*[Studi Komparatif Makna ‘Awliya’ dalam al-Maidah 51 dari 20 Kitab Tafsir]*
by *Ustadz Hasan al-Jaizy*
Telah datang beberapa pesan di HP kami, menanyakan (lagi-lagi) perihal kehebohan penerjemahan ‘awliya’ sebagai ‘teman setia’. Kami pikir, tidaklah perlu dihebohkan sekiranya kita merujuk ke kitab-kitab tafsir karya ulama. Ini sekadar masalah penerjemahan hasil tafsiran yang jikapun bukan berarti ‘pemimpin’, maka ada arti lain yang lebih rendah derajatnya daripada ‘pemimpin’. Dan jangan merasa dirugikan dengan terjemahan seperti itu, melainkan justru umat Islam lebih ‘diuntungkan’; karena ia lebih menohok.
Berikut kami tuturkan kutipan-kutipan singkat dari 20 kitab tafsir. Kami urutkan dari zaman ke zaman. Dimulai dari yang paling klasik hingga kontemporer. Dan saya harap kepada Allah semoga ini menjadi peringan masalah dan keributan kemudian menjadikan umat Islam sadar akan pentingnya kajian tafsir. Ya. Sekali lagi, ikhwah: kajian tafsir yang benar-benar mengkaji tafsir itu PENTING. Maka setelah kehebohan ini, mohon masing-masing bersimpuh di majelis-majelis para ustadznya menyimak ilmu tafsir. Baarakallaahu fiikum. Semoga Allah merahmati Anda sekalian, saudaraku muslimin.
💡0⃣1⃣ IBNU JARIR ATH-THABARY (w. 310 H), menafsirkan awliya’ sebagai anshar dan hulafa’. Anshar adalah penolong dan hulafa’ adalah sekutu atau sekongkol. Sebagaimana beliau mengatakan (tafsiran awal ayat):
إن الله تعالى ذكره نهَىَ المؤمنين جميعا أن يتخذوا اليهود والنصارى أنصارًا وحلفاءَ على أهل الإيمان بالله ورسوله وغيرَهم
“Bahwasanya Allah Ta’ala melarang orang-orang beriman semuanya menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai anshar (para penolong) dan hulafa (teman sekongkol) terhadap orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, dan (melarang menjadikan untuk) selainnya (yakni: selain Yahudi dan Nashrani Ahli Kitab dari agama kafir).” [Jaami’ al-Bayaan, 10/398, tahqiq Ahmad Syakir, Mu’assasah ar-Risalah Beirut, 1420 H]
💡0⃣2⃣ ABU MANSHUR AL-MATURIDY (w. 333 H), menyimpulkan ada dua tafsiran terhadap penggunaan kata awliya ini.
Tafsiran Pertama: Adalah tafsiran yang bermakna pelarangan menyerupai cara beragama mereka. Perkataan beliau:
لا تتخذوا أولياء في الدِّين، أي: لا تدينوا بدينهم؛ فإنكم إذا دنتم بدينهم صرتم أولياءهم.
“Janganlah kalian jadikan (mereka) para awliya dalam beragama, yakni: janganlah kalian beragama dengan agama mereka. Jika kalian beragama dengan agama mereka, maka kalian akan menjadi awliya mereka.” [Tafsir al-Maturidy, 3/537, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1426 H]
Untuk tafsiran pertama ini, bisa dimungkinkan untuk terpahami bahwa maksud awliya adalah sahabat atau teman setia. Dan tidaklah jadi teman setia mereka kecuali sepemahaman dengan mereka sekalipun memakai songkok dan dulunya ngaji.
Tafsiran Kedua: Adalah tafsiran yang tidak jauh berbeda dengan penjabaran ath-Thabary. Berikut teksnya:
لا تتخذوهم أولياء في النصر والمعونة؛ لأنهم إذا اتخذوهم أولياء في النصر والمعونة صاروا أمثالهم؛ لأنهم إذا نصروا الكفار على المسلمين وأعانوهم فقد كفروا
“Janganlah kalian menjadikan mereka para awliya dalam (urusan) bantuan dan pertolongan. Karena jika mereka (orang-orang beriman) menjadikan mereka (Yahudi dan Nashrani) sebagai awliya dalam (urusan) bantuan dan pertolongan, maka mereka akan menjadi sama dengan mereka (Yahudi dan Nashrani). Karena jika mereka membantu orang-orang kafir (dalam memerangi) orang-orang Muslim, maka mereka telah kufur!” [Tafsir al-Maturidy, 3/537]
💡0⃣3⃣ AN-NAHHAS (w. 338 H) dalam kitabnya I’rab al-Qur’an, tidak menyebut tafsiran sinonim dari awliya, melainkan menyebutkan kewajiban ber-mu’adah (المعاداة) yaitu memusuhi orang-orang kafir tersebut. Mafhum mukhalafah (opposite understanding) dari tuturan beliau adalah: haram menjadikan mereka sahabat atau ‘teman setia’. [lihat: I’rab al-Qur’an, 1/271, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1421 H)
Dan dijadikan sahabat atau ‘teman setia’ saja tidak boleh, apalagi dijadikan pemimpin.
💡0⃣4⃣ AL-JASHSHASH (w. 370 H) bermadzhab Fiqh Hanafy, mengatakan:
الْوِلَايَةَ ضِدُّ الْعَدَاوَةِ
“Al-Wilayah adalah lawan (kata) dari al-adawah (permusuhan).” [Ahkam al-Qur’
by *Ustadz Hasan al-Jaizy*
Telah datang beberapa pesan di HP kami, menanyakan (lagi-lagi) perihal kehebohan penerjemahan ‘awliya’ sebagai ‘teman setia’. Kami pikir, tidaklah perlu dihebohkan sekiranya kita merujuk ke kitab-kitab tafsir karya ulama. Ini sekadar masalah penerjemahan hasil tafsiran yang jikapun bukan berarti ‘pemimpin’, maka ada arti lain yang lebih rendah derajatnya daripada ‘pemimpin’. Dan jangan merasa dirugikan dengan terjemahan seperti itu, melainkan justru umat Islam lebih ‘diuntungkan’; karena ia lebih menohok.
Berikut kami tuturkan kutipan-kutipan singkat dari 20 kitab tafsir. Kami urutkan dari zaman ke zaman. Dimulai dari yang paling klasik hingga kontemporer. Dan saya harap kepada Allah semoga ini menjadi peringan masalah dan keributan kemudian menjadikan umat Islam sadar akan pentingnya kajian tafsir. Ya. Sekali lagi, ikhwah: kajian tafsir yang benar-benar mengkaji tafsir itu PENTING. Maka setelah kehebohan ini, mohon masing-masing bersimpuh di majelis-majelis para ustadznya menyimak ilmu tafsir. Baarakallaahu fiikum. Semoga Allah merahmati Anda sekalian, saudaraku muslimin.
💡0⃣1⃣ IBNU JARIR ATH-THABARY (w. 310 H), menafsirkan awliya’ sebagai anshar dan hulafa’. Anshar adalah penolong dan hulafa’ adalah sekutu atau sekongkol. Sebagaimana beliau mengatakan (tafsiran awal ayat):
إن الله تعالى ذكره نهَىَ المؤمنين جميعا أن يتخذوا اليهود والنصارى أنصارًا وحلفاءَ على أهل الإيمان بالله ورسوله وغيرَهم
“Bahwasanya Allah Ta’ala melarang orang-orang beriman semuanya menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai anshar (para penolong) dan hulafa (teman sekongkol) terhadap orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, dan (melarang menjadikan untuk) selainnya (yakni: selain Yahudi dan Nashrani Ahli Kitab dari agama kafir).” [Jaami’ al-Bayaan, 10/398, tahqiq Ahmad Syakir, Mu’assasah ar-Risalah Beirut, 1420 H]
💡0⃣2⃣ ABU MANSHUR AL-MATURIDY (w. 333 H), menyimpulkan ada dua tafsiran terhadap penggunaan kata awliya ini.
Tafsiran Pertama: Adalah tafsiran yang bermakna pelarangan menyerupai cara beragama mereka. Perkataan beliau:
لا تتخذوا أولياء في الدِّين، أي: لا تدينوا بدينهم؛ فإنكم إذا دنتم بدينهم صرتم أولياءهم.
“Janganlah kalian jadikan (mereka) para awliya dalam beragama, yakni: janganlah kalian beragama dengan agama mereka. Jika kalian beragama dengan agama mereka, maka kalian akan menjadi awliya mereka.” [Tafsir al-Maturidy, 3/537, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1426 H]
Untuk tafsiran pertama ini, bisa dimungkinkan untuk terpahami bahwa maksud awliya adalah sahabat atau teman setia. Dan tidaklah jadi teman setia mereka kecuali sepemahaman dengan mereka sekalipun memakai songkok dan dulunya ngaji.
Tafsiran Kedua: Adalah tafsiran yang tidak jauh berbeda dengan penjabaran ath-Thabary. Berikut teksnya:
لا تتخذوهم أولياء في النصر والمعونة؛ لأنهم إذا اتخذوهم أولياء في النصر والمعونة صاروا أمثالهم؛ لأنهم إذا نصروا الكفار على المسلمين وأعانوهم فقد كفروا
“Janganlah kalian menjadikan mereka para awliya dalam (urusan) bantuan dan pertolongan. Karena jika mereka (orang-orang beriman) menjadikan mereka (Yahudi dan Nashrani) sebagai awliya dalam (urusan) bantuan dan pertolongan, maka mereka akan menjadi sama dengan mereka (Yahudi dan Nashrani). Karena jika mereka membantu orang-orang kafir (dalam memerangi) orang-orang Muslim, maka mereka telah kufur!” [Tafsir al-Maturidy, 3/537]
💡0⃣3⃣ AN-NAHHAS (w. 338 H) dalam kitabnya I’rab al-Qur’an, tidak menyebut tafsiran sinonim dari awliya, melainkan menyebutkan kewajiban ber-mu’adah (المعاداة) yaitu memusuhi orang-orang kafir tersebut. Mafhum mukhalafah (opposite understanding) dari tuturan beliau adalah: haram menjadikan mereka sahabat atau ‘teman setia’. [lihat: I’rab al-Qur’an, 1/271, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1421 H)
Dan dijadikan sahabat atau ‘teman setia’ saja tidak boleh, apalagi dijadikan pemimpin.
💡0⃣4⃣ AL-JASHSHASH (w. 370 H) bermadzhab Fiqh Hanafy, mengatakan:
الْوِلَايَةَ ضِدُّ الْعَدَاوَةِ
“Al-Wilayah adalah lawan (kata) dari al-adawah (permusuhan).” [Ahkam al-Qur’
an, 4/99, Dar Ihya’ at-Turats, cet. 1405 H)
Dan lawan kata musuh adalah teman (dekat). Ketika dilarang berteman dekat, maka lebih-lebih mengusungnya menjadi pemimpin.
💡0⃣5⃣ ABU AL-LAITS AS-SAMARQANDY (w. 373 H) bermadzhab Fiqh Hanafy, mengatakan:
لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ في العون والنصرة
“Jangan kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliya dalam (urusan) bantuan dan pertolongan.” [Bahr al-Ulum, 1/397]
💡0⃣6⃣ MAKKY BIN ABU THALIB (w. 437 H) bermadzhab Fiqh Maliky dari tanah Andalusia, memaknai awliya sebagai anshar (penolong). Sebagaimana beliau menafsirkan kalimat dalam ayat بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ dengan tafsiran berikut:
اليهود بعضهم أنصار بعض
“Orang Yahudi sebagiannya adalah ANSHAR (penolong) sebagian lainnya.” [Al-Hidayah ila Bulugh an-Nihayah, 3/1778, Maktab al-Buhuts, cet. 1429 H]
💡0⃣7⃣ AL-BAGHAWY (w. 510 H) bermadzhab Fiqh Syafi’I juga mengatakan pelarangan menjadikan mereka sebagai awliya dalam urusan pertolongan dan bantuan atas kaum muslimin, dengan kalimat (tidak saya terjemahkan karena berulang maknanya):
بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ، فِي الْعَوْنِ وَالنُّصْرَةِ وَيَدُهُمْ وَاحِدَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ
[Ma’alim at-Tanzil, 2/58, Dar Ihya at-Turats al-Araby, cet. 1420 H]
💡0⃣8⃣ AZ-ZAMAKHSYARY (w. 538 H) bermadzhab Fiqh Hanafy lebih terang lagi dalam menafsirkan awal ayat tersebut dengan kalimat:
لا تتخذوهم أولياء تنصرونهم وتستنصرونهم وتؤاخونهم وتصافونهم وتعاشرونهم معاشرة المؤمنين
“Jangan kalian jadikan mereka awliya (dengan cara): kalian menolong mereka, meminta pertolongan kepada mereka, mempersaudarakan (menganggap mereka saudara), bersikap lembut kepada mereka, dan berinteraksi dengan mereka seperti interaksi kalian terhadap sesama mukmin!” [al-Kasysyaf, 1/642, Dar al-Kutub al-Araby, cet. 1407 H]
💡0⃣9⃣ IBNU ATHIYYAH AL-ANDALUSY (w. 542 H) bermadzhab Fiqh Maliky menyebutkan:
نهى الله تعالى المؤمنين بهذه الآية عن اتخاذ اليهود والنصارى أولياء في النصرة والخلطة المؤدية إلى الامتزاج والمعاضدة
“Allah melarang orang-orang beriman dengan ayat ini dari menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai awliya dalam (urusan) bantuan, BERBAUR yang menyebabkan percampuran (dalam masalah sikap beragama –Hasan-) dan saling kuat menguatkan!” [Al-Muharrar al-Wajiz, 2/203, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1422 H]
💡1⃣0⃣ FAKHRUDDIN AR-RAZY (w. 606 H) bermadzhab Fiqh Syafi’I menafsirkan secara jelas dengan kalimat beliau:
وَمَعْنَى لَا تَتَّخِذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ: أَيْ لَا تَعْتَمِدُوا عَلَى الِاسْتِنْصَارِ بِهِمْ، وَلَا تَتَوَدَّدُوا إِلَيْهِمْ.
“Makna “Jangan kalian jadikan mereka awliya” adalah: Jangan bersandar/andalkan mereka dengan meminta bantuan, dan JANGAN BERKASIH SAYANG dengan mereka.” [Mafatih al-Ghayb, 12/375, Dar Ihya’ at-Turats, cet. 1420 H]
💡1⃣1⃣ ABU ABDILLAH AL-QURTHUBY AL-ANDALUSY (w. 671 H) bermadzhab Fiqh Maliky menginfokan kepada kita:
وَقِيلَ: إِنَّ مَعْنَى" بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ" أي في النصرة"
“Dikatakan (oleh sebagian ulama): bahwasanya makna “sebagian dari mereka adalah awliya sebagian lainnya”, yakni (maksudnya) dalam hal tolong-menolong.” [Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 6/217, Dar al-Kutub al-Mishriyyah, cet. 1384 H]
Berarti, bisa dimaknai sebagai ‘teman yang menolong’.
💡1⃣2⃣ NASHIRUDDIN AL-BAYDHAWY (w. 685 H) bermadzhab Fiqh Syafi’I menafsirkan awal ayat tersebut dengan:
لا تعتمدوا عليهم ولا تعاشروهم معاشرة الأحباب
“Jangan kalian bersandar/mengandalkan mereka (Yahudi dan Nashrani) dan jangan kalian pergauli mereka seperti pergaulan terhadap ahbab (orang yang kalian sukai).” [Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, 2/130, cet. Dar Ihya’ at-Turats al-Araby, cet. 1418 H]
Dilarangnya bergaul dengan mereka seolah bergaul dengan orang yang kita suka menunjukkan: dilarang menjadikan mereka sebagai teman dekat/setia.
Ditambah dengan penekanan beliau setelah beberapa kalimat kemudian:
وهذا التشديد في وجوب مجانبتهم
“Dan ini adalah suatu tasydid (penekanan/emphasis) perihal WAJIBNYA menyelisihi/menjauhi mereka.” [ibid]
Kalam di atas menunjukkan lebih jelas lagi. Jika menyelisihi saja wajib, maka tentu menjadikan ‘teman setia’ adalah haram. Dan menjadikan teman se
Dan lawan kata musuh adalah teman (dekat). Ketika dilarang berteman dekat, maka lebih-lebih mengusungnya menjadi pemimpin.
💡0⃣5⃣ ABU AL-LAITS AS-SAMARQANDY (w. 373 H) bermadzhab Fiqh Hanafy, mengatakan:
لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ في العون والنصرة
“Jangan kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliya dalam (urusan) bantuan dan pertolongan.” [Bahr al-Ulum, 1/397]
💡0⃣6⃣ MAKKY BIN ABU THALIB (w. 437 H) bermadzhab Fiqh Maliky dari tanah Andalusia, memaknai awliya sebagai anshar (penolong). Sebagaimana beliau menafsirkan kalimat dalam ayat بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ dengan tafsiran berikut:
اليهود بعضهم أنصار بعض
“Orang Yahudi sebagiannya adalah ANSHAR (penolong) sebagian lainnya.” [Al-Hidayah ila Bulugh an-Nihayah, 3/1778, Maktab al-Buhuts, cet. 1429 H]
💡0⃣7⃣ AL-BAGHAWY (w. 510 H) bermadzhab Fiqh Syafi’I juga mengatakan pelarangan menjadikan mereka sebagai awliya dalam urusan pertolongan dan bantuan atas kaum muslimin, dengan kalimat (tidak saya terjemahkan karena berulang maknanya):
بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ، فِي الْعَوْنِ وَالنُّصْرَةِ وَيَدُهُمْ وَاحِدَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ
[Ma’alim at-Tanzil, 2/58, Dar Ihya at-Turats al-Araby, cet. 1420 H]
💡0⃣8⃣ AZ-ZAMAKHSYARY (w. 538 H) bermadzhab Fiqh Hanafy lebih terang lagi dalam menafsirkan awal ayat tersebut dengan kalimat:
لا تتخذوهم أولياء تنصرونهم وتستنصرونهم وتؤاخونهم وتصافونهم وتعاشرونهم معاشرة المؤمنين
“Jangan kalian jadikan mereka awliya (dengan cara): kalian menolong mereka, meminta pertolongan kepada mereka, mempersaudarakan (menganggap mereka saudara), bersikap lembut kepada mereka, dan berinteraksi dengan mereka seperti interaksi kalian terhadap sesama mukmin!” [al-Kasysyaf, 1/642, Dar al-Kutub al-Araby, cet. 1407 H]
💡0⃣9⃣ IBNU ATHIYYAH AL-ANDALUSY (w. 542 H) bermadzhab Fiqh Maliky menyebutkan:
نهى الله تعالى المؤمنين بهذه الآية عن اتخاذ اليهود والنصارى أولياء في النصرة والخلطة المؤدية إلى الامتزاج والمعاضدة
“Allah melarang orang-orang beriman dengan ayat ini dari menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai awliya dalam (urusan) bantuan, BERBAUR yang menyebabkan percampuran (dalam masalah sikap beragama –Hasan-) dan saling kuat menguatkan!” [Al-Muharrar al-Wajiz, 2/203, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1422 H]
💡1⃣0⃣ FAKHRUDDIN AR-RAZY (w. 606 H) bermadzhab Fiqh Syafi’I menafsirkan secara jelas dengan kalimat beliau:
وَمَعْنَى لَا تَتَّخِذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ: أَيْ لَا تَعْتَمِدُوا عَلَى الِاسْتِنْصَارِ بِهِمْ، وَلَا تَتَوَدَّدُوا إِلَيْهِمْ.
“Makna “Jangan kalian jadikan mereka awliya” adalah: Jangan bersandar/andalkan mereka dengan meminta bantuan, dan JANGAN BERKASIH SAYANG dengan mereka.” [Mafatih al-Ghayb, 12/375, Dar Ihya’ at-Turats, cet. 1420 H]
💡1⃣1⃣ ABU ABDILLAH AL-QURTHUBY AL-ANDALUSY (w. 671 H) bermadzhab Fiqh Maliky menginfokan kepada kita:
وَقِيلَ: إِنَّ مَعْنَى" بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ" أي في النصرة"
“Dikatakan (oleh sebagian ulama): bahwasanya makna “sebagian dari mereka adalah awliya sebagian lainnya”, yakni (maksudnya) dalam hal tolong-menolong.” [Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 6/217, Dar al-Kutub al-Mishriyyah, cet. 1384 H]
Berarti, bisa dimaknai sebagai ‘teman yang menolong’.
💡1⃣2⃣ NASHIRUDDIN AL-BAYDHAWY (w. 685 H) bermadzhab Fiqh Syafi’I menafsirkan awal ayat tersebut dengan:
لا تعتمدوا عليهم ولا تعاشروهم معاشرة الأحباب
“Jangan kalian bersandar/mengandalkan mereka (Yahudi dan Nashrani) dan jangan kalian pergauli mereka seperti pergaulan terhadap ahbab (orang yang kalian sukai).” [Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, 2/130, cet. Dar Ihya’ at-Turats al-Araby, cet. 1418 H]
Dilarangnya bergaul dengan mereka seolah bergaul dengan orang yang kita suka menunjukkan: dilarang menjadikan mereka sebagai teman dekat/setia.
Ditambah dengan penekanan beliau setelah beberapa kalimat kemudian:
وهذا التشديد في وجوب مجانبتهم
“Dan ini adalah suatu tasydid (penekanan/emphasis) perihal WAJIBNYA menyelisihi/menjauhi mereka.” [ibid]
Kalam di atas menunjukkan lebih jelas lagi. Jika menyelisihi saja wajib, maka tentu menjadikan ‘teman setia’ adalah haram. Dan menjadikan teman se
tia saja terlarang dan haram, maka bagaimana dengan menjadikan mereka sebagai pemimpin?
💡1⃣3⃣ ABU HAYYAN AL-ANDALUSY (w. 745 H), sang pakar Nahwu juga menafsirkan (tidak perlu saya terjemahkan karena berulang):
نَهَى تَعَالَى الْمُؤْمِنِينَ عَنْ مُوَالَاةِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى يَنْصُرُونَهُمْ وَيَسْتَنْصِرُونَ بِهِمْ، وَيُعَاشِرُونَهُمْ مُعَاشَرَةَ الْمُؤْمِنِينَ
[AL-Bahr al-Muhith fi at-Tafsir, 4/291, Dar al-Fikr, cet. 1420 H]
💡1⃣4⃣ ABU ZAID AST-TSA'ALIBY (w. 875 H) juga berkata sama persis dengan kalimat Ibnu Athiyyah dari al-Muharrar al-Wajiz:
نهى اللَّه سبحانه المؤمنين بهذه الآية عَن اتخاذِ اليهودِ والنصارى أولياءَ في النُّصْرة والخُلْطة المؤدِّية إلى الامتزاج والمعاضَدَة
[Al-Jawahir al-Hisan, 2/392, Dar Ihya’ at-Turats al-Araby, cet. 1418 H]
💡1⃣5⃣ IBRAHIM AL-BIQA'IY (w. 885 H) dalam kitab besarnya Nazhm ad-Durar menyebutkan dengan jelas tafsiran awliya:
أولياء أي أقرباء تفعلون معهم ما يفعل القريب مع قريبه، وترجون منهم مثل ذلك
“Awliya, yaitu: AQRIBA (kerabat/orang dekat), kalian berlaku bersama mereka sebagaimana seorang karib berlaku bersama karibnya, dan kalian mengharapkan dari mereka perlakuan serupa!” [Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar, 6/186, Dar al-Kitab al-Islamy Kairo]
Yang bisa disebut juga sesuai tafsiran di atas: ‘teman setia’. Jika menjadikan mereka ‘teman setia’ saja dilarang, apalagi menjadikan mereka pemimpin?!
💡1⃣6⃣ NI'MATULLAH ILWAN (w. 920 H) menjelaskan penafsiran ayat tersebut dengan kalimat:
لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ توالونهم وتصاحبونهم مثل موالاة المؤمنين ولا تعتمدوا ولا تثقوا بمحبتهم ومودتهم
“Janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliya yang kalian berwala’ (berkasih sayang) pada mereka dan bersahabat dengan mereka, seperti kasih sayangnya (kalian) terhadap orang-orang beriman! Jangan kalian bersandar/mengandalkan mereka. Jangan kalian percayai cinta dan kasih sayang mereka!” [Al-Fawatih al-Ilahiyyah wa al-Mafatih al-Ghaybiyyah, 1/196, Dar Rukkaby, cet. 1419 H]
💡1⃣7⃣ ASY-SYAUKANY (w. 1250 H) menafsirkan pelarangan tersebut dengan kalimat berikut:
الْمُرَادُ مِنَ النَّهْيِ عَنِ اتِّخَاذِهِمْ أَوْلِيَاءَ أَنْ يُعَامَلُوا مُعَامَلَةَ الأولياء في المصادقة وَالْمُعَاشَرَةِ وَالْمُنَاصَرَةِ
“Yang dimaksud dari larangan menjadikan mereka sebagai awliya adalah: (pelarangan) terhadap menyikapi mereka seperti menyikapi orang-orang tersayang dalam urusan mushadaqah (saling percaya), mu’asyarah (interaksi sosial) dan munasharah (saling bahu membahu).” [Fath al-Qadir, 2/57, Dar Ibn Katsir, cet. 1414 H]
💡1⃣8⃣ Ulama kelahiran nusantara, MUHAMMAD BIN UMAR AL-BANTANY AL-JAWY (w. 1316 H) mengatakan sebagai penafsiran terhadap awal ayat:
لا تعتمدوا على الاستنصار بهم ولا تعاشروهم معاشرة الأحباب
“Jangan kalian bersandar/mengandalkan mereka dalam (urusan) mencari bantuan. Dan jangan perlakukan mereka seperti perlakuan (kalian terhadap) ahbab (orang-orang tercinta).” [Marah Labid li Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid, 1/274, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1417 H]
Ahbab: orang-orang tercinta, bukan hanya termasuk di dalamnya kekasih, melainkan sahabat atau teman dekat atau teman setia. Karena tiada kesetiaan kecuali kalau ada sayang (hubb). Jika itu saja dilarang, maka apalagi untuk dijadikan pemimpin?!
💡1⃣9⃣ ATH-THAHIR IBN ASYUR (w. 1393 H), ulama fenomenal Tunisia, memberitakan suatu hal penting tentang kosakata al-wilayah (bentuk mashdar untuk wali/awliya):
الْوَلَايَةَ تَنْبَنِي عَلَى الْوِفَاقِ وَالْوِئَامِ وَالصِّلَةِ
“Al-Wilayah itu berdasarkan ketercocokan, PERSAHABATAN dan relationship.” [At-Tahrir wa at-Tanwir, 6/228, ad-Dar at-Tunisiyyah, cet. 1984 M]
Juga beliau katakan:
الْوَلَايَةُ هُنَا وَلَايَةُ الْمَوَدَّةِ وَالنُّصْرَةِ
“Al-Wilayah di ayat ini adalah al-wilayah dalam (urusan) mawaddah (berkasih sayang) dan nushrah (bahu membahu).” [ibid]
💡2⃣0⃣ ABU BAKR AL-JAZAIRY –hafizhahullah- memiliki kitab tafsir masyhur dan indah bernama Aysar at-Tafasir li Kalam al-Aliy al-Kabir yang diterjemahkan menjadi Tafsir al-Aisar yang selama ini kami kaji. Beliau berkata
أَوْلِيَاءَ : لكم توالونهم بالنصرة والمحبة
“Awliya” (maksudnya): kalia
💡1⃣3⃣ ABU HAYYAN AL-ANDALUSY (w. 745 H), sang pakar Nahwu juga menafsirkan (tidak perlu saya terjemahkan karena berulang):
نَهَى تَعَالَى الْمُؤْمِنِينَ عَنْ مُوَالَاةِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى يَنْصُرُونَهُمْ وَيَسْتَنْصِرُونَ بِهِمْ، وَيُعَاشِرُونَهُمْ مُعَاشَرَةَ الْمُؤْمِنِينَ
[AL-Bahr al-Muhith fi at-Tafsir, 4/291, Dar al-Fikr, cet. 1420 H]
💡1⃣4⃣ ABU ZAID AST-TSA'ALIBY (w. 875 H) juga berkata sama persis dengan kalimat Ibnu Athiyyah dari al-Muharrar al-Wajiz:
نهى اللَّه سبحانه المؤمنين بهذه الآية عَن اتخاذِ اليهودِ والنصارى أولياءَ في النُّصْرة والخُلْطة المؤدِّية إلى الامتزاج والمعاضَدَة
[Al-Jawahir al-Hisan, 2/392, Dar Ihya’ at-Turats al-Araby, cet. 1418 H]
💡1⃣5⃣ IBRAHIM AL-BIQA'IY (w. 885 H) dalam kitab besarnya Nazhm ad-Durar menyebutkan dengan jelas tafsiran awliya:
أولياء أي أقرباء تفعلون معهم ما يفعل القريب مع قريبه، وترجون منهم مثل ذلك
“Awliya, yaitu: AQRIBA (kerabat/orang dekat), kalian berlaku bersama mereka sebagaimana seorang karib berlaku bersama karibnya, dan kalian mengharapkan dari mereka perlakuan serupa!” [Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar, 6/186, Dar al-Kitab al-Islamy Kairo]
Yang bisa disebut juga sesuai tafsiran di atas: ‘teman setia’. Jika menjadikan mereka ‘teman setia’ saja dilarang, apalagi menjadikan mereka pemimpin?!
💡1⃣6⃣ NI'MATULLAH ILWAN (w. 920 H) menjelaskan penafsiran ayat tersebut dengan kalimat:
لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ توالونهم وتصاحبونهم مثل موالاة المؤمنين ولا تعتمدوا ولا تثقوا بمحبتهم ومودتهم
“Janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliya yang kalian berwala’ (berkasih sayang) pada mereka dan bersahabat dengan mereka, seperti kasih sayangnya (kalian) terhadap orang-orang beriman! Jangan kalian bersandar/mengandalkan mereka. Jangan kalian percayai cinta dan kasih sayang mereka!” [Al-Fawatih al-Ilahiyyah wa al-Mafatih al-Ghaybiyyah, 1/196, Dar Rukkaby, cet. 1419 H]
💡1⃣7⃣ ASY-SYAUKANY (w. 1250 H) menafsirkan pelarangan tersebut dengan kalimat berikut:
الْمُرَادُ مِنَ النَّهْيِ عَنِ اتِّخَاذِهِمْ أَوْلِيَاءَ أَنْ يُعَامَلُوا مُعَامَلَةَ الأولياء في المصادقة وَالْمُعَاشَرَةِ وَالْمُنَاصَرَةِ
“Yang dimaksud dari larangan menjadikan mereka sebagai awliya adalah: (pelarangan) terhadap menyikapi mereka seperti menyikapi orang-orang tersayang dalam urusan mushadaqah (saling percaya), mu’asyarah (interaksi sosial) dan munasharah (saling bahu membahu).” [Fath al-Qadir, 2/57, Dar Ibn Katsir, cet. 1414 H]
💡1⃣8⃣ Ulama kelahiran nusantara, MUHAMMAD BIN UMAR AL-BANTANY AL-JAWY (w. 1316 H) mengatakan sebagai penafsiran terhadap awal ayat:
لا تعتمدوا على الاستنصار بهم ولا تعاشروهم معاشرة الأحباب
“Jangan kalian bersandar/mengandalkan mereka dalam (urusan) mencari bantuan. Dan jangan perlakukan mereka seperti perlakuan (kalian terhadap) ahbab (orang-orang tercinta).” [Marah Labid li Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid, 1/274, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1417 H]
Ahbab: orang-orang tercinta, bukan hanya termasuk di dalamnya kekasih, melainkan sahabat atau teman dekat atau teman setia. Karena tiada kesetiaan kecuali kalau ada sayang (hubb). Jika itu saja dilarang, maka apalagi untuk dijadikan pemimpin?!
💡1⃣9⃣ ATH-THAHIR IBN ASYUR (w. 1393 H), ulama fenomenal Tunisia, memberitakan suatu hal penting tentang kosakata al-wilayah (bentuk mashdar untuk wali/awliya):
الْوَلَايَةَ تَنْبَنِي عَلَى الْوِفَاقِ وَالْوِئَامِ وَالصِّلَةِ
“Al-Wilayah itu berdasarkan ketercocokan, PERSAHABATAN dan relationship.” [At-Tahrir wa at-Tanwir, 6/228, ad-Dar at-Tunisiyyah, cet. 1984 M]
Juga beliau katakan:
الْوَلَايَةُ هُنَا وَلَايَةُ الْمَوَدَّةِ وَالنُّصْرَةِ
“Al-Wilayah di ayat ini adalah al-wilayah dalam (urusan) mawaddah (berkasih sayang) dan nushrah (bahu membahu).” [ibid]
💡2⃣0⃣ ABU BAKR AL-JAZAIRY –hafizhahullah- memiliki kitab tafsir masyhur dan indah bernama Aysar at-Tafasir li Kalam al-Aliy al-Kabir yang diterjemahkan menjadi Tafsir al-Aisar yang selama ini kami kaji. Beliau berkata
أَوْلِيَاءَ : لكم توالونهم بالنصرة والمحبة
“Awliya” (maksudnya): kalia
n berwala’ kepada mereka (Yahudi dan Nashrani) dalam (urusan) pertolongan dan rasa suka.” [Aysar at-Tafasir, 1/641, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, cet. 1424 H]
Selesai sudah nukilan dari 20 kitab tafsir. Yang sebenarnya, dalam literatur Islam, masih banyak kitab-kitab tafsir yang belum dinukil darinya di dokumentasi ini. Disebabkan kekhawatiran akan berkepanjangan berlebih. Semoga Allah berikan taufiq.
Berangkat dari beragam penafsiran dan penjelasan ulama, maka kami –yang semoga Allah maafkan dan beri hidayah- sendiri tidak serta merta menyangkal penerjemahan ‘awliya’ sebagai ‘teman setia’. Justru makna tersebut semakin menekankan akan tidak bolehnya menjadikan orang kafir (entah Yahudi, Nashrani, Budha, Hindu, Atheis dan lainnya) sebagai pemimpin. Jika jadi teman setia saja dilarang, maka bagaimana jadi pemimpin?
Ini dalam pembahasan Ushul Fiqh, bisa disebut pula masuk kategori al-Qiyas al-Awlawy, yaitu pengkiasan terhadap hal yang lebih utama lagi.
Dan harapnya terjemahan semacam ini tidak dipusingkan. Karena yang perlu lebih kita pikirkan sekarang adalah *_kita sebenarnya telah 'ditegur' agar belajar lebih baik lagi, lebih sistematis, lebih serius belajar dari kitab-kitab dan kita sama-sama berharap semoga Allah Ta'ala mengembalikan kejayaan keilmuan kaum Muslimin._* Baarakallaahu fiikum.
Selesai sudah nukilan dari 20 kitab tafsir. Yang sebenarnya, dalam literatur Islam, masih banyak kitab-kitab tafsir yang belum dinukil darinya di dokumentasi ini. Disebabkan kekhawatiran akan berkepanjangan berlebih. Semoga Allah berikan taufiq.
Berangkat dari beragam penafsiran dan penjelasan ulama, maka kami –yang semoga Allah maafkan dan beri hidayah- sendiri tidak serta merta menyangkal penerjemahan ‘awliya’ sebagai ‘teman setia’. Justru makna tersebut semakin menekankan akan tidak bolehnya menjadikan orang kafir (entah Yahudi, Nashrani, Budha, Hindu, Atheis dan lainnya) sebagai pemimpin. Jika jadi teman setia saja dilarang, maka bagaimana jadi pemimpin?
Ini dalam pembahasan Ushul Fiqh, bisa disebut pula masuk kategori al-Qiyas al-Awlawy, yaitu pengkiasan terhadap hal yang lebih utama lagi.
Dan harapnya terjemahan semacam ini tidak dipusingkan. Karena yang perlu lebih kita pikirkan sekarang adalah *_kita sebenarnya telah 'ditegur' agar belajar lebih baik lagi, lebih sistematis, lebih serius belajar dari kitab-kitab dan kita sama-sama berharap semoga Allah Ta'ala mengembalikan kejayaan keilmuan kaum Muslimin._* Baarakallaahu fiikum.
*(Repost, Biar semangat lagi mengamalkannya)
Keutamaan Qobliyah Dzuhur dan Ba'diyahnya
@fuadhbaraba
Dari Ummu Habibah Ummul Mukminin _radhiallahu 'anha_ berkata: aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda:
من حافظ على أربع قبل الظهر و أربع بعدها حرمه الله تعالى على النار
*_"Barangsiapa menjaga empat raka'at sebelum dzuhur dan empat raka'at setelahnya, maka Allah Ta'ala haramkan neraka atasnya."_*(HR. Ahmad: 2/117, Abu Daud: 1271, at-Tirmidzi: 430, an-Nasai: 3/266, Ibnu Majah: 1160). Lihat Hasyiah syaikh Bin Baz _rahimahullah_ atas Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam: 1/255.
Begitu besar pahala bagi orang-orang yang selalu rutin melaksanakan shalat sunnah sebelum dan setelah dzuhur, yang masing-masingnya empat raka'at.
Hal yang ringan, namun banyak dilalaikan oleh kaum muslimin.
Dengan ini hendaklah para pengurus masjid, memberikan kesempatan bagi jama'ah yang akan melaksanakan sunnah ini, dengan memberikan waktu yang cukup, dan tidak terburu-buru untuk mengumandangkan iqomah.
Mudah-mudahan kita semua diberi kekuatan untuk bisa selalu menjaga sunnah ini, sehingga bisa mendapatkan keutamaannya.
آمين يا رب العالمين
BBG Al-ilmu telegram.me/alilmu
Keutamaan Qobliyah Dzuhur dan Ba'diyahnya
@fuadhbaraba
Dari Ummu Habibah Ummul Mukminin _radhiallahu 'anha_ berkata: aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda:
من حافظ على أربع قبل الظهر و أربع بعدها حرمه الله تعالى على النار
*_"Barangsiapa menjaga empat raka'at sebelum dzuhur dan empat raka'at setelahnya, maka Allah Ta'ala haramkan neraka atasnya."_*(HR. Ahmad: 2/117, Abu Daud: 1271, at-Tirmidzi: 430, an-Nasai: 3/266, Ibnu Majah: 1160). Lihat Hasyiah syaikh Bin Baz _rahimahullah_ atas Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam: 1/255.
Begitu besar pahala bagi orang-orang yang selalu rutin melaksanakan shalat sunnah sebelum dan setelah dzuhur, yang masing-masingnya empat raka'at.
Hal yang ringan, namun banyak dilalaikan oleh kaum muslimin.
Dengan ini hendaklah para pengurus masjid, memberikan kesempatan bagi jama'ah yang akan melaksanakan sunnah ini, dengan memberikan waktu yang cukup, dan tidak terburu-buru untuk mengumandangkan iqomah.
Mudah-mudahan kita semua diberi kekuatan untuk bisa selalu menjaga sunnah ini, sehingga bisa mendapatkan keutamaannya.
آمين يا رب العالمين
BBG Al-ilmu telegram.me/alilmu
Telegram
BBG Al-ilmu
Menebar cahaya sunnah, group medsos berawal dari grup bbm Al-ilmu
Peringatan !!!!
Jangan mau jadi tontonan gratis para syaitan..
Karena..
Syaitan akan turut serta dalam hubungan intim antara sumai istri jika tdk berdoa dg doa yg diajarkan nabi shalallahu alaihi wasalam, karena di dalam do’a ini diawali dengan penyebutan “bismillah”. Demikian pendapat sebagian ulama. Mujahid rahimahullah berkata,
أَنَّ الَّذِي يُجَامِع وَلَا يُسَمِّي يَلْتَفّ الشَّيْطَان عَلَى إِحْلِيله فَيُجَامِع مَعَهُ
“Siapa yang berhubungan intim dengan istrinya lantas tidak mengawalinya dengan ‘bismillah’, maka setan akan menoleh pada pasangannya lalu akan turut dalam berhubungan intim dengannya” (Fathul Bari, 9: 229)
Innalillah... Sungguh memalukan..
Mari kita cari tau.doanya...
Apa doanya?
Tapi Harus anda hafalkan ya!! Atau jika susah hafal, tulis yg besar dan tempel saja ditempat istirahat
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ فَقَالَ:
بِسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
. فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرُّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
“Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a:
[Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa],
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”,
kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434).
Dan syaiton pun akan terhalang dari melihat anda berdua dalam bercinta!
Ust. Nurcholis Majid Ahmad LC
BBG Al-ilmu telegram.me/alilmu
Jangan mau jadi tontonan gratis para syaitan..
Karena..
Syaitan akan turut serta dalam hubungan intim antara sumai istri jika tdk berdoa dg doa yg diajarkan nabi shalallahu alaihi wasalam, karena di dalam do’a ini diawali dengan penyebutan “bismillah”. Demikian pendapat sebagian ulama. Mujahid rahimahullah berkata,
أَنَّ الَّذِي يُجَامِع وَلَا يُسَمِّي يَلْتَفّ الشَّيْطَان عَلَى إِحْلِيله فَيُجَامِع مَعَهُ
“Siapa yang berhubungan intim dengan istrinya lantas tidak mengawalinya dengan ‘bismillah’, maka setan akan menoleh pada pasangannya lalu akan turut dalam berhubungan intim dengannya” (Fathul Bari, 9: 229)
Innalillah... Sungguh memalukan..
Mari kita cari tau.doanya...
Apa doanya?
Tapi Harus anda hafalkan ya!! Atau jika susah hafal, tulis yg besar dan tempel saja ditempat istirahat
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ فَقَالَ:
بِسْمِ اللَّهِ ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
. فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرُّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
“Jika salah seorang dari kalian (yaitu suami) ingin berhubungan intim dengan istrinya, lalu ia membaca do’a:
[Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa],
“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki yang Engkau anugerahkan kepada kami”,
kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya” (HR. Bukhari no. 6388 dan Muslim no. 1434).
Dan syaiton pun akan terhalang dari melihat anda berdua dalam bercinta!
Ust. Nurcholis Majid Ahmad LC
BBG Al-ilmu telegram.me/alilmu
Telegram
BBG Al-ilmu
Menebar cahaya sunnah, group medsos berawal dari grup bbm Al-ilmu
*Penggugur Dosa-Dosa*
@fuadhbaraba
*Hadits ke dua puluh empat dari 100 hadits tuk dihafal
Di antara amal shaleh ada yang dapat menggugurkan dosa-dosa, karena semua dosa dapat diampuni oleh Allah Ta'ala dengan sebab amal shaleh yang kita kerjakan, kecuali dosa-dosa besar, karena dosa-dosa besar itu hanya dapat digugurkan dengan taubat.
Dan amal shaleh yang dapat menggugurkan dosa-dosa itu di antaranya adalah shalat lima waktu, shalat jumat dan puasa ramadhan.
Hal itu terlihat dari sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ: الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ. مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
*_"Shalat lima waktu, shalat jumat ke jumat berikutnya, berpuasa ramadhan ke ramadhan berikutnya adalah penggugur dosa-dosa diantaranya jika dosa-dosa besar dijauhi"._* (HR. Muslim).
Hadits ini menjelaskan kepada kita, bahwa shalat lima waktu, shalat jumat, dan puasa ramadhan dapat menggugurkan dosa-dosa.
Penggugur dosa seperti ini dikelompokkan oleh para ulama sebagai amal shaleh.
Akan tetapi amal shaleh tersebut menurut jumhur ahlus sunnah hanya dapat menggugurkan dosa-dosa kecil saja, itupun dengan syarat menjauhi dosa-dosa besar.
Adapun dosa-dosa besar, kita harus bertaubat darinya. الله أعلم
Semoga Allah Ta'ala yang maha pemurah mengampuni dosa-dosa kita semua...
Aamiin...
@fuadhbaraba
*Hadits ke dua puluh empat dari 100 hadits tuk dihafal
Di antara amal shaleh ada yang dapat menggugurkan dosa-dosa, karena semua dosa dapat diampuni oleh Allah Ta'ala dengan sebab amal shaleh yang kita kerjakan, kecuali dosa-dosa besar, karena dosa-dosa besar itu hanya dapat digugurkan dengan taubat.
Dan amal shaleh yang dapat menggugurkan dosa-dosa itu di antaranya adalah shalat lima waktu, shalat jumat dan puasa ramadhan.
Hal itu terlihat dari sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ: الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ. مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
*_"Shalat lima waktu, shalat jumat ke jumat berikutnya, berpuasa ramadhan ke ramadhan berikutnya adalah penggugur dosa-dosa diantaranya jika dosa-dosa besar dijauhi"._* (HR. Muslim).
Hadits ini menjelaskan kepada kita, bahwa shalat lima waktu, shalat jumat, dan puasa ramadhan dapat menggugurkan dosa-dosa.
Penggugur dosa seperti ini dikelompokkan oleh para ulama sebagai amal shaleh.
Akan tetapi amal shaleh tersebut menurut jumhur ahlus sunnah hanya dapat menggugurkan dosa-dosa kecil saja, itupun dengan syarat menjauhi dosa-dosa besar.
Adapun dosa-dosa besar, kita harus bertaubat darinya. الله أعلم
Semoga Allah Ta'ala yang maha pemurah mengampuni dosa-dosa kita semua...
Aamiin...
# Isbal boleh bila tidak sombong??
Ust. Badrusalam LC
Dari Amru bin Syariid ia berkata, "Nabi shallallahu alaihi wasallam melihat seorang lelaki menyeret sarungnya. Maka Nabi mengejarnya dan bersabda:
ارفع إزارك واتق الله
Angkat kainmu dan bertakwalah kepada Allah.
ia berkata, "Kedua betisku kurus dan dua lututku beradu."
Nabi bersabda:
ارفع إزارك فإن كل خلق الله عز وجل حسن
Angkat kainmu karena semua ciptaan Allah Azza wajalla itu bagus.
Semenjak itu orang tersebut memakai sarungnya sampai pertengahan betis.
(HR Ahmad 4/390 dengan sanad shahih)
Renungilah hadits ini..
Orang tersebut memakai kain melebihi mata kakinya bukan karena sombong..
tapi karena malu terlihat cacatnya..
tapi Nabi tetap menyuruhnya untuk mengangkatnya..
Ust. Badrusalam LC
Dari Amru bin Syariid ia berkata, "Nabi shallallahu alaihi wasallam melihat seorang lelaki menyeret sarungnya. Maka Nabi mengejarnya dan bersabda:
ارفع إزارك واتق الله
Angkat kainmu dan bertakwalah kepada Allah.
ia berkata, "Kedua betisku kurus dan dua lututku beradu."
Nabi bersabda:
ارفع إزارك فإن كل خلق الله عز وجل حسن
Angkat kainmu karena semua ciptaan Allah Azza wajalla itu bagus.
Semenjak itu orang tersebut memakai sarungnya sampai pertengahan betis.
(HR Ahmad 4/390 dengan sanad shahih)
Renungilah hadits ini..
Orang tersebut memakai kain melebihi mata kakinya bukan karena sombong..
tapi karena malu terlihat cacatnya..
tapi Nabi tetap menyuruhnya untuk mengangkatnya..
قال ابن مفلح الحنبلي - رحمه الله - :
Berkata Ibnu Muflih al Hanbaly rahimahullah (wafat 884 H) :
« من عجيب ما نقدت من أحوال الناس :
كثرة ما ناحوا على خراب الديار وموت الأقارب والأسلاف ، والتحسر على الأرزاق بذم الزمان وأهله ، وذكر نكد العيش فيه !
وقد رأوا من انهدام الإسلام ، وشعث الأديان ، وموت السنن ، وظهور البدع ، وارتكاب المعاصي ! فلا أجد منهم من ناح على دينه ، ولا بكى على فارط عمره ، ولا آسى على فائت دهره ! وما أرى لذلك سبباً ، إلا قلة مبالاتهم بالأديان ، وعظم الدنيا في عيونهم ».
"Diantara yang aku kritisi dari keadaan manusia yang sangat mengherankan ialah;
mereka lebih banyak meratap ketika terkena musibah pada tempat tinggal, meninggalnya kerabat, raibnya penghasilan, sengsaranya hidup, diiringi umpatan dengan menyebut keburukan zaman dan penghuninya!.
padahal disaat yang sama mereka juga melihat kehancuran islam, agama yang porak poranda, sunnah-sunnah yang telah mati, digantikan oleh bid'ah-bid'ah yang sangat subur, juga maksiat yang merajalela.
tidak pernah aku melihat orang yang meratapi kehancuran agamanya, meratapai umurnya yang berkurang dan waktu yang telah terluputkan.
penyebabnya ialah karena tidak adanya kepedulian terhadap agama dan mata yang telah tertutupi oleh gemerlapnya dunia.
[ « الآداب الشرعية » ( ٣ / ٢٤٠ )
Al adab Al syariyah 3/240
Ust. Kholid Syamhudi LC
Berkata Ibnu Muflih al Hanbaly rahimahullah (wafat 884 H) :
« من عجيب ما نقدت من أحوال الناس :
كثرة ما ناحوا على خراب الديار وموت الأقارب والأسلاف ، والتحسر على الأرزاق بذم الزمان وأهله ، وذكر نكد العيش فيه !
وقد رأوا من انهدام الإسلام ، وشعث الأديان ، وموت السنن ، وظهور البدع ، وارتكاب المعاصي ! فلا أجد منهم من ناح على دينه ، ولا بكى على فارط عمره ، ولا آسى على فائت دهره ! وما أرى لذلك سبباً ، إلا قلة مبالاتهم بالأديان ، وعظم الدنيا في عيونهم ».
"Diantara yang aku kritisi dari keadaan manusia yang sangat mengherankan ialah;
mereka lebih banyak meratap ketika terkena musibah pada tempat tinggal, meninggalnya kerabat, raibnya penghasilan, sengsaranya hidup, diiringi umpatan dengan menyebut keburukan zaman dan penghuninya!.
padahal disaat yang sama mereka juga melihat kehancuran islam, agama yang porak poranda, sunnah-sunnah yang telah mati, digantikan oleh bid'ah-bid'ah yang sangat subur, juga maksiat yang merajalela.
tidak pernah aku melihat orang yang meratapi kehancuran agamanya, meratapai umurnya yang berkurang dan waktu yang telah terluputkan.
penyebabnya ialah karena tidak adanya kepedulian terhadap agama dan mata yang telah tertutupi oleh gemerlapnya dunia.
[ « الآداب الشرعية » ( ٣ / ٢٤٠ )
Al adab Al syariyah 3/240
Ust. Kholid Syamhudi LC
*Puasa Dan Shalat Terbaik*
Ust. Fuad Hamzah Baraba' LC
@fuadhbaraba
*Hadits ke dua puluh lima dari 100 hadits tuk dihafal
Ketahuilah bahwa sebaik-baik puasa adalah puasa di bulan al-Muharram. Makin banyak puasa di bulan al-Muharram, tentunya lebih baik.
Dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam. Maka rajin-rajinlah melaksanakan shalat malam.
Mari kita perhatikan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ. مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
*_"Puasa yang paling utama setelah puasa ramadhan adalah puasa pada bulan Allah al-Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam"._* (HR. Muslim).
Hadits ini menjelaskan kepada kita, bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah bulan al-Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.
Semoga Allah Ta'ala memudahkan kita semua untuk mengamalkannya...
Aamiin...
http://bbg-alilmu.com
Telegram Channel BBG Al-ilmu telegram.me/alilmu
Ust. Fuad Hamzah Baraba' LC
@fuadhbaraba
*Hadits ke dua puluh lima dari 100 hadits tuk dihafal
Ketahuilah bahwa sebaik-baik puasa adalah puasa di bulan al-Muharram. Makin banyak puasa di bulan al-Muharram, tentunya lebih baik.
Dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam. Maka rajin-rajinlah melaksanakan shalat malam.
Mari kita perhatikan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ. مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
*_"Puasa yang paling utama setelah puasa ramadhan adalah puasa pada bulan Allah al-Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam"._* (HR. Muslim).
Hadits ini menjelaskan kepada kita, bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah bulan al-Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.
Semoga Allah Ta'ala memudahkan kita semua untuk mengamalkannya...
Aamiin...
http://bbg-alilmu.com
Telegram Channel BBG Al-ilmu telegram.me/alilmu
Telegram
BBG Al-ilmu
Menebar cahaya sunnah, group medsos berawal dari grup bbm Al-ilmu
SIFAT FITNAH
1. Ia terlihat indah di awalnya.
Sufyan bin Uyainah berkata dari Kholaf bin Hausyab: Dahulu mereka suka membawakan sya'ir ini di saat terjadi fitnah:
الحرب أول ما تكون فتية
perang (fitnah) itu di awalnya bagaikan gadis
تسعى بزينتها لكل جهول
yang memperlihatkan kecantikannya bagi orang yang bodoh
حتى إذا استعلت وشب ضرامها
Sehingga ketika fitnah telah menyala dan menjadi besar
ولت عجوزا غير ذات حليل
Ia berubah menjadi janda yang tua
شمطاء ينكر لونها وتغيرت
Rambutnya memutih dan warna kulitnya berubah
مكروهة للشم والتقبيل
baunya tak enak dan tidak enak dicium.
(Shahih Bukhari)
Fitnah di awalnya terlihat indah dan cantik, menggunakan nama nama yang indah atas nama amar ma'ruf nahi munkar atau lainnya. Sehingga orang orang yang tak berilmu tertipu dengannya.
2. Fitnah menghilangkan akal lelaki yang cerdas.
Abdullah bin Mas'ud berkata: "Aku mengkhawatirkan fitnah atas kalian bagaikan asap. hati seseorang mati padanya sebagaimana mati badannya. (Kitab Fitan karya Nu'aim bin Hammad no 117)
Karena fitnah itu diberikan slogan slogan yang mentereng sehingga akalpun hilang dan yang berbicara adalah perasaan dan emosi.
3. Ia amat cepat menjadi besar sehingga sulit dipadamkan.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Fitnah apabila telah menyala membuat lemah orang orang yang berakal untuk mencegah orang orang yang lemah akalnya. (Minhajussunnah 4/343)
Maka berhati hatilah saudaraku dari fitnah..
jangan dahulukan perasaan dan emosi..
tanyalah para ulama kibaar sebelum bersikap..
Lihatlah dengan hati yang bening dan ilmu yang dalam..
Ust. Badrusalam Lc.
BBG Al-ilmu Telegram.me/alilmu
1. Ia terlihat indah di awalnya.
Sufyan bin Uyainah berkata dari Kholaf bin Hausyab: Dahulu mereka suka membawakan sya'ir ini di saat terjadi fitnah:
الحرب أول ما تكون فتية
perang (fitnah) itu di awalnya bagaikan gadis
تسعى بزينتها لكل جهول
yang memperlihatkan kecantikannya bagi orang yang bodoh
حتى إذا استعلت وشب ضرامها
Sehingga ketika fitnah telah menyala dan menjadi besar
ولت عجوزا غير ذات حليل
Ia berubah menjadi janda yang tua
شمطاء ينكر لونها وتغيرت
Rambutnya memutih dan warna kulitnya berubah
مكروهة للشم والتقبيل
baunya tak enak dan tidak enak dicium.
(Shahih Bukhari)
Fitnah di awalnya terlihat indah dan cantik, menggunakan nama nama yang indah atas nama amar ma'ruf nahi munkar atau lainnya. Sehingga orang orang yang tak berilmu tertipu dengannya.
2. Fitnah menghilangkan akal lelaki yang cerdas.
Abdullah bin Mas'ud berkata: "Aku mengkhawatirkan fitnah atas kalian bagaikan asap. hati seseorang mati padanya sebagaimana mati badannya. (Kitab Fitan karya Nu'aim bin Hammad no 117)
Karena fitnah itu diberikan slogan slogan yang mentereng sehingga akalpun hilang dan yang berbicara adalah perasaan dan emosi.
3. Ia amat cepat menjadi besar sehingga sulit dipadamkan.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Fitnah apabila telah menyala membuat lemah orang orang yang berakal untuk mencegah orang orang yang lemah akalnya. (Minhajussunnah 4/343)
Maka berhati hatilah saudaraku dari fitnah..
jangan dahulukan perasaan dan emosi..
tanyalah para ulama kibaar sebelum bersikap..
Lihatlah dengan hati yang bening dan ilmu yang dalam..
Ust. Badrusalam Lc.
BBG Al-ilmu Telegram.me/alilmu
Telegram
BBG Al-ilmu
Menebar cahaya sunnah, group medsos berawal dari grup bbm Al-ilmu
Materi dauroh kaidah ushul fiqih di islamic centre Bekasi yang diambil dari kitab syarah Mandzumah ushul fiqih syaikh Utsaimin.
Kaidah pertama:
Agama ini datang untuk mendatangkan mashlahat dan menolak mudlarat.
Karena semua perintah Allah pasti mashlahatnya murni atau lebih besar dari mudlaratnya seperti sholat, zakat, puasa, haji, berbakti kepada orang tua dan sebagainya.
Demikian juga larangan Allah, pasti semuanya mengandung mudlarat yang murni atau lebih besar dari mashlahatnya seperti syirik, bid'ah, sihir, riba, zina, judi dan sebagainya.
Maka semua yang mashlahatnya murni atau lebih besar adalah perkara yang diperintahkan.
dan semua yang mudlaratnya murni atau lebih besar adalah perkara yang dilarang.
Apabila mashlahat dan mudlaratnya sama besar, maka lebih baik ditinggalkan agar tidak jatuh kepada yang dilarang.
Namun, terkadang sebagian orang memandang suatu mashlahat padahal sebetulnya tidak.
seperti perayaan maulid Nabi, perayaan isra dan mi'raj dan sebagainya.
karena tanpa perayaan tersebut mencintai Nabi dapat dilakukan dengan yang sesuai syariatnya seperti menuntut ilmu syariat dan mengamalkannya.
di zaman khulafa rasyidin islam semakin jaya tanpa perayaan tersebut, bahkan kecintaan mereka kepada Nabi melebihi orang orang yang merayakan maulid.
itu menunjukkan bahwa perayaan maulid tidak memberi mashlahat apapun untuk agama. Dan tidak memberi mudlarat apapun bila ditinggalkan.
justeru perayaan tersebut memberi mudlarat terhadap agama dari sisi menambah nambah syariat yang tidak pernah diizinkan oleh Allah Azza wajalla.
Kaidah kedua:
Syariat islam adalah syariat yang mudah.
Allah berfirman:
يريد الله بكم اليسر
Allah menginginkan kemudahan untuk kamu. (QS 2:185)
Allah juga berfirman:
وما جعل عليكم في الدين من حرج
Dan tidaklah Allah menjadikan dalam agama ini sesuatu yang menyusahkanmu. (Al Hajj:78).
Bila kita perhatikan, perintah perintah Allah adalah mudah dan tidak sulit dilakukan.
sholat misalnya, Allah hanya mewajibkan 5 waktu saja, di waktu waktu yang mudah.
Zakat pun tidak diwajibkan pada semua harta, tetapi hanya harta tertentu saja yang ditunjukkan oleh dalil dan qiyas. Itupun dengan nishob yang tidak memberatkan.
Dan bila suatu amal itu berat, maka Allah memberinya pahala yang amat besar.
Namun, sebab utama beratnya ibadah di hati adalah akibat dosa dan maksiat. Sehingga seorang hamba menganggap berat syariat yang mudah ini, karena ia lebih tunduk kepada hawa nafsu dan syahwatnya dari pada tunduk kepada penciptanya.
Kaidah ketiga:
Kesulitan mendatangkan kemudahan.
Telah disebutkan bahwa agama ini mudah, namun ketika ada kesulitan, maka lebih diberi kemudahan oleh syariat.
kesulitan yang dimaksud adalah kesulitan yang melebihi kebiasaan dan bukan hanya sebuah kekhawatiran belaka.
Seperti orang yang sakit takut berwudlu dengan air, namun sebetulnya tidak memberi bahaya apapa.
kecuali bila diduga kuat akan menambah sakitnya, maka diperbolehkan bertayammum.
Kesulitan seperti ini mendatangkan kemudahan. Tentunya kemudahan pun harus sesuai syariat dan bukan disesuaikan selera dan shahwat manusia.
Contoh kaidah ini diantaranya:
- Bolehnya bertayammum ketika tidak ada air, atau ada air namun malah menimbulkan bahaya bila menggunakannya.
- Disyariatkan mengqoshor sholat di saat safar.
- Dibolehkan menjamak dua sholat di saat ada kerepotan baik dalam safar maupun muqim.
- Bolehnya sholat sambil duduk bagi orang yang sakit yang tak mampu berdiri.
- Dan sebagainya.
kaidah keempat:
Dalam perintah, lakukanlah sesuai kemampuan.
Dalam larangan, wajib ditinggalkan seluruhnya.
kaidah ini berdasarkan hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ماستطعتم
Apa apa yang aku larang tinggalkanlah. dan apapa yang aku perintahkan, lakukanlah semampu kalian.
Perintah adalah beban, dan tidak setiap orang mampu melaksanakannya. Maka syariat yang indah ini melihat kemampuan hamba dalam melaksanakannya.
Sedangkan larangan adalah meletakkan beban, semua orang mampu melakukannya. Maka ia harus di
Kaidah pertama:
Agama ini datang untuk mendatangkan mashlahat dan menolak mudlarat.
Karena semua perintah Allah pasti mashlahatnya murni atau lebih besar dari mudlaratnya seperti sholat, zakat, puasa, haji, berbakti kepada orang tua dan sebagainya.
Demikian juga larangan Allah, pasti semuanya mengandung mudlarat yang murni atau lebih besar dari mashlahatnya seperti syirik, bid'ah, sihir, riba, zina, judi dan sebagainya.
Maka semua yang mashlahatnya murni atau lebih besar adalah perkara yang diperintahkan.
dan semua yang mudlaratnya murni atau lebih besar adalah perkara yang dilarang.
Apabila mashlahat dan mudlaratnya sama besar, maka lebih baik ditinggalkan agar tidak jatuh kepada yang dilarang.
Namun, terkadang sebagian orang memandang suatu mashlahat padahal sebetulnya tidak.
seperti perayaan maulid Nabi, perayaan isra dan mi'raj dan sebagainya.
karena tanpa perayaan tersebut mencintai Nabi dapat dilakukan dengan yang sesuai syariatnya seperti menuntut ilmu syariat dan mengamalkannya.
di zaman khulafa rasyidin islam semakin jaya tanpa perayaan tersebut, bahkan kecintaan mereka kepada Nabi melebihi orang orang yang merayakan maulid.
itu menunjukkan bahwa perayaan maulid tidak memberi mashlahat apapun untuk agama. Dan tidak memberi mudlarat apapun bila ditinggalkan.
justeru perayaan tersebut memberi mudlarat terhadap agama dari sisi menambah nambah syariat yang tidak pernah diizinkan oleh Allah Azza wajalla.
Kaidah kedua:
Syariat islam adalah syariat yang mudah.
Allah berfirman:
يريد الله بكم اليسر
Allah menginginkan kemudahan untuk kamu. (QS 2:185)
Allah juga berfirman:
وما جعل عليكم في الدين من حرج
Dan tidaklah Allah menjadikan dalam agama ini sesuatu yang menyusahkanmu. (Al Hajj:78).
Bila kita perhatikan, perintah perintah Allah adalah mudah dan tidak sulit dilakukan.
sholat misalnya, Allah hanya mewajibkan 5 waktu saja, di waktu waktu yang mudah.
Zakat pun tidak diwajibkan pada semua harta, tetapi hanya harta tertentu saja yang ditunjukkan oleh dalil dan qiyas. Itupun dengan nishob yang tidak memberatkan.
Dan bila suatu amal itu berat, maka Allah memberinya pahala yang amat besar.
Namun, sebab utama beratnya ibadah di hati adalah akibat dosa dan maksiat. Sehingga seorang hamba menganggap berat syariat yang mudah ini, karena ia lebih tunduk kepada hawa nafsu dan syahwatnya dari pada tunduk kepada penciptanya.
Kaidah ketiga:
Kesulitan mendatangkan kemudahan.
Telah disebutkan bahwa agama ini mudah, namun ketika ada kesulitan, maka lebih diberi kemudahan oleh syariat.
kesulitan yang dimaksud adalah kesulitan yang melebihi kebiasaan dan bukan hanya sebuah kekhawatiran belaka.
Seperti orang yang sakit takut berwudlu dengan air, namun sebetulnya tidak memberi bahaya apapa.
kecuali bila diduga kuat akan menambah sakitnya, maka diperbolehkan bertayammum.
Kesulitan seperti ini mendatangkan kemudahan. Tentunya kemudahan pun harus sesuai syariat dan bukan disesuaikan selera dan shahwat manusia.
Contoh kaidah ini diantaranya:
- Bolehnya bertayammum ketika tidak ada air, atau ada air namun malah menimbulkan bahaya bila menggunakannya.
- Disyariatkan mengqoshor sholat di saat safar.
- Dibolehkan menjamak dua sholat di saat ada kerepotan baik dalam safar maupun muqim.
- Bolehnya sholat sambil duduk bagi orang yang sakit yang tak mampu berdiri.
- Dan sebagainya.
kaidah keempat:
Dalam perintah, lakukanlah sesuai kemampuan.
Dalam larangan, wajib ditinggalkan seluruhnya.
kaidah ini berdasarkan hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ماستطعتم
Apa apa yang aku larang tinggalkanlah. dan apapa yang aku perintahkan, lakukanlah semampu kalian.
Perintah adalah beban, dan tidak setiap orang mampu melaksanakannya. Maka syariat yang indah ini melihat kemampuan hamba dalam melaksanakannya.
Sedangkan larangan adalah meletakkan beban, semua orang mampu melakukannya. Maka ia harus di
tinggalkan sama sekali.
kecuali bila pada keadaan darurat atau sangat dibutuhkan, sementara mashlahatnya lebih besar dari mudlaratnya.
seperti bangkai boleh
dimakan disaat keadaan terpaksa. dusta diizinkan untuk mendamaikan dua muslim yang bertengkar dan sebagainya.
Namun tentunya tetap memperhatikan batasan batasan yang disebitkan oleh para ulama.
Kaidah kelima:
Orang yang tidak tahu dimaafkan, kecuali bila ketidak tahuannya akibat tidak mau menuntut ilmu.
Kaidah ini ditunjukkan oleh banyak ayat alquran diantaranya firman Allah Ta'ala:
وما كان الله ليضل قوما بعد إذ هداهم حتى يبين لهم ما يتقون
Tidaklah Allah menyesatkan suatu kaum setelah datang kepada mereka petunjuk sampai Dia menjelaskan kepada mereka perkara perkara yang harus dijauhi. (At Taubah:115).
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah melihat orang yang sholatnya tidak thuma'ninah, lalu beliau menyuruhnya mengulanginya. kemudian beliau mengajarkan tata cara sholat yang benar dan tidak menyuruhnya untuk mengulanginya kembali.
Adapun bila kebodohannya itu karena ia sengaja tidak mau menuntut ilmu dan meremehkannya maka pendapat para ulama menunjukkan ia tidak dimaafkan dan tetap diancam dengan api neraka.
wallahu a'lam.
Kaidah keenam:
Sesuatu yang haram boleh dilakukan bila darurat.
Dan yang makruh boleh bila ada hajat.
Disebut darurat bila membahayakan agama, atau jiwa, atau harta, atau keturunan, atau akal.
perbedaannya dengan hajat, bahwa hajat bila ditinggalkan tidak berbahaya, namun kita membutuhkannya.
Contohnya bila kita berada di tempat yang sangat dingin, kita harus memakai jaket, bila tidak kita binasa. ini adalah darurat.
setelah memakai jaket, masih terasa dingin dan membutuhkan jaket yang kedua. ini adalah hajat.
Perkara yang haram, boleh dilakukan bila keadaan darurat dengan syarat:
1. Benar benar dalam keadaan terpaksa dan tidak ada alternatif yang lain.
2. Darurat tersebut hilang dengan melakukan perbuatan yang haram tersebut. Bila tidak hilang maka tetap tidak boleh.
Bila salah satu syarat ini tak terpenuhi, maka tetap haram hukumnya seperti mengobati sihir dengan sihir, menghilangkan haus dengan arak dan sebagainya.
Adapun yang makruh boleh dilakukan bila ada hajat, seperti menengok dalam sholat boleh bila dibutuhkan.
Kaidah ketujuh:
Perkara yang diharamkan ada dua keadaan:
1. Diharamkan dzatnya seperti judi, arak, riba dan sebagainya.
2. Diharamkan karena menjerumuskan kepada yang haram. seperti melihat wanita yang bukan mahram diharamkan karena mendekati Zina. memakai sutera diharamkan karena mendekati tasyabbuh dengan wanita. dan sebagainya.
Perkara yang diharamkan dzatnya dibolehkan ketika darurat saja.
Sedangkan perkara yang diharamkan karena menjerumuskan, dibolehkan disaat ada hajat.
contohnya memakai sutera bagi lelaki boleh untuk keperluan pengobatan gatal. melihat wanita boleh untuk tujuan menikahinya. dan sebagainya.
Kaidah kedelapan:
Larangan apabila berhubungan dengan dzat ibadah atau syaratnya maka ibadah tersebut batal tidak sah.
Tetapi bila tidak berhubungan dengannya maka sah namun berdosa.
Semua ibadah yang dilarang maka batil tidak sah.
contohnya puasa di hari raya, jual beli riba, sholat di saat haidl, wasiat untuk ahli warits dan sebagainya.
Demikian pula bila larangan mengenai syaratnya seperti memakai pakaian sutra bagi laki laki ketika sholat, jual beli yang mengandung ghoror (ketidak jelasan) karena syarat jual beli adalah harus jelas.
maka ini pun batil tidak sah.
Tapi bila tidak mengenai dzat ibadah dan tidak juga syaratnya seperti sholat dengan menggunakan peci hasil curian, haji dengan uang hasil korupsi, maka ibadahnya sah namun berdosa.
Kaidah kesembilan:
Pada asalnya segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia adalah halal dan suci.
Sedangkan ibadah pada asalnya terlarang.
Dalil kaidah ini adalah firman Allah Ta'ala
هو الذي خلق لكم ما في الأرض جميعا
Dialah yang telah menciptakan untukmu apa yang ada di bumi ini semuanya. (AlBaqarah:29).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan apa yang ada di bumi ini semuanya sebagai kenikmatan unt
kecuali bila pada keadaan darurat atau sangat dibutuhkan, sementara mashlahatnya lebih besar dari mudlaratnya.
seperti bangkai boleh
dimakan disaat keadaan terpaksa. dusta diizinkan untuk mendamaikan dua muslim yang bertengkar dan sebagainya.
Namun tentunya tetap memperhatikan batasan batasan yang disebitkan oleh para ulama.
Kaidah kelima:
Orang yang tidak tahu dimaafkan, kecuali bila ketidak tahuannya akibat tidak mau menuntut ilmu.
Kaidah ini ditunjukkan oleh banyak ayat alquran diantaranya firman Allah Ta'ala:
وما كان الله ليضل قوما بعد إذ هداهم حتى يبين لهم ما يتقون
Tidaklah Allah menyesatkan suatu kaum setelah datang kepada mereka petunjuk sampai Dia menjelaskan kepada mereka perkara perkara yang harus dijauhi. (At Taubah:115).
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah melihat orang yang sholatnya tidak thuma'ninah, lalu beliau menyuruhnya mengulanginya. kemudian beliau mengajarkan tata cara sholat yang benar dan tidak menyuruhnya untuk mengulanginya kembali.
Adapun bila kebodohannya itu karena ia sengaja tidak mau menuntut ilmu dan meremehkannya maka pendapat para ulama menunjukkan ia tidak dimaafkan dan tetap diancam dengan api neraka.
wallahu a'lam.
Kaidah keenam:
Sesuatu yang haram boleh dilakukan bila darurat.
Dan yang makruh boleh bila ada hajat.
Disebut darurat bila membahayakan agama, atau jiwa, atau harta, atau keturunan, atau akal.
perbedaannya dengan hajat, bahwa hajat bila ditinggalkan tidak berbahaya, namun kita membutuhkannya.
Contohnya bila kita berada di tempat yang sangat dingin, kita harus memakai jaket, bila tidak kita binasa. ini adalah darurat.
setelah memakai jaket, masih terasa dingin dan membutuhkan jaket yang kedua. ini adalah hajat.
Perkara yang haram, boleh dilakukan bila keadaan darurat dengan syarat:
1. Benar benar dalam keadaan terpaksa dan tidak ada alternatif yang lain.
2. Darurat tersebut hilang dengan melakukan perbuatan yang haram tersebut. Bila tidak hilang maka tetap tidak boleh.
Bila salah satu syarat ini tak terpenuhi, maka tetap haram hukumnya seperti mengobati sihir dengan sihir, menghilangkan haus dengan arak dan sebagainya.
Adapun yang makruh boleh dilakukan bila ada hajat, seperti menengok dalam sholat boleh bila dibutuhkan.
Kaidah ketujuh:
Perkara yang diharamkan ada dua keadaan:
1. Diharamkan dzatnya seperti judi, arak, riba dan sebagainya.
2. Diharamkan karena menjerumuskan kepada yang haram. seperti melihat wanita yang bukan mahram diharamkan karena mendekati Zina. memakai sutera diharamkan karena mendekati tasyabbuh dengan wanita. dan sebagainya.
Perkara yang diharamkan dzatnya dibolehkan ketika darurat saja.
Sedangkan perkara yang diharamkan karena menjerumuskan, dibolehkan disaat ada hajat.
contohnya memakai sutera bagi lelaki boleh untuk keperluan pengobatan gatal. melihat wanita boleh untuk tujuan menikahinya. dan sebagainya.
Kaidah kedelapan:
Larangan apabila berhubungan dengan dzat ibadah atau syaratnya maka ibadah tersebut batal tidak sah.
Tetapi bila tidak berhubungan dengannya maka sah namun berdosa.
Semua ibadah yang dilarang maka batil tidak sah.
contohnya puasa di hari raya, jual beli riba, sholat di saat haidl, wasiat untuk ahli warits dan sebagainya.
Demikian pula bila larangan mengenai syaratnya seperti memakai pakaian sutra bagi laki laki ketika sholat, jual beli yang mengandung ghoror (ketidak jelasan) karena syarat jual beli adalah harus jelas.
maka ini pun batil tidak sah.
Tapi bila tidak mengenai dzat ibadah dan tidak juga syaratnya seperti sholat dengan menggunakan peci hasil curian, haji dengan uang hasil korupsi, maka ibadahnya sah namun berdosa.
Kaidah kesembilan:
Pada asalnya segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia adalah halal dan suci.
Sedangkan ibadah pada asalnya terlarang.
Dalil kaidah ini adalah firman Allah Ta'ala
هو الذي خلق لكم ما في الأرض جميعا
Dialah yang telah menciptakan untukmu apa yang ada di bumi ini semuanya. (AlBaqarah:29).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan apa yang ada di bumi ini semuanya sebagai kenikmatan unt
uk kita sebagai sesuatu yang halal.
Maka tidak boleh mengharamkannya kecuali bila ada dalil.
Adapun dalil ibadah adalah hadits:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه
فهو رد
Barang siapa yang mengada ada dalam perkara kami ini apa apa yang bukan darinya, maka ia tertolak. (HR Muslim).
Maka tidak boleh kita beribadah kecuali setelah ada dalil yang memerintahkannya. Juga dikarenakan ibadah adalah jenis dari pembebanan, sedangkan pada asalnya manusia tidak diberikan beban.
ini adalah bentuk kemudahan syariat dan kesempurnaan islam. Sehingga kita tidak perlu melelahkan diri untuk membuat sebuah ibadah, karena kewajiban kita hanya ittiba saja.
Maka dalam masalah dunia, kita boleh berkreasi dan membuat tekhnologi yang bermanfaat untuk manusia, meskipun tidak ada di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. karena masalah dunia pada asalnya halal selama tidak ada dalil yang melarang.
Adanya mobil, pesawat, kapal, handphone, speaker dan sebagainya adalah masalah duniawi yang dihalalkan dan bukan bid'ah sama sekali.
Kaidah kesepuluh:
Perintah dan larangan dalam urusan ibadah pada asalnya wajib dan haram. Sedangkan dalam masalah adab pada asalnya sunnah dan makruh.
Perintah dan larangan yang ada dalam al quran dan hadits tidak lepas dari dua masalah:
Pertama: Masalah ibadah.
Contohnya perintah mengusap kepala dalam wudlu, perintah meluruskan shaff dalam sholat, perintah menggunakan sutrah.
larangan mencukur janggut, larangan menyerupai wanita dsb.
Maka dalam masalah ini, perintah pada asalnya wajib dan larangan pada asalnya haram. Tidak boleh dipalingkan kepada sunnah atau makruh kecuali dengan dalil.
Kedua: Masalah adab.
Contohnya perintah memulai yang kanan dalam berpakaian, memakai sendal dan sebagainya.
Larangan memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing.
Maka perintah dalam masalah adab pada asalnya sunnah. Dan larangan pada asalnya makruh.
Tidak boleh dipalingkan kepada wajib atau haram kecuali dengan dalil.
Contoh yang haram karena ada dalil adalah larangan makan dan minum dengan tangan kiri. Hukumnya haram karena menyerupai setan.
Kaidah kesebelas:
Perintah Allah dan RasulNya hendaknya dilaksanakan sesegera mungkin, tidak boleh ditunda-tunda.
Dalilnya adalah hadits kisah perdamaian hudaibiyah. Nabi shallallahu alaihi wasallam marah kepada para shahabat karena mereka menunda nunda perintah beliau untuk tahallul dan menyembelih hewan kurban.
Secara kebiasaanpun, apabila kita diperintah oleh atasan lalu kita laksanakan dengan segera, maka kita dianggap menghormati atasan.
Bila orang tua menyuruh anaknya pergi membeli sesuatu, lalu anak tersebut menunda nunda perintahnya. Kemudian orang tuanya marah, maka hal seperti ini dibenarkan.
Maka tidak dibenarkan menunda nunda haji bagi orang yang mampu tanpa udzur syar'iy dan ssbagainya.
Kaidah kedua belas:
Apabila disebutkan keutamaan suatu amal dalam sebuah dalil tanpa ada perintah, maka hukumnya sunnah bukan wajib.
Contohnya hadits:
السواك مطهرة للفم مرضاة للرب
Bersiwak itu mensucikan mulut dan mendatangkan keridlaan Rabb. (HR Ahmad)
contohnya juga hadits:
من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة
Barang siapa yang menghilangkan salah satu kesusahan mukmin, maka Allah akan hilangkan salah satu kesusahannya di hari kiamat.
(HR Muslim).
Contohnya juga hadits
من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال فكأنما صام الدهر
Barang siapa yang berpuasa Ramadlan lalu diikuti enam hari syawal, maka seakan akan berpuasa setahun penuh.
(HR Muslim).
Diantara contohnya juga puasa tiga hari setiap bulan, puasa senin kamis dan lain sebagainya.
Kaidah ketiga belas:
Perbuatan Nabi yang tidak ada perintah dari beliau, maka hukumnya tidak wajib.
Perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak semuanya sama hukumnya. Namun terbagi menjadi 6 macam:
1. Perbuatan Nabi yang bersifat tabiat manusiawi.
seperti selera makan, gaya berjalan dsb.
Maka kita tidak diwajibkan untuk mengikutinya.
Kecuali bila disana ada nilai ibadahnya seperti tidur di atas wudlu, tidur di atas rusuk yang kanan dll, maka ini disunnahkan.
2. Perbuatan Nabi yang berasal adat istia
Maka tidak boleh mengharamkannya kecuali bila ada dalil.
Adapun dalil ibadah adalah hadits:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه
فهو رد
Barang siapa yang mengada ada dalam perkara kami ini apa apa yang bukan darinya, maka ia tertolak. (HR Muslim).
Maka tidak boleh kita beribadah kecuali setelah ada dalil yang memerintahkannya. Juga dikarenakan ibadah adalah jenis dari pembebanan, sedangkan pada asalnya manusia tidak diberikan beban.
ini adalah bentuk kemudahan syariat dan kesempurnaan islam. Sehingga kita tidak perlu melelahkan diri untuk membuat sebuah ibadah, karena kewajiban kita hanya ittiba saja.
Maka dalam masalah dunia, kita boleh berkreasi dan membuat tekhnologi yang bermanfaat untuk manusia, meskipun tidak ada di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. karena masalah dunia pada asalnya halal selama tidak ada dalil yang melarang.
Adanya mobil, pesawat, kapal, handphone, speaker dan sebagainya adalah masalah duniawi yang dihalalkan dan bukan bid'ah sama sekali.
Kaidah kesepuluh:
Perintah dan larangan dalam urusan ibadah pada asalnya wajib dan haram. Sedangkan dalam masalah adab pada asalnya sunnah dan makruh.
Perintah dan larangan yang ada dalam al quran dan hadits tidak lepas dari dua masalah:
Pertama: Masalah ibadah.
Contohnya perintah mengusap kepala dalam wudlu, perintah meluruskan shaff dalam sholat, perintah menggunakan sutrah.
larangan mencukur janggut, larangan menyerupai wanita dsb.
Maka dalam masalah ini, perintah pada asalnya wajib dan larangan pada asalnya haram. Tidak boleh dipalingkan kepada sunnah atau makruh kecuali dengan dalil.
Kedua: Masalah adab.
Contohnya perintah memulai yang kanan dalam berpakaian, memakai sendal dan sebagainya.
Larangan memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing.
Maka perintah dalam masalah adab pada asalnya sunnah. Dan larangan pada asalnya makruh.
Tidak boleh dipalingkan kepada wajib atau haram kecuali dengan dalil.
Contoh yang haram karena ada dalil adalah larangan makan dan minum dengan tangan kiri. Hukumnya haram karena menyerupai setan.
Kaidah kesebelas:
Perintah Allah dan RasulNya hendaknya dilaksanakan sesegera mungkin, tidak boleh ditunda-tunda.
Dalilnya adalah hadits kisah perdamaian hudaibiyah. Nabi shallallahu alaihi wasallam marah kepada para shahabat karena mereka menunda nunda perintah beliau untuk tahallul dan menyembelih hewan kurban.
Secara kebiasaanpun, apabila kita diperintah oleh atasan lalu kita laksanakan dengan segera, maka kita dianggap menghormati atasan.
Bila orang tua menyuruh anaknya pergi membeli sesuatu, lalu anak tersebut menunda nunda perintahnya. Kemudian orang tuanya marah, maka hal seperti ini dibenarkan.
Maka tidak dibenarkan menunda nunda haji bagi orang yang mampu tanpa udzur syar'iy dan ssbagainya.
Kaidah kedua belas:
Apabila disebutkan keutamaan suatu amal dalam sebuah dalil tanpa ada perintah, maka hukumnya sunnah bukan wajib.
Contohnya hadits:
السواك مطهرة للفم مرضاة للرب
Bersiwak itu mensucikan mulut dan mendatangkan keridlaan Rabb. (HR Ahmad)
contohnya juga hadits:
من نفس عن مؤمن كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة
Barang siapa yang menghilangkan salah satu kesusahan mukmin, maka Allah akan hilangkan salah satu kesusahannya di hari kiamat.
(HR Muslim).
Contohnya juga hadits
من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال فكأنما صام الدهر
Barang siapa yang berpuasa Ramadlan lalu diikuti enam hari syawal, maka seakan akan berpuasa setahun penuh.
(HR Muslim).
Diantara contohnya juga puasa tiga hari setiap bulan, puasa senin kamis dan lain sebagainya.
Kaidah ketiga belas:
Perbuatan Nabi yang tidak ada perintah dari beliau, maka hukumnya tidak wajib.
Perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak semuanya sama hukumnya. Namun terbagi menjadi 6 macam:
1. Perbuatan Nabi yang bersifat tabiat manusiawi.
seperti selera makan, gaya berjalan dsb.
Maka kita tidak diwajibkan untuk mengikutinya.
Kecuali bila disana ada nilai ibadahnya seperti tidur di atas wudlu, tidur di atas rusuk yang kanan dll, maka ini disunnahkan.
2. Perbuatan Nabi yang berasal adat istia
dat.
Contohnya bentuk pakaian dsb. Maka yang sunnah adalah mengikuti adat istiadat setempat selama tidak menyalahi syariat.
3. Perbuatan Nabi dalam rangka mempr
aktekan perintah Allah.
Hukumnya sesuai perintah tersebut. jika perintah tersebut wajib, maka perbuatan Nabi itu pun wajib.
Contoh Nabi mengusap seluruh kepala ketika berwudlu, mempraktekan perintah Allah untuk mengusap kepala.
4. Perintah Nabi yang bersifat ta'abbudiy.
Seperti Nabi berpuasa tiga hari setiap bulan, Nabi sholat bada ashar dua rokaat dan lain sebagainya.
5. Perbuatan Nabi yang khusus untuk beliau tanpa umatnya.
Contohnya menikah lebih dari empat istri dan sebagainya.
6. Perbuatan Nabi yang masih diragukan apakah termasuk ibadah atau adat.
seperti Nabi memanjangkan rambut sebahu.
Para ulama berbeda pendapat apakah itu sunnah atau tidak. jumhur berpendapat tidak sunnah.
Kaidah keempat belas:
Apabila bertemu dua mashlahat, didahulukan mashlahat yang lebih besar.
Mashlahat adalah kebaikan bagi manusia dalam agama, dunia dan akherat.
Dalam memandang mashlahat, kita wajib berpegang kepada syariat. Bukan hawa nafsu dan syahwat.
Terkadang kita dihadapkan kepada dua mashlahat yang harus dipilih salah satunya.
Maka kita dahulukan yang lebih besar mashlahatnya.
apabila bertabrakan antara yang wajib dan sunnah, maka kita dahulukan yang wajib karena yang wajib lebih dicintai oleh Allah Ta'ala.
Apabila bertabrakan antara ibadah yang bersifat mutlak (tidak terikat) dengan ibadah muqoyyad (terikat), maka kita dahulukan ibadah muqoyyad.
contohnya ketika membaca alquran terdengar adzan, maka kita dahulukan mendengar adzan.
Apabila bertabrakan antara fardlu ain dan fardlu kifayah, kita dahulukan fardlu ain.
Apabila bertabrakan antara dua amal, kita dahulukan yang manfaatnya menular.
Seperti mendahulukan menuntut ilmu dari sholat tahajjud.
Apabila ayah dan ibu memanggil, maka kita dahulukan ibu karena lebih besar haknya.
dan lain sebagainya.
Kaidah kelima belas.
Apabila bertemu dua mudlarat, maka diambil yang paling ringan mudlaratnya.
Dalam Al Quran, Allah menyebutkan kisah Khidir yang membolongi kapal kaum fuqoro, agar tidak diambil oleh raja yang jahat.
Membolongi kapal adalah mudlarat, namun khidir lakukan agar terhindar dari mudlarat yang lebih besar.
Dalam hadits disebutkan bahwa ada orang badui masuk ke masjid dan kencing di dalam masjid. maka para shahabat mengingkarinya. Nabi melarang para shahabat dan membiarkan arab badui itu kencing.
Karena bila Nabi membiarkan para shahabat mengingkarinya, tentu akan menimbulkan mudlarat yang lebih besar.
Bila bertemu mudlarat khusu dengan mudlarat umum, maka kita korbankan mudlarat khusus untuk menghindari mudlarat umum.
Seperti bila pedagang kaki lima menganggu lalu lalang jalan. Maka pemerintah boleh menertibkan pedagang kaki lima untuk menghindari mudlarat yang lebih umum.
Perselisihan yang timbul karena membantah pemikiran yang sesat, lebih ringan dari tersebarnya kesesatan.
Boleh melaporkan tindakan kriminal kepada yang berwajib, karena mudlarat kriminal tersebut lebih besar.
dan sebagainya.
Kaidah keenam belas:
Apabila bertemu mashlahat dan mudlarat, bila mashlahatnya lebih besar maka disyariatkan. Bila mudlaratnya lebih maka dilarang.
Allah berfirman tentang arak:
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما
Mereka bertanya kepadamu tentang arak dan judi. katakan, pada keduanya terdapat dosa besar dan manfaat manfaat untuk manusia. Namun dosanya lebih besar dari manfaatnya.
(Al Baqarah: 219)
Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan bahwa dalam arak bertemu antara manfaat dan mudlarat, dan mudlaratnya lebih besar maka Allah mengharamkannya.
Allah ta'ala menjadikan nabi yusuf alaihissalam dipenjara dalam tanah, walaupun itu ada jenis mudlarat untuk beliau. Namun manfaatnya jauh lebih besar dengan diselamatkan dari fitnah para wanita.
Raafi' bin Khadiij radliyallahu anhu berkata: "Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang kami dari sesuatu yang tampak bermanfaat bagi kami. Namun menaati Allah dan RasulNya lebih bermanfaat untuk kami.
(HR Muslim).
Dalam
Contohnya bentuk pakaian dsb. Maka yang sunnah adalah mengikuti adat istiadat setempat selama tidak menyalahi syariat.
3. Perbuatan Nabi dalam rangka mempr
aktekan perintah Allah.
Hukumnya sesuai perintah tersebut. jika perintah tersebut wajib, maka perbuatan Nabi itu pun wajib.
Contoh Nabi mengusap seluruh kepala ketika berwudlu, mempraktekan perintah Allah untuk mengusap kepala.
4. Perintah Nabi yang bersifat ta'abbudiy.
Seperti Nabi berpuasa tiga hari setiap bulan, Nabi sholat bada ashar dua rokaat dan lain sebagainya.
5. Perbuatan Nabi yang khusus untuk beliau tanpa umatnya.
Contohnya menikah lebih dari empat istri dan sebagainya.
6. Perbuatan Nabi yang masih diragukan apakah termasuk ibadah atau adat.
seperti Nabi memanjangkan rambut sebahu.
Para ulama berbeda pendapat apakah itu sunnah atau tidak. jumhur berpendapat tidak sunnah.
Kaidah keempat belas:
Apabila bertemu dua mashlahat, didahulukan mashlahat yang lebih besar.
Mashlahat adalah kebaikan bagi manusia dalam agama, dunia dan akherat.
Dalam memandang mashlahat, kita wajib berpegang kepada syariat. Bukan hawa nafsu dan syahwat.
Terkadang kita dihadapkan kepada dua mashlahat yang harus dipilih salah satunya.
Maka kita dahulukan yang lebih besar mashlahatnya.
apabila bertabrakan antara yang wajib dan sunnah, maka kita dahulukan yang wajib karena yang wajib lebih dicintai oleh Allah Ta'ala.
Apabila bertabrakan antara ibadah yang bersifat mutlak (tidak terikat) dengan ibadah muqoyyad (terikat), maka kita dahulukan ibadah muqoyyad.
contohnya ketika membaca alquran terdengar adzan, maka kita dahulukan mendengar adzan.
Apabila bertabrakan antara fardlu ain dan fardlu kifayah, kita dahulukan fardlu ain.
Apabila bertabrakan antara dua amal, kita dahulukan yang manfaatnya menular.
Seperti mendahulukan menuntut ilmu dari sholat tahajjud.
Apabila ayah dan ibu memanggil, maka kita dahulukan ibu karena lebih besar haknya.
dan lain sebagainya.
Kaidah kelima belas.
Apabila bertemu dua mudlarat, maka diambil yang paling ringan mudlaratnya.
Dalam Al Quran, Allah menyebutkan kisah Khidir yang membolongi kapal kaum fuqoro, agar tidak diambil oleh raja yang jahat.
Membolongi kapal adalah mudlarat, namun khidir lakukan agar terhindar dari mudlarat yang lebih besar.
Dalam hadits disebutkan bahwa ada orang badui masuk ke masjid dan kencing di dalam masjid. maka para shahabat mengingkarinya. Nabi melarang para shahabat dan membiarkan arab badui itu kencing.
Karena bila Nabi membiarkan para shahabat mengingkarinya, tentu akan menimbulkan mudlarat yang lebih besar.
Bila bertemu mudlarat khusu dengan mudlarat umum, maka kita korbankan mudlarat khusus untuk menghindari mudlarat umum.
Seperti bila pedagang kaki lima menganggu lalu lalang jalan. Maka pemerintah boleh menertibkan pedagang kaki lima untuk menghindari mudlarat yang lebih umum.
Perselisihan yang timbul karena membantah pemikiran yang sesat, lebih ringan dari tersebarnya kesesatan.
Boleh melaporkan tindakan kriminal kepada yang berwajib, karena mudlarat kriminal tersebut lebih besar.
dan sebagainya.
Kaidah keenam belas:
Apabila bertemu mashlahat dan mudlarat, bila mashlahatnya lebih besar maka disyariatkan. Bila mudlaratnya lebih maka dilarang.
Allah berfirman tentang arak:
يسألونك عن الخمر والميسر قل فيهما إثم كبير ومنافع للناس وإثمهما أكبر من نفعهما
Mereka bertanya kepadamu tentang arak dan judi. katakan, pada keduanya terdapat dosa besar dan manfaat manfaat untuk manusia. Namun dosanya lebih besar dari manfaatnya.
(Al Baqarah: 219)
Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan bahwa dalam arak bertemu antara manfaat dan mudlarat, dan mudlaratnya lebih besar maka Allah mengharamkannya.
Allah ta'ala menjadikan nabi yusuf alaihissalam dipenjara dalam tanah, walaupun itu ada jenis mudlarat untuk beliau. Namun manfaatnya jauh lebih besar dengan diselamatkan dari fitnah para wanita.
Raafi' bin Khadiij radliyallahu anhu berkata: "Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang kami dari sesuatu yang tampak bermanfaat bagi kami. Namun menaati Allah dan RasulNya lebih bermanfaat untuk kami.
(HR Muslim).
Dalam
menimbang mashlahat dan mudlarat mana yang lebih besar membutuhkan kefaqihan dan pemahaman yang dalam.
Seringkali terjadi perbedaan ijtihad para ulama.
Maka kewaji
ban kita untuk tidak tergesa gesa dalam menimbang mashlahat dan mudlarat.
Kaidah ketujuh belas:
Apabila bertemu pembolehan dengan pelarangan, maka didahulukan pelarangan.
Dalil kaidah ini adalah ayat tentang arak yang menyebutkan bahwa pada arak terdapat dosa dan manfaat, maka Allah haramkan.
Apabila bercampur ada daging yang halal dan daging yang haram, dan kita tidak mengetahui mana yang halal, maka wajib ditinggalkan semua.
Puasa hari sabtu terdapat dalil yang mengharamkan dan dalil yang membolehkan, maka kita dahulukan dalil yang mengharamkan.
Kaidah kedelapan belas
Hukum itu mengikuti illatnya. Bila illat ada maka hukumpun ada, dan bila tidak ada maka hukum tidak ada.
Hukum dalam islam tidak lepas dari lima: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Setiap hukum islam selalu mengandung illat. Illat adalah sifat yang tampak dan tetap seperti illat arak adalah memabukkan.
Hukum dilihat dari illatnya ada dua macam:
1. Hukum diketahui illatnya.
2. Hukum yang tidak diketahui illatnya.
Hukum yang diketahui illatnya ada dua macam:
1. Illat yang disebutkan oleh Nash. contohnya hadits ttg kucing:
إنها ليست بنجس إنما هي من الطوافين عليكم
Sesungguhnya kucing itu tidak najis, ia selalu berkeliling di antara kalian. (HR Abu Dawud).
Dalam hadits tersebut Nabi menyebutkan alasan ketidak najisan kucing yaitu suka berkeliling sehingga sulit dihindari.
2. Illat yang diketahui dengan cara istinbath.
Illat jenis ini ada yang menjadi ijma ulama seperti illat arakdalah memabukkan. Dan ada yang masih diperselisihkan, seperti illat emas dan perak ada yg mengatakan karena ditimbang. Ada yang mengatakan illatnya adalah tsaman (harga) dan inilah yang kuat.
Memahami illat suatu hukum sangat penting dan memudahkan kita untuk mengqiyaskan dengan perkara lain yang sama illatnya.
Seperti diqiyaskan kepada kucing semua binatang yang sulit untuk kita hindari.
Contoh lainnya adalah uang diqiyaskan kepada emas karena illatnya sama sama harga. Sehingga dalam zakat sama dengan emas dan juga terjadi padanya riba.
Apabila illatnya hilang, maka hilang pula hukumnya. Contohnya bila arak berubah menjadi cuka dengan sendirinya, dan tidak lagi memabukkan menjadi halal hukumnya karena illat memabukkan itu telah hilang.
dan sebagainya.
Kaidah kesembilan belas:
Semua yang mendahului sebab suatu hukum tidak sah. Dan sah apabila mendahului syaratnya.
Setiap hukum memiliki sebab dan syarat.
Contohnya zakat, sebab wajibnya adalah sampai nishob dan syarat wajibnya adalah telah berlalu haul (setahun).
Apabila ada orang yang berzakat sebelum sampai nishobnya, maka zakatnya tidak sah. Karena mendahului sebab.
Adapun bila ia telah sampai nishob dan hendak mengeluarkan zakat sebelum berlalu haul maka boleh dan sah.
Contoh lain: syarat membayar fidyah ketika haji dan umroh adalah melakukan pelanggaran yang mewajibkan fidyah, seperti mencukur kepala.
Dan sebab mencukur kepala karena adanya gangguan di kepala seperti banyak kutu misalnya.
Gangguan di kepala = sebab
Mencukur rambut = syarat membayar fidyah.
Apabila kita membayar fidyah sebelum adanya gangguan maka tidak sah.
Namun apabila telah ada gangguan lalu kita membayar fidyah sebelum mencukur kepala maka sah.
Bila kita bersumpah untuk tidak memasuki suatu kota, kemudian setelah itu ia memandang adanya mashlahat besar untuk memasuki kota tersebut. Lalu ia membatalkan sumpah dan membayar kafarat sumpah.
Berarti:
Sumpah adalah sebab adanya pembatalan.
Pembatalan adalah syarat membayar kafarat.
Apabila ada orang membayar kafarat sebelum adanya sumpah maka tidak sah.
Apabila ia telah bersumpah lalu ia berniat membatalkan sumpahnya. Ia membayar kafarat dahulu sebelum pembatalan maka sah.
Dan lain sebagainya.
Kaidah kedua puluh:
Seluruh hukum tidak sempurna kecuali apabila terpenuhi syarat syaratnya dan hilang penghalang penghalangnya.
Allah Ta'ala berfirman:
فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا
Baran
Seringkali terjadi perbedaan ijtihad para ulama.
Maka kewaji
ban kita untuk tidak tergesa gesa dalam menimbang mashlahat dan mudlarat.
Kaidah ketujuh belas:
Apabila bertemu pembolehan dengan pelarangan, maka didahulukan pelarangan.
Dalil kaidah ini adalah ayat tentang arak yang menyebutkan bahwa pada arak terdapat dosa dan manfaat, maka Allah haramkan.
Apabila bercampur ada daging yang halal dan daging yang haram, dan kita tidak mengetahui mana yang halal, maka wajib ditinggalkan semua.
Puasa hari sabtu terdapat dalil yang mengharamkan dan dalil yang membolehkan, maka kita dahulukan dalil yang mengharamkan.
Kaidah kedelapan belas
Hukum itu mengikuti illatnya. Bila illat ada maka hukumpun ada, dan bila tidak ada maka hukum tidak ada.
Hukum dalam islam tidak lepas dari lima: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Setiap hukum islam selalu mengandung illat. Illat adalah sifat yang tampak dan tetap seperti illat arak adalah memabukkan.
Hukum dilihat dari illatnya ada dua macam:
1. Hukum diketahui illatnya.
2. Hukum yang tidak diketahui illatnya.
Hukum yang diketahui illatnya ada dua macam:
1. Illat yang disebutkan oleh Nash. contohnya hadits ttg kucing:
إنها ليست بنجس إنما هي من الطوافين عليكم
Sesungguhnya kucing itu tidak najis, ia selalu berkeliling di antara kalian. (HR Abu Dawud).
Dalam hadits tersebut Nabi menyebutkan alasan ketidak najisan kucing yaitu suka berkeliling sehingga sulit dihindari.
2. Illat yang diketahui dengan cara istinbath.
Illat jenis ini ada yang menjadi ijma ulama seperti illat arakdalah memabukkan. Dan ada yang masih diperselisihkan, seperti illat emas dan perak ada yg mengatakan karena ditimbang. Ada yang mengatakan illatnya adalah tsaman (harga) dan inilah yang kuat.
Memahami illat suatu hukum sangat penting dan memudahkan kita untuk mengqiyaskan dengan perkara lain yang sama illatnya.
Seperti diqiyaskan kepada kucing semua binatang yang sulit untuk kita hindari.
Contoh lainnya adalah uang diqiyaskan kepada emas karena illatnya sama sama harga. Sehingga dalam zakat sama dengan emas dan juga terjadi padanya riba.
Apabila illatnya hilang, maka hilang pula hukumnya. Contohnya bila arak berubah menjadi cuka dengan sendirinya, dan tidak lagi memabukkan menjadi halal hukumnya karena illat memabukkan itu telah hilang.
dan sebagainya.
Kaidah kesembilan belas:
Semua yang mendahului sebab suatu hukum tidak sah. Dan sah apabila mendahului syaratnya.
Setiap hukum memiliki sebab dan syarat.
Contohnya zakat, sebab wajibnya adalah sampai nishob dan syarat wajibnya adalah telah berlalu haul (setahun).
Apabila ada orang yang berzakat sebelum sampai nishobnya, maka zakatnya tidak sah. Karena mendahului sebab.
Adapun bila ia telah sampai nishob dan hendak mengeluarkan zakat sebelum berlalu haul maka boleh dan sah.
Contoh lain: syarat membayar fidyah ketika haji dan umroh adalah melakukan pelanggaran yang mewajibkan fidyah, seperti mencukur kepala.
Dan sebab mencukur kepala karena adanya gangguan di kepala seperti banyak kutu misalnya.
Gangguan di kepala = sebab
Mencukur rambut = syarat membayar fidyah.
Apabila kita membayar fidyah sebelum adanya gangguan maka tidak sah.
Namun apabila telah ada gangguan lalu kita membayar fidyah sebelum mencukur kepala maka sah.
Bila kita bersumpah untuk tidak memasuki suatu kota, kemudian setelah itu ia memandang adanya mashlahat besar untuk memasuki kota tersebut. Lalu ia membatalkan sumpah dan membayar kafarat sumpah.
Berarti:
Sumpah adalah sebab adanya pembatalan.
Pembatalan adalah syarat membayar kafarat.
Apabila ada orang membayar kafarat sebelum adanya sumpah maka tidak sah.
Apabila ia telah bersumpah lalu ia berniat membatalkan sumpahnya. Ia membayar kafarat dahulu sebelum pembatalan maka sah.
Dan lain sebagainya.
Kaidah kedua puluh:
Seluruh hukum tidak sempurna kecuali apabila terpenuhi syarat syaratnya dan hilang penghalang penghalangnya.
Allah Ta'ala berfirman:
فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا
Baran
g siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal shalih dan tidak mempersekutukan ibadah Rabbnya dengan sesuatupun. (AlKahfi:110)
Dalam ayat
ini Allah menyebutkan bahwa syarat orang yang ingin bertemu dengan Allah pada hari kiamat dan melihat wajahNya adalah beramal shalih.
Dan hilang penghalangnya yaitu kesyirikan.
Demikian pula semua ibadah seperti sholat, zakat, puasa, haji dan sebagainya tidak sempurna sampai terpenuhi syarat dan rukunnya dan tidak melakukan pembatal pebatal yang menghilangkan keabsahannya.
Dalam memvonis individu misalnya, tidak boleh kita vonis ia kafir atau fasiq misalnya kecuali apabila terpenuhi syarat syaratnya dan tidak ada penghalangnya.
Apabila syarat syaratnya terpenuhi tapi masih ada penghalang keabsahannya, maka tidak sah.
Seperti orang yang mengucapkan laa ilaaha illalllah telah terpenuhi syarat masuk surga. Namun bila ia melakukan pembatal pembatal laa ilaaha illallah, syarat tersebut tidak bermanfaat di sisi Allah.
Kaidah kedua puluh satu.
Dugaan kuat itu dapat digunakan dalam masalah ibadah.
Dugaan ada yang lemah dan ada yang kuat. Dugaan lemah tidak diterima dalam masalah apapun, demikian pula semua perkara yang meragukan.
Adapun dugaan kuat, maka boleh menggunakannya dalam masalah ibadah.
Dalilnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إذا شك أحدكم في صلاته فايتحر الصواب ثم ليبن عليه
Apabila salah seorang dari kamu merasa ragu dalam sholatnya, hendaklah ia mencari yang benar, lalu membangun sholat di atasnya.
(HR Bukhari dan Muslim).
Dalam al qur'an, Allah menyuruh membawa saksi dalam masalah perzinahan, pencurian dan ssbagainya. Dan itu bersifat dugaan kuat. Karena saksi ada kemungkinan berdusta. Namun kuat dugaan jujurnya karena melihat ketaqwaannya.
Apabila seseorang berbuka puasa dengan kuat waktu berbuka telah masuk, lalu nyata kepadanya bahwa waktunya buka belum masuk, maka puasanya sah dan ia menahan diri kembali sampai benar benar masuk waktu.
Bila ada orang sholat shubuh dengan dugaan kuatnya bhawa waktu shubuh telah masuk, maka sah sholatnya.
Bila ada orang memberi zakat kepada orang yang ia duga kuat berhak mendapatkannya. Lalu nyata setelah itu bahwa ia tidak berhak, maka sah zakatnya.
Dan sebagainya..
Kaidah kedua puluh dua:
Apabila ternyata dugaan kuat itu salah, maka hendaknya ia mengulangi agar terlepas tanggungan.
Kaidah ini masih melanjutkan kaidah sebelumnya. Namun ini berhubungan dengan meninggalkan kewajiban.
Apabila ada orang yang sholat 4 rokaat dengan dugaan kuatnya, setelah itu nyata salahnya dan kurang satu rokaat, maka hendaklah ia menambah satu rokaat.
Bila ia sholat dengan dugaan kuat belum batal wudlunya, lalu setelah sholat ia ingat bahwa wudlunya telah batal, maka ia wajib mengulanginya.
Namun apabila tidak mungkin diulangi seperti salah orang ketika membayar zakat, maka itu sudah mencukupi.
Kaidah kedua puluh tiga:
Yang dianggap dalam mu'amalah adalah sesuai yang terjadi, bukan sesuai dugaannya.
Telah disebutkan bahwa dugaan kuat dapat digunakan dalam masalah ibadah. Adapun dalam mu'amalah yang dianggap adalah sesuai yang terjadi.
Apabila si A menjual barang milik B tanpa izinnya. tetapi rupanya B sudah mewakilkan penjualan tanpa sepengetahuan A, maka jual belinya sah.
Walaupun haram bagi A menjual milik B tanpa izinnya.
Bila C membayarkan hutang B kepada A, maka dianggap lunas walaupun B tak mengetahuinya.
Bila A menjual milik B tanpa izinnya, ternyata B telah meninggal sebelum terjadinya akad. Dan ternyata A pewaris B maka akadnya sah..
dan sebagainya...
Kaidah kedua puluh empat:
Keraguan setelah melakukan ibadah itu tidak dianggap.
Keraguan biasanya terjadi di dua tempat:
1. Ketika ibadah sedang berlangsung.
2. Setelah selesai melakukan ibadah.
Adapun ketika ibadah berlangsung, maka ini pun ada dua macam:
1. Keraguan karena lupa.
2. keraguan karena was was.
Bila karena lupa, maka ambillah yang yakin. Contohnya bila ia ragu apakah dua atau tiga rakaat, maka ambil dua dan tambah lagi satu rokaat dan sujud sahwi sebelum salam.
Bila karena was was, maka tidak dianggap. Seperti ragu apakah
Dalam ayat
ini Allah menyebutkan bahwa syarat orang yang ingin bertemu dengan Allah pada hari kiamat dan melihat wajahNya adalah beramal shalih.
Dan hilang penghalangnya yaitu kesyirikan.
Demikian pula semua ibadah seperti sholat, zakat, puasa, haji dan sebagainya tidak sempurna sampai terpenuhi syarat dan rukunnya dan tidak melakukan pembatal pebatal yang menghilangkan keabsahannya.
Dalam memvonis individu misalnya, tidak boleh kita vonis ia kafir atau fasiq misalnya kecuali apabila terpenuhi syarat syaratnya dan tidak ada penghalangnya.
Apabila syarat syaratnya terpenuhi tapi masih ada penghalang keabsahannya, maka tidak sah.
Seperti orang yang mengucapkan laa ilaaha illalllah telah terpenuhi syarat masuk surga. Namun bila ia melakukan pembatal pembatal laa ilaaha illallah, syarat tersebut tidak bermanfaat di sisi Allah.
Kaidah kedua puluh satu.
Dugaan kuat itu dapat digunakan dalam masalah ibadah.
Dugaan ada yang lemah dan ada yang kuat. Dugaan lemah tidak diterima dalam masalah apapun, demikian pula semua perkara yang meragukan.
Adapun dugaan kuat, maka boleh menggunakannya dalam masalah ibadah.
Dalilnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إذا شك أحدكم في صلاته فايتحر الصواب ثم ليبن عليه
Apabila salah seorang dari kamu merasa ragu dalam sholatnya, hendaklah ia mencari yang benar, lalu membangun sholat di atasnya.
(HR Bukhari dan Muslim).
Dalam al qur'an, Allah menyuruh membawa saksi dalam masalah perzinahan, pencurian dan ssbagainya. Dan itu bersifat dugaan kuat. Karena saksi ada kemungkinan berdusta. Namun kuat dugaan jujurnya karena melihat ketaqwaannya.
Apabila seseorang berbuka puasa dengan kuat waktu berbuka telah masuk, lalu nyata kepadanya bahwa waktunya buka belum masuk, maka puasanya sah dan ia menahan diri kembali sampai benar benar masuk waktu.
Bila ada orang sholat shubuh dengan dugaan kuatnya bhawa waktu shubuh telah masuk, maka sah sholatnya.
Bila ada orang memberi zakat kepada orang yang ia duga kuat berhak mendapatkannya. Lalu nyata setelah itu bahwa ia tidak berhak, maka sah zakatnya.
Dan sebagainya..
Kaidah kedua puluh dua:
Apabila ternyata dugaan kuat itu salah, maka hendaknya ia mengulangi agar terlepas tanggungan.
Kaidah ini masih melanjutkan kaidah sebelumnya. Namun ini berhubungan dengan meninggalkan kewajiban.
Apabila ada orang yang sholat 4 rokaat dengan dugaan kuatnya, setelah itu nyata salahnya dan kurang satu rokaat, maka hendaklah ia menambah satu rokaat.
Bila ia sholat dengan dugaan kuat belum batal wudlunya, lalu setelah sholat ia ingat bahwa wudlunya telah batal, maka ia wajib mengulanginya.
Namun apabila tidak mungkin diulangi seperti salah orang ketika membayar zakat, maka itu sudah mencukupi.
Kaidah kedua puluh tiga:
Yang dianggap dalam mu'amalah adalah sesuai yang terjadi, bukan sesuai dugaannya.
Telah disebutkan bahwa dugaan kuat dapat digunakan dalam masalah ibadah. Adapun dalam mu'amalah yang dianggap adalah sesuai yang terjadi.
Apabila si A menjual barang milik B tanpa izinnya. tetapi rupanya B sudah mewakilkan penjualan tanpa sepengetahuan A, maka jual belinya sah.
Walaupun haram bagi A menjual milik B tanpa izinnya.
Bila C membayarkan hutang B kepada A, maka dianggap lunas walaupun B tak mengetahuinya.
Bila A menjual milik B tanpa izinnya, ternyata B telah meninggal sebelum terjadinya akad. Dan ternyata A pewaris B maka akadnya sah..
dan sebagainya...
Kaidah kedua puluh empat:
Keraguan setelah melakukan ibadah itu tidak dianggap.
Keraguan biasanya terjadi di dua tempat:
1. Ketika ibadah sedang berlangsung.
2. Setelah selesai melakukan ibadah.
Adapun ketika ibadah berlangsung, maka ini pun ada dua macam:
1. Keraguan karena lupa.
2. keraguan karena was was.
Bila karena lupa, maka ambillah yang yakin. Contohnya bila ia ragu apakah dua atau tiga rakaat, maka ambil dua dan tambah lagi satu rokaat dan sujud sahwi sebelum salam.
Bila karena was was, maka tidak dianggap. Seperti ragu apakah
keluar dari duburnya sesuatu atau tidak. Maka ia tidak boleh membatalkan sholatnya hanya karena was was tersebut.
Sedangkan bila keraguan itu setelah melakukan peebu
atan, maka inipun tidak dianggap.
Contohnya bila telah selesai wudlu, ia ragu apakah sudah mencuci tangan atau belum.
Setelah selesai sholat ia ragu, apakah sudah dua rokaat atau tiga rokaat.
Setelah selesai puasa, ia ragu apakah ia berpuasa qodlo atau bukan. Dan sebagainya.
Kaidah kedua puluh lima:
Sesuatu yang terlintas di hati dimaafkan selama tidak diucapkan atau diperbuat.
Kaidah ini berdasarkan hadits:
إن الله تجاوز لي عن أمتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم
Sesungguhnya Allah memaafkan untuk umatku apa yang ia bicarakan di hatinya selama tidak dilakukan atau diucapkan. HR Bukhari dan Muslim.
Apabila terlintas difikiran seseorang untuk berbuat maksiat maka tidak berpengaruh apapun.
Atau terlintas dipikirannya untuk berbuat kebaikan.
Lalu bagaimana dengan firman Allah:
ومن يرد فيه بإلحاد بظلم نذقه من عذاب أليم
Barang siapa yang menginginkan padanya perbuatan buruk berupa kezaliman, maka Kami akan rasakan ia dengan adzab yang pedih. (Al Hajj: 25).
Dijawab: Bahwa lintasan hati berbeda dengan niat yang kuat. karena yang dimaksud ayat tersebut adalah azimah (niat yang kuat), sehingga tidak masuk dalam kaidah ini.
wallahu a'lam.
Kaidah kedua puluh enam:
Perintah apabila yang dimaksud darinya pelakunya, maka perintah itu hukumnya fardlu ain.
Dan apabila yang dimaksud perbuatannya, maka perintah itu hukumnya fardlu kifayah.
Ini adalah kaidah untuk membedakan antara perintah yang bersifat fardlu ain dan perintah yang bersifat fardlu kifayah.
Bila yang dimaksud adalah pelakunya maka fardlu ain.
contohnya perintah untuk sholat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
Bila yang dimaksud perbuatannya maka fardlu kifayah.
contohnya adalah adzan, bila ada satu orang adzan, maka itu sudah terhasilkan. Maka itu mencukupi.
contohnya lagi menyelenggarakan pengurusan jenazah. tidak wajib setiap orang mengurus jenazah.
Kaidah kedua puluh tujuh:
Ibadah yang mempunyai beberapa bentuk, hendaknya kita lakukan terkadang ini dan terkadang itu.
Ada beberapa ibadahvyang mempunyai beberapa bentuk atau macam yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Contohnya doa istiftah, bacaan ruku dan sujud, bacaan sholawat dan ssbagainya.
Maka agar terpelihara semuanya, kita tidak melanggengkan satu bacaan, tapi kita baca terkadang ini dan terkdang itu.
Namun tidak disyariatkan membaca seluruhnya dalam satu sholat.
Kecuali bila ada dalil yang menunjukkan boleh membaca seluruhnya dalam satu waktu seperti doa pagi dan petang.
wallahu a'lam.
Kaidah kedua puluh delapan:
Pendapat seorang shahabat apabila tidak diselisihi oleh shahabat lainnya adalah hujjah atas pendapat yang kuat.
Shahabat yang dimaksud di sini adalah para shahabat ahli ijtihad seperti kholifafah yang empat, ibnu Mas'ud, ibnu Abbas, ibnu Umar dan lain lain.
Apabila pendapat mereka tidak diselisihi oleh shahabat lain terlebih bila pendapat tersebut masyhur di kalangan mereka, maka pendapat tersebuf adalah hujjah.
Karena mereka adalah generasibyang paling dalam ilmunya, paling bening hatinya dan paling jauh dari hawa nafsu.
Al Qur'an turun dengan bahasa mereka, dan mereka melihat langsung praktek dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan mendengar langsung penjelasan dari beliau.
Apabila pendapat shahabat itu diselisihi oleh shahabat lain yang juga ahli ijtihad, maka kita lihat mana yang paling dekat kepada Al Quran dan hadits.
Dan memberi udzur kepada yang salah.
Kaidah kedua puluh sembilan:
Hujjah taklif itu ada empat: Al Quran, hadits yang shahih, ijma dan qiyas.
Wajib diyakini bahwa al quran adalah kalam Allah bukan makhluk, ia terjaga sampai hari kiamat, siapa yang meyakini bahwa alquran telah berubah, atau mengingkari salah satu ayatnya maka ia kafir.
Wajib diyakini bahwa alquran itu mutawatir, namun tentunya makna mutawatir dalam istilah ilmu alquran berbeda dengan mutawatir dalam istilah ilmu hadits.
Ayat al quran ada yang muhkam ada juga yang mutasyabih. Tata cara yang benar
Sedangkan bila keraguan itu setelah melakukan peebu
atan, maka inipun tidak dianggap.
Contohnya bila telah selesai wudlu, ia ragu apakah sudah mencuci tangan atau belum.
Setelah selesai sholat ia ragu, apakah sudah dua rokaat atau tiga rokaat.
Setelah selesai puasa, ia ragu apakah ia berpuasa qodlo atau bukan. Dan sebagainya.
Kaidah kedua puluh lima:
Sesuatu yang terlintas di hati dimaafkan selama tidak diucapkan atau diperbuat.
Kaidah ini berdasarkan hadits:
إن الله تجاوز لي عن أمتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم
Sesungguhnya Allah memaafkan untuk umatku apa yang ia bicarakan di hatinya selama tidak dilakukan atau diucapkan. HR Bukhari dan Muslim.
Apabila terlintas difikiran seseorang untuk berbuat maksiat maka tidak berpengaruh apapun.
Atau terlintas dipikirannya untuk berbuat kebaikan.
Lalu bagaimana dengan firman Allah:
ومن يرد فيه بإلحاد بظلم نذقه من عذاب أليم
Barang siapa yang menginginkan padanya perbuatan buruk berupa kezaliman, maka Kami akan rasakan ia dengan adzab yang pedih. (Al Hajj: 25).
Dijawab: Bahwa lintasan hati berbeda dengan niat yang kuat. karena yang dimaksud ayat tersebut adalah azimah (niat yang kuat), sehingga tidak masuk dalam kaidah ini.
wallahu a'lam.
Kaidah kedua puluh enam:
Perintah apabila yang dimaksud darinya pelakunya, maka perintah itu hukumnya fardlu ain.
Dan apabila yang dimaksud perbuatannya, maka perintah itu hukumnya fardlu kifayah.
Ini adalah kaidah untuk membedakan antara perintah yang bersifat fardlu ain dan perintah yang bersifat fardlu kifayah.
Bila yang dimaksud adalah pelakunya maka fardlu ain.
contohnya perintah untuk sholat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
Bila yang dimaksud perbuatannya maka fardlu kifayah.
contohnya adalah adzan, bila ada satu orang adzan, maka itu sudah terhasilkan. Maka itu mencukupi.
contohnya lagi menyelenggarakan pengurusan jenazah. tidak wajib setiap orang mengurus jenazah.
Kaidah kedua puluh tujuh:
Ibadah yang mempunyai beberapa bentuk, hendaknya kita lakukan terkadang ini dan terkadang itu.
Ada beberapa ibadahvyang mempunyai beberapa bentuk atau macam yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Contohnya doa istiftah, bacaan ruku dan sujud, bacaan sholawat dan ssbagainya.
Maka agar terpelihara semuanya, kita tidak melanggengkan satu bacaan, tapi kita baca terkadang ini dan terkdang itu.
Namun tidak disyariatkan membaca seluruhnya dalam satu sholat.
Kecuali bila ada dalil yang menunjukkan boleh membaca seluruhnya dalam satu waktu seperti doa pagi dan petang.
wallahu a'lam.
Kaidah kedua puluh delapan:
Pendapat seorang shahabat apabila tidak diselisihi oleh shahabat lainnya adalah hujjah atas pendapat yang kuat.
Shahabat yang dimaksud di sini adalah para shahabat ahli ijtihad seperti kholifafah yang empat, ibnu Mas'ud, ibnu Abbas, ibnu Umar dan lain lain.
Apabila pendapat mereka tidak diselisihi oleh shahabat lain terlebih bila pendapat tersebut masyhur di kalangan mereka, maka pendapat tersebuf adalah hujjah.
Karena mereka adalah generasibyang paling dalam ilmunya, paling bening hatinya dan paling jauh dari hawa nafsu.
Al Qur'an turun dengan bahasa mereka, dan mereka melihat langsung praktek dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan mendengar langsung penjelasan dari beliau.
Apabila pendapat shahabat itu diselisihi oleh shahabat lain yang juga ahli ijtihad, maka kita lihat mana yang paling dekat kepada Al Quran dan hadits.
Dan memberi udzur kepada yang salah.
Kaidah kedua puluh sembilan:
Hujjah taklif itu ada empat: Al Quran, hadits yang shahih, ijma dan qiyas.
Wajib diyakini bahwa al quran adalah kalam Allah bukan makhluk, ia terjaga sampai hari kiamat, siapa yang meyakini bahwa alquran telah berubah, atau mengingkari salah satu ayatnya maka ia kafir.
Wajib diyakini bahwa alquran itu mutawatir, namun tentunya makna mutawatir dalam istilah ilmu alquran berbeda dengan mutawatir dalam istilah ilmu hadits.
Ayat al quran ada yang muhkam ada juga yang mutasyabih. Tata cara yang benar
adalah menafsirkan ayat mutasyabih dengan ayat yang muhkam. Adapun mencari ayat ayat mutasyabih untuk manakwilnya sesuai hawa nafsu maka ini bukanlah jalan yang benar.
D
alam memahami alquran membutuhkan penguasaan terhadap ilmu ilmu alatnya seperti bahasa arab, sebab nuzul, nasikh mansukh dsb.
ibnu Katsir menyebutkan bahwa ada empat cara menafsir mkan alquran:
1. Tafsirkan alquran dengan alquran.
2. Tafsirkan alquran dengan hadits.
3. Tafsirkan alquran dengan pemahaman shahabat.
4. Dengan pemahaman tabiin.
In syaa Allah kita akan menyendirikan pembahasan kaidah kaidah memahami al quran setelah membahas kaidah kaidah fiqih.
Lanjutan kaidah ke 29:
Hujjah taklif yangbkedua adalah hadits yang shahih.
disebut hadits yang shahih apabila memenuhi lima syarat:
1. Bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah shallalahu alaihi wasallam.
2. perawinya adil, yaitu muslim, baligh, berakal, tidak fasiq, dan selamat dari muruah yang buruk.
3. dlabith, yaitu menguasai hadits yang ia riwayatkan baik dengan hafalan atau dengan tulisan yang selamat dari kesalahan.
4. Selamat dari illat yang merusak keabsahannya.
5. tidak syadz, yaitu periwayatan perawi yang diterima menyelisihi periwayatan perawi lain yang lebih tsiqoh.
Apabila salah satu dari lima syarat ini tidak terpenuhi maka tidak disebut shahih.
Adapun hadits lemah, maka ia bukan hujjah taklif. Jalaluddin Ad Dawaani berkata:
اتفقوا على أن الحديث الضعيف لا يثبت به الأحكام الخمسة الشرعية ومنها الاستحباب
Para ulama bersepakat bahwa hadits yang lemah tidak bisa menetapkan hukum syariat yang lima, termasuk di dalamnya al istihbab.
(Muntahal amaani hal. 186)
Adapun dalam fadlilah amal, memang terjadi perselisihan. sebagian ulama mengatakan boleh diamalkan.
Namun Syaikh Ali Al Qori berkata:
إن الحديث الضعيف يعمل به في الفضائل وإن لم يعتضد إجماعا كما قاله النووي، محله الفضائل الثابتة من كتاب أو سنة
Sesungguhnya hadits lemah itu dapat diamalkan dalam fadilah amal walaupun tidak ada jalan yang menguatkannya berdasarkan ijma sebagaimana yang dikatakan oleh imam An Nawawi. Namun tempatnya pada amal yang shahih dari alquran atau sunnah.
(Al Mirqot 2/381)
Maksudnya apabila asal amal tersebut ditetapkan oleh hadits yang shahih, namun ada hadits yang lemah yang menyebutkan tentang keutamaan amal tersebut, maka boleh diamalkan.
Contoh siwak, ia sunnah berdasarkan hadits yang shahih.
bila ada hadits lemah yang menyebutkan keutamaan siwak, maka boleh diamalkan.
Lanjutan kaidah ke 29:
Hujjah taklif yang ketiga yaitu ijma'.
Ijma adalah kesepakatan ahli ijtihad umat islam pada suatu hukum syariat setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat.
Ahli ijtihad adalah yang telah terpenuhi syarat syarat ijtihad berupa menguasai al quran dan hadits dan ilmu ilmu alat untuk berijtihad.
Adapun kesepakatan bukan ahli ijtihad tidak disebut ijma.
Dalil hujjahnya ijma:
1. Allah Ta'ala berfirman:
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
Bila kalian berselisih dalam sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul..
(An Nisaa:59).
Ayat ini menunjukkan bahwa merujuk al quran dan sunnah itu di saat ada perselisihan. Adapun bila tidak berselisih maka itu sudah cukup.
2. Allah berfirman:
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصليه جهنم وساءت مصيرا
Siapa yang menyelisihi rosul setelah jelas kepadanya petunjuk dan mengikuti selain jalan kaum mukminin maka kami biarkan ia leluasa dalam kesesatannya dan Kami akan bakar ia dalam jahannam. dan itulah seburuk buruk tempat kembali. (An Nisaa: 115)
Mengikuti selain jalan kaum mukminin artinya selain ijma mereka. Sebagaimana dikatakan oleh imam Asy Syafii
3. Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
لن تجتمع أمتي على ضلالة
Umatku tidak mungkin bersepakat di atas kesesatan.
(HR Abu Dawud)
Disyaratkan pada ijma adalah kesepakatan seluruh ahli ijtihad di dunia, bukan hanya ahli ijtihad negara tertentu tanpa negara lainnya. Dan yang menyatakan ijma harus seorang ulama yang benar benar mengetahui pendapat pendapat manusia.
Ijma ada dua macam:
1. Ijma qoth'iy: Yaitu yang dipastikan adanya ijma seperti wajibnya sholat, zakat,
D
alam memahami alquran membutuhkan penguasaan terhadap ilmu ilmu alatnya seperti bahasa arab, sebab nuzul, nasikh mansukh dsb.
ibnu Katsir menyebutkan bahwa ada empat cara menafsir mkan alquran:
1. Tafsirkan alquran dengan alquran.
2. Tafsirkan alquran dengan hadits.
3. Tafsirkan alquran dengan pemahaman shahabat.
4. Dengan pemahaman tabiin.
In syaa Allah kita akan menyendirikan pembahasan kaidah kaidah memahami al quran setelah membahas kaidah kaidah fiqih.
Lanjutan kaidah ke 29:
Hujjah taklif yangbkedua adalah hadits yang shahih.
disebut hadits yang shahih apabila memenuhi lima syarat:
1. Bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah shallalahu alaihi wasallam.
2. perawinya adil, yaitu muslim, baligh, berakal, tidak fasiq, dan selamat dari muruah yang buruk.
3. dlabith, yaitu menguasai hadits yang ia riwayatkan baik dengan hafalan atau dengan tulisan yang selamat dari kesalahan.
4. Selamat dari illat yang merusak keabsahannya.
5. tidak syadz, yaitu periwayatan perawi yang diterima menyelisihi periwayatan perawi lain yang lebih tsiqoh.
Apabila salah satu dari lima syarat ini tidak terpenuhi maka tidak disebut shahih.
Adapun hadits lemah, maka ia bukan hujjah taklif. Jalaluddin Ad Dawaani berkata:
اتفقوا على أن الحديث الضعيف لا يثبت به الأحكام الخمسة الشرعية ومنها الاستحباب
Para ulama bersepakat bahwa hadits yang lemah tidak bisa menetapkan hukum syariat yang lima, termasuk di dalamnya al istihbab.
(Muntahal amaani hal. 186)
Adapun dalam fadlilah amal, memang terjadi perselisihan. sebagian ulama mengatakan boleh diamalkan.
Namun Syaikh Ali Al Qori berkata:
إن الحديث الضعيف يعمل به في الفضائل وإن لم يعتضد إجماعا كما قاله النووي، محله الفضائل الثابتة من كتاب أو سنة
Sesungguhnya hadits lemah itu dapat diamalkan dalam fadilah amal walaupun tidak ada jalan yang menguatkannya berdasarkan ijma sebagaimana yang dikatakan oleh imam An Nawawi. Namun tempatnya pada amal yang shahih dari alquran atau sunnah.
(Al Mirqot 2/381)
Maksudnya apabila asal amal tersebut ditetapkan oleh hadits yang shahih, namun ada hadits yang lemah yang menyebutkan tentang keutamaan amal tersebut, maka boleh diamalkan.
Contoh siwak, ia sunnah berdasarkan hadits yang shahih.
bila ada hadits lemah yang menyebutkan keutamaan siwak, maka boleh diamalkan.
Lanjutan kaidah ke 29:
Hujjah taklif yang ketiga yaitu ijma'.
Ijma adalah kesepakatan ahli ijtihad umat islam pada suatu hukum syariat setelah Nabi shallallahu alaihi wasallam wafat.
Ahli ijtihad adalah yang telah terpenuhi syarat syarat ijtihad berupa menguasai al quran dan hadits dan ilmu ilmu alat untuk berijtihad.
Adapun kesepakatan bukan ahli ijtihad tidak disebut ijma.
Dalil hujjahnya ijma:
1. Allah Ta'ala berfirman:
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
Bila kalian berselisih dalam sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul..
(An Nisaa:59).
Ayat ini menunjukkan bahwa merujuk al quran dan sunnah itu di saat ada perselisihan. Adapun bila tidak berselisih maka itu sudah cukup.
2. Allah berfirman:
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصليه جهنم وساءت مصيرا
Siapa yang menyelisihi rosul setelah jelas kepadanya petunjuk dan mengikuti selain jalan kaum mukminin maka kami biarkan ia leluasa dalam kesesatannya dan Kami akan bakar ia dalam jahannam. dan itulah seburuk buruk tempat kembali. (An Nisaa: 115)
Mengikuti selain jalan kaum mukminin artinya selain ijma mereka. Sebagaimana dikatakan oleh imam Asy Syafii
3. Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
لن تجتمع أمتي على ضلالة
Umatku tidak mungkin bersepakat di atas kesesatan.
(HR Abu Dawud)
Disyaratkan pada ijma adalah kesepakatan seluruh ahli ijtihad di dunia, bukan hanya ahli ijtihad negara tertentu tanpa negara lainnya. Dan yang menyatakan ijma harus seorang ulama yang benar benar mengetahui pendapat pendapat manusia.
Ijma ada dua macam:
1. Ijma qoth'iy: Yaitu yang dipastikan adanya ijma seperti wajibnya sholat, zakat,
puasa, haji, haramnya arak, judi, zina, riba dan sebagainya.
2. ijma dzonniy yaitu ijma yang diketahui setelah melakukan penelitian.
Para ulama berbeda pendapat akan kemun
gkinan terjadinya ijma seperti ini. yang kuat adalah pendapat syaikhul islam ibnu Taimiyah:
والإجماع الذي ينضبط ما كان عليه السلف الصالح ، إذ بعدهم كثر الاختلاف وانتشرت الأمة " . أهـ .
Ijma yang mungkin adalah ijma di zaman salafushalih karena setelah mereka umat islam telah sangat tersebar dan banyak perselisihan.
Lanjutan kaidah ke 29:
Hujjah taklif yang keempat yaitu Qiyas.
Qiyas adakah menyamakan hukum cabang dengan hukum asal karena adanya persamaan illat.
Rukunnya ada empat:
1. Adanya pokok yang ditunjukkan oleh dalil.
2. Adanya cabang yang akan diqiyaskan kepada pokok.
3. Adanya persamaan illat. Illat adalah sifat yang tampak dan tetap dan tidak dibatalkan oleh syariat.
4. Adanya hukum baik wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
Contohnya adalah mengqiyaskan beras dengan gandum karena adanya persamaan illat yaitu sama sama makanan pokok.
Beberapa perkara yang perlu diperhatikan dalam qiyas:
1. Qiyas digunakan disaat tidak ada dalil. Sebagaimana dikatakan oleh imam Asy Syafii:
Qiyas itu digunakan ketika darurat saja.
2. Qiyas bila bertabrakan dengan dalil maka qiyas tersebut tertolak.
3. Qiyas hanya berlaku pada ibadah yang diketahui padanya illat. Adapun ibadah yang bersifat mahdloh dan tidak diketahui illatnya maka tidak mungkin diqiyaskan.
4. Tidak boleh mengqiyaskan kepada cabang.
Dan pembahasan qiyas secara terperinci dalam kitab ushul fiqih.
Kaidah ketiga puluh satu:
Wajib menutup pintu hilah.
Hilah adalah usaha untuk menggugurkan kewajiban atau menghalalkan yang haram dengan cara tersembunyi yang tampaknya boleh padahal tidak. Ini adalah perbuatan kejahatan dalam agama. Karena hakekatnya mempermainkan agama sesuai hawa nafsu.
Yang pertama kali menggunakan hilah adalah kaum yahudi. Ketika Allah mengharamkan untuk mereka berburu di hari sabtu, mereka berhilah dengan cara memasang jala di jumat sore dan mengambilnya di minggu pagi.
Ketika Allah mengharamkan untuk mereka gajih sapi, mereka jadikan minyak lalu menjualnya dan memakan harganya.
Contoh hilah misalnya: Orang yang malas pergi ke masjid. Di waktu waktu sholat ia sengaja memakan bawang agar ia punya alasan untuk tidak pergi ke masjid. Maka yang seperti ini diharamkan.
Contoh lain: Seseorang telah memiliki harta yang sampai nishob dan haul. Lalu ia ingin lari dari zakat dengan cara menghibahkannya kepada anaknya. Kemudian suatu ketika iamengambilnya kembali.
Kaidah ke 32:
Haram melanjutkan ibadah atau muamalah yang rusak, kecuali haji dan umroh tetap wajib dilanjutkan.
Apabila suatu ibadah atau muamalah rusak karena tidak memenuhi syaratnya atau meninggalkan rukunnya maka tidak boleh kita melanjutkan ibadah atau muamalah tersebut.
contohnya bila kita sedang berwudlu, lalu nyata kepada kita airnya najis, maka tidak boleh kita lanjutkan dan wajib dibersihkan anggota yang terkena najis tersebut.
Apabila kita sholat lalu buang angin, wajib menghentikan sholat dan berwudlu kembali.
Jual beli yang mengandung riba tidak boleh dilanjutkan kecuali bila tidak mungkin dihentikan seperti bila kita membeli rumah secara kredit namun dengan akad ribawi.
Bila seorang wanita sedang puasa lalu ia haidl, maka haram baginya meneruskan puasanya tersebut.
Dikecualikan dalam masalah ini adalah haji dan umroh. Maka wajib disempurnakan walaupun ia telah rusak, berdasarkan firman Allah Ta'ala:
وأتموا الحج والعمرة لله
Dan sempurnakanlah haji dan umroh untuk Allah. (Al Baqoroh: 196).
Apabila seseorang berjima disaat mabit di muzdalifah misalnya, maka hajinya rusak tidak sah tapi ia wajib menyempurnakannya sampai selesai, dan ia wajib haji lagi di tahun mendatang.
Ini tidak ada bedanya antara haji wajib atau haji sunnah. Demikian pula umroh.
Kaidah ke 33:
Boleh membatalkan ibadah yang sunnah kecuali haji dan umroh tidak boleh diputuskan.
Dalil kaidah ini adalah hadits Aisyah, ia berkata:
دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال : هل عندكم شيء ؟ فقلنا : لا ، قال : فإني إذن صائم ،
2. ijma dzonniy yaitu ijma yang diketahui setelah melakukan penelitian.
Para ulama berbeda pendapat akan kemun
gkinan terjadinya ijma seperti ini. yang kuat adalah pendapat syaikhul islam ibnu Taimiyah:
والإجماع الذي ينضبط ما كان عليه السلف الصالح ، إذ بعدهم كثر الاختلاف وانتشرت الأمة " . أهـ .
Ijma yang mungkin adalah ijma di zaman salafushalih karena setelah mereka umat islam telah sangat tersebar dan banyak perselisihan.
Lanjutan kaidah ke 29:
Hujjah taklif yang keempat yaitu Qiyas.
Qiyas adakah menyamakan hukum cabang dengan hukum asal karena adanya persamaan illat.
Rukunnya ada empat:
1. Adanya pokok yang ditunjukkan oleh dalil.
2. Adanya cabang yang akan diqiyaskan kepada pokok.
3. Adanya persamaan illat. Illat adalah sifat yang tampak dan tetap dan tidak dibatalkan oleh syariat.
4. Adanya hukum baik wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
Contohnya adalah mengqiyaskan beras dengan gandum karena adanya persamaan illat yaitu sama sama makanan pokok.
Beberapa perkara yang perlu diperhatikan dalam qiyas:
1. Qiyas digunakan disaat tidak ada dalil. Sebagaimana dikatakan oleh imam Asy Syafii:
Qiyas itu digunakan ketika darurat saja.
2. Qiyas bila bertabrakan dengan dalil maka qiyas tersebut tertolak.
3. Qiyas hanya berlaku pada ibadah yang diketahui padanya illat. Adapun ibadah yang bersifat mahdloh dan tidak diketahui illatnya maka tidak mungkin diqiyaskan.
4. Tidak boleh mengqiyaskan kepada cabang.
Dan pembahasan qiyas secara terperinci dalam kitab ushul fiqih.
Kaidah ketiga puluh satu:
Wajib menutup pintu hilah.
Hilah adalah usaha untuk menggugurkan kewajiban atau menghalalkan yang haram dengan cara tersembunyi yang tampaknya boleh padahal tidak. Ini adalah perbuatan kejahatan dalam agama. Karena hakekatnya mempermainkan agama sesuai hawa nafsu.
Yang pertama kali menggunakan hilah adalah kaum yahudi. Ketika Allah mengharamkan untuk mereka berburu di hari sabtu, mereka berhilah dengan cara memasang jala di jumat sore dan mengambilnya di minggu pagi.
Ketika Allah mengharamkan untuk mereka gajih sapi, mereka jadikan minyak lalu menjualnya dan memakan harganya.
Contoh hilah misalnya: Orang yang malas pergi ke masjid. Di waktu waktu sholat ia sengaja memakan bawang agar ia punya alasan untuk tidak pergi ke masjid. Maka yang seperti ini diharamkan.
Contoh lain: Seseorang telah memiliki harta yang sampai nishob dan haul. Lalu ia ingin lari dari zakat dengan cara menghibahkannya kepada anaknya. Kemudian suatu ketika iamengambilnya kembali.
Kaidah ke 32:
Haram melanjutkan ibadah atau muamalah yang rusak, kecuali haji dan umroh tetap wajib dilanjutkan.
Apabila suatu ibadah atau muamalah rusak karena tidak memenuhi syaratnya atau meninggalkan rukunnya maka tidak boleh kita melanjutkan ibadah atau muamalah tersebut.
contohnya bila kita sedang berwudlu, lalu nyata kepada kita airnya najis, maka tidak boleh kita lanjutkan dan wajib dibersihkan anggota yang terkena najis tersebut.
Apabila kita sholat lalu buang angin, wajib menghentikan sholat dan berwudlu kembali.
Jual beli yang mengandung riba tidak boleh dilanjutkan kecuali bila tidak mungkin dihentikan seperti bila kita membeli rumah secara kredit namun dengan akad ribawi.
Bila seorang wanita sedang puasa lalu ia haidl, maka haram baginya meneruskan puasanya tersebut.
Dikecualikan dalam masalah ini adalah haji dan umroh. Maka wajib disempurnakan walaupun ia telah rusak, berdasarkan firman Allah Ta'ala:
وأتموا الحج والعمرة لله
Dan sempurnakanlah haji dan umroh untuk Allah. (Al Baqoroh: 196).
Apabila seseorang berjima disaat mabit di muzdalifah misalnya, maka hajinya rusak tidak sah tapi ia wajib menyempurnakannya sampai selesai, dan ia wajib haji lagi di tahun mendatang.
Ini tidak ada bedanya antara haji wajib atau haji sunnah. Demikian pula umroh.
Kaidah ke 33:
Boleh membatalkan ibadah yang sunnah kecuali haji dan umroh tidak boleh diputuskan.
Dalil kaidah ini adalah hadits Aisyah, ia berkata:
دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال : هل عندكم شيء ؟ فقلنا : لا ، قال : فإني إذن صائم ،