TENANGKAN PIKIRAN & HATIMU SETIAP SAAT DENGAN PETUAH-PETUAH BIJAK
Penulis: Imam Hasan al-Bashri ra., Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Hiduplah semaumu, tetapi sesungguhnya engkau akan mati.
Cintailah siapa saja yang engkau mau, tetapi sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya.
Lakukanlah apa saja yang engkau mau, tetapi sesungguhnya engkau akan mendapatkan balasannya.
—IMAM Al-GHAZALI
Petuah bijak Imam al-Ghazali ini merupakan salah satu dari ribuan nasihat-nasihat yang bisa Anda dapatkan di buku ini. Disusun oleh Shalih Ahmad asy-Syami, buku 3 in 1 ini menghadirkan nasihat-nasihat penting tiga ulama besar Islam sepanjang masa (Imam Hasan al-Bashri ra., Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani).
Membaca buku yang inspiratif ini bisa dikatakan seperti meneguk air kebahagiaan dari tiga telaga ilmu yang menenangkan pikiran dan hati kita setiap saat. Sekarang atau nanti, untaian nasihat penting dan petuah-petuah bijak dalam buku ini akan sayang bila sampai tak tersentuh oleh cahaya mata kita.
---------------------------------------
TENANGKAN PIKIRAN & HATIMU SETIAP SAAT DENGAN PETUAH-PETUAH BIJAK
Penulis: Imam Hasan al-Bashri ra., Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Ukuran: 15 x 23 cm
Isi: 396 hal aman
Sampul: Hard cover
Harga: Rp. 125.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Imam Hasan al-Bashri ra., Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Hiduplah semaumu, tetapi sesungguhnya engkau akan mati.
Cintailah siapa saja yang engkau mau, tetapi sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya.
Lakukanlah apa saja yang engkau mau, tetapi sesungguhnya engkau akan mendapatkan balasannya.
—IMAM Al-GHAZALI
Petuah bijak Imam al-Ghazali ini merupakan salah satu dari ribuan nasihat-nasihat yang bisa Anda dapatkan di buku ini. Disusun oleh Shalih Ahmad asy-Syami, buku 3 in 1 ini menghadirkan nasihat-nasihat penting tiga ulama besar Islam sepanjang masa (Imam Hasan al-Bashri ra., Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani).
Membaca buku yang inspiratif ini bisa dikatakan seperti meneguk air kebahagiaan dari tiga telaga ilmu yang menenangkan pikiran dan hati kita setiap saat. Sekarang atau nanti, untaian nasihat penting dan petuah-petuah bijak dalam buku ini akan sayang bila sampai tak tersentuh oleh cahaya mata kita.
---------------------------------------
TENANGKAN PIKIRAN & HATIMU SETIAP SAAT DENGAN PETUAH-PETUAH BIJAK
Penulis: Imam Hasan al-Bashri ra., Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Ukuran: 15 x 23 cm
Isi: 396 hal aman
Sampul: Hard cover
Harga: Rp. 125.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
KITAB FATHUR RABBANI: KUNCI-KUNCI PEMBUKA RAHASIA ILAHI
Penulis: Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Agar hati seorang salik terbuka dan mampu menerima cahaya Allah, wajib baginya mengerti
cara membukanya. Kitab ini merupakan kunci untuk membuka hati yang terbelenggu oleh
gemerlap dunia yang fana, supaya terbuka lebar sehingga mampu menerima cahaya kebenaran
Allah swt.
Kitab ini ditulis semata-mata untuk mencari keridhaan Allah, sebagai upaya meluaskan sanubari
kaum muslimin. Sesuai dengan keinginan pengarangnya, kitab ini diharap mampu memberi
embun penyejuk bagi setiap jiwa, menyucikan hati dan perilaku manusia, serta menafikan
keberadaan entitas selain Allah swt. pada hati setiap hamba.
Al-‘Allâmah Syekh Abdul Qadir al-Jailani merupakan seorang wali yang telah wushûl kepada
Allah swt. Namanya abadi sebagai jalan yang wajib dilalui para salik untuk sampai kepada
Tuhannya, jalan itu bernama tarekat Qadiriyah. Sebuah tarekat yang menyebar luas di seluruh
dunia dan memiliki banyak pengikut.
Beliau adalah seorang wali Allah yang sangat disegani di kalangan umat Islam sedunia. Banyak
karya yang telah ditulis semasa hidupnya, mulai dari kitab tasawuf hingga fikih. Kitab ini
merupakan salah satu dari sekian banyak karyanya. Di dalamnya dibahas cara mendekatkan diri
kepada Allah dengan sepenuh hati.
Kelebihan Buku
1. Dengan membaca kitab ini, kita mendapat cara termudah memahami ajaran Syekh
2. Disampaikan menggunakan bahasa lisan
3. Lengkap dengan contoh dan penerapan
4. Penulisnya adalah seorang sufi yang intelek, menguasai banyak bidang ilmu
5. Disertai contoh kasus dan solusi
----------------------------------------
KITAB FATHUR RABBANI
KUNCI-KUNCI PEMBUKA RAHASIA ILAHI
Penulis: Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Ukuran: 15 x 23 cm
Isi: 660 halaman
Berat: 900 gr.
Cetakan: 2021
ISBN: 9786237327516
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp. 179.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Agar hati seorang salik terbuka dan mampu menerima cahaya Allah, wajib baginya mengerti
cara membukanya. Kitab ini merupakan kunci untuk membuka hati yang terbelenggu oleh
gemerlap dunia yang fana, supaya terbuka lebar sehingga mampu menerima cahaya kebenaran
Allah swt.
Kitab ini ditulis semata-mata untuk mencari keridhaan Allah, sebagai upaya meluaskan sanubari
kaum muslimin. Sesuai dengan keinginan pengarangnya, kitab ini diharap mampu memberi
embun penyejuk bagi setiap jiwa, menyucikan hati dan perilaku manusia, serta menafikan
keberadaan entitas selain Allah swt. pada hati setiap hamba.
Al-‘Allâmah Syekh Abdul Qadir al-Jailani merupakan seorang wali yang telah wushûl kepada
Allah swt. Namanya abadi sebagai jalan yang wajib dilalui para salik untuk sampai kepada
Tuhannya, jalan itu bernama tarekat Qadiriyah. Sebuah tarekat yang menyebar luas di seluruh
dunia dan memiliki banyak pengikut.
Beliau adalah seorang wali Allah yang sangat disegani di kalangan umat Islam sedunia. Banyak
karya yang telah ditulis semasa hidupnya, mulai dari kitab tasawuf hingga fikih. Kitab ini
merupakan salah satu dari sekian banyak karyanya. Di dalamnya dibahas cara mendekatkan diri
kepada Allah dengan sepenuh hati.
Kelebihan Buku
1. Dengan membaca kitab ini, kita mendapat cara termudah memahami ajaran Syekh
2. Disampaikan menggunakan bahasa lisan
3. Lengkap dengan contoh dan penerapan
4. Penulisnya adalah seorang sufi yang intelek, menguasai banyak bidang ilmu
5. Disertai contoh kasus dan solusi
----------------------------------------
KITAB FATHUR RABBANI
KUNCI-KUNCI PEMBUKA RAHASIA ILAHI
Penulis: Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Ukuran: 15 x 23 cm
Isi: 660 halaman
Berat: 900 gr.
Cetakan: 2021
ISBN: 9786237327516
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp. 179.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
HUMANISME
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Saya punya pengalaman menarik, waktu itu dalam suatu acara bersama para wali murid sekolah anak saya di kawasan Aston Birmingham tahun 1998. Setelah kenalan dengan saya salah seorang ibu-ibu bertanya “Anda belajar apa?” saya jawab “Theology”. Ups if you want to have a friend don’t talk about religion and politic” katanya.
Mendengar theology ia seperti terkejut dan menjadi tidak bersahabat lalu meninggalkan saya. Lama saya termangu dan bertanya-tanya. Ada apa dengan agama? Mengapa agama tidak jadi alat persahabatan? Saya terus memendam pertanyaan itu selama saya di Inggris.
Kini saya baru mengerti. Sensus tahun 2001 di Inggris menunjukkan sedikitnya 15.5% penduduknya tidak beragama. Survei Kementerian Dalam Negeri Inggris tahun 2004 menyatakan 22% penduduknya tidak percaya pada agama. Survei yang lain menunjukkan 30-40% penduduk Inggris mengaku ateis dan agnostik, dan 65% nya pemuda.
Polling Ipsos MORI bulan November 2006 membuktikan 36% penduduk Inggris menganut paham humanisme dalam soal moralitas. Itulah sebabnya mengapa di Inggris orang lebih banyak konsultasi ke the British Humanist Association daripada ke pastur di gereja. Ibu-ibu wali murid itu mungkin seorang humanis.
Humanisme ternyata seumur peradaban Barat. Istilah humanisme tercipta tahun 1808. Aslinya bahasa Italia umanista, yang berarti guru atau murid sastra klasik. Tapi cikal bakalnya dapat dilacak dari Yunani kuno, Romawi dan Renaissance abad ke 14. Semangat mengkaji filsafat, seni, sastra klasik sangat tinggi. Keyakinan mereka pada kekuatan individu dan kemampuan manusia untuk menentukan kebenaran cukup kuat.
Lucunya, paham yang mencibir agama itu datang dari dalam agama. Adalah kardinal Pelagius (354-420) yang mulai berwacana bahwa manusia punya kapasitas untuk berkembang sendiri tanpa Tuhan. Bisa tahu baik buruk dengan akalnya.
Mula-mula Jerome dan St. Augustine yang mengkritik. Tapi ketika Pelagius tidak percaya pada doktrin dosa warisan (original sin) dan menolak doktrin predestinasi Calvinisme ia dianggap melawan gereja. Roma dan the Council of Orange tahun 529 akhirnya men“fatwa”kan ide Pelagius itu sesat. Tapi waktu itu belum ada kelompok liberal yang membela Pelagius dan men”tolol”kan petinggi Roma, seperti liberal disini yang men”tolol”kan MUI.
Anehnya, meski difatwa sesat wacana Pelagius terus menghiasi perjalanan sejarah Katholik abad pertengahan, mengiringi dendang Humanisme Renaissance, dan memotivasi Liberalisme modern. Protestan yang kata Weber memendam jiwa kapitalisme itu langsung bersahabat dengan humanisme. Sebab worldview humanisme, Protestan dan kapitalisme sejalan.
Perkawinan Kristen dan humanisme seperti tidak tertahankan lagi. Humanisme Kristen (Christian Humanism) akhirnya lahir, tapi seperti ada kelainan genetik. Teologinya dirubah menjadi berorientasi kemanusiaan. Anak cucu Pelagius pun bermunculan.
Teolog Belanda Erasmus, pengarang Inggris dan juga penganut Katholik Roma Thomas More, penulis Perancis Francois Rabelais, sastrawan dan cendekiawan Itali Francesco Petrarch and Giovanni Pico della Mirandola adalah humanis Kristen tulen.
Zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke 18 serta kebebasan berpikir abad ke 19 telah memoles humanisme menjadi berwajah modern. Pergumulan antara agama, modernisme dan humanisme terus berlangsung. Awalnya humanisme berteduh di rumah agama. Tapi kemudian meninggalkan dan memaki agama.
Di Inggris perkawinan humanisme dan agama awalnya masih bisa dipertahankan. Organisasi humanisme paling awal bernama Humanistic Religious Association didirikan di London tahun 1853. Namun, ketika buah perkawinan itu membesar di zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke 18 dan 19, ia berwajah modernis dan meninggalkan agama.
Perkumpulan humanis bernama the British Humanist Association tidak lagi memakai sifat “religious”. Claire Raynes, wakil Presidennya, mengaku seperti pindah rumah ketika bergabung dengan organisasi Humanisme itu. Alasannya, dalam humanisme tidak ada intimidasi seperti dalam agama.
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Saya punya pengalaman menarik, waktu itu dalam suatu acara bersama para wali murid sekolah anak saya di kawasan Aston Birmingham tahun 1998. Setelah kenalan dengan saya salah seorang ibu-ibu bertanya “Anda belajar apa?” saya jawab “Theology”. Ups if you want to have a friend don’t talk about religion and politic” katanya.
Mendengar theology ia seperti terkejut dan menjadi tidak bersahabat lalu meninggalkan saya. Lama saya termangu dan bertanya-tanya. Ada apa dengan agama? Mengapa agama tidak jadi alat persahabatan? Saya terus memendam pertanyaan itu selama saya di Inggris.
Kini saya baru mengerti. Sensus tahun 2001 di Inggris menunjukkan sedikitnya 15.5% penduduknya tidak beragama. Survei Kementerian Dalam Negeri Inggris tahun 2004 menyatakan 22% penduduknya tidak percaya pada agama. Survei yang lain menunjukkan 30-40% penduduk Inggris mengaku ateis dan agnostik, dan 65% nya pemuda.
Polling Ipsos MORI bulan November 2006 membuktikan 36% penduduk Inggris menganut paham humanisme dalam soal moralitas. Itulah sebabnya mengapa di Inggris orang lebih banyak konsultasi ke the British Humanist Association daripada ke pastur di gereja. Ibu-ibu wali murid itu mungkin seorang humanis.
Humanisme ternyata seumur peradaban Barat. Istilah humanisme tercipta tahun 1808. Aslinya bahasa Italia umanista, yang berarti guru atau murid sastra klasik. Tapi cikal bakalnya dapat dilacak dari Yunani kuno, Romawi dan Renaissance abad ke 14. Semangat mengkaji filsafat, seni, sastra klasik sangat tinggi. Keyakinan mereka pada kekuatan individu dan kemampuan manusia untuk menentukan kebenaran cukup kuat.
Lucunya, paham yang mencibir agama itu datang dari dalam agama. Adalah kardinal Pelagius (354-420) yang mulai berwacana bahwa manusia punya kapasitas untuk berkembang sendiri tanpa Tuhan. Bisa tahu baik buruk dengan akalnya.
Mula-mula Jerome dan St. Augustine yang mengkritik. Tapi ketika Pelagius tidak percaya pada doktrin dosa warisan (original sin) dan menolak doktrin predestinasi Calvinisme ia dianggap melawan gereja. Roma dan the Council of Orange tahun 529 akhirnya men“fatwa”kan ide Pelagius itu sesat. Tapi waktu itu belum ada kelompok liberal yang membela Pelagius dan men”tolol”kan petinggi Roma, seperti liberal disini yang men”tolol”kan MUI.
Anehnya, meski difatwa sesat wacana Pelagius terus menghiasi perjalanan sejarah Katholik abad pertengahan, mengiringi dendang Humanisme Renaissance, dan memotivasi Liberalisme modern. Protestan yang kata Weber memendam jiwa kapitalisme itu langsung bersahabat dengan humanisme. Sebab worldview humanisme, Protestan dan kapitalisme sejalan.
Perkawinan Kristen dan humanisme seperti tidak tertahankan lagi. Humanisme Kristen (Christian Humanism) akhirnya lahir, tapi seperti ada kelainan genetik. Teologinya dirubah menjadi berorientasi kemanusiaan. Anak cucu Pelagius pun bermunculan.
Teolog Belanda Erasmus, pengarang Inggris dan juga penganut Katholik Roma Thomas More, penulis Perancis Francois Rabelais, sastrawan dan cendekiawan Itali Francesco Petrarch and Giovanni Pico della Mirandola adalah humanis Kristen tulen.
Zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke 18 serta kebebasan berpikir abad ke 19 telah memoles humanisme menjadi berwajah modern. Pergumulan antara agama, modernisme dan humanisme terus berlangsung. Awalnya humanisme berteduh di rumah agama. Tapi kemudian meninggalkan dan memaki agama.
Di Inggris perkawinan humanisme dan agama awalnya masih bisa dipertahankan. Organisasi humanisme paling awal bernama Humanistic Religious Association didirikan di London tahun 1853. Namun, ketika buah perkawinan itu membesar di zaman pencerahan dan rasionalisme di abad ke 18 dan 19, ia berwajah modernis dan meninggalkan agama.
Perkumpulan humanis bernama the British Humanist Association tidak lagi memakai sifat “religious”. Claire Raynes, wakil Presidennya, mengaku seperti pindah rumah ketika bergabung dengan organisasi Humanisme itu. Alasannya, dalam humanisme tidak ada intimidasi seperti dalam agama.
Sewaktu Salman Rushdi menulis The Satanic Verses tidak ada yang sadar bahwa agama sedang dihabisi seorang humanis sekuler. Dalam sebuah acara Nightline TV ABC pada 13 Februari 1989 terus terang dia nyatakan “…saya tidak percaya pada mereka yang mengklaim tahu seluruh kebenaran dan mencoba memaksa dunia ini agar ikut kebenaran itu.” Lebih jelas lagi dalam pernyataannya di New York Review tanggal 2 Maret.
Jadi dia sebenarnya telah berada di luar agama dan menjadi sebagai humanis sekuler. Dan melalui karyanya Satanic Verses “Saya mencoba memberi visi sekuler dan humanis terhadap agama besar ini (maksudnya Islam)”, katanya dalam New York Review 2 Maret 1989. Di Barat anak yang telah dewasa memang berhak minggat dari rumah. Orang beragama berhak murtad.
Di Amerika humanisme seperti anak nakal. Organisasi pertamanya (berdiri Februari 1877) tidak sudi memakai kata “religious”. Pemrakarsanya F.C.S. Schiller didukung oleh Charles Francis Potter dipengaruhi oleh doktrin pragmatisme William James.
Organisasi yang didirikan Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist jelas-jelas bernama the Council for Secular Humanism. Demikian pula Humanist Society of New York yang didirikan Charles Francis Potter tahun 1929 juga sekuler.
Penasehatnya Julian Huxley, John Dewey, Albert Einstein dan Thomas Mann. Ini disusul oleh kelompok-kelompok seperti the Council for Democratic and Secular Humanism dan the American Rationalist Federation dan sebagainya. Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis. Modalnya akal dan sains, alat penyebarannya adalah demokrasi. Dan semua itu demi kepentingan kemanusiaan.
Di era globalisasi dan teknologi modern disaat mana agama kehilangan otoritasnya, humanisme talak tiga dari agama. Fenomenanya terlihat ketika Potter bersama istrinya Clara Cook Potter berani menerbitkan buku aneh (tahun 1930) berjudul Humanism: A New Religion.
Disinilah humanisme tidak hanya pindah rumah dari agama tapi sudah menjadi rival agama. Ini tidak hanya mensekulerkan agama, tapi meng-agamakan paham sekuler. Inilah agama yang tidak lagi berhubungan dengan Tuhan. Tidak aneh jika kemudian “Fatwa” tentang kemanusiaan kini direbut humanisme.
Dari awal humanisme memang sudah berwatak sekuler. Tapi resmi berwajah sekuler ketika berdiri the Council for Secular Humanism oleh Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist. Karena sekularisme inklusif dalam modernisme, humanisme modern dan humanisme sekuler sama saja.
Garda depannya adalah kelompok-kelompok seperti the Council for Democratic and Secular Humanism dan the American Rationalist Federation. Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis. Andalannya akal dan sains, demokrasi dan kepentingan kemanusiaan. Paul Kurtz dan Potter mungkin sudah lama berwacana bagaimana menghabisi agama.
Babak-babak marginalisasi agama oleh humanisme modern dan sekuler terus berlangsung. Ketika globalisme dan teknologi modern bangkit kekuasaan agama jatuh. Humanisme religius pun kehilangan watak religiusnya.
Namun watak humanisme yang sejak awal telah menggugat agama itu akhirnya tidak dapat menutupi identitasnya. Humanis adalah ateis. Faktanya semua aktifis humanis tidak sungkan lagi mengklaim dirinya ateis dan agnostik. Robert G. Ingersoll, seorang humanis sekuler terang-terangan berkata: “Kini saya yakin hantu (ghost) dan tuhan (god) adalah mitos. Aku bebas berpikir dan berbuat apa saja… aku bebas! Bagi humanis sekuler tidak perlu lagi teriak "hallelujah!" Jika ia Muslim pasti ia benci dengan yel Allahu Akbar.
Lucunya humanisme religius sama-sama menanda tangani Manifesto Humanist I & II tahun 1933 dan 1973. Tapi kedua manifesto itu dihegemoni humanisme sekuler. Sementara Humanisme Kristen sudah dikuasai oleh Unitarianisme dan Universalisme. Suatu organisasi keagamaan liberal dibawah gereja the Unitarian Universalist (UU) Amerika Utara. Kini kelompok Unitarian yang liberal ini telah dianggap telah keluar dari Kristen.
Jadi dia sebenarnya telah berada di luar agama dan menjadi sebagai humanis sekuler. Dan melalui karyanya Satanic Verses “Saya mencoba memberi visi sekuler dan humanis terhadap agama besar ini (maksudnya Islam)”, katanya dalam New York Review 2 Maret 1989. Di Barat anak yang telah dewasa memang berhak minggat dari rumah. Orang beragama berhak murtad.
Di Amerika humanisme seperti anak nakal. Organisasi pertamanya (berdiri Februari 1877) tidak sudi memakai kata “religious”. Pemrakarsanya F.C.S. Schiller didukung oleh Charles Francis Potter dipengaruhi oleh doktrin pragmatisme William James.
Organisasi yang didirikan Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist jelas-jelas bernama the Council for Secular Humanism. Demikian pula Humanist Society of New York yang didirikan Charles Francis Potter tahun 1929 juga sekuler.
Penasehatnya Julian Huxley, John Dewey, Albert Einstein dan Thomas Mann. Ini disusul oleh kelompok-kelompok seperti the Council for Democratic and Secular Humanism dan the American Rationalist Federation dan sebagainya. Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis. Modalnya akal dan sains, alat penyebarannya adalah demokrasi. Dan semua itu demi kepentingan kemanusiaan.
Di era globalisasi dan teknologi modern disaat mana agama kehilangan otoritasnya, humanisme talak tiga dari agama. Fenomenanya terlihat ketika Potter bersama istrinya Clara Cook Potter berani menerbitkan buku aneh (tahun 1930) berjudul Humanism: A New Religion.
Disinilah humanisme tidak hanya pindah rumah dari agama tapi sudah menjadi rival agama. Ini tidak hanya mensekulerkan agama, tapi meng-agamakan paham sekuler. Inilah agama yang tidak lagi berhubungan dengan Tuhan. Tidak aneh jika kemudian “Fatwa” tentang kemanusiaan kini direbut humanisme.
Dari awal humanisme memang sudah berwatak sekuler. Tapi resmi berwajah sekuler ketika berdiri the Council for Secular Humanism oleh Paul Kurtz mantan editor majalah The Humanist. Karena sekularisme inklusif dalam modernisme, humanisme modern dan humanisme sekuler sama saja.
Garda depannya adalah kelompok-kelompok seperti the Council for Democratic and Secular Humanism dan the American Rationalist Federation. Doktrinnya filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis. Andalannya akal dan sains, demokrasi dan kepentingan kemanusiaan. Paul Kurtz dan Potter mungkin sudah lama berwacana bagaimana menghabisi agama.
Babak-babak marginalisasi agama oleh humanisme modern dan sekuler terus berlangsung. Ketika globalisme dan teknologi modern bangkit kekuasaan agama jatuh. Humanisme religius pun kehilangan watak religiusnya.
Namun watak humanisme yang sejak awal telah menggugat agama itu akhirnya tidak dapat menutupi identitasnya. Humanis adalah ateis. Faktanya semua aktifis humanis tidak sungkan lagi mengklaim dirinya ateis dan agnostik. Robert G. Ingersoll, seorang humanis sekuler terang-terangan berkata: “Kini saya yakin hantu (ghost) dan tuhan (god) adalah mitos. Aku bebas berpikir dan berbuat apa saja… aku bebas! Bagi humanis sekuler tidak perlu lagi teriak "hallelujah!" Jika ia Muslim pasti ia benci dengan yel Allahu Akbar.
Lucunya humanisme religius sama-sama menanda tangani Manifesto Humanist I & II tahun 1933 dan 1973. Tapi kedua manifesto itu dihegemoni humanisme sekuler. Sementara Humanisme Kristen sudah dikuasai oleh Unitarianisme dan Universalisme. Suatu organisasi keagamaan liberal dibawah gereja the Unitarian Universalist (UU) Amerika Utara. Kini kelompok Unitarian yang liberal ini telah dianggap telah keluar dari Kristen.
Puncaknya kemenangan humanisme sekuler terjadi tahun 2008. Pemerintah Inggris pada tanggal 8 Mei 2008 menyetujui Undang-undang Kriminal, Keadilan dan Keimigrasian. Undang-undang itu mengandung amandemen untuk menghapus larangan penistaan agama.
Hak istimewa gereja dan agama tidak sesuai lagi dengan masyarakat Inggris modern. Undang-undang ini benar-benar bertujuan menjaga masyarakat beserta hak-hak mereka, dan tidak melindungi pemikiran dan kepercayaan mereka dari kritik.
Meski demikian, buku Potter berjudul Humanism: New Religion, masih dicibir kalangan gereja di Amerika. Mereka membuat artikel plesetan berjudul Humanisme: The Atheist's Religion! Bibelnya: Manifesto Humanism; Obyek sembahannya: Manusia; Pendeta dan Misionarisnya: Para pendidik; Seminarinya: Guru-guru sekolah; Gerejanya: Universitas. Mungkin “jihad” nya adalah “memerangi” agama.
Akhirnya manusia sudah bukan makhluk Tuhan, tapi hasil evolusi. Tidak ada kehidupan sesudah mati. Prinsip hidup humanis sangat simple: makan, minum dan kawinlah sepuasmu karena mungkin besok akan mati. Lakukan apa saja asal kamu suka. Seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi eutanasia adalah hak asasi dan tidak ada yang berhak mencampuri anda.
Cara perang melawan agama itu mudah. Manifesto Humanisme di Amerika Selatan pada 7 Mei 2005 mendeklarasikan kembali lagu-lagu Yunani “Humans are the measure of all things". Jika pluralisme agama memindah pusat orbit dunia agama (world of religion) kepada satu Tuhan, humanisme memindahkan orbit segala sesuatu dari Tuhan kepada manusia.
Tuhan bukan lagi pusat dan ukuran segala sesuatu. Salah laku dalam hal seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi, eutanasia dan lain-lain kini tidak lagi diukur dari agama. "Baik buruk”, kata Betrand Russell yang ateis itu, “adalah kualitas milik obyek yang terpisah dari opini kita.” Sebab, ukuran moral adalah obyektif bukan subyektif atau normatif.
Pantas! Takbir yang diikuti dengan menjotos hidung sampai berdarah adalah kekerasan. Tapi mutilasi tanpa takbir dianggap tindak kriminal biasa. Merazia tempat maksiat dengan takbir demi nahi munkar melanggar HAM.
Tapi, razia polisi demi keamanan dan tanpa takbir adalah biasa. Artinya jangan bawa-bawa agama untuk kemanusiaan, apalagi berbentuk kekerasan. Pokoknya agama dipasung agar tidak masuk ke ranah publik dan humanisme diusung agar menjadi agama publik. Ukuran moralitas bukan agama tapi publik. Moralis tidak harus religius.
Disini sayup-sayup mulai terdengar Christian Humanism kini diterjemahkan menjadi Muslim Humanis. Dengan bahasa fiqih mereka berfatwa “Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia, maka ukurannya juga bukan Tuhan”, “Tujuan (maqasid) syariat lebih penting dari syariat” artinya “Kemanusiaan lebih penting dari syariat”, “Konteks lebih penting daripada teks”.
Tidak! Memang tidak ada yang salah dalam agama. Tapi agama telah kalah dari Humanisme. Manusia tidak lagi untuk Tuhan, tapi Tuhan untuk manusia. Moralis tidak selalu harus religius. Sila ketuhanan boleh jadi nantinya diganti dengan sila kemanusiaan. Sebab, disini ilmuwannya sudah berani berfatwa “Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia”, kemanusiaan lebih penting dari syariat.
Kini ukurannya bukan syariat tapi insaniyah atau basyariah. Dulu saja Tertulian secara pejoratif mengeluh "What has Jerusalem to do with Athens?" (maksudnya apa gunanya agama bagi akal). Mungkin keluh kesah Tertulian itu akan berubah begini: Apa yang bisa dilakukan agama jika semua demi manusia?.
Kini waktunya kita menyoal diri (muhasabah) apa gunanya agama jika kita hanya ingin surga (dunia). Apa gunanya qalbu jika syahwat sudah menggebu? Saya akhirnya paham mengapa penganut humanisme itu tidak bisa ngopi bersama sambil bicara agama dan Tuhan. Karena mereka telah merasa jadi tuhan.
Hak istimewa gereja dan agama tidak sesuai lagi dengan masyarakat Inggris modern. Undang-undang ini benar-benar bertujuan menjaga masyarakat beserta hak-hak mereka, dan tidak melindungi pemikiran dan kepercayaan mereka dari kritik.
Meski demikian, buku Potter berjudul Humanism: New Religion, masih dicibir kalangan gereja di Amerika. Mereka membuat artikel plesetan berjudul Humanisme: The Atheist's Religion! Bibelnya: Manifesto Humanism; Obyek sembahannya: Manusia; Pendeta dan Misionarisnya: Para pendidik; Seminarinya: Guru-guru sekolah; Gerejanya: Universitas. Mungkin “jihad” nya adalah “memerangi” agama.
Akhirnya manusia sudah bukan makhluk Tuhan, tapi hasil evolusi. Tidak ada kehidupan sesudah mati. Prinsip hidup humanis sangat simple: makan, minum dan kawinlah sepuasmu karena mungkin besok akan mati. Lakukan apa saja asal kamu suka. Seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi eutanasia adalah hak asasi dan tidak ada yang berhak mencampuri anda.
Cara perang melawan agama itu mudah. Manifesto Humanisme di Amerika Selatan pada 7 Mei 2005 mendeklarasikan kembali lagu-lagu Yunani “Humans are the measure of all things". Jika pluralisme agama memindah pusat orbit dunia agama (world of religion) kepada satu Tuhan, humanisme memindahkan orbit segala sesuatu dari Tuhan kepada manusia.
Tuhan bukan lagi pusat dan ukuran segala sesuatu. Salah laku dalam hal seks, lesbi, homo, kawin cerai, bunuh diri, aborsi, eutanasia dan lain-lain kini tidak lagi diukur dari agama. "Baik buruk”, kata Betrand Russell yang ateis itu, “adalah kualitas milik obyek yang terpisah dari opini kita.” Sebab, ukuran moral adalah obyektif bukan subyektif atau normatif.
Pantas! Takbir yang diikuti dengan menjotos hidung sampai berdarah adalah kekerasan. Tapi mutilasi tanpa takbir dianggap tindak kriminal biasa. Merazia tempat maksiat dengan takbir demi nahi munkar melanggar HAM.
Tapi, razia polisi demi keamanan dan tanpa takbir adalah biasa. Artinya jangan bawa-bawa agama untuk kemanusiaan, apalagi berbentuk kekerasan. Pokoknya agama dipasung agar tidak masuk ke ranah publik dan humanisme diusung agar menjadi agama publik. Ukuran moralitas bukan agama tapi publik. Moralis tidak harus religius.
Disini sayup-sayup mulai terdengar Christian Humanism kini diterjemahkan menjadi Muslim Humanis. Dengan bahasa fiqih mereka berfatwa “Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia, maka ukurannya juga bukan Tuhan”, “Tujuan (maqasid) syariat lebih penting dari syariat” artinya “Kemanusiaan lebih penting dari syariat”, “Konteks lebih penting daripada teks”.
Tidak! Memang tidak ada yang salah dalam agama. Tapi agama telah kalah dari Humanisme. Manusia tidak lagi untuk Tuhan, tapi Tuhan untuk manusia. Moralis tidak selalu harus religius. Sila ketuhanan boleh jadi nantinya diganti dengan sila kemanusiaan. Sebab, disini ilmuwannya sudah berani berfatwa “Syariat bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia”, kemanusiaan lebih penting dari syariat.
Kini ukurannya bukan syariat tapi insaniyah atau basyariah. Dulu saja Tertulian secara pejoratif mengeluh "What has Jerusalem to do with Athens?" (maksudnya apa gunanya agama bagi akal). Mungkin keluh kesah Tertulian itu akan berubah begini: Apa yang bisa dilakukan agama jika semua demi manusia?.
Kini waktunya kita menyoal diri (muhasabah) apa gunanya agama jika kita hanya ingin surga (dunia). Apa gunanya qalbu jika syahwat sudah menggebu? Saya akhirnya paham mengapa penganut humanisme itu tidak bisa ngopi bersama sambil bicara agama dan Tuhan. Karena mereka telah merasa jadi tuhan.
*KOMUNIS BENCI AGAMA TAPI ANEHNYA MENDUKUNG PANCASILA*
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam sidang-sidang Konstituante, tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) menyatakan dukungannya kepada Pancasila. Karena itu, tokoh-tokoh Islam yang ada di Konstituante mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila.
Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam yang juga Pahlawan Nasional, Kasman Singodimedjo secara khusus mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologinya.
Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi ”kebebasan beragama”. Termasuk dalam ”kebebasan beragama” adalah ”kebebasan untuk tidak beragama.” Kasman mengingatkan: ”Saudara ketua, sama-sama tokh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umumnya dan pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!.” (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hal. 480-481).
Keberatan dan kecurigaan Kasman Singodimedjo dan para tokoh Islam lainnya di Majelis Konstitante dengan masuknya komunis ke kubu pendukung Pancasila, memiliki alasan yang sangat masuk akal. Sebab, berbagai ungkapan Karl Marx dan Lenin memang menunjukkan kebencian komunis kepada agama.
Dalam buku kecil berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), sastrawan Taufiq Ismail mengutip sejumlah ungkapan Karl Marx dan Lenin tentang agama, seperti: “Agama adalah madat (candu) bagi masyarakat. Menghujat agama adalah syarat utama semua hujatan…” Juga, ungkapannya: “Agama harus dihancurkan, karena agama mengilusi rakyat dalam memperoleh kebahagiaan sejati…”
Lenin juga berkata: “Setiap ide tentang Tuhan adalah semacam infeksi berbau busuk.” Juga, katanya, “Penyebaran pandangan anti-Tuhan adalah tugas utama kita. Kita harus memperlakukan agama dengan bengis. Kita harus memerangi agama. Inilah ABC materialisme dan juga ABC Marxisme.”
Karena benci agama, maka bisa dipahami jika kekejaman Komunis terhadap umat manusia pun sangat luat biasa. Dalam kurun 1917-1991 kaum komunis membantai 120 juta orang. (Itu sama dg pembunuhan terhadap 187 nyawa/ jam, atau satu nyawa/ 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl Marx (1818-1883) berkata: “Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita.”
Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870-1924) juga menyatakan: “Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah.” Satu lagi tulisannya: “Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.”
Lenin, semasa berkuasa (1917-1923) membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjutkan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987).
Dalam bukunya, "Negara Pancasila", Mantan Wakil Kepala BIN, As’ad Said Ali, menulis, bahwa munculnya semangat para tokoh Islam ketika itu untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis ke dalam blok pendukung Pancasila.
”Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi religiusitasnya.
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam sidang-sidang Konstituante, tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) menyatakan dukungannya kepada Pancasila. Karena itu, tokoh-tokoh Islam yang ada di Konstituante mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila.
Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam yang juga Pahlawan Nasional, Kasman Singodimedjo secara khusus mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologinya.
Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi ”kebebasan beragama”. Termasuk dalam ”kebebasan beragama” adalah ”kebebasan untuk tidak beragama.” Kasman mengingatkan: ”Saudara ketua, sama-sama tokh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umumnya dan pada dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!.” (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hal. 480-481).
Keberatan dan kecurigaan Kasman Singodimedjo dan para tokoh Islam lainnya di Majelis Konstitante dengan masuknya komunis ke kubu pendukung Pancasila, memiliki alasan yang sangat masuk akal. Sebab, berbagai ungkapan Karl Marx dan Lenin memang menunjukkan kebencian komunis kepada agama.
Dalam buku kecil berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), sastrawan Taufiq Ismail mengutip sejumlah ungkapan Karl Marx dan Lenin tentang agama, seperti: “Agama adalah madat (candu) bagi masyarakat. Menghujat agama adalah syarat utama semua hujatan…” Juga, ungkapannya: “Agama harus dihancurkan, karena agama mengilusi rakyat dalam memperoleh kebahagiaan sejati…”
Lenin juga berkata: “Setiap ide tentang Tuhan adalah semacam infeksi berbau busuk.” Juga, katanya, “Penyebaran pandangan anti-Tuhan adalah tugas utama kita. Kita harus memperlakukan agama dengan bengis. Kita harus memerangi agama. Inilah ABC materialisme dan juga ABC Marxisme.”
Karena benci agama, maka bisa dipahami jika kekejaman Komunis terhadap umat manusia pun sangat luat biasa. Dalam kurun 1917-1991 kaum komunis membantai 120 juta orang. (Itu sama dg pembunuhan terhadap 187 nyawa/ jam, atau satu nyawa/ 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl Marx (1818-1883) berkata: “Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita.”
Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870-1924) juga menyatakan: “Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah.” Satu lagi tulisannya: “Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang.”
Lenin, semasa berkuasa (1917-1923) membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjutkan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987).
Dalam bukunya, "Negara Pancasila", Mantan Wakil Kepala BIN, As’ad Said Ali, menulis, bahwa munculnya semangat para tokoh Islam ketika itu untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis ke dalam blok pendukung Pancasila.
”Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi religiusitasnya.
Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif,” tulis As’ad dalam bukunya.
Jadi, para tokoh Islam menilai, bahwa dukungan PKI kepada Pancasila hanyalah sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh PKI Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa ”Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal.”
Karena itu ia menyeru kepada golongan Islam: ”[B]etapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu ”grootste gemene deler” yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal daripada Islam.” (Lihat, buku Adnan Buyung Nasution berjudul, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia…, hal. 73).
Jadi, sejarah membuktikan, meskipun sangat benci agama, tetapi PKI menyatakan dukungannya terhadap Pancasila. Tentu saja itu sangat aneh. Logisnya, tindakan PKI yang mendukung Pancasila, bisa diartikan sebagai satu cara membonceng Pancasila, untuk kemudian merusak agama di Indonesia.
Semoga umat Islam dan bangsa Indonesia memahami substansi ajaran komunisme yang bersifat sekuler dan anti-agama. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 24 September 2021).
Jadi, para tokoh Islam menilai, bahwa dukungan PKI kepada Pancasila hanyalah sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh PKI Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa ”Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal.”
Karena itu ia menyeru kepada golongan Islam: ”[B]etapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu ”grootste gemene deler” yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal daripada Islam.” (Lihat, buku Adnan Buyung Nasution berjudul, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia…, hal. 73).
Jadi, sejarah membuktikan, meskipun sangat benci agama, tetapi PKI menyatakan dukungannya terhadap Pancasila. Tentu saja itu sangat aneh. Logisnya, tindakan PKI yang mendukung Pancasila, bisa diartikan sebagai satu cara membonceng Pancasila, untuk kemudian merusak agama di Indonesia.
Semoga umat Islam dan bangsa Indonesia memahami substansi ajaran komunisme yang bersifat sekuler dan anti-agama. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 24 September 2021).
PENGANTAR STUDI AKIDAH ISLAM
Penulis: Prof. DR. Umar Sulaiman al-Asyqar
Seorang muslim dan muslimah wajib memiliki akidah yang lurus dan benar sesuai manhaj Alhu Sunnah al Jamaah. Sebab dengan akidah yang lurus dan benar, Islam dan amalnya juga akan menjadi benar dan diterima Allah SWT. Namun tentu, untuk sampai kepada akidah Islam yang lurus dan benar, ia harus mempelajari dasar-dasar akidah atau pengantar akidah Islam yang kuat agar ia dapat meyelami materi-materi akidah berikutnya dengan mudah.
Judul asli buku ini adalah Al-Madkhal Ilaa Dirasaatil Aqidatil Islamiyyah, Pengantar Studi Akidah Islam, ditulis seorang ulama sekaligus penulis produktif berasal dari Oman, Syaikh DR. Umar Sulaiman Al- Asyqar. Buku ini merupakan intisari Ilmu Akidah berdasarkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Penulis berhasil menjelaskan dasar-dasar akidah Islam dengan bahasa yang mudah dimengerti dan sarat dengan dalil-dalil Al Quran, Sunnah dan perkataan para ulama. Semoga kehadiran buku ini bisa menjadi referensi Islam yang tepat.
------------------------------
PENGANTAR STUDI AKIDAH ISLAM
Penulis: Prof. DR. Umar Sulaiman al-Asyqar
Ukuran: 15 x 24 cm
Tebal: 381 Halaman
Berat: 500 gr
Samoul: Soft Cover
Harga: Rp. 90.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
Penulis: Prof. DR. Umar Sulaiman al-Asyqar
Seorang muslim dan muslimah wajib memiliki akidah yang lurus dan benar sesuai manhaj Alhu Sunnah al Jamaah. Sebab dengan akidah yang lurus dan benar, Islam dan amalnya juga akan menjadi benar dan diterima Allah SWT. Namun tentu, untuk sampai kepada akidah Islam yang lurus dan benar, ia harus mempelajari dasar-dasar akidah atau pengantar akidah Islam yang kuat agar ia dapat meyelami materi-materi akidah berikutnya dengan mudah.
Judul asli buku ini adalah Al-Madkhal Ilaa Dirasaatil Aqidatil Islamiyyah, Pengantar Studi Akidah Islam, ditulis seorang ulama sekaligus penulis produktif berasal dari Oman, Syaikh DR. Umar Sulaiman Al- Asyqar. Buku ini merupakan intisari Ilmu Akidah berdasarkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Penulis berhasil menjelaskan dasar-dasar akidah Islam dengan bahasa yang mudah dimengerti dan sarat dengan dalil-dalil Al Quran, Sunnah dan perkataan para ulama. Semoga kehadiran buku ini bisa menjadi referensi Islam yang tepat.
------------------------------
PENGANTAR STUDI AKIDAH ISLAM
Penulis: Prof. DR. Umar Sulaiman al-Asyqar
Ukuran: 15 x 24 cm
Tebal: 381 Halaman
Berat: 500 gr
Samoul: Soft Cover
Harga: Rp. 90.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran.
WhatsApp.com
Eko Heru Prayitno
Business Account
MERUNTUHKAN ARGUMEN KAUM LIBERALIS dan PLURALIS
Penulis: Dr. Firanda Andirja, Lc., MA.
Buku ini mengungkapkan banyak kedustaan para da'i pluralis yang mengaku-ngaku akademis dan menjaga amanah 'ilmiyah, namun faktanya suka memotong dan memelintir perkataan para ulama, bahkan memotong-motong ayat-ayat al-Quran sehingga maknanya menjadi bertolak belakang. Ini semua tidak lain mereka lakukan kecuali untuk melegalkan racun pluralisme mereka tersebut.
Buku ini membantu mengokohkan akidah seorang muslim dari syubhat-syubhat yang berusaha meragukan kebenaran Islam atau berusaha menganggap semua agama adalah sama, yaitu sama-sama masuk surga, juga berusaha menyamakan antara agama Islam yang menyeru kepada tauhid dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan agama-agama lain yang menyeru kepada kesyirikan serta peribadatan kepada makhluk. Semoga Allah mewafatkan kita semua di atas akidah tauhid.
--------------------------------
Meruntuhkan Argumen Kaum Liberalis Dan Pluralis
Penulis: Dr. Firanda Andirja, Lc., MA.
Ukuran: 17 x 25 cm
Tebal: 654 Halaman
Berat: 1.3 Kg.
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp.180.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
Penulis: Dr. Firanda Andirja, Lc., MA.
Buku ini mengungkapkan banyak kedustaan para da'i pluralis yang mengaku-ngaku akademis dan menjaga amanah 'ilmiyah, namun faktanya suka memotong dan memelintir perkataan para ulama, bahkan memotong-motong ayat-ayat al-Quran sehingga maknanya menjadi bertolak belakang. Ini semua tidak lain mereka lakukan kecuali untuk melegalkan racun pluralisme mereka tersebut.
Buku ini membantu mengokohkan akidah seorang muslim dari syubhat-syubhat yang berusaha meragukan kebenaran Islam atau berusaha menganggap semua agama adalah sama, yaitu sama-sama masuk surga, juga berusaha menyamakan antara agama Islam yang menyeru kepada tauhid dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan agama-agama lain yang menyeru kepada kesyirikan serta peribadatan kepada makhluk. Semoga Allah mewafatkan kita semua di atas akidah tauhid.
--------------------------------
Meruntuhkan Argumen Kaum Liberalis Dan Pluralis
Penulis: Dr. Firanda Andirja, Lc., MA.
Ukuran: 17 x 25 cm
Tebal: 654 Halaman
Berat: 1.3 Kg.
Sampul: Hard Cover
Harga: Rp.180.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
WhatsApp.com
Eko Heru Prayitno
Business Account
Jangan Salah Paham, Inilah Makna dan Kedudukan Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’
Oleh: Dr. Adian Husaini
Hari Sabtu (20/6/2020), saya mendapat kiriman WA berharga dari Ketua Akademi Jawi Malaysia, Mohammad Syukri Rosli, M.Phil. Kiriman itu berupa naskah tafsir QS al-Ikhlas dalam Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid, karya Syekh Abdul Rauf al-Fansuri (w. 1693 M). Tarjuman al-Mustafid adalah naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
Tafsir Tarjuman al-Mustafid, telah menerjemahkan kata “Ahad” dalam surat Al-Ikhlas dengan “Esa”, bukan “Satu” atau “Tunggal”. Uniknya, dalam sila pertama Pancasila, untuk Ketuhanan diberikan sifat “Maha Esa”. Jadi, bukan asal atau sembarang Ketuhanan! Yang benar adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tafsir ini dan juga beberapa kitab para ulama lainnya sudah menggunakan kata “Esa” sebagai terjemah kata “Ahad”. Bahwa, Allah adalah Tuhan yang Satu, dan Tidak terbagi-bagi. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno juga menyebut Ketuhanan yang dia maksudkan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan hanya Ketuhanan yang berkebudayaan.
Penting dan uniknya sila pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa – telah disepakati oleh para pendiri bangsa ini sejak 18 Agustus 1945 dan ditegaskan lagi dalam Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli 1959. Dekrit Presiden Soekarno itu menegaskan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945.
Merujuk kepada Dekrit Presiden Soekarno itu, maka maka bunyi sila pertama Pancasila menjadi:
“Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Karena itu, Ketuhanan Yang Maha Esa diletakkan pada urutan pertama. Rumusan inilah yang telah menjadi kesepakatan nasional, bukan hanya pendapat pribadi Bung Karno.
Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: “bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti pengakuan “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”.
Tahun 1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila. Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof. H.A. Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr. Alex Andries Maramis, Prof. Sunario SH, dan Prof. Abdoel Gafar Pringgodigdo SH. Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumuskan:
”Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi.” (Lihat, Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).
Tidak sama
Jadi, kedudukan kelima sila Pancasila tidaklah sama. Yang terpenting adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, tahun 1983: Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
Jadi, ditegaskan dalam keputusan tersebut, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai sila yang lain. Itu artinya, sila pertama menduduki posisi terpenting. Dan sila itu mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
Makna Tauhid pada dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga dijelaskan oleh Rois ‘Am NU KH Achmad Siddiq dalam makalahnya “Hubungan Agama dan Pancasila”. Makalah itu dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985.
KH Achmad Siddiq menulis: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula.
Oleh: Dr. Adian Husaini
Hari Sabtu (20/6/2020), saya mendapat kiriman WA berharga dari Ketua Akademi Jawi Malaysia, Mohammad Syukri Rosli, M.Phil. Kiriman itu berupa naskah tafsir QS al-Ikhlas dalam Kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid, karya Syekh Abdul Rauf al-Fansuri (w. 1693 M). Tarjuman al-Mustafid adalah naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
Tafsir Tarjuman al-Mustafid, telah menerjemahkan kata “Ahad” dalam surat Al-Ikhlas dengan “Esa”, bukan “Satu” atau “Tunggal”. Uniknya, dalam sila pertama Pancasila, untuk Ketuhanan diberikan sifat “Maha Esa”. Jadi, bukan asal atau sembarang Ketuhanan! Yang benar adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tafsir ini dan juga beberapa kitab para ulama lainnya sudah menggunakan kata “Esa” sebagai terjemah kata “Ahad”. Bahwa, Allah adalah Tuhan yang Satu, dan Tidak terbagi-bagi. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno juga menyebut Ketuhanan yang dia maksudkan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan hanya Ketuhanan yang berkebudayaan.
Penting dan uniknya sila pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa – telah disepakati oleh para pendiri bangsa ini sejak 18 Agustus 1945 dan ditegaskan lagi dalam Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli 1959. Dekrit Presiden Soekarno itu menegaskan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945.
Merujuk kepada Dekrit Presiden Soekarno itu, maka maka bunyi sila pertama Pancasila menjadi:
“Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Karena itu, Ketuhanan Yang Maha Esa diletakkan pada urutan pertama. Rumusan inilah yang telah menjadi kesepakatan nasional, bukan hanya pendapat pribadi Bung Karno.
Guru besar Ilmu hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin, dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: “bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti pengakuan “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”.
Tahun 1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila. Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof. H.A. Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr. Alex Andries Maramis, Prof. Sunario SH, dan Prof. Abdoel Gafar Pringgodigdo SH. Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumuskan:
”Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi.” (Lihat, Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).
Tidak sama
Jadi, kedudukan kelima sila Pancasila tidaklah sama. Yang terpenting adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, tahun 1983: Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
Jadi, ditegaskan dalam keputusan tersebut, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai sila yang lain. Itu artinya, sila pertama menduduki posisi terpenting. Dan sila itu mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
Makna Tauhid pada dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga dijelaskan oleh Rois ‘Am NU KH Achmad Siddiq dalam makalahnya “Hubungan Agama dan Pancasila”. Makalah itu dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985.
KH Achmad Siddiq menulis: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula.
Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.”
Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hal. 224).
Di Majalah Panji Masyarakat edisi No 216, (1 Februari 1977), Buya Hamka menulis artikel berjudul “Ketahanan Ideologi Mutlak Ditingkatkan”. Menurut Buya Hamka, bagi orang muslim, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tiang Agung dari Pancasila, Urat Tunggang dari Pancasila. “Kalau sila pertama ini runtuh, gugur hancurlah keempat sila yang lain,” tulis Buya Hamka.
Kita simak kembali rumusan Pembukaan UUD 1945: “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dengan pikiran sederhana saja, kita bisa memahami, bahwa makna “dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti “berdasar kepada Tauhid”. Sebab, makna Ketuhanan Yang Maha Esa, memang mencerminkan Tauhid dalam ajaran Islam. Inilah kecerdikan dan kebijakan para pendiri bangsa.
Karena itu, sebagaimana dirumuskan juga dalam Munas Alim Ulama tahun 1983, Pancasila bukanlah agama, dan tidak bisa digunakan untuk menggantikan agama. Maka, tepatlah yang dikatakan penulis Kristen, I.J. Satyabudi dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah: “Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu identik dengan “Ketuhanan Yang Satu”!”
Siapa yang dimaksud dengan Bapak-bapak Islam? Tentulah itu Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, dan sebagainya. Wallaahu A’lam bish-shawab. (****)
Dalam ceramahnya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada pertemuan dengan Wanhankamnas, 25 Agustus 1976, Prof. Hamka menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa: “Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau di antara Preambul dengan materi undang-undang.” (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hal. 224).
Di Majalah Panji Masyarakat edisi No 216, (1 Februari 1977), Buya Hamka menulis artikel berjudul “Ketahanan Ideologi Mutlak Ditingkatkan”. Menurut Buya Hamka, bagi orang muslim, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tiang Agung dari Pancasila, Urat Tunggang dari Pancasila. “Kalau sila pertama ini runtuh, gugur hancurlah keempat sila yang lain,” tulis Buya Hamka.
Kita simak kembali rumusan Pembukaan UUD 1945: “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dengan pikiran sederhana saja, kita bisa memahami, bahwa makna “dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti “berdasar kepada Tauhid”. Sebab, makna Ketuhanan Yang Maha Esa, memang mencerminkan Tauhid dalam ajaran Islam. Inilah kecerdikan dan kebijakan para pendiri bangsa.
Karena itu, sebagaimana dirumuskan juga dalam Munas Alim Ulama tahun 1983, Pancasila bukanlah agama, dan tidak bisa digunakan untuk menggantikan agama. Maka, tepatlah yang dikatakan penulis Kristen, I.J. Satyabudi dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah: “Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu identik dengan “Ketuhanan Yang Satu”!”
Siapa yang dimaksud dengan Bapak-bapak Islam? Tentulah itu Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, dan sebagainya. Wallaahu A’lam bish-shawab. (****)
60 BIOGRAFI ULAMA SALAF
Penulis: Syaikh Ahmad Farid
Jika melihat durasi umur mereka di dunia, ternyata tidak terlalu panjang. Sosok seperti Umar bin Abdul Aziz misalnya hanya diberikan jatah hidup selama 39 tahun lebih 6 bulan, tetapi prestasi dunia akhiratnya jauh lebih besar dari umurnya yang pendek. Juga Imam An-Nawawi menghadap ke haribaan Rabbnya pada usia 45 tahun. Tapi, kitab karyanya : Al-Arba’iin An-Nawawiyah dan Riyadh Ash Shalihin terus mengucurkan manfaat seolah memperpanjang usianya. Sehingga, tidak satupun dari ulama besar abad ini yang tidak berhutang kepada beliau. Itulah barangkali salah satu makna dari keberkahan umur.
Tentu, cinta kepada ulama merupakan karunia Allah yang tidak ternilai. Tidak semua orang kuasa menghadirkan kecintaan itu. Buku “ 60 Boigrafi ulama Salaf” ini menjadi sangat penting untuk dibaca dalam rangka menumbuhkan kecintaan kita kepada generasi yang Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun telah Ridha kepada Allah, Radhiyallahu anhum wa radhu anhu. Memang mereka telah beranjak pergi menghadap Allah. Namun Karya dan jejak keshalehan mereka masih tetap memenuhi ruang bumi hingga kini.
-------------------------------------
60 BIOGRAFI ULAMA SALAF
Penulis: Syaikh Ahmad Farid
Ukuran: 16 x 24 cm
Sampul: Hard Cover
Isi: HVS 855 hal
Berat: 1,3 Kg.
ISBN : 9789795928447
Harga: Rp. 175.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
Penulis: Syaikh Ahmad Farid
Jika melihat durasi umur mereka di dunia, ternyata tidak terlalu panjang. Sosok seperti Umar bin Abdul Aziz misalnya hanya diberikan jatah hidup selama 39 tahun lebih 6 bulan, tetapi prestasi dunia akhiratnya jauh lebih besar dari umurnya yang pendek. Juga Imam An-Nawawi menghadap ke haribaan Rabbnya pada usia 45 tahun. Tapi, kitab karyanya : Al-Arba’iin An-Nawawiyah dan Riyadh Ash Shalihin terus mengucurkan manfaat seolah memperpanjang usianya. Sehingga, tidak satupun dari ulama besar abad ini yang tidak berhutang kepada beliau. Itulah barangkali salah satu makna dari keberkahan umur.
Tentu, cinta kepada ulama merupakan karunia Allah yang tidak ternilai. Tidak semua orang kuasa menghadirkan kecintaan itu. Buku “ 60 Boigrafi ulama Salaf” ini menjadi sangat penting untuk dibaca dalam rangka menumbuhkan kecintaan kita kepada generasi yang Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun telah Ridha kepada Allah, Radhiyallahu anhum wa radhu anhu. Memang mereka telah beranjak pergi menghadap Allah. Namun Karya dan jejak keshalehan mereka masih tetap memenuhi ruang bumi hingga kini.
-------------------------------------
60 BIOGRAFI ULAMA SALAF
Penulis: Syaikh Ahmad Farid
Ukuran: 16 x 24 cm
Sampul: Hard Cover
Isi: HVS 855 hal
Berat: 1,3 Kg.
ISBN : 9789795928447
Harga: Rp. 175.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
WhatsApp.com
Eko Heru Prayitno
Business Account
JANGAN SAMPAI SALAH DIDIK, HINGGA ANAK JADI “ANJING”
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada hari Sabtu, 25 Januari 2020, saya mengisi Kuliah Subuh di Masjid al-Hikmah, Surabaya. Temanya: Urgensi dan Kewajiban Orang Tua Menjadi Guru bagi Anak-anaknya. Dalam perjalanan, saya merenungkan makna QS al-A’raf ayat 175-176.
Kita renungkan makna dua ayat al-Quran ini: “Dan bacakanlah kepada mereka kisah orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami; kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka setan pun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka, perumpamaannya adalah seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, maka dia menjulur-julurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia menjulur-julurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS 7:175-176)
Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan, bahwa ayat tersebut mengggambarkan orang-orang yang terhitung sebagai “pakar” atau “ahli” dalam mengenal ayat-ayat Allah. Tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat Allah saja, kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu, maka pengetahuannya tentang ayat-ayat Allah itu satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia terlepas dari ayat-ayat itu. Ayat-ayat itu tanggal atau copot dari dirinya.
Dalam ayat ini, kata digunakan lafazh ‘insalakha’, arti asalnya ialah ‘menyilih’ (ganti kulit. Bahasa Jawa: mlungsungi untuk ular). Atau, ketika orang menyembelih kambing, maka dia kuliti dan dia tanggalkan kulit kambing, sehingga tinggal badannya saja. Ini juga disebut ‘insalakha’.
Masih tulis Buya Hamka dalam Kitab Tafsirnya: “Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih dan tahu tafsir, tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi. Allahu Akbar! Sebab akhlaknya telah rusak.”
“Maka syaitan pun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat,” tulis Hamka. Rupanya, karena hawa nafsu, maka ayat-ayat yang telah diketahuinya itu tidak lagi membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuatnya jadi gelap.
Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut syaitan, sehingga ayat-ayat yang dia kenal dan dia hafal itu bisa disalahgunakan. Dia pun bertambah lama bertambah sesat.
Seumpama ada seorang yang lama berdiam di Makkah dan telah disangka alim besar, tetapi karena disesatkan oleh syaitan, dia menjadi seorang pemabuk, dan tidak pernah bersembahyang lagi.
“Maka, karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Quran yang dia hafal itu untuk mempertahankan kesesatannya, dengan jalan yang salah. Dia masih hafal ayat-ayat dan hadits itu, tetapi ayat dan hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia tinggal dalam keadaan telanjang. Na’udzubillah min dzalik,” demikian tulis Hamka dalam Tafsirnya.
*
Terhadap manusia jenis ini, al-Quran menggunakan perumpamaan dan sebutan yang sangat buruk, yaitu mereka diumpakan sebagai anjing yang selalu menjulur-julurkan lidahnya. Mengapa anjing menjulur-julurkan lidahnya?
Sebagaimana manusia, anjing adalah binatang yang secara alamiah selalu berusaha menjaga kestabilan suhu tubuhnya. Caranya, antara lain, dengan mengeluarkan keringat. Hanya saja, berbeda dengan manusia, kelenjar keringat anjing hanya ada di telapak kakinya.
Karena itu, selain mengeluarkan keringat pada tapak kaki, anjing juga membuka mulut dan menjulurkan lidahnya untuk menyebarkan energi panasnya melalui lidah. Itu dilakukan agar kelembaban di lidahnya dapat menguap dan suhu tubuhnya dapat normal kembali. Jadi, bagi anjing, menjulurkan lidah merupakan cara efektif dan cepat untuk menurunkan suhu tubuh ke level normal. (https://ilmupengetahuanumum.com/mengapa-anjing-suka-menjulurkan-lidahnya/).
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada hari Sabtu, 25 Januari 2020, saya mengisi Kuliah Subuh di Masjid al-Hikmah, Surabaya. Temanya: Urgensi dan Kewajiban Orang Tua Menjadi Guru bagi Anak-anaknya. Dalam perjalanan, saya merenungkan makna QS al-A’raf ayat 175-176.
Kita renungkan makna dua ayat al-Quran ini: “Dan bacakanlah kepada mereka kisah orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami; kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka setan pun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah. Maka, perumpamaannya adalah seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, maka dia menjulur-julurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia menjulur-julurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS 7:175-176)
Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan, bahwa ayat tersebut mengggambarkan orang-orang yang terhitung sebagai “pakar” atau “ahli” dalam mengenal ayat-ayat Allah. Tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat Allah saja, kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu, maka pengetahuannya tentang ayat-ayat Allah itu satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia terlepas dari ayat-ayat itu. Ayat-ayat itu tanggal atau copot dari dirinya.
Dalam ayat ini, kata digunakan lafazh ‘insalakha’, arti asalnya ialah ‘menyilih’ (ganti kulit. Bahasa Jawa: mlungsungi untuk ular). Atau, ketika orang menyembelih kambing, maka dia kuliti dan dia tanggalkan kulit kambing, sehingga tinggal badannya saja. Ini juga disebut ‘insalakha’.
Masih tulis Buya Hamka dalam Kitab Tafsirnya: “Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih dan tahu tafsir, tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi. Allahu Akbar! Sebab akhlaknya telah rusak.”
“Maka syaitan pun menjadikan dia pengikutnya, lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat,” tulis Hamka. Rupanya, karena hawa nafsu, maka ayat-ayat yang telah diketahuinya itu tidak lagi membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuatnya jadi gelap.
Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut syaitan, sehingga ayat-ayat yang dia kenal dan dia hafal itu bisa disalahgunakan. Dia pun bertambah lama bertambah sesat.
Seumpama ada seorang yang lama berdiam di Makkah dan telah disangka alim besar, tetapi karena disesatkan oleh syaitan, dia menjadi seorang pemabuk, dan tidak pernah bersembahyang lagi.
“Maka, karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Quran yang dia hafal itu untuk mempertahankan kesesatannya, dengan jalan yang salah. Dia masih hafal ayat-ayat dan hadits itu, tetapi ayat dan hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia tinggal dalam keadaan telanjang. Na’udzubillah min dzalik,” demikian tulis Hamka dalam Tafsirnya.
*
Terhadap manusia jenis ini, al-Quran menggunakan perumpamaan dan sebutan yang sangat buruk, yaitu mereka diumpakan sebagai anjing yang selalu menjulur-julurkan lidahnya. Mengapa anjing menjulur-julurkan lidahnya?
Sebagaimana manusia, anjing adalah binatang yang secara alamiah selalu berusaha menjaga kestabilan suhu tubuhnya. Caranya, antara lain, dengan mengeluarkan keringat. Hanya saja, berbeda dengan manusia, kelenjar keringat anjing hanya ada di telapak kakinya.
Karena itu, selain mengeluarkan keringat pada tapak kaki, anjing juga membuka mulut dan menjulurkan lidahnya untuk menyebarkan energi panasnya melalui lidah. Itu dilakukan agar kelembaban di lidahnya dapat menguap dan suhu tubuhnya dapat normal kembali. Jadi, bagi anjing, menjulurkan lidah merupakan cara efektif dan cepat untuk menurunkan suhu tubuh ke level normal. (https://ilmupengetahuanumum.com/mengapa-anjing-suka-menjulurkan-lidahnya/).
Dari perumpamaan QS 7:175-176 itu kita bisa mengambil pelajaran, seolah-olah orang yang paham agama, tetapi dia campakkan agamanya, seperti anjing yang kepanasan, sehingga harus menjulur-julurkan lidahnya. Harta dan kedudukan yang diraihnya tidak menjadi berkah; tidak membawa pada ketenangan dan kebahagiaan hidup. Na’uudzu billaahi min dzaalika.
Dalam Kuliah Subuh itu saya mengingatkan diri sendiri dan kepada para jamaah masjid al-Hikmah, untuk selalu mengingatkan anak-anak kita, agar mereka benar-benar ikhlas dalam mencari ilmu. Sebab, niat yang salah, akan menghancurkan dirinya sendiri, merusak gurunya, dan juga merusak agamanya.
Inilah yang diingatkan Imam al-Ghazali dalam Kitab Bidayatul Hidayah. Bahwa, jika seorang mencari ilmu untuk unggul-unggulan, untuk mencari perhatian manusia, atau untuk menghimpun harta benda dunia, maka kata al-Ghazali: “Kamu sedang menghancurkan agamamu, merusak dirimu, dan menjual akhiratmu untuk dunia!”
Semoga kita terhindar dari niat yang salah dalam mencari ilmu, dan tidak tergoda untuk mencampakkan ajaran agama kita, karena tergoda kehidupan dunia yang menipu. Sastrawan besar Riau, Raja Ali Haji mengingatkan dalam Gurindam-12: “Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang terperdaya. Barang siapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia itu mudharat!”
Jabatan, popularitas, harta benda, memang sangat menggoda. Tapi, al-Quran mengingatkan, semua itu kesenangan yang menipu (mataa’ul ghuruur). Jangan sampai gara-gara itu, kita dan anak-anak kita rela mencampakkan agama, sehingga jatuh martabat, menjadi “anjing”!
“Allaahumma arinal haqqaa haqqaa, war-zuqnattibaa’aa, wa-arinal baathila baathilaa, war-zuqnajtinaabaa… Ya Allah tampakkanlah kepada kami, yang benar itu benar, dan berilah kemampuan pada kami untuk selalu mengikutinya. Dan tampakkanlah pada kami yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan pada kami untuk selalu menjauhinya.” Amin. (Bangil, 26 Januari 2020).
Dalam Kuliah Subuh itu saya mengingatkan diri sendiri dan kepada para jamaah masjid al-Hikmah, untuk selalu mengingatkan anak-anak kita, agar mereka benar-benar ikhlas dalam mencari ilmu. Sebab, niat yang salah, akan menghancurkan dirinya sendiri, merusak gurunya, dan juga merusak agamanya.
Inilah yang diingatkan Imam al-Ghazali dalam Kitab Bidayatul Hidayah. Bahwa, jika seorang mencari ilmu untuk unggul-unggulan, untuk mencari perhatian manusia, atau untuk menghimpun harta benda dunia, maka kata al-Ghazali: “Kamu sedang menghancurkan agamamu, merusak dirimu, dan menjual akhiratmu untuk dunia!”
Semoga kita terhindar dari niat yang salah dalam mencari ilmu, dan tidak tergoda untuk mencampakkan ajaran agama kita, karena tergoda kehidupan dunia yang menipu. Sastrawan besar Riau, Raja Ali Haji mengingatkan dalam Gurindam-12: “Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang terperdaya. Barang siapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia itu mudharat!”
Jabatan, popularitas, harta benda, memang sangat menggoda. Tapi, al-Quran mengingatkan, semua itu kesenangan yang menipu (mataa’ul ghuruur). Jangan sampai gara-gara itu, kita dan anak-anak kita rela mencampakkan agama, sehingga jatuh martabat, menjadi “anjing”!
“Allaahumma arinal haqqaa haqqaa, war-zuqnattibaa’aa, wa-arinal baathila baathilaa, war-zuqnajtinaabaa… Ya Allah tampakkanlah kepada kami, yang benar itu benar, dan berilah kemampuan pada kami untuk selalu mengikutinya. Dan tampakkanlah pada kami yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan pada kami untuk selalu menjauhinya.” Amin. (Bangil, 26 Januari 2020).
TALBIS IBLIS
Penulis: Ibnul Jauzi
Iblis menyatakan permusuhan kepada manusia secara terang – terangan dan akan terus mengganggu Adam beserta anak keturunannya hingga datangnya hari Kiamat. Permusuhan ini berawal sejak iblis diperintah oleh Alllah Ta’ala untuk bersujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan, bukan sujud sebagai bentuk ibadah. Iblis menolak dengan penuh kesombongan karena merasa lebih baik dan lebih utama dari Adam. Atas pengingkarannya ini, maka Allah melaknat dan mengusirnya dari surga, bahkan Allah mengusirnya dari kedudukannya yang tinggi bersama malaikat.
Sejak hari itu, kemenangan silih berganti; kadang di pihak setan dan para pengikutnya, dan kadang berpihak kepada para kekasih Allah dan hambaNya.
Para ulama tergugah untuk menuliskan sejarah pertempuran berkepanjangan ini. Mereka mengarang kitab – kitab demi mengingatkan kaum muslimin agar tidak terperosok kedalam lubang –lubang jebakan Iblis, di antaranya adalah buku ini, Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi (w. 550 H).
Kitab Talbis Iblis ini diringkas, sekaligus dita’liq dan ditakhrij oleh Abu Al – Harist Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al – Halabi Al – Atsari dengan judul Al – Muntaqa An – Nafis min Talbis Iblis Lil Iman Ibn Al – Jauzi. Dalam buku ini, penulis membuang sanad hadist secara keseluruhan, membuang hadist yang tidak shahih dan terulang dalam satu tema, mentakhrij hadist- hadist shahih secara ringkas, membuang kisah dan cerita yang tidak banyak berfaidah, serta member catatan dan penjelasan yang dianggap perlu.
Banyak pelajaran penting yang kita dapatkan dari buku ini. Inilah yang hendak disampaikan penulis, agar setiap muslim mawas diri dari perangkap setan dengan berbagai macam tipu dayanya.
--------------------------------------
TALBIS IBLIS
Penulis: IBNUL JAUZI
Ukuran: 24,5 × 16 cm
Tebal: 412 hlm
Sampul: Hard Cover
ISBN: 978-602-7965-17-1
Harga: Rp. 132.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
Penulis: Ibnul Jauzi
Iblis menyatakan permusuhan kepada manusia secara terang – terangan dan akan terus mengganggu Adam beserta anak keturunannya hingga datangnya hari Kiamat. Permusuhan ini berawal sejak iblis diperintah oleh Alllah Ta’ala untuk bersujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan, bukan sujud sebagai bentuk ibadah. Iblis menolak dengan penuh kesombongan karena merasa lebih baik dan lebih utama dari Adam. Atas pengingkarannya ini, maka Allah melaknat dan mengusirnya dari surga, bahkan Allah mengusirnya dari kedudukannya yang tinggi bersama malaikat.
Sejak hari itu, kemenangan silih berganti; kadang di pihak setan dan para pengikutnya, dan kadang berpihak kepada para kekasih Allah dan hambaNya.
Para ulama tergugah untuk menuliskan sejarah pertempuran berkepanjangan ini. Mereka mengarang kitab – kitab demi mengingatkan kaum muslimin agar tidak terperosok kedalam lubang –lubang jebakan Iblis, di antaranya adalah buku ini, Talbis Iblis karya Ibnul Jauzi (w. 550 H).
Kitab Talbis Iblis ini diringkas, sekaligus dita’liq dan ditakhrij oleh Abu Al – Harist Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al – Halabi Al – Atsari dengan judul Al – Muntaqa An – Nafis min Talbis Iblis Lil Iman Ibn Al – Jauzi. Dalam buku ini, penulis membuang sanad hadist secara keseluruhan, membuang hadist yang tidak shahih dan terulang dalam satu tema, mentakhrij hadist- hadist shahih secara ringkas, membuang kisah dan cerita yang tidak banyak berfaidah, serta member catatan dan penjelasan yang dianggap perlu.
Banyak pelajaran penting yang kita dapatkan dari buku ini. Inilah yang hendak disampaikan penulis, agar setiap muslim mawas diri dari perangkap setan dengan berbagai macam tipu dayanya.
--------------------------------------
TALBIS IBLIS
Penulis: IBNUL JAUZI
Ukuran: 24,5 × 16 cm
Tebal: 412 hlm
Sampul: Hard Cover
ISBN: 978-602-7965-17-1
Harga: Rp. 132.000,-
Pemesanan silahkan sms ke 087878147997 atau Whatsapp:
https://wa.me/6287878147997
Syukran...
WhatsApp.com
Eko Heru Prayitno
Business Account