PLURALISME DAN ISLAM
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Ketika fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan Pluralisme Agama, tidak banyak yang protes, kecuali beberapa gelintir penganut pluralis liberal. Sayang, protes itu tidak ditanggapi Majelis Ulama Indonesia dengan penjelasan yang ilmiah, detail dan dapat dipertahankan.
Mungkin itulah sebabnya mereka yang protes itu kini terus mengembangkan paham ini melalui berbagai proyek. Untuk itu penjelasan mengenai apa hakekat pluralisme agama itu perlu dihadirkan sekali lagi.
Sebelum Majelis Ulama Indonesia menghasilkan fatwa itu, Jurnal pemikiran dan peradaban ISLAMIA pada edisi 3 dan 4 telah membahas panjang lebar paham ini. KH. Salahuddin Wahid menantang para pengkritik fatwa untuk menjelaskan maksud mereka, apakah seperti yang dimaksud ISLAMIA atau makna yang lain. Namun, hingga pihak pengkritik fatwa itu juga tidak tegas pluralisme apa yang mereka bela itu.
Sebenarnya, paham Pluralisme Agama lahir dari doktrin pluralisme. Di Barat pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern.
Dari berbagai kamus pluralisme dapat bermakna dua hal: Pertama, Pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Kedua, Doktrin yang berisi a) Pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) Pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah c) Ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. d) Teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). e) Pandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (No view is true, or that all view are equally true). (Lihat, The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language; Oxford Dictionary of Philosophy; Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English).
Jadi dari makna pluralisme saja sudah terdapat ide yang mencurigai kebenaran atau paham relativitas kebenaran.
Pluralisme dalam pengertian pertama adalah toleransi, dimana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain.
Pluralisme dalam arti kedua sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapan. Masyarakat, harus menerima kenyataan bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal artinya semua benar, atau masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar atau paling benar. Bahkan dalam satu pengertian pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.
Sebenarnya wacana pluralisme tidak bisa lepas dari pemikiran Barat postmodern. Sebab menurut Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam postmodernisme diwarnai oleh doktrin pluralisme. Selain itu postmodernisme selalu menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya dan cara menghadapinya adalah menebar pluralisme. Doktrin utamanya adalah nihilisme dan relativisme.
Jadi, target utama pluralisme sebenarnya adalah agama dan kepercayaan. Sebab begitu seseorang berbicara masalah pluralisme secara sosiologis, ia otomatis membahas teologi atau agama juga.
Diantara tokoh pendukung paham pluralisme adalah Peter Ludwig Berger, seorang sosiolog Amerika dan juga teolog Lutheran. Dalam bukunya The Desecularization of the World Peter menyatakan bahwa sekularisasi telah gagal, sebab praktek keagamaan ternyata justru bertambah subur dan desekularisasi malah dominan. Oleh sebab itu dalam The Social Construction of Reality ia mengusulkan gantinya yaitu penyebaran paham pluralisme.
Berger beralasan bahwa meskipun agama masih sebagai faktor sosial yang kuat, namun pluralisme dan dunia yang global telah merubah pengalaman keberagamaan individu. Pluralisme yang dihidupkan, disebarkan dan diperkuat oleh globalisasi itu menjadi fakta kehidupan sosial dan kesadaran individual.
Pada tingkat institusional, agama tidak lagi punya otoritas. Dan dalam masyarakat demokrasi liberal dimana kebebasan beragama dijamin,
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Ketika fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan Pluralisme Agama, tidak banyak yang protes, kecuali beberapa gelintir penganut pluralis liberal. Sayang, protes itu tidak ditanggapi Majelis Ulama Indonesia dengan penjelasan yang ilmiah, detail dan dapat dipertahankan.
Mungkin itulah sebabnya mereka yang protes itu kini terus mengembangkan paham ini melalui berbagai proyek. Untuk itu penjelasan mengenai apa hakekat pluralisme agama itu perlu dihadirkan sekali lagi.
Sebelum Majelis Ulama Indonesia menghasilkan fatwa itu, Jurnal pemikiran dan peradaban ISLAMIA pada edisi 3 dan 4 telah membahas panjang lebar paham ini. KH. Salahuddin Wahid menantang para pengkritik fatwa untuk menjelaskan maksud mereka, apakah seperti yang dimaksud ISLAMIA atau makna yang lain. Namun, hingga pihak pengkritik fatwa itu juga tidak tegas pluralisme apa yang mereka bela itu.
Sebenarnya, paham Pluralisme Agama lahir dari doktrin pluralisme. Di Barat pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern.
Dari berbagai kamus pluralisme dapat bermakna dua hal: Pertama, Pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Kedua, Doktrin yang berisi a) Pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) Pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah c) Ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. d) Teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). e) Pandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (No view is true, or that all view are equally true). (Lihat, The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language; Oxford Dictionary of Philosophy; Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English).
Jadi dari makna pluralisme saja sudah terdapat ide yang mencurigai kebenaran atau paham relativitas kebenaran.
Pluralisme dalam pengertian pertama adalah toleransi, dimana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain.
Pluralisme dalam arti kedua sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapan. Masyarakat, harus menerima kenyataan bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal artinya semua benar, atau masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar atau paling benar. Bahkan dalam satu pengertian pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.
Sebenarnya wacana pluralisme tidak bisa lepas dari pemikiran Barat postmodern. Sebab menurut Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam postmodernisme diwarnai oleh doktrin pluralisme. Selain itu postmodernisme selalu menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya dan cara menghadapinya adalah menebar pluralisme. Doktrin utamanya adalah nihilisme dan relativisme.
Jadi, target utama pluralisme sebenarnya adalah agama dan kepercayaan. Sebab begitu seseorang berbicara masalah pluralisme secara sosiologis, ia otomatis membahas teologi atau agama juga.
Diantara tokoh pendukung paham pluralisme adalah Peter Ludwig Berger, seorang sosiolog Amerika dan juga teolog Lutheran. Dalam bukunya The Desecularization of the World Peter menyatakan bahwa sekularisasi telah gagal, sebab praktek keagamaan ternyata justru bertambah subur dan desekularisasi malah dominan. Oleh sebab itu dalam The Social Construction of Reality ia mengusulkan gantinya yaitu penyebaran paham pluralisme.
Berger beralasan bahwa meskipun agama masih sebagai faktor sosial yang kuat, namun pluralisme dan dunia yang global telah merubah pengalaman keberagamaan individu. Pluralisme yang dihidupkan, disebarkan dan diperkuat oleh globalisasi itu menjadi fakta kehidupan sosial dan kesadaran individual.
Pada tingkat institusional, agama tidak lagi punya otoritas. Dan dalam masyarakat demokrasi liberal dimana kebebasan beragama dijamin,
agama tidak bisa lagi menjadikan negara sebagai sandaran. Sejalan dengan kapitalisme otoritas itu seperti pasar, siapa saja bebas memiliki otoritas. Bahkan masyarakat akan lebih kuat menganut doktrin pluralisme daripada menganut suatu agama, tegas Berger.
Lebih ekstrim dari Berger, Diana L. Eck dalam The Challenge of Pluralism, tegas-tegas menyatakan bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak pula sekedar menerima pluralitas (diversity).
Dalam bukunya From Diversity to Pluralism ia “membayangkan” bahwa pluralisme adalah “peleburan” agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu realitas keagamaan yang plural. Pada pemikiran Diana ini, nampak sekali muatan relativismenya. Sebab ia juga menyarankan agar agama-agama bersedia membuka diri dan menerima kebenaran yang ada pada agama lain.
Alasannya karena setiap agama mengandung porsi kebenaran. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa Diana sependapat dengan ide bahwa semua agama itu sama benarnya dan tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain.
Dari definisi dan penjabaran singkat diatas, pluralisme sudah mengandung makna relativisme. Jadi klaim bahwa pluralisme adalah sebuah doktrin sosial ternyata menyentuh aspek teologis. Maka dari itu pluralisme dan pluralisme agama, seperti yang akan dijelaskan berikut ini, ternyata tidak beda. Kecuali jika ada yang memahami pluralisme hanya setingkat toleransi.
Paham pluralisme agama terdiri dari dua aliran besar yaitu teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) dan kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions). Yang pertama dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith, sedangkan yang kedua oleh Fritjhof Schuon.
Pertama yaitu teologi global berambisi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi proyek globalisasi Barat. Pendekatan yang dipakai aliran teologi global terhadap agama-agama awalnya bersifat sosiologis, kultural dan ideologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Ideologis sebab ia telah menjadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi Barat.
Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya.
Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme. (Lihat Dr. Amir al-Roubaie, “Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam”, dalam Jurnal pemikiran dan peradaban Islam ISLAMIA, Edisi 4, 2004 )
Jadi globalisasi Barat itu seakan-akan berdiri didepan semua agama dan memberi instruksinya “Ikut globalisasi Barat atau tertinggal dan ditinggal”. Posisi seperti inilah yang disampaikan oleh Peter Berger. Semua penganut agama, katanya, hanya ada tiga pilihan: menolak pluralisme, menarik diri daripadanya atau terlibat dengannya. Semua pilihan memiliki kesulitan dan resiko masing-masing, tapi hanya dengan terlibat dalam suatu agama akan menjadi sejalan dengan demokrasi liberal.
Setelah menggunakan pendekatan sosiologis, kultural dan ideologis aliran ini menggunakan pendekatan filosofis, terutamanya doktrin relativisme. Doktrin relativisme kebenaran digunakan oleh John Hick dan juga Diana L. Eck untuk melebur batas agama-agama (eksklusifisme).
Dalam bukunya an Interpretation of Religion Hick menyatakan bahwa kebenaran itu relatif yang absolut hanya Tuhan dan manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif. Selain itu Hick juga mengadopsi teori Copernican Revolution yaitu yang merevolusi prinsip geosentris menjadi heliosentris. Jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan (Religion-centredness to God centredness).
Lebih ekstrim dari Berger, Diana L. Eck dalam The Challenge of Pluralism, tegas-tegas menyatakan bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak pula sekedar menerima pluralitas (diversity).
Dalam bukunya From Diversity to Pluralism ia “membayangkan” bahwa pluralisme adalah “peleburan” agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu realitas keagamaan yang plural. Pada pemikiran Diana ini, nampak sekali muatan relativismenya. Sebab ia juga menyarankan agar agama-agama bersedia membuka diri dan menerima kebenaran yang ada pada agama lain.
Alasannya karena setiap agama mengandung porsi kebenaran. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa Diana sependapat dengan ide bahwa semua agama itu sama benarnya dan tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain.
Dari definisi dan penjabaran singkat diatas, pluralisme sudah mengandung makna relativisme. Jadi klaim bahwa pluralisme adalah sebuah doktrin sosial ternyata menyentuh aspek teologis. Maka dari itu pluralisme dan pluralisme agama, seperti yang akan dijelaskan berikut ini, ternyata tidak beda. Kecuali jika ada yang memahami pluralisme hanya setingkat toleransi.
Paham pluralisme agama terdiri dari dua aliran besar yaitu teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) dan kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions). Yang pertama dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith, sedangkan yang kedua oleh Fritjhof Schuon.
Pertama yaitu teologi global berambisi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi proyek globalisasi Barat. Pendekatan yang dipakai aliran teologi global terhadap agama-agama awalnya bersifat sosiologis, kultural dan ideologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Ideologis sebab ia telah menjadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi Barat.
Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya.
Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme. (Lihat Dr. Amir al-Roubaie, “Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam”, dalam Jurnal pemikiran dan peradaban Islam ISLAMIA, Edisi 4, 2004 )
Jadi globalisasi Barat itu seakan-akan berdiri didepan semua agama dan memberi instruksinya “Ikut globalisasi Barat atau tertinggal dan ditinggal”. Posisi seperti inilah yang disampaikan oleh Peter Berger. Semua penganut agama, katanya, hanya ada tiga pilihan: menolak pluralisme, menarik diri daripadanya atau terlibat dengannya. Semua pilihan memiliki kesulitan dan resiko masing-masing, tapi hanya dengan terlibat dalam suatu agama akan menjadi sejalan dengan demokrasi liberal.
Setelah menggunakan pendekatan sosiologis, kultural dan ideologis aliran ini menggunakan pendekatan filosofis, terutamanya doktrin relativisme. Doktrin relativisme kebenaran digunakan oleh John Hick dan juga Diana L. Eck untuk melebur batas agama-agama (eksklusifisme).
Dalam bukunya an Interpretation of Religion Hick menyatakan bahwa kebenaran itu relatif yang absolut hanya Tuhan dan manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif. Selain itu Hick juga mengadopsi teori Copernican Revolution yaitu yang merevolusi prinsip geosentris menjadi heliosentris. Jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan (Religion-centredness to God centredness).
Kalau dulu setiap agama menjadi pusat yang dikelilingi tuhan, maka kini dirubah tuhanlah yang dikelilingi agama-agama. Artinya dari banyak agama banyak tuhan menjadi banyak agama satu Tuhan.
Berbeda dari Hick yang mengusung globalisasi, doktrin kesatuan agama-agama Schuon menebarkan ide bahwa agama dibagi menjadi dua: tingkat eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniyah).
Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai tuhan, teologi, ajaran yang berbeda. Namun pada tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki tuhan yang sama yang abstrak dan tidak terbatas.
Doktrin pluralisme agama ini kini disebarkan kedalam wacana pemikiran Islam. Pengikut pertama doktrin teologi global dari Islam adalah Hasan Askari, sedangkan pengikut doktrin kesatuan transenden agama-agama adalah S.H. Nasr, namun pencetusnya sendiri Schuon yang dulunya Yahudi itu konon telah masuk Islam dan tetap pluralis.
Para cendekiawan Muslim yang mengadopsi paham ini sekurangnya ada tiga kelompok. Pertama, Mereka yang memahami doktrin dan mempunyai agenda tersendiri. Kedua, Mereka yang tidak memahami doktrin ini karena pemikirannya terbaratkan. Ketiga, Mereka yang tidak memahami doktrin ini dan terbawa oleh wacana umum. Dari kelompok pertama dan kedua inilah muncul istilah-istilah asing seperti Islam inklusif, Islam pluralis, pluralisme dalam Islam dan sebagainya.
Selain itu mereka juga mencari-cari justifikasi dari al-Quran dan Hadis. Cara yang mereka gunakan adalah dengan mendekonstruksi makna ayat dan hadis untuk disesuaikan dengan tujuan mereka.
Jadi prinsip pluralisme ala Peter L. Berger, Diana L. Eck atau lainnya atau doktrin pluralisme agama ala John Hick dan Schuon tidak berbeda. Pluralisme bukan prinsip mengenai toleransi, tapi relativisme kebenaran yang mengajarkan bahwa “Semua agama adalah sama”.
Di Barat pluralisme telah meresahkan dan merugikan pihak gereja, seperti yang akan dibahas sebentar lagi. Tapi di negeri ini para aktifis LSM menganggapnya “berkah” melimpah. Para cendekiawan dan beberapa ulama menerimanya dalam domain “ijtihad”, karena dianggap “baru” dan berdimensi universal meski asing bagi umat.
“Ijtihad” pendukung pluralisme (baca: liberalisme) di negeri ini lebih maju dari wacana para teolog Barat. Mereka telah sampai tahap “berani” membuka “pintu-pintu” surga bagi semua umat beragama. Tapi mereka lupa ketika membuka pintu surga lebar-lebar, mereka belum menunjukkan jalan-jalan menuju pintu-pintu itu secara pasti, karena semua jalan adalah relatif.
Boleh jadi, demi pluralism agama di satu saat nanti menjelang ajal seorang Kyai boleh dibaptis, dan setelah dikubur seorang pendeta boleh ditalqin, agar di alam sana bisa ada alternatif surga yang menurut mereka sangat “plural” itu.
Lagenhausen seorang Muslim mengkritik keras faham ini, “Tujuan pluralisme untuk membangun toleransi itu baik tapi terlepas apapun tujuannya, konsepnya salah”, tulisnya (Dr Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism Journal Al-Tawhid, Vol. XIV, No. 3 ). Menurut HAMKA orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama. Jika ini makna pluralisme yang dimaksud kelompok pluralis liberal, maka fatwa Majelis Ulama Indonesia itu sungguh benar adanya.
Berbeda dari Hick yang mengusung globalisasi, doktrin kesatuan agama-agama Schuon menebarkan ide bahwa agama dibagi menjadi dua: tingkat eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniyah).
Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai tuhan, teologi, ajaran yang berbeda. Namun pada tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki tuhan yang sama yang abstrak dan tidak terbatas.
Doktrin pluralisme agama ini kini disebarkan kedalam wacana pemikiran Islam. Pengikut pertama doktrin teologi global dari Islam adalah Hasan Askari, sedangkan pengikut doktrin kesatuan transenden agama-agama adalah S.H. Nasr, namun pencetusnya sendiri Schuon yang dulunya Yahudi itu konon telah masuk Islam dan tetap pluralis.
Para cendekiawan Muslim yang mengadopsi paham ini sekurangnya ada tiga kelompok. Pertama, Mereka yang memahami doktrin dan mempunyai agenda tersendiri. Kedua, Mereka yang tidak memahami doktrin ini karena pemikirannya terbaratkan. Ketiga, Mereka yang tidak memahami doktrin ini dan terbawa oleh wacana umum. Dari kelompok pertama dan kedua inilah muncul istilah-istilah asing seperti Islam inklusif, Islam pluralis, pluralisme dalam Islam dan sebagainya.
Selain itu mereka juga mencari-cari justifikasi dari al-Quran dan Hadis. Cara yang mereka gunakan adalah dengan mendekonstruksi makna ayat dan hadis untuk disesuaikan dengan tujuan mereka.
Jadi prinsip pluralisme ala Peter L. Berger, Diana L. Eck atau lainnya atau doktrin pluralisme agama ala John Hick dan Schuon tidak berbeda. Pluralisme bukan prinsip mengenai toleransi, tapi relativisme kebenaran yang mengajarkan bahwa “Semua agama adalah sama”.
Di Barat pluralisme telah meresahkan dan merugikan pihak gereja, seperti yang akan dibahas sebentar lagi. Tapi di negeri ini para aktifis LSM menganggapnya “berkah” melimpah. Para cendekiawan dan beberapa ulama menerimanya dalam domain “ijtihad”, karena dianggap “baru” dan berdimensi universal meski asing bagi umat.
“Ijtihad” pendukung pluralisme (baca: liberalisme) di negeri ini lebih maju dari wacana para teolog Barat. Mereka telah sampai tahap “berani” membuka “pintu-pintu” surga bagi semua umat beragama. Tapi mereka lupa ketika membuka pintu surga lebar-lebar, mereka belum menunjukkan jalan-jalan menuju pintu-pintu itu secara pasti, karena semua jalan adalah relatif.
Boleh jadi, demi pluralism agama di satu saat nanti menjelang ajal seorang Kyai boleh dibaptis, dan setelah dikubur seorang pendeta boleh ditalqin, agar di alam sana bisa ada alternatif surga yang menurut mereka sangat “plural” itu.
Lagenhausen seorang Muslim mengkritik keras faham ini, “Tujuan pluralisme untuk membangun toleransi itu baik tapi terlepas apapun tujuannya, konsepnya salah”, tulisnya (Dr Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism Journal Al-Tawhid, Vol. XIV, No. 3 ). Menurut HAMKA orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama. Jika ini makna pluralisme yang dimaksud kelompok pluralis liberal, maka fatwa Majelis Ulama Indonesia itu sungguh benar adanya.
Hypothesisnya kira-kira berbunyi begini:
Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheist.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1598421826964428&id=153825841424041
Semakin bodoh seseorang itu ia semakin religius dan semakin cerdas seseorang orang itu ia semakin sekuler dan bahkan atheist.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1598421826964428&id=153825841424041
Facebook
Mustanir Online Book Store
Worldview Koruptor
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Beberapa bulan lalu sebuah dialog di televisi swasta membahas perilaku korupsi penegak hukum dan koruptor. Hadir dalam acara itu para guru besar...
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Beberapa bulan lalu sebuah dialog di televisi swasta membahas perilaku korupsi penegak hukum dan koruptor. Hadir dalam acara itu para guru besar...
*KRITERIA PEMIMPIN*
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.
Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan tepercaya. “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashash :26)
Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh” artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.
Dari kriteria diatas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang Muslim dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang disimpulkan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan amanah jika ia tidak memahami syariah.
Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Alla
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“…….. jabatan adalah amanah, ia pada hari kiamat akan menjadikan yang meyandangnya hina dan menyesal kecuali yang mengambilnya dengan benar (bihaqqiha) dan menunaikan tugasnya dengan baik.” Itulah nasehat Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari yang meminta jabatan kepada beliau.
Sabda Nabi itu bukan hanya untuk Abu Dzar, tapi untuk umatnya. Nadanya seperti mengancam, tapi seorang Nabi peduli pada umatnya itu sedang mewanti-wanti. Ada tiga kriteria pejabat atau pemimpin (imam) yang tersembunyi dalam pesan diatas yaitu: amanah, mengambil dengan benar dan menunaikan dengan baik.
Kriteria diatas tidaklah sederhana. Sebab pemimpin dalam gambaran Nabi adalah pekerja bagi orang banyak, bukan sekedar penguasa. Dan pekerja seperti digambarkan oleh al-Qur’an harulah orang yang kuat dan tepercaya. “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qashash :26)
Kuat pada ayat diatas adalah kuat bekerja dalam memimpin. Sedang maksud amanah adalah tidak berkhianat dan tidak menyimpang, dengan motif karena takut kepada Allah. Maka sebagai pekerja untuk umat, sifat kuat bekerja adalah prasyarat penting pemimpin. Tapi yang lebih penting lagi adalah menjaga sifat amanah yang bisa hilang karena tuntutan pekerjaannya. (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Siyayah al-Syar’iyyah Fi Dhaui Nushus al-Syari’ah wa Maqashiduha).
Nabi pun konsisten dengan kriterianya. Khalid bin Walid dan ‘Amr bin Ash yang baru masuk Islam diberi jabatan pimpinan militer. Padahal ilmu keislaman mereka berdua belum memadai. Tapi ternyata keduanya dianggap kuat bekerja dan mampu menjaga amanah. Sebaliknya, orang sealim Abu Hurairah yang sangat kuat hafalan haditsnya dan banyak mendampingi Rasulullah tidak diberi jabatan apa-apa. Semangat Hasan bin Tsabit membela Islam juga tidak masuk kriteria orang yang layak memegang pimpinan atau jabatan. Tentu lagi-lagi karena tidak masuk kriteria pemimpin yang dicanangkan Nabi.
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khiyanat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) dan berpengetahuan (alim) (Yusuf; 54-55). Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi yaitu “hafizh” artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadits yang lain: “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafiza) atau menyia-nyaikannya.” (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat al-‘Alim. Artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya; mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka suatu bangsa jika pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diwanti-wanti Umar ibn Khattab bahwa “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”. Disini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Ringkasnya, pemimpin atau pejabat Muslim yang sesuai dengan ajaran Islam adalah yang bersifat amanah, memperolehnya dengan benar, menunaikan dengan baik, kuat, dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafiz) amanahnya dan berpengetahuan (alim) tentang tugas kepemimpinannya.
Dari kriteria diatas, nampaknya Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu harus seorang yang tinggi ilmunya dalam bidang agama. Seorang Muslim dengan kekuatan leadership dan amanahnya bisa menduduki jabatan tertinggi meski ilmu agamanya tidak setingkat ulama. Ini pulalah yang disimpulkan oleh Yusuf al-Qaradhawi. Namun, tidak berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler-liberal bisa masuk dalam kriteria Nabi diatas. Sebab seseorang tidak akan amanah jika ia tidak memahami syariah.
Pemimpin yang tidak tahu agama bisa lepas dari Tuhannya, atau jauh dari masyarakatnya. Sebab seorang pemimpin (amir/imam) memiliki dua tugas yakni : beribadah kepada Alla
h dan berkhidmat kepada masyarakat. Untuk beribadah diperlukan ilmu dan iman, untuk berkhidmat diperlukan ilmu untuk mensejahterakan rakyat. Oleh sebab,“Pemimpin yang tidak berusaha meningkatkan materi dan akhlaq serta kesejahteraan rakyat tidak akan masuk surga”. (HR Bukhari).
Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat, peduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.
Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta jabatan dan partai politiknya?
Kriteria pemimpin (amir/imam) yang dicanangkan Nabi dan ditambah dengan kriteria dari al-Qur’an itu diterjemahkan oleh al-Mawardi dalam al-Ahkam at-Sultaniyyah menjadi enam. Enam kriteria itu adalah berperilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indera yang sehat (khususnya alat dengar, melihat dan alat bicara), sehat secara fisik dan tidak cacat, peduli terhadap berbagai masalah, dan terakhir tegas dan percaya diri.
Namun, kriteria-kriteria diatas secara amali (praxis) berkulminasi pada dua sikap nurani yaitu pemimpin yang mencintai dan dicintai; yang mendoakan dan didoakan rakyat. Bukan pemimpin yang dibenci dan dikutuk oleh rakyat (HR Muslim). Tapi bagaimana akan mencintai rakyat jika pemimpin itu lebih cinta jabatan dan partai politiknya?
*CINTA TERKALANG*
Sebuah novel karya Buya Hamka
Snopsis:
Kebersamaan yang terjalin lama serta kesamaan nasib membuat benih cinta tumbuh antara Adnan dan Syamsiah. Dalam kediaman yang anggun, Syamsiah menitipkan cintanya pada takdir. Dalam perjuangan yang bergemuruh, Adnan memutuskan untuk merantau demi mendapatkan modal agar dapat menikahi Syamsiah - yang menurut adat istiadat Minangkabau sudah saatnya menikah.
Syamsiah menanti Adnan dengan perasaan rindu mendalam dan harap yang penuh kecemasan. Hatinya berdebar hebat saat mendapatkan surat yang berisi kabar bahwa Adnan akan segera pulang. Namun, setelah surat terakhir itu, Adnan tidak lagi memberi kabar ke kampung. Di tengah kegelisahan Syamsiah, muncullah seorang pemuda gagah yang kaya raya bernama Sutan Marah Husin. Syamsiah dihadapkan pada situasi yang membuatnya harus memilih. Keluarga yang terus mendesaknya untuk segera menikah, rasa cinta kepada Adnan yang masih bergolak dalam hatinya, dan kehadiran Sutan Marah Husin terus berkecamuk dalam batin Syamsiah.
*Siapakah yang akan dipilih oleh Syamsiah? Akankah takdir berpihak kepada Adnan?*
----------------------
CINTA TERKALANG
Sebuah novel karya Buya Hamka
Harga Rp. 60.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Sebuah novel karya Buya Hamka
Snopsis:
Kebersamaan yang terjalin lama serta kesamaan nasib membuat benih cinta tumbuh antara Adnan dan Syamsiah. Dalam kediaman yang anggun, Syamsiah menitipkan cintanya pada takdir. Dalam perjuangan yang bergemuruh, Adnan memutuskan untuk merantau demi mendapatkan modal agar dapat menikahi Syamsiah - yang menurut adat istiadat Minangkabau sudah saatnya menikah.
Syamsiah menanti Adnan dengan perasaan rindu mendalam dan harap yang penuh kecemasan. Hatinya berdebar hebat saat mendapatkan surat yang berisi kabar bahwa Adnan akan segera pulang. Namun, setelah surat terakhir itu, Adnan tidak lagi memberi kabar ke kampung. Di tengah kegelisahan Syamsiah, muncullah seorang pemuda gagah yang kaya raya bernama Sutan Marah Husin. Syamsiah dihadapkan pada situasi yang membuatnya harus memilih. Keluarga yang terus mendesaknya untuk segera menikah, rasa cinta kepada Adnan yang masih bergolak dalam hatinya, dan kehadiran Sutan Marah Husin terus berkecamuk dalam batin Syamsiah.
*Siapakah yang akan dipilih oleh Syamsiah? Akankah takdir berpihak kepada Adnan?*
----------------------
CINTA TERKALANG
Sebuah novel karya Buya Hamka
Harga Rp. 60.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
HADIAH UNTUK PEGAWAI
Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Banyak orang kini mengenal istilah “gratifikasi”, yakni uang/barang yang diberikan kepada pegawai negeri di luar gaji resmi. Dalam undang-undang Negara, pegawai yang menerima gratifikasi dinyatakan bersalah dan dikatagorikan menerima suap, kecuali kalau dilaporkan kepada lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bagaimana pandangan Islam terhadap gratifikasi atau hadiah pegawai ini?
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Dalam pandangan Islam, hadiah untuk pegawai semacam itu memang juga diharamkan.
Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali.“ (HR Bukhari dan Muslim).
Berkata Ibnu Abdul Barr dalam at-Tamhid, 2:9, “ Hadis tersbeut menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala: (yang artinya): “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “ (QS ali-Imran: 361).
Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, 3:313, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa hadis Abu Humaid as-Sa’idi itu menunjukkan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Itu karena pemberian kepada pegawai (zakat) tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang wajib zakat, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia memihak kepadanya ketika dalam persidangan.“
Yang termasuk dalam larangan hadis tersebut, misalnya, seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telepun yang terputus atau mengalami gangguan. Dia kemudian menerima atau meminta upah tambahan dari kerjanya dari para pelanggan, padahal, dia sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi hal itu bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak memberikannya sama sekali.
Haram juga, misalnya, seorang pegawai urusan haji yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di Mekah dan Madinah, kemudian ia menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dan menilep sisa anggaran. Akibatnya, jama’ah haji banyak yang terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang tidak layak dan jauh dari Masjidil Haram. Dan contoh-contoh sejenis.
Jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Tergantung pada lembaga tersebut, apakah akan mengijinkan untuk mengambil hadiah atau tidak. Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadi
Oleh: Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Banyak orang kini mengenal istilah “gratifikasi”, yakni uang/barang yang diberikan kepada pegawai negeri di luar gaji resmi. Dalam undang-undang Negara, pegawai yang menerima gratifikasi dinyatakan bersalah dan dikatagorikan menerima suap, kecuali kalau dilaporkan kepada lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bagaimana pandangan Islam terhadap gratifikasi atau hadiah pegawai ini?
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Dalam pandangan Islam, hadiah untuk pegawai semacam itu memang juga diharamkan.
Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : " Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali.“ (HR Bukhari dan Muslim).
Berkata Ibnu Abdul Barr dalam at-Tamhid, 2:9, “ Hadis tersbeut menunjukkan bahwa uang yang diambilnya tersebut adalah ghulul ( barang curian dari harta rampasan perang) dan hukumnya haram, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala: (yang artinya): “Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu “ (QS ali-Imran: 361).
Di dalam kitab Syarhu as-Sunnah, 3:313, Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa hadis Abu Humaid as-Sa’idi itu menunjukkan bahwa hadiah pegawai, pejabat, dan para hakim adalah haram. Itu karena pemberian kepada pegawai (zakat) tersebut, dimaksudkan agar dia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang mestinya menjadi kewajiban sang wajib zakat, dan bertujuan untuk mengurangi hak-hak orang-orang miskin. Adapun yang diberikan kepada para hakim, agar dia memihak kepadanya ketika dalam persidangan.“
Yang termasuk dalam larangan hadis tersebut, misalnya, seorang pegawai perusahaan telekomunikasi yang bertugas memperbaiki saluran atau kabel telepun yang terputus atau mengalami gangguan. Dia kemudian menerima atau meminta upah tambahan dari kerjanya dari para pelanggan, padahal, dia sudah mendapatkan gaji bulanan dari perusahaannya. Jika ia menghambil atau meminta upah lagi hal itu bisa merusak kerjanya, karena dia akan cenderung untuk mendahulukan para pelanggan yang memberikan kepadanya uang lebih, dan membiarkan pelanggan yang memberikan kepadanya uang sedikit atau yang tidak memberikannya sama sekali.
Haram juga, misalnya, seorang pegawai urusan haji yang ditugaskan untuk mengurusi penyewaan tempat tinggal atau asrama jama’ah haji selama di Mekah dan Madinah, kemudian ia menyewa tempat tinggal yang lebih murah, dan menilep sisa anggaran. Akibatnya, jama’ah haji banyak yang terpaksa tinggal di apartemen-apartemen yang tidak layak dan jauh dari Masjidil Haram. Dan contoh-contoh sejenis.
Jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Tergantung pada lembaga tersebut, apakah akan mengijinkan untuk mengambil hadiah atau tidak. Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadi
ah atau uang tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaannya sangat memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak berdampak kepada instansi atau lembaga yang mengutusnya. Misalnya, dengan memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai bekerja dan dia tidak lagi membutuhkan pegawai tersebut.
Menurut hemat penulis, sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang. Walaupun demikian, sebaiknya jika seseorang ingin membantunya hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya menjadi lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi menjaga diri dari sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Wallahu A’lam. (***)
Menurut hemat penulis, sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang. Walaupun demikian, sebaiknya jika seseorang ingin membantunya hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya menjadi lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi menjaga diri dari sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Wallahu A’lam. (***)
"Aku mencari adab itu seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang." (Imam Syafii).
Hampir-hampir porsi adab itu dalam agama 2/3 nya. (Ibnu mubarok).
Apakah adab itu? Bagaimanakah adab kepada orang-orang mulia dan yang lainnya? Temukan juga contoh ulama-ulama terdahulu mengajarkan adab.
Bersama Dr Adian Husaini dengan tajuk MENJADI MANUSIA YANG BERADAB.
Semoga bermanfaat.
Format Mp3- 30 Mb -1 Jam 12 Menit
https://www.dropbox.com/s/fjt9drf73bbb0vn/Dr%20Adian%20Husaini%20-%20Menjadi%20Manusia%20yang%20Beradab.mp3?dl=0
Hampir-hampir porsi adab itu dalam agama 2/3 nya. (Ibnu mubarok).
Apakah adab itu? Bagaimanakah adab kepada orang-orang mulia dan yang lainnya? Temukan juga contoh ulama-ulama terdahulu mengajarkan adab.
Bersama Dr Adian Husaini dengan tajuk MENJADI MANUSIA YANG BERADAB.
Semoga bermanfaat.
Format Mp3- 30 Mb -1 Jam 12 Menit
https://www.dropbox.com/s/fjt9drf73bbb0vn/Dr%20Adian%20Husaini%20-%20Menjadi%20Manusia%20yang%20Beradab.mp3?dl=0
Dropbox
Dr Adian Husaini - Menjadi Manusia yang Beradab.mp3
Shared with Dropbox
Dalam agama ada istilah yg dikenal dg ma'lumun minad din bidharury. Artinya, sudah jamak dan lumrah diketahui orang, tidak perlu diperdebatkan. Misalnya soal Allah itu Maha Esa, Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir, shalat itu wajib, shalat harus wudhu atau tayamum dulu, zina itu haram, amar makruf nahi mungkar itu kewajiban tiap orang, dsb. Kita tidak perlu lagi mengutak atik masalah ini, terutama hukum2nya. Kita hanya -kalau diperlukan, mengembangkan dan menafsirkan saja.
Namun, ada saja orang2 nyleneh yg ingin "mendobrak" hal2 yg sdh baku dalam agama ini. Sesuatu yg hukumnya sdh tetap disebutnya terdapat khilaf ulama (perbedaan antara ulama). Padahal ketika ditanya siapa ulama yg berbeda itu ya mereka tidak bisa menyebutkan. Kalaupun dipaksakan ya "ulama" versi mereka sendiri.
Contohnya adalah soal jilbab. Masalah ini sdh selesai sejak turun QS an-Nur 31 dan al-Ahzab 59. Tidak ada perdebatan dan perbedaan pendapat yg signifikan. Maka, tidak perlu kita berdebat, mengangkat2 pendapat mereka yg nyleneh, sungguhpun kita megelus dada membacanya, agar pendapat mereka tenggelam dg sendirinya. Dalam sejarah intelektual negeri ini memang ada saja upaya2 tsb. Misal, ada cendekiawan (saya kurang sreg menyebut mereka ulama) yg menghalalkan pernikahan beda agama. Lalu ada calon doktor yg menhalalkan zina, terakhir ada orang ngaku2 ustadz membolehkan bahkan memberikan contoh istrinya tidak berjilbab.
Dulu ada cendekiawan yg membolehkan nikah beda agama. Tp ketika putrinya sendiri nikah dg orang kafir, ia syok juga. Mungkin pendapatnya itu utk orang lain, jangan anaknya sendiri. Tp sekarang, ada ustadz dg bangga memamerkan istrinya melepas jilbab. Naudzu billah min dzalik. Sebuah kemajuan dilihat dari kesesatan dibanding sebelumnya. Maka, terhadap mereka tdk perlu didebat karena seringkali mereka hanya ingin mendapat perhatian saja, tidak benar2 serius berdalil. Cukup didiamkan saja dan jangan dibesar2kan.
Yg diperlukan adalah memperkuat keimanan dan ketakwaan diri dan keluarga masing2. Istri dan anak adalah tanggungjawab kita. Tugas kita menyelamatkan dan membentengi diri dan keluarga dari api neraka termasuk dari paham2 liberal dan sekuler. Semakin kuat nilai2 Islami dalam keluarga maka virus2 dari luar akan melemah dg sendirinya.
Ingat firman Allah, "Wahai orang-orang yg beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...." (QS at-Tahrim: 6)
-Dr. Budi Handrianto-
Namun, ada saja orang2 nyleneh yg ingin "mendobrak" hal2 yg sdh baku dalam agama ini. Sesuatu yg hukumnya sdh tetap disebutnya terdapat khilaf ulama (perbedaan antara ulama). Padahal ketika ditanya siapa ulama yg berbeda itu ya mereka tidak bisa menyebutkan. Kalaupun dipaksakan ya "ulama" versi mereka sendiri.
Contohnya adalah soal jilbab. Masalah ini sdh selesai sejak turun QS an-Nur 31 dan al-Ahzab 59. Tidak ada perdebatan dan perbedaan pendapat yg signifikan. Maka, tidak perlu kita berdebat, mengangkat2 pendapat mereka yg nyleneh, sungguhpun kita megelus dada membacanya, agar pendapat mereka tenggelam dg sendirinya. Dalam sejarah intelektual negeri ini memang ada saja upaya2 tsb. Misal, ada cendekiawan (saya kurang sreg menyebut mereka ulama) yg menghalalkan pernikahan beda agama. Lalu ada calon doktor yg menhalalkan zina, terakhir ada orang ngaku2 ustadz membolehkan bahkan memberikan contoh istrinya tidak berjilbab.
Dulu ada cendekiawan yg membolehkan nikah beda agama. Tp ketika putrinya sendiri nikah dg orang kafir, ia syok juga. Mungkin pendapatnya itu utk orang lain, jangan anaknya sendiri. Tp sekarang, ada ustadz dg bangga memamerkan istrinya melepas jilbab. Naudzu billah min dzalik. Sebuah kemajuan dilihat dari kesesatan dibanding sebelumnya. Maka, terhadap mereka tdk perlu didebat karena seringkali mereka hanya ingin mendapat perhatian saja, tidak benar2 serius berdalil. Cukup didiamkan saja dan jangan dibesar2kan.
Yg diperlukan adalah memperkuat keimanan dan ketakwaan diri dan keluarga masing2. Istri dan anak adalah tanggungjawab kita. Tugas kita menyelamatkan dan membentengi diri dan keluarga dari api neraka termasuk dari paham2 liberal dan sekuler. Semakin kuat nilai2 Islami dalam keluarga maka virus2 dari luar akan melemah dg sendirinya.
Ingat firman Allah, "Wahai orang-orang yg beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...." (QS at-Tahrim: 6)
-Dr. Budi Handrianto-
Kisah-Kisah Nubuat dari Nabi SAW
Penulis: Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar
Sinopsis:
Buku ini ini berisi kisah-kisah umat-umat terdahulu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Bersumber dari hadits-hadits yang sahih secara isi maupun periwayatan. Kisah-kisah tersebut merupakan bekal rohani yang menyirami ruh, hati, dan akal, yang mengalir dalam jiwa secara lembut dan murni.
Secara garis besar isi buku ini memuat lima kategori kisah-kisah:
Kisah-kisah para nabi dan rasul, yang tidak ada di dalam Al-Qur’an, seperti kisah Yusya’ dan kisah nabi yang membakar sarang semut. Kisah-kisah yang menunjukkan keajaiban takdir Allah, seperti kisah sapi yang berbicara kepada penunggangnya dan serigala yang berbicara kepada penggembala. Kisah-kisah yang menunjukkan keutamaan amal, seperti kisah pembunuh seratus nyawa dan kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua.Kisah-kisah teladan iman yang luhur, seperti kisah orang yang berpenyakit lepra, berkepala botak, dan orang buta yang diuji oleh Allah. Kisah-kisah keteladanan yang buruk, seperti kisah orang yang membanggakan nenek moyangnya yang kafir dan kisah orang-orang yang masuk desa dengan merangkak di atas pantat.
Buku ini juga menyajikan hadits-hadits yang merupakan penjelas dan pemerinci kisah-kisah yang ada di dalam Al-Qur’an, seperti kisah tentang Musa dengan Khadhir di dalam surah Al-Kahf dan kisah Jibril menyumpalkan tanah ke mulut Fir’aun.
Yang jelas, buku ini menyuguhkan bekal untuk para penuntut ilmu dan penutur kebajikan. Kata-kata dan peristiwa-peristiwanya membawa segudang nasihat dan faedah. Semoga buku ini bisa menjadi pemandu arah ke jalan yang lurus dan menjadi pelecut untuk menjauhi dosa-dosa dan kerusakan.
-----------------------------------
Kisah-Kisah Nubuat dari Nabi SAW
Penulis: Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar
Ukuran: 17×24 cm
Tebal: 446 hlm
Berat: 1 kg
ISBN: 978-602-6579-08-9
Harga: Rp 130.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar
Sinopsis:
Buku ini ini berisi kisah-kisah umat-umat terdahulu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Bersumber dari hadits-hadits yang sahih secara isi maupun periwayatan. Kisah-kisah tersebut merupakan bekal rohani yang menyirami ruh, hati, dan akal, yang mengalir dalam jiwa secara lembut dan murni.
Secara garis besar isi buku ini memuat lima kategori kisah-kisah:
Kisah-kisah para nabi dan rasul, yang tidak ada di dalam Al-Qur’an, seperti kisah Yusya’ dan kisah nabi yang membakar sarang semut. Kisah-kisah yang menunjukkan keajaiban takdir Allah, seperti kisah sapi yang berbicara kepada penunggangnya dan serigala yang berbicara kepada penggembala. Kisah-kisah yang menunjukkan keutamaan amal, seperti kisah pembunuh seratus nyawa dan kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua.Kisah-kisah teladan iman yang luhur, seperti kisah orang yang berpenyakit lepra, berkepala botak, dan orang buta yang diuji oleh Allah. Kisah-kisah keteladanan yang buruk, seperti kisah orang yang membanggakan nenek moyangnya yang kafir dan kisah orang-orang yang masuk desa dengan merangkak di atas pantat.
Buku ini juga menyajikan hadits-hadits yang merupakan penjelas dan pemerinci kisah-kisah yang ada di dalam Al-Qur’an, seperti kisah tentang Musa dengan Khadhir di dalam surah Al-Kahf dan kisah Jibril menyumpalkan tanah ke mulut Fir’aun.
Yang jelas, buku ini menyuguhkan bekal untuk para penuntut ilmu dan penutur kebajikan. Kata-kata dan peristiwa-peristiwanya membawa segudang nasihat dan faedah. Semoga buku ini bisa menjadi pemandu arah ke jalan yang lurus dan menjadi pelecut untuk menjauhi dosa-dosa dan kerusakan.
-----------------------------------
Kisah-Kisah Nubuat dari Nabi SAW
Penulis: Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar
Ukuran: 17×24 cm
Tebal: 446 hlm
Berat: 1 kg
ISBN: 978-602-6579-08-9
Harga: Rp 130.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Maka dengan menggunakan teori batas Syahrur, apa yang disebut aurat bagi wanita menjadi sangat fleksibel. Batasan minimal yang ditetapkan Syahrur, akan mendorong wanita muslimah berbondong-bondong terjun ke dunia hiburan yang permisif. Mereka pun tidak ragu lagi untuk berbikini di pantai-pantai maupun di pusat perbelanjaan.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1606097229530221&id=153825841424041
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1606097229530221&id=153825841424041
Negara dan Agama
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
RUU Sisdiknas khususnya pasal 12 ayat 1 (a) menghadapi keberatan kaum Nasrani karena motif tertentu. Kini muncul pandangan yang mulai meragukan urgensi dan efektifitas pendidikan agama dan bahkan agama bagi peningkatan moralitas bangsa.
Diskursus mengenai urgensi pendidikan agama di negeri ini sebaiknya dihubungkan dengan ideologi formal negeri ini. Terlepas dari wacana yang berkembang, secara ideologis negeri ini telah mendasarkan dirinya pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Sila Pertama).
Secara konstitusional negara memberi hak hidup kepada agama-agama (UUD pasal 29). Dan pada prakteknya negara ikut campur dalam urusan agama. Institusi atau departemen yang mengatur agama didirikan dan bahkan partai politik yang berdasarkan agama dibolehkan. Para pemimpin negeri ini bisa menggunakan isu agama untuk kepentingan politik.
Jika Pancasila dipahami dalam bentuk piramida terbalik, maka sila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, harus menjadi landasan segala sistem di negeri ini. Dan jikapun dipahami dalam bentuk struktur kerucut maka sila itu menjadi tujuan segala sistemnya.
Oleh sebab itu negara Republik Indonesia secara ideologis dan konstitusional berhak mengatur kehidupan beragama rakyatnya, termasuk pendidikan agama. Negara ini adalah negara berketuhanan dan bukan negara sekuler.
Jika negara ini telah disepakati sebagai negara berketuhanan, maka baik-buruk moralitas bangsa ini tidak lepas dari tanggungjawab pemerintah. Ini berarti bahwa sistem dan kebijaksanaan pemerintah di segala bidang harus senantiasa berdasarkan pada prinsip ketuhanan yang kondusif bagi pembinaan moralitas bangsa. Sistem pendidikan nasional adalah salah satu dari sekian sistem yang berhubungan dengan pembinaan moral bangsa.
Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dan swasta memiliki landasan konstitusional. Bahkan harus terus dipertahankan dan dikembangkan sehingga efektif dalam mendukung pembinaan moral (character building) bangsa ini.
Persoalannya, apakah pendidikan agama yang sekarang ini dilaksanakan telah benar-benar efektif. Jika jawabnya adalah negatif maka diperlukan clinical remedy atau rekonstruksi materi pelajaran agama. Dan disini perlu melibatkan pakar masing-masing agama untuk menentukan kualitas materi dan pakar bidang pendidikan untuk metodologi.
Seperti disinggung diatas, di negeri yang menjunjung prinsip ketuhanan ini, rasanya tidak perlu lagi mempersoalkan apakah pendidikan agama perlu diajarkan di sekolah atau tidak. Ide meniadakan pendidikan agama dengan alasan masih adanya dekadensi moral di masyarakat, rasanya terlalu simplistik. Sama halnya dengan logika Gulliver Traveller, “Jika sepatu anda kotor anda tidak perlu membersihkan karena nanti akan kotor lagi”. Juga jika ekonomi negara ini mundur maka pelajaran dan fakultas ekonomi sebaiknya dibubarkan.
Kebobrokan moral bangsa saat ini tidak dapat dinilai dari variable agama saja. Bahkan variable-variable dalam agama seperti jumlah pelaksana haji, jumlah masjid dan gereja, atau simbol-simbol ritual lainnya tidaklah cukup. Variable lain-lain seperti kebijakan politik pemerintah, rekrutmen pegawai, pembangunan suprastruktur dan infrastruktur dan lain sebagainya, selama ini tidak meletakkan peran agama secara proporsional.
Korelasi bahwa “Semakin banyak jumlah penduduk yang naik haji semakin baiklah moralitas bangsa” adalah korelasi yang tidak signifikan. Haji sendiri bukan ukuran keimanan dan moralitas seseorang.
Selain itu perlu dipertanyakan pula apakah populasi pelaksanakan haji atau pengunjung gereja dan populasi yang melakukan tindakan amoral itu sama. Apakah para koruptor itu adalah orang yang benar-benar taat beragama.
Korupsi, manipulasi, kolusi dan tindakan amoral lainnya, sejatinya adalah produk dari sistem yang tidak adil. Kotornya sungai Ciliwung bukan karena salah ulama atau pelajaran agama di sekolah, tapi karena bobroknya sistem sanitasi yang dibangun pemerintah yang korup. Perampokan, pembunuhan, penipuan dan lain-lain adalah buah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Sekarang marilah kita lihat negara
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
RUU Sisdiknas khususnya pasal 12 ayat 1 (a) menghadapi keberatan kaum Nasrani karena motif tertentu. Kini muncul pandangan yang mulai meragukan urgensi dan efektifitas pendidikan agama dan bahkan agama bagi peningkatan moralitas bangsa.
Diskursus mengenai urgensi pendidikan agama di negeri ini sebaiknya dihubungkan dengan ideologi formal negeri ini. Terlepas dari wacana yang berkembang, secara ideologis negeri ini telah mendasarkan dirinya pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Sila Pertama).
Secara konstitusional negara memberi hak hidup kepada agama-agama (UUD pasal 29). Dan pada prakteknya negara ikut campur dalam urusan agama. Institusi atau departemen yang mengatur agama didirikan dan bahkan partai politik yang berdasarkan agama dibolehkan. Para pemimpin negeri ini bisa menggunakan isu agama untuk kepentingan politik.
Jika Pancasila dipahami dalam bentuk piramida terbalik, maka sila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, harus menjadi landasan segala sistem di negeri ini. Dan jikapun dipahami dalam bentuk struktur kerucut maka sila itu menjadi tujuan segala sistemnya.
Oleh sebab itu negara Republik Indonesia secara ideologis dan konstitusional berhak mengatur kehidupan beragama rakyatnya, termasuk pendidikan agama. Negara ini adalah negara berketuhanan dan bukan negara sekuler.
Jika negara ini telah disepakati sebagai negara berketuhanan, maka baik-buruk moralitas bangsa ini tidak lepas dari tanggungjawab pemerintah. Ini berarti bahwa sistem dan kebijaksanaan pemerintah di segala bidang harus senantiasa berdasarkan pada prinsip ketuhanan yang kondusif bagi pembinaan moralitas bangsa. Sistem pendidikan nasional adalah salah satu dari sekian sistem yang berhubungan dengan pembinaan moral bangsa.
Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dan swasta memiliki landasan konstitusional. Bahkan harus terus dipertahankan dan dikembangkan sehingga efektif dalam mendukung pembinaan moral (character building) bangsa ini.
Persoalannya, apakah pendidikan agama yang sekarang ini dilaksanakan telah benar-benar efektif. Jika jawabnya adalah negatif maka diperlukan clinical remedy atau rekonstruksi materi pelajaran agama. Dan disini perlu melibatkan pakar masing-masing agama untuk menentukan kualitas materi dan pakar bidang pendidikan untuk metodologi.
Seperti disinggung diatas, di negeri yang menjunjung prinsip ketuhanan ini, rasanya tidak perlu lagi mempersoalkan apakah pendidikan agama perlu diajarkan di sekolah atau tidak. Ide meniadakan pendidikan agama dengan alasan masih adanya dekadensi moral di masyarakat, rasanya terlalu simplistik. Sama halnya dengan logika Gulliver Traveller, “Jika sepatu anda kotor anda tidak perlu membersihkan karena nanti akan kotor lagi”. Juga jika ekonomi negara ini mundur maka pelajaran dan fakultas ekonomi sebaiknya dibubarkan.
Kebobrokan moral bangsa saat ini tidak dapat dinilai dari variable agama saja. Bahkan variable-variable dalam agama seperti jumlah pelaksana haji, jumlah masjid dan gereja, atau simbol-simbol ritual lainnya tidaklah cukup. Variable lain-lain seperti kebijakan politik pemerintah, rekrutmen pegawai, pembangunan suprastruktur dan infrastruktur dan lain sebagainya, selama ini tidak meletakkan peran agama secara proporsional.
Korelasi bahwa “Semakin banyak jumlah penduduk yang naik haji semakin baiklah moralitas bangsa” adalah korelasi yang tidak signifikan. Haji sendiri bukan ukuran keimanan dan moralitas seseorang.
Selain itu perlu dipertanyakan pula apakah populasi pelaksanakan haji atau pengunjung gereja dan populasi yang melakukan tindakan amoral itu sama. Apakah para koruptor itu adalah orang yang benar-benar taat beragama.
Korupsi, manipulasi, kolusi dan tindakan amoral lainnya, sejatinya adalah produk dari sistem yang tidak adil. Kotornya sungai Ciliwung bukan karena salah ulama atau pelajaran agama di sekolah, tapi karena bobroknya sistem sanitasi yang dibangun pemerintah yang korup. Perampokan, pembunuhan, penipuan dan lain-lain adalah buah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Sekarang marilah kita lihat negara
Amerika atau negara Barat lainya. Ekonomi mereka maju, kehidupan publiknya nyaman, sistem sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik tinggi.
Tapi, perlu diingat bahwa disana agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Perayaan natal meriah, hari raya idul adha tidak boleh di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon.
Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan shalat 5 waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.
Apa yang disebut prinsip moral, sejatinya tidak jelas, ia berbeda dan malah bertentangan dengan arti akhlak dalam Islam. Agama direduksi menjadi convensi publik, tuhan telah lama mati. Seorang Muslimah yang menikah umur 17 tahun dan hamil, misalnya melanggar hukum, tapi seorang gadis Amerika yang hamil di luar nikah tidak salah. Dimanakah letak kebebasan beragamanya?
Di negara yang berketuhanan ini, agama perlu masuk kedalam urusan publik. Bahkan pemerintah perlu memasukkan kedalam setiap sistem secara jelas. Prinsip keadilan harus ditegakkan, “Segala sesuatu diletakkan sesuai dengan tempat dan proporsinya.” Pendidikan agama di sekolah ditingkatkan dan kalau perlu ditambah.
Dalam konteks RUU Sisdiknas, khususnya pasal 13 ayat 1 yang memberi hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan dan guru agama sesuai dengan agama masing-masing, sudah cukup adil.
Jika hak warga negara memperoleh pendidikan agama dicabut, itu jelas tidak adil. Lebih tidak adil lagi jika semua siswa diwajibkan belajar semua agama, sebab seorang murid Muslim akan menerima sesuatu yang tidak diperlukannya, demikian pula murid Kristen, Hindu dan sebagainya.
Adil artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau sesuai proporsinya. Dan ini bukan perkara mudah, sehingga yang berhasil dapat dicap paling dekat dengan ketakwaan (aqrabu li al-taqwa).
Tapi, perlu diingat bahwa disana agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Perayaan natal meriah, hari raya idul adha tidak boleh di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon.
Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan shalat 5 waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.
Apa yang disebut prinsip moral, sejatinya tidak jelas, ia berbeda dan malah bertentangan dengan arti akhlak dalam Islam. Agama direduksi menjadi convensi publik, tuhan telah lama mati. Seorang Muslimah yang menikah umur 17 tahun dan hamil, misalnya melanggar hukum, tapi seorang gadis Amerika yang hamil di luar nikah tidak salah. Dimanakah letak kebebasan beragamanya?
Di negara yang berketuhanan ini, agama perlu masuk kedalam urusan publik. Bahkan pemerintah perlu memasukkan kedalam setiap sistem secara jelas. Prinsip keadilan harus ditegakkan, “Segala sesuatu diletakkan sesuai dengan tempat dan proporsinya.” Pendidikan agama di sekolah ditingkatkan dan kalau perlu ditambah.
Dalam konteks RUU Sisdiknas, khususnya pasal 13 ayat 1 yang memberi hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan dan guru agama sesuai dengan agama masing-masing, sudah cukup adil.
Jika hak warga negara memperoleh pendidikan agama dicabut, itu jelas tidak adil. Lebih tidak adil lagi jika semua siswa diwajibkan belajar semua agama, sebab seorang murid Muslim akan menerima sesuatu yang tidak diperlukannya, demikian pula murid Kristen, Hindu dan sebagainya.
Adil artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau sesuai proporsinya. Dan ini bukan perkara mudah, sehingga yang berhasil dapat dicap paling dekat dengan ketakwaan (aqrabu li al-taqwa).
SATU TUHAN, SATU AGAMA!
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku. Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini.
Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih. Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta. Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN Jakarta.
Tentu, usaha penulis buku ini dalam mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh sufi tersebut perlu diberikan apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka kajian-kajian semacam ini yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi, sebagai karya terbuka, tentu buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini catatan kritis untuk buku ini:
Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions) sebagai dasar analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari konsep ini. Tidak ada catatan kritis apa pun terhadap konsep KTAA tersebut. Penulis buku ini sudah meyakini kebenaran konsep tersebut dan kemudian berusaha mencari legitimasi pada karya-karya klasik dan kontemporer dari para ulama dan sarjana Muslim klasik dan kontemporer.
Padahal, jika ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks dan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal. 21).
Itulah salah satu keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak “klaim kebenaran” dari masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan, bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru anti-pluralisme!
Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di dalam buku ini, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hal. 379).
Logikanya, jika ia mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham, seharusnya dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai berbagai kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme. Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hal. 379-380).
Kita balik bertanya, jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang benar, dan menyerang paham yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan sempit? Seorang “pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum pluralis ini memang mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar sendiri dengan pendapatnya, tetapi
Oleh: Dr. Adian Husaini
Dalam beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku. Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini.
Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih. Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta. Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN Jakarta.
Tentu, usaha penulis buku ini dalam mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh sufi tersebut perlu diberikan apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka kajian-kajian semacam ini yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi, sebagai karya terbuka, tentu buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini catatan kritis untuk buku ini:
Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions) sebagai dasar analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari konsep ini. Tidak ada catatan kritis apa pun terhadap konsep KTAA tersebut. Penulis buku ini sudah meyakini kebenaran konsep tersebut dan kemudian berusaha mencari legitimasi pada karya-karya klasik dan kontemporer dari para ulama dan sarjana Muslim klasik dan kontemporer.
Padahal, jika ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks dan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal. 21).
Itulah salah satu keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak “klaim kebenaran” dari masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan, bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru anti-pluralisme!
Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di dalam buku ini, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hal. 379).
Logikanya, jika ia mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham, seharusnya dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai berbagai kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme. Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hal. 379-380).
Kita balik bertanya, jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang benar, dan menyerang paham yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan sempit? Seorang “pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum pluralis ini memang mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar sendiri dengan pendapatnya, tetapi
menyalahkan umat beragama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri!
Kedua, dalam buku ini tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa batasannya? Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hal. 380).
Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa jumlah agama di dunia ini adalah ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama Bhairawatantra yang hidup di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).
Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam? Di era modern ini, masih banyak dijumpai agama yang mengajarkan agar pemimpin dan jemaatnya semuanya bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada juga agama pemuja setan. Maka, bisa juga ditanyakan, saat menulis bukunya ini, si dosen Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang memeluk dan meyakini agama apa? Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika dipungut oleh para pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah satu bentuk ritual suci kepada Tuhan!
Ketiga, sebagaimana kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku ini juga mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya sendiri, yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, ia menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan Bahaisme adalah dua agama yang secara eksplisit mengapresiasi pluralisme agama, dalam arti mengakui jalan-jalan keselamatan pada agama-agama lain, Bhagawatgita, salah satu kitab suci Hindu, memuat dua sloka popular yang selalu menjadi rujukan bagi pluralisme. Sloka itu berbunyi:
“Jalan mana pun ditempuh manusia
ke arah-Ku, semuanya Kuterima.
Wahai Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku
pada semua jalan.” (hal. 381).
Benarkah agama Hindu kondisinya seperti itu? Ternyata, ungkapan itu hanya khayalan penulis saja! Tahun 2006, terbit sebuah buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian kaum Pluralis yang suka mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”
Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” (Lihat, Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx.)
Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit” dengan menyimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hi
Kedua, dalam buku ini tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa batasannya? Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hal. 380).
Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa jumlah agama di dunia ini adalah ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama Bhairawatantra yang hidup di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011).
Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam? Di era modern ini, masih banyak dijumpai agama yang mengajarkan agar pemimpin dan jemaatnya semuanya bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada juga agama pemuja setan. Maka, bisa juga ditanyakan, saat menulis bukunya ini, si dosen Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang memeluk dan meyakini agama apa? Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika dipungut oleh para pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah satu bentuk ritual suci kepada Tuhan!
Ketiga, sebagaimana kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku ini juga mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya sendiri, yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, ia menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan Bahaisme adalah dua agama yang secara eksplisit mengapresiasi pluralisme agama, dalam arti mengakui jalan-jalan keselamatan pada agama-agama lain, Bhagawatgita, salah satu kitab suci Hindu, memuat dua sloka popular yang selalu menjadi rujukan bagi pluralisme. Sloka itu berbunyi:
“Jalan mana pun ditempuh manusia
ke arah-Ku, semuanya Kuterima.
Wahai Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku
pada semua jalan.” (hal. 381).
Benarkah agama Hindu kondisinya seperti itu? Ternyata, ungkapan itu hanya khayalan penulis saja! Tahun 2006, terbit sebuah buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian kaum Pluralis yang suka mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”
Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” (Lihat, Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx.)
Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit” dengan menyimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hi
ndu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.”
Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri!
Sebagaimana sejumlah penganut paham pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini pun mencoba mencari legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Sabean untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw., karena masing-masing umat memiliki wahyu dan nabi yang khusus, unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).
Jika si penulis buku tersebut mau meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis semacam itu. Dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena al-Quran merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. (Lebih jauh tentang keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99).
Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sama sekali tidak berpendapat seperti yang ditulis oleh penulis buku ini. Secara ilmiah, cara-cara seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh seorang dosen Ushuluddin.
Keempat, penulis buku menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi dari para sarjana ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha. (hal. 2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut dengan mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron di Majalah Islamia, Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi Tentang Pluralisme Agama.” Padahal, Dr Mohd. Sani bin Badron telah menulis Tesis yang serius berjudul “Ibn al-Arabi’s Conception of Religion.” Tesis Sani bin Badron ini tidak ditemukan dalam daftar referensi buku ini.
Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin Badron mengkritik cara berpikir kaum Transendentalis yang memaksakan posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir mereka: “Then only may we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi – how far the Trancendentalists have been right or have been deviated by their own belief.”
Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan kajian serius tentang konsep agama-agama Ibn Arabi yang mengkritik cara-cara kaum Transendentalis dalam membaca karya Ibn Arabi. Berikut ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif berjudul “Pluralisme” dan Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan
Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri!
Sebagaimana sejumlah penganut paham pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini pun mencoba mencari legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Sabean untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw., karena masing-masing umat memiliki wahyu dan nabi yang khusus, unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).
Jika si penulis buku tersebut mau meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis semacam itu. Dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi.
Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena al-Quran merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. (Lebih jauh tentang keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99).
Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sama sekali tidak berpendapat seperti yang ditulis oleh penulis buku ini. Secara ilmiah, cara-cara seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh seorang dosen Ushuluddin.
Keempat, penulis buku menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi dari para sarjana ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha. (hal. 2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut dengan mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron di Majalah Islamia, Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi Tentang Pluralisme Agama.” Padahal, Dr Mohd. Sani bin Badron telah menulis Tesis yang serius berjudul “Ibn al-Arabi’s Conception of Religion.” Tesis Sani bin Badron ini tidak ditemukan dalam daftar referensi buku ini.
Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin Badron mengkritik cara berpikir kaum Transendentalis yang memaksakan posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir mereka: “Then only may we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi – how far the Trancendentalists have been right or have been deviated by their own belief.”
Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan kajian serius tentang konsep agama-agama Ibn Arabi yang mengkritik cara-cara kaum Transendentalis dalam membaca karya Ibn Arabi. Berikut ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif berjudul “Pluralisme” dan Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan