Cobaan Sebagai Penebus Dosa
Oleh: Dr. Budi Handrianto
Menjadi seorang muslim yang mengetahui kemurahan dan kasih sayang Allah sungguh beruntung. Jika mendapat nikmat kemudian bersyukur, maka nikmat tersebut malah akan ditambah. Dan jika menerima musibah kemudian ikhlas dan bersabar maka musibah itu sebagai penebus dosa baginya. Sungguh Allah Maha Pemurah.
Musibah banjir yang dialami saudara-saudara kita, terutama di wilayah Bekasi, memang membuat kita semua sedih. Namun janganlah kesedihan itu berujung pada ketidakikhlasan menerima cobaan dari Tuhan. Jika ikhlas dan sabar maka musibah itu akan menjadi penggugur dosa. Jangankan mendapatkan musibah banjir (dengan berbagai skala), kaki tertusuk duri pun Allah gugurkan satu dosa kita. Sabda Nabi saw, “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Bayangkan, tertusuk duri saja Allah hapuskan dosa, apalagi terkena musibah banjir dan kehilangan/kerusakan harta benda. Syaratnya, ikhlas dan sabar.
Cobaan yang diterima kaum muslimin kadang sebagai “persekot” baginya di akhirat. Musibah itu justru bukti sayangnya Allah pada kita. Ada seorang sahabat Nabi yang melihat wanita cantik yang dikenalnya sejak zaman jahiliyah. Maka, diajaknya berbicara kemudian ditinggalkannya. Tetapi sahabat tersebut berjalan sambil menoleh kepada wanita itu sehingga terbentur kepalanya ke dinding dan membekas di jidatnya. Lalu hal ini diadukannya kepada Nabi saw dan kemudian beliau bersabda, “Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Jadi, bergembiralah wahai penerima cobaan dari Allah. Inilah kata Allah kepada para hamba-Nya yg menerima musibah dan mengatakan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, "Fabasysyiris shobirin. Maka, berikan kabar gembira bagi mereka yang sabar." (QS 2:157)
Bagaimana derita itu bisa menggugurkan dosa-dosa kita? Ketika surat an-Nisa ayat 123 yang berbunyi, “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu,” diturunkan, hal ini terasa berat bagi kebanyakan sahabat. Lalu Abu Bakar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah kami bisa bergembira dengan turunnya ayat ini, sedangkan semua perbuatan buruk yang kami lakukan, maka kami akan mendapat balasannya?” Maka Nabi saw bersabda, “Hai Abu Bakar, semoga Allah memberikan ampunan kepadamu, bukankah kamu pernah sakit, bukankah kamu pernah mengalami kepayahan, bukankah kamu pernah mengalami kesedihan, bukankah kamu pernah tertimpa musibah?” Abu Bakar menjawab, “Memang benar.” Nabi saw bersabda, “Itu termasuk balasan yang ditimpakan kepadamu.” (HR Ahmad)
Maka, bagi mukmin yang tertimpa musibah, termasuk musibah banjir yang sekarang ini tengah terjadi, ini adalah ‘hukuman’ Allah yang disegerakan di dunia dan Allah tidak lagi akan menghukumnya di akhirat (alhamdulillah). Sekali lagi, syaratnya harus ikhlas dan sabar. Hal ini kita buktikan dengan kita tidak mengeluh. Abdullah bin Mubarak berkata, “Musibah itu hanya satu penderitaan. Namun jika mengeluh maka akan menjadi dua. Satu penderitaan karena musibah, satu penderitaan karena hilangnya pahala dari musibah yang semestinya kita terima." Sungguh sayang kan?
Kesedihan, penderitaan, dan cobaan yang menimpa kaum mukminin di dunia bukanlah segalanya. Derita tersebut hanya sekecil “kuku hitam” jika dibanding pahala dan ganjaran yang akan diterima di akhirat kelak. Dalam hadits riwayat Muslim Nabi saw mengisahkan:
Akan dihadapkan saat kiamat tiba
Orang paling mewah di dunia
Lalu dicelup ke dalam neraka
Cuma sejenak saja
Maka keluarlah ia
Terbakar hitam legam rupa dan tubuhnya
Ditanyakanlah padanya
"Pernahkah kau rasakan suka cita
Ketika dahulu kau di dunia?"
"Tidak," jawabnya
"Aku selalu dalam derita
Sejak diriku dicipta."
Selanjutnya didatang
Oleh: Dr. Budi Handrianto
Menjadi seorang muslim yang mengetahui kemurahan dan kasih sayang Allah sungguh beruntung. Jika mendapat nikmat kemudian bersyukur, maka nikmat tersebut malah akan ditambah. Dan jika menerima musibah kemudian ikhlas dan bersabar maka musibah itu sebagai penebus dosa baginya. Sungguh Allah Maha Pemurah.
Musibah banjir yang dialami saudara-saudara kita, terutama di wilayah Bekasi, memang membuat kita semua sedih. Namun janganlah kesedihan itu berujung pada ketidakikhlasan menerima cobaan dari Tuhan. Jika ikhlas dan sabar maka musibah itu akan menjadi penggugur dosa. Jangankan mendapatkan musibah banjir (dengan berbagai skala), kaki tertusuk duri pun Allah gugurkan satu dosa kita. Sabda Nabi saw, “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Bayangkan, tertusuk duri saja Allah hapuskan dosa, apalagi terkena musibah banjir dan kehilangan/kerusakan harta benda. Syaratnya, ikhlas dan sabar.
Cobaan yang diterima kaum muslimin kadang sebagai “persekot” baginya di akhirat. Musibah itu justru bukti sayangnya Allah pada kita. Ada seorang sahabat Nabi yang melihat wanita cantik yang dikenalnya sejak zaman jahiliyah. Maka, diajaknya berbicara kemudian ditinggalkannya. Tetapi sahabat tersebut berjalan sambil menoleh kepada wanita itu sehingga terbentur kepalanya ke dinding dan membekas di jidatnya. Lalu hal ini diadukannya kepada Nabi saw dan kemudian beliau bersabda, “Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Jadi, bergembiralah wahai penerima cobaan dari Allah. Inilah kata Allah kepada para hamba-Nya yg menerima musibah dan mengatakan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, "Fabasysyiris shobirin. Maka, berikan kabar gembira bagi mereka yang sabar." (QS 2:157)
Bagaimana derita itu bisa menggugurkan dosa-dosa kita? Ketika surat an-Nisa ayat 123 yang berbunyi, “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu,” diturunkan, hal ini terasa berat bagi kebanyakan sahabat. Lalu Abu Bakar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah kami bisa bergembira dengan turunnya ayat ini, sedangkan semua perbuatan buruk yang kami lakukan, maka kami akan mendapat balasannya?” Maka Nabi saw bersabda, “Hai Abu Bakar, semoga Allah memberikan ampunan kepadamu, bukankah kamu pernah sakit, bukankah kamu pernah mengalami kepayahan, bukankah kamu pernah mengalami kesedihan, bukankah kamu pernah tertimpa musibah?” Abu Bakar menjawab, “Memang benar.” Nabi saw bersabda, “Itu termasuk balasan yang ditimpakan kepadamu.” (HR Ahmad)
Maka, bagi mukmin yang tertimpa musibah, termasuk musibah banjir yang sekarang ini tengah terjadi, ini adalah ‘hukuman’ Allah yang disegerakan di dunia dan Allah tidak lagi akan menghukumnya di akhirat (alhamdulillah). Sekali lagi, syaratnya harus ikhlas dan sabar. Hal ini kita buktikan dengan kita tidak mengeluh. Abdullah bin Mubarak berkata, “Musibah itu hanya satu penderitaan. Namun jika mengeluh maka akan menjadi dua. Satu penderitaan karena musibah, satu penderitaan karena hilangnya pahala dari musibah yang semestinya kita terima." Sungguh sayang kan?
Kesedihan, penderitaan, dan cobaan yang menimpa kaum mukminin di dunia bukanlah segalanya. Derita tersebut hanya sekecil “kuku hitam” jika dibanding pahala dan ganjaran yang akan diterima di akhirat kelak. Dalam hadits riwayat Muslim Nabi saw mengisahkan:
Akan dihadapkan saat kiamat tiba
Orang paling mewah di dunia
Lalu dicelup ke dalam neraka
Cuma sejenak saja
Maka keluarlah ia
Terbakar hitam legam rupa dan tubuhnya
Ditanyakanlah padanya
"Pernahkah kau rasakan suka cita
Ketika dahulu kau di dunia?"
"Tidak," jawabnya
"Aku selalu dalam derita
Sejak diriku dicipta."
Selanjutnya didatang
kan manusia
Paling berat deritanya di dunia
Kemudian dimasukkan dalam surga
Cuma sejenak saja
Maka tampaklah mukanya
Bersinar bagai bulan purnama
Saat ia ditanya
"Pernahkah kau merasakan derita
Selama hidup di dunia?"
"Tidak," jawabnya
"Aku dalam nikmat dan suka cita
Sejak aku dicipta."
Maka ikhlas dan sabarlah menghadapi derita. Seperti judul roman karya Tulis Sutan Sati, “Sengsara Membawa Nikmat”, insya Allah musibah ini membawa banyak hikmah dan kebahagiaan di masa depan.
Paling berat deritanya di dunia
Kemudian dimasukkan dalam surga
Cuma sejenak saja
Maka tampaklah mukanya
Bersinar bagai bulan purnama
Saat ia ditanya
"Pernahkah kau merasakan derita
Selama hidup di dunia?"
"Tidak," jawabnya
"Aku dalam nikmat dan suka cita
Sejak aku dicipta."
Maka ikhlas dan sabarlah menghadapi derita. Seperti judul roman karya Tulis Sutan Sati, “Sengsara Membawa Nikmat”, insya Allah musibah ini membawa banyak hikmah dan kebahagiaan di masa depan.
Di dunia ini setidaknya terdapat empat golongan orang dalam berislam:
Golongan pertama orang Islam yang berilmu Islam, menjalankan Islam, berakhlaq Islam dan sangat perduli dengan urusan umat Islam.
Golongan kedua, orang Islam yang sedikit berilmu Islam, menjalankan Islam, tapi tidak perduli dengan nasib umat Islam.
Golongan ketiga, orang Islam yang tidak mempunyai ilmu Islam, tidak menjalankan syariat Islam dan tidak perduli terhadap urusan Islam.
Golongan keempat, orang Islam yang belajar Islam, menjalankan sebagian syariat Islam, suka mengkritik dan terkadang benci terhadap Islam dan umat Islam, dan tidak perduli terhadap urusan umat Islam.
Sayangnya, golongan pertama adalah minoritas, sedangkan golongan kedua dan ketiga mayoritas, dan golongan keempat sedikit jumlahnya tapi besar bahayanya. Rasulullah bersabda :"Barangsiapa tidak perduli terhadap urusan umat Islam, maka ia bukan dari golongan kita" (al-Hadith)
- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi -
Golongan pertama orang Islam yang berilmu Islam, menjalankan Islam, berakhlaq Islam dan sangat perduli dengan urusan umat Islam.
Golongan kedua, orang Islam yang sedikit berilmu Islam, menjalankan Islam, tapi tidak perduli dengan nasib umat Islam.
Golongan ketiga, orang Islam yang tidak mempunyai ilmu Islam, tidak menjalankan syariat Islam dan tidak perduli terhadap urusan Islam.
Golongan keempat, orang Islam yang belajar Islam, menjalankan sebagian syariat Islam, suka mengkritik dan terkadang benci terhadap Islam dan umat Islam, dan tidak perduli terhadap urusan umat Islam.
Sayangnya, golongan pertama adalah minoritas, sedangkan golongan kedua dan ketiga mayoritas, dan golongan keempat sedikit jumlahnya tapi besar bahayanya. Rasulullah bersabda :"Barangsiapa tidak perduli terhadap urusan umat Islam, maka ia bukan dari golongan kita" (al-Hadith)
- Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi -
AL-GHAZALI, PERANG SALIB,
DAN KEBANGKITAN ISLAM
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS)
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali (450/1058-505/1111) – dalam sejarah Islam dikenal sebagai seorang pemikir besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, sufi, dan sebagainya. Ia menulis begitu banyak buku yang mencakup berbagai bidang seperti aqidah, fiqih, ushul fiqih, filsafat, kalam, dan sufisme. Satu hal yang menarik, dalam hidupnya, al-Ghazali sempat mengalami satu peristiwa besar dalam sejarah umat Islam, yaitu Perang Salib (Crusade). Namun, di dalam karya besarnya, Ihya‘ Ulumiddin, ia justru tidak menulis satu bab tentang jihad. Malah, dalam kitab yang ditulis sekitar masa Perang Salib itu, al-Ghazali menekankan pentingnya apa yang disebut jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu).
Perang Salib dimulai pada 1095. Pada 50 tahun pertama, Pasukan Salib berhasil mendominasi peperangan. Kekuatan kaum Muslim porak-poranda. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syria dan Palestina ditaklukkan. Ratusan ribu kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib yang memasuki Jerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu. Di Masjid al-Aqsha terdapat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum Muslimin yang dibantai. Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki: “If you had been there your feet would have been stained to the ankles in the blood of the slain.”
Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang dibantai: “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.” (David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, (New York, St. Martin’s Press, 1999)).
Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum Muslim ketika itu. Karena itulah, banyak yang kemudian mempertanyakan sikap dan posisi al-Ghazali dalam Perang Salib dan juga konsepsinya tentang jihad, dalam makna qital (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki negeri Muslim. Sebagai contoh, Robert Irwin, dalam artikelnya berjudul “Muslim responses to the Crusades” (1997), menyebutkan, bahwa meskipun al-Ghazali sempat berkunjung ke berbagai tempat suci Islam, termasuk Masjid al-Aqsha pada tahun 1096, tetapi ia tidak pernah menyebut tentang masalah pasukan Salib dalam berbagai tulisannya.
Tidak diragukan lagi, sebagai seorang tokoh dalam mazhab Syafii, al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah. Dalam pandangan ulama mazhab Syafi’i, jihad adalah fardhu kifayah, dengan perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum Muslim, maka status jihad menjadi fard al- ‘ain. Pakar Fiqih Islam, WahbaÍ al-Zuhayliy mencatat: “Jihad adalah fardu kifayah. Maknanya, jihad diwajibkan kepada semua orang yang mampu dalam jihad. Tetapi, jika sebagian sudah menjalankannya, maka kewajiban itu gugur buat yang lain. Tetapi, jika musuh sudah memasuki negeri Muslim, maka jihad menjadi fardu ain, kewajiban untuk setiap individu Muslim.” (Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damascus: Dar al-Fikr, 1997).
Memang, beberapa cendekiawan ada yang kemudian mengkritik keras sikap al-Ghazali dalam soal Crusade. Dalam disertasi doktornya, Dr. Zaki Mubarak menyalahkan kecenderungan al-Ghazali terhadap sufisme sebagai sebab utama mengapa al-Ghazali tidak memainkan peran dalam jihad melawan pasukan Salib. Ia menulis: “Al-Ghazali telah tenggelam dalam khalwatnya, dan didominasi oleh wirid-wiridnya. Ia tidak memahami kewajibannya untuk menyerukan jihad.” Dalam bukunya, Abu Hamid al-Ghazali wa al-Tashawuf, ‘Abd al-Rahman Dima
DAN KEBANGKITAN ISLAM
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS)
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali (450/1058-505/1111) – dalam sejarah Islam dikenal sebagai seorang pemikir besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, sufi, dan sebagainya. Ia menulis begitu banyak buku yang mencakup berbagai bidang seperti aqidah, fiqih, ushul fiqih, filsafat, kalam, dan sufisme. Satu hal yang menarik, dalam hidupnya, al-Ghazali sempat mengalami satu peristiwa besar dalam sejarah umat Islam, yaitu Perang Salib (Crusade). Namun, di dalam karya besarnya, Ihya‘ Ulumiddin, ia justru tidak menulis satu bab tentang jihad. Malah, dalam kitab yang ditulis sekitar masa Perang Salib itu, al-Ghazali menekankan pentingnya apa yang disebut jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu).
Perang Salib dimulai pada 1095. Pada 50 tahun pertama, Pasukan Salib berhasil mendominasi peperangan. Kekuatan kaum Muslim porak-poranda. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syria dan Palestina ditaklukkan. Ratusan ribu kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib yang memasuki Jerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu. Di Masjid al-Aqsha terdapat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum Muslimin yang dibantai. Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki: “If you had been there your feet would have been stained to the ankles in the blood of the slain.”
Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang dibantai: “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.” (David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, (New York, St. Martin’s Press, 1999)).
Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum Muslim ketika itu. Karena itulah, banyak yang kemudian mempertanyakan sikap dan posisi al-Ghazali dalam Perang Salib dan juga konsepsinya tentang jihad, dalam makna qital (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki negeri Muslim. Sebagai contoh, Robert Irwin, dalam artikelnya berjudul “Muslim responses to the Crusades” (1997), menyebutkan, bahwa meskipun al-Ghazali sempat berkunjung ke berbagai tempat suci Islam, termasuk Masjid al-Aqsha pada tahun 1096, tetapi ia tidak pernah menyebut tentang masalah pasukan Salib dalam berbagai tulisannya.
Tidak diragukan lagi, sebagai seorang tokoh dalam mazhab Syafii, al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah. Dalam pandangan ulama mazhab Syafi’i, jihad adalah fardhu kifayah, dengan perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum Muslim, maka status jihad menjadi fard al- ‘ain. Pakar Fiqih Islam, WahbaÍ al-Zuhayliy mencatat: “Jihad adalah fardu kifayah. Maknanya, jihad diwajibkan kepada semua orang yang mampu dalam jihad. Tetapi, jika sebagian sudah menjalankannya, maka kewajiban itu gugur buat yang lain. Tetapi, jika musuh sudah memasuki negeri Muslim, maka jihad menjadi fardu ain, kewajiban untuk setiap individu Muslim.” (Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damascus: Dar al-Fikr, 1997).
Memang, beberapa cendekiawan ada yang kemudian mengkritik keras sikap al-Ghazali dalam soal Crusade. Dalam disertasi doktornya, Dr. Zaki Mubarak menyalahkan kecenderungan al-Ghazali terhadap sufisme sebagai sebab utama mengapa al-Ghazali tidak memainkan peran dalam jihad melawan pasukan Salib. Ia menulis: “Al-Ghazali telah tenggelam dalam khalwatnya, dan didominasi oleh wirid-wiridnya. Ia tidak memahami kewajibannya untuk menyerukan jihad.” Dalam bukunya, Abu Hamid al-Ghazali wa al-Tashawuf, ‘Abd al-Rahman Dima
shqiyyah juga menyalahkan sufisme al-Ghazali. Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyebut bahwa posisi al-Ghazali dalam Perang Salib masih dipertanyakan (puzzling). Tentang posisi al-Ghazali, Qaradhawi menulis, bahwa “hanya Allah yang tahu fakta dan alasan Imam al-Ghazali.” (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Imam al-Ghazali Bayn Madihihi wa Naqidihi (Al-Mansurah: Dar al-Wafa’, 1988).
Posisi al-Ghazali
Adalah menarik, bahwa dalam karya terbesarnya, IÍya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali justru menekankan pentingnya jihad al-nafs. Walaupun tidak menempatkan satu bab khusus tentang jihad dalam Ihya’, al-Ghazali menekankan pentingnya jihad bagi kaum Muslim. Ia mengutip sejumlah ayat al-Quran yang menyebu tentang kewajiban jihad bagi kaum Muslim, seperti firman Allah SWT: “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk.” (QS al-Nisa:95).
Dalam bab al-Amr bi al-Ma‘ruf wa an-nahyu ‘an al-Munkar al-Ghazali menyebutkan sejumlah hadits atau atsar (perkataan sahabat Nabi) tentang jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam. Dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan makna jihad dalam arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Shafi‘iy.
Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh, al-Ghazali sangat memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang hal ini. Wahbah az-Zuhayliy menyebutkan, menurut ulama ash-Shafi‘iyyah, jihad adalah perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital al-kuffar li nushrah al-Islam. Mengutip hadith Rasulullah saw, “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”, al-Zuhayliy menyebutkan definisi jihad: “Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi kaum kafir dan berjuang melawan mereka dengan jiwa, harta, dan lisan mereka.
Posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib menjadi jelas jika menelaah Kitab al-Jihad yang ditulis oleh Syekh Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami berguru kepada al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu. Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib.
Dalam naskah Kitab al-Jihad yang diringkas oleh Niall Christie, al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Syafii dan al-Ghazali tentang jihad. Diantaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang ker
Posisi al-Ghazali
Adalah menarik, bahwa dalam karya terbesarnya, IÍya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali justru menekankan pentingnya jihad al-nafs. Walaupun tidak menempatkan satu bab khusus tentang jihad dalam Ihya’, al-Ghazali menekankan pentingnya jihad bagi kaum Muslim. Ia mengutip sejumlah ayat al-Quran yang menyebu tentang kewajiban jihad bagi kaum Muslim, seperti firman Allah SWT: “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk.” (QS al-Nisa:95).
Dalam bab al-Amr bi al-Ma‘ruf wa an-nahyu ‘an al-Munkar al-Ghazali menyebutkan sejumlah hadits atau atsar (perkataan sahabat Nabi) tentang jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam. Dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan makna jihad dalam arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Shafi‘iy.
Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh, al-Ghazali sangat memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang hal ini. Wahbah az-Zuhayliy menyebutkan, menurut ulama ash-Shafi‘iyyah, jihad adalah perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital al-kuffar li nushrah al-Islam. Mengutip hadith Rasulullah saw, “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”, al-Zuhayliy menyebutkan definisi jihad: “Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi kaum kafir dan berjuang melawan mereka dengan jiwa, harta, dan lisan mereka.
Posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib menjadi jelas jika menelaah Kitab al-Jihad yang ditulis oleh Syekh Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami berguru kepada al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu. Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib.
Dalam naskah Kitab al-Jihad yang diringkas oleh Niall Christie, al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Syafii dan al-Ghazali tentang jihad. Diantaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang ker
as melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negeri terdekat, seperti Syria, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di Syria, dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Syria untuk mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai. (Dikutip dari “A Translation of Extracts from the Kitab al-Jihad of 'Ali ibn Tahir Al-Sulami (d. 1106)” oleh Niall Christie. http://www.arts.cornell.edu/prh3/447/texts/Sulami.html.).
Jihad bil-ilmi
Jadi, al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib. Tetapi, kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah menyebabkan, seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Karena itulah, para ulama seperti al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar. Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).
Langkah al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius. Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar. Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah “hati/aqal”. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb.” (HR Muslim).
Memperbaiki hati manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan yang benar. Karena itu, menyebarnya paham-paham yang merusak iman harus dihadapi dengan serius. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).
Di masa hidupnya, al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar. Lebih dari itu, al-Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun ia berilmu tinggi dan mendapatkan peluang besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi ia justru memilih tinggal di kampungnya, di Thus. Di sanalah al-Ghazali mendirikan satu pesantren, membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup yang tinggi. Dari upaya para ulama seperti al-Ghazali inilah kemudian lahir satu generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang Shalahuddin, tetapi satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib. (***).
Jihad bil-ilmi
Jadi, al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib. Tetapi, kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah menyebabkan, seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Karena itulah, para ulama seperti al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar. Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).
Langkah al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius. Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar. Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah “hati/aqal”. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb.” (HR Muslim).
Memperbaiki hati manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan yang benar. Karena itu, menyebarnya paham-paham yang merusak iman harus dihadapi dengan serius. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).
Di masa hidupnya, al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar. Lebih dari itu, al-Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun ia berilmu tinggi dan mendapatkan peluang besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi ia justru memilih tinggal di kampungnya, di Thus. Di sanalah al-Ghazali mendirikan satu pesantren, membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup yang tinggi. Dari upaya para ulama seperti al-Ghazali inilah kemudian lahir satu generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang Shalahuddin, tetapi satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib. (***).
Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul Yang Agung
Penulis: Ibnu Katsir
Sinopsis:
Benarkah Khalifah Pertama Abu Bakar ash-Shiddiq diracun hingga menyebabkan kematian beliau? Benarkah penyebab dicopotnya Khalid bin al-Walid dari jabatannya sebagai panglima pasukan karena adanya intrik pribadi antara dia dengan Umar bin al-Khaththab? Benarkah isu-isu tendensius yang menyebutkan bahwa Utsman bin Affan lebih mengutamakan karib kerabat untuk memegang jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan seperti yang dituduhkan sebagian orang? Apa yang melatar-belakangi peperangan Jamal yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan az-Zubair, Thalhah dan ‘Aisyah? Dan Apa pula yang melatarbelakangi peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah? Benarkah isu yang menyebutkan bahwa al-Hasan bin Ali diracun oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan hingga menyebabkan kematiannya? Begitu banyak isu-isu kontroversial yang disebutkan dalam buku-buku sejarah yang perlu diluruskan. Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari penyimpangan sejarah.
Buku ini berusaha meluruskan penyimpangan-penyimpangan tersebut. Dipetik dari al-Bidayah wan Nihayah, sebuah karya monumental seorang ulama besar yang tidak asing lagi; al-Hafizh Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir.
Pembaca juga dapat membaca sejarah Khulafa’ur Rasyidin dan dapat menyaksikan masa-masa keemasan Islam yang disajikan secara apik oleh Dr. Muhammad bin Shamil as-Sulami. Buku ini akan meluruskan penyimpangan sejarah yang banyak diselewengkan oleh tangan-tangan jahil.
------------------------------------------------------
Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul Yang Agung
Penulis: Ibnu Katsir
Ukuran: 16x24 Cm.
Isi: xlii + 736 hal.
Sampul: Hard Cover
Harga Rp. 160.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Ibnu Katsir
Sinopsis:
Benarkah Khalifah Pertama Abu Bakar ash-Shiddiq diracun hingga menyebabkan kematian beliau? Benarkah penyebab dicopotnya Khalid bin al-Walid dari jabatannya sebagai panglima pasukan karena adanya intrik pribadi antara dia dengan Umar bin al-Khaththab? Benarkah isu-isu tendensius yang menyebutkan bahwa Utsman bin Affan lebih mengutamakan karib kerabat untuk memegang jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan seperti yang dituduhkan sebagian orang? Apa yang melatar-belakangi peperangan Jamal yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan az-Zubair, Thalhah dan ‘Aisyah? Dan Apa pula yang melatarbelakangi peperangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah? Benarkah isu yang menyebutkan bahwa al-Hasan bin Ali diracun oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan hingga menyebabkan kematiannya? Begitu banyak isu-isu kontroversial yang disebutkan dalam buku-buku sejarah yang perlu diluruskan. Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari penyimpangan sejarah.
Buku ini berusaha meluruskan penyimpangan-penyimpangan tersebut. Dipetik dari al-Bidayah wan Nihayah, sebuah karya monumental seorang ulama besar yang tidak asing lagi; al-Hafizh Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir.
Pembaca juga dapat membaca sejarah Khulafa’ur Rasyidin dan dapat menyaksikan masa-masa keemasan Islam yang disajikan secara apik oleh Dr. Muhammad bin Shamil as-Sulami. Buku ini akan meluruskan penyimpangan sejarah yang banyak diselewengkan oleh tangan-tangan jahil.
------------------------------------------------------
Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul Yang Agung
Penulis: Ibnu Katsir
Ukuran: 16x24 Cm.
Isi: xlii + 736 hal.
Sampul: Hard Cover
Harga Rp. 160.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
*Buku Pintar Sejarah dan Peradaban Islam*
Sinopsis:
Sejarah peradaban Islam adalah bentangan kilauan yang memancar dan menerangi peradaban dunia. Ketika bangsa Barat masih dalam masa-masa kegelapan (dark ages), sejarah peradaban Islam sudah memainkan peranannya bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Tak heran pada masa lalu, para Ilmuwan muslim yang ada di Andalusia, Baghdad, Damaskus, dan kota-kota Islam lainnya menjadi pionir dan mercusuar peradaban yang menginspirasi para Ilmuwan dan tokoh-tokoh Barat.
Artefak-artefak sejarah, manuskrip-manuskrip kuno, bangunan-bangunan kokoh nan indah yang melambangkan kejayaan dan peninggalan-peninggalan sejarah peradaban Islam lainnya yang sampai hari ini jejaknya masih bisa dijumpai, adalah bukti dari keunggulan kaum muslimin yang disbeut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai “Khairu ummah” (ummat terbaik).
Penulis yang merupakan ahli sejarah berusaha meramu buku ini dengan gaya bahasa yang ringkas, mudah dipahami, dan alpabetik. Pembaca juga akan diajak untuk mengetahui sejarah kota-kota Islam, sekolah-sekolah Islam, perpustakaan-perpustakaan Islam, masjid-masjid bersejarah, istilah-istilah dalam sejarah khazanah peradaban yang bisa menambah pengetahuan dan kekaguman pembaca akan kejayaan Islam pada masa lalu.
------------------------------------------
Buku Pintar Sejarah dan Peradaban Islam
Penulis: DR. Salamah Muhammad Al-Harafi
No ISBN: 9789795927532
Kategori :
Sampul : Hard Cover
Isi : 960 Hal
Ukuran: 16.00x24.50 Cm
Berat: 1,3 Kg.
Harga: Rp 215.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
Sinopsis:
Sejarah peradaban Islam adalah bentangan kilauan yang memancar dan menerangi peradaban dunia. Ketika bangsa Barat masih dalam masa-masa kegelapan (dark ages), sejarah peradaban Islam sudah memainkan peranannya bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Tak heran pada masa lalu, para Ilmuwan muslim yang ada di Andalusia, Baghdad, Damaskus, dan kota-kota Islam lainnya menjadi pionir dan mercusuar peradaban yang menginspirasi para Ilmuwan dan tokoh-tokoh Barat.
Artefak-artefak sejarah, manuskrip-manuskrip kuno, bangunan-bangunan kokoh nan indah yang melambangkan kejayaan dan peninggalan-peninggalan sejarah peradaban Islam lainnya yang sampai hari ini jejaknya masih bisa dijumpai, adalah bukti dari keunggulan kaum muslimin yang disbeut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai “Khairu ummah” (ummat terbaik).
Penulis yang merupakan ahli sejarah berusaha meramu buku ini dengan gaya bahasa yang ringkas, mudah dipahami, dan alpabetik. Pembaca juga akan diajak untuk mengetahui sejarah kota-kota Islam, sekolah-sekolah Islam, perpustakaan-perpustakaan Islam, masjid-masjid bersejarah, istilah-istilah dalam sejarah khazanah peradaban yang bisa menambah pengetahuan dan kekaguman pembaca akan kejayaan Islam pada masa lalu.
------------------------------------------
Buku Pintar Sejarah dan Peradaban Islam
Penulis: DR. Salamah Muhammad Al-Harafi
No ISBN: 9789795927532
Kategori :
Sampul : Hard Cover
Isi : 960 Hal
Ukuran: 16.00x24.50 Cm
Berat: 1,3 Kg.
Harga: Rp 215.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
PAK NADIEM, BEGINILAH GURU YANG BAIK MENURUT KH HASYIM ASY’ARI!
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur ATTAQWA COLLEGE DEPOK)
Menyambut Hari Guru, 25 November 2019, beredar sambutan Mendikbud Nadiem Makarim di internet. Di awal pidatonya, Nadiem menyatakan, bahwa ia ingin berbicara apa adanya, dengan hati yang tulus, kepada semua guru di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. “Guru Indonesia yang tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit. Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan,” kata Menteri Nadiem.
Ada beberapa poin penting pidato Mendikbud menyambut Hari Guru. Diantaranya ialah:
(a) Guru ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktunya habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas.
(b) Guru tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.
(c) Guru ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.
(d) Guru frustasi karena tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal.
(e) Guru tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi.
(f) Guru ingin setiap murid terinspirasi, tetapi guru tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi.
“Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia,” begitu janji Menteri Nadiem.
*
Kita menunggu realisasi janji Menteri Nadiem tersebut. Insan pendidikan pasti sepakat bahwa kunci utama perbaikan pendidikan nasional adalah perbaikan kualitas guru. Pahlawan Nasional dan Pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir — mengutip Dr. G.J. Nieuwenhuis — menyatakan, ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan Guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Dalam acara Pengajian Alumni HMI UI tahun 1960 dan 1970-an di Jakarta, ada yang bertanya tentang masa depan pendidikan di era Menteri Nadiem. Saya jawab, “Jika Mendikbud Nadiem bisa menyederhanakan birokrasi pendidikan dan memberikan kemerdekaan kepada guru untuk mengajar dan mendidik, itu sudah bagus. Sebab, tantangan di lapangan sangatlah berat.”
Adab guru-murid
Problem pendidikan kita yang paling mendasar sebenarnya sederhana: hilangnya adab guru dan murid (loss of adab). Inilah akar masalah pendidikan kita, dan bahkan – menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas — menjadi akar krisis yang melanda umat Islam. Di Nusantara, banyak kitab adab guru dan murid karya para ulama kita.
Di Jakarta, misalnya, Mufti Betawi Sayyid Utsman menulis kitab Adabul Insan – satu kitab kecil huruf Arab Melayu yang cocok diajarkan pada anak-anak tingkat sekolah dasar. Tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan menulis buku berjudul “Kesopanan Tinggi” dan “Hai Putraku”, tahun 1946, yang hingga kini belum diterbitkan menjadi buku. Sastrawan besar kita, Raja Ali Haji, menulis kitab “Gurindam 12”, yang berisi panduan adab kepada diri, keluarga, pemimpin, bahasa, Nabi, juga Allah SWT.
Salah satu Kitab Adab guru dan murid yang terkenal adalah kitab “Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim” karya KH Hasyim Asy’ari. Sebab, menurut Syekh az-Zarnuji, penulis Kitab “Ta’limul Muta’allim”, banyak orang mencari ilmu, dan akhirnya tidak dapat ilmu yang bermanfaat, karena salah niat dan salah jalan. Maksudnya, tidak beradab dalam mencari ilmu.
Sebagai contoh, dalam ”Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim” Kyai Hasyim Asy’ari menyebutkan sejumlah adab yang harus dijalani oleh guru. Misalnya, guru harus selalu berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, memiliki rasa takut kepada Allah, rendah hati (tawadhu’), khusyu’ dalam ibadah, mentaati hukum Allah, menggunakan ilmunya dengan benar, zuhud (tidak cinta duni
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur ATTAQWA COLLEGE DEPOK)
Menyambut Hari Guru, 25 November 2019, beredar sambutan Mendikbud Nadiem Makarim di internet. Di awal pidatonya, Nadiem menyatakan, bahwa ia ingin berbicara apa adanya, dengan hati yang tulus, kepada semua guru di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. “Guru Indonesia yang tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit. Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan,” kata Menteri Nadiem.
Ada beberapa poin penting pidato Mendikbud menyambut Hari Guru. Diantaranya ialah:
(a) Guru ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktunya habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas.
(b) Guru tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.
(c) Guru ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.
(d) Guru frustasi karena tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal.
(e) Guru tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi.
(f) Guru ingin setiap murid terinspirasi, tetapi guru tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi.
“Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia,” begitu janji Menteri Nadiem.
*
Kita menunggu realisasi janji Menteri Nadiem tersebut. Insan pendidikan pasti sepakat bahwa kunci utama perbaikan pendidikan nasional adalah perbaikan kualitas guru. Pahlawan Nasional dan Pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir — mengutip Dr. G.J. Nieuwenhuis — menyatakan, ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan Guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”
Dalam acara Pengajian Alumni HMI UI tahun 1960 dan 1970-an di Jakarta, ada yang bertanya tentang masa depan pendidikan di era Menteri Nadiem. Saya jawab, “Jika Mendikbud Nadiem bisa menyederhanakan birokrasi pendidikan dan memberikan kemerdekaan kepada guru untuk mengajar dan mendidik, itu sudah bagus. Sebab, tantangan di lapangan sangatlah berat.”
Adab guru-murid
Problem pendidikan kita yang paling mendasar sebenarnya sederhana: hilangnya adab guru dan murid (loss of adab). Inilah akar masalah pendidikan kita, dan bahkan – menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas — menjadi akar krisis yang melanda umat Islam. Di Nusantara, banyak kitab adab guru dan murid karya para ulama kita.
Di Jakarta, misalnya, Mufti Betawi Sayyid Utsman menulis kitab Adabul Insan – satu kitab kecil huruf Arab Melayu yang cocok diajarkan pada anak-anak tingkat sekolah dasar. Tokoh Persatuan Islam (Persis), A. Hassan menulis buku berjudul “Kesopanan Tinggi” dan “Hai Putraku”, tahun 1946, yang hingga kini belum diterbitkan menjadi buku. Sastrawan besar kita, Raja Ali Haji, menulis kitab “Gurindam 12”, yang berisi panduan adab kepada diri, keluarga, pemimpin, bahasa, Nabi, juga Allah SWT.
Salah satu Kitab Adab guru dan murid yang terkenal adalah kitab “Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim” karya KH Hasyim Asy’ari. Sebab, menurut Syekh az-Zarnuji, penulis Kitab “Ta’limul Muta’allim”, banyak orang mencari ilmu, dan akhirnya tidak dapat ilmu yang bermanfaat, karena salah niat dan salah jalan. Maksudnya, tidak beradab dalam mencari ilmu.
Sebagai contoh, dalam ”Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim” Kyai Hasyim Asy’ari menyebutkan sejumlah adab yang harus dijalani oleh guru. Misalnya, guru harus selalu berusaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, memiliki rasa takut kepada Allah, rendah hati (tawadhu’), khusyu’ dalam ibadah, mentaati hukum Allah, menggunakan ilmunya dengan benar, zuhud (tidak cinta duni
a), selalu mensucikan jiwanya, menegakkan sunnah Rasul, dan sebagainya.
Tapi, bukan hanya guru yang harus beradab. Murid pun harus beradab. Diantara adab yang harus dimiliki oleh pelajar adalah: senantiasa berusaha membersihkan hati dari segala penyakit hati, seperti kedengkian, akidah dan akhlak yang rusak, ikhlas dalam mencari ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak bermaksud mengejar keuntungan duniawi. Pelajar juga harus sabar atas kehidupan yang sederhana, mampu membagi waktu dengan baik, mengurangi makan dan minum, sedikit tidur, pandai memilih teman yang baik, dan sebagainya.
Pelajar juga dinasehatkan oleh Kyai Hasyim Asy’ari untuk berhati-hati dalam memilih guru. Pelajar harus selalu memohon petunjuk pada Allah: kepada guru siapa ia harus mencari ilmu. Pelajar pun diminta mentaati gurunya, laksana pasien mentaati nasehat dokternya. Pelajar jangan melupakan jasa dan keutamaan guru. Ia perlu terus mendoakan gurunya, baik ketika hidup atau sesudah wafatnya.
Konsep penanaman adab dalam diri seorang pelajar (inculcation of adab) inilah, yang oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, disebut sebagai “the fundamental element of education.” Jika elemen yang paling mendasar ini hilang dari pendidikan kita, maka tak ada lagi yang namanya “pendidikan” (opvoeding). Bisa jadi tinggal pembelajaran (onderwijz), atau training!
Ajaran para ulama Nusantara tentang adab ini bukan sekedar “local wisdom”, tetapi “universal wisdom” – yang lebih mendasar dan komprehensif dalam membentuk manusia unggul, ketimbang konsep karakter Thomas Lickona!
Percayalah Pak Menteri!
(Depok, 25 November 2019)
Tapi, bukan hanya guru yang harus beradab. Murid pun harus beradab. Diantara adab yang harus dimiliki oleh pelajar adalah: senantiasa berusaha membersihkan hati dari segala penyakit hati, seperti kedengkian, akidah dan akhlak yang rusak, ikhlas dalam mencari ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak bermaksud mengejar keuntungan duniawi. Pelajar juga harus sabar atas kehidupan yang sederhana, mampu membagi waktu dengan baik, mengurangi makan dan minum, sedikit tidur, pandai memilih teman yang baik, dan sebagainya.
Pelajar juga dinasehatkan oleh Kyai Hasyim Asy’ari untuk berhati-hati dalam memilih guru. Pelajar harus selalu memohon petunjuk pada Allah: kepada guru siapa ia harus mencari ilmu. Pelajar pun diminta mentaati gurunya, laksana pasien mentaati nasehat dokternya. Pelajar jangan melupakan jasa dan keutamaan guru. Ia perlu terus mendoakan gurunya, baik ketika hidup atau sesudah wafatnya.
Konsep penanaman adab dalam diri seorang pelajar (inculcation of adab) inilah, yang oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, disebut sebagai “the fundamental element of education.” Jika elemen yang paling mendasar ini hilang dari pendidikan kita, maka tak ada lagi yang namanya “pendidikan” (opvoeding). Bisa jadi tinggal pembelajaran (onderwijz), atau training!
Ajaran para ulama Nusantara tentang adab ini bukan sekedar “local wisdom”, tetapi “universal wisdom” – yang lebih mendasar dan komprehensif dalam membentuk manusia unggul, ketimbang konsep karakter Thomas Lickona!
Percayalah Pak Menteri!
(Depok, 25 November 2019)
Adanya suara-suara yang menghalalkan homoseksual sebenarnya lebih bersumber dari jiwa yang sakit, emosi yang tidak stabil dan nalar yang dangkal.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1591695684303709&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1591695684303709&id=153825841424041
Meskipun banyak kaum Yahudi yang masih memandang homoseksual sebagai suatu kejahatan, tetapi mereka saat ini kalah dominan dengan Yahudi-yahudi yang sudah mendukung perkawinan sejenis.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1592675670872377&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1592675670872377&id=153825841424041
Jika ada orang Islam yang "dianggap" ekstrim atau "radikal" "fundamentalist" atau "terroris" atau apapun istilahnya tidak logis jika disimpulkan bahwa umat Islam itu ekstrim, radikal, fundamentalis dan teroris. Lebih tidak logis lagi jika semua umat Islam, semua lembaga Islam dan semua gerakan umat Islam dicurigai menjadi radikal atau berpotensi menjadi radikal. Yang memprihatinkan kini stigma stigma tersebut diarahkan kepada umat Islam yang beramar makruf dan mengatakan kebenaran di depan publik.
Yang sangat mengherankan yang mencurigai justru mereka mereka yang dianggap cendekiawan, ulama atau politisi yang beragama Islam dan dianggap mengerti Islam dan umat Islam.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Yang sangat mengherankan yang mencurigai justru mereka mereka yang dianggap cendekiawan, ulama atau politisi yang beragama Islam dan dianggap mengerti Islam dan umat Islam.
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
Sinopsis:
Buku ini adalah kritik terhadap buku Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh salah seorang pakar tafsir di Indonesia, M. Quraish Shihab. Penulis menyoroti beberapa hal dari karya tafsir tersebut, yang dianggap perlu untuk dikoreksi. Di antaranya tentang jilbab, tentang ahli Kitab, tentang kecenderungan tasyayyu’ (Syiah), dan lain sebagainya.
Mengoreksi secara ilmiah sebuah karya tulis adalah tradisi dalam khazanah keilmuan Islam. Tradisi tersebut tentu saja bertujuan untuk mengoreksi dan membangun dialektika keilmuan, agar kekeliruan bisa diluruskan dengan cara yang bermartabat. Karena itu, polemik terhadap sebuah karya tulis adalah hal biasa, selama masing-masing pihak memiliki hujjah yang kuat dan mengedepankan cara-cara yang santun dalam menyampaikan pendapatnya.
Buku ini awalnya adalah disertasi penulis di Universitas Kebangsaan Malaysia. Sebuah karya yang diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, tentu saja buku ini sudah diujikan secara ilmiah. Kami sajikan dengan kemasan yang lebih popular dan ringan, agar buku ini mudah untuk dibaca.
Pendapat Ust Abdul Somad (UAS) tentang buku ini:
“Saya selalu ditanya orang tentang Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh Prof. Qurasih Shihab. Hampir tidak pernah saya jawab. Lalu saya katakan, coba Tanya Ustadz Afrizal Nur, karena beliau menulis tentang itu, disertasi doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia. Alhamdulillah sekarang sudah terbit bukunya, “Tafsir Al Mishbah dalam Sorotan”. Buku ini amat sangat mendidik, isinya tidak diragukan karena disertasi doktor; ilmiah, tidak menghujat, tidak mencaci maki, murni ilmiah, keilmuan."
Ustad Abdul Somad (UAS), Lc,.MA, Datuk Seri Ulama Setia Negara
------------------------------------------
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
No ISBN: 9789795928171
Cover: Soft Cover
Ukuran: 25x15
Harga: Rp 63.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Dr. Afrizal Nur
Sinopsis:
Buku ini adalah kritik terhadap buku Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh salah seorang pakar tafsir di Indonesia, M. Quraish Shihab. Penulis menyoroti beberapa hal dari karya tafsir tersebut, yang dianggap perlu untuk dikoreksi. Di antaranya tentang jilbab, tentang ahli Kitab, tentang kecenderungan tasyayyu’ (Syiah), dan lain sebagainya.
Mengoreksi secara ilmiah sebuah karya tulis adalah tradisi dalam khazanah keilmuan Islam. Tradisi tersebut tentu saja bertujuan untuk mengoreksi dan membangun dialektika keilmuan, agar kekeliruan bisa diluruskan dengan cara yang bermartabat. Karena itu, polemik terhadap sebuah karya tulis adalah hal biasa, selama masing-masing pihak memiliki hujjah yang kuat dan mengedepankan cara-cara yang santun dalam menyampaikan pendapatnya.
Buku ini awalnya adalah disertasi penulis di Universitas Kebangsaan Malaysia. Sebuah karya yang diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, tentu saja buku ini sudah diujikan secara ilmiah. Kami sajikan dengan kemasan yang lebih popular dan ringan, agar buku ini mudah untuk dibaca.
Pendapat Ust Abdul Somad (UAS) tentang buku ini:
“Saya selalu ditanya orang tentang Tafsir Al Mishbah yang ditulis oleh Prof. Qurasih Shihab. Hampir tidak pernah saya jawab. Lalu saya katakan, coba Tanya Ustadz Afrizal Nur, karena beliau menulis tentang itu, disertasi doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia. Alhamdulillah sekarang sudah terbit bukunya, “Tafsir Al Mishbah dalam Sorotan”. Buku ini amat sangat mendidik, isinya tidak diragukan karena disertasi doktor; ilmiah, tidak menghujat, tidak mencaci maki, murni ilmiah, keilmuan."
Ustad Abdul Somad (UAS), Lc,.MA, Datuk Seri Ulama Setia Negara
------------------------------------------
Tafsir Al Misbah Dalam Sorotan
Penulis: Dr. Afrizal Nur
No ISBN: 9789795928171
Cover: Soft Cover
Ukuran: 25x15
Harga: Rp 63.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Filsafat Islam
Antara Ilmuwan Muslim dan Orentalis
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika di abad 9-13 M orang menyebut kata falsafah, maka asosiasinya pasti tertuju pada al-Masysya’un atau Muslim paripatetik. Sebab para mutakallimun dan fuqaha tahu kata falsafah (filsafat) merupakan Arabisasi dari kata philosophia. Selain itu para ulama seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dsb., jelas telah berinteraksi dan menimba ilmu dari khazanah filsafat Yunani dengan tujuan untuk memformulasikan filsafat Islam. Namun, para orientalis menyimpulkan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat. Jadi bagaimanakah asal usul dan hakekat filsafat Islam itu?
Terdapat tiga pandangan berbeda terdahap filsafat Islam. Pertama, mereka yang yakin bahwa tidak ada filsafat Islam, yang ada hanyalah filsafat Yunani yang nama dan substansinya telah di Arabkan. Kedua, mereka menolak sama sekali adanya filsafat dalam Islam, karena berfilsafat itu haram hukumnya. Ketiga, mereka yang berpegang bahwa filsafat Islam itu berasal dari al-Qur’an dan diperkaya oleh filsafat Yunani. Yang pertama diwakili oleh orientalis, yang kedua oleh para fuqaha dan muhaddithin dan ketiga adalah ilmuwan Muslim masa kini. Disini hanya akan dibahas pandangan pertama dan ketiga.
Alasan menafikan adanya filsafat Islam dari orientalis bersumber dari arti dan sejarah filsafat Islam. Peter FE misalnya, melihat sumber filsafat Islam hanya dari Yunani. Kajiannya menyimpulakan bahwa “dalam Islam tidak ada filsafat”, bahkan Ilmu Kalam sekalipun ia anggap sebagai “saudara tiri” filsafat yang juga berasal sumber yang sama yaitu Yunani (the stepsisters borne by the same mother). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Professor Ueberweg dalam bukunya History of Philosophy vol. i, (hal. 405), bahwa seluruh filsafat Arab hanyalah Aristotelianisme yang dikembangkan kurang lebih dengan konsep-konsep Neo-Platonik. Jadi filsafat Islam berasal dari Yunani, baik nama maupun isinya.
De Boer juga melihat dari sisi sejarah. Katanya “Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran akan metode atau sistim. Jadi filsafat Islam hanyalah hasil asimilasi dan bukan asli dari Islam. Tidak aneh jika bukunya The History of Philosophy in Islam membahas secara berlebihan Sains Yunani dan Wisdom dari Timur, sekedar untuk menunjukkan ketidak-aslian filsafat Islam. Sama dengan De Boer, Gustave E von Grunebaum berasumsi bahwa dalam Islam tidak ada pemikiran rasional, konsep-konsep dan prinsip klassifikasi, oleh karena itu semua itu pasti diambil dari Yunani. Pandangan ekstrim ini tentu berdasarkan pengetahuan yang parsial tentang Islam.
Asumsi bahwa dalam Islam tidak ada sesuatu yang rasional juga datang dari M.W.Watt, Joseph van Ess dan Michael Cook. Mereka bahkan menuduh ilmu Kalam yang menggunakan argumentasi rasional itu, memperkenalkan dan mendiskusikan konsep-konsep non-Qur’ani, yang kebanyakan diambil dari filsafat dan sains Yunani atau dari teks Syriac. Tapi, para orientalis itu hanya berasumsi dan mengakui bahwa itu semua masih harus dibuktikan. Padahal ilmu sanad dan klassifikasi hadith, misalnya, tidak pernah terbukti berasal dari Yunani.
Dalam buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat Baru (New West). Meskipun demikian ia dengan tegas menyatakan bahwa itu semua tidak berasal dari jazirah Arab, tapi dari Yunani. Sebab sebelum orang-orang Arab itu berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi dan Iran, mereka berwawasan sempit (narrow horizon). Orang Muslim, pada abad ke 7 M, katanya, mustahil bisa faham arti logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam disiplin filsafat baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi mengungguli mereka.
Pernyataan Edward sebenarnya bertentangan dengan temuan Peter yang menemukan fakta bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir akan membahayakan keimanan mereka. Bagi Mu
Antara Ilmuwan Muslim dan Orentalis
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika di abad 9-13 M orang menyebut kata falsafah, maka asosiasinya pasti tertuju pada al-Masysya’un atau Muslim paripatetik. Sebab para mutakallimun dan fuqaha tahu kata falsafah (filsafat) merupakan Arabisasi dari kata philosophia. Selain itu para ulama seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dsb., jelas telah berinteraksi dan menimba ilmu dari khazanah filsafat Yunani dengan tujuan untuk memformulasikan filsafat Islam. Namun, para orientalis menyimpulkan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat. Jadi bagaimanakah asal usul dan hakekat filsafat Islam itu?
Terdapat tiga pandangan berbeda terdahap filsafat Islam. Pertama, mereka yang yakin bahwa tidak ada filsafat Islam, yang ada hanyalah filsafat Yunani yang nama dan substansinya telah di Arabkan. Kedua, mereka menolak sama sekali adanya filsafat dalam Islam, karena berfilsafat itu haram hukumnya. Ketiga, mereka yang berpegang bahwa filsafat Islam itu berasal dari al-Qur’an dan diperkaya oleh filsafat Yunani. Yang pertama diwakili oleh orientalis, yang kedua oleh para fuqaha dan muhaddithin dan ketiga adalah ilmuwan Muslim masa kini. Disini hanya akan dibahas pandangan pertama dan ketiga.
Alasan menafikan adanya filsafat Islam dari orientalis bersumber dari arti dan sejarah filsafat Islam. Peter FE misalnya, melihat sumber filsafat Islam hanya dari Yunani. Kajiannya menyimpulakan bahwa “dalam Islam tidak ada filsafat”, bahkan Ilmu Kalam sekalipun ia anggap sebagai “saudara tiri” filsafat yang juga berasal sumber yang sama yaitu Yunani (the stepsisters borne by the same mother). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Professor Ueberweg dalam bukunya History of Philosophy vol. i, (hal. 405), bahwa seluruh filsafat Arab hanyalah Aristotelianisme yang dikembangkan kurang lebih dengan konsep-konsep Neo-Platonik. Jadi filsafat Islam berasal dari Yunani, baik nama maupun isinya.
De Boer juga melihat dari sisi sejarah. Katanya “Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran akan metode atau sistim. Jadi filsafat Islam hanyalah hasil asimilasi dan bukan asli dari Islam. Tidak aneh jika bukunya The History of Philosophy in Islam membahas secara berlebihan Sains Yunani dan Wisdom dari Timur, sekedar untuk menunjukkan ketidak-aslian filsafat Islam. Sama dengan De Boer, Gustave E von Grunebaum berasumsi bahwa dalam Islam tidak ada pemikiran rasional, konsep-konsep dan prinsip klassifikasi, oleh karena itu semua itu pasti diambil dari Yunani. Pandangan ekstrim ini tentu berdasarkan pengetahuan yang parsial tentang Islam.
Asumsi bahwa dalam Islam tidak ada sesuatu yang rasional juga datang dari M.W.Watt, Joseph van Ess dan Michael Cook. Mereka bahkan menuduh ilmu Kalam yang menggunakan argumentasi rasional itu, memperkenalkan dan mendiskusikan konsep-konsep non-Qur’ani, yang kebanyakan diambil dari filsafat dan sains Yunani atau dari teks Syriac. Tapi, para orientalis itu hanya berasumsi dan mengakui bahwa itu semua masih harus dibuktikan. Padahal ilmu sanad dan klassifikasi hadith, misalnya, tidak pernah terbukti berasal dari Yunani.
Dalam buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat Baru (New West). Meskipun demikian ia dengan tegas menyatakan bahwa itu semua tidak berasal dari jazirah Arab, tapi dari Yunani. Sebab sebelum orang-orang Arab itu berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi dan Iran, mereka berwawasan sempit (narrow horizon). Orang Muslim, pada abad ke 7 M, katanya, mustahil bisa faham arti logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam disiplin filsafat baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi mengungguli mereka.
Pernyataan Edward sebenarnya bertentangan dengan temuan Peter yang menemukan fakta bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir akan membahayakan keimanan mereka. Bagi Mu
slim ini tidak masalah. Ini berarti mereka tidak mampu menyerap logika Yunani yang canggih (baca sophisticated) karena miskinnya mekanisme untuk menghasilkan kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme) dalam pandangan hidup mereka. Jadi kalau fakta yang dikemukakan Peter ini dipahami dalam perspektif pandangan hidup (worldview) Islam, asumsi Edward tidak bisa dipertahankan lagi. Malah asumsi itu bisa menjadi terbalik yaitu bahwa kerangka konsep keilmuan Barat itu muncul hanya setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim yang berdasarkan pada pandangan hidup yang canggih.
Akibat dari cara pandang ini nampak dalam framework kajian mereka. Sudah dapat dipastikan bahwa hampir seluruh buku sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat Islam dimulai dari tokoh yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap cendekiawan Muslim yang pertama kali bersentuhan dengan filsafat Yunani. Logikanya, sebelum al-Kindi tidak ada filsafat Islam. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti al-Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut filosof.
Mungkin agak sedikit obyektif, dan bisa mewakili pandangan ketiga adalah Michael Marmura (dalam Encyclopedia of Religion) dan Oliver Leaman. Menurut Marmura para filosof Muslim itu tidak hanya menerima ide-ide Yunani yang mereka terjemahkan, mereka menyeleksi, mengolah dan merubah konsep-konsepnya untuk membentuk filsafat mereka sendiri. Pengakuan Marmura sangat tepat, sebab tidak semua konsep Yunani diterima oleh Muslim. Ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Faktanya memang penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873), Thabit in Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah bayaran. Sesudah proses penterjemahan, tidak lagi punya peran apa-apa. Para cendekiawan dan filosof Muslim lah yang kemudian mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan, adapsi dan tentu Islamisasi konsep-konsep pentingnya. Pendapat Marmura ini dikuatkan oleh Sabra, yaitu bahwa istilah Yunani “philosophia” yang di Arabkan menjadi falsafah justru menunjukkan tanda keberhasilan naturalisasi filsafat Yunani kedalam millieu Islam.
Bahkan menurut C.A.Qadir, penulis buku Philosophy and Science in The Islamic World, sumber aspirasi asli dan riel para pemikir Muslim adalah al-Qur’an dan Hadith. Pemikiran Yunani hanyalah pembuka jalan. Muslim berhutang pada Yunani dan pada saat yang sama menyimpang dari Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam semesta para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam pemikiran Yunani.
Oleh sebab itu MM Sharif dalam A History of Muslim Philosophy mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman, “meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai kain”. Bagi Iqbal semangat Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah anti-Yunani. Seyyed Hossein Nasr secara metaforis menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali ketempat asalnya di Barat, bersamaan dengan Averroes, murid terbesarnya. Meskipun begitu Nasr menyadari bahwa dalam filsafat terdapat unsur-unsur Yunani. Hanya saja ketika unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu diintegrasikan kedalam peradaban Islam, ia menjadi Islami.
Jika para orientalis diatas begitu ekstrim mengklaim filsafat Islam sepenuhnya berasal dari Yunani. Oliver Leaman dalam bukunya An Introduction to Medieval Islamic Philosophy mengakui bahwa Usul Fiqih memiliki peran penting dalam melahirkan filsafat dalam Islam. Ini nampaknya dikaitkan dengan tradisi qiyas dalam fiqih yang sangat rasional dan hampir mirip dengan syllogisme Aristotle. Bukan hanya itu kenyataannya dalam al-Qur’an memang telah terdapat elemen metafisika, seperti konsep Tuhan, alam ghaib, hari akhir, prinsip akhlaq, ilmu, iman dsb. Dari elemen ini saja sudah dapat disimpulkan bahwa filsafat telah ada sebelum bersentuhan dengan Yunani. Realitas ini digambarkan oleh Oliver Leaman dengan cerdas sekali bahwa filsafat Islam muncul dalam teologi Islam dan tanpa kaitan l
Akibat dari cara pandang ini nampak dalam framework kajian mereka. Sudah dapat dipastikan bahwa hampir seluruh buku sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat Islam dimulai dari tokoh yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap cendekiawan Muslim yang pertama kali bersentuhan dengan filsafat Yunani. Logikanya, sebelum al-Kindi tidak ada filsafat Islam. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti al-Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut filosof.
Mungkin agak sedikit obyektif, dan bisa mewakili pandangan ketiga adalah Michael Marmura (dalam Encyclopedia of Religion) dan Oliver Leaman. Menurut Marmura para filosof Muslim itu tidak hanya menerima ide-ide Yunani yang mereka terjemahkan, mereka menyeleksi, mengolah dan merubah konsep-konsepnya untuk membentuk filsafat mereka sendiri. Pengakuan Marmura sangat tepat, sebab tidak semua konsep Yunani diterima oleh Muslim. Ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Faktanya memang penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873), Thabit in Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah bayaran. Sesudah proses penterjemahan, tidak lagi punya peran apa-apa. Para cendekiawan dan filosof Muslim lah yang kemudian mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan, adapsi dan tentu Islamisasi konsep-konsep pentingnya. Pendapat Marmura ini dikuatkan oleh Sabra, yaitu bahwa istilah Yunani “philosophia” yang di Arabkan menjadi falsafah justru menunjukkan tanda keberhasilan naturalisasi filsafat Yunani kedalam millieu Islam.
Bahkan menurut C.A.Qadir, penulis buku Philosophy and Science in The Islamic World, sumber aspirasi asli dan riel para pemikir Muslim adalah al-Qur’an dan Hadith. Pemikiran Yunani hanyalah pembuka jalan. Muslim berhutang pada Yunani dan pada saat yang sama menyimpang dari Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam semesta para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam pemikiran Yunani.
Oleh sebab itu MM Sharif dalam A History of Muslim Philosophy mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman, “meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai kain”. Bagi Iqbal semangat Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah anti-Yunani. Seyyed Hossein Nasr secara metaforis menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali ketempat asalnya di Barat, bersamaan dengan Averroes, murid terbesarnya. Meskipun begitu Nasr menyadari bahwa dalam filsafat terdapat unsur-unsur Yunani. Hanya saja ketika unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu diintegrasikan kedalam peradaban Islam, ia menjadi Islami.
Jika para orientalis diatas begitu ekstrim mengklaim filsafat Islam sepenuhnya berasal dari Yunani. Oliver Leaman dalam bukunya An Introduction to Medieval Islamic Philosophy mengakui bahwa Usul Fiqih memiliki peran penting dalam melahirkan filsafat dalam Islam. Ini nampaknya dikaitkan dengan tradisi qiyas dalam fiqih yang sangat rasional dan hampir mirip dengan syllogisme Aristotle. Bukan hanya itu kenyataannya dalam al-Qur’an memang telah terdapat elemen metafisika, seperti konsep Tuhan, alam ghaib, hari akhir, prinsip akhlaq, ilmu, iman dsb. Dari elemen ini saja sudah dapat disimpulkan bahwa filsafat telah ada sebelum bersentuhan dengan Yunani. Realitas ini digambarkan oleh Oliver Leaman dengan cerdas sekali bahwa filsafat Islam muncul dalam teologi Islam dan tanpa kaitan l
angsung dengan filsafat Yunani (philosophy arose in Islamic theology and was without any direct contact with Greek philosophy).
Lebih dari itu, dalam Islam sendiri terdapat istilah hikmah. Hikmah sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai Íikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan, menurut SH.Nasr, banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri. Qadir dengan ringan menyatakan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Íikmah dalam Islam telah menemukan sparing-partner-nya untuk berkembang.
Jadi, jika Muslim masih memahami arti filsafat Islam sebagai pengetahuan asing dan haram, maka ia tidak dapat menciptakan disiplin ilmu baru dalam Islam. Dan jika Muslim masih menganggap filsafat Islam adalah murni berasal dari Yunani maka berfikirnya set back ke abad ke 10. Padahal pada abad ke 13 saja istilah “falsafah” sudah dapat diterima jika unsur-unsurnya yang bertentangan dengan Islam dihilangkan. Ibn Taymiyyah, (MinhÉj al-Sunnah, I. ed.Rasyad Salim, hal 261) juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-sahihah, yaitu pengetahuan tentang Wujud.
Lebih dari itu, dalam Islam sendiri terdapat istilah hikmah. Hikmah sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai Íikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan, menurut SH.Nasr, banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri. Qadir dengan ringan menyatakan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Íikmah dalam Islam telah menemukan sparing-partner-nya untuk berkembang.
Jadi, jika Muslim masih memahami arti filsafat Islam sebagai pengetahuan asing dan haram, maka ia tidak dapat menciptakan disiplin ilmu baru dalam Islam. Dan jika Muslim masih menganggap filsafat Islam adalah murni berasal dari Yunani maka berfikirnya set back ke abad ke 10. Padahal pada abad ke 13 saja istilah “falsafah” sudah dapat diterima jika unsur-unsurnya yang bertentangan dengan Islam dihilangkan. Ibn Taymiyyah, (MinhÉj al-Sunnah, I. ed.Rasyad Salim, hal 261) juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-sahihah, yaitu pengetahuan tentang Wujud.