ya. Apabila kaum kafir melancarkan 'udwan, muqatalah, zhulm, dan fitnah terhadap Islam dan umat Islam.
Oleh karena itu, tujuan jihad jelas, untuk mempertahankan diri dan menangkis serangan lawan, menegakkan agama Allah, melepaskan umat Islam dari belenggu penindasan, menjamin dan melindungi hak-hak mereka, mengakhiri kezaliman dan permusuhan, demi terciptanya kedamaian dan keadilan (QS 4: 75). Musuh tidak dicari, tapi kalau bertemu pantang lari. Begitulah prinsip yang diajarkan (QS 8: 15 dan 47: 4). Jihad hanya dihentikan jika musuh berhenti menyerang dan setuju berdamai, jika mereka berjanji tidak akan menekan dan memusuhi umat Islam lagi (QS 2: 193 dan 8: 61).
Sudah barang tentu, jihad memerlukan kalkulasi cermat dan persiapan matang (QS 8: 60), koordinasi yang mantap serta strategi yang tepat dan jitu (QS 61: 4 dan 3: 200). Berjihad tidak boleh sembrono atau asal-asalan, tidak boleh membabi-buta dan mengikuti hawa nafsu belaka.
Ada banyak perkara yang perlu diperhatikan oleh seorang mujahid. Pertama, niat yang betul, yakni li-i'la'i kalimatillah, bukan untuk gagah-gagahan, cari popularitas, dan tujuan duniawi lainnya. Kedua, harus di bawah komando seorang imam dan setelah ada deklarasi perang. Ketiga, harus seizin kedua orang tua.
Keempat, harus banyak berzikir, berdoa, dan bersabar. Kelima, harus memberi kesempatan terakhir kepada musuh sebelum berperang dengan mengajak mereka masuk Islam atau membayar jizyah. Keenam, dilarang membunuh kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Ketujuh, tidak boleh merusak lingkungan hidup, rumah ibadah, dan fasilitas umum (lihat Abu Bakr al-Jaza'iri, Minhajul Muslim, Kairo, Dar al-Aqidah, hlm 272-275).
Berjihad merupakan fardhu kifayah. Artinya, tidak perlu semuanya pergi ke medan perang. Harus ada juga yang ditugaskan membangun umat di sektor lain, terutama pendidikan (QS 9: 122). Jihad bisa menjadi fardhu ayn apabila kampung halaman kita diserang dan diduduki musuh (seperti terjadi pada zaman kolonial dahulu, sekarang, maupun mendatang).
Namun demikian, terdapat puluhan ayat Alquran dan hadis Nabi SAW yang menerangkan keutamaan jihad dan penghargaan yang akan diperoleh seorang mujahid, apalagi untuk mereka yang gugur sebagai syuhada (Imam an-Nawawi, Riyadh as-Shalihin, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1422 H/2002, 415-435).
Dalam konteks Indonesia dan negara Muslim lainnya dewasa ini, di mana Islam belum total direalisasikan, para tokoh gerakan Islam umumnya berpendapat agenda utama yang mesti didahulukan saat ini adalah membina individu dan organisasi Muslim serta membangun kekuatan umat pada semua lini.
Dengan kata lain, belum tiba masanya bagi orang Islam sekarang ini untuk melakukan konfrontasi militer melainkan dalam kasus-kasus yang kita semua maklum (lihat: Husayn ibn Muhammad ibn Ali Jabir, at-Thariq ila Jama'at al-Muslimin, Dar al-Wafa', 1407 H/1987). Wallahu a'lam. n
---------------
Artikel ini dimuat di Repulika Online 18 Januari 2016
Oleh karena itu, tujuan jihad jelas, untuk mempertahankan diri dan menangkis serangan lawan, menegakkan agama Allah, melepaskan umat Islam dari belenggu penindasan, menjamin dan melindungi hak-hak mereka, mengakhiri kezaliman dan permusuhan, demi terciptanya kedamaian dan keadilan (QS 4: 75). Musuh tidak dicari, tapi kalau bertemu pantang lari. Begitulah prinsip yang diajarkan (QS 8: 15 dan 47: 4). Jihad hanya dihentikan jika musuh berhenti menyerang dan setuju berdamai, jika mereka berjanji tidak akan menekan dan memusuhi umat Islam lagi (QS 2: 193 dan 8: 61).
Sudah barang tentu, jihad memerlukan kalkulasi cermat dan persiapan matang (QS 8: 60), koordinasi yang mantap serta strategi yang tepat dan jitu (QS 61: 4 dan 3: 200). Berjihad tidak boleh sembrono atau asal-asalan, tidak boleh membabi-buta dan mengikuti hawa nafsu belaka.
Ada banyak perkara yang perlu diperhatikan oleh seorang mujahid. Pertama, niat yang betul, yakni li-i'la'i kalimatillah, bukan untuk gagah-gagahan, cari popularitas, dan tujuan duniawi lainnya. Kedua, harus di bawah komando seorang imam dan setelah ada deklarasi perang. Ketiga, harus seizin kedua orang tua.
Keempat, harus banyak berzikir, berdoa, dan bersabar. Kelima, harus memberi kesempatan terakhir kepada musuh sebelum berperang dengan mengajak mereka masuk Islam atau membayar jizyah. Keenam, dilarang membunuh kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia. Ketujuh, tidak boleh merusak lingkungan hidup, rumah ibadah, dan fasilitas umum (lihat Abu Bakr al-Jaza'iri, Minhajul Muslim, Kairo, Dar al-Aqidah, hlm 272-275).
Berjihad merupakan fardhu kifayah. Artinya, tidak perlu semuanya pergi ke medan perang. Harus ada juga yang ditugaskan membangun umat di sektor lain, terutama pendidikan (QS 9: 122). Jihad bisa menjadi fardhu ayn apabila kampung halaman kita diserang dan diduduki musuh (seperti terjadi pada zaman kolonial dahulu, sekarang, maupun mendatang).
Namun demikian, terdapat puluhan ayat Alquran dan hadis Nabi SAW yang menerangkan keutamaan jihad dan penghargaan yang akan diperoleh seorang mujahid, apalagi untuk mereka yang gugur sebagai syuhada (Imam an-Nawawi, Riyadh as-Shalihin, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1422 H/2002, 415-435).
Dalam konteks Indonesia dan negara Muslim lainnya dewasa ini, di mana Islam belum total direalisasikan, para tokoh gerakan Islam umumnya berpendapat agenda utama yang mesti didahulukan saat ini adalah membina individu dan organisasi Muslim serta membangun kekuatan umat pada semua lini.
Dengan kata lain, belum tiba masanya bagi orang Islam sekarang ini untuk melakukan konfrontasi militer melainkan dalam kasus-kasus yang kita semua maklum (lihat: Husayn ibn Muhammad ibn Ali Jabir, at-Thariq ila Jama'at al-Muslimin, Dar al-Wafa', 1407 H/1987). Wallahu a'lam. n
---------------
Artikel ini dimuat di Repulika Online 18 Januari 2016
ISLAM MENILAI HAM
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Direktur INSISTS)
“In the modern world one concept which is most affected by the dominance of secularisme is that of freedom. The discussion of the concept of freedom in the West today is so deeply influenced by the Renaisance and post-Renaisance notion of man..that it is difficult to envisage the very meaning of freedom in the context of a traditional civilization such as Islam.” (S.H.Nasr).
Topik kebebasan dan hak asasi manusia adalah topik universal, namun ia tidak berarti netral. Sebab pembahasan mengenai kebebasan dan HAM pada umumnya hanya dalam perspektif manusia yang dalam peradaban Barat telah terbentuk dalam doktrin humanisme. Humanisme sendiri selalu dihadapkan atau berhadap-hadapan dengan agama. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Manusia lebih penting dari agama, dan sikap manusiawi seakan menjadi lebih mulia daripada sikap religius.
Dalam situasi seperti ini topik mengenai kebebasan beragama dipersoalkan. Akibatnya terjadi ketegangan dan perebutan makna kebebasan beragama antara agama dan humanisme. Humanisme tidak merujuk kepada agama dalam memaknai kebebasan beragama. Dan agama memaknai kebebasan dengan menggunakan acuan internal agama masing-masing.
Humanisme dianggap anti agama dan sebaliknya agama dapat dituduh anti kemanusiaan. Ketegangan ini perlu diselesaikan melalui kompromi ditingkat konsep dan kemudian dikembangkan pada tingkat sosial atau politik. Dan untuk itu agama-agama perlu membeberkan makna dan batasan atau tolok ukur kebebasannya masing-masing. Sementara itu prinsip-prinsip HAM perlu mempertimbangkan prinsip internal agama-agama.
Salah satu prestasi kemanusiaan setelah Perang Dunia ke II adalah konseptualisasi dan penyebaran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Deklarasi itu, bersamaan dengan dua Kovenan Internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, Cultural Right tahun 1966 secara umum kemudian dikenal sebagai International Bill of Human Right. Secara umum Deklarasi dan dua Kovenan itu merupakan usaha bersama untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, berkeadilan dan kerjasama internasional yang berguna bagi semua.
Namun dibanding dua Kovenan itu, Deklarasi itu sejak awal telah menuai banyak kritikan dan keberatan. Mungkin ini dikarenakan oleh situasi ketika Deklarasi itu disusun. Faktanya Deklarasi itu disusun oleh segelintir orang, tidak representatif dan umumnya didominasi oleh orang Barat, dan ketika itu orang-orang dari Afro-Asia sedang berada dibawah penguasa kolonial. Konsekuensinya, tidak banyak ide-ide yang masuk dan diperdebatkan serta didiskusikan khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Asia dan Afrika, lebih-lebih nilai-nilai keagamaan dari berbagai agama di dunia.
Akibatnya, agama-agama itu hampir secara keseluruhannya merasa tidak puas, meskipun tidak selalu diekspresikan secara terus terang. Ketidak-puasan kedua adalah ketika orang mulai berulang ulang mendesak agama-agama di dunia untuk mendukung atau mengakomodir Deklarasi atau dokumen lain yang berkaitan dengan HAM. Latar belakangnya, tampaknya adalah karena adanya asumsi bahwa agama adalah penghalang pelaksanaan dan penyebaran HAM. Agama akhirnya diletakkan secara vis a vis dengan HAM yang menekankan pada kebebasan dan keadilan.
Karena situasi itu maka tidak heran jika utusan berbagai masyarakat beragama seluruh dunia mengusulkan agar Deklarasi dan dua Kovenan itu direvisi dan syarat-syaratnya dibuat lebih adil dengan memasukkan konsep-konsep yang berdasarkan agama baik spiritualitas maupun tanggung jawab. Peluncuran acara Project on Religion and Human Right, pada bulan Juli tahun 1993 di New York merupakan tonggak penting dalam hal ini. (Lihat, Arvind Sharma, “Towards a Declaration of Human Right by the World Religion” dalam Joseph Runzo, Nancy M. Martin and Abind Sharma, eds., Human Right and Responsibilities in the World Religion (Oxford: Oneworld, 2003).
Perkem
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
(Direktur INSISTS)
“In the modern world one concept which is most affected by the dominance of secularisme is that of freedom. The discussion of the concept of freedom in the West today is so deeply influenced by the Renaisance and post-Renaisance notion of man..that it is difficult to envisage the very meaning of freedom in the context of a traditional civilization such as Islam.” (S.H.Nasr).
Topik kebebasan dan hak asasi manusia adalah topik universal, namun ia tidak berarti netral. Sebab pembahasan mengenai kebebasan dan HAM pada umumnya hanya dalam perspektif manusia yang dalam peradaban Barat telah terbentuk dalam doktrin humanisme. Humanisme sendiri selalu dihadapkan atau berhadap-hadapan dengan agama. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Manusia lebih penting dari agama, dan sikap manusiawi seakan menjadi lebih mulia daripada sikap religius.
Dalam situasi seperti ini topik mengenai kebebasan beragama dipersoalkan. Akibatnya terjadi ketegangan dan perebutan makna kebebasan beragama antara agama dan humanisme. Humanisme tidak merujuk kepada agama dalam memaknai kebebasan beragama. Dan agama memaknai kebebasan dengan menggunakan acuan internal agama masing-masing.
Humanisme dianggap anti agama dan sebaliknya agama dapat dituduh anti kemanusiaan. Ketegangan ini perlu diselesaikan melalui kompromi ditingkat konsep dan kemudian dikembangkan pada tingkat sosial atau politik. Dan untuk itu agama-agama perlu membeberkan makna dan batasan atau tolok ukur kebebasannya masing-masing. Sementara itu prinsip-prinsip HAM perlu mempertimbangkan prinsip internal agama-agama.
Salah satu prestasi kemanusiaan setelah Perang Dunia ke II adalah konseptualisasi dan penyebaran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Deklarasi itu, bersamaan dengan dua Kovenan Internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, Cultural Right tahun 1966 secara umum kemudian dikenal sebagai International Bill of Human Right. Secara umum Deklarasi dan dua Kovenan itu merupakan usaha bersama untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, berkeadilan dan kerjasama internasional yang berguna bagi semua.
Namun dibanding dua Kovenan itu, Deklarasi itu sejak awal telah menuai banyak kritikan dan keberatan. Mungkin ini dikarenakan oleh situasi ketika Deklarasi itu disusun. Faktanya Deklarasi itu disusun oleh segelintir orang, tidak representatif dan umumnya didominasi oleh orang Barat, dan ketika itu orang-orang dari Afro-Asia sedang berada dibawah penguasa kolonial. Konsekuensinya, tidak banyak ide-ide yang masuk dan diperdebatkan serta didiskusikan khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai Asia dan Afrika, lebih-lebih nilai-nilai keagamaan dari berbagai agama di dunia.
Akibatnya, agama-agama itu hampir secara keseluruhannya merasa tidak puas, meskipun tidak selalu diekspresikan secara terus terang. Ketidak-puasan kedua adalah ketika orang mulai berulang ulang mendesak agama-agama di dunia untuk mendukung atau mengakomodir Deklarasi atau dokumen lain yang berkaitan dengan HAM. Latar belakangnya, tampaknya adalah karena adanya asumsi bahwa agama adalah penghalang pelaksanaan dan penyebaran HAM. Agama akhirnya diletakkan secara vis a vis dengan HAM yang menekankan pada kebebasan dan keadilan.
Karena situasi itu maka tidak heran jika utusan berbagai masyarakat beragama seluruh dunia mengusulkan agar Deklarasi dan dua Kovenan itu direvisi dan syarat-syaratnya dibuat lebih adil dengan memasukkan konsep-konsep yang berdasarkan agama baik spiritualitas maupun tanggung jawab. Peluncuran acara Project on Religion and Human Right, pada bulan Juli tahun 1993 di New York merupakan tonggak penting dalam hal ini. (Lihat, Arvind Sharma, “Towards a Declaration of Human Right by the World Religion” dalam Joseph Runzo, Nancy M. Martin and Abind Sharma, eds., Human Right and Responsibilities in the World Religion (Oxford: Oneworld, 2003).
Perkem
bangan selanjutnya adalah revisi Deklarasi pada ulang tahun ke 50 Deklarasi dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies di universitas McGill, Montreal. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions. Acara ini dilanjutkan di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris pada acara UNESCO. Dan yang terakhir adalah di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Pertemuan terakhir itu menghasilkan usulan baru Deklarasi Universal dengan beberapa komentar yang merepresentasikan dunia agama. Ini sekedar menunjukkan bahwa Deklarasi yang dianggap “Universal” itu ternyata masih belum mengakomodir aspirasi agama-agama. Ini berarti bahwa diperlukan suatu Deklarasi yang adil, yang memberi hak dan pegakuan kepada individu dan juga kelompok khususnya institusi agama dan Negara untuk memberi makna tentang hak, kebebasan, moralitas, keadilan dan kehormatan sekaligus mempraktekkannya dalam kehidupan nyata yang beradab.
Dalam kasus diatas, sejalan dengan tuntutan agama-agama, Islam juga mempunyai persoalannya sendiri terhadap Deklarasi Universal HAM. Bagi umat Islam dan Negara-negara Islam, Deklarasi itu secara umum dapat diterima. Namun yang sejak awal menjadi masalah bagi umat Islam adalah pasal 18 yakni pasal mengenai hak beragama dan hak mengganti agama. Problem ini telah sejak awal disadari umat Islam. Selain itu pasal 16 Deklarasi HAM tentang perkawinan beda agama juga tidak dapat diterima kalangan Muslim.
Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dengan HAM. Ia bahkan sangat menghormati HAM. Tapi, konsep-konsep Islam tentang HAM diambil dan dirumuskan berdasarkan al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Maka, pada 1981, dalam sebuah Konferensi di London, sekelompok cendekiawan dan pemimpin Islam mendeklarasikan sebuah Piagam bernama ”Universal Islamic Declaration of Right”. Deklarasi ini berisi 23 pasal mengenai HAM menurut Islam. Deklarasi London kemudian diikuti oleh Deklarasi Cairo yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990.
Keseluruhan pasal-pasal dalam Deklarasi Cairo itu dapat disarikan menjadi 5 poin: (1) HAM dalam Islam diderivasi dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam manusia dianggap sebagai makhluk yang mulia. (QS. 17:70), (2) HAM dalam Islam adalah karunia dari Tuhan, dan bukan pemberian dari manusia kepada manusia lain dengan kehendak manusia (artinya, hak asasi dalam Islam adalah innate/fitrah), (3) HAM dalam Islam bersifat komprehensif. Termasuk didalamnya hak-hak dalam politik, ekonomi, social dan budaya, (4) HAM dalam Islam tidak terpisahkan dari syariah, (5) HAM dalam Islam tidak absolut karena dibatasi oleh obyek-obyek syariah dan oleh tujuan untuk menjaga hak dan kepentingan masyarakat yang didalamnya terdapat individu-individu.
Islam mengakui dan meyakini, manusia adalah hamba Allah. Maka, semua hak dan kewajiban yang melekat dalam dirinya juga merupakan anugerah Allah. Seorang Muslim yang masih menghargai imannya, tidak akan melepas keyakinannya ini, dan kemudian menukar dengan paham lain yang mencampakkan keimanannya. (***)
Dalam kasus diatas, sejalan dengan tuntutan agama-agama, Islam juga mempunyai persoalannya sendiri terhadap Deklarasi Universal HAM. Bagi umat Islam dan Negara-negara Islam, Deklarasi itu secara umum dapat diterima. Namun yang sejak awal menjadi masalah bagi umat Islam adalah pasal 18 yakni pasal mengenai hak beragama dan hak mengganti agama. Problem ini telah sejak awal disadari umat Islam. Selain itu pasal 16 Deklarasi HAM tentang perkawinan beda agama juga tidak dapat diterima kalangan Muslim.
Pada hakekatnya Islam tidak bertentangan dengan HAM. Ia bahkan sangat menghormati HAM. Tapi, konsep-konsep Islam tentang HAM diambil dan dirumuskan berdasarkan al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Maka, pada 1981, dalam sebuah Konferensi di London, sekelompok cendekiawan dan pemimpin Islam mendeklarasikan sebuah Piagam bernama ”Universal Islamic Declaration of Right”. Deklarasi ini berisi 23 pasal mengenai HAM menurut Islam. Deklarasi London kemudian diikuti oleh Deklarasi Cairo yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1990.
Keseluruhan pasal-pasal dalam Deklarasi Cairo itu dapat disarikan menjadi 5 poin: (1) HAM dalam Islam diderivasi dari ajaran Islam. Menurut ajaran Islam manusia dianggap sebagai makhluk yang mulia. (QS. 17:70), (2) HAM dalam Islam adalah karunia dari Tuhan, dan bukan pemberian dari manusia kepada manusia lain dengan kehendak manusia (artinya, hak asasi dalam Islam adalah innate/fitrah), (3) HAM dalam Islam bersifat komprehensif. Termasuk didalamnya hak-hak dalam politik, ekonomi, social dan budaya, (4) HAM dalam Islam tidak terpisahkan dari syariah, (5) HAM dalam Islam tidak absolut karena dibatasi oleh obyek-obyek syariah dan oleh tujuan untuk menjaga hak dan kepentingan masyarakat yang didalamnya terdapat individu-individu.
Islam mengakui dan meyakini, manusia adalah hamba Allah. Maka, semua hak dan kewajiban yang melekat dalam dirinya juga merupakan anugerah Allah. Seorang Muslim yang masih menghargai imannya, tidak akan melepas keyakinannya ini, dan kemudian menukar dengan paham lain yang mencampakkan keimanannya. (***)
KOMUNISME
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Di Barat ketika Katolik tidak bicara kehidupan di dunia, Protestan mulai menyoal "Mengapa agama tidak menjamin kemakmuran hidup". Mereka pun bekerja keras untuk hidup makmur. Hidup makmur tidak cukup, makmur harus dijamin oleh kapital yang besar dan bertahan lama. Mereka pun terbukti sukses. Max Weber mencatat, bahwa ternyata di abad ke 16, di Jerman, kapitalis dan pengusaha besar serta pekerja yang terampil di perusahaan-perusahaan modern adalah kaum Protestan.
Jadi kapitalis-kapitalis itu hanya ingin hidup makmur. Tapi makmur ternyata perlu sistim dan kekuasaan yang melibatkan masyarakat. Dari sini sistim sosial, sistim pasar, sistim pemerintahan pun berkembang bersama kapitalisme. Singkatnya lahirlah kapitalisme sebagai sistim ekonomi dan sosial. Tujuan akhirnya kemakmuran.
Kemakmuran gaya kapitalisme bukan tanpa cacat. Maka pada awal abad ke 19 lahirlah gerakan sosialisme. Robert Owen (1771-1858) di Inggris dan Saint Simon (1760-1825) di Perancis adalah diantara perumusnya. Ide dasarnya tetap bagaiman hidup makmur.
Tapi makmur ala sosialis mengutamakan kebersamaan. Sistim dikontrol dan dicengkeram penguasa. Pribadi dikalahkan oleh rakyat dan buruh. Sosialisme pun diikuti oleh komunisme. Paham yang dicetuskan oleh Karl Marx ini memusuhi kapitalisme dan segala sistimnya. Kapitalis-kapitalis itu dianggap menindas kaum buruh.
Pimpinan Negara adalah borjuis dan kaum buruh adalah proletar. Keduanya diteorikan sebagai musuh abadi. Jika kapitalis bersaing dengan sistim pasar bebas, komunis melawan dengan cara apapun. Jika kapitalis menciptakan persaingan dengan cara kejam, komunis tidak kalah kejamnya menciptakan konflik dan jika perlu pertumpahan darah untuk mencapai tujuan.
Jika kapitalis tidak lagi mementing kan Tuhan, kaum komunis mengingkari adanya Tuhan. Jika kapitalis dengan sis tim ekonominya menciptakan masya rakat elitis, komunis menciptakan masya rakat tanpa kelas. Masalahnya, kapitalisme menghasilkan pertumbuhan ekonomi tapi melupakan pemerataan. Sedangkan komunisme mengobesikan pemerataan tapi tidak memikirkan partumbuhan.
Kini kapitalisme menguasai sistim ekonomi Negara-negara Eropah dan bahkan sistim ekonomi dunia. Namun, kesejahteraan dan kemakmuran yang dibawa sistim ini ternyata hanya dinik mati oleh segelintir orang. Sistim eko nomi kapitalis ternyata berdampak buruk pada tata sosial-politik. Persaingan pasar berdampak pada persaingan politik dan persaingan politik-ekonomi berujung pada pertumpahan darah pula.
Sedangkan komunisme sebagai sistim social ekonomi, belum memberi kan apa-apa kepada rakyat yang diperjuangkannya. Obsesi untuk bisa makmur bersama gagal. Hampir semua Negara komunis adalah miskin (proletar), sedang kan para pemimpinnya ternyata tidak beda dari borjuis-borjuis kapitalis.
Cita-cita ideologi komunis adalah membela rakyat kecil. Tapi di negerinegeri yang rakyatnya telah makmur, komunis kehilangan misinya. Dalam kondisi seperti ini perjuangan komunis bukan lagi membela rakyat lemah, tapi menghancurkan kapitalisme.
Menghancurkan kapitalisme tidak perlu menunggu hingga ia matang, kata Lenin, tapi setiap ada kesempatan kaum buruh harus merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan ujung-ujungnya adalah pertumpahan darah. Kapitalisme dan komunisme sama-sama anyir berbau darah.
Diakui atau tidak kapitalisme telah terbukti membawa kemakmuran materi lebih baik dari komunisme. Namun, ia telah gagal membawa sistim sosial-po litik yang membawa ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani. Dengan kapitalisme dunia semakin tidak aman dan damai.
Jika komunisme ingin menggantikan peran kapitalisme dalam memakmurkan rakyat, maka komunisme akan mengganti kemakmuran dengan pemerataan. Pemerataan tidak akan menghasilkan kemakmuran. Jika komunisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan kemakmuran material kepada rakyat du nia, bagaimana mungkin dengan atheismenya ia akan menjanjikan ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani.
Di banyak negeri Islam, para tokohnya mengagumi sosialisme. Mereka berteriak seperti menemukan sesuatu "Islam adalah kiri". "Nabi adalah pelindung orang
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Di Barat ketika Katolik tidak bicara kehidupan di dunia, Protestan mulai menyoal "Mengapa agama tidak menjamin kemakmuran hidup". Mereka pun bekerja keras untuk hidup makmur. Hidup makmur tidak cukup, makmur harus dijamin oleh kapital yang besar dan bertahan lama. Mereka pun terbukti sukses. Max Weber mencatat, bahwa ternyata di abad ke 16, di Jerman, kapitalis dan pengusaha besar serta pekerja yang terampil di perusahaan-perusahaan modern adalah kaum Protestan.
Jadi kapitalis-kapitalis itu hanya ingin hidup makmur. Tapi makmur ternyata perlu sistim dan kekuasaan yang melibatkan masyarakat. Dari sini sistim sosial, sistim pasar, sistim pemerintahan pun berkembang bersama kapitalisme. Singkatnya lahirlah kapitalisme sebagai sistim ekonomi dan sosial. Tujuan akhirnya kemakmuran.
Kemakmuran gaya kapitalisme bukan tanpa cacat. Maka pada awal abad ke 19 lahirlah gerakan sosialisme. Robert Owen (1771-1858) di Inggris dan Saint Simon (1760-1825) di Perancis adalah diantara perumusnya. Ide dasarnya tetap bagaiman hidup makmur.
Tapi makmur ala sosialis mengutamakan kebersamaan. Sistim dikontrol dan dicengkeram penguasa. Pribadi dikalahkan oleh rakyat dan buruh. Sosialisme pun diikuti oleh komunisme. Paham yang dicetuskan oleh Karl Marx ini memusuhi kapitalisme dan segala sistimnya. Kapitalis-kapitalis itu dianggap menindas kaum buruh.
Pimpinan Negara adalah borjuis dan kaum buruh adalah proletar. Keduanya diteorikan sebagai musuh abadi. Jika kapitalis bersaing dengan sistim pasar bebas, komunis melawan dengan cara apapun. Jika kapitalis menciptakan persaingan dengan cara kejam, komunis tidak kalah kejamnya menciptakan konflik dan jika perlu pertumpahan darah untuk mencapai tujuan.
Jika kapitalis tidak lagi mementing kan Tuhan, kaum komunis mengingkari adanya Tuhan. Jika kapitalis dengan sis tim ekonominya menciptakan masya rakat elitis, komunis menciptakan masya rakat tanpa kelas. Masalahnya, kapitalisme menghasilkan pertumbuhan ekonomi tapi melupakan pemerataan. Sedangkan komunisme mengobesikan pemerataan tapi tidak memikirkan partumbuhan.
Kini kapitalisme menguasai sistim ekonomi Negara-negara Eropah dan bahkan sistim ekonomi dunia. Namun, kesejahteraan dan kemakmuran yang dibawa sistim ini ternyata hanya dinik mati oleh segelintir orang. Sistim eko nomi kapitalis ternyata berdampak buruk pada tata sosial-politik. Persaingan pasar berdampak pada persaingan politik dan persaingan politik-ekonomi berujung pada pertumpahan darah pula.
Sedangkan komunisme sebagai sistim social ekonomi, belum memberi kan apa-apa kepada rakyat yang diperjuangkannya. Obsesi untuk bisa makmur bersama gagal. Hampir semua Negara komunis adalah miskin (proletar), sedang kan para pemimpinnya ternyata tidak beda dari borjuis-borjuis kapitalis.
Cita-cita ideologi komunis adalah membela rakyat kecil. Tapi di negerinegeri yang rakyatnya telah makmur, komunis kehilangan misinya. Dalam kondisi seperti ini perjuangan komunis bukan lagi membela rakyat lemah, tapi menghancurkan kapitalisme.
Menghancurkan kapitalisme tidak perlu menunggu hingga ia matang, kata Lenin, tapi setiap ada kesempatan kaum buruh harus merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan ujung-ujungnya adalah pertumpahan darah. Kapitalisme dan komunisme sama-sama anyir berbau darah.
Diakui atau tidak kapitalisme telah terbukti membawa kemakmuran materi lebih baik dari komunisme. Namun, ia telah gagal membawa sistim sosial-po litik yang membawa ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani. Dengan kapitalisme dunia semakin tidak aman dan damai.
Jika komunisme ingin menggantikan peran kapitalisme dalam memakmurkan rakyat, maka komunisme akan mengganti kemakmuran dengan pemerataan. Pemerataan tidak akan menghasilkan kemakmuran. Jika komunisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan kemakmuran material kepada rakyat du nia, bagaimana mungkin dengan atheismenya ia akan menjanjikan ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani.
Di banyak negeri Islam, para tokohnya mengagumi sosialisme. Mereka berteriak seperti menemukan sesuatu "Islam adalah kiri". "Nabi adalah pelindung orang
lemah", Nabi adalah pelindung anak yatim (sosial) alias orang miskin dan ia akan bersama mereka di sorga. Masih banyak lagi dalih untuk justifikasi kiri Islam.
Tapi orang lupa bahwa Islam bisa berbau kapitalis. Saudagar kaya (kapi talis) yang jujur, misalnya, akan berada di surga bersama para nabi dan syuhada. Nabi pun menyukai Muslim yang kaya dan kuat. Orang akan lengkap rukun Islamnya jika ia kaya dan mampu membayar zakatnya.
Masyarakat dunia kini sedang meng alamai kekeringan nilai, kehausan spiritual, dan kekosongan moral. Sistim apapun untuk mengatur kesejahteraan material, baik kapitalisme maupun komunisme, tidak akan menyelesaikan nestapa manusia modern. Dunia mulai menyadari ketidak mampuan kapitalis dan kegagalan komunis. Tapi mengapa Muslim dengan secara cerdas tidak segera menjadikan Islam sebagai alternatif dari dua sistim yang gagal itu.
--------------
Dimuat di Republika online dan ISLAMIA Republika, Kamis 19 Mei 2016.
Tapi orang lupa bahwa Islam bisa berbau kapitalis. Saudagar kaya (kapi talis) yang jujur, misalnya, akan berada di surga bersama para nabi dan syuhada. Nabi pun menyukai Muslim yang kaya dan kuat. Orang akan lengkap rukun Islamnya jika ia kaya dan mampu membayar zakatnya.
Masyarakat dunia kini sedang meng alamai kekeringan nilai, kehausan spiritual, dan kekosongan moral. Sistim apapun untuk mengatur kesejahteraan material, baik kapitalisme maupun komunisme, tidak akan menyelesaikan nestapa manusia modern. Dunia mulai menyadari ketidak mampuan kapitalis dan kegagalan komunis. Tapi mengapa Muslim dengan secara cerdas tidak segera menjadikan Islam sebagai alternatif dari dua sistim yang gagal itu.
--------------
Dimuat di Republika online dan ISLAMIA Republika, Kamis 19 Mei 2016.
*Sejarah Daulah Utsmaniyah*
Penulis: Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Sinopsis:
Daulah Utsmaniyah (Ottoman Empire) merupakan pemerintahan terbesar dan terkuat dalam sejarah dunia Islam. Dengan wilayah kekuasaan yang membentang seluas sekitar 20 juta km persegi dan meliputi tiga benua, membuatnya disegani oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa itu.
Perjalanan sejarah Daulah Utsmaniyah memiliki banyak alasan penting untuk dikaji. Di antaranya karena daulah ini dianggap sebagai Khilafah Islamiyah yang terakhir dan terpanjang umur kekuasaannya. Daulah Utsmaniyah juga telah melakukan pekerjaan-pekerjaan mulia yang dipersembahkan bagi umat ini, yang dikupas tuntas dalam buku ini. Buku ini juga memotret kekurangan yang melingkupi Khilafah Utsmaniyah yang penting untuk dijadikan renungan dan pelajaran.
Kedua aspek—baik positif maupun negatif—berhasil dipotret dengan apik oleh Dr. Ali Ash-Shallabi, penulis buku-buku Sejarah Islam yang memiliki reputasi internasional. Di sisi lain, penulis buku ini juga berhasil menepis dan meluruskan berbagai persepsi negatif yang menyerang Turki Utsmani. Pada akhirnya, isi buku ini penting untuk didulang faedahnya; apa saja kunci-kunci kejayaan dan apa saja faktor-faktor pemicu keruntuhan umat Islam.
--------------------------
Sejarah Daulah Utsmaniyah
Penulis: Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Ukuran: 17×24 cm
Tebal: 960 hlm
Berat: 1.6 kg
ISBN: 978-602-6579-28-7
Harga: Rp 185.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997
Syukran..
Penulis: Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Sinopsis:
Daulah Utsmaniyah (Ottoman Empire) merupakan pemerintahan terbesar dan terkuat dalam sejarah dunia Islam. Dengan wilayah kekuasaan yang membentang seluas sekitar 20 juta km persegi dan meliputi tiga benua, membuatnya disegani oleh bangsa-bangsa Eropa pada masa itu.
Perjalanan sejarah Daulah Utsmaniyah memiliki banyak alasan penting untuk dikaji. Di antaranya karena daulah ini dianggap sebagai Khilafah Islamiyah yang terakhir dan terpanjang umur kekuasaannya. Daulah Utsmaniyah juga telah melakukan pekerjaan-pekerjaan mulia yang dipersembahkan bagi umat ini, yang dikupas tuntas dalam buku ini. Buku ini juga memotret kekurangan yang melingkupi Khilafah Utsmaniyah yang penting untuk dijadikan renungan dan pelajaran.
Kedua aspek—baik positif maupun negatif—berhasil dipotret dengan apik oleh Dr. Ali Ash-Shallabi, penulis buku-buku Sejarah Islam yang memiliki reputasi internasional. Di sisi lain, penulis buku ini juga berhasil menepis dan meluruskan berbagai persepsi negatif yang menyerang Turki Utsmani. Pada akhirnya, isi buku ini penting untuk didulang faedahnya; apa saja kunci-kunci kejayaan dan apa saja faktor-faktor pemicu keruntuhan umat Islam.
--------------------------
Sejarah Daulah Utsmaniyah
Penulis: Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Ukuran: 17×24 cm
Tebal: 960 hlm
Berat: 1.6 kg
ISBN: 978-602-6579-28-7
Harga: Rp 185.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997
Syukran..
Adanya Fatwa MUI soal Atribut Natal, Karena Iman itu Penting Bagi Muslim
Cendekiawan Muslim dan mantan wartawan Istana, Adian Husaini mengatakan, sudah merupakan tugasnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyelamatkan iman umat Islam, termasuk dengan mengeluarkan fatwa larangan menggunakan atribut natal.
“Makanya kenapa MUI sampai mengeluarkan fatwa soal atribut Natal, karena itu persoalan serius yang berkaitan dengan iman,” ujarnya pada Ulasan Media Radio Dakta 107 FM, Selasa (20/12/2016).
Adian menjelaskan, di dunia ini seseorang tergantung apa yang dianggapnya penting. Kalau yang dianggap penting adalah jabatannya, maka jabatan yang jadi pikirannya.
“Kan ketahuan yang dianggap penting seseorang itu apa, kalau penguasa keliahatan dari kebijakannya. Kalau intelektual kelihatan dari pikirannya,” jelasnya.
“Makanya kenapa MUI sampai mengeluarkan fatwa soal atribut natal, karena itu persoalan serius yang berkaitan dengan iman. Itu penting,” tambah Adian.
Karenanya, Adian mengungkapkan, seharusnya Presiden Jokowi maupun Kapolri Tito sebagai Muslim bisa memahami dan sepatutnya faham perasaan dan tanggungjawab MUI.
“Ini yang harus dipahami,” tegas Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini.
Adian juga menyampaikan, agar tidak terjadi sweeping oleh kalangan ormas, Kapolri perlu mengeluarkan edaran agar perusahaan-perusahaan tidak melakukan pemaksaan terhadap karyawan Muslim untuk mengenakan atribut Natal.*
http://m.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/12/21/108134/adanya-fatwa-mui-soal-atribut-natal-karena-iman-itu-penting-bagi-muslim.html#.WFqHnTKTBFg.facebook
Cendekiawan Muslim dan mantan wartawan Istana, Adian Husaini mengatakan, sudah merupakan tugasnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyelamatkan iman umat Islam, termasuk dengan mengeluarkan fatwa larangan menggunakan atribut natal.
“Makanya kenapa MUI sampai mengeluarkan fatwa soal atribut Natal, karena itu persoalan serius yang berkaitan dengan iman,” ujarnya pada Ulasan Media Radio Dakta 107 FM, Selasa (20/12/2016).
Adian menjelaskan, di dunia ini seseorang tergantung apa yang dianggapnya penting. Kalau yang dianggap penting adalah jabatannya, maka jabatan yang jadi pikirannya.
“Kan ketahuan yang dianggap penting seseorang itu apa, kalau penguasa keliahatan dari kebijakannya. Kalau intelektual kelihatan dari pikirannya,” jelasnya.
“Makanya kenapa MUI sampai mengeluarkan fatwa soal atribut natal, karena itu persoalan serius yang berkaitan dengan iman. Itu penting,” tambah Adian.
Karenanya, Adian mengungkapkan, seharusnya Presiden Jokowi maupun Kapolri Tito sebagai Muslim bisa memahami dan sepatutnya faham perasaan dan tanggungjawab MUI.
“Ini yang harus dipahami,” tegas Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini.
Adian juga menyampaikan, agar tidak terjadi sweeping oleh kalangan ormas, Kapolri perlu mengeluarkan edaran agar perusahaan-perusahaan tidak melakukan pemaksaan terhadap karyawan Muslim untuk mengenakan atribut Natal.*
http://m.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/12/21/108134/adanya-fatwa-mui-soal-atribut-natal-karena-iman-itu-penting-bagi-muslim.html#.WFqHnTKTBFg.facebook
KORUPSI DAN KEBAHAGIAAN
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Pada tahun 2006, BBC pernah mempublikasikan sebuah hasil survei bertajuk A Global Projection of Subjective Well-Being. Berdasarkan survei tersebut, 81% rakyat Inggris setuju bahwa tujuan utama pemerintahan adalah mewujudkan kebahagiaan rakyat, bukan kekayaan. Maka, PM Inggris David Cameron yang saat itu masih mejadi pimpinan oposisi meletakkan kebahagiaan sebagai agenda politik utama. Ia katakan: Its time we admitted that there is more to life than money, and its time we focus not just on GDP, but GWB General Well Being.
Sejumlah sarjana di Inggris kemudian meluncurkan hasil survei berupa Peta Kebahagiaan Global (A Map of Global Happiness 2006). Dalam peta itu, Indonesia menduduki peringkat ke-64. Berturut-turut menempati urutan teratas adalah Denmark, Swiss, Austria, Iceland, Bahamas, Finlandia, Swedia, Bhutan, Brunei, Kanada, dan seterusnya. Jepang menduduki peringkat ke-89 dan India peringkat ke-125. (Dikutip dari buku Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia, karya Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, (Kuala Lumpur: BTN, 2011).
Tentu, bisa diperdebatkan kriteria yang digunakan dalam survei semacam itu. Namun, setidaknya, hasil survei itu bisa dijadikan sebuah perbandingan. Apalagi, dalam perspektif Islam. Kebahagiaan (saadah/happiness) oleh banyak cendekiawan dan ulama didefinisikan sebagai kondisi batiniah saat manusia berada di maqam taqwa. Imam al-Ghazali, seperti dikutip Buya Hamka dalam bukunya, Tasauf Modern, mengungkapkan: Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah. Hutaiah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair: wa-lastu araa al-saadata jamu maalin wa-laakin al-tuqaa lahiya al-saiidu (Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda; Tetapi, taqwa akan Allah itulah bahagia).
Prof. S.M. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (saadah/happiness) sebagai: Kesejahteraan dan kebahagiaan itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Taala dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya. (SMN al-Attas, Mana Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai marifatullah, telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan: Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh marifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan.... Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah... Oleh sebab itu tidak ada marifat yang lebih lezat daripada marifatullah.
Allah SWT sudah mengingatkan: Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Pada tahun 2006, BBC pernah mempublikasikan sebuah hasil survei bertajuk A Global Projection of Subjective Well-Being. Berdasarkan survei tersebut, 81% rakyat Inggris setuju bahwa tujuan utama pemerintahan adalah mewujudkan kebahagiaan rakyat, bukan kekayaan. Maka, PM Inggris David Cameron yang saat itu masih mejadi pimpinan oposisi meletakkan kebahagiaan sebagai agenda politik utama. Ia katakan: Its time we admitted that there is more to life than money, and its time we focus not just on GDP, but GWB General Well Being.
Sejumlah sarjana di Inggris kemudian meluncurkan hasil survei berupa Peta Kebahagiaan Global (A Map of Global Happiness 2006). Dalam peta itu, Indonesia menduduki peringkat ke-64. Berturut-turut menempati urutan teratas adalah Denmark, Swiss, Austria, Iceland, Bahamas, Finlandia, Swedia, Bhutan, Brunei, Kanada, dan seterusnya. Jepang menduduki peringkat ke-89 dan India peringkat ke-125. (Dikutip dari buku Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia, karya Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, (Kuala Lumpur: BTN, 2011).
Tentu, bisa diperdebatkan kriteria yang digunakan dalam survei semacam itu. Namun, setidaknya, hasil survei itu bisa dijadikan sebuah perbandingan. Apalagi, dalam perspektif Islam. Kebahagiaan (saadah/happiness) oleh banyak cendekiawan dan ulama didefinisikan sebagai kondisi batiniah saat manusia berada di maqam taqwa. Imam al-Ghazali, seperti dikutip Buya Hamka dalam bukunya, Tasauf Modern, mengungkapkan: Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah. Hutaiah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair: wa-lastu araa al-saadata jamu maalin wa-laakin al-tuqaa lahiya al-saiidu (Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda; Tetapi, taqwa akan Allah itulah bahagia).
Prof. S.M. Naquib Al-Attas mendefinisikan kebahagiaan (saadah/happiness) sebagai: Kesejahteraan dan kebahagiaan itu bukan dianya merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan akal-fikri insan yang hanya dapat dinikmati dalam alam fikiran dan nazar-akali belaka. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan Hakikat Terakhir yang Mutlak yang dicari-cari itu yakni: keadaan diri yang yakin akan Hak Taala dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri itu berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya. (SMN al-Attas, Mana Kebahagiaan dan Pengalamannya dalam Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC:2002), pengantar Prof. Zainy Uthman, hal. xxxv).
Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati, yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai marifatullah, telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan: Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita rasai nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh marifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan ialah buat mengingat Tuhan.... Seorang hamba rakyat akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan wazir; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan raja. Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan, lebih dari apa yang dapat dikira-kirakan oleh manusia, sebab tidak ada yang maujud ini yang lebih dari kemuliaan Allah... Oleh sebab itu tidak ada marifat yang lebih lezat daripada marifatullah.
Allah SWT sudah mengingatkan: Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman
dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri (QS al-Araf: 96) Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS an-Nahl: 112).
Nabi Muhammad saw memberikan teladan yang tinggi dalam upaya meraih kebahagiaan hakiki. Beliau sendiri menjadi teladan dalam sikap zuhud terhadap dunia. Beliau pun sangat tegas dalam menghadapi berbagai tindak kecurangan, semacam suap atau korupsi di tengah masyarakat. Dalam soal suap, misalnya, kita ingat Nabi SAW sudah menegaskan, bahwa al-rasyi wal-murtasyi fin-nar (penyuap dan yang disuap tempatnya di neraka). Bahkan, Rasulullah saw tidak memberikan toleransi terhadap praktik penerimaan hadiah kepada para pejabat negara.
Rasulullah saw juga bersabda bahwa Allah melaknat penyuap dan penerima suap (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah untuk pejabat pemerintah, Nabi bersabda, Hadiah yang diberikan kepada para pejabat adalah haram dan hakim yang menerima suap adalah kufur (HR. Imam Ahmad). Nabi saw pun sangat konsisten dalam penerapan hokum. Beliau tidak membeda-bedakan anggota keluarga beliau dengan masyarakat lainnya, sehingga terkenallah ucapan beliau: Demi Allah jika Fatimah, putriku, mencuri, pasti aku potong tangannya.
Dalam kasus kecurangan harta Negara, Nabi Muhammad saw bersikap tegas, sampai-sampai beliau menerapkan sanksi tasyhir terhadap orang yang curang, meskipun dia sudah gugur di medan jihad. Imam Malik, dalam al-Muwaththa, meriwayatkan bahwa Rasululllah saw pernah mengumumkan kecurangan seorang tentara Islam yang diketahui menyembunyikan beberapa buah permata milik orang Yahudi. Sanksi tasyhir ini berupa pengumuman aib orang tersebut. Umar bin Khatab juga menerapkan sanksi tasyhir terhadap saksi palsu. Qadhi Syuraikh, hakim di zaman Umar dan Ali r.a. menerapkan sanksi tasyhir dengan cara membawa pelaku kejahatan ke tengah-tengah pasar dan dimumkan kejahatannya kepada masyarakat.
Sanksi lain yang terkenal adalah berupa penyitaan harta hasil korupsi. Umar bin Khatab dikenal sangat tegas jika mendapatkan laporan ada pejabat yang memiliki kekayaan tidak wajar. Jika terbukti harta itu diperoleh dengan cara tidak sah, maka segera disita. Bahkan, Umar pernah menyita onta milik anaknya sendiri yang dia dapati tumbuh besar karena memakan rumput milik Baitul Mal. Dia perintahkan agar onta itu dijual dan keuntungannya diserahkan ke BaitulMal.
Pemberantasan korupsi yang begitu nyaring diteriakkan di negeri kita hanya akan berhasil jika para elite khususnya ulama dan penguasa memberikan keteladanan hidup dan tidak salah dalam memaknai kebahagiaan. Imam al-Ghazali mengingatkan: Sesungguhnya rusaknya rakyat terjadi karena rusaknya penguasa; dan rusaknya penguasa terjadi karena rusaknya ulama.
Maka, renungkan: Jika penguasa saat ini rusak, jangan-jangan, memang bermula dari kerusakan yang terjadi di dunia pendidikan, diawali oleh kerusakan ulama dan cendekiawan! Wallahu alam bil-shawab. (***)
Nabi Muhammad saw memberikan teladan yang tinggi dalam upaya meraih kebahagiaan hakiki. Beliau sendiri menjadi teladan dalam sikap zuhud terhadap dunia. Beliau pun sangat tegas dalam menghadapi berbagai tindak kecurangan, semacam suap atau korupsi di tengah masyarakat. Dalam soal suap, misalnya, kita ingat Nabi SAW sudah menegaskan, bahwa al-rasyi wal-murtasyi fin-nar (penyuap dan yang disuap tempatnya di neraka). Bahkan, Rasulullah saw tidak memberikan toleransi terhadap praktik penerimaan hadiah kepada para pejabat negara.
Rasulullah saw juga bersabda bahwa Allah melaknat penyuap dan penerima suap (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah untuk pejabat pemerintah, Nabi bersabda, Hadiah yang diberikan kepada para pejabat adalah haram dan hakim yang menerima suap adalah kufur (HR. Imam Ahmad). Nabi saw pun sangat konsisten dalam penerapan hokum. Beliau tidak membeda-bedakan anggota keluarga beliau dengan masyarakat lainnya, sehingga terkenallah ucapan beliau: Demi Allah jika Fatimah, putriku, mencuri, pasti aku potong tangannya.
Dalam kasus kecurangan harta Negara, Nabi Muhammad saw bersikap tegas, sampai-sampai beliau menerapkan sanksi tasyhir terhadap orang yang curang, meskipun dia sudah gugur di medan jihad. Imam Malik, dalam al-Muwaththa, meriwayatkan bahwa Rasululllah saw pernah mengumumkan kecurangan seorang tentara Islam yang diketahui menyembunyikan beberapa buah permata milik orang Yahudi. Sanksi tasyhir ini berupa pengumuman aib orang tersebut. Umar bin Khatab juga menerapkan sanksi tasyhir terhadap saksi palsu. Qadhi Syuraikh, hakim di zaman Umar dan Ali r.a. menerapkan sanksi tasyhir dengan cara membawa pelaku kejahatan ke tengah-tengah pasar dan dimumkan kejahatannya kepada masyarakat.
Sanksi lain yang terkenal adalah berupa penyitaan harta hasil korupsi. Umar bin Khatab dikenal sangat tegas jika mendapatkan laporan ada pejabat yang memiliki kekayaan tidak wajar. Jika terbukti harta itu diperoleh dengan cara tidak sah, maka segera disita. Bahkan, Umar pernah menyita onta milik anaknya sendiri yang dia dapati tumbuh besar karena memakan rumput milik Baitul Mal. Dia perintahkan agar onta itu dijual dan keuntungannya diserahkan ke BaitulMal.
Pemberantasan korupsi yang begitu nyaring diteriakkan di negeri kita hanya akan berhasil jika para elite khususnya ulama dan penguasa memberikan keteladanan hidup dan tidak salah dalam memaknai kebahagiaan. Imam al-Ghazali mengingatkan: Sesungguhnya rusaknya rakyat terjadi karena rusaknya penguasa; dan rusaknya penguasa terjadi karena rusaknya ulama.
Maka, renungkan: Jika penguasa saat ini rusak, jangan-jangan, memang bermula dari kerusakan yang terjadi di dunia pendidikan, diawali oleh kerusakan ulama dan cendekiawan! Wallahu alam bil-shawab. (***)
*Islam VS Pluralisme Agama*
Penulis: Qosim Nursheha Dzulhadi
Sinopsis:
Apakah Islam anti toleransi ? Apakah Islam tidak menghargai keyakinan agama lain? Bagaimana cara pandang Islam dalam membangun hubungan yang harmonis antar umat beragama? pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dalam buku ini. Penulis berusaha memamparkannya secara argumentatif dan ilmiah, sebagai wacana membangun dialog antar umat agama yang sehat dan menjawabpenyimpangan-penyimpangan tafsir yang keliru dari isu-isu tersebut.
'Buku ini menjadi "penting" dibaca, karena secara khusus mengkritik disertasi doktoral secara ilmiah seorang tokoh liberal, sebagai upaya meluruskan pemahaman yang keliru terhadap Islam.'
(Dr. Adian Husaini, Diruktur At-Taqwa College (ATCO) Depok)
--------------------------
Islam VS Pluralisme Agama
Penulis: Qosim Nursheha Dzulhadi
No ISBN: 9789795928386
Sampul : Soft Cover
Isi: 298 halaman
Ukuran: 21.5 Cm x 14 Cm
Berat: 400 gr
Harga: Rp 78.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Qosim Nursheha Dzulhadi
Sinopsis:
Apakah Islam anti toleransi ? Apakah Islam tidak menghargai keyakinan agama lain? Bagaimana cara pandang Islam dalam membangun hubungan yang harmonis antar umat beragama? pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dalam buku ini. Penulis berusaha memamparkannya secara argumentatif dan ilmiah, sebagai wacana membangun dialog antar umat agama yang sehat dan menjawabpenyimpangan-penyimpangan tafsir yang keliru dari isu-isu tersebut.
'Buku ini menjadi "penting" dibaca, karena secara khusus mengkritik disertasi doktoral secara ilmiah seorang tokoh liberal, sebagai upaya meluruskan pemahaman yang keliru terhadap Islam.'
(Dr. Adian Husaini, Diruktur At-Taqwa College (ATCO) Depok)
--------------------------
Islam VS Pluralisme Agama
Penulis: Qosim Nursheha Dzulhadi
No ISBN: 9789795928386
Sampul : Soft Cover
Isi: 298 halaman
Ukuran: 21.5 Cm x 14 Cm
Berat: 400 gr
Harga: Rp 78.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
FAKTA BARU WALISONGO
Telaah Kritis Ajaran, Dakwah dan Sejarah Walisongo
Penulis: Zainal Abidin Bin Syamsuddin
Sinopsis:
Benarkah Jawa diislamkan atau Islam dijawakan? Mungkinkah Islam menjadi agama mayoritas di pulau Jawa hanya sebatas usaha Sembilan orang yang disebut Walisongo, atau bahkan Walisongo sebenarnya tidak pernah ada? Inilah polemik saat sosok Walisongo diperbincangkan.
Tampaknya sosok Walisongo akan terus menjadi idola terutama bagi orang Jawa. Makam mereka dibanjiri para penziarah, walaupun gambaran Walisongo di benak mereka masih kabur dan tidak jelas. Bahkan Walisongo yang dianggap sebagai tokoh utama dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa dalam historiografi Jawa tampil sosok mistis, sakti dan memuja praktik klenik seperti bertapa, pemujaan terhadap roh leluhur, tidak terlibat dalam kehidupan sosial-politik profan. Sosok Walisongo sangat berlawanan dengan kehidupan generasi awal penyebaran Islam yang sarat dengan petualangan politik yang patriotik, berwatak sosial dan apresiasi rasional terhadap tradisi dan kultur-kultur lokal yang berkembang di masyarakat.
Malah sosok Walisongo baik sebagai pribadi maupun lembaga dakwah yang memenuhi kualifikasi keorganisasian yang solid, dan strategi maupun perjuangan Dakwah yang hebat, hampir lenyap ditelan legenda, dongeng dan mitos. Sehingga mendata sejarah dan ajaran Walisongo butuh sikap cermat, nalar sehat, telaah kritis dan objektif agar muncul kembali sebagai sosok yang logis, figur bertalenta dan juru Dakwah yang berhasil dengan sukses menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat Jawa yang sebelumnya mayoritas memeluk agama Hindu, Budha dan Animisme yang akhirnya masyarakat Jawa memeluk agama Islam.
----------------------------------
FAKTA BARU WALISONGO
Telaah Kritis Ajaran, Dakwah dan Sejarah Walisongo
Penulis: Zainal Abidin Bin Syamsuddin
Hard Cover,
Dimensi 15,5 x 24 cm,
Isi 385 halaman.
Berat 1058 gram,
Harga Rp. 120.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Telaah Kritis Ajaran, Dakwah dan Sejarah Walisongo
Penulis: Zainal Abidin Bin Syamsuddin
Sinopsis:
Benarkah Jawa diislamkan atau Islam dijawakan? Mungkinkah Islam menjadi agama mayoritas di pulau Jawa hanya sebatas usaha Sembilan orang yang disebut Walisongo, atau bahkan Walisongo sebenarnya tidak pernah ada? Inilah polemik saat sosok Walisongo diperbincangkan.
Tampaknya sosok Walisongo akan terus menjadi idola terutama bagi orang Jawa. Makam mereka dibanjiri para penziarah, walaupun gambaran Walisongo di benak mereka masih kabur dan tidak jelas. Bahkan Walisongo yang dianggap sebagai tokoh utama dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa dalam historiografi Jawa tampil sosok mistis, sakti dan memuja praktik klenik seperti bertapa, pemujaan terhadap roh leluhur, tidak terlibat dalam kehidupan sosial-politik profan. Sosok Walisongo sangat berlawanan dengan kehidupan generasi awal penyebaran Islam yang sarat dengan petualangan politik yang patriotik, berwatak sosial dan apresiasi rasional terhadap tradisi dan kultur-kultur lokal yang berkembang di masyarakat.
Malah sosok Walisongo baik sebagai pribadi maupun lembaga dakwah yang memenuhi kualifikasi keorganisasian yang solid, dan strategi maupun perjuangan Dakwah yang hebat, hampir lenyap ditelan legenda, dongeng dan mitos. Sehingga mendata sejarah dan ajaran Walisongo butuh sikap cermat, nalar sehat, telaah kritis dan objektif agar muncul kembali sebagai sosok yang logis, figur bertalenta dan juru Dakwah yang berhasil dengan sukses menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat Jawa yang sebelumnya mayoritas memeluk agama Hindu, Budha dan Animisme yang akhirnya masyarakat Jawa memeluk agama Islam.
----------------------------------
FAKTA BARU WALISONGO
Telaah Kritis Ajaran, Dakwah dan Sejarah Walisongo
Penulis: Zainal Abidin Bin Syamsuddin
Hard Cover,
Dimensi 15,5 x 24 cm,
Isi 385 halaman.
Berat 1058 gram,
Harga Rp. 120.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
FIKIH ISLAM LENGKAP MADZHAB SYAFI'I
Sinopsis:
Buku ini dikupas oleh seorang doktor di bidang syariah, Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, dimana buku ini membahas aspek-aspek dalam ilmu fikih, bisa dilihat di daftar isi.
Selain itu buku ini cocok sekali untuk muslim yang awam yang ingin mempelajari ilmu fikih karena bahasa yang mudah di pahami dan juga dilengkapi dengan teks matannya.
DAFTAR ISI :
- Kitab Thaharah
- Kitab Shalat
- Kitab Zakat
- Kitab Puasa
- Kitab Haji
- Kitab Jual Beli dan Mu'amalat Lainnya
- Kitab Faraidh dan Wasiat
- Kitab Nikah
- Kitab Jinayat
- Kitab Hudud
- Kitab Jihad
- Kitab Perburuan dan Penyembelian
- Kitab Perlombaan dan Memanah
- Kitab Sumpah dan Nadzar
- Kitab Pengadilan dan Persaksian
- Kitab Pembebasan Budak
------------------
Fikih Islam Lengkap Madzhab Syafi'i
Penulis Dr. Musthafa Dib Al-Bugha
Isi: 578 halaman
Sampul: hardcover
Dimensi 16,5 x 23,5 cm
Berat: 871 gram
Harga Rp. 120.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
Sinopsis:
Buku ini dikupas oleh seorang doktor di bidang syariah, Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, dimana buku ini membahas aspek-aspek dalam ilmu fikih, bisa dilihat di daftar isi.
Selain itu buku ini cocok sekali untuk muslim yang awam yang ingin mempelajari ilmu fikih karena bahasa yang mudah di pahami dan juga dilengkapi dengan teks matannya.
DAFTAR ISI :
- Kitab Thaharah
- Kitab Shalat
- Kitab Zakat
- Kitab Puasa
- Kitab Haji
- Kitab Jual Beli dan Mu'amalat Lainnya
- Kitab Faraidh dan Wasiat
- Kitab Nikah
- Kitab Jinayat
- Kitab Hudud
- Kitab Jihad
- Kitab Perburuan dan Penyembelian
- Kitab Perlombaan dan Memanah
- Kitab Sumpah dan Nadzar
- Kitab Pengadilan dan Persaksian
- Kitab Pembebasan Budak
------------------
Fikih Islam Lengkap Madzhab Syafi'i
Penulis Dr. Musthafa Dib Al-Bugha
Isi: 578 halaman
Sampul: hardcover
Dimensi 16,5 x 23,5 cm
Berat: 871 gram
Harga Rp. 120.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
PROPHETIC PARENTING
CARA NABI MENDIDIK ANAK
Penulis Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid
Sinopsis:
Buku ini mendapat banyak rekomendasi dari para ulama, di antaranya: Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi, Syaikh Dr. Muhammad Fauzi Faidullah, Syaikh Abdurrahman Hasan Habnakah, Syaikh Ahmad Qallasy, Syaikh Dr. Mahmud Ath-Thahhan. Buku ini diterjemahkan dari kitab yang berjudul Manhaj Tarbiyah Nabawiyah lith Thifl. Yang mana artinya adalah metode pembelajaran dalam membentuk kepribadian anak sedikit demi sedikit sampai mencapai tingkatan lengkap dan sempurna.
Parenting Bermula dari Mana? Pendidikan bagi anak bermula dari ketika kedua orang tua menikah. Kemudian hubungan kedua orang tua, kesalehan mereka dan kesepakatan mereka dalam melakukan kebajikan, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam membentuk sisi psikis dan kecenderungan bagi sang anak. Penulis juga mengetengahkan tentang pentingnya pertumbuhan anak di gendongan ibunya, keluarga dan lingkungannya serta hubungan kekerabatan dengan kedua orang tua dan karib kerabatnya. Juga tentang pentingnya menjaga nilai-nilai Islami dalam masa pertumbuhannya dan membiasakannya untuk selalu berpikir. Penulis juga menekankan tentang pentingnya memakai berbagai media dan alat peraga yang sesuai dengan usia anak. Itu semua beliau simpulkan dari metode pendidikan Islam, hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pernyataan para pakar pendidikan Islam.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa ada seseorang datang kepada Abdullah bin Mubarak untuk mengadukan kedurhakaan anaknya. Abdullah bin Mubarak bertanya kepadanya? “Apakah engkau sudah mendoakan keburukan atasnya?” Dia menjawab, “Benar.” Abdullah berkata, “Kalau begitu engkau telah merusaknya.”
Daripada menjadi penyebab rusaknya anak dengan mendoakan keburukan padanya, lebih baik kita mendoakan kebaikan padanya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah yang mendoakan kebaikan bagi anak-anak, sehingga Allah memberkati masa depan mereka dengan amal saleh, harta benda, dan anak yang banyak.
---------------------
Prophetic Parenting
Cara Nabi Mendidik Anak
Penulis Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid
Sampul: softcover,
Tebal buku: 610 halaman
Ukuran buku: 16 x 24 cm
Berat buku: 750 gram
Harga Rp. 110.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
CARA NABI MENDIDIK ANAK
Penulis Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid
Sinopsis:
Buku ini mendapat banyak rekomendasi dari para ulama, di antaranya: Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi, Syaikh Dr. Muhammad Fauzi Faidullah, Syaikh Abdurrahman Hasan Habnakah, Syaikh Ahmad Qallasy, Syaikh Dr. Mahmud Ath-Thahhan. Buku ini diterjemahkan dari kitab yang berjudul Manhaj Tarbiyah Nabawiyah lith Thifl. Yang mana artinya adalah metode pembelajaran dalam membentuk kepribadian anak sedikit demi sedikit sampai mencapai tingkatan lengkap dan sempurna.
Parenting Bermula dari Mana? Pendidikan bagi anak bermula dari ketika kedua orang tua menikah. Kemudian hubungan kedua orang tua, kesalehan mereka dan kesepakatan mereka dalam melakukan kebajikan, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam membentuk sisi psikis dan kecenderungan bagi sang anak. Penulis juga mengetengahkan tentang pentingnya pertumbuhan anak di gendongan ibunya, keluarga dan lingkungannya serta hubungan kekerabatan dengan kedua orang tua dan karib kerabatnya. Juga tentang pentingnya menjaga nilai-nilai Islami dalam masa pertumbuhannya dan membiasakannya untuk selalu berpikir. Penulis juga menekankan tentang pentingnya memakai berbagai media dan alat peraga yang sesuai dengan usia anak. Itu semua beliau simpulkan dari metode pendidikan Islam, hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pernyataan para pakar pendidikan Islam.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa ada seseorang datang kepada Abdullah bin Mubarak untuk mengadukan kedurhakaan anaknya. Abdullah bin Mubarak bertanya kepadanya? “Apakah engkau sudah mendoakan keburukan atasnya?” Dia menjawab, “Benar.” Abdullah berkata, “Kalau begitu engkau telah merusaknya.”
Daripada menjadi penyebab rusaknya anak dengan mendoakan keburukan padanya, lebih baik kita mendoakan kebaikan padanya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah yang mendoakan kebaikan bagi anak-anak, sehingga Allah memberkati masa depan mereka dengan amal saleh, harta benda, dan anak yang banyak.
---------------------
Prophetic Parenting
Cara Nabi Mendidik Anak
Penulis Dr. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid
Sampul: softcover,
Tebal buku: 610 halaman
Ukuran buku: 16 x 24 cm
Berat buku: 750 gram
Harga Rp. 110.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran....
ROH
Penulis: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Sinopsis:
Hampir bisa dipastikan, setiap orang penasaran oleh masalah roh. Roh itu ada dan memiliki hakikat, karakter dan sifat, bisa merasakan kesedihan dan kegembiraan, bisa bergerak ke sana ke mari, naik turun dan berbagai macam aktifitas.
Tapi apa yang anda tau tentang roh itu? Apa beda roh dengan jiwa? Apa beda roh dengan kehidupan? Dan, mungkin masih ada setumpuk pertanyaan yang tidak terjawab tentang semua ini. Anda tak perlu penasaran. Karena buku ini sarat dengan penjelasan, yang menggambarkan kedalaman pengetahuan pengarang yang sudah dikenal dengan kelurusan akidahnya, dan disertai kejelasan keterangan tentang berbagai masalah terkait.
Di sana dijelaskan pula macam-macam jiwa, alam barzakh, alam mimpi, pertemuan dan dialog antara orang hidup dengan orang yang sudah meninggal, sampai-sampai ada pemberitahuan yang disampaikan orang yang sudah membujur sekian lama di dalam kuburnya, dan ternyata kejadiannya sama persis.
-----------------------
ROH
Penulis: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
ISBN: 979-592-119
Sampul: Hard Cover
Isi : 440 hlm
Ukuran: 16.5 x 24.5 Cm
Berat: 700 gr
Harga: Rp. 93.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Sinopsis:
Hampir bisa dipastikan, setiap orang penasaran oleh masalah roh. Roh itu ada dan memiliki hakikat, karakter dan sifat, bisa merasakan kesedihan dan kegembiraan, bisa bergerak ke sana ke mari, naik turun dan berbagai macam aktifitas.
Tapi apa yang anda tau tentang roh itu? Apa beda roh dengan jiwa? Apa beda roh dengan kehidupan? Dan, mungkin masih ada setumpuk pertanyaan yang tidak terjawab tentang semua ini. Anda tak perlu penasaran. Karena buku ini sarat dengan penjelasan, yang menggambarkan kedalaman pengetahuan pengarang yang sudah dikenal dengan kelurusan akidahnya, dan disertai kejelasan keterangan tentang berbagai masalah terkait.
Di sana dijelaskan pula macam-macam jiwa, alam barzakh, alam mimpi, pertemuan dan dialog antara orang hidup dengan orang yang sudah meninggal, sampai-sampai ada pemberitahuan yang disampaikan orang yang sudah membujur sekian lama di dalam kuburnya, dan ternyata kejadiannya sama persis.
-----------------------
ROH
Penulis: Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
ISBN: 979-592-119
Sampul: Hard Cover
Isi : 440 hlm
Ukuran: 16.5 x 24.5 Cm
Berat: 700 gr
Harga: Rp. 93.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...