MUSTANIR ONLINE
3.24K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
JIWA GURU
Oleh: Dr. Adian Husaini

Syahdan, suatu saat di sebuah rumah makan di Kota Surabaya, seorang tokoh pendidikan, berkisah tentang ‘guru’. “Dulu, di awal tahun 1960-an, lulus SMP saya mendaftar Sekolah Guru Atas (SGA). Rapor saya dilihat, dan saya ditolak. Lalu, saya mendaftar ke SMA terbaik di Surabaya. Rapor saya dilihat, dan saya diterima,” kata pria 70 tahun yang kemudian menjadi dosen di ITS.

Ayah saya seorang guru Sekolah Dasar, di sebuah desa Kabupaten Bojonegoro. Disamping tugas rutin mengajar, ia berlangganan majalah Panji Masyarakat pimpinan Buya Hamka. Saat duduk di bangku SD dan SMP (1971-1981), saya berkesempatan membaca berbagai berita dan tulisan-tulisan menarik di majalah yang dilanggan ayah saya itu.
Paman saya, seorang pedagang pasar, pun secara rutin membaca setiap edisi Panji Masyarakat yang datang. Dari paman saya itu, setiap habis maghrib, saya mengaji sejumlah kitab kuning, seperti Sullamut Tawfiq, Bidayatul Hidayah, al-Arba’in an-Nawawiyah, dan lain-lain. Kadang di surau, kadang di rumahnya.

Setiap hari, usai shalat subuh, ia berangkat ke pasar, menjajakan kain dagangannya. Sore, setiba di rumah, ia menelaah kitab, persiapan untuk mengajar. Berapa pun murid yang datang, ia mengajar dengan semangat. Sampai wafatnya, 1984 – saat saya kuliah tahun pertama di IPB -- itulah kegiatan rutin sang pedagang, yang juga kyai kampung itu.

Suatu ketika, seperti diceritakan dalam biografinya, KH Imam Zarkasyi bertanya kepada seorang santrinya yang sudah lulus, “Kamu sudah ngajar?” Si santri menjawab, “Belum, Pak Kyai!” Dan inilah komentar Kyai Imam Zarkasyi pada si santri, “Mati kamu!”

Tidak mengajarkan ilmu yang sudah diberikan oleh guru, dianggap laksana mati; tiada arti hidup tanpa mengajar; tanpa mengamalkan ilmu yang sudah diraihnya. Kata Imam al-Ghazali, dalam Kitab Ayyuhal Walad, “al-‘Ilmu bilā ‘amalin junūnun wal-‘amalu bilā ‘ilmin lam yakun.” (Ilmu tanpa amal itu gila. Dan amal tanpa ilmu, itu tidak bernilai).

****
Bertahun-tahun sebelum kemerdekaan RI, 1945, tokoh pendidikan Indonesia Mohammad Natsir sudah mengingatkan umat Islam akan ‘nasehat’ Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam: ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Pendidikan! Itu kata kuncinya. Jatuh bangun dan masa depan umat Islam serta bangsa Indonesia ditentukan oleh kualitas pendidikan. Kondisi umat saat ini adalah buah dari proses pendidikan. Kondisi sosial kita, tak ayal lagi, merupakan refleksi dari lembaga pendidikan.

Jika umat Islam kalah di berbagai bidang dan lini kehidupan, lihatlah kondisi pendidikannya. Lihatlah keluarganya. Lihatlah masjidnya. Lihatlah sekolahnya. Lihatlah kondisi kampusnya. Apakah konsep ilmu dan pendidikan Islam benar-benar diterapkan? Apakah pendidikan dipandang sebagai sebuah perjuangan atau peluang bisnis? Apakah murid dipandang sebagai penuntut ilmu atau sebagai pelanggan? Apakah guru diletakkan sebagai ‘pendidik’ (muaddib) atau ‘tukang ngajar’ bayaran?

Para santri biasanya hafal mahfudzat ini: “at-thariqatu ahammu minal māddah, wal-ustādzu ahammu minal tharīqah, wa-ruhul ustadz ahammu minal ustādz.” (Metode lebih penting daripada materi ajar; guru lebih penting daripada metode; dan jiwa guru lebih penting daripada guru).

Jadi, “jiwa guru” itulah kunci kemajuan pendidikan, dan sekaligus kemajuan bangsa. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang bersih dari penyakit syirik, munafik, riya’, cinta dunia, gila jabatan, sombong, dengki, lemah semangat, penakut, dan sebagainya.
Berapa pun anggaran pendidikan dikucurkan, jika jiwa guru tidak dibangun, maka jangan pernah mimpi kita akan menjadi bangsa hebat dan beradab! Wallahu A’lam. (Kolom di Majalah Suara Hidayatullah edisi Maret 2017)
*CERAKAN BARU:*
*ASURANSI SYARIAH (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional*
Penulis: Ir. Muhammad Syakir Sula, AAAIJ, FIIS
Hardcover 23 x 15.2 cm
778 halaman.
Prolog: Dr. Muhammad Syafii Antonio, Pengantar: Drs. H. Firdaus Djaelani, M.A. & K.H. Ma'ruf Amin

Poin Penting:
1. Sistem operasional Jiwa
2. Perbedaan antara Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
3. Konsep dan Implementasi Al-Mudharabah
4. Sistem Akuntansi dan Marketing Syariah

DAFTAR ISI
BAB I: MUKADIMAH
BAB II: LANDASAN TEORI ASURANSI SYARIAH
BAB III: PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA TENTANG ASURANSI
BAB IV: FENOMENA RIBA DAN BUNGA BANK
BAB V: SISTEM OPERASIONAL ASURANSI JIWA DALAM MENGELIMINIR GHARAR, MAISIR DAN RIBA
BAB VI: SISTEM OPERASIONAL ASURANSI KERUGIAN DALAM MENGELIMINIR RIBA DAN KONTRAK YANG BATIL
BAB VII: PERBEDAAN SECARA UMUM ANTAR ASURANSI SYARIAH DAN KONVENSIONAL
BAB VIII: KONSEP DAN IMPLEMENTASI AL-MUDHARABAH DAN AKAD TIJARAH LAINNYA PADA ASURANSI SYARIAH
BAB IX: SISTEM INVESTASI PADA ASURANSI SYARIAH
BAB X: SISTEM AKUNTANSI PADA ASURANSI SYARIAH
BAB XI: KONSEP MARKETING (PEMASARAN) ASURANSI SYARIAH
BAB XII: DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DAEWAN SYARIAH NASIONAL, BADAN ARBITRASE SYARIAH, DAN SERTIFIKASI AHLI ASURANSI SYARIAH
BAB XIII: CORPORATE CULTURE LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
BAB XIV: PRODUK-PRODUK ASURANSI SYARIAH
BAB XV: NETWORKING ASURANSI ISLAM (ASURANSI YARIAH)
BAB XVI: PRINSIP-PRINSIP UMUM MUAMALAH YANG MELANDASI ASURANSI SYARIAH
-----------------------------------------------
ASURANSI SYARIAH (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional
Penulis: Ir. Muhammad Syakir Sula, AAAIJ, FIIS
Harga Rp. 241.000,-

Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...
Kain merah putih yang disusun sebagai bendera Indonesia berbeda sifatnya dengan kain merah putih biasa. Gambar burung garuda yang dijadikan simbol Negara Indonesia telah “disakralkan” dalam kadar tertentu, dan tidak boleh diganti dengan burung emprit.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1244732992333315&id=153825841424041
*Muawiyah Bin Abu Sufyan*
Penulis: Dr. Ali bin Muhammad ash-Shallabi

Sinopsis:
Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiallahu ‘nhuma telah menjadi orang besar sejak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup, yaitu sebagai salah seorang penulis wahyu.

Di zaman kekhalifahan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu, Mu’awiyah adalah salah seorang panglima penting dalam penaklukan Syam. Pada masa Umar Radhiallahu ‘anhu , Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhutelah muncul menjadi sosok yang unggul hingga khalifah Umar menyerahkan Damaskus dan Ba’labak di bawah kepemimpinannya. Dan di masa Utsman , Mu’awiyah meraih puncak pencapaian yang gemilang; berhasil menaklukkan banyak wilayah di Syam, salah satu pusat kekuatan Romawi paling kokoh ketika itu. Dan di masa itu pula, untuk pertama kali, umat Islam berhasil membentuk pasukan angkatan laut yang hebat, dan ini sekali lagi adalah jasa Mu’awiyah.

Tetapi ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, kenapa Mu’awiyah tidak mau berbai’at? Sikap Mu’awiyah ini kemudian memicu berbagai peristiwa besar: Perang Shiffin, peristiwa tahkim, munculnya Khawarij, munculnya agama Syi’ah; yang hingga kini semua itu terus menjadi bahan kajian menarik.

Buku ini, mengulas secara faktual disertai dengan analisa yang kuat, semua yang terjadi dalam kurun waktu itu, kasus demi kasus; sehingga berbagai peristiwa yang tampak bagaikan tumpukan peristiwa acak, dan fitnah tumpang tindih menjadi terurai dan terpetakan dengan jelas. Di antara gerakan Jihad yang dilakukan Mu’awiyah adalah menghadapi Romawi Byzantium yang berpusat di Konstantinopel, yang ketika itu adalah palang pintu benua Eropa.

Dan yang paling spektakuler adalah keberhasilan Mu’awiyah menaklukkan Afrika Utara seluruhnya. Kemudian menaklukkan ke arah timur hingga mencapai Khurasan, Sijistan, dan negeri-negeri seberang sungai Jaihun (kini: Sungai Amu Darya). Mu’awiyah telah mengabdikan hidupnya di jalan Allah selama empat puluh tahun; dua puluh tahun sebagai gubernur dan dua puluh tahun sebagai khalifah, yang sepanjang masa itu penuh dengan torehan jasa yang luar biasa bagi kaum Muslimin. Tetapi di akhir hidupnya, mengapa Mu’awiyah membai’at putranya, Yazid? Padahal kala itu masih banyak para sahabat hebat yang masih hidup. Kemudian di zaman Yazid inilah cucu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, al-Husain bin Ali Radhiallahu ‘anhuma terbunuh.

Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang bertanggung jawab? Lebih dari itu, apa sebenarnya yang menyebabkan hari terbunuhnya al-Husain diperingati oleh agama Syi’ah sebagai hari yang utama dalam agama mereka? Kemudian, jauh hari setelah al-Husain terbunuh, khurafat tersebar simpang siur, hingga tidak kurang dari enam kota besar di berbagai belahan bumi ini mengklaim bahwa kepala al-Husain dimakamkan di sana; di mana sebenarnya kepala al-Husain dimakamkan? Buku ini adalah salah satu rujukan sejarah yang penting bagi kaum Muslimin. Dan ini adalah salah satu usaha kami untuk ikut mengurai sejarah yang telah dibuat kusut oleh para Orientalis dan Syi’ah.
------------------------------------------------
*Muawiyah Bin Abu Sufyan*
Penulis: Dr. Ali bin Muhammad ash-Shallabi
Ukuran: 16 x 24,5 cm ( Hard Cover)
Tebal buku: 1076 halaman.
Berat buku: 1,5 Kg.
Harga: Rp.159.000.

Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.

Syukran.
SIAPA MENYATUKAN NUSANTARA?
Oleh: Dr. Adian Husaini

Sejumlah pemikir dan tokoh di Indonesia pernah mengungkap teori “lapis-budaya”. Bahwa, kata mereka, Pancasila sebenarnya digali dari bumi Indonesia asli. Bahkan, seorang tokoh ternama, mengaku, ia menggali Pancasila dari bumi Indonesia yang paling dalam, yakni zaman pra-Hindu.

Teori “lapis budaya”, misalnya, pernah diungkap oleh Pendeta Dr. Eka Darmaputera, dalam disertasi doktornya yang berjudul Pancasila and the Search for Identity and Modernity, di Ph.D. Joint Graduate Program Boston and Andover Newton Theological School, tahun 1982. Eka menyebutkan adanya tiga lapisan budaya di Indonesia, yaitu Indonesia asli, India, dan Islam. Tentang lapisan asli Indoenesia, Eka menyimpulkan:
“Lapisan asli Indonesia merupakan sesuatu yang amat sulit, bila tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dijabarkan dengan lengkap dan pasti. Kesepakatan yang ada ialah, bahwa sebelum datangnya peradaban India ke Indonesia, ia telah mencapai tingkat kebudayaan yang relatif tinggi dan berakar cukup dalam. Secara umum, lapisan ini dapat digambarkan sebagai berikut: dasar peradabannya adalah pertanian (sawah dan ladang); struktur sosialnya adalah desa; kepercayaan agamaniahnya adalah animisme; …” (Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997).

Upaya untuk mengaitkan Indonesia dengan budaya asli pernah ditentang keras oleh Prof. Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi, tokoh Pujangga Baru ini justru mengajak bangsa Indonesia untuk menengok ke Barat: “Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.” Namun, Takdir menepis tuduhan bahwa ia mengarahkan Indonesia agar membebek pada Barat. Katanya: “Saya tidak pernah berkata, bahwa generasi baru tidak usah tahu kebudayaan lama. Saya hanya berkata, bahwa generasi baru harus bebas, jangan terikat kepada kebudayaan lama.” (Lihat, buku Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, cet.ke-3).

Upaya untuk membangun citra bahwa Indonesia mengalami zaman kejayaan saat berada di zaman pra-Islam, secara sistematis dikembangkan oleh para orientalis. T. Ceyler Young, seorang orientalis membuat pengakuan: “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut”. (Muhammad Quthb, Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).

Mohammad Natsir, seorang pahlawan nasional, menyebut upaya mengecilkan peran Islam dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bentuk ”nativisasi”. Sejak usia dini, anak-anak Muslim Indonesia sudah dicekoki dengan ajaran sejarah, bahwa Indonesia pernah jaya di bawah Kerajaan Majapahit. Lalu, datanglah kerajaan Islam, bernama Kerajaan Demak, menghancurkan kejayaan Hindu tersebut. Jadi, seolah-olah hendak ditanamkan pada para siswa, bahwa kedatangan Islam tidak membangun kejayaan Indonesia, tetapi justru menghancurkan kejayaannya. Islam tidak pernah menjadi pemersatu bangsa. Majapahitlah yang menyatukan Indonesia. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang kuat, Majapahit pernah menyatukan seluruh wilayah Nusantara.

Prof. Dr. C.C. Berg melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan, bahwa wilayah Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit (Depok: Komunitas Bambu, 2009).

Ada juga cerita yang memposisikan Majapahit sebagai “penjajah”, sehingga muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukkan. Babad Soengenep, misalnya, menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita yang mendasari Perang Bubat yang merupakan kesalahan besar dalam diploma
si Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk menikahkan putrinya dengan sang Prabu Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian mengantarkan putrinya hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai kebiasaan kuno, raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu untuk menjemput mempelainya.

Padahal, sejarah membuktikan, para ulama dan pendakwah Islam-lah yang menyatukan wilayah Nusantara dalam satu agama, satu bahasa, dan satu pandangan alam (worldview). Bahkan, penyatuan itu sampai meliputi wilayah Thailan Selatan, Filipina Selatan, dan Malaka. Bahasa Melayu yang telah di-Islamkan menjadi alat pemersatu bangsa yang efektif.

Keberadaan dan penyebaran bahasa Melayu pernah dianggap sebagai ancaman bagi misi Kristen oleh tokoh Jesuit, Frans van Lith (m. 1926). Dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia, Karel A. Steenbrink, mengutip ucapan van Lith: “Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.”

Kiprah Pater van Lith dalam gerakan misi di Jawa digambarkan oleh Fl. Hasto Rosariyanto, SJ dalam bukunya, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009). Dalam buku ini diceritakan, bahwa dalam suatu Kongres bahasa Jawa, secara provokatif van Lith memperingatkan orang-orang Jawa untuk berbangga akan budaya mereka dan karena itu mereka harus menghapus bahasa Melayu dari sekolah. Van Lith lebih suka mempromosikan bahasa Belanda, karena dianggapnya sebagai bahasa kemajuan.

Misi ini kemudian gagal. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia mengikrarkan sumpah: Berbahasa satu, bahasa Indonesia. (***)
*PROMO KITAB FATHUL BARI*
DISKON 10% DAN GRATIS ONGKOS KIRIM WILAYAH PULAU JAWA*
============================
FATHUL BARI | PAKET 1(JILID 1-7)
• Jilid 1: Kitab Wahyu & Iman
• Jilid 2: Kitab Ilmu
• Jilid 3: Kitab Wudhu
• Jilid 4: Kitab Mandi, Haidh & Tayammum
• Jilid 5: Kitab Shalat
• Jilid 6: Kitab Waktu-waktu Shalat & Adzan
• Jilid 7: Kitab Adzan, Shalat Berjama'ah & Imamah

FATHUL BARI | PAKET 2 (JILID 8-14)
• Jilid 8 : Kitab Adzan ( Sifat Shalat)
• Jilid 9 : Kitab Shalat Jum'at, Shalat Khauf, Shalat Ied
• Jilid 10 : Kitab Salat Witir, Shalat Istisqa', Shalat Gerhana, Sujud Tilawah, dan Shalat Qashar
• Jilid 11 : Kitab Shalta Tahajjud, Keutamaas Shalat di Masjid Haram & Nabawi, Melakukan Perbuatan Selain Rkun Shalat, Sujud Sahwi.
• Jilid 12 : Kitab Jenazah
• Jilid 13 : Kitab Zakat.
• Jilid 14 : Kitab Haji Bag. 1.

FATHUL BARI | PAKET 3 (JILID 15-21)
• Jilid 15 : Kitab Haji Bag. 2.
• Jilid 16 : Kitab Umrah; Terhalang dalam menyempurnakan Haji, Sanksi berburu di Tanah Haram, Keutamaan kota Madinah.
• Jilid 17 : Kitab Puasa, Shalat Tarawih, Keutamaan Lailatul Qadar, I'tikaf.
• Jilid 18 : Kitab Jual Beli
• Jilid 19 : Kitab Salam, Syuf'ah Ijarah, Hawalah; Kaalah, Utang Piutang , dll.
• Jilid 20: Kitab Perihal Kedzaliman; Perkongsian; Penggadaian; pembebasan Budak; Hibah.
• Jilid 21 : Kitab Kesaksian; Perdamaian; Syarat; Wasiat

FATHUL BARI | PAKET 4 (JILID 22-28)
• Jilid 22 : Kitab Jihad & Ekspedisi Militer
• Jilid 23 :Jihad dan Ekspedisi Militer, bagian seperlima harta Ghanimah untuk Allah dan Rasul-Nya, Membayar jizyah dan Gencatan senjata
• Jilid 24 : Awal Penciptaan, Kisah Nabi-nabi
• Jilid 25 : Kisah nabi-nabi, Parameter Kemuliaan
• Jilid 26 : Parameter Kemuliaan, Keutamaan Sahabat Nabi
• Jilid 27 : Keutamaan Kaum Anshar
• Jilid 28 : Peperangan Rasulullah

FATHUL BARI | PAKET 5 (JILID 29-35)
• Jilid 29: Kitab Al-Maghazi (Peperangan)
• Jilid 30: Kitab Al-Maghazi (Peperangan)
• Jilid 31: Kitab At-Tafsir (Tafsir al-Quran)
• Jilid 32: Kitab At-Tafsir (Tafsir al-Quran)
• Jilid 33: Kitab at-Tafsir (Tafsir al-Quran)
• Jilid 34: Kitab At-Tafsir (Tafsir al-Quran)
• Jilid 35: Kitab at-Tafsir (Tafsir al-Quraan)

Harga per-paket Rp. 910.000,-
Harga 5 paket lengkap Rp. 4.550.000,-
Diskon 10% dan gratis ongkos kirim untuk wilayah pulau Jawa.

Pemesanan silahkan SMS/whatsapp ke 087878147997.

Syukran...
Sejatinya, pembakaran al-Qur’an oleh John Terry atau siapapun tidak berdampak apa-apa bagi Muslim. Orang masih bisa mencetak lagi. Kita perlu marah karena ghirah kita, karena keimanan kita dan karena merusak sesuatu yang kita sucikan.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1248806575259290&id=153825841424041
*WALI ALLAH ATAU WALI SYAITAN?*
Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Ukuran: 15 cm x 24 cm
Tebal: 419 Halaman
Berat: 0,8 Kg, Hard Cover
Kitab Asli: Al-Furqaan baina Auliyaair Rahmaan wa Auliyaaisy Syaithaan
Judul Buku Lengkap: Wali Allah Ataukah Wali Syaitan, Ciri, Syarat Dan Tanda Tanda Yang Membedakan Antara Wali Allah dan Wali Syaitan


Resensi:
Kita berlindung kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala dari godaan syaithan yang terkutuk, buku ini mengupas tentang pengertian wali Allah dan wali syaithan serta ciri-ciri yang membedakan antara keduanya, berikut di antara isinya:

***

Sifat Maksum Bukan Syarat Kewalian

Sifat maksum yang berarti tidak berbuat keliru dan salah bukanlah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang wali Allah Subhaanahu wa Ta’aala.

Bahkan, seorang wali Allah boleh jadi tidak mengetahui sebagian dari keseluruhan ilmu syariat. Boleh jadi juga ada sebagian masalah agama yang masih samar bagi seorang wali Allah, hingga dia mengira sebagian perintah-Nya sebagai larangan-Nya.

Boleh jadi pula, salah seorang wali Allah menduga bahwa sebagian kejadian luar biasa yang dialaminya ialah karamah para wali Allah, padahal sebenarnya ia berasal dari syaithan yang telah mengaburkan akalnya. Sebab tingkat kewaliannya masih rendah, maka dia tidak mengetahui kalau kondisi itu berasal dari syaithan.

Namun, kekurangan yang demikian tidaklah mengeluarkan orang mukmin dari lingkup kewalian, karena Allah memaafkan ketidaksengajaan dan kelupaan umat ini.

Jaminan ampunan Allah itu sesuai dengan firman-Nya pada surat Al-Baqarah, ayat: 285-286
----------------------------------
*WALI ALLAH ATAU WALI SYAITAN?*
Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Ukuran: 15 cm x 24 cm
Tebal: 419 Halaman
Berat: 0,8 Kg, Hard Cover
Kitab Asli: Al-Furqaan baina Auliyaair Rahmaan wa Auliyaaisy Syaithaan
Judul Buku Lengkap: Wali Allah Ataukah Wali Syaitan, Ciri, Syarat Dan Tanda Tanda Yang Membedakan Antara Wali Allah dan Wali Syaitan
Harga Rp. 80.000,-
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
BEGINILAH KYAI DAHLAN
MENDIDIK KITA

Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS, Pendiri Pesantren at-Taqwa, Depok)

“Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kyai Ahmad Dahlan, sehingga mengintil (mengikuti. Pen.) kepadanya, tahun 1938 saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah, tahun 46 saya minta jangan dicoret nama saya dari Muhammadiyah; tahun ’62 ini saya berkata, moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhaanahu wa-Ta’ala, dan jikalau saya meninggal supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saya.” (Soekarno).

*
Itulah sebagian isi pidato Bung Karno pada Muktamar Muhammadiyah di Jakarta, 25 November 1962. Bung Karno mengaku kagum dengan Kyai Ahmad Dahlan sejak usia muda, tatkala masih berdiam di rumah HOS Tjokroaminoto. Karena terpesona dengan ceramah-ceramah Kyai Dahlan, maka Soekarno muda berkali-kali mengikuti tabligh Kyai Dahlan. “… saya tatkala berusia 15 tahun telah buat pertama kali berjumpa dan terpukau – dalam arti yang baik – oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan,” kata Presiden Soekarno. Karena itu, lanjut Bung Karno, “saya ngintil – ngintil artinya mengikuti – Kyai Ahmad Dahlan itu.”

Itulah sosok Kyai Haji Ahmad Dahlan yang membuat Soekarno muda terpukau dan ‘ngintil’ kemana saja Kyai Dahlan berceramah. Seperti apakah pribadi Kyai Dahlan yang mempesona itu? Solichin Salam, dalam bukunya, K.H. Ahmad Dahlan, Reformer Islam Indonesia (1963), mendokumentasikan sosok dan perjuangan Kyai Dahlan.

“Kebesaran Kyai Dahlan tidaklah terletak pada luasnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya, melainkan terletak pada kebesaran jiwanya, kebesaran pribadinya. Dengan bermodalkan kebesaran jiwanya dan disertai keichlasan dalam berjuang dan berkorban inilah yang menyebabkan segala gerak-langkahnya, amal usaha dan perjuangannya senantiasa berhasil,” tulis Solichin Salam.

Tentang kepribadian Kyai Dahlan, digambarkan: “Pribadi manusia Ahmad Dahlan ialah pribadi manusia yang sepi ing pamrih, tapi rame ing gawe. Manusia yang ikhlas, manusia yang jernih, jauh dari rasa dendam dan dengki. Kyai Ahmad Dahlan adalah manusia yang telah matang jiwanya, karenanya beliau dapat tenang dalam hidupnya.”

Semangat perjuangan dan pengorbanan Kyai Dahlan dapat disimak dalam sejumlah kisah berikut. Saat Kyai Dahlan jatuh sakit, seorang dokter Belanda menasehatinya untuk beristirahat. Kata si Dokter: “Saya mengetahui apa yang menjadi cita-cita Tuan, dan sebagai seorang dokter, saya pun mengetahui penyakit yang kyai derita. Penyakit kyai ini tidak memerlukan tetirah keluar kota, tetapi cukup di rumah saja. Sakit kyai ini hanya memerlukan mengaso, lain tidak.”

Tetapi, kyai Dahlan tidak memperhatikan nasehat dokter tersebut. Ia terus berkeliling daerah, bertabligh, tanpa peduli kesehatannya. Kyai Dahlan wafat pada 23 Februari 1923. Beberapa bulan sebelum wafatnya, Kyai Dahlan pergi 17 kali meninggalkan Yogyakarta untuk berbagai kegiatan dakwah.

Berikut ini diantara kegiatan Kyai Dahlan pada akhir-akhir hidupnya. Pada 7 Januari 1922, membuka rapat di Banyuwangi; 28 Januari 1922, membuat promosi di Jakarta tentang pendirian Sekolah Guru Agama Islam; 6 Agustus 1922, membuka pengajaran agama Islam di sekolah Hoogere Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (Sekolah Guru Tinggi untuk guru Bumiputra) di Purworejo; 7 Agustus 1922 membantu usaha pendirian sekolah agama Islam di Kepanjen; 21 September 1922, mengurus pengajaran agama Islam di H.K.S. Purworejo; 4 November 1922, membuka pengajaran agama Islam di O.S.V.I.A (Opleidingschool voor Indlansche Ambtenaren) di Magelang; dan berbagai kegiatan lainnya.

Jadilah guru!
Tidak diragukan, Kyai Ahmad Dahlan adalah pejuang dan tokoh pendidikan nasional sejati. Disebutkan, bahwa sebab-sebab didirikannya Persyarikatan Muhammadiyah adalah: (a) Umat Islam tidak memegang teguh tuntunanal-Quran dan Sunnah Nabi sehingga merajalelanya syirik, bid’ah, dan tachyul. Akibatnya agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi, (b) ketiadaan persatuan dan kesatuan diantara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi Islam yan