Orientalis kelahiran Thalen, Ousterhout, Negeri Belanda tanggal 8 Februari 1857 ini adalah orientalis paling kontroversial di Indonesia. Untuk memuluskan tujuannya menggali informasi mengenai umat Islam, ia rela berpura-pura masuk Islam. Oleh ayah dan kakeknya yang menjadi pendeta Protestan di Belanda ia diarahkan untuk mejadi pendeta. Namun, Snouck tidak kerasan dan memilih meneruskan kuliah di Universitas Leiden jurusan Sastra Arab. Tahun 1875, ia mendapatkan predikat cum laude untuk disertasi doktor dalam bidang Bahasa Semit dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Festival Mekah). Tidak puas dengan studinya di Leiden, tahun 1884 ia pergi Mekah untuk menggali kebudayaan Arab dan berbagai aspek Islam di tempat yang netral dari pengaruh kolonialisme. Namun untuk tujuannya itu, ia rela menyatakan masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Di Mekah, ia bertemu dengan seorang tokoh Aceh yang kemudian menjadi antek Belanda, Habib Abdurrahman Zahir. Pertemuannya itu mengubah minatnya belajar bahasa dan kebudayaan Arab kepada masalah-masalah politik kolonial. Dari Zahir, Snocuk mendapatkan banyak bahan mengenai penanganan masalah-masalah Acah. Saran-saran Zahir itu tidak terlalu ditanggapi pemerintah kolonial saat ditawarkan oleh Zahir sendiri. Namun melalui tangan Snouck, barulah pemerintah mau merespon. Bahkan, saat Snouck menawarkan diri untuk meneliti masalah-masalah pribumi, terutama masalah Aceh, pemerintah kolonial menyetujuinya.
Tahun 1889 ia mulai melaksanakan tugasnya melakukan penelitian mengenai aspek-aspek kebudayaan dan keagamaan masyarakat Aceh. Hasil penelitiannya itu kemudian dibukukan setebal 2 jilid dengan judul De Atjeher. Dalam penelitiannya, ia berhasil mendapatkan informasi dari sumber-sumer pertama berkat kepura-puraannya mengaku Islam. Orang-orang Aceh pun percaya karena penguasaannya terhadap bahasa Arab dan penguasaannya terhadap berbagai aspek ajaran Islam. Apalagi, ia pernah dua tahun belajar di Mekah.
Tidak lama setelah pemerintah menjalankan saran-saran hasil penelitian Snuock, Aceh yang selama hampir satu abad penguasaan Belanda atas Indonesia tidak dapat ditaklukkan akhirnya dapat ditaklukkan juga. Atas jasa-jasanya ini Snouck mendapatkan pujian dan penghargaan besar. Kantor yang disediakan pemerintah Belanda untuk akitivitasnya, yaitu Het Kantoor voor Inlansche Zaken (Kantor Penasihat Urusan-Urusan Pribumi), menjadi kantor yang cukup penting. Bahkan kewenangannya seringkali tumpang-tindih dengan pemerintah lokal setempat.
Sama seperti para pendahulunya, Snouck tetap memperingatkan pemerintah Belanda bahwa Islam berbahaya bagi kepentingan politik kolonial. Namun, banginya tidak semua Islam berbahaya. Hanya umat Islam yang berkesadaran politiklah yang akan mengancam kelangsungan kekuasaan Belanda. Sementara umat Islam yang hanya mengurusi masalah-masalah ibadah tidak akan berbahaya. Oleh sebab itu, pemerintah disarankan agar mendukung setiap kegiatan umat Islam yang berkaitan dengan masalah ibadah sehari-hari.
Seperti dicatat Bernhard van Vlakke dalam The History of Nusantara, Snouck pula yang memperingatkan bahwa pada dasarnya masyarakat Islam Indonesia adalah masyarakat yang ramah dan tidak suka amok (protes). Yang suka menyulut amarah mereka adalah mereka yang sudah pulang dari Mekah dan membawa paham ”Mekah” yang keras. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal stigma jelek terhadap alumni-alumni Timur Tengah dan ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab yang oleh para Orientalis diberi julukan Wahabi. Kadua saran di antara sekian banyak saran Snouck yang lain di atas, rupanya sampai saat ini masih dijadikan standar penguasa dalam memperlakukan umat Islam. Padahal semestinya, saran itu hanya cocok untuk para penguasa penjajah yang memusuhi umat Islam, bukan pemerintah yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri. (***)
Di Mekah, ia bertemu dengan seorang tokoh Aceh yang kemudian menjadi antek Belanda, Habib Abdurrahman Zahir. Pertemuannya itu mengubah minatnya belajar bahasa dan kebudayaan Arab kepada masalah-masalah politik kolonial. Dari Zahir, Snocuk mendapatkan banyak bahan mengenai penanganan masalah-masalah Acah. Saran-saran Zahir itu tidak terlalu ditanggapi pemerintah kolonial saat ditawarkan oleh Zahir sendiri. Namun melalui tangan Snouck, barulah pemerintah mau merespon. Bahkan, saat Snouck menawarkan diri untuk meneliti masalah-masalah pribumi, terutama masalah Aceh, pemerintah kolonial menyetujuinya.
Tahun 1889 ia mulai melaksanakan tugasnya melakukan penelitian mengenai aspek-aspek kebudayaan dan keagamaan masyarakat Aceh. Hasil penelitiannya itu kemudian dibukukan setebal 2 jilid dengan judul De Atjeher. Dalam penelitiannya, ia berhasil mendapatkan informasi dari sumber-sumer pertama berkat kepura-puraannya mengaku Islam. Orang-orang Aceh pun percaya karena penguasaannya terhadap bahasa Arab dan penguasaannya terhadap berbagai aspek ajaran Islam. Apalagi, ia pernah dua tahun belajar di Mekah.
Tidak lama setelah pemerintah menjalankan saran-saran hasil penelitian Snuock, Aceh yang selama hampir satu abad penguasaan Belanda atas Indonesia tidak dapat ditaklukkan akhirnya dapat ditaklukkan juga. Atas jasa-jasanya ini Snouck mendapatkan pujian dan penghargaan besar. Kantor yang disediakan pemerintah Belanda untuk akitivitasnya, yaitu Het Kantoor voor Inlansche Zaken (Kantor Penasihat Urusan-Urusan Pribumi), menjadi kantor yang cukup penting. Bahkan kewenangannya seringkali tumpang-tindih dengan pemerintah lokal setempat.
Sama seperti para pendahulunya, Snouck tetap memperingatkan pemerintah Belanda bahwa Islam berbahaya bagi kepentingan politik kolonial. Namun, banginya tidak semua Islam berbahaya. Hanya umat Islam yang berkesadaran politiklah yang akan mengancam kelangsungan kekuasaan Belanda. Sementara umat Islam yang hanya mengurusi masalah-masalah ibadah tidak akan berbahaya. Oleh sebab itu, pemerintah disarankan agar mendukung setiap kegiatan umat Islam yang berkaitan dengan masalah ibadah sehari-hari.
Seperti dicatat Bernhard van Vlakke dalam The History of Nusantara, Snouck pula yang memperingatkan bahwa pada dasarnya masyarakat Islam Indonesia adalah masyarakat yang ramah dan tidak suka amok (protes). Yang suka menyulut amarah mereka adalah mereka yang sudah pulang dari Mekah dan membawa paham ”Mekah” yang keras. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal stigma jelek terhadap alumni-alumni Timur Tengah dan ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab yang oleh para Orientalis diberi julukan Wahabi. Kadua saran di antara sekian banyak saran Snouck yang lain di atas, rupanya sampai saat ini masih dijadikan standar penguasa dalam memperlakukan umat Islam. Padahal semestinya, saran itu hanya cocok untuk para penguasa penjajah yang memusuhi umat Islam, bukan pemerintah yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri. (***)
Namanya Mbah Sapar. Usianya 80 tahun. Rambutnya sudah memutih. Beberapa giginya terlihat ompong. Mbah Sapar dan istrinya, yaitu Mbah Karti adalah warga muslim asli di Dusun Diwak. Hanya mereka berdua yang asli muslim. Hanya keluarga mereka atau 1 KK muslim saja yang ada di Dusun Diwak.
https://www.facebook.com/153825841424041/posts/2245930102213594/
https://www.facebook.com/153825841424041/posts/2245930102213594/
Facebook
Log in or sign up to view
See posts, photos and more on Facebook.
ANTARA FAKTA DAN KHAYAL TUANKU RAO
Penulis: Prof. Dr. Hamka
''"Dalam usahanya hendak membangkitkan kesan bahwa yang pahlawan-pahlawan sejati di masa perang Padri itu hanya Batak yang baru masuk Islam, sedang orang Minangkabau sendiri hanya suka duduk di rumah (TR, hal. 278), maka dikacaukannyalah sejarah yang teratur. Pengacauan itu sangat menyolok mata, dan karena tebalnya buku ''"Tuanku Rao''' (691 halaman), banyaklah orang yang pengetahuannya tentang sejarah masih primery (masih dasar) yang tertipu lalu mempercayainya.'''
Demikianlah salah satu penilaian Buya Hamka atas buku ''"Tuanku Rao''' yang ditulis oleh Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan. Lewat buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao ini Hamka tidak saja mengkritik penuturan Parlindungan, tetapi juga menunjukkan fakta sejarah pembanding. Membaca buku ini, kita pun akan lebih mengetahui sejarah Islam di Indonesia, khususnya di Sumatra Barat. Dan, pada saat yang sama kita juga bisa belajar dari Buya Hamka cara menanggapi sebuah karya yang dipandang banyak mengandung kekeliruan.
Buya Hamka. Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Karim Amrullah dan Shaffiah ini lahir pada 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatra Barat. Tidak satu pun pendidikan formal ditamatkannya. Banyak membaca menjadi modalnya, tak lupa belajar langsung dengan tokoh dan ulama, baik di Sumatra Barat, Jawa, bahkan sampai ke Mekah. Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar dan Universitas Prof. Moestopo Beragama ini wafat pada hari Jum'''at, 24 Juli 1981.
------------------------------------------
ANTARA FAKTA DAN KHAYAL TUANKU RAO
Penulis: Prof. Dr. Hamka
Ukuran: 13.5x 20.5 cm
Sampul: Softcover
Berat: 350 gram
Penerbit: REPUBLIKA PENERBIT
Isi: 487 halaman
Harga: Rp. 125.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
Penulis: Prof. Dr. Hamka
''"Dalam usahanya hendak membangkitkan kesan bahwa yang pahlawan-pahlawan sejati di masa perang Padri itu hanya Batak yang baru masuk Islam, sedang orang Minangkabau sendiri hanya suka duduk di rumah (TR, hal. 278), maka dikacaukannyalah sejarah yang teratur. Pengacauan itu sangat menyolok mata, dan karena tebalnya buku ''"Tuanku Rao''' (691 halaman), banyaklah orang yang pengetahuannya tentang sejarah masih primery (masih dasar) yang tertipu lalu mempercayainya.'''
Demikianlah salah satu penilaian Buya Hamka atas buku ''"Tuanku Rao''' yang ditulis oleh Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan. Lewat buku Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao ini Hamka tidak saja mengkritik penuturan Parlindungan, tetapi juga menunjukkan fakta sejarah pembanding. Membaca buku ini, kita pun akan lebih mengetahui sejarah Islam di Indonesia, khususnya di Sumatra Barat. Dan, pada saat yang sama kita juga bisa belajar dari Buya Hamka cara menanggapi sebuah karya yang dipandang banyak mengandung kekeliruan.
Buya Hamka. Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Putra pertama dari pasangan Dr. Abdul Karim Amrullah dan Shaffiah ini lahir pada 17 Februari 1908 di Maninjau, Sumatra Barat. Tidak satu pun pendidikan formal ditamatkannya. Banyak membaca menjadi modalnya, tak lupa belajar langsung dengan tokoh dan ulama, baik di Sumatra Barat, Jawa, bahkan sampai ke Mekah. Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar dan Universitas Prof. Moestopo Beragama ini wafat pada hari Jum'''at, 24 Juli 1981.
------------------------------------------
ANTARA FAKTA DAN KHAYAL TUANKU RAO
Penulis: Prof. Dr. Hamka
Ukuran: 13.5x 20.5 cm
Sampul: Softcover
Berat: 350 gram
Penerbit: REPUBLIKA PENERBIT
Isi: 487 halaman
Harga: Rp. 125.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
Namanya Mbah Sapar. Usianya 80 tahun. Rambutnya sudah memutih. Beberapa giginya terlihat ompong. Mbah Sapar dan istrinya, yaitu Mbah Karti adalah warga muslim asli di Dusun Diwak. Hanya mereka berdua yang asli muslim. Hanya keluarga mereka atau 1 KK muslim saja yang ada di Dusun Diwak.
Sedangkan muslim lainnya, yaitu mas Puan, keluarganya sudah murtad semua. Hanya dia seorang dalam keluarganya yang muslim. Jadi Kartu Keluarganya di kolom agama terdapat dua agama.
Saat itu Tim Mualaf Center Kab Semarang bersilaturahim ke rumah Mbah Sapar. Kami mencoba menyapa warga muslim disana yang cuma ada 3 orang. Berbicara dari hati ke hati tentang perasaan mereka.
Kami mendengarkan sepenuh hati kisah dari Mbah Sapar. Meskipun minoritas, tapi Mbah Sapar rajin mengaji, bahkan hingga Magelang. Dengan menggunakan motor Astrea Grand keluaran tahun 80-an, Mbah Sapar beserta istrinya mendatangi majelis taklim.
Mereka berdua menembus gelapnya malam dan dinginnya udara Gunung Merbabu demi bertemu dengan saudara seimannya. Demi menuntut ilmu, agar keimanan mereka semakin kokoh.
Sungguh, kami melihat ketulusan dan keteguhan prinsip dalam diri Mbah Sapar. Beberapa kali dia ditawari berpindah agama. Diiming-imingi harta benda jika mau melepaskan keyakinannya. Pernah ditawari sapi, motor, uang asal mau berpindah agama. Tapi tawaran itu ditolak semua. Mbah Sapar kokoh bagai batu karang di lautan. Tak mau menukar keyakinannya demi secuil kenikmatan duniawi.
Mbah Sapar dan Mbah Karti bukanlah orang kaya. Mereka hidup sederhana hingga masa tuanya. Bahkan saat ini memilhara 2 ekor anak sapi milik non Muslim. Kelak jika sapi itu beranak, maka anakan sapi akan menjadi miliknya. Setiap hari Mbah Sapar mencari rumput untuk kedua anak sapi tersebut.
Mbah Sapar adalah potret teladan muslim di lereng Merbabu. Tetap gigih memeluk Islam meskipun kondisi papa dan di lingkungan minoritas. Komposisi warga muslim di desanya hanya ada 1%. Sebuah jumlah yang sangat sedikit.
Semoga Mbah Sapar dan Mbah Karti selalu istiqomah hingga akhir hayat, aamiin 🙏❤️
-Widi Astuti-
Sedangkan muslim lainnya, yaitu mas Puan, keluarganya sudah murtad semua. Hanya dia seorang dalam keluarganya yang muslim. Jadi Kartu Keluarganya di kolom agama terdapat dua agama.
Saat itu Tim Mualaf Center Kab Semarang bersilaturahim ke rumah Mbah Sapar. Kami mencoba menyapa warga muslim disana yang cuma ada 3 orang. Berbicara dari hati ke hati tentang perasaan mereka.
Kami mendengarkan sepenuh hati kisah dari Mbah Sapar. Meskipun minoritas, tapi Mbah Sapar rajin mengaji, bahkan hingga Magelang. Dengan menggunakan motor Astrea Grand keluaran tahun 80-an, Mbah Sapar beserta istrinya mendatangi majelis taklim.
Mereka berdua menembus gelapnya malam dan dinginnya udara Gunung Merbabu demi bertemu dengan saudara seimannya. Demi menuntut ilmu, agar keimanan mereka semakin kokoh.
Sungguh, kami melihat ketulusan dan keteguhan prinsip dalam diri Mbah Sapar. Beberapa kali dia ditawari berpindah agama. Diiming-imingi harta benda jika mau melepaskan keyakinannya. Pernah ditawari sapi, motor, uang asal mau berpindah agama. Tapi tawaran itu ditolak semua. Mbah Sapar kokoh bagai batu karang di lautan. Tak mau menukar keyakinannya demi secuil kenikmatan duniawi.
Mbah Sapar dan Mbah Karti bukanlah orang kaya. Mereka hidup sederhana hingga masa tuanya. Bahkan saat ini memilhara 2 ekor anak sapi milik non Muslim. Kelak jika sapi itu beranak, maka anakan sapi akan menjadi miliknya. Setiap hari Mbah Sapar mencari rumput untuk kedua anak sapi tersebut.
Mbah Sapar adalah potret teladan muslim di lereng Merbabu. Tetap gigih memeluk Islam meskipun kondisi papa dan di lingkungan minoritas. Komposisi warga muslim di desanya hanya ada 1%. Sebuah jumlah yang sangat sedikit.
Semoga Mbah Sapar dan Mbah Karti selalu istiqomah hingga akhir hayat, aamiin 🙏❤️
-Widi Astuti-
MUSTANIR ONLINE
Photo
MATA AIR KETELADANAN
Tahukah yang ada dalam foto ini? Yang mencium tangan adalah Kiyai Masbuchin. Yang dicium tangan adalah Kiyai, orang tua dan guru kami KH. Hasan Abdullah Sahal, pimpinan Pesantren Gontor.
Tahukah siapa Kiyai Masbuchin itu? Kiyai Masbuchin adalah pendiri dan pengasuh Pesantren Manba'ush Sholihin Suci, Gresik. Pesantren yang hebat, santrinya ribuan, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Saya banyak kenal dengan alumninya yang banyak menjadi kiyai, dosen, pejuang dan sebagainya.
Kiyai Masbuchin adalah alumni pesantren Gontor. Lalu melanjutkan nyantri di Langitan Tuban di bawah asuhan Kiyai Abdullah Faqih.
Pertanyaannya, mengapa Kiyai Masbuchin ini begitu sukses menjadi pejuang? Hingga pesantrennya maju dan mengeluarkan alumni yang hebat-hebat?
Salah satu jimatnya adalah ketulusan dan keikhlasannya. Kiyai Masbuchin masih menjadi santri di Langitan Tuban saat pesantren Manba'ush Sholihin sudah dirintis oleh ayahnya (KH. Abdullah Faqih). Saat itu KH. Masbuchin masih ragu karena masih takut dengan keikhlasan dan ketulusan jiwanya ketika membangun pesantren. Khawatir yang diperjuangkan hanya mencari murid banyak, kebesaran dirinya, bukan berjuang untuk agama. Masya Allah.
Selain itu keikhlasan dan ketulusan, Kiyai Masbuchin ini sangat menghormati guru. Beliau benar-benar mengamalkan kitab Ta'lim al-Muta'allim. Maka beliau patuh kepada gurunya yaitu Yai Abdullah Faqih agar pesantren yang telah dirintis ayahnya itu segera dikembangkan. Sejak adanya perintah itu, beliau mulai berjuang.
Nama Manba'ush Sholihin adalah pemberian dari guru ayah beliau: Mbah Yai Utsman al-Ishaqi.
Diceritakan oleh beliau sendiri kepada rombongan santri Gontor saat berkunjung ke pesantren beliau, bahwa suatu waktu dengan tirakat dan mujahadah yang suci, beliau sangat ingin meminta ridha kepada guru beliau; yai Zarkasyi. Padahal Yai Zarkasyi sudah wafat.
Karena niatnya yang suci, Kiyai Masbuchin bertemu dengan KH. Imam Zarkasyi dalam mimpi. Kemudian Kiyai Masbuchin meminta restu dan doa kepada KH. Imam Zarkasyi. Lalu KH. Imam Zarkasyi menangis melihat KH. Masbuchin lalu sujud tersungkur. Ini menandakan bahwa KH. Masbuchin adalah murid yang sangat disayangi dan diridhai.
KH. Hasan Abdullah Sahal menceritakan bahwa KH. Masbuchin sejak menjadi santri menjadi orang yang sangat tawadhu'. KH. Masbuchin adalah adik kelas beliau saat di Gontor.
Dalam foto ini, KH. Masbuchin mencium tangan KH. Hasan Abdullah Sahal. KH. Masbuchin memberi hormat pada KH. Hasan Abdullah Sahal karena KH. Hasan Abdullah Sahal adalah putra gurunya; KH. Ahmad Sahal.
Sungguh, mata air keteladanan dari orang-orang hebat.
Pelajaraannya:
1. Mendirikan pesantren itu yang paling sulit adalah menata hati dan jiwa untuk ikhlas dan istiqamah dalam keikhlasan. Murni untuk Allah, berjuang untuk agamanya sekuat-kuatnya.
2. Tidak ada orang bisa menjadi sukses dan menjadi besar tanpa menghormati dan memuliakan gurunya.
3. Pesantren tidak akan menjadi maju, tidak akan menghasilkan orang-orang yang hebat manakala tidak dilandasi jiwa keikhlasan, dan manajemen yang canggih, rapi dan terorganisir.
FB
-Alma'arif Arif-
Tahukah yang ada dalam foto ini? Yang mencium tangan adalah Kiyai Masbuchin. Yang dicium tangan adalah Kiyai, orang tua dan guru kami KH. Hasan Abdullah Sahal, pimpinan Pesantren Gontor.
Tahukah siapa Kiyai Masbuchin itu? Kiyai Masbuchin adalah pendiri dan pengasuh Pesantren Manba'ush Sholihin Suci, Gresik. Pesantren yang hebat, santrinya ribuan, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Saya banyak kenal dengan alumninya yang banyak menjadi kiyai, dosen, pejuang dan sebagainya.
Kiyai Masbuchin adalah alumni pesantren Gontor. Lalu melanjutkan nyantri di Langitan Tuban di bawah asuhan Kiyai Abdullah Faqih.
Pertanyaannya, mengapa Kiyai Masbuchin ini begitu sukses menjadi pejuang? Hingga pesantrennya maju dan mengeluarkan alumni yang hebat-hebat?
Salah satu jimatnya adalah ketulusan dan keikhlasannya. Kiyai Masbuchin masih menjadi santri di Langitan Tuban saat pesantren Manba'ush Sholihin sudah dirintis oleh ayahnya (KH. Abdullah Faqih). Saat itu KH. Masbuchin masih ragu karena masih takut dengan keikhlasan dan ketulusan jiwanya ketika membangun pesantren. Khawatir yang diperjuangkan hanya mencari murid banyak, kebesaran dirinya, bukan berjuang untuk agama. Masya Allah.
Selain itu keikhlasan dan ketulusan, Kiyai Masbuchin ini sangat menghormati guru. Beliau benar-benar mengamalkan kitab Ta'lim al-Muta'allim. Maka beliau patuh kepada gurunya yaitu Yai Abdullah Faqih agar pesantren yang telah dirintis ayahnya itu segera dikembangkan. Sejak adanya perintah itu, beliau mulai berjuang.
Nama Manba'ush Sholihin adalah pemberian dari guru ayah beliau: Mbah Yai Utsman al-Ishaqi.
Diceritakan oleh beliau sendiri kepada rombongan santri Gontor saat berkunjung ke pesantren beliau, bahwa suatu waktu dengan tirakat dan mujahadah yang suci, beliau sangat ingin meminta ridha kepada guru beliau; yai Zarkasyi. Padahal Yai Zarkasyi sudah wafat.
Karena niatnya yang suci, Kiyai Masbuchin bertemu dengan KH. Imam Zarkasyi dalam mimpi. Kemudian Kiyai Masbuchin meminta restu dan doa kepada KH. Imam Zarkasyi. Lalu KH. Imam Zarkasyi menangis melihat KH. Masbuchin lalu sujud tersungkur. Ini menandakan bahwa KH. Masbuchin adalah murid yang sangat disayangi dan diridhai.
KH. Hasan Abdullah Sahal menceritakan bahwa KH. Masbuchin sejak menjadi santri menjadi orang yang sangat tawadhu'. KH. Masbuchin adalah adik kelas beliau saat di Gontor.
Dalam foto ini, KH. Masbuchin mencium tangan KH. Hasan Abdullah Sahal. KH. Masbuchin memberi hormat pada KH. Hasan Abdullah Sahal karena KH. Hasan Abdullah Sahal adalah putra gurunya; KH. Ahmad Sahal.
Sungguh, mata air keteladanan dari orang-orang hebat.
Pelajaraannya:
1. Mendirikan pesantren itu yang paling sulit adalah menata hati dan jiwa untuk ikhlas dan istiqamah dalam keikhlasan. Murni untuk Allah, berjuang untuk agamanya sekuat-kuatnya.
2. Tidak ada orang bisa menjadi sukses dan menjadi besar tanpa menghormati dan memuliakan gurunya.
3. Pesantren tidak akan menjadi maju, tidak akan menghasilkan orang-orang yang hebat manakala tidak dilandasi jiwa keikhlasan, dan manajemen yang canggih, rapi dan terorganisir.
FB
-Alma'arif Arif-
MUSTANIR ONLINE
Photo
Siang ini saya menerobos lereng Merbabu demi menjumpai Mbah Sapar. Ada seorang teman yang ingin menitipkan kambing untuk mbah Sapar. Jadi saya harus kroscek langsung.
Kemudian kami mengobrol banyak hal. Dari obrolan tersebut, saya jadi tau bahwa ternyata Mbah Sapar tak punya ladang. Selama ini dia menyewa ladang milik orang untuk bertani sayur. Sewa tanah tersebut sebesar 3,5 juta/tahun. Entah tanaman Mbah Sapar lancar atau tidak, untung atau rugi, maka biaya sewa tersebut harus dibayar di muka.
Saya juga jadi tau bahwa harga sayur dari petani sangat murah. Saat ini Mbah Sapar sedang panen kobis dan hanya laku 500/kg. Iya cuma 500 perak seharga sebutir permen. Padahal kalau di tukang sayur itu sudah mahal. Kalau kobisnya jelek malah cuma dihargai 300/kg.
Saya bengong, tak menyangka begitu murah harga sayuran. Padahal setiap hari Mbah Sapar harus merawat dengan telaten. Dari pengolahan tanah, pemupukan, pencabutan rumput, hingga panen. Dan sewaktu panen ternyata harganya sering anjlok. Bisa dikatakan tenaga Mbah Sapar ngga pernah dihitung. Bisa balik modal saja sudah alhamdulillah.
Ngenes mendengar cerita para petani sayur. Di musim hujan seperti sekarang ini, banyak tanaman cabai yang mati. Bahkan Mbah Sapar pernah membuang tanaman cabai karena keburu busuk.
Saya mengobrol dengan bahasa Jawa agar terasa lebih akrab. Terkadang mbanyol agar tertawa bersama. Obrolan hangat diantara rintik gerimis lereng Merbabu. Obrolan yang menyadarkan saya betapa Mbah Sapar sosok yang sangat kuat dan sehat di usianya yang ke-80 tahun. Sehat karena setiap hari ke ladang dan merawat ternak.
Saya juga jadi tau bahwa Mbah Sapar pernah jatuh dari motor sebanyak 13 kali. Tapi dia tak mengeluh dan tak mau dibawa ke Rumah Sakit. Dia takut jarum suntik 😂.
Mbah Sapar dan Mbah Karti adalah warga Nahdliyin yang rajin ngaji. Rutin menghadiri pengajian meskipun pernah ban motornya bocor sepulang pengajian. Tapi tak pernah kapok berangkat ngaji. Karena dia ingin sholawatan bersama saudaranya yang lain. Atau ingin yasinan dan tahlilan di desa lain.
Saya tersenyum melihat Mbah Karti yang ramah. Ketika tertawa, giginya yang ompong terlihat jelas. Mbah Saoar dan Mbah Karti adalah sosok hangat dan ramah khas warga desa. Mereka senang sekali kedatangan saudaranya.
Membayangkan Mbah Sapar dan Mbah Karti berboncengan motor mesra menuju tempat pengajian, rasanya bikin iri. Menua bersama dalam ketaatan.....so sweeeettt ❤️
-Widi Astuti- 6 hari yang lalu.
Kemudian kami mengobrol banyak hal. Dari obrolan tersebut, saya jadi tau bahwa ternyata Mbah Sapar tak punya ladang. Selama ini dia menyewa ladang milik orang untuk bertani sayur. Sewa tanah tersebut sebesar 3,5 juta/tahun. Entah tanaman Mbah Sapar lancar atau tidak, untung atau rugi, maka biaya sewa tersebut harus dibayar di muka.
Saya juga jadi tau bahwa harga sayur dari petani sangat murah. Saat ini Mbah Sapar sedang panen kobis dan hanya laku 500/kg. Iya cuma 500 perak seharga sebutir permen. Padahal kalau di tukang sayur itu sudah mahal. Kalau kobisnya jelek malah cuma dihargai 300/kg.
Saya bengong, tak menyangka begitu murah harga sayuran. Padahal setiap hari Mbah Sapar harus merawat dengan telaten. Dari pengolahan tanah, pemupukan, pencabutan rumput, hingga panen. Dan sewaktu panen ternyata harganya sering anjlok. Bisa dikatakan tenaga Mbah Sapar ngga pernah dihitung. Bisa balik modal saja sudah alhamdulillah.
Ngenes mendengar cerita para petani sayur. Di musim hujan seperti sekarang ini, banyak tanaman cabai yang mati. Bahkan Mbah Sapar pernah membuang tanaman cabai karena keburu busuk.
Saya mengobrol dengan bahasa Jawa agar terasa lebih akrab. Terkadang mbanyol agar tertawa bersama. Obrolan hangat diantara rintik gerimis lereng Merbabu. Obrolan yang menyadarkan saya betapa Mbah Sapar sosok yang sangat kuat dan sehat di usianya yang ke-80 tahun. Sehat karena setiap hari ke ladang dan merawat ternak.
Saya juga jadi tau bahwa Mbah Sapar pernah jatuh dari motor sebanyak 13 kali. Tapi dia tak mengeluh dan tak mau dibawa ke Rumah Sakit. Dia takut jarum suntik 😂.
Mbah Sapar dan Mbah Karti adalah warga Nahdliyin yang rajin ngaji. Rutin menghadiri pengajian meskipun pernah ban motornya bocor sepulang pengajian. Tapi tak pernah kapok berangkat ngaji. Karena dia ingin sholawatan bersama saudaranya yang lain. Atau ingin yasinan dan tahlilan di desa lain.
Saya tersenyum melihat Mbah Karti yang ramah. Ketika tertawa, giginya yang ompong terlihat jelas. Mbah Saoar dan Mbah Karti adalah sosok hangat dan ramah khas warga desa. Mereka senang sekali kedatangan saudaranya.
Membayangkan Mbah Sapar dan Mbah Karti berboncengan motor mesra menuju tempat pengajian, rasanya bikin iri. Menua bersama dalam ketaatan.....so sweeeettt ❤️
-Widi Astuti- 6 hari yang lalu.
KISAH PARA WALI
Penulis: Muhammad Ali
Buku ini adalah buku yang berisi kisah orang-orang saleh dari generasi terdahulu (salaf). Di dalamnya terdapat banyak pelajaran berharga yang bisa dijadikan teladan. Ditulis oleh Muhammad Ali, penulis buku laris Para Panglima Islam Penakluk Dunia terbitan Penerbit Ummul Qura.
Buku ini sengaja diberi judul Kisah Para Wali karena selama ini banyak berkembang persepsi bahwa Auliya’ullah (Para Wali Allah) identik dengan “kesaktian” dan hal-hal yang bersifat “luar biasa” atau “supranatural”. Padahal, tidak selamanya demikian. Meskipun, tidak dipungkiri di dalam syariat Islam bahwa ada hamba-hamba Allah yang diberikan karamah (kemuliaan) berupa hal-hal yang menakjubkan.
Di dalam Islam, menurut penjelasan ulama Ahlussunnah wal Jamaah, standar perwalian Allah adalah ketakwaan dan kesesuaian terhadap Sunnah Rasulullah. Artinya, semakin bertakwa seorang hamba, dan semakin sesuai seseorang dengan As-Sunnah, berarti semakin dekat dengan derajat kewalian, dan semakin layak untuk mendapatkan perwalian (pertolongan) Allah.
---------------------------------
KISAH PARA WALI
Penulis: Muhammad Ali
Ukuran: 17 x 24,5 cm
ISI: 304 halaman
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp. 99.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Muhammad Ali
Buku ini adalah buku yang berisi kisah orang-orang saleh dari generasi terdahulu (salaf). Di dalamnya terdapat banyak pelajaran berharga yang bisa dijadikan teladan. Ditulis oleh Muhammad Ali, penulis buku laris Para Panglima Islam Penakluk Dunia terbitan Penerbit Ummul Qura.
Buku ini sengaja diberi judul Kisah Para Wali karena selama ini banyak berkembang persepsi bahwa Auliya’ullah (Para Wali Allah) identik dengan “kesaktian” dan hal-hal yang bersifat “luar biasa” atau “supranatural”. Padahal, tidak selamanya demikian. Meskipun, tidak dipungkiri di dalam syariat Islam bahwa ada hamba-hamba Allah yang diberikan karamah (kemuliaan) berupa hal-hal yang menakjubkan.
Di dalam Islam, menurut penjelasan ulama Ahlussunnah wal Jamaah, standar perwalian Allah adalah ketakwaan dan kesesuaian terhadap Sunnah Rasulullah. Artinya, semakin bertakwa seorang hamba, dan semakin sesuai seseorang dengan As-Sunnah, berarti semakin dekat dengan derajat kewalian, dan semakin layak untuk mendapatkan perwalian (pertolongan) Allah.
---------------------------------
KISAH PARA WALI
Penulis: Muhammad Ali
Ukuran: 17 x 24,5 cm
ISI: 304 halaman
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp. 99.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Tanpa Perjuangan, Kita akan Mati Dalam Kehidupan
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
KH Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, dikenal luas sebagai salah satu tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia. Karya nyata pendidikannya telah dirasakan manfaatnya oleh jutaan orang. Banyak pemikiran dan nasihat berharga telah beliau sampaikan kepada para murid dan anak-anaknya.
Tahun 2019, terbit sebuah buku berjudul “Ajaran Kiai Gontor: 72 Wejangan Hidup K.H. Imam Zarkasyi”, ditulis oleh putra bungsunya, Muhammad Ridlo Zarkasyi. Melalui artikel berikut ini, kita merenungkan satu poin penting dari sejumlah nasehat KH Imam Zarkasyi, bahwa: “Hidup itu Perjuangan.”
“Hidup tanpa perjuangan bukan hidup namanya,” begitu petuah penting KH Imam Zarkasyi. Selanjutnya, kita simak untaian nasehat beliau tentang hidup dan perjuangan:
“Innal hayaata aqiidatun wa jihaadun” (Sesungguhnya hidup itu keyakinan dan perjuangan), begitu pesan yang sering kita dengar. Hidup ini tak lain adalah perjuangan dan mempertahankan akidah. Hidup ini perjuangan.
Kita tidak bisa memilih antara berjuangan atau tidak berjuang. Selama kita ingin hidup, perjuangan itu mutlak dilakukan. Tanpa perjuangan kita akan mati dalam kehidupan.
Hanya saja, yang perlu kita bedakan adalah kepentingan siapa yang kita perjuangkan dan bagaimana kita memperjuangkannya. Sebagai orang pesantren, berjuanglah untuk kemaslahatan orang banyak. Jangan hanya berjuangan untuk kepentingan diri sendiri. Bondo, bahu, pikir (harta, tenaga, pikiran) untuk kemaslahatan umat.
Kemanfaatan kita di dunia ini ditentukan dari cita-cita kita bersama orang banyak. Harga kita ditentukan oleh seberapa luas cita-cita kita, perjuangan kita tersebut.
Nilai kita diukur oleh seberapa banyak kepentingan umat yang kita perjuangkan. Satu orang yang memperjuangkan kepentingan seribu orang, nilainya akan sama dengan seribu orang itu. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang banyak.
Syarat untuk bisa memperjuangkan kepentingan orang banyak adalah selalu berpikir apa yang bisa saya berikan, bukan apa yang bisa saya ambil. Berjasalah, tapi jangan minta jasa.
Supaya nafas perjuangan kita panjang, yang perlu kita amalkan adalah keikhlasan. Hanya kepada Allah-lah kita menggantungkan harapan dari perjuangan kita.”
*
Pesan KH Imam Zarkasyi – bahwa hidup adalah perjuangan – penting untuk kita renungkan. Ini juga salah satu nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya: “Wahai anakku, dirikanlah shalat, dan tegakkanlah kebaikan serta cegahlah kemunkaran. (QS 31:17).
Sangat berbahaya, jika seorang, umat atau bangsa telah padam api perjuangan dalam dirinya. Pada 17 Agustus 1951, tokoh integrasi NKRI, Mohammad Natsir menulis artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.”
Melalui artikelnya ini, Natsir mengkhawatirkan kondisi manusia Indonesia yang mulai dijangkiti penyakit bakhil; bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.
Kata Mohammad Natsir : “Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”
Untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat memerlukan perjuangan yang berat. Nabi kita, Muhammad saw, memperingatkan, bahwa sorga itu diselimuti hal-hal yang sifatnya tidak disukai manusia. Sebaliknya, neraka diselimuti hal-hal yang menyenangkan syahwat manusia.
Karena itu, sangatlah tidak sehat kondisinya, jika kehidupan lembaga, organisasi, atau kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah didominasi oleh budaya pragmatisme dan materialisme. Rakyat diajarkan untuk menghitung-hitung pengorbanannya dengan imbalan di dunia. Tidak tampak lagi keikhlasan dalam perjuangan.
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
KH Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, dikenal luas sebagai salah satu tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia. Karya nyata pendidikannya telah dirasakan manfaatnya oleh jutaan orang. Banyak pemikiran dan nasihat berharga telah beliau sampaikan kepada para murid dan anak-anaknya.
Tahun 2019, terbit sebuah buku berjudul “Ajaran Kiai Gontor: 72 Wejangan Hidup K.H. Imam Zarkasyi”, ditulis oleh putra bungsunya, Muhammad Ridlo Zarkasyi. Melalui artikel berikut ini, kita merenungkan satu poin penting dari sejumlah nasehat KH Imam Zarkasyi, bahwa: “Hidup itu Perjuangan.”
“Hidup tanpa perjuangan bukan hidup namanya,” begitu petuah penting KH Imam Zarkasyi. Selanjutnya, kita simak untaian nasehat beliau tentang hidup dan perjuangan:
“Innal hayaata aqiidatun wa jihaadun” (Sesungguhnya hidup itu keyakinan dan perjuangan), begitu pesan yang sering kita dengar. Hidup ini tak lain adalah perjuangan dan mempertahankan akidah. Hidup ini perjuangan.
Kita tidak bisa memilih antara berjuangan atau tidak berjuang. Selama kita ingin hidup, perjuangan itu mutlak dilakukan. Tanpa perjuangan kita akan mati dalam kehidupan.
Hanya saja, yang perlu kita bedakan adalah kepentingan siapa yang kita perjuangkan dan bagaimana kita memperjuangkannya. Sebagai orang pesantren, berjuanglah untuk kemaslahatan orang banyak. Jangan hanya berjuangan untuk kepentingan diri sendiri. Bondo, bahu, pikir (harta, tenaga, pikiran) untuk kemaslahatan umat.
Kemanfaatan kita di dunia ini ditentukan dari cita-cita kita bersama orang banyak. Harga kita ditentukan oleh seberapa luas cita-cita kita, perjuangan kita tersebut.
Nilai kita diukur oleh seberapa banyak kepentingan umat yang kita perjuangkan. Satu orang yang memperjuangkan kepentingan seribu orang, nilainya akan sama dengan seribu orang itu. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang banyak.
Syarat untuk bisa memperjuangkan kepentingan orang banyak adalah selalu berpikir apa yang bisa saya berikan, bukan apa yang bisa saya ambil. Berjasalah, tapi jangan minta jasa.
Supaya nafas perjuangan kita panjang, yang perlu kita amalkan adalah keikhlasan. Hanya kepada Allah-lah kita menggantungkan harapan dari perjuangan kita.”
*
Pesan KH Imam Zarkasyi – bahwa hidup adalah perjuangan – penting untuk kita renungkan. Ini juga salah satu nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya: “Wahai anakku, dirikanlah shalat, dan tegakkanlah kebaikan serta cegahlah kemunkaran. (QS 31:17).
Sangat berbahaya, jika seorang, umat atau bangsa telah padam api perjuangan dalam dirinya. Pada 17 Agustus 1951, tokoh integrasi NKRI, Mohammad Natsir menulis artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.”
Melalui artikelnya ini, Natsir mengkhawatirkan kondisi manusia Indonesia yang mulai dijangkiti penyakit bakhil; bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.
Kata Mohammad Natsir : “Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!”
Untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat memerlukan perjuangan yang berat. Nabi kita, Muhammad saw, memperingatkan, bahwa sorga itu diselimuti hal-hal yang sifatnya tidak disukai manusia. Sebaliknya, neraka diselimuti hal-hal yang menyenangkan syahwat manusia.
Karena itu, sangatlah tidak sehat kondisinya, jika kehidupan lembaga, organisasi, atau kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah didominasi oleh budaya pragmatisme dan materialisme. Rakyat diajarkan untuk menghitung-hitung pengorbanannya dengan imbalan di dunia. Tidak tampak lagi keikhlasan dalam perjuangan.
Lebih memilukan ketika para pendidik didorong untuk meninggalkan prinsip mengajar sebagai sebuah perjuangan. Prinsipnya diganti: mengajar adalah kerja; dan kerja harus ada imbalan materinya. Guru bukan lagi dianggap atau menganggap dirinya sebagai pejuang, sebagai mujahid intelektual; tetapi guru ditempatkan atau menempatkan diri sebagai ”tukang ngajar bayaran!”
Maka, dari hari ke hari, semakin tak terdengar lagi untaian kata-kata indah dalam Hymne Guru: ”Engkau bagai pelita dalam kegelapan; engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan; engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.”
Kini, kehidupan masyarakat kita, seolah-olah dipenuhi dengan nuansa pemujaan materi secara berlebihan. Semua dianggap harus ada imbalannya di dunia ini, berupa materi. Dunia politik pun diwarnai dengan perebutan jabatan secara berlebihan. Konon katanya, begitu selesai pesta pilihan lurah atau kepala desa, sekian banyak anggota timses sudah mengantri untuk mendapat jabatan di berbagai struktur kelurahan atau badan usaha milik desa.
*
Perjuangan memerlukan nafas panjang. Selain keikhlasan, sebagai syarat agar panjang nafas perjuangan kita, KH Imam Zarkasyi juga memberikan resep lain, yakni: “Jangan berkecil hati menghadapi masa depan!”
Kata beliau, “Dalam hidup ini akan selalu ada masalah, ujian, dan cobaan. Jangan menghindari masalah jika harus terjadi. Jangan meninggalkan masalah jika harus dihadapi. Selesaikanlah masalah, ujian, dan cobaan itu dengan tenang. Nah, berbesar hati ketika menghadapi masalah dan cobaan hidup, itulah kunci kesuksesan masa depan. Ingatlah bahwa masa depanmu masih cerah. Datangnya masalah justru sebetulnya untuk mendidik kita, melatih kesabaran kita, menuntut kesungguhan kita, dan untuk memperkuat karakter kita. Orang bijak mengatakan, “Orang lemah dihancurkan oleh masalah, tetapi orang yang kuat dicerahkan oleh masalah.”
Demikian salah satu nasehat berharga dari KH Imam Zarkasyi. Semoga bisa kita amalkan. Amin. (***)
Maka, dari hari ke hari, semakin tak terdengar lagi untaian kata-kata indah dalam Hymne Guru: ”Engkau bagai pelita dalam kegelapan; engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan; engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.”
Kini, kehidupan masyarakat kita, seolah-olah dipenuhi dengan nuansa pemujaan materi secara berlebihan. Semua dianggap harus ada imbalannya di dunia ini, berupa materi. Dunia politik pun diwarnai dengan perebutan jabatan secara berlebihan. Konon katanya, begitu selesai pesta pilihan lurah atau kepala desa, sekian banyak anggota timses sudah mengantri untuk mendapat jabatan di berbagai struktur kelurahan atau badan usaha milik desa.
*
Perjuangan memerlukan nafas panjang. Selain keikhlasan, sebagai syarat agar panjang nafas perjuangan kita, KH Imam Zarkasyi juga memberikan resep lain, yakni: “Jangan berkecil hati menghadapi masa depan!”
Kata beliau, “Dalam hidup ini akan selalu ada masalah, ujian, dan cobaan. Jangan menghindari masalah jika harus terjadi. Jangan meninggalkan masalah jika harus dihadapi. Selesaikanlah masalah, ujian, dan cobaan itu dengan tenang. Nah, berbesar hati ketika menghadapi masalah dan cobaan hidup, itulah kunci kesuksesan masa depan. Ingatlah bahwa masa depanmu masih cerah. Datangnya masalah justru sebetulnya untuk mendidik kita, melatih kesabaran kita, menuntut kesungguhan kita, dan untuk memperkuat karakter kita. Orang bijak mengatakan, “Orang lemah dihancurkan oleh masalah, tetapi orang yang kuat dicerahkan oleh masalah.”
Demikian salah satu nasehat berharga dari KH Imam Zarkasyi. Semoga bisa kita amalkan. Amin. (***)
SAIFUDDIN QUTHUZ
Sang Penakluk Bangsa Tartar
Penulis: Ash-Shawi Muhammad Ash-Shawi
Ketika Daulah Islamiyah tengah mengalami karut-marut yang parah, karena penghuninya saling berperang satu sama lain demi berebut kekuasaan sembari melupakan agama yang mereka anut, bangsa Tartar justru kian perkasa. Mereka menyebar, berkembang, menghentak, lalu menguasai.
Dialah Saifuddin Quthuz, seorang panglima perang dari kerajaan Mamluk yang membendung gelombang serangan bangsa Tartar ke wilayah Islam.
Saifuddin Quthuz merupakan pribadi yang tumbuh dalam pendidikan agama yang lurus, sehingga dirinya penuh dengan semangat keislaman yang kuat. Sejak belia Quthuz sudah mempelajari seni berkuda dan bertempur. Quthuz juga mempelajari tata pemerintahan dan kepemimpinan, sehingga ia tumbuh menjadi pemuda perwira yang sekaligus sangat mencintai lagi menghormati agamanya.
Buku ini menceritakan tentang sosok Saifuddin Quthuz, seorang pahlawan Islam dari negeri Mesir yang mampu menaklukan bangsa Tartar yang menjadi momok menakutkan kaum muslimin ketika itu.
Di dalam buku ini, penulis juga membahas tentang kerajaan Mamalik (Mamluk), perkembangan, dan perseteruan di dalamnya. Dibahas pula tentang serangan-serangan bangsa Tartar ke wilayah-wilayah Islam hingga persiapan dan pertempuran kaum Muslimin dan bangsa Tartar di Ain Jalut.
---------------------------------------
SAIFUDDIN QUTHUZ
Sang Penakluk Bangsa Tartar
Penulis: Ash-Shawi Muhammad Ash-Shawi
Ukuran: 16 x 24,5 cm
Tebal: 317 Halaman
Berat: 600 gr
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp. 86.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Sang Penakluk Bangsa Tartar
Penulis: Ash-Shawi Muhammad Ash-Shawi
Ketika Daulah Islamiyah tengah mengalami karut-marut yang parah, karena penghuninya saling berperang satu sama lain demi berebut kekuasaan sembari melupakan agama yang mereka anut, bangsa Tartar justru kian perkasa. Mereka menyebar, berkembang, menghentak, lalu menguasai.
Dialah Saifuddin Quthuz, seorang panglima perang dari kerajaan Mamluk yang membendung gelombang serangan bangsa Tartar ke wilayah Islam.
Saifuddin Quthuz merupakan pribadi yang tumbuh dalam pendidikan agama yang lurus, sehingga dirinya penuh dengan semangat keislaman yang kuat. Sejak belia Quthuz sudah mempelajari seni berkuda dan bertempur. Quthuz juga mempelajari tata pemerintahan dan kepemimpinan, sehingga ia tumbuh menjadi pemuda perwira yang sekaligus sangat mencintai lagi menghormati agamanya.
Buku ini menceritakan tentang sosok Saifuddin Quthuz, seorang pahlawan Islam dari negeri Mesir yang mampu menaklukan bangsa Tartar yang menjadi momok menakutkan kaum muslimin ketika itu.
Di dalam buku ini, penulis juga membahas tentang kerajaan Mamalik (Mamluk), perkembangan, dan perseteruan di dalamnya. Dibahas pula tentang serangan-serangan bangsa Tartar ke wilayah-wilayah Islam hingga persiapan dan pertempuran kaum Muslimin dan bangsa Tartar di Ain Jalut.
---------------------------------------
SAIFUDDIN QUTHUZ
Sang Penakluk Bangsa Tartar
Penulis: Ash-Shawi Muhammad Ash-Shawi
Ukuran: 16 x 24,5 cm
Tebal: 317 Halaman
Berat: 600 gr
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp. 86.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
❤1
Agama ini Ritualnya Minum Darah Manusia, Apa Benar Di Mata Tuhan?
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Ada satu disertasi doktor tentang agama-agama di satu kampus di Jakarta yang diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul: Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Penulisnya seorang dosen Fakultas Ushuluddin. Ada pengantar dari Rektornya juga.
Sayangnya, banyak pemikiran yang salah dalam disertasi ini. Sebagai contoh, ditulis dalam buku ini: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hlm. 380).
Seorang yang menyatakan bahwa, “semua agama adalah …”, pasti orang itu asal bunyi; tidak berpikir saat bicara seperti itu. Sebab, ia tidak mungkin membaca dan memahami semua agama. Jumlah agama di dunia saat ini mencapai 4000 agama. Apa ia sudah membaca semua ajaran agama-agama itu?
Jika seorang mau meneliti dan berpikir sedikit saja, ia tidak akan berani mengatakan, bahwa “semua agama adalah baik”, “semua agama mengajarkan kebaikan”, dan sebagainya. Di sejumlah negara Eropa dan Amerika, misalnya, hingga kini masih ditemukan agama-agama penyembah setan (Christian Church) dan juga agama Kristen Telanjang (Nudic Christian).
Di Indonesia, sebelum kedatangan Islam, ada agama bernama Bhairawatantra. Agama ini memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953).
Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).
*
Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini disamakan derajatnya dengan agama Islam? Apakah agama seperti ini juga benar di mata Tuhan?
Tapi, uniknya, dalam buku Satu Tuhan Banyak Agama, ditulis bahwa: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hlm. 21).
Lebih aneh lagi, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hlm. 379).
Apalagi, dikutipnya pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hlm. 379-380).
Akhir tahun 2019 lalu, kita dihebohkan oleh satu disertasi doktor yang secara terang-terangan menghalalkan zina. Disertasi “Satu Tuhan Banyak Agama” ini sebenarnya lebih tinggi kadar kesalahannya, sebab ini menyangkut aspek aqidah Islam. Orang yang menyatakan semua agama benar, sejatinya ia sudah tidak beragama dan tidak berpikir sehat. Bagaimana mungkin seorang yang mengaku muslim, tetapi menyamakan Islam dengan Bhairawa Tantra dan agama pemuja setan?
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Ada satu disertasi doktor tentang agama-agama di satu kampus di Jakarta yang diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul: Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Penulisnya seorang dosen Fakultas Ushuluddin. Ada pengantar dari Rektornya juga.
Sayangnya, banyak pemikiran yang salah dalam disertasi ini. Sebagai contoh, ditulis dalam buku ini: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hlm. 380).
Seorang yang menyatakan bahwa, “semua agama adalah …”, pasti orang itu asal bunyi; tidak berpikir saat bicara seperti itu. Sebab, ia tidak mungkin membaca dan memahami semua agama. Jumlah agama di dunia saat ini mencapai 4000 agama. Apa ia sudah membaca semua ajaran agama-agama itu?
Jika seorang mau meneliti dan berpikir sedikit saja, ia tidak akan berani mengatakan, bahwa “semua agama adalah baik”, “semua agama mengajarkan kebaikan”, dan sebagainya. Di sejumlah negara Eropa dan Amerika, misalnya, hingga kini masih ditemukan agama-agama penyembah setan (Christian Church) dan juga agama Kristen Telanjang (Nudic Christian).
Di Indonesia, sebelum kedatangan Islam, ada agama bernama Bhairawatantra. Agama ini memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953).
Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).
*
Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini disamakan derajatnya dengan agama Islam? Apakah agama seperti ini juga benar di mata Tuhan?
Tapi, uniknya, dalam buku Satu Tuhan Banyak Agama, ditulis bahwa: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hlm. 21).
Lebih aneh lagi, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hlm. 379).
Apalagi, dikutipnya pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hlm. 379-380).
Akhir tahun 2019 lalu, kita dihebohkan oleh satu disertasi doktor yang secara terang-terangan menghalalkan zina. Disertasi “Satu Tuhan Banyak Agama” ini sebenarnya lebih tinggi kadar kesalahannya, sebab ini menyangkut aspek aqidah Islam. Orang yang menyatakan semua agama benar, sejatinya ia sudah tidak beragama dan tidak berpikir sehat. Bagaimana mungkin seorang yang mengaku muslim, tetapi menyamakan Islam dengan Bhairawa Tantra dan agama pemuja setan?
Meskipun logika “penyamaan agama” sangat lemah, akan tetapi, karena paham semacam ini dikemas dengan indah, banyak juga manusia yang terpengaruh. Apalagi, paham semacam ini dipromosikan oleh orang-orang yang dianggap punya otoritas dalam ilmu agama. Ditambah lagi, promotornya adalah dosen bidang ushuluddin. Masih diperkuat lagi, buku itu diberi kata pengantar oleh rektor kampus besar, yang juga Profesor terkenal.
Karena itu, kita semua, para orang tua perlu sangat berhati-hati dalam menjaga iman dan akhlak keluarga kita. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” (QS 66:6). (***)
Karena itu, kita semua, para orang tua perlu sangat berhati-hati dalam menjaga iman dan akhlak keluarga kita. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” (QS 66:6). (***)
Cara Bung Hatta Mengubur Komunisme
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Absurditas (senseless) paham Komunisme sudah terbukti. Paham ini rontok sebelum bisa membuktikan impiannya mewujudkan masyarakat komunis. Kekejaman komunisme pun menghiasi lembaran hitam sejarah kemanusiaan. Sastrawan terkenal dan pakar komunisme, Taufiq Ismail, mendokumentasikan kekejaman komunisme dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007).
Taufiq menyajikan data menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: “Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita.”
Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870-1924) juga menyatakan: “Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah.” Satu lagi tulisannya: “Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.”
Lenin juga bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjutkan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987).
****
Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin Magetan, KH Zakaria (83 tahun) berkisah, bahwa seusai shalat Jumat pada 17 September 1948 pesantrennya didatangi beberapa tokoh PKI. Mereka didampingi para pengawal bersenjata yang dikenali sebagai kepala keamanan di daerah Takeran, Magetan.�
Pemimpin Pesantren ketika itu, Kyai Mursyid, lalu dibawa pergi oleh gerombolan PKI. Dan sesuadah itu, Kyai Mursyid lenyap, hingga kini. Kyai Mursyid adalah satu diantara ratusan ulama dan tokoh Islam yang dibantai dalam pemberontakan PKI Madiun pada September 1948.
Sejarah mencatat tahun 1948, PKI menculik satu demi satu pimpinan pesantren yang dianggap musuh. Yel-yel PKI adalah “Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati”. Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan, menjadi incaran utama. Ketika itu, Pesantren dipimpin Kyai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berumur 28 tahun. (Sumber https://m.republika.co.id/berita/koran/teraju/15/10/09/nvyehw1-kisah-senyap-pembantaian-pki-1948 ).
Pemberontakan dan kekejaman PKI tahun 1948 tercatat jelas. Tapi, uniknya, dalam Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) berhasil tampil sebagai pemenang Pemilu ke-4, dengan pemilih lebih dari 6 juta orang. Padahal, tahun 1952, anggota PKI tak lebih dari 8.000 orang. PKI menggunakan strategi pencitraan dan pecah belah. PKI merangkul sebagian partai dan kekuatan nasional, serta menyudutkan partai-partai atau kelompok penentangnya.
Menjelang Pemilu 1955 dan sesudahnya, PKI gencar mencitrakan diri sebagai pendukung utama Pancasila, pendukung utama Bung Karno, dan sahabat rakyat tertindas. (Baca di sini http://g30s-pki.com/strategi-front-persatuan-nasional-1-usaha-usaha-dan-taktik-pki-menjelang-pemilu-tahun-1955/ ). Namun, PKI memiliki tafsir sendiri tentang Pancasila.
Tokoh PKI, Ir. Sakirman mengakui, PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup.” (Lihat buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008). Tahun 1964, pemimpin tertinggi PKI, DN Aidit – nama salinya, Achmat Aidit — mengeluarkan buku “Aidit Membela Pantjasila”.
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Absurditas (senseless) paham Komunisme sudah terbukti. Paham ini rontok sebelum bisa membuktikan impiannya mewujudkan masyarakat komunis. Kekejaman komunisme pun menghiasi lembaran hitam sejarah kemanusiaan. Sastrawan terkenal dan pakar komunisme, Taufiq Ismail, mendokumentasikan kekejaman komunisme dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007).
Taufiq menyajikan data menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: “Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita.”
Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870-1924) juga menyatakan: “Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah.” Satu lagi tulisannya: “Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.”
Lenin juga bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjutkan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987).
****
Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin Magetan, KH Zakaria (83 tahun) berkisah, bahwa seusai shalat Jumat pada 17 September 1948 pesantrennya didatangi beberapa tokoh PKI. Mereka didampingi para pengawal bersenjata yang dikenali sebagai kepala keamanan di daerah Takeran, Magetan.�
Pemimpin Pesantren ketika itu, Kyai Mursyid, lalu dibawa pergi oleh gerombolan PKI. Dan sesuadah itu, Kyai Mursyid lenyap, hingga kini. Kyai Mursyid adalah satu diantara ratusan ulama dan tokoh Islam yang dibantai dalam pemberontakan PKI Madiun pada September 1948.
Sejarah mencatat tahun 1948, PKI menculik satu demi satu pimpinan pesantren yang dianggap musuh. Yel-yel PKI adalah “Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati”. Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan, menjadi incaran utama. Ketika itu, Pesantren dipimpin Kyai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berumur 28 tahun. (Sumber https://m.republika.co.id/berita/koran/teraju/15/10/09/nvyehw1-kisah-senyap-pembantaian-pki-1948 ).
Pemberontakan dan kekejaman PKI tahun 1948 tercatat jelas. Tapi, uniknya, dalam Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) berhasil tampil sebagai pemenang Pemilu ke-4, dengan pemilih lebih dari 6 juta orang. Padahal, tahun 1952, anggota PKI tak lebih dari 8.000 orang. PKI menggunakan strategi pencitraan dan pecah belah. PKI merangkul sebagian partai dan kekuatan nasional, serta menyudutkan partai-partai atau kelompok penentangnya.
Menjelang Pemilu 1955 dan sesudahnya, PKI gencar mencitrakan diri sebagai pendukung utama Pancasila, pendukung utama Bung Karno, dan sahabat rakyat tertindas. (Baca di sini http://g30s-pki.com/strategi-front-persatuan-nasional-1-usaha-usaha-dan-taktik-pki-menjelang-pemilu-tahun-1955/ ). Namun, PKI memiliki tafsir sendiri tentang Pancasila.
Tokoh PKI, Ir. Sakirman mengakui, PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila “Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup.” (Lihat buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008). Tahun 1964, pemimpin tertinggi PKI, DN Aidit – nama salinya, Achmat Aidit — mengeluarkan buku “Aidit Membela Pantjasila”.
Itulah fakta teror, strategi dan taktik pencitraan PKI untuk bangkit. Muktamar Ulama se-Indonesia 8-11 September 1957 di Palembang, antara lain memutuskan: “Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya.”
Tapi, saat berpidato dalam Muktamar tersebut, Bung Hatta mengingatkan para ulama: “Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan ideologi yang belum dimengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin.”
Dan, lanjut Bung Hatta, “Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia. Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera.” (Lihat buku Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu’in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957).
Bung Hatta betul! Wujudkan keadilan Islam – dalam diri, keluarga, masjid, sekolah, pesantren, organisasi Islam, dan seluruh masyarakat Indonesia – maka insyaAllah, komunisme akan terkubur selamanya di Indonesia!
Tapi, saat berpidato dalam Muktamar tersebut, Bung Hatta mengingatkan para ulama: “Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan ideologi yang belum dimengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin.”
Dan, lanjut Bung Hatta, “Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia. Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera.” (Lihat buku Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu’in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957).
Bung Hatta betul! Wujudkan keadilan Islam – dalam diri, keluarga, masjid, sekolah, pesantren, organisasi Islam, dan seluruh masyarakat Indonesia – maka insyaAllah, komunisme akan terkubur selamanya di Indonesia!