar mengutip pendapat Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, yang menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) terdiri atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ra’y dan al-Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal-Jama’ah.
Menurut Dr. Khalif Muammar, berdasarkan penjelasan tersebut, bisa dipahami, konsep Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asya’irah atau Hanabilah dalam pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al-Salaf al-Salih.
Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai teks-teks aqidah, seperti ‘Aqa’id al-Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-‘Aqidah al-Sanusiyyah dan sebagainya.
Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya.
Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufastha’iyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya (al-‘indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-‘inadiyyah). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme.
Teks Aqidah, khususnya al-‘Aqa’id al-Nasafi, juga menjelaskan tentang sumber atau saluran ilmu. Bahwa ilmu dapat dicapai oleh manusia melalui pancaindera yang sehat (al-hawass al-salimah), berita yang benar (wahyu) dan akal yang selamat. Dari rumusan ini kita mendapatkan panduan dalam menyikapi ilmu sains dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya.
Dengan prinsip ini, umat Islam tidak menolak penelitian empiris dan rasional, induktif dan deduktif, selama ilmu-ilmu ini tidak melampaui batasannya, sehingga terlalu diagungkan dan dijadikan ukuran dalam persoalan yang tidak terjangkau oleh pancaindera dan akal seperti yang berlaku dalam peradaban sekular.
Dalam al-Farq Bayn al-Firaq dijelaskan tentang kesesatan golongan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, Batiniyyah, Khawarij, Syi’ah, dan al-Hasywiyyah. Abd al-Qahir al-Baghdadi menjelaskan 15 perkara yang menjadi prinsip dalam menyikapi dengan tegas golongan sesat (ahl-al-ziyagh).
Dalam Teks Aqidah juga dijelaskan tentang otoritas para Sahabat Nabi, Ulama, dan para imam. Prinsip ini berbeda dengan golongan Syiah yang menolak kepimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidun selain Sayyidina ‘Ali r.a. Para ulama Aswaja mengakui semua imam Khulafa’ al-Rasyidun tanpa prejudis.
Aswaja juga sepakat bahwa kepimpinan setelah Rasulullah SAW dilakukan melalui pemilihan al-ikhtiyar dan bukan melalui nash (teks).
Aswaja juga menetapkan prinsip yang bijaksana dalam menghadapi penyimpangan dan perbedaan. Jika golongan Khawarij cenderung menyesatkan dan mengkafirkan para pelaku dosa (fasiq), ulama Aswaja masih menganggapnya sebagai seorang Muslim, selagi tidak menghalalkan maksiat tersebut, atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Karena itu seorang Imam yang fasiq dan zalim tidak harus dijatuhkan dan dima’zulkan, jika pema’zulannya itu akan menyebabkan terjadinya fitnah (kekacauan) yang besar. Tapi imam itu harus ditegur dan diganti dengan cara yang baik. Ini berbeda dengan kecenderungan ekstrim, seperti dilakukan oleh golongan Khawarij yang mudah menghalalkan darah orang Islam.
Pendekatan Aswaja ini terkenal dengan pendekatan Jalan Tengah (al-wasatiyyah wa al-I’tidal). Dalam teks-teks akidah disebutkan bahwa Islam menganjurkan pendekatan yang tidak kaku (rigid dan literalis) dan tidak longgar (bayn al-ghuluww wa al-taqsir). Pendekatan ekstrim tidak dikehendaki oleh Islam karena hanya mendatangkan keburukan. Di era sekarang, prinsip al-wasatiyyah wa al-I’tidal semakin relevan, karena kita berhadapan dengan golongan ekstrim kiri (liberalisme) dan ekstrim kanan (ekstrimisme).
Aswaja pun punya pendirian yang jelas tentang kedudukan akal dan wahyu. Aswaja tidak menolak akal dan tidak juga mengagungkannya lebih dari sewajarnya. Pemaduan antara wahyu dan akal menjadikan peradaban Islam yang terbangun mampu berkembang pesat di Baghdad (Asia Barat), Andalusia (Eropa), Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara dan melahirkan banyak ilmuwan yang juga merupakan ulama-ulama yang mumpuni.
Prinsip ini adalah pemaduan antara teks dan konteks, antara wahyu, empirisme dan rasionalisme, sehingga tidak ada dikotomi antara duniawi dan ukhrawi, insani dan ilahi, sains dan agama. Segala sesuatunya diletakkan pada tempatnya yang benar dan wajar.
Ulama Aswaja tidak memisahkan antara agama dengan politik (siyasah) bahkan mereka melihat persoalan politik dan pemerintahan tidak akan dapat diselesaikan dan diperbaiki jika agama tidak diberikan perhatian dalam membangun kepribadian Muslim. Aswaja menolak ekstrimisme, sesuai dengan tuntutan al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengkritik sikap ghuluww sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani.
Dr. Khalif Muammar menyimpulkan, bahwa ketika umat Islam gagal memahami dengan baik Akidah Aswaja, maka berlakulah kekeliruan dan kebingungan dalam menghadapi tantangan modern dan postmodern. Sepanjang sejarah, prinsip-prinsip Aswaja telah memunculkan gagasan-gagasan besar (great powerful ideas) dari pemikir-pemikir besar, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan lainnya, yang bermanfaat sepanjang zaman.
Saat ini, sewajarnya teks Akidah Aswaja dapat membentuk epistemologi (filsafat ilmu), filsafat pendidikan, filsafat politik, filsafat sejarah yang unik dan terbaik, sebagaimana peran yang dimainkan di masa lalu. Wallahu A’lam bish-shawab.
Aswaja juga menetapkan prinsip yang bijaksana dalam menghadapi penyimpangan dan perbedaan. Jika golongan Khawarij cenderung menyesatkan dan mengkafirkan para pelaku dosa (fasiq), ulama Aswaja masih menganggapnya sebagai seorang Muslim, selagi tidak menghalalkan maksiat tersebut, atau menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Karena itu seorang Imam yang fasiq dan zalim tidak harus dijatuhkan dan dima’zulkan, jika pema’zulannya itu akan menyebabkan terjadinya fitnah (kekacauan) yang besar. Tapi imam itu harus ditegur dan diganti dengan cara yang baik. Ini berbeda dengan kecenderungan ekstrim, seperti dilakukan oleh golongan Khawarij yang mudah menghalalkan darah orang Islam.
Pendekatan Aswaja ini terkenal dengan pendekatan Jalan Tengah (al-wasatiyyah wa al-I’tidal). Dalam teks-teks akidah disebutkan bahwa Islam menganjurkan pendekatan yang tidak kaku (rigid dan literalis) dan tidak longgar (bayn al-ghuluww wa al-taqsir). Pendekatan ekstrim tidak dikehendaki oleh Islam karena hanya mendatangkan keburukan. Di era sekarang, prinsip al-wasatiyyah wa al-I’tidal semakin relevan, karena kita berhadapan dengan golongan ekstrim kiri (liberalisme) dan ekstrim kanan (ekstrimisme).
Aswaja pun punya pendirian yang jelas tentang kedudukan akal dan wahyu. Aswaja tidak menolak akal dan tidak juga mengagungkannya lebih dari sewajarnya. Pemaduan antara wahyu dan akal menjadikan peradaban Islam yang terbangun mampu berkembang pesat di Baghdad (Asia Barat), Andalusia (Eropa), Afrika, Asia Timur, Asia Tenggara dan melahirkan banyak ilmuwan yang juga merupakan ulama-ulama yang mumpuni.
Prinsip ini adalah pemaduan antara teks dan konteks, antara wahyu, empirisme dan rasionalisme, sehingga tidak ada dikotomi antara duniawi dan ukhrawi, insani dan ilahi, sains dan agama. Segala sesuatunya diletakkan pada tempatnya yang benar dan wajar.
Ulama Aswaja tidak memisahkan antara agama dengan politik (siyasah) bahkan mereka melihat persoalan politik dan pemerintahan tidak akan dapat diselesaikan dan diperbaiki jika agama tidak diberikan perhatian dalam membangun kepribadian Muslim. Aswaja menolak ekstrimisme, sesuai dengan tuntutan al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengkritik sikap ghuluww sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani.
Dr. Khalif Muammar menyimpulkan, bahwa ketika umat Islam gagal memahami dengan baik Akidah Aswaja, maka berlakulah kekeliruan dan kebingungan dalam menghadapi tantangan modern dan postmodern. Sepanjang sejarah, prinsip-prinsip Aswaja telah memunculkan gagasan-gagasan besar (great powerful ideas) dari pemikir-pemikir besar, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan lainnya, yang bermanfaat sepanjang zaman.
Saat ini, sewajarnya teks Akidah Aswaja dapat membentuk epistemologi (filsafat ilmu), filsafat pendidikan, filsafat politik, filsafat sejarah yang unik dan terbaik, sebagaimana peran yang dimainkan di masa lalu. Wallahu A’lam bish-shawab.
PRINSIP DAN UKHUWAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMAAH
Oleh: Dr. Khalif Muammar, M.A.
(Dosen di Center for Advanced Studies
on Science, Islam, and Civlization (CASIS)
Universiti Teknologi Malaysia)
Siapa Ahlus Sunnah wal-Jamaah?
Ulama besar, Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal-Jamaah (Aswaja) terdiri atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ray dan al-Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal-Jamaah.
Berdasarkan penjelasan tersebut,bisa dipahami, konsep Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asyairah atau Hanabilah dalam pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al-Salaf al-Salih.
Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai tek-teks aqidah, seperti Aqaid al-Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-Aqidah al-Sanusiyyah dan sebagainya. Di samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-Itiqad oleh Abu Hamid al-Ghazali, dan al-Aqidah al-Wasitiyyah oleh Ibn Taymiyyah.
Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya.
Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufasthaiyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya (al-indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-inadiyyah). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme.
Teks Aqidah, khususnya al-Aqaid al-Nasafi, juga menjelaskan tentang sumber atau saluran ilmu. Bahwa ilmu dapat dicapai oleh manusia melalui pancaindera yang sehat (al-hawass al-salimah), berita yang benar (wahyu) dan akal yang selamat. Dari rumusan ini kita mendapatkan panduan dalam menyikapi ilmu sains dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Dengan prinsip ini, umat Islam tidak menolak penelitian empiris dan rasional, induktif dan deduktif, selama ilmu-ilmu ini tidak melampaui batasannya, sehingga terlalu diagungkan dan dijadikan ukuran dalam persoalan yang tidak terjangkau oleh pancaindera dan akal seperti yang berlaku dalam peradaban sekular Barat.
Menyimpang
Dalam al-Farq Bayn al-Firaq juga dijelaskan tentang kesesatan golongan Mutazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, Batiniyyah, Khawarij, Syiah, dan al-Hasywiyyah. Abd al-Qahir al-Baghdadi menjelaskan 15 perkara yang menjadi prinsip dalam menyikapi dengan tegas golongan sesat (ahl-al-ziyagh). Ulama Aswaja menerima sifat-sifat Allah yang dinyatakan dalam al-Quran dan al-Sunnah dan menerangkan kesesatan golongan Mutazilah yang menolak sifat-sifat itu yang bagi mereka tidak dapat diterima oleh akal rasional, sehingga mengatakan bahwa kalam Allah adalah makhluk. (Lihat juga Teks Aqaid Nasafiyan dan al-Aqidah Thahawiyah).
Aswaja juga menolak pandangan Qadariyyah yang menganggap perbuatan manusia adalah ciptaan manusia; juga pandangan Jabariyyah yang menganggap bahwa manusia tidak melakukan perbuatannya melaikan Allah. Aswaja mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa perbuatan itu adalah ciptaan Allah tetapi manusia lah yang memilihnya dan melakukannya melalui al-kasb.
Oleh: Dr. Khalif Muammar, M.A.
(Dosen di Center for Advanced Studies
on Science, Islam, and Civlization (CASIS)
Universiti Teknologi Malaysia)
Siapa Ahlus Sunnah wal-Jamaah?
Ulama besar, Abd al-Qahir al-Baghdadi (m. 429H/1037M), dalam kitabnya, al-Farq Bayn al-Firaq, menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal-Jamaah (Aswaja) terdiri atas delapan (8) kelompok: (i). Mutakallimun, atau Ahli ilmu Tawhid, (ii). Ahli Fiqh aliran al-Ray dan al-Hadith, (iii). Ahli Hadis,(iv). Ahli Ilmu Bahasa, (v). Ahli Qiraat dan Tafsir, (vi). Ahli Tasawwuf, (vii) Para Mujahidin, dan (viii). Masyarakat awam yang mengikut pegangan Ahlus Sunnah wal-Jamaah.
Berdasarkan penjelasan tersebut,bisa dipahami, konsep Aswaja bukan hanya khusus kepada golongan Asyairah atau Hanabilah dalam pengertian yang sempit, tetapi mencakup siapa saja dari golongan mana saja yang berpegang kepada prinsip-prinsip aqidah yang telah dirumuskan dan diperturunkan dari generasi al-Salaf al-Salih.
Selama ini, para ulama Aswaja telah merumuskan prinsip-prinsip yang menjadi pegangan mayoritas umat Islam, yang dikenal sebagai tek-teks aqidah, seperti Aqaid al-Nasafi, al-Aqidah al-Tahawiyyah, al-Aqidah al-Sanusiyyah dan sebagainya. Di samping itu para Imam besar juga telah menulis rumusan masing-masing seperti al-Fiqh al-Akbar oleh Imam Abu Hanifah, al-Iqtisad fi al-Itiqad oleh Abu Hamid al-Ghazali, dan al-Aqidah al-Wasitiyyah oleh Ibn Taymiyyah.
Prinsip pertama yang ditegaskan dalam rumusan-rumusan tersebut adalah mengenai persoalan ‘Ilmu’ dan ‘Kebenaran’. Aswaja menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-rubah. Kebenaran dapat dicapai oleh manusia apabila manusia memperolehnya dengan cara yang betul dan tidak melampaui batas-batasnya.
Karena itu ulama Aswaja menolak pandangan kaum Sofis (Sufasthaiyyah, Sophists) yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak dapat dicapai oleh manusia (al-la adriyyah), atau kebenaran itu bergantung kepada orang yang mengatakannya (al-indiyyah), atau ada yang mengatakan bahwa tidak ada manusia yang tahu (al-inadiyyah). Kaum Sofis juga menolak otoritas siapa pun termasuk para nabi dan rasul. Di era sekarang, prinsip ini sangat relevan dan dapat memberi panduan dalam menghadapi golongan skeptik dan agnostik dari aliran modernisme, atau kaum subjektivis dan nihilis dari aliran posmodernisme.
Teks Aqidah, khususnya al-Aqaid al-Nasafi, juga menjelaskan tentang sumber atau saluran ilmu. Bahwa ilmu dapat dicapai oleh manusia melalui pancaindera yang sehat (al-hawass al-salimah), berita yang benar (wahyu) dan akal yang selamat. Dari rumusan ini kita mendapatkan panduan dalam menyikapi ilmu sains dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Dengan prinsip ini, umat Islam tidak menolak penelitian empiris dan rasional, induktif dan deduktif, selama ilmu-ilmu ini tidak melampaui batasannya, sehingga terlalu diagungkan dan dijadikan ukuran dalam persoalan yang tidak terjangkau oleh pancaindera dan akal seperti yang berlaku dalam peradaban sekular Barat.
Menyimpang
Dalam al-Farq Bayn al-Firaq juga dijelaskan tentang kesesatan golongan Mutazilah, Qadariyyah, Jabariyyah, Batiniyyah, Khawarij, Syiah, dan al-Hasywiyyah. Abd al-Qahir al-Baghdadi menjelaskan 15 perkara yang menjadi prinsip dalam menyikapi dengan tegas golongan sesat (ahl-al-ziyagh). Ulama Aswaja menerima sifat-sifat Allah yang dinyatakan dalam al-Quran dan al-Sunnah dan menerangkan kesesatan golongan Mutazilah yang menolak sifat-sifat itu yang bagi mereka tidak dapat diterima oleh akal rasional, sehingga mengatakan bahwa kalam Allah adalah makhluk. (Lihat juga Teks Aqaid Nasafiyan dan al-Aqidah Thahawiyah).
Aswaja juga menolak pandangan Qadariyyah yang menganggap perbuatan manusia adalah ciptaan manusia; juga pandangan Jabariyyah yang menganggap bahwa manusia tidak melakukan perbuatannya melaikan Allah. Aswaja mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa perbuatan itu adalah ciptaan Allah tetapi manusia lah yang memilihnya dan melakukannya melalui al-kasb.