dangan Islam. Suatu rumus sederhana namun juga efektif memberi penerangan bagi pembaca buku ini.
Bukan hanya bahasan yang konseptual, respon terhadap isu-isu yang lebih praktis pun dapat kita temui dalam buku ini. Masalah pemimpin Non-Muslim, persoalan Ahmadiyah, masalah ketahanan keluarga hingga soal korupsi dikupas dengan bernas dalam artikel-artikel berbahasa renyah namun cukup mendalam. Keketatan logika dan saling kait antarkata, kalimat hingga paragraf membangun keutuhan yang cukup enak untuk dicerna. Seringkali kita membaca tulisan yang nampak terburu-buru dan begitu sesak dengan kehendak untuk menyampaikan banyak hal. Dalam buku ini, kita dapat menikmati kaitan satu kalimat dengan kalimat lain yang tersusun apik. Menunjukan kekuatan logika penulisnya yang cukup mumpuni.
Dua artikel pertama di dalam buku ini patut mendapat perhatian lebih. Keduanya tampak menjadi “payung” bagi keseluruhan wacana yang diurai. “Intelektual dan Ulama” dan “Diabolisme Intelektual” menggambarkan dengan rapi persoalan eksternal yang umat hadapi hari ini. Mengapa kebringasan, kebrutalan dan kebrangasan wacana terhadap Islam akhir-akhir ini begitu deras mengalir.
Dalam “Intelektual dan Ulama”, Dr. Syamsuddin berkisah tentang citra intelektual di negeri-negeri Barat yang tampak tak ajeg, sedang (atau sudah) dirubuhkan wibawanya oleh kalangan mereka sendiri dan seperti tak memiliki makna yang kukuh. Siapa intelektual dan berhakkah mereka dihormati, menjadi perbincangan yang menarik di negeri-negeri Barat. Dari Perancis, Belgia, Amerika hingga Inggris, perdebatan mengenai masalah ini terus berlangsung. Perbalahan di antara mereka menunjukkan bahwa masyarakat Barat tidak memiliki keyakinan yang kuat pada otoritas tertentu. Termasuk otoritas intelektual. Kadang intelektual dipandang sebagai kaum yang naif, berumah di atas angin, arogan dan sok tahu.
“Sekarang semakin jelas bahwa intelektual ialah mereka yang sok tahu ikut campur urusan orang lain,” kata Jean-Paul Sartre sebagaimana dikutip Dr. Syam dalam bukunya.
Karut marut makna dan kedudukan intelektual di dunia Barat boleh jadi berasal dari sikap anti-otoritas yang memang merebak akut di sana. Faham kesetaraan dan kebebasan mendorong orang untuk bersikap urakan bahkan brangasan. Sikap ini lah yang seringkali dibebeki “cendekia-cendekia” kita. Sasarannya tentu bukan hanya kaum intelektual, tetapi tokoh umat. Ejekan hingga hinaan dengan nada skeptis terus digaungkan. Mereka mencoba mengekor “intelektual” Barat sana, memuja sikap eksentrik dan anarkis seperti diamalkan Jacques Derrida dan yang semacamnya.
Citra dan persoalan intelektual dalam peradaban Barat sebenarnya tidak pernah dialami secara mirip dan sungguh-sungguh dalam peradaban Islam. Kadang kita melihat pemaksaan pengalaman Barat terhadap Islam. Jika di Barat terjadi ‘tragedi intelektual’ maka di dalam Islam pun “harus” terjadi yang demikian. Perbedaan cara pandang dan dasar-dasar falsafah kedua peradaban kerap diabaikan begitu saja. Apa yang dialami Barat sering dianggap universal dan kemudian diterapkan dengan paksa kepada Islam. Olah karena itu, tak heran jika kita menemukan sikap-sikap anti-otoritas tersebut bermunculan di beberapa kalangan kita yang malangnya mendaku diri sebagai cendekia.
Setelah membahas cukup rinci perkara intelektual di dunia Barat, Dr. Syam kemudian membahas bagaimana sebenarnya ulama dalam pandangan Islam. Tentu saja, sebagaimana dalam tradisi keilmuan Islam, pembahasan pertama disandarkan kepada al-Qur’an. Melalui tulisan ini kita dapat menimbang, siapa sebenarnya ulama yang dapat membimbing kita ke jalan yang benar. Berikut paragraf penutup yang cukup jelas dan lugas dari tulisan pembuka dalam buku ini:
Kendati lafaz ulama secara bahasa berarti orang berilmu, menurut Imam al-Ghazali, tidak semua orang berilmu layak menyandang gelar ulama. Hal ini karena, menurut beliau, keulamaan bukan semata-mata soal pengetahuan atau kepakaran, akan tetapi soal ketakwaan dan kedekatan pada Tuhan. Ulama sejati adalah mereka yang tidak hanya dalam dan luas ilmunya akan tetapi tinggi rasa takutnya kepada Allah
Bukan hanya bahasan yang konseptual, respon terhadap isu-isu yang lebih praktis pun dapat kita temui dalam buku ini. Masalah pemimpin Non-Muslim, persoalan Ahmadiyah, masalah ketahanan keluarga hingga soal korupsi dikupas dengan bernas dalam artikel-artikel berbahasa renyah namun cukup mendalam. Keketatan logika dan saling kait antarkata, kalimat hingga paragraf membangun keutuhan yang cukup enak untuk dicerna. Seringkali kita membaca tulisan yang nampak terburu-buru dan begitu sesak dengan kehendak untuk menyampaikan banyak hal. Dalam buku ini, kita dapat menikmati kaitan satu kalimat dengan kalimat lain yang tersusun apik. Menunjukan kekuatan logika penulisnya yang cukup mumpuni.
Dua artikel pertama di dalam buku ini patut mendapat perhatian lebih. Keduanya tampak menjadi “payung” bagi keseluruhan wacana yang diurai. “Intelektual dan Ulama” dan “Diabolisme Intelektual” menggambarkan dengan rapi persoalan eksternal yang umat hadapi hari ini. Mengapa kebringasan, kebrutalan dan kebrangasan wacana terhadap Islam akhir-akhir ini begitu deras mengalir.
Dalam “Intelektual dan Ulama”, Dr. Syamsuddin berkisah tentang citra intelektual di negeri-negeri Barat yang tampak tak ajeg, sedang (atau sudah) dirubuhkan wibawanya oleh kalangan mereka sendiri dan seperti tak memiliki makna yang kukuh. Siapa intelektual dan berhakkah mereka dihormati, menjadi perbincangan yang menarik di negeri-negeri Barat. Dari Perancis, Belgia, Amerika hingga Inggris, perdebatan mengenai masalah ini terus berlangsung. Perbalahan di antara mereka menunjukkan bahwa masyarakat Barat tidak memiliki keyakinan yang kuat pada otoritas tertentu. Termasuk otoritas intelektual. Kadang intelektual dipandang sebagai kaum yang naif, berumah di atas angin, arogan dan sok tahu.
“Sekarang semakin jelas bahwa intelektual ialah mereka yang sok tahu ikut campur urusan orang lain,” kata Jean-Paul Sartre sebagaimana dikutip Dr. Syam dalam bukunya.
Karut marut makna dan kedudukan intelektual di dunia Barat boleh jadi berasal dari sikap anti-otoritas yang memang merebak akut di sana. Faham kesetaraan dan kebebasan mendorong orang untuk bersikap urakan bahkan brangasan. Sikap ini lah yang seringkali dibebeki “cendekia-cendekia” kita. Sasarannya tentu bukan hanya kaum intelektual, tetapi tokoh umat. Ejekan hingga hinaan dengan nada skeptis terus digaungkan. Mereka mencoba mengekor “intelektual” Barat sana, memuja sikap eksentrik dan anarkis seperti diamalkan Jacques Derrida dan yang semacamnya.
Citra dan persoalan intelektual dalam peradaban Barat sebenarnya tidak pernah dialami secara mirip dan sungguh-sungguh dalam peradaban Islam. Kadang kita melihat pemaksaan pengalaman Barat terhadap Islam. Jika di Barat terjadi ‘tragedi intelektual’ maka di dalam Islam pun “harus” terjadi yang demikian. Perbedaan cara pandang dan dasar-dasar falsafah kedua peradaban kerap diabaikan begitu saja. Apa yang dialami Barat sering dianggap universal dan kemudian diterapkan dengan paksa kepada Islam. Olah karena itu, tak heran jika kita menemukan sikap-sikap anti-otoritas tersebut bermunculan di beberapa kalangan kita yang malangnya mendaku diri sebagai cendekia.
Setelah membahas cukup rinci perkara intelektual di dunia Barat, Dr. Syam kemudian membahas bagaimana sebenarnya ulama dalam pandangan Islam. Tentu saja, sebagaimana dalam tradisi keilmuan Islam, pembahasan pertama disandarkan kepada al-Qur’an. Melalui tulisan ini kita dapat menimbang, siapa sebenarnya ulama yang dapat membimbing kita ke jalan yang benar. Berikut paragraf penutup yang cukup jelas dan lugas dari tulisan pembuka dalam buku ini:
Kendati lafaz ulama secara bahasa berarti orang berilmu, menurut Imam al-Ghazali, tidak semua orang berilmu layak menyandang gelar ulama. Hal ini karena, menurut beliau, keulamaan bukan semata-mata soal pengetahuan atau kepakaran, akan tetapi soal ketakwaan dan kedekatan pada Tuhan. Ulama sejati adalah mereka yang tidak hanya dalam dan luas ilmunya akan tetapi tinggi rasa takutnya kepada Allah
dan bersih dari bayangan palsu (ightirar alias ghurur) mengenai dirinya. Beliau menamakan orang-orang berilmu yang mengidap penyakit rohani ini sebagai “ulama busuk” (‘ulama’ as-su’), yang tidak hanya sia-sia ilmunya akan tetapi justru membahayakan diri mereka sendiri maupun orang lain. Di zaman Nabi Musa, peran ‘ulama’ su’ ini dimainkan oleh as-Samiri. Adapun di zaman kita sekarang, ‘ulama’ semacam ini cenderung nyeleneh, suka memutarbalikkan yang benar dan yang salah, menisbikan kebenaran dan kebaikan atas nama hak asasi manusia (HAM), konstitusi dan demokrasi, menganjurkan sekularisme dan pluralisme, membolehkan perilaku LGBT, dan sebagainya (halaman 23).
Dalam “Diabolisme Intelektual”, Ustadz asli Betawi ini menjelaskan tentang Diábolos (Iblis dalam bahasa Yunani kuno) yang mengetahui dan mengakui keesaan Allah Swt tetapi menolak melaksanakan perintah-Nya. Istilah “diabolisme” diartikan sebagai pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis atau pengabdian kepadanya. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan, tak pula meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Ia dikutuk karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Oleh karena itu pengetahuan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan. Kepercayaan harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah. Mengutip gurunya, Profesor Naquib al-Attas, Dr. Syam menulis: Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission.
Pada masa kini, banyak intelektual yang mengikuti gaya iblis ini. Ciri-cirinya ada tiga. Pertama, selalu membangkang dan membantah. Meskipun ia kenal, tahu dan paham, namun tidak pernah mau menerima kebenaran. Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Mereka menolak yang haq dan meremehkan orang lain. Orang-orang ini pula menuduh orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis dan konservatif. Sementara para pemikir liberal, relativistik dan skeptis, para peragu dan penolak kebenaran, disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan progresif. Ketiga, ialah mereka yang mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq).
Diabolisme pemikiran telah ada sejak lama dan al-Qur’an telah memberi petunjuk bagaimana menghadapinya. Berikut saran Ustadz Syam dalam menghadapi persoalan ini:
Al-Qur’an al-Karim pun telah mensinyalir: “Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah SWT tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka” (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan oleh Allah agar senantiasa menyadari bahwa “sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik” (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab (halaman 28).
Paparan singkat di atas rasanya cukup untuk menjelaskan kedudukan buku ini. Tantangan pemikiran melalui wacana-wacana urakan sedia diladeni dengan tegas namun tetap terukur daya ilmiahnya. Seperti sikap yang masyhur di kalangan pendekar Betawi “Ente jual, Ane beli!”. Namun tidak serta merta buku ini mengajak berhantam secara terbuka, tetapi lebih sebagai ajakan untuk merenung secara mendalam. Hujatan dan kebrutalan wacana terhadap Islam tentu perlu juga disikapi. Kehormatan umat Islam perlu dibela dengan saksama.
Sebuah resensi yang baik (seperti dianjurkan Pak Gorys Keraf) haruslah menampilkan ulasan buku secara objektif. Artinya bukan hanya kelebihan buku yang dipaparkan tetapi kelemahannya juga. Begitu kepercayaan para pengajar bahasa Indonesia. Islam dan Diabolisme Intelektual tentu memiliki kekurangan yang perlu juga disebutkan, agar rumusan Pak Gorys tetap abadi.
Pada awalnya saya hendak mengkritisi tata letak buku ini, tetapi rasanya tak perlu. Buku ini memang tampak tidak terlalu banyak “didandani” secara tampilan. Namun kesederhanaan rupa itu justru menunjukka
Dalam “Diabolisme Intelektual”, Ustadz asli Betawi ini menjelaskan tentang Diábolos (Iblis dalam bahasa Yunani kuno) yang mengetahui dan mengakui keesaan Allah Swt tetapi menolak melaksanakan perintah-Nya. Istilah “diabolisme” diartikan sebagai pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis atau pengabdian kepadanya. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan, tak pula meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Ia dikutuk karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Oleh karena itu pengetahuan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan. Kepercayaan harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah. Mengutip gurunya, Profesor Naquib al-Attas, Dr. Syam menulis: Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission.
Pada masa kini, banyak intelektual yang mengikuti gaya iblis ini. Ciri-cirinya ada tiga. Pertama, selalu membangkang dan membantah. Meskipun ia kenal, tahu dan paham, namun tidak pernah mau menerima kebenaran. Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Mereka menolak yang haq dan meremehkan orang lain. Orang-orang ini pula menuduh orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis dan konservatif. Sementara para pemikir liberal, relativistik dan skeptis, para peragu dan penolak kebenaran, disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan progresif. Ketiga, ialah mereka yang mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq).
Diabolisme pemikiran telah ada sejak lama dan al-Qur’an telah memberi petunjuk bagaimana menghadapinya. Berikut saran Ustadz Syam dalam menghadapi persoalan ini:
Al-Qur’an al-Karim pun telah mensinyalir: “Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah SWT tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka” (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan oleh Allah agar senantiasa menyadari bahwa “sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik” (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab (halaman 28).
Paparan singkat di atas rasanya cukup untuk menjelaskan kedudukan buku ini. Tantangan pemikiran melalui wacana-wacana urakan sedia diladeni dengan tegas namun tetap terukur daya ilmiahnya. Seperti sikap yang masyhur di kalangan pendekar Betawi “Ente jual, Ane beli!”. Namun tidak serta merta buku ini mengajak berhantam secara terbuka, tetapi lebih sebagai ajakan untuk merenung secara mendalam. Hujatan dan kebrutalan wacana terhadap Islam tentu perlu juga disikapi. Kehormatan umat Islam perlu dibela dengan saksama.
Sebuah resensi yang baik (seperti dianjurkan Pak Gorys Keraf) haruslah menampilkan ulasan buku secara objektif. Artinya bukan hanya kelebihan buku yang dipaparkan tetapi kelemahannya juga. Begitu kepercayaan para pengajar bahasa Indonesia. Islam dan Diabolisme Intelektual tentu memiliki kekurangan yang perlu juga disebutkan, agar rumusan Pak Gorys tetap abadi.
Pada awalnya saya hendak mengkritisi tata letak buku ini, tetapi rasanya tak perlu. Buku ini memang tampak tidak terlalu banyak “didandani” secara tampilan. Namun kesederhanaan rupa itu justru menunjukka
n keyakinan. Wajah yang menawan tak memerlukan bedak dan gincu untuk tampak menarik. Karya yang baik tak memerlukan “penghebohan” dengan gambar dan warna mencolok atau kata-kata bombastis untuk menarik pembacanya.
Mungkin ini saja. Pada bagian awal setiap tulisan, terdapat kutipan-kutipan dengan beraneka bahasa. Mulai dari bahasa Latin hingga bahasa Jawa. Rasanya pembaca Indonesia akan kerepotan jika harus membuka Google Translate setiap melihat beragam bahasa itu. Alangkah baiknya jika itu diterjemahkan. Sekali pun boleh jadi beragam bahasa tersebut dapat mendorong kita (pembaca) untuk mempelajari beragam bahasa. Hal lain yang perlu dikomentari ialah beberapa kesalahan pengetikan kata yang sebenarnya tidak terlalu berarti. Setiap penulis dan editor “terbiasa” meninggalkan beberapa kekeliruan kecil untuk menunjukkan bahwa buku dikelola oleh manusia yang tak lepas dari alpa.
Akhirnya, dengan penuh apresiasi kita mengucapkan selamat kepada Dr. Syamsuddin Arif atas hadirnya Islam dan Diabolisme Intelektual. Di negeri berindeks minat baca hanya 0,001 (UNESCO, 2012), sebuah buku kumpulan tulisan dengan 428 judul rujukan dan lebih dari 10 bahasa ialah paradoks sekaligus harapan. Paradoks karena ada manusia Indonesia yang mampu berbuat demikian di negeri yang memprihatinkan (secara literasi) dan harapan buku ini dapat mendorong perbaikan budaya keberaksaraan itu.
Kita juga mendoakan agar di masa yang akan datang Dr. Syamsuddin dapat kembali menulis buku. Tak hanya kumpulan tulisan, tetapi buku utuh mengenai filsafat, tasawuf dan persoalan-persoalan pokok lain dalam peradaban kita. Bangsa dan umat ini sungguh-sungguh memerlukan karya-karya yang dapat mencerahkan fikiran, terutama yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Sumber: nuun.id
Mungkin ini saja. Pada bagian awal setiap tulisan, terdapat kutipan-kutipan dengan beraneka bahasa. Mulai dari bahasa Latin hingga bahasa Jawa. Rasanya pembaca Indonesia akan kerepotan jika harus membuka Google Translate setiap melihat beragam bahasa itu. Alangkah baiknya jika itu diterjemahkan. Sekali pun boleh jadi beragam bahasa tersebut dapat mendorong kita (pembaca) untuk mempelajari beragam bahasa. Hal lain yang perlu dikomentari ialah beberapa kesalahan pengetikan kata yang sebenarnya tidak terlalu berarti. Setiap penulis dan editor “terbiasa” meninggalkan beberapa kekeliruan kecil untuk menunjukkan bahwa buku dikelola oleh manusia yang tak lepas dari alpa.
Akhirnya, dengan penuh apresiasi kita mengucapkan selamat kepada Dr. Syamsuddin Arif atas hadirnya Islam dan Diabolisme Intelektual. Di negeri berindeks minat baca hanya 0,001 (UNESCO, 2012), sebuah buku kumpulan tulisan dengan 428 judul rujukan dan lebih dari 10 bahasa ialah paradoks sekaligus harapan. Paradoks karena ada manusia Indonesia yang mampu berbuat demikian di negeri yang memprihatinkan (secara literasi) dan harapan buku ini dapat mendorong perbaikan budaya keberaksaraan itu.
Kita juga mendoakan agar di masa yang akan datang Dr. Syamsuddin dapat kembali menulis buku. Tak hanya kumpulan tulisan, tetapi buku utuh mengenai filsafat, tasawuf dan persoalan-persoalan pokok lain dalam peradaban kita. Bangsa dan umat ini sungguh-sungguh memerlukan karya-karya yang dapat mencerahkan fikiran, terutama yang ditulis dalam bahasa Indonesia.
Sumber: nuun.id
Akhir-akhir ini ada orang yang berpendapat bahwa (menjadi) orang atheis itu boleh, Allah tidak melarang, alasannya ayat al-Qur’an berbunyi “Tidak ada paksaan dalam beragama” (QS 2:256. Pendapat ini mengandung dua kesalahan fatal:
Pertama, jika orang boleh menjadi orang atheis berarti Allah membolehkan orang mengingkari-Nya, menafikan-Nya, menentang-Nya, ini mustahil. Padahal, jangankan mengingkari atau menentang-Nya, menduakan-Nya atau mensekutukan-Nya atau mengakui adanya tuhan selain Allah saja adalah dosa besar dan di azab. Allah sama sekali tidak “membolehkan orang menjadi kafir atau atheis”, tapi (setelah kebenaran itu jelas) Allah mempersilahkan manusia “….barangsiapa ingin beriman silahkan, dan barangsiapa ingin menjadi kafir / atheis silahkan” (QS 18: 29). Tapi, Allah juga memberi tahu jika anda memilih menjadi atheis niscaya akan menuai azab di neraka jahannam yang sangat pedih dan jika memilih beriman maka ia akan mendapatkan pahala surga yang kekal abadi.
Kedua, tidak ada paksaan dalam beragama tidak berarti bahwa setiap orang itu berhak untuk tidak beragama dan haknya itu dilindungi oleh Allah. Allah hanya melindungi hamba-Nya yang mau berlindung melalui ketaatan dan ketaqwaan pada-Nya. "Tidak ada paksaan" maksudnya Allah Yang Maha Bijaksana memberi manusia akal untuk memilih dua jalan yaitu kesesatan atau ketaqwaan (QS.91:8). Jika dia gunakan akalnya maka dia akan memilih petunjuk ketaqwaan, jika ia gunakan hawa nafsunya maka dia akan memilih kesesatan. Jadi beragama dalam Islam itu dengan kesadaran akal bukan dengan paksaan. Penggunaan akal dalam beriman inilah letak rasionalnya aqidah Islam. maka Islam hanya bisa dianut oleh mereka yang sudah aqil baligh.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Pertama, jika orang boleh menjadi orang atheis berarti Allah membolehkan orang mengingkari-Nya, menafikan-Nya, menentang-Nya, ini mustahil. Padahal, jangankan mengingkari atau menentang-Nya, menduakan-Nya atau mensekutukan-Nya atau mengakui adanya tuhan selain Allah saja adalah dosa besar dan di azab. Allah sama sekali tidak “membolehkan orang menjadi kafir atau atheis”, tapi (setelah kebenaran itu jelas) Allah mempersilahkan manusia “….barangsiapa ingin beriman silahkan, dan barangsiapa ingin menjadi kafir / atheis silahkan” (QS 18: 29). Tapi, Allah juga memberi tahu jika anda memilih menjadi atheis niscaya akan menuai azab di neraka jahannam yang sangat pedih dan jika memilih beriman maka ia akan mendapatkan pahala surga yang kekal abadi.
Kedua, tidak ada paksaan dalam beragama tidak berarti bahwa setiap orang itu berhak untuk tidak beragama dan haknya itu dilindungi oleh Allah. Allah hanya melindungi hamba-Nya yang mau berlindung melalui ketaatan dan ketaqwaan pada-Nya. "Tidak ada paksaan" maksudnya Allah Yang Maha Bijaksana memberi manusia akal untuk memilih dua jalan yaitu kesesatan atau ketaqwaan (QS.91:8). Jika dia gunakan akalnya maka dia akan memilih petunjuk ketaqwaan, jika ia gunakan hawa nafsunya maka dia akan memilih kesesatan. Jadi beragama dalam Islam itu dengan kesadaran akal bukan dengan paksaan. Penggunaan akal dalam beriman inilah letak rasionalnya aqidah Islam. maka Islam hanya bisa dianut oleh mereka yang sudah aqil baligh.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Jgn lupakan, Tgl 18 September 1948, ratusan ulama dan tokoh Islam dibantai oleh PKI di Madiun dan sekitarnya. Slogannya: "Pondok bobrok, langgar bubar, santri mati". Baca cerita di web ini. http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/17/09/18/owgf5j385-pesantren-takeran-saksi-bisu-pemberontakan-pki-18-september-1948-part2
Republika Online
Pesantren Takeran Saksi Bisu Pemberontakan PKI 18 September 1948
Ratusan orang dijagal dan dimasukkan ke dalam sumur tua yang ada di tengah perkebunan tebu sewaktu pemberontakan PKI Madiun pada September 1948. Anehnya malah terlihat dilupakan atau...
KOMUNISME
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Di Barat ketika Katolik tidak bicara kehidupan di dunia, Protestan mulai menyoal "Mengapa agama tidak menjamin kemakmuran hidup". Mereka pun bekerja keras untuk hidup makmur. Hidup makmur tidak cukup, makmur harus dijamin oleh kapital yang besar dan bertahan lama. Mereka pun terbukti sukses. Max Weber mencatat, bahwa ternyata di abad ke 16, di Jerman, kapitalis dan pengusaha besar serta pekerja yang terampil di perusahaan-perusahaan modern adalah kaum Protestan.
Jadi kapitalis-kapitalis itu hanya ingin hidup makmur. Tapi makmur ternyata perlu sistim dan kekuasaan yang melibatkan masyarakat. Dari sini sistim sosial, sistim pasar, sistim pemerintahan pun berkembang bersama kapitalisme. Singkatnya lahirlah kapitalisme sebagai sistim ekonomi dan sosial. Tujuan akhirnya kemakmuran.
Kemakmuran gaya kapitalisme bukan tanpa cacat. Maka pada awal abad ke 19 lahirlah gerakan sosialisme. Robert Owen (1771-1858) di Inggris dan Saint Simon (1760-1825) di Perancis adalah diantara perumusnya. Ide dasarnya tetap bagaiman hidup makmur.
Tapi makmur ala sosialis mengutamakan kebersamaan. Sistim dikontrol dan dicengkeram penguasa. Pribadi dikalahkan oleh rakyat dan buruh. Sosialisme pun diikuti oleh komunisme. Paham yang dicetuskan oleh Karl Marx ini memusuhi kapitalisme dan segala sistimnya. Kapitalis-kapitalis itu dianggap menindas kaum buruh.
Pimpinan Negara adalah borjuis dan kaum buruh adalah proletar. Keduanya diteorikan sebagai musuh abadi. Jika kapitalis bersaing dengan sistim pasar bebas, komunis melawan dengan cara apapun. Jika kapitalis menciptakan persaingan dengan cara kejam, komunis tidak kalah kejamnya menciptakan konflik dan jika perlu pertumpahan darah untuk mencapai tujuan.
Jika kapitalis tidak lagi mementing kan Tuhan, kaum komunis mengingkari adanya Tuhan. Jika kapitalis dengan sis tim ekonominya menciptakan masya rakat elitis, komunis menciptakan masya rakat tanpa kelas. Masalahnya, kapitalisme menghasilkan pertumbuhan ekonomi tapi melupakan pemerataan. Sedangkan komunisme mengobesikan pemerataan tapi tidak memikirkan partumbuhan.
Kini kapitalisme menguasai sistim ekonomi Negara-negara Eropah dan bahkan sistim ekonomi dunia. Namun, kesejahteraan dan kemakmuran yang dibawa sistim ini ternyata hanya dinik mati oleh segelintir orang. Sistim eko nomi kapitalis ternyata berdampak buruk pada tata sosial-politik. Persaingan pasar berdampak pada persaingan politik dan persaingan politik-ekonomi berujung pada pertumpahan darah pula.
Sedangkan komunisme sebagai sistim social ekonomi, belum memberi kan apa-apa kepada rakyat yang diperjuangkannya. Obsesi untuk bisa makmur bersama gagal. Hampir semua Negara komunis adalah miskin (proletar), sedang kan para pemimpinnya ternyata tidak beda dari borjuis-borjuis kapitalis.
Cita-cita ideologi komunis adalah membela rakyat kecil. Tapi di negerinegeri yang rakyatnya telah makmur, komunis kehilangan misinya. Dalam kondisi seperti ini perjuangan komunis bukan lagi membela rakyat lemah, tapi menghancurkan kapitalisme.
Menghancurkan kapitalisme tidak perlu menunggu hingga ia matang, kata Lenin, tapi setiap ada kesempatan kaum buruh harus merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan ujung-ujungnya adalah pertumpahan darah. Kapitalisme dan komunisme sama-sama anyir berbau darah.
Diakui atau tidak kapitalisme telah terbukti membawa kemakmuran materi lebih baik dari komunisme. Namun, ia telah gagal membawa sistim sosial-po litik yang membawa ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani. Dengan kapitalisme dunia semakin tidak aman dan damai.
Jika komunisme ingin menggantikan peran kapitalisme dalam memakmurkan rakyat, maka komunisme akan mengganti kemakmuran dengan pemerataan. Pemerataan tidak akan menghasilkan kemakmuran. Jika komunisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan kemakmuran material kepada rakyat du nia, bagaimana mungkin dengan atheismenya ia akan menjanjikan ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani.
Di banyak negeri Islam, para tokohnya mengagumi sosialisme. Mereka berteriak seperti menemukan sesuatu "Islam adalah kiri". "Nabi adalah pelindung orang
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Di Barat ketika Katolik tidak bicara kehidupan di dunia, Protestan mulai menyoal "Mengapa agama tidak menjamin kemakmuran hidup". Mereka pun bekerja keras untuk hidup makmur. Hidup makmur tidak cukup, makmur harus dijamin oleh kapital yang besar dan bertahan lama. Mereka pun terbukti sukses. Max Weber mencatat, bahwa ternyata di abad ke 16, di Jerman, kapitalis dan pengusaha besar serta pekerja yang terampil di perusahaan-perusahaan modern adalah kaum Protestan.
Jadi kapitalis-kapitalis itu hanya ingin hidup makmur. Tapi makmur ternyata perlu sistim dan kekuasaan yang melibatkan masyarakat. Dari sini sistim sosial, sistim pasar, sistim pemerintahan pun berkembang bersama kapitalisme. Singkatnya lahirlah kapitalisme sebagai sistim ekonomi dan sosial. Tujuan akhirnya kemakmuran.
Kemakmuran gaya kapitalisme bukan tanpa cacat. Maka pada awal abad ke 19 lahirlah gerakan sosialisme. Robert Owen (1771-1858) di Inggris dan Saint Simon (1760-1825) di Perancis adalah diantara perumusnya. Ide dasarnya tetap bagaiman hidup makmur.
Tapi makmur ala sosialis mengutamakan kebersamaan. Sistim dikontrol dan dicengkeram penguasa. Pribadi dikalahkan oleh rakyat dan buruh. Sosialisme pun diikuti oleh komunisme. Paham yang dicetuskan oleh Karl Marx ini memusuhi kapitalisme dan segala sistimnya. Kapitalis-kapitalis itu dianggap menindas kaum buruh.
Pimpinan Negara adalah borjuis dan kaum buruh adalah proletar. Keduanya diteorikan sebagai musuh abadi. Jika kapitalis bersaing dengan sistim pasar bebas, komunis melawan dengan cara apapun. Jika kapitalis menciptakan persaingan dengan cara kejam, komunis tidak kalah kejamnya menciptakan konflik dan jika perlu pertumpahan darah untuk mencapai tujuan.
Jika kapitalis tidak lagi mementing kan Tuhan, kaum komunis mengingkari adanya Tuhan. Jika kapitalis dengan sis tim ekonominya menciptakan masya rakat elitis, komunis menciptakan masya rakat tanpa kelas. Masalahnya, kapitalisme menghasilkan pertumbuhan ekonomi tapi melupakan pemerataan. Sedangkan komunisme mengobesikan pemerataan tapi tidak memikirkan partumbuhan.
Kini kapitalisme menguasai sistim ekonomi Negara-negara Eropah dan bahkan sistim ekonomi dunia. Namun, kesejahteraan dan kemakmuran yang dibawa sistim ini ternyata hanya dinik mati oleh segelintir orang. Sistim eko nomi kapitalis ternyata berdampak buruk pada tata sosial-politik. Persaingan pasar berdampak pada persaingan politik dan persaingan politik-ekonomi berujung pada pertumpahan darah pula.
Sedangkan komunisme sebagai sistim social ekonomi, belum memberi kan apa-apa kepada rakyat yang diperjuangkannya. Obsesi untuk bisa makmur bersama gagal. Hampir semua Negara komunis adalah miskin (proletar), sedang kan para pemimpinnya ternyata tidak beda dari borjuis-borjuis kapitalis.
Cita-cita ideologi komunis adalah membela rakyat kecil. Tapi di negerinegeri yang rakyatnya telah makmur, komunis kehilangan misinya. Dalam kondisi seperti ini perjuangan komunis bukan lagi membela rakyat lemah, tapi menghancurkan kapitalisme.
Menghancurkan kapitalisme tidak perlu menunggu hingga ia matang, kata Lenin, tapi setiap ada kesempatan kaum buruh harus merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan ujung-ujungnya adalah pertumpahan darah. Kapitalisme dan komunisme sama-sama anyir berbau darah.
Diakui atau tidak kapitalisme telah terbukti membawa kemakmuran materi lebih baik dari komunisme. Namun, ia telah gagal membawa sistim sosial-po litik yang membawa ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani. Dengan kapitalisme dunia semakin tidak aman dan damai.
Jika komunisme ingin menggantikan peran kapitalisme dalam memakmurkan rakyat, maka komunisme akan mengganti kemakmuran dengan pemerataan. Pemerataan tidak akan menghasilkan kemakmuran. Jika komunisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan kemakmuran material kepada rakyat du nia, bagaimana mungkin dengan atheismenya ia akan menjanjikan ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani.
Di banyak negeri Islam, para tokohnya mengagumi sosialisme. Mereka berteriak seperti menemukan sesuatu "Islam adalah kiri". "Nabi adalah pelindung orang
lemah", Nabi adalah pelindung anak yatim (sosial) alias orang miskin dan ia akan bersama mereka di sorga. Masih banyak lagi dalih untuk justifikasi kiri Islam.
Tapi orang lupa bahwa Islam bisa berbau kapitalis. Saudagar kaya (kapi talis) yang jujur, misalnya, akan berada di surga bersama para nabi dan syuhada. Nabi pun menyukai Muslim yang kaya dan kuat. Orang akan lengkap rukun Islamnya jika ia kaya dan mampu membayar zakatnya.
Masyarakat dunia kini sedang meng alamai kekeringan nilai, kehausan spiritual, dan kekosongan moral. Sistim apapun untuk mengatur kesejahteraan material, baik kapitalisme maupun komunisme, tidak akan menyelesaikan nestapa manusia modern. Dunia mulai menyadari ketidak mampuan kapitalis dan kegagalan komunis. Tapi mengapa Muslim dengan secara cerdas tidak segera menjadikan Islam sebagai alternatif dari dua sistim yang gagal itu.
--------------
Dimuat di Republika online dan ISLAMIA Republika, Kamis 19 Mei 2016.
Tapi orang lupa bahwa Islam bisa berbau kapitalis. Saudagar kaya (kapi talis) yang jujur, misalnya, akan berada di surga bersama para nabi dan syuhada. Nabi pun menyukai Muslim yang kaya dan kuat. Orang akan lengkap rukun Islamnya jika ia kaya dan mampu membayar zakatnya.
Masyarakat dunia kini sedang meng alamai kekeringan nilai, kehausan spiritual, dan kekosongan moral. Sistim apapun untuk mengatur kesejahteraan material, baik kapitalisme maupun komunisme, tidak akan menyelesaikan nestapa manusia modern. Dunia mulai menyadari ketidak mampuan kapitalis dan kegagalan komunis. Tapi mengapa Muslim dengan secara cerdas tidak segera menjadikan Islam sebagai alternatif dari dua sistim yang gagal itu.
--------------
Dimuat di Republika online dan ISLAMIA Republika, Kamis 19 Mei 2016.
ATEIS
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Di suatu pagi seorang gila berlari ke pasar lalu berteriak: "Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!". Orang lalu berkerumun menontonnya. "Memangnya, Tuhan pergi ke mana, Dia lari atau pindah rumah?", Tanya seorang penonton di pasar itu sinis. Orang gila itu menatap tajam semua orang yang monontonnya di pasar itu lalu bertanya "Coba [terka] kemana Tuhan pergi? Tak ada jawaban. Orang gila itu menjawab sendiri "Aku mau mengatakan kepada kalian. Kita telah membunuhnya. Ya kita semua telah membunuhnya!"
Kisah di atas hanyalah metaforika Nietszche (1844-1900), filosof proklamator kematian Tuhan di Barat. Metafora ini tentu menjengkelkan. Jangankan membunuh Tuhan, membunuh makhluk saja dianggap jahat.
Tapi Nietszche juga jengkel pada sesuatu yang disebut Tuhan. Tuhan baginya hanya ada dalam pikiran. Tuhan tidak wujud diluar sana. Ia memang ateis tulen. Lho, kalau begitu Tuhan yang mana yang ia bunuh? Sebentar!
Ateisme ala Nietszche bukan tanpa preseden. Orang Barat nampaknya sudah lama gerah dengan agama. "Siapapun yang beragama pasti tidak bebas", kata Nietszche.
Agama dianggap mengebiri kebebasan. Dulu menjadi sekuler pun susah, apalagi ateis. Sedikit-sedikit dituduh ateis. Ateis bahkan hampir seperti plesetan dan penghinaan. "Kamu ateis!" sama maksudnya dengan "Kamu anarkis! Kamu komunis!" Ateis malah bisa berarti sifat orang tidak saleh.
Munafik, pendosa yang merasa suci, berani dan bangga, bagi John Wingfield adalah ateis. Bagi dramawan Inggris, Thomas Nashe (1567-1601), ambisius, tamak, rakus, sombong dan pezina termasuk ateis. Lebih menggelikan lagi standar Penyair William Vaughan (1577-1641), tandanya ateis yang nyata adalah menaikkan sewa rumah. Pendek kata semua yang buruk adalah ateis.
Ateis yang agak akademis adalah yang kritis pada teologi Kristen dan institusi gereja. Giordano Bruno (1548-1600), tokoh rasionalis Italia, Pierre Carvin, Pendeta Robinson, pengarang Honest to God, Paul Tillich, pengarang Systematic Theology, Schleirmacher (1768-1834) tokoh hermeneutika adalah pengkritik teologi Kristen dan dianggap ateis.
Ateis yang lebih canggih adalah yang berani menggugat Tuhan. Ingkar saja tidak cukup jadi hero. Ingkar harus dibumbui caci-maki, jadilah blasphemy. ”Tuhan Yahudi dan Kristen adalah tiran” kata Hegel (1770-1831) dan Kant (1724-1804), karena minta ketaatan penuh.
Schoopenhuer (1788-1860) mendahului Nietszche menegaskan tuhan tidak ada. Sesudah Nietszche membunuh tuhan, Rudolf Bultmann, (1884-1976) penulis New Testament and Mythology, memastikan "Tuhan dalam Bible telah mati, kalau tidak sekarat". Tuhan bagi mereka adalah tirani jiwa "the stodgy old tyrant of the soul". Bukan Tuhan agama-agama, karena Ia dianggap sudah tidak ada. Inilah Tuhan yang dibunuh Nietszche itu.
ِMengapa orang Barat bangga dan bernafsu menjadi ateis? Michael Buckley menjawab dengan buku ilmiah yang ia beri judul At the Origins of Modern Atheism (1987) (Asal Usul Kekafiran Modern). Meskipun kafir tapi modern, meskipun modern tapi kafir, mungkin begitu plesetannya. Buckley membahasnya secara analitis, serius dan komprehensif. James E Force memuji buku ini sebagai “big, bold [and] highly readable book”.
Ateisme muncul di awal era modern, kata Michael karena teologi Kristen tunduk pada filsafat (Christian theology becomes subservient to philosophical reason). Biang keladinya adalah pemikir dan filosof yang ia juluki new rationalistic defender of faith atau rationalistic philosophers, seperti Lessius, Mersenne, Descartes (1596-16500, Malebranche, Newton (1642-1727) dan Clarke. Mereka bicara tentang Tuhan tanpa bicara tentang Yesus.
Bukan hanya itu, kata James. Ateisme, wujud juga gara-gara merebaknya gerakan kritik terhadap Bible. Dari sejarah penulisannya, konsepnya tentang Tuhan dan akhirnya eksistensi Tuhan itu sendiri.
Pengkritik Bible biasanya berlindung dibawah paham Deisme. Deist percaya pada Tuhan dengan akal, bukan lewat Bible. Tokoh-tokoh Deis Inggris adalah Spinoza, Bruno, Thomas Hobbes, Richard Simon dan lain-lain. Semuanya adalah tokoh-tokoh rasionalis.
David
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Di suatu pagi seorang gila berlari ke pasar lalu berteriak: "Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!". Orang lalu berkerumun menontonnya. "Memangnya, Tuhan pergi ke mana, Dia lari atau pindah rumah?", Tanya seorang penonton di pasar itu sinis. Orang gila itu menatap tajam semua orang yang monontonnya di pasar itu lalu bertanya "Coba [terka] kemana Tuhan pergi? Tak ada jawaban. Orang gila itu menjawab sendiri "Aku mau mengatakan kepada kalian. Kita telah membunuhnya. Ya kita semua telah membunuhnya!"
Kisah di atas hanyalah metaforika Nietszche (1844-1900), filosof proklamator kematian Tuhan di Barat. Metafora ini tentu menjengkelkan. Jangankan membunuh Tuhan, membunuh makhluk saja dianggap jahat.
Tapi Nietszche juga jengkel pada sesuatu yang disebut Tuhan. Tuhan baginya hanya ada dalam pikiran. Tuhan tidak wujud diluar sana. Ia memang ateis tulen. Lho, kalau begitu Tuhan yang mana yang ia bunuh? Sebentar!
Ateisme ala Nietszche bukan tanpa preseden. Orang Barat nampaknya sudah lama gerah dengan agama. "Siapapun yang beragama pasti tidak bebas", kata Nietszche.
Agama dianggap mengebiri kebebasan. Dulu menjadi sekuler pun susah, apalagi ateis. Sedikit-sedikit dituduh ateis. Ateis bahkan hampir seperti plesetan dan penghinaan. "Kamu ateis!" sama maksudnya dengan "Kamu anarkis! Kamu komunis!" Ateis malah bisa berarti sifat orang tidak saleh.
Munafik, pendosa yang merasa suci, berani dan bangga, bagi John Wingfield adalah ateis. Bagi dramawan Inggris, Thomas Nashe (1567-1601), ambisius, tamak, rakus, sombong dan pezina termasuk ateis. Lebih menggelikan lagi standar Penyair William Vaughan (1577-1641), tandanya ateis yang nyata adalah menaikkan sewa rumah. Pendek kata semua yang buruk adalah ateis.
Ateis yang agak akademis adalah yang kritis pada teologi Kristen dan institusi gereja. Giordano Bruno (1548-1600), tokoh rasionalis Italia, Pierre Carvin, Pendeta Robinson, pengarang Honest to God, Paul Tillich, pengarang Systematic Theology, Schleirmacher (1768-1834) tokoh hermeneutika adalah pengkritik teologi Kristen dan dianggap ateis.
Ateis yang lebih canggih adalah yang berani menggugat Tuhan. Ingkar saja tidak cukup jadi hero. Ingkar harus dibumbui caci-maki, jadilah blasphemy. ”Tuhan Yahudi dan Kristen adalah tiran” kata Hegel (1770-1831) dan Kant (1724-1804), karena minta ketaatan penuh.
Schoopenhuer (1788-1860) mendahului Nietszche menegaskan tuhan tidak ada. Sesudah Nietszche membunuh tuhan, Rudolf Bultmann, (1884-1976) penulis New Testament and Mythology, memastikan "Tuhan dalam Bible telah mati, kalau tidak sekarat". Tuhan bagi mereka adalah tirani jiwa "the stodgy old tyrant of the soul". Bukan Tuhan agama-agama, karena Ia dianggap sudah tidak ada. Inilah Tuhan yang dibunuh Nietszche itu.
ِMengapa orang Barat bangga dan bernafsu menjadi ateis? Michael Buckley menjawab dengan buku ilmiah yang ia beri judul At the Origins of Modern Atheism (1987) (Asal Usul Kekafiran Modern). Meskipun kafir tapi modern, meskipun modern tapi kafir, mungkin begitu plesetannya. Buckley membahasnya secara analitis, serius dan komprehensif. James E Force memuji buku ini sebagai “big, bold [and] highly readable book”.
Ateisme muncul di awal era modern, kata Michael karena teologi Kristen tunduk pada filsafat (Christian theology becomes subservient to philosophical reason). Biang keladinya adalah pemikir dan filosof yang ia juluki new rationalistic defender of faith atau rationalistic philosophers, seperti Lessius, Mersenne, Descartes (1596-16500, Malebranche, Newton (1642-1727) dan Clarke. Mereka bicara tentang Tuhan tanpa bicara tentang Yesus.
Bukan hanya itu, kata James. Ateisme, wujud juga gara-gara merebaknya gerakan kritik terhadap Bible. Dari sejarah penulisannya, konsepnya tentang Tuhan dan akhirnya eksistensi Tuhan itu sendiri.
Pengkritik Bible biasanya berlindung dibawah paham Deisme. Deist percaya pada Tuhan dengan akal, bukan lewat Bible. Tokoh-tokoh Deis Inggris adalah Spinoza, Bruno, Thomas Hobbes, Richard Simon dan lain-lain. Semuanya adalah tokoh-tokoh rasionalis.
David
Berman dalam bukunya A History of Atheism in Britain: From Hobbes to Russel, setuju dengan James. Deisme adalah biang keladi ateisme. Ateisme modern lahir karena akarnya diremehkan, dicurigai dan terkadang dianggap sepi oleh para teolog yang merasa terancam.
Ateisme dipicu oleh kebencian terhadap dan kebebasan (liberalisme) dari agama. "Now hatred is by far the greatest pleasure", kata Don Juan. Karena itu banyak cara menjadi kafir. Ada yang ingkar Tuhan saja (atheis), ada yang ingkar agama saja (infidel) dan ada yang menolak pengetahuan tentang Tuhan dan eksistensiNya sekaligus (agnostic).
Ada yang meragukan wahyu Tuhan (skeptic), dan ada yang menolak Bible sebagai wahyu Tuhan (deist). Tapi ada juga yang menolak wahyu secara intelektual, yaitu disbeliever. Untuk yang minat ingkar Tuhan dengan akal dan hatinya, ia bisa memilih cara unbeliever. (lihat The New International Webster Comprehensive Dictionary. Hal. 1177). Banyak jalan menjadi kafir.
Dalam Islam kekufuran itu satu paket. Kufur pada rukun yang manapun tepat kafir. Sebab satu rukun berkaitan dengan rukun yang lain. Dalam al-Qur’an, ingkar Allah (al-Nahl : 106-107), ingkar pada ayat-ayat Allah (Israil : 98, Maryam : 73), atau menolak wahyu yang diturunkan (Muhammad : 9, al-Hajj : 72), adalah kafir. Malah beriman pada Allah tapi kufur pada Nabi (al-Nisa' : 150-151), sama saja, tetap kafir.
Lucunya, Muslim juga tergiur shopping menu ateisme. Favoritnya adalah menu skeptic, disbeliever dan agnostic. Iman pada al-Qur’an di Lauh Mahfuz, tapi skeptik pada al-Qur’an yang diturunkan. Menyucikan maknanya tapi melecehkan huruf dan mushafnya. Ngaku beriman tapi ragu apakah bisa memahami Allah, mirip doktrin credo et intelegam.
Jika mahasiswanya berani bertanya ”Mana epistemologi Tuhan?” dosennya malah dengan arogan menulis tesis ”Menggugat Wahyu Tuhan”. Jika di Barat memprotes gereja melahirkan ateisme, disini malah ada yang memprovokasi, ”Agar maju tirulah Protestan!” Maksudnya agar maju hujatlah tradisi agama (sunnah). Supaya bisa menapaki thesis Weber dari Protestan menjadi kapitalis.
Jadi persepsi James benar. Ini adalah fenomena intelektual modern (modern intellectual phenomenon), bukan keagamaan atau sosial. Problemnya ada pada cendekiawan. Intelektualitas diadu dengan religiusitas, filsafat dengan teologi dan agama dengan sains. Mestinya kompromistis, integratif alias tauhidi.
Tapi masalahnya, konsep tauhid tidak built in dalam teologi agama itu. Dalam buku Dialog between Theology and Philosophy, kalimat pertama yang ditulis adalah keraguan Tertulian ”Apa ya yang bisa dikongsi antara Athena dan Jerussalem, antara Akademi dan Gereja? Jawabnya tidak ada dan karena itu dialog antara teologi dan filsafat berbahaya.
Memang para teolog tidak siap dialog, kata Karen Armstrong dalam A History of God. Tapi filosof dan saintis terus menggugat dan memberangus agama. Motonya mudah ”Bicaralah ilmu apa saja asal jangan membawa-bawa Tuhan”.
Kalau bicara Tuhan dalam sains anda salah kamar. Sorry sir, this is a science not theology! Teori-teori Ludwig Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich Nietszche dan Sigmund Freud pun tidak memberi ruang untuk Tuhan. Arnold E. Loen lalu menulis buku Secularization, Science Without God.
Dunia ini bagi saintis adalah godless (tanpa tuhan). Sains yang bicara Tuhan ia tidak obyektif lagi. Here we must disagree, tulis Arnold tegas. Baru sekuler saja sudah menyingkirkan Tuhan, apalagi ateis. Tapi karena teolog terpojok, maka stigma "kamu ateis!" bisa berimplikasi "Kamu saintis!" Itulah modern atheism.
”Tuhan” di Barat ternyata tidak hanya dihabisi di gereja-gereja, tapi juga di kampus-kampus. Mungkin karena tidak ada ilmu dalam teologi akhirnya tidak ada tuhan dalam ilmu (godless). Jadi ateis di zaman modern adalah ateis epistemologi.
Orang menjadi ateis bukan hanya karena lemah iman, tapi juga salah ilmu. Ilmunya tidak menambah imannya. Epistemologinya tidak teologis dan teologinya tidak epistemologis. Dalam Islam, hati yang tak berzikir adalah mati, dan otak yang tidak bertafakkur akan kufur.
Jika beriman pada Tuhan a
Ateisme dipicu oleh kebencian terhadap dan kebebasan (liberalisme) dari agama. "Now hatred is by far the greatest pleasure", kata Don Juan. Karena itu banyak cara menjadi kafir. Ada yang ingkar Tuhan saja (atheis), ada yang ingkar agama saja (infidel) dan ada yang menolak pengetahuan tentang Tuhan dan eksistensiNya sekaligus (agnostic).
Ada yang meragukan wahyu Tuhan (skeptic), dan ada yang menolak Bible sebagai wahyu Tuhan (deist). Tapi ada juga yang menolak wahyu secara intelektual, yaitu disbeliever. Untuk yang minat ingkar Tuhan dengan akal dan hatinya, ia bisa memilih cara unbeliever. (lihat The New International Webster Comprehensive Dictionary. Hal. 1177). Banyak jalan menjadi kafir.
Dalam Islam kekufuran itu satu paket. Kufur pada rukun yang manapun tepat kafir. Sebab satu rukun berkaitan dengan rukun yang lain. Dalam al-Qur’an, ingkar Allah (al-Nahl : 106-107), ingkar pada ayat-ayat Allah (Israil : 98, Maryam : 73), atau menolak wahyu yang diturunkan (Muhammad : 9, al-Hajj : 72), adalah kafir. Malah beriman pada Allah tapi kufur pada Nabi (al-Nisa' : 150-151), sama saja, tetap kafir.
Lucunya, Muslim juga tergiur shopping menu ateisme. Favoritnya adalah menu skeptic, disbeliever dan agnostic. Iman pada al-Qur’an di Lauh Mahfuz, tapi skeptik pada al-Qur’an yang diturunkan. Menyucikan maknanya tapi melecehkan huruf dan mushafnya. Ngaku beriman tapi ragu apakah bisa memahami Allah, mirip doktrin credo et intelegam.
Jika mahasiswanya berani bertanya ”Mana epistemologi Tuhan?” dosennya malah dengan arogan menulis tesis ”Menggugat Wahyu Tuhan”. Jika di Barat memprotes gereja melahirkan ateisme, disini malah ada yang memprovokasi, ”Agar maju tirulah Protestan!” Maksudnya agar maju hujatlah tradisi agama (sunnah). Supaya bisa menapaki thesis Weber dari Protestan menjadi kapitalis.
Jadi persepsi James benar. Ini adalah fenomena intelektual modern (modern intellectual phenomenon), bukan keagamaan atau sosial. Problemnya ada pada cendekiawan. Intelektualitas diadu dengan religiusitas, filsafat dengan teologi dan agama dengan sains. Mestinya kompromistis, integratif alias tauhidi.
Tapi masalahnya, konsep tauhid tidak built in dalam teologi agama itu. Dalam buku Dialog between Theology and Philosophy, kalimat pertama yang ditulis adalah keraguan Tertulian ”Apa ya yang bisa dikongsi antara Athena dan Jerussalem, antara Akademi dan Gereja? Jawabnya tidak ada dan karena itu dialog antara teologi dan filsafat berbahaya.
Memang para teolog tidak siap dialog, kata Karen Armstrong dalam A History of God. Tapi filosof dan saintis terus menggugat dan memberangus agama. Motonya mudah ”Bicaralah ilmu apa saja asal jangan membawa-bawa Tuhan”.
Kalau bicara Tuhan dalam sains anda salah kamar. Sorry sir, this is a science not theology! Teori-teori Ludwig Feurbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich Nietszche dan Sigmund Freud pun tidak memberi ruang untuk Tuhan. Arnold E. Loen lalu menulis buku Secularization, Science Without God.
Dunia ini bagi saintis adalah godless (tanpa tuhan). Sains yang bicara Tuhan ia tidak obyektif lagi. Here we must disagree, tulis Arnold tegas. Baru sekuler saja sudah menyingkirkan Tuhan, apalagi ateis. Tapi karena teolog terpojok, maka stigma "kamu ateis!" bisa berimplikasi "Kamu saintis!" Itulah modern atheism.
”Tuhan” di Barat ternyata tidak hanya dihabisi di gereja-gereja, tapi juga di kampus-kampus. Mungkin karena tidak ada ilmu dalam teologi akhirnya tidak ada tuhan dalam ilmu (godless). Jadi ateis di zaman modern adalah ateis epistemologi.
Orang menjadi ateis bukan hanya karena lemah iman, tapi juga salah ilmu. Ilmunya tidak menambah imannya. Epistemologinya tidak teologis dan teologinya tidak epistemologis. Dalam Islam, hati yang tak berzikir adalah mati, dan otak yang tidak bertafakkur akan kufur.
Jika beriman pada Tuhan a
dalah fitrah semua insan, maka ketika Nietszche membunuh Tuhan -dalam hati dan pikirannya– sejatinya ia telah membunuh fitrahnya sendiri. Jadi Nietszche benar-benar telah melakukan bunuh diri spiritual, spiritual suicide.
Diabolisme Intelektual
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif
Diábolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur’an, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah “diabolisme” berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur’an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut ‘kafir’? Di sinilah letak persoalannya.
Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya’rifunahu kama ya’rifuna abna’ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.
Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. “Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission, ” tegas Profesor Naquib al-Attas.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah Tuhan (fasaqa ?an amri rabbihi, QS 18:50). Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.
Iblis adalah ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.
“Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!” Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).
Maka Iblis pun bertekad: “Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!” (QS 7:16-17). Maksudnya, menurut Ibnu ‘Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-?Az?im, cetakan Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).
Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut. Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).
Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya.
Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ib
Oleh: Dr. Syamsuddin Arif
Diábolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur’an, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah “diabolisme” berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur’an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut ‘kafir’? Di sinilah letak persoalannya.
Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya’rifunahu kama ya’rifuna abna’ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.
Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. “Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission, ” tegas Profesor Naquib al-Attas.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah Tuhan (fasaqa ?an amri rabbihi, QS 18:50). Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya.
Iblis adalah ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara.
“Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!” Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64).
Maka Iblis pun bertekad: “Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!” (QS 7:16-17). Maksudnya, menurut Ibnu ‘Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-?Az?im, cetakan Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).
Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut. Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).
Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya.
Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ib
n Muhammad an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-‘Aqa’id, dalam Majmu’ min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba’ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).
Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): “Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)”.
Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya.
Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis.
Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an : “Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya” (7:146).
Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
Sebaliknya, yang haq digunting dan di’preteli’ sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.
Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma’tsur dari ayat-ayat tersebut.
Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an 3:71, “Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta’lamun?” Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim.
Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaitan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang (‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz), menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik da
Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): “Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)”.
Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya.
Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis.
Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an : “Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya” (7:146).
Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
Sebaliknya, yang haq digunting dan di’preteli’ sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.
Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma’tsur dari ayat-ayat tersebut.
Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an 3:71, “Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta’lamun?” Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim.
Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaitan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang (‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz), menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik da
n kebencian (yuqi’u l-‘adawah wa l-baghda’), menganjurkan perbuatan maksiat dan amoral (ya’mur bi l-fahsya’ wa l-munkar) serta menyuruh orang supaya kafir (qala li l-insani-kfur).
Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya’ al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan (3:175), hizb al-syaytan (58:19) dan junudu Iblis (26:94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran.
Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir’aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah. Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya.
Al-Qur’an pun telah mensinyalir: “Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka” (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa “sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik” (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu a’lam.*
Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya’ al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan (3:175), hizb al-syaytan (58:19) dan junudu Iblis (26:94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran.
Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir’aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah. Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya.
Al-Qur’an pun telah mensinyalir: “Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka” (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa “sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik” (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu a’lam.*
BUNG HATTA, PANCASILA DAN PKI
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Pembina Pesantren att-Taqwa Depok).
Pada Januari, 1966, penerbit Angkasa Bandung menerbitkan sebuah buku kecil (hanya 16 halaman), karya Mohammad Hatta (Bung Hatta), berjudul “Pancasila Jalan Lurus” (Ejaan disesuaikan EBI). Bung Hatta membuka tulisannya dengan ungkapan: “Sejak percobaan merebut kekuasaan negara oleh Gestapu/PKI gagal dan ABRI bersama-sama dengan ormas-ormas golongan agama dan nasional bertindak bahu-membahu untuk mengikis gerakan PKI sampai ke akar-akarnya, banyak terdengar suara yang menyatakan kekuatirannya bahwa “Revolusi akan menyeleweng ke kanan.”
“Benarkah pendapat itu?” Bung Hatta bertanya, dan menjawab sendiri pertanyaanya: “Revolusi Indonesia yang dicetuskan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang disemangati oleh Pancasila, tidak mengenal jalan kanan dan jalan kiri, hanya mengenal jalan lurus yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa.”
Menurut Bung Hatta, tujuan Revolusi Indonesia itu ialah memerdekakan Indonesia dari genggaman imperialisme dan kolonialisme segala macam, baik politik dan ekonomi maupun ideologi, dan membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Tujuan itu diakui oleh Bung Hatta merupakan tugas yang teramat berat. Untuk itulah, tulis Sang Proklamator, “… bangsa kita memerlukan bimbingan dari Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya maka negara kita berdasarkan Pancasila.”
Bung Hatta mengingatkan kembali akan komitmen para pemimpin rakyat Indonesia yang dengan ikhlas mengakui: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Karena itulah, Bung Hatta mengajak bangsa Indonesia agar jangan mempermainkan Pancasila, dan hanya menggunakan Pancasila sebagai “lip service” saja. Kata Bung Hatta: “Pengakuan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam artinya, tidak dapat dipermain-mainkan. Tidak saja berdosa, sebagai manusia kita menjadi makhluk yang hina, apabila kita mengakui dengan mulut dasar yang begitu tinggi dan suci, tetapi di hati tidak dan diingkari dengan perbuatan.”
Menurut Bung Hatta, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya hormat menghormati agama masing-masing, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.
“Dengan dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan dalam kesatuan Pancasila, pemerintahan negara pada hekekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia yang abadi serta persaudaraan bangsa-bangsa,” demikian tegas Bung Hatta.
Selanjutnya dijelaskan Bung Hatta, bahwa pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, mewajibkan manusia untuk berlaku suci dalam hidupnya, menentang segala yang kotor, dalam keadaan maupun perbuatan. Pengakuan itu pun mewajibkan manusia untuk melenyapkan segala yang buruk dan membangun segala yang baik untuk menyempurnakan bumi Allah sebagai tempat kediaman manusia sementara dalam perjalanan ke alam baka.
PKI biadab
Risalah kecil Bung Hatta (Pancasila Jalan Lurus) itu pun mengupas beberapa penyelewengan Pancasila dalam sejarah. Salah satunya oleh PKI yang menyalahgunakan konsep Nasakom-nya Bung Karno. Berikut penjelasan lengkap Bung Hatta:
“Presiden Soekarno mempunyai tujuan yang baik dengan menciptakan nasakom itu, yaitu menghilangkan sistem “free fight democracy” dan menggantinya dengan dasar kerjasama dengan musyawarah antara 4 golongan yang berpengaruh dalam masyarakat: golongan nasional, golongan agama, golongan komunis dan golongan karyawan. Tetapi dari semulanya sudah dapat diduga, bahwa maksud baik Presiden Soekarno itu akan disalahgunakan oleh PKI untuk memperkuat kedudukannya dalam masyarakat dan dalam pemerintahan. Nasakom bagi PKI hanya dipergunakan sebagai batu loncatan untuk merebut kekuasaan, seperti dilakukannya dengan gerakan 30 September 1965. Kaum komunis bukan komunis dan l
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Pembina Pesantren att-Taqwa Depok).
Pada Januari, 1966, penerbit Angkasa Bandung menerbitkan sebuah buku kecil (hanya 16 halaman), karya Mohammad Hatta (Bung Hatta), berjudul “Pancasila Jalan Lurus” (Ejaan disesuaikan EBI). Bung Hatta membuka tulisannya dengan ungkapan: “Sejak percobaan merebut kekuasaan negara oleh Gestapu/PKI gagal dan ABRI bersama-sama dengan ormas-ormas golongan agama dan nasional bertindak bahu-membahu untuk mengikis gerakan PKI sampai ke akar-akarnya, banyak terdengar suara yang menyatakan kekuatirannya bahwa “Revolusi akan menyeleweng ke kanan.”
“Benarkah pendapat itu?” Bung Hatta bertanya, dan menjawab sendiri pertanyaanya: “Revolusi Indonesia yang dicetuskan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang disemangati oleh Pancasila, tidak mengenal jalan kanan dan jalan kiri, hanya mengenal jalan lurus yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa.”
Menurut Bung Hatta, tujuan Revolusi Indonesia itu ialah memerdekakan Indonesia dari genggaman imperialisme dan kolonialisme segala macam, baik politik dan ekonomi maupun ideologi, dan membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Tujuan itu diakui oleh Bung Hatta merupakan tugas yang teramat berat. Untuk itulah, tulis Sang Proklamator, “… bangsa kita memerlukan bimbingan dari Yang Maha Kuasa. Itulah sebabnya maka negara kita berdasarkan Pancasila.”
Bung Hatta mengingatkan kembali akan komitmen para pemimpin rakyat Indonesia yang dengan ikhlas mengakui: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Karena itulah, Bung Hatta mengajak bangsa Indonesia agar jangan mempermainkan Pancasila, dan hanya menggunakan Pancasila sebagai “lip service” saja. Kata Bung Hatta: “Pengakuan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam artinya, tidak dapat dipermain-mainkan. Tidak saja berdosa, sebagai manusia kita menjadi makhluk yang hina, apabila kita mengakui dengan mulut dasar yang begitu tinggi dan suci, tetapi di hati tidak dan diingkari dengan perbuatan.”
Menurut Bung Hatta, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya hormat menghormati agama masing-masing, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan.
“Dengan dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan dalam kesatuan Pancasila, pemerintahan negara pada hekekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia yang abadi serta persaudaraan bangsa-bangsa,” demikian tegas Bung Hatta.
Selanjutnya dijelaskan Bung Hatta, bahwa pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, mewajibkan manusia untuk berlaku suci dalam hidupnya, menentang segala yang kotor, dalam keadaan maupun perbuatan. Pengakuan itu pun mewajibkan manusia untuk melenyapkan segala yang buruk dan membangun segala yang baik untuk menyempurnakan bumi Allah sebagai tempat kediaman manusia sementara dalam perjalanan ke alam baka.
PKI biadab
Risalah kecil Bung Hatta (Pancasila Jalan Lurus) itu pun mengupas beberapa penyelewengan Pancasila dalam sejarah. Salah satunya oleh PKI yang menyalahgunakan konsep Nasakom-nya Bung Karno. Berikut penjelasan lengkap Bung Hatta:
“Presiden Soekarno mempunyai tujuan yang baik dengan menciptakan nasakom itu, yaitu menghilangkan sistem “free fight democracy” dan menggantinya dengan dasar kerjasama dengan musyawarah antara 4 golongan yang berpengaruh dalam masyarakat: golongan nasional, golongan agama, golongan komunis dan golongan karyawan. Tetapi dari semulanya sudah dapat diduga, bahwa maksud baik Presiden Soekarno itu akan disalahgunakan oleh PKI untuk memperkuat kedudukannya dalam masyarakat dan dalam pemerintahan. Nasakom bagi PKI hanya dipergunakan sebagai batu loncatan untuk merebut kekuasaan, seperti dilakukannya dengan gerakan 30 September 1965. Kaum komunis bukan komunis dan l
eninis, apabila tujuannya lain dari merebut kekuasaan selekas-lekasnya untuk mengkomuniskan seluruh dunia. Pancasila tidak pernah diakuinya dan tidak dapat diakuinya karena bertentangan dengan filsafat sosialnya: materialism, anti-Tuhan. Tetapi sebagai taktik, PKI mengakui bahwa Republik Indonesia – bukan mereka – berdasarkan Pancasila. Mereka menggoncengi pemerintahan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu hanya sebagai jalan untuk merebut kekuasaan. Apabila mereka sudah berkuasa, dasar Pancasila itu mereka hapuskan, diganti dengan dasar komunisme dan materialisme dialektik. Tetapi dalam hal ini hukum dialektik itu berlaku pula terhadap PKI sendiri. Dengan tindakannya yang biadab dalam percobaan merebut kekuasaan yang dapat dipatahkan oleh ABRI atas karunia Tuhan Yang Maha Esa, ia menghidupkan lawannya yang lebih besar. Pendukung-pendukung negara Pancasila berjangkit seperti orang yang tersentak dari tidurnya. Semangat Pancasila bergelora kembali.”
Demikian penjelasan singkat Bung Hatta tentang Pancasila dan kebiadaban PKI. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi bangsa kita, kini dan esok. (***)
Demikian penjelasan singkat Bung Hatta tentang Pancasila dan kebiadaban PKI. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi bangsa kita, kini dan esok. (***)
Perang Merebut Kemerdekaan dan Pemberontakan PKI 1948
Pada saat perang merebut kemerdekaan negeri ini, santri Gontor banyak yang terlibat. Mereka masuk dalam pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Setelah perang agak reda, 1946, Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, berkunjung ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Saat itu jumlah santri Gontor tinggal belasan saja.
Setelah kacau akibat peperangan, program KMI mulai ditata kembali. Pada 1947 organisasi pelajar Roudlatul Muta’llimin dilebur dan diganti dengan PII (Pelajar Islam Indonesia) yang saat itu baru berusia 3 bulan. PII dipilih karena ia tidak berafiliasi kepada satu parpol atau golongan tertentu, sesuai dengan prinsip Gontor Berdiri di atas dan untuk semua golongan.
Tahun 1948 Pondok Modern Darussalam Gontor diguncang oleh pemberontakan PKI pimpinan Muso yang dikenal dengan sebutan “Madiun Affair”. Pada saat itu Pondok terpaksa dikosongkan. Sejumlah 200 santri secara bergelombang meninggalkan Pondok untuk menyusun taktik perlawanan dan gelombang terakhir diikuti oleh pengasuh dan direktur mereka. Pada 19 Desember 1948 Belanda kembali menyerang Indonesia. Pondok lagi-lagi terpaksa ditinggalkan para santrinya untuk ikut bergerilya mengangkat senjata bergabung dengan Corp Pelajar.
https://www.gontor.ac.id/kepemimpinan-generasi-pertama
Pada saat perang merebut kemerdekaan negeri ini, santri Gontor banyak yang terlibat. Mereka masuk dalam pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Setelah perang agak reda, 1946, Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, berkunjung ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Saat itu jumlah santri Gontor tinggal belasan saja.
Setelah kacau akibat peperangan, program KMI mulai ditata kembali. Pada 1947 organisasi pelajar Roudlatul Muta’llimin dilebur dan diganti dengan PII (Pelajar Islam Indonesia) yang saat itu baru berusia 3 bulan. PII dipilih karena ia tidak berafiliasi kepada satu parpol atau golongan tertentu, sesuai dengan prinsip Gontor Berdiri di atas dan untuk semua golongan.
Tahun 1948 Pondok Modern Darussalam Gontor diguncang oleh pemberontakan PKI pimpinan Muso yang dikenal dengan sebutan “Madiun Affair”. Pada saat itu Pondok terpaksa dikosongkan. Sejumlah 200 santri secara bergelombang meninggalkan Pondok untuk menyusun taktik perlawanan dan gelombang terakhir diikuti oleh pengasuh dan direktur mereka. Pada 19 Desember 1948 Belanda kembali menyerang Indonesia. Pondok lagi-lagi terpaksa ditinggalkan para santrinya untuk ikut bergerilya mengangkat senjata bergabung dengan Corp Pelajar.
https://www.gontor.ac.id/kepemimpinan-generasi-pertama
Di zaman ini, menetapi jalan lurus bukanlah hal yang mudah, karena sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, di kiri kanan kita senantiasa terbentang jalan-jalan yang menyimpang yang seringkali dipoles dengan sangat indah dan menawan. Pada tiap jalan yang menyimpang itu, kata Rasul saw, ada setan yang mengajak manusia untuk mengikuti jalannya. Jadi, pilihan bagi orang-orang yang berilmu sudah sangat jelas: ikut shirath al-mustaqim, ikut jalan oran-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub), atau ikut jalannya orang-orang yang sesat (al-dhaalliin). Sungguh telah jelas, mana yang haq dan mana yang bathil, tentu bagi yang mau memahami.
-Dr. Adian Husaini-
-Dr. Adian Husaini-
KULIAH AGAMA DI PERGURUAN TINGGI
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Ketika saya bertemu dengan Prof.Dr.M.Nuh (ketika masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan kabinet yang lalu) saya menyampaikan masalah rendahnya kualitas mata kuliah agama Islam di Perguruan Tinggi Negeri. Bukan hanya materinya tapi juga kualitas dosennya. Konon di Universitas Gajah Mada (UGM), pada tahun 80 an dosen agama Islam disebuah fakultas diganti oleh guru agama. Kini di UNAIR (Universitas Airlangga) Surabaya banyak dosen agama Islam yang tidak berlatar belakang studi Islam. Masih banyak lagi kasus serupa.
Saya berharap Pak Menteri membeberkan rencana perbaikannya. Tapi beliau malah bercerita “waktu beliau di ITS dulu” katanya, mata kuliah agama Islam masih kalah mutu dibanding mata pelajaran agama di madrasah dulu. Kini beliau bingung soal teknis bagaimana kepangkatan dosen agama di fakultas umum.
Padahal jika kita menoleh kebelakang akan kita temui sesuatu yang luar biasa. TAP MPRS REPUBLIK INDONESIA No. XXVI /MPRS/1966 Bab 1 Pasal 1 berbunyi “menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran disekolah – sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas -universitas negeri”. Isi pelajaran itu kemudian dijelaskan pada Bab II, pasal 4 bahwa Isi Pendidikan adalah untuk “Mempertinggi mental modal budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama”.
Sejauh pengetahuan saya TAP/MPRS diatas tidak pernah dihapus, bahkan diperkuat. TAP MPR/nomor IV/MPR/1978, Jo TAP MPR no. II/MPR/1983 menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada TAP MPR no. II/MPR/1988 diperjelas lagi bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini pulalah yang diulang dalam Undang-undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Bab II pasal 4.
Anehnya yang justru dipikirkan oleh para petinggi kita adalah bagaimana meningkatkan pengetahuan “umum” di sekolah dan pergurutan tinggi agama. Sekolah agama dan perguruan tinggi agama dianggap tidak mampu membekali siswa dan mahasiswa ilmu pengetahuan untuk bisa hidup di dunia yang makin maju yang menbutuhkan penguasaan IPTEK. Lulusan madrasah kurang dapat bersaing di bidang penggunaan IPTEK dibanding anak-anak lulusan sekolah umum.
Dari asumsi ini dibuatlah Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. yaitu menteri Agama dengan SK. No. 6 tahun 1975, Mentri P&K dengan SK.No.37/U/1975 dan menteri Dalam Negeri dengan SK. No. 36 tahun 1975 tertanggal 24 maret 1975, tentang peningkatan mutu madrasah. Di Perguruan tinggi kini institut agama Islam ditingkatkan menjadi universitas Islam.
Setidaknya terdapat dua kesalahan dari asumsi diatas. Pertama, ilmu pengetahuan agama dianggap tidak bisa digunakan untuk menempuh kehidupan di dunia.Kedua, ilmu pengetahuan umum dianggap dapat menjamin siswa dan mahasiswa dapat mengarungi hidup di dunia. Arti hidup disini benar-benar difahami secara sekuler. Padahal nafas lagu Indonesia Raya memotivasi agar bangsa hidup jiwa dan raganya secara simultan (Hiduplah Jiwanya, Hiduplah Badannya). TAP-TAP MPR diatas seperti tidak berguna.
Mengapa di negeri ini tidak ada yang berani berfikir bagaimana para siswa dan mahasiswa yang belajar ilmu pengetahuan umum bisa meningkat iman-taqwa mereka. Mengapa negeri ini tidak lahir SKB tiga menteri lain untuk meningkatkan mutu pelajaran dan mata kuliah agama di sekolah dan perguruan tinggi “umum”. Padahal tujuan utama pendidikan nasional adalah mencetak sumber daya manusia yang bertaqwa.
Logikanya jika santri, siswa madrasah dan mahasiswa IAIN dan UIN harus dibekali ilmu pengetahuan umum, maka siswa SMA, mahasiswa universitas umum negeri atau swasta harus dibekali ilmu agama. Ilmu agama yang tidak untuk menjadi ahli agama dan menguasai ilmu-ilmu tradisional layaknya ulama. Ilmu agama yang mendorong kesadaran moral, dan meningkatkan kemampuan intelektual. Ilmu agama yang menjadi jiwa dan nilai bagi pengetahuan umum. Ilmu agama yang selaras dengan bidang studi masing-masing mahasiswa.
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Ketika saya bertemu dengan Prof.Dr.M.Nuh (ketika masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan kabinet yang lalu) saya menyampaikan masalah rendahnya kualitas mata kuliah agama Islam di Perguruan Tinggi Negeri. Bukan hanya materinya tapi juga kualitas dosennya. Konon di Universitas Gajah Mada (UGM), pada tahun 80 an dosen agama Islam disebuah fakultas diganti oleh guru agama. Kini di UNAIR (Universitas Airlangga) Surabaya banyak dosen agama Islam yang tidak berlatar belakang studi Islam. Masih banyak lagi kasus serupa.
Saya berharap Pak Menteri membeberkan rencana perbaikannya. Tapi beliau malah bercerita “waktu beliau di ITS dulu” katanya, mata kuliah agama Islam masih kalah mutu dibanding mata pelajaran agama di madrasah dulu. Kini beliau bingung soal teknis bagaimana kepangkatan dosen agama di fakultas umum.
Padahal jika kita menoleh kebelakang akan kita temui sesuatu yang luar biasa. TAP MPRS REPUBLIK INDONESIA No. XXVI /MPRS/1966 Bab 1 Pasal 1 berbunyi “menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran disekolah – sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas -universitas negeri”. Isi pelajaran itu kemudian dijelaskan pada Bab II, pasal 4 bahwa Isi Pendidikan adalah untuk “Mempertinggi mental modal budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama”.
Sejauh pengetahuan saya TAP/MPRS diatas tidak pernah dihapus, bahkan diperkuat. TAP MPR/nomor IV/MPR/1978, Jo TAP MPR no. II/MPR/1983 menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada TAP MPR no. II/MPR/1988 diperjelas lagi bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini pulalah yang diulang dalam Undang-undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Bab II pasal 4.
Anehnya yang justru dipikirkan oleh para petinggi kita adalah bagaimana meningkatkan pengetahuan “umum” di sekolah dan pergurutan tinggi agama. Sekolah agama dan perguruan tinggi agama dianggap tidak mampu membekali siswa dan mahasiswa ilmu pengetahuan untuk bisa hidup di dunia yang makin maju yang menbutuhkan penguasaan IPTEK. Lulusan madrasah kurang dapat bersaing di bidang penggunaan IPTEK dibanding anak-anak lulusan sekolah umum.
Dari asumsi ini dibuatlah Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang kemudian dikenal dengan SKB 3 M. yaitu menteri Agama dengan SK. No. 6 tahun 1975, Mentri P&K dengan SK.No.37/U/1975 dan menteri Dalam Negeri dengan SK. No. 36 tahun 1975 tertanggal 24 maret 1975, tentang peningkatan mutu madrasah. Di Perguruan tinggi kini institut agama Islam ditingkatkan menjadi universitas Islam.
Setidaknya terdapat dua kesalahan dari asumsi diatas. Pertama, ilmu pengetahuan agama dianggap tidak bisa digunakan untuk menempuh kehidupan di dunia.Kedua, ilmu pengetahuan umum dianggap dapat menjamin siswa dan mahasiswa dapat mengarungi hidup di dunia. Arti hidup disini benar-benar difahami secara sekuler. Padahal nafas lagu Indonesia Raya memotivasi agar bangsa hidup jiwa dan raganya secara simultan (Hiduplah Jiwanya, Hiduplah Badannya). TAP-TAP MPR diatas seperti tidak berguna.
Mengapa di negeri ini tidak ada yang berani berfikir bagaimana para siswa dan mahasiswa yang belajar ilmu pengetahuan umum bisa meningkat iman-taqwa mereka. Mengapa negeri ini tidak lahir SKB tiga menteri lain untuk meningkatkan mutu pelajaran dan mata kuliah agama di sekolah dan perguruan tinggi “umum”. Padahal tujuan utama pendidikan nasional adalah mencetak sumber daya manusia yang bertaqwa.
Logikanya jika santri, siswa madrasah dan mahasiswa IAIN dan UIN harus dibekali ilmu pengetahuan umum, maka siswa SMA, mahasiswa universitas umum negeri atau swasta harus dibekali ilmu agama. Ilmu agama yang tidak untuk menjadi ahli agama dan menguasai ilmu-ilmu tradisional layaknya ulama. Ilmu agama yang mendorong kesadaran moral, dan meningkatkan kemampuan intelektual. Ilmu agama yang menjadi jiwa dan nilai bagi pengetahuan umum. Ilmu agama yang selaras dengan bidang studi masing-masing mahasiswa.
Bangsa ini sudah cukup tinggi kemampuan IPTEK nya, tapi sungguh rendah kesadaran moralnya.
Maka dari itu ilmu agama itu mesti diajarkan oleh dosen-dosen yang benar-benar berkompeten atau otoritatif dalam bidangnya. Dosen agama harus dapat menuntun mahasiswa bukan saja secara akademis, tapi juga secara spiritual. Jika kata Einstein “Sains tanpa agama buta, agama tanpa sains lumpuh”, maka layaklah dosen agama menjadi penuntun mahasiswa yang “buta” agama dan moralitas.
Jika ini terlaksana dengan baik, maka tindak korupsi oleh para petinggi Negara dan penegak hukum dapat diatasi; jumlah penguasa yang “amanah” dapat ditingkatkan; tindak kriminal masyarakat awam dapat diminimalisir. Sabda Nabi “agama manusia itu tergantung agama rajanya” bisa diartikan “kejujuran rakyat itu tergantung pada kejujuran penguasanya”. Maka pendidikan agama di perguruan tinggi adalah untuk menyiapkan calon-calon penguasa yang jujur dan amanah.Wallahu A’lam.
Maka dari itu ilmu agama itu mesti diajarkan oleh dosen-dosen yang benar-benar berkompeten atau otoritatif dalam bidangnya. Dosen agama harus dapat menuntun mahasiswa bukan saja secara akademis, tapi juga secara spiritual. Jika kata Einstein “Sains tanpa agama buta, agama tanpa sains lumpuh”, maka layaklah dosen agama menjadi penuntun mahasiswa yang “buta” agama dan moralitas.
Jika ini terlaksana dengan baik, maka tindak korupsi oleh para petinggi Negara dan penegak hukum dapat diatasi; jumlah penguasa yang “amanah” dapat ditingkatkan; tindak kriminal masyarakat awam dapat diminimalisir. Sabda Nabi “agama manusia itu tergantung agama rajanya” bisa diartikan “kejujuran rakyat itu tergantung pada kejujuran penguasanya”. Maka pendidikan agama di perguruan tinggi adalah untuk menyiapkan calon-calon penguasa yang jujur dan amanah.Wallahu A’lam.
Kisah Iblis begitu banyak diceritakan dalam al-Quran. Pesannya sangat jelas kepada kita, orang Muslim: jangan contoh perilaku Iblis! Dia memang pintar, tapi licik, durhaka dan berani menantang Tuhan. Satu lagi: dalam menyesatkan manusia, Iblis menggunakan cara-cara yang halus dan canggih. Kata-katanya menawan. Iblis tidak membentak-bentak Adam dan Hawa. Iblis bermuka manis, bertutur kata lembut dan sopan. Bahkan, Iblis menampakkan sikap yang sangat simpatik kepada Adam dan Hawa. Iblis sepertinya tidak bertampang seram, seperti digambarkan selama ini dalam berbagai komik dan film atau sinetron. Tapi, Iblis itu bisa berwajah cantik dan menawan. Iblis tidak mengatakan: Wahai Adam, tidak usah pedulikan larangan Tuhan! Tapi, Iblis bersikap sebagai teman akrab. Iblis bersumpah kepada Adam dan Hawa, bahwa dia adalah sahabat karib yang menasehati Adam dan Hawa dengan tulus ikhlas. (QS 7:21). Allah juga mengingatkan, bahwa musuh para Nabi dan pengikutnya adalah setan dari jenis manusia dan setan jenis jin yang aktivitas mereka adalah membisikkan kata-kata indah (zukhrufal qauli) untuk menipu manusia. (QS 6:112).
-Dr. Adian Husaini-
-Dr. Adian Husaini-