DARI PERBENDAHARAAN LAMA
Penulis: Prof Dr Hamka
Sinopsis:
Dalam buku ini Buya HAMKA menunjukkan dua hal penting secara umum: pertama bahwa masuknya Islam ke bumi Melayu-Nusantara ini sudah lebih dahulu daripada pendapat umum sejarawan bahwa Islam masuk ke dunia Melayu-Nusantara pada abad ke 12 Masehi, ditandai dengan bukti Batu Nisan Fatimah. Hal kedua yang dikemukakan HAMKA adalah bahwa pada masa lampau Islam mengakar dengan cukup kuat di dalam benak masyarakat Melayu-Nusantara. Bahkan tidak hanya itu, perjuangan mengusir penjajah dalam tulisan ini didasarkan kepada semangat keagamaan (Islam) hingga membuahkan hasil kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu saja hal ini berseberangan dengan pendapat para sejarawan Indonesia secara umum.
-----------------------------
DARI PERBENDAHARAAN LAMA
Penulis: Prof Dr Hamka
Harga: Rp 85.000,-
Stock terbatas.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
Penulis: Prof Dr Hamka
Sinopsis:
Dalam buku ini Buya HAMKA menunjukkan dua hal penting secara umum: pertama bahwa masuknya Islam ke bumi Melayu-Nusantara ini sudah lebih dahulu daripada pendapat umum sejarawan bahwa Islam masuk ke dunia Melayu-Nusantara pada abad ke 12 Masehi, ditandai dengan bukti Batu Nisan Fatimah. Hal kedua yang dikemukakan HAMKA adalah bahwa pada masa lampau Islam mengakar dengan cukup kuat di dalam benak masyarakat Melayu-Nusantara. Bahkan tidak hanya itu, perjuangan mengusir penjajah dalam tulisan ini didasarkan kepada semangat keagamaan (Islam) hingga membuahkan hasil kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu saja hal ini berseberangan dengan pendapat para sejarawan Indonesia secara umum.
-----------------------------
DARI PERBENDAHARAAN LAMA
Penulis: Prof Dr Hamka
Harga: Rp 85.000,-
Stock terbatas.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
BUKU-BUKU TERBAIK KARYA BUYA HAMKA.
- 1001 Soal Kehidupan Rp. 115.000,-
- Pandangan Hidup Muslim Rp. 65.000,-
- Kesepaduan Ilmu dan Amal Saleh Rp. 50.000,-
- Dari Hati ke Hati Rp. 65.000,-
- Dari Lembah Cita-Cita Rp. 43.000,-
- Tafsir Al Azhar Juz Amma Rp. 130.000,-
- Bohong Di Dunia Rp. 43.000,-
- Ghirah: Cemburu Karena Allah 38.000,-
- Sejarah Umat Islam Rp. 230.000,-
- Angkatan Baru Rp. 37.000,-
- Buya Hamka Berbicara Perempuan Rp. 45.000,-
- Pribadi Hebat Rp. 45.000,-
- Dari Perbendaharaan Lama Rp. 85.000,-
- Keadilan Sosial dalam Islam Rp. 50.000,-
- Falsafah Ketuhanan Rp. 55.000,-
Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp ke 087878147997.
-Admin-
- 1001 Soal Kehidupan Rp. 115.000,-
- Pandangan Hidup Muslim Rp. 65.000,-
- Kesepaduan Ilmu dan Amal Saleh Rp. 50.000,-
- Dari Hati ke Hati Rp. 65.000,-
- Dari Lembah Cita-Cita Rp. 43.000,-
- Tafsir Al Azhar Juz Amma Rp. 130.000,-
- Bohong Di Dunia Rp. 43.000,-
- Ghirah: Cemburu Karena Allah 38.000,-
- Sejarah Umat Islam Rp. 230.000,-
- Angkatan Baru Rp. 37.000,-
- Buya Hamka Berbicara Perempuan Rp. 45.000,-
- Pribadi Hebat Rp. 45.000,-
- Dari Perbendaharaan Lama Rp. 85.000,-
- Keadilan Sosial dalam Islam Rp. 50.000,-
- Falsafah Ketuhanan Rp. 55.000,-
Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp ke 087878147997.
-Admin-
Ada manusia2 sebiadab ini di muka bumi! Inilah kebiadaban penjara Presiden Assad di Suriah! http://internasional.kompas.com/read/2017/08/30/15051861/kekejaman-penjara-assad-zahira-diperkosa-5-tentara-selama-14-hari
KOMPAS.com
Kekejaman Penjara Assad: Zahira Diperkosa 5 Tentara selama 14 Hari
Diperkosa berkali-kali hingga alat vitalnya rusak dan tak mampu lagi berbuat apa-apa menjadikan memori kelam Zahira selama di penjara rezim Assad.
MENANTI KEADILAN TERHADAP MUSLIM ROHINGYA
Oleh: Fahmi Salim, MA
Setelah perang badar, kaum Yahudi Bani Qainuqa’ terus memperlihatkan kebencian mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dan kaum Muslimin. Mereka menolak ajakan masuk Islam dari Rasulullah dan melecehkan kemenangan kaum Muslimin pada Perang Badar. Puncak kebencian mereka kepada Islam dan Muslimin akhirnya terjadi di pasar Bani Qainuqa’.
Ketika itu, seorang wanita Muslimah mereka permainkan sehingga terbuka auratnya di bagian belakang. Mereka tertawa-tawa dengan pelecehan ini. Seorang sahabat Rasul yang mendengarkan jeritan wanita Muslimah yang dipermalukan, langsung melompat dan membunuh lelaki Yahudi yang telah menyingkap aurat Muslimah tersebut. Namun akibatnya, dia dikeroyok oleh Yahudi Qainuqa’ dan dibunuh.
Pengkhianatan Yahudi Qainuqa’ ini langsung disikapi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Pasukan Muslim mengepung mereka berhari-hari sampai mereka menyerah. Setelah menyerah, mereka dihukum Rasulullah dengan diusir keluar dari Kota Madinah.
Satu tahun setelah kejadian tersebut, Yahudi bani Nadhir juga melakukan pengkhianatan. Mereka membuat makar untuk membunuh Rasulullah. Yaitu dengan naik ke atas bangunan dan menjatuhkan batu besar ke Rasulullah yang duduk di bawah. Tapi, malaikat Jibril mengabarkan rencana ini kepada Rasulullah, sehingga Beliau langsung bangkit dari tempat tersebut dan segera kembali pulang.
Kemudian, Rasulullah membawa pasukan dan mengepung Yahudi bani Nadhir beberapa hari sampai menyerah. Lalu mereka dihukum oleh Rasulullah dengan diusir keluar dari Kota Madinah. Setahun lebih setelah pengkhianatan tersebut, Yahudi Bani Quraizhah juga berkhianat. Dalam Perang Khandaq mereka ikut serta berkonspirasi dengan kafir Quraisy yang datang menyerang Madinah.
Kaum Muslimin Madinah benar-benar terkepung dan dalam kondisi mencekam serta ketakutan. Setelah Allah Subhanahu Wata’ala menangkan kaum Muslimin dalam Perang Badar, Rasulullah langsung menghukum Bani Quraizhah. Mereka dikepung berhari-hari sampai menyerah. Setelah menyerah, seluruh lelaki Yahudi Bani Quraizhah dibunuh, dan kaum wanita serta anak-anak menjadi budak. Itulah hukuman bagi mereka para pengkhianat.
Dari tiga peristiwa tersebut, banyak sekali hikmah dan pelajaran yang dapat diambil. Salah satunya sikap adil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Di mana Rasulullah hanya menghukum orang atau kaum yang bersalah saja.
Ketika Yahudi Qainuqa berkhianat di Madinah, maka yang dihukum dan diusir hanya Bani Qainuqa saja. Kaum Yahudi yang lain seperti Bani Nadhir dan Quraizhah sama sekali tidak dihukum dan diusir.
Lalu ketika Yahudi Bani Nadhir yang berkhianat, maka hanya mereka saja yang dihukum dan diusir. Yahudi lain tidak terkena hukuman dan sama sekali tidak diusik. Begitu juga ketika Yahudi Quraizhah berkhianat, hanya mereka yang dihukum.
Sedangkan Yahudi lain tidak diusik. Ketika Rasulullah wafat, baju besi Beliau masih tergadai kepada seorang Yahudi.Terlihat bagaimana Rasulullah tidak mengeneralisir permasalahan. Yang bersalah dan terlibat dalam pengkhianatan, mereka saja yang dihukum. Sedangkan yang lain yang tidak terlibat, tidak ikut diberi hukuman.
Umat Buddha Indonesia
Dalam konteks peristiwa kezhaliman yang menimpa kaum Muslimin Rohingya, tentunya semua umat Islam wajib berempati. Memberikan berbagai bantuan yang mungkin dilakukan untuk menolong dan meringankan beban mereka. Apalagi bila Muslimin Rohingya tersebut sudah sampai lari dan mengungsi ke negeri mayoritas umat Islam Indonesia.
Maka umat Islam Indonesia berkewajiban menolong mereka dan memberikan segala fasilitas yang bisa menjamin keselamatan mereka. Semua langkah-langkah solidaritas, penggalangan bantuan dan dana, sangat layak diapresiasi dan didukung. Itulah ciri persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) setiap Muslim.
Namun di balik itu, adalah sebuah sikap yang tidak bijak serta jauh dari keadilan bila ada pula yang mengajak atau menyuarakan pembalasan kezhaliman tersebut kepada umat Buddha yang ada di Indonesia. Baik itu hanya berupa komentar, tulisan pendek, status di
Oleh: Fahmi Salim, MA
Setelah perang badar, kaum Yahudi Bani Qainuqa’ terus memperlihatkan kebencian mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dan kaum Muslimin. Mereka menolak ajakan masuk Islam dari Rasulullah dan melecehkan kemenangan kaum Muslimin pada Perang Badar. Puncak kebencian mereka kepada Islam dan Muslimin akhirnya terjadi di pasar Bani Qainuqa’.
Ketika itu, seorang wanita Muslimah mereka permainkan sehingga terbuka auratnya di bagian belakang. Mereka tertawa-tawa dengan pelecehan ini. Seorang sahabat Rasul yang mendengarkan jeritan wanita Muslimah yang dipermalukan, langsung melompat dan membunuh lelaki Yahudi yang telah menyingkap aurat Muslimah tersebut. Namun akibatnya, dia dikeroyok oleh Yahudi Qainuqa’ dan dibunuh.
Pengkhianatan Yahudi Qainuqa’ ini langsung disikapi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Pasukan Muslim mengepung mereka berhari-hari sampai mereka menyerah. Setelah menyerah, mereka dihukum Rasulullah dengan diusir keluar dari Kota Madinah.
Satu tahun setelah kejadian tersebut, Yahudi bani Nadhir juga melakukan pengkhianatan. Mereka membuat makar untuk membunuh Rasulullah. Yaitu dengan naik ke atas bangunan dan menjatuhkan batu besar ke Rasulullah yang duduk di bawah. Tapi, malaikat Jibril mengabarkan rencana ini kepada Rasulullah, sehingga Beliau langsung bangkit dari tempat tersebut dan segera kembali pulang.
Kemudian, Rasulullah membawa pasukan dan mengepung Yahudi bani Nadhir beberapa hari sampai menyerah. Lalu mereka dihukum oleh Rasulullah dengan diusir keluar dari Kota Madinah. Setahun lebih setelah pengkhianatan tersebut, Yahudi Bani Quraizhah juga berkhianat. Dalam Perang Khandaq mereka ikut serta berkonspirasi dengan kafir Quraisy yang datang menyerang Madinah.
Kaum Muslimin Madinah benar-benar terkepung dan dalam kondisi mencekam serta ketakutan. Setelah Allah Subhanahu Wata’ala menangkan kaum Muslimin dalam Perang Badar, Rasulullah langsung menghukum Bani Quraizhah. Mereka dikepung berhari-hari sampai menyerah. Setelah menyerah, seluruh lelaki Yahudi Bani Quraizhah dibunuh, dan kaum wanita serta anak-anak menjadi budak. Itulah hukuman bagi mereka para pengkhianat.
Dari tiga peristiwa tersebut, banyak sekali hikmah dan pelajaran yang dapat diambil. Salah satunya sikap adil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Di mana Rasulullah hanya menghukum orang atau kaum yang bersalah saja.
Ketika Yahudi Qainuqa berkhianat di Madinah, maka yang dihukum dan diusir hanya Bani Qainuqa saja. Kaum Yahudi yang lain seperti Bani Nadhir dan Quraizhah sama sekali tidak dihukum dan diusir.
Lalu ketika Yahudi Bani Nadhir yang berkhianat, maka hanya mereka saja yang dihukum dan diusir. Yahudi lain tidak terkena hukuman dan sama sekali tidak diusik. Begitu juga ketika Yahudi Quraizhah berkhianat, hanya mereka yang dihukum.
Sedangkan Yahudi lain tidak diusik. Ketika Rasulullah wafat, baju besi Beliau masih tergadai kepada seorang Yahudi.Terlihat bagaimana Rasulullah tidak mengeneralisir permasalahan. Yang bersalah dan terlibat dalam pengkhianatan, mereka saja yang dihukum. Sedangkan yang lain yang tidak terlibat, tidak ikut diberi hukuman.
Umat Buddha Indonesia
Dalam konteks peristiwa kezhaliman yang menimpa kaum Muslimin Rohingya, tentunya semua umat Islam wajib berempati. Memberikan berbagai bantuan yang mungkin dilakukan untuk menolong dan meringankan beban mereka. Apalagi bila Muslimin Rohingya tersebut sudah sampai lari dan mengungsi ke negeri mayoritas umat Islam Indonesia.
Maka umat Islam Indonesia berkewajiban menolong mereka dan memberikan segala fasilitas yang bisa menjamin keselamatan mereka. Semua langkah-langkah solidaritas, penggalangan bantuan dan dana, sangat layak diapresiasi dan didukung. Itulah ciri persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) setiap Muslim.
Namun di balik itu, adalah sebuah sikap yang tidak bijak serta jauh dari keadilan bila ada pula yang mengajak atau menyuarakan pembalasan kezhaliman tersebut kepada umat Buddha yang ada di Indonesia. Baik itu hanya berupa komentar, tulisan pendek, status di
media social (Medsos) dan sejenisnya, apalagi sampai ada aksi di lapangan yang mengintimidasi saudara sebangsa dan setanah air dari umat Buddha.
Apa salah mereka terhadap kaum Muslimin Rohingya? Mereka tidak ikut serta dalam tindakan pembantaian di sana. Umat Islam di Indonesia harus bersikap adil. Jangan samapai propokatif atau terprovokasi.
Kepedulian kepada Muslimin Rohingya jangan dirusak pula dengan mengintimidasi umat Buddha di tanah air. Kita mesti meneladani kaum Muslimin di Nepal yang dengan jiwa besar ikut serta menolong umat Buddha yang menjadi korban gempa. Tidak ada sedikitpun mereka kaitkan dengan kezhaliman kaum Buddha di Myanmar. Sebab, kaum Buddha Nepal tidak ikut serta melakukan kezhaliman.
Ada pihak-pihak yang akan beruntung bila terjadi konflik horizontal antarumat beragama di Indonesia. Indonesia akan goyang dan semakin lemah. Dan yang paling merugi serta dirugikan dengan melemahnya negara kita Indonesia adalah umat Islam sendiri. Karena itu, jangan terpancing, apalagi memancing.
Tidaklah tepat bila seorang Muslim dicederai oleh seorang Kristen di Eropa, lalu orang Kristen di Indonesia diciderai pula oleh kaum Muslimin.
اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Maka berlaku adillah! Adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (QS Al Maidah: 8);
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ
“Maka jangan ikuti hawa nafsu, agar kalian berlaku adil.” (QS An Nisa: 135). Wallahu A’lam!
Apa salah mereka terhadap kaum Muslimin Rohingya? Mereka tidak ikut serta dalam tindakan pembantaian di sana. Umat Islam di Indonesia harus bersikap adil. Jangan samapai propokatif atau terprovokasi.
Kepedulian kepada Muslimin Rohingya jangan dirusak pula dengan mengintimidasi umat Buddha di tanah air. Kita mesti meneladani kaum Muslimin di Nepal yang dengan jiwa besar ikut serta menolong umat Buddha yang menjadi korban gempa. Tidak ada sedikitpun mereka kaitkan dengan kezhaliman kaum Buddha di Myanmar. Sebab, kaum Buddha Nepal tidak ikut serta melakukan kezhaliman.
Ada pihak-pihak yang akan beruntung bila terjadi konflik horizontal antarumat beragama di Indonesia. Indonesia akan goyang dan semakin lemah. Dan yang paling merugi serta dirugikan dengan melemahnya negara kita Indonesia adalah umat Islam sendiri. Karena itu, jangan terpancing, apalagi memancing.
Tidaklah tepat bila seorang Muslim dicederai oleh seorang Kristen di Eropa, lalu orang Kristen di Indonesia diciderai pula oleh kaum Muslimin.
اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Maka berlaku adillah! Adil itu lebih dekat kepada taqwa.” (QS Al Maidah: 8);
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاء لِلّهِ وَلَوْ عَلَى أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ
“Maka jangan ikuti hawa nafsu, agar kalian berlaku adil.” (QS An Nisa: 135). Wallahu A’lam!
👍1
Karya Terbaru Dr. Syamsuddin Arif
ISLAM DAN DIABOLISME INTELEKTUAL
Diabolos adalah iblis dalam bahasa Yunani kuno (Greek). Maka istilah 'diabolisme' berarti pemikiran, watak dan perilaku ala iblis ataupun pengabdian kepadanya. kendati terbilang sangat dekat dan kenal sekali dengan Tuhan, ia dikutuk dan dihalau karena menolak sujud kepada Adam.
Ia memang bukan atheist dan bukan pula agnostik. Iblis jelas mengakui adanya Tuhan dan tidak mengingkari ketunggalan-Nya. Tetapi, mengapa ia dilaknat dan disebut 'kafir'? Di siniliah letak persoalannya.
Iblis adalah prototype intelektual 'keblinger'. Kesalahan iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang, menganggap dirinya hebat, dan melawan perintah Tuhan. Dalam hal ini, iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berperilaku seperti yang dicontohkannya.
Buku ini mengupas aneka ragam diabolisme intelektual yang acapkali kita jumpai di sekitar kita, dalam sikap maupun ucapan, pemikiran maupun perbuatan. Meski disajikan dengan bahasa yang mudah dan renyah, bobot ilmiah buku ini dan jangkauan literaturnya sangat luas, dengan rujukan langsung ke sumber-sumber primer baik dalam bahasa Inggris, Arab, Yunani, Latin, Perancis, maupun Jerman.
Kandungan buku ini terdiri dari :
1. Intelektual dan Ulama
2. Diabolisme Intelektual
3. Liberalisme Pemikiran
4. Otoritas Keagamaan
5. Legitimasi Fatwa Ulama
6. Kanker Epistemologis
7. Islam dan Politik
8. Pemimpin non Muslim
9. Agama dan Sekularisasi
10. Pluralisme Agama
11. Dialog antar Agama
12. Solusi Ahmadiyah
13. Fenomena Nabi Palsu
14. Wacana Pembaharuan (Tajdid)
15. Feminisme dan Gender
16. Manifestasi Rasisme
17. Tirani dibalik Seni
18. Konsep Jihad
19. Masalah Terorisme
20. Tiga Makna Kebebasan
21. Ketahanan Keluarga
22. Problematika Korupsi
23. Sains Moderen
24. Kejayaan dan Kejatuhan Bangsa
25. Averroisme dan Renaissance
Buku karya Dr. Syamsuddin Arif ini diterbitkan atas kerja bareng antara Institut For Study of Islamic Thought (Insists) dengan Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (Pimpin) Bandung. Buku dengan ketebalan 253 halaman memiliki disain sampul 'eksklusif-minimalis' dan jenis sampul hard cover.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
ISLAM DAN DIABOLISME INTELEKTUAL
Diabolos adalah iblis dalam bahasa Yunani kuno (Greek). Maka istilah 'diabolisme' berarti pemikiran, watak dan perilaku ala iblis ataupun pengabdian kepadanya. kendati terbilang sangat dekat dan kenal sekali dengan Tuhan, ia dikutuk dan dihalau karena menolak sujud kepada Adam.
Ia memang bukan atheist dan bukan pula agnostik. Iblis jelas mengakui adanya Tuhan dan tidak mengingkari ketunggalan-Nya. Tetapi, mengapa ia dilaknat dan disebut 'kafir'? Di siniliah letak persoalannya.
Iblis adalah prototype intelektual 'keblinger'. Kesalahan iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang, menganggap dirinya hebat, dan melawan perintah Tuhan. Dalam hal ini, iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berperilaku seperti yang dicontohkannya.
Buku ini mengupas aneka ragam diabolisme intelektual yang acapkali kita jumpai di sekitar kita, dalam sikap maupun ucapan, pemikiran maupun perbuatan. Meski disajikan dengan bahasa yang mudah dan renyah, bobot ilmiah buku ini dan jangkauan literaturnya sangat luas, dengan rujukan langsung ke sumber-sumber primer baik dalam bahasa Inggris, Arab, Yunani, Latin, Perancis, maupun Jerman.
Kandungan buku ini terdiri dari :
1. Intelektual dan Ulama
2. Diabolisme Intelektual
3. Liberalisme Pemikiran
4. Otoritas Keagamaan
5. Legitimasi Fatwa Ulama
6. Kanker Epistemologis
7. Islam dan Politik
8. Pemimpin non Muslim
9. Agama dan Sekularisasi
10. Pluralisme Agama
11. Dialog antar Agama
12. Solusi Ahmadiyah
13. Fenomena Nabi Palsu
14. Wacana Pembaharuan (Tajdid)
15. Feminisme dan Gender
16. Manifestasi Rasisme
17. Tirani dibalik Seni
18. Konsep Jihad
19. Masalah Terorisme
20. Tiga Makna Kebebasan
21. Ketahanan Keluarga
22. Problematika Korupsi
23. Sains Moderen
24. Kejayaan dan Kejatuhan Bangsa
25. Averroisme dan Renaissance
Buku karya Dr. Syamsuddin Arif ini diterbitkan atas kerja bareng antara Institut For Study of Islamic Thought (Insists) dengan Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (Pimpin) Bandung. Buku dengan ketebalan 253 halaman memiliki disain sampul 'eksklusif-minimalis' dan jenis sampul hard cover.
Pemesanan silahkan sms/whatsapp ke 087878147997.
Syukran...
👍1
Silahlan simak: 👆
"Agenda Besar umat islam & Sebab utama permasalahan umat islam"
Bersama Dr. Adian Husaini
"Agenda Besar umat islam & Sebab utama permasalahan umat islam"
Bersama Dr. Adian Husaini
Tata dunia yang kini konon mengutamakan kemanusiaan (HAM) dan mengarahkan syariat Islam agar sesuai dengan HAM, kini gagap dan bahkan bisu ketika umat Islam menjadi korban penganiayaan, pembunuhan, pembakaran, pengusiran dan pemusnahan yang sudah diluar batas batas kemanusiaan (HAM)
Kaum liberal yang gencar menyebarkan pluralisme agama dikalangan umat Islam dan menjadi "modin" nikah beda agama tidak berkata apa apa, apalagi mengutuk peristiwa berdarah Rohingnya. Jika memang mereka tulus, mulai sekarang kaum pluralis perlu mendakwahkan pluraisme agama kepada non Muslim (di Rohingnya, Tolikara, Kutai Barat, Bali dan sebagainya).
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
Kaum liberal yang gencar menyebarkan pluralisme agama dikalangan umat Islam dan menjadi "modin" nikah beda agama tidak berkata apa apa, apalagi mengutuk peristiwa berdarah Rohingnya. Jika memang mereka tulus, mulai sekarang kaum pluralis perlu mendakwahkan pluraisme agama kepada non Muslim (di Rohingnya, Tolikara, Kutai Barat, Bali dan sebagainya).
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
MUSUH AGAMA-AGAMA
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS)
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.
Begitulah salah satu pernyataan tegas seorang pendukung paham Pluralisme Agama di Indonesia, seperti ia tulis dalam artikel di satu koran nasional. Pandangan semacam ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru. Klaim kebenaran agama bagi pemeluk masing-masing, dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Seolah-olah, kerukunan umat beragama harus dibangun di atas landasan teologi pluralis yang melarang setiap pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya masing-masing.
Maka, betapa tesengatnya pendukung Pluralisme Agama di Indonesia, ketika pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham Pluralisme Agama dan menyatakan sesat sejumlah aliran keagamaan. Karena itu, bisa dipahami, jika dalam berbagai seminar dan kesempatan, MUI menjadi bahan caci-maki. Banyak yang kelabakan. Bahkan ada yang kalap. Sebuah Jurnal yang diterbitkan di sebuah kampus Islam di Semarang pada edisi 28 Th XIII/2005, memuat laporan utama berjudul Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan. Dalam jurnal ini, misalnya, diturunkan wawancara dengan seorang aktivis HAM dengan judul MUI bisa Dijerat KUHP Provokator. Ia membuat usulan untuk MUI: Jebloskan penjara saja dengan jeratan pasal 55 provokator, jelas hukumannya sampai 5 tahun.
Amerika Serikat juga sangat getal mengucurkan dana untuk penyebaran paham Pluralisme, sehingga banyak yang menyambut dengan gegap gempita. Dalam situsnya, (http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html), ditulis: Kedutaan mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan.
Pluralisme Agama sebagaimana yang banyak ditulis oleh para penganut dan penyebarnya -- memang bukan sekedar konsep toleransi, saling menghormati antar pemeluk agama, tanpa mengganggu konsep-konsep khas dalam teologi masing-masing agama. Menafsirkan QS al-Baqarah:62, sebuah disertasi doktor Ilmu Tafsir di UIN Jakarta menulis: Jika diperhatikan secara seksama, jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabiah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dengan keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal saleh sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran.
Pandangan dan penafsiran semacam ini tentu saja sangat keliru dan sama sekali tidak berangkat dari posisi teologis Islam. Ribuan mufassir al-Quran yang mutabarah sejak dahulu kala tidak ada yang memahami ayat al-Quran tersebut seperti itu. Sebab, dengan logika sederhana pun kita bisa memahami, bahwa untuk dapat "beriman kepada Allah" dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Rasul Allah saw. Sebab, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; dapat mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Ini konsepsi teologis Islam.
Kaum Pluralis kadangkala memandang aspek keimanan ini sebagai hal yang kecil. Kata mereka, yang penting adalah nilai kemanusiaan. Manusia harus saling mengasihi, tanpa melihat agamanya apa; tanpa melihat jenis imannya. Tentu saja pandangan ini juga sangat keliru. Sebab, dalam kehidupan manusia pun, aspek pengakuan juga sangat penting. Anak menuntut pengakuan dari orang tuanya. Sebelum bekerja, Pr
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS)
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.
Begitulah salah satu pernyataan tegas seorang pendukung paham Pluralisme Agama di Indonesia, seperti ia tulis dalam artikel di satu koran nasional. Pandangan semacam ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru. Klaim kebenaran agama bagi pemeluk masing-masing, dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Seolah-olah, kerukunan umat beragama harus dibangun di atas landasan teologi pluralis yang melarang setiap pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya masing-masing.
Maka, betapa tesengatnya pendukung Pluralisme Agama di Indonesia, ketika pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham Pluralisme Agama dan menyatakan sesat sejumlah aliran keagamaan. Karena itu, bisa dipahami, jika dalam berbagai seminar dan kesempatan, MUI menjadi bahan caci-maki. Banyak yang kelabakan. Bahkan ada yang kalap. Sebuah Jurnal yang diterbitkan di sebuah kampus Islam di Semarang pada edisi 28 Th XIII/2005, memuat laporan utama berjudul Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan. Dalam jurnal ini, misalnya, diturunkan wawancara dengan seorang aktivis HAM dengan judul MUI bisa Dijerat KUHP Provokator. Ia membuat usulan untuk MUI: Jebloskan penjara saja dengan jeratan pasal 55 provokator, jelas hukumannya sampai 5 tahun.
Amerika Serikat juga sangat getal mengucurkan dana untuk penyebaran paham Pluralisme, sehingga banyak yang menyambut dengan gegap gempita. Dalam situsnya, (http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html), ditulis: Kedutaan mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan.
Pluralisme Agama sebagaimana yang banyak ditulis oleh para penganut dan penyebarnya -- memang bukan sekedar konsep toleransi, saling menghormati antar pemeluk agama, tanpa mengganggu konsep-konsep khas dalam teologi masing-masing agama. Menafsirkan QS al-Baqarah:62, sebuah disertasi doktor Ilmu Tafsir di UIN Jakarta menulis: Jika diperhatikan secara seksama, jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabiah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dengan keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal saleh sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran.
Pandangan dan penafsiran semacam ini tentu saja sangat keliru dan sama sekali tidak berangkat dari posisi teologis Islam. Ribuan mufassir al-Quran yang mutabarah sejak dahulu kala tidak ada yang memahami ayat al-Quran tersebut seperti itu. Sebab, dengan logika sederhana pun kita bisa memahami, bahwa untuk dapat "beriman kepada Allah" dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Rasul Allah saw. Sebab, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; dapat mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Ini konsepsi teologis Islam.
Kaum Pluralis kadangkala memandang aspek keimanan ini sebagai hal yang kecil. Kata mereka, yang penting adalah nilai kemanusiaan. Manusia harus saling mengasihi, tanpa melihat agamanya apa; tanpa melihat jenis imannya. Tentu saja pandangan ini juga sangat keliru. Sebab, dalam kehidupan manusia pun, aspek pengakuan juga sangat penting. Anak menuntut pengakuan dari orang tuanya. Sebelum bekerja, Pr
esiden juga perlu pengakuan dari rakyat bahwa dia adalah Presiden. Anak yang tidak mau mengakui orang tuanya disebut anak durhaka. Maka, pengakuan (syahadah) itulah yang diminta oleh Allah kepada umat manusia. Yakni, agar manusia mengakui bahwa Dia adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah; dan bahwa Muhammad saw adalah utusan-Nya yang terakhir. Apa beratnya manusia untuk mau membuat pengakuan semacam ini?
Ada yang bilang, bahwa soal iman kepada kenabian Muhammad saw itu adalah soal kecil saja; masalah yang tidak penting; jadi tidak usah dibesar-besarkan; yang penting adalah kehidupan yang harmonis dan hormat-menghormati antar sesama manusia. Coba tanyakan kepada kaum yang mengaku Pluralis itu, jika iman kepada Nabi Muhammad saw adalah soal kecil, mengapa banyak yang keberatan untuk mengakui bahwa Muhammad saw adalah seorang Nabi. Mengapa? Jika itu dianggap masalah kecil, mengapa hanya untuk soal yang kecil saja, mereka tidak mau iman? Jadi jelas, bagi kaum Muslim, ini bukan soal kecil.
Bukan hanya kaum Muslim yang memandang Pluralisme Agama sebagai ancaman serius. Tahun 2000, Vatikan juga mengeluarkan Dekrit Dominus Iesus yang menolak paham Pluralisme Agama. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya, Dupuis menyatakan, bahwa kebenaran penuh (fullnes of thruth) tidak akan terlahir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan sebagaimana Kristen menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut.
Buku Toward a Christian theology of Religious Pluralism pada intinya menyatakan, bahwa Yesus bukan satu-satunya jalan keselamatan. Penganut agama lain juga akan mengalami keselamatan, tanpa melalui Yesus. Karena ajarannya itulah, pada Oktober 1988 ia mendapat notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman. Ia dinyatakan tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik. Surat itu ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger, yang kini menjadi Paus Benediktus XVI.
Jadi, Vatikan pun tidak bisa menerima pandangan semacam ini, yang menerima kebenaran semua agama. Vatikan bersikap tegas. Tentu saja, orang-orang liberal dalam Katolik juga protes dengan sikap itu. Sama halnya kaum liberal di kalangan Muslim, juga marah-marah terhadap fatwa MUI soal Pluralisme Agama. Untuk menegaskan kebenaran agama Katolik, pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II membuat pernyataan: The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete. (Ajaran Jesus Kristus adalah sudah tetap dan komplit).
Setiap pemeluk agama pasti memiliki posisi teologis yang berbeda-beda. Perbedaan itu harus dihormati. Kaum Pluralis Agama memang tidak jelas posisi teologisnya. Ia bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu, atau Budha. Benar kata Dr. Stevri Lumintang, posisi teologisnya memang abu-abu. Karena itulah, Dr. Stevri mencatat, dalam bukunya, Teologia Abu-abu, Pluralisme Agama, bahwa: ...Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru... (***)
Ada yang bilang, bahwa soal iman kepada kenabian Muhammad saw itu adalah soal kecil saja; masalah yang tidak penting; jadi tidak usah dibesar-besarkan; yang penting adalah kehidupan yang harmonis dan hormat-menghormati antar sesama manusia. Coba tanyakan kepada kaum yang mengaku Pluralis itu, jika iman kepada Nabi Muhammad saw adalah soal kecil, mengapa banyak yang keberatan untuk mengakui bahwa Muhammad saw adalah seorang Nabi. Mengapa? Jika itu dianggap masalah kecil, mengapa hanya untuk soal yang kecil saja, mereka tidak mau iman? Jadi jelas, bagi kaum Muslim, ini bukan soal kecil.
Bukan hanya kaum Muslim yang memandang Pluralisme Agama sebagai ancaman serius. Tahun 2000, Vatikan juga mengeluarkan Dekrit Dominus Iesus yang menolak paham Pluralisme Agama. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya, Dupuis menyatakan, bahwa kebenaran penuh (fullnes of thruth) tidak akan terlahir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan sebagaimana Kristen menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut.
Buku Toward a Christian theology of Religious Pluralism pada intinya menyatakan, bahwa Yesus bukan satu-satunya jalan keselamatan. Penganut agama lain juga akan mengalami keselamatan, tanpa melalui Yesus. Karena ajarannya itulah, pada Oktober 1988 ia mendapat notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman. Ia dinyatakan tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik. Surat itu ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger, yang kini menjadi Paus Benediktus XVI.
Jadi, Vatikan pun tidak bisa menerima pandangan semacam ini, yang menerima kebenaran semua agama. Vatikan bersikap tegas. Tentu saja, orang-orang liberal dalam Katolik juga protes dengan sikap itu. Sama halnya kaum liberal di kalangan Muslim, juga marah-marah terhadap fatwa MUI soal Pluralisme Agama. Untuk menegaskan kebenaran agama Katolik, pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II membuat pernyataan: The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete. (Ajaran Jesus Kristus adalah sudah tetap dan komplit).
Setiap pemeluk agama pasti memiliki posisi teologis yang berbeda-beda. Perbedaan itu harus dihormati. Kaum Pluralis Agama memang tidak jelas posisi teologisnya. Ia bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu, atau Budha. Benar kata Dr. Stevri Lumintang, posisi teologisnya memang abu-abu. Karena itulah, Dr. Stevri mencatat, dalam bukunya, Teologia Abu-abu, Pluralisme Agama, bahwa: ...Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru... (***)
Pengiblisan Terhadap Islam: Resensi Ringkas "Islam dan Diabolisme Intelektual"
Judul Buku : Islam dan Diabolisme Intelektual
Penulis : Syamsuddin Arif
Penerbit : INSISTS, Jakarta, 1438/2017
Halaman & Ukuran : vi + 253 halaman; 14 x 21,5 cm
ISBN : 978-602-19985-7-1.
Akhir-akhir ini, Islam sering disudutkan sebagai agama penuh kekerasan dan miskin ilmu. Ulama dan tokoh umat diibliskan dan direndahkan dengan beragam stigma. Tuduhan mesum hingga koruptif senantiasa diproduksi untuk membongkar wibawa sosok-sosok panutan umat. Diam-diam telah terjadi social abuse yang amat masif terhadap umat Islam.
Kebrutalan wacana terhadap Islam dan para ulama tak hanya terjadi di ranah awam. Di tingkat pemikiran, hal ini pun kerap kita temui. Islam diperlakukan secara semena-mena atas nama kajian ilmiah. Menghadapi tantangan pemikiran sedemikian, seringkali umat terlihat keteteran. Bahasa-bahasa canggih yang biasa digunakan para “cendekia” brutal ini kerap membingungkan kalangan awam. Sikap sebagian kita terhadap hal ini seringkali menunjukan semacam kegagapan. Menolak tanpa argumen yang tangkas, atau menghujat tanpa pemahaman yang memadai.
Memang orang-orang ini tampak begitu percaya diri. Makin lancang mereka mengibliskan Islam dan ulama, semakin tinggi mereka merasa pintar. Melecehkan umat, ajaran Islam dan ulama telah mereka anggap sebagai lencana intelektual paling mengkilap. Kaum beragama kerap mereka pandang enteng saja. Diremehkan sebagai kelompok terbelakang yang tak berani menggunakan akal dengan bebas. Mereka yang masih sedia mengikut pada ulama dianggap tak punya daya kritis. Kesetaraan dan keberanian berfikir dipuja-puja secara keliru.
Islam dan Diabolisme Intelektual merupakan sebuah buku yang secara terbuka berani meladeni tantangan pemikiran tersebut. Meski judulnya cukup puitis dan elegan tetapi di dalamnya tersirat keberanian serta ketegasan. Bahkan menunjukan sikap yang cukup keras dari penulisnya: Dr. Syamsuddin Arif, seorang santri yang menekuni filsafat Islam hingga mendapat gelar Doktor.
Meski bernada keras, tak berarti buku ini dipenuhi caci maki, hujatan, pembid'ahan atau pengkafiran. Sebaliknya buku ini menawarkan kajian yang terbuka, yang tak hanya bersumber dari khazanah Islam, tetapi juga warisan Barat. Kekayaan sumber pemikiran dari buku ini menunjukkan bahwa seorang Muslim dapat saja membaca dan mempelajari beragam pandangan tanpa harus kehilangan keyakinannya.
Iseng-iseng saya menghitung judul yang tertera di daftar pustaka buku ini. Terdapat 428 judul buku dan artikel di sana. Jika tak salah hitung dan tak salah terka, 307 judul di antaranya berbahasa Inggris. Selain itu terdapat pula rujukan dalam bahasa Arab (42 judul), bahasa Indonesia (23 judul), bahasa Perancis (23 judul), bahasa Jerman (24 judul), bahasa Belanda (2 judul), bahasa Spanyol (2 judul), bahasa Italia (2 judul), bahasa Latin (2 judul) dan bahasa Yunani (1 judul). Nama-nama seperti Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Jean-Paul Sartre, Jean-François Lyotard, Imam al-Ghazali, Fakhrudin ar-Razi, Ibn Taymiyyah, Ernest Renan hingga Syed Muhammad Naquib al-Attas dapat kita temukan di dalam daftar pustaka ini.
Walau kaya dengan ratusan rujukan, harus diakui Islam dan Diabolisme Intelektual bukanlah sebuah buku dalam artian yang ketat. Ini adalah kumpulan tulisan dengan beragam tema. Dua puluh lima tulisan (beberapa diantaranya pernah dimuat dalam buku Orientalis & Diabolisme Pemikiran [Depok: GIP, 2007]) ditata sedemikian rupa hingga apa yang disampaikan dalam judul dapat kita rasakan dengan saksama. Dari artikel ke artikel, kita akan mendapati beragam penelahaan khas mengenai berbagai macam hal.
Beberapa artikel merupakan penjelasan dan juga jawaban dari isu-isu pemikiran yang marak dewasa ini. Persoalan-persoalan seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, feminisme dibahas Ustadz Syamsuddin dengan cara yang khas. Berbagai faham tersebut dijelaskan, ditunjukkan di mana letak kekeliruannya kemudian diterangkan bagaimana yang benar dalam pan
Judul Buku : Islam dan Diabolisme Intelektual
Penulis : Syamsuddin Arif
Penerbit : INSISTS, Jakarta, 1438/2017
Halaman & Ukuran : vi + 253 halaman; 14 x 21,5 cm
ISBN : 978-602-19985-7-1.
Akhir-akhir ini, Islam sering disudutkan sebagai agama penuh kekerasan dan miskin ilmu. Ulama dan tokoh umat diibliskan dan direndahkan dengan beragam stigma. Tuduhan mesum hingga koruptif senantiasa diproduksi untuk membongkar wibawa sosok-sosok panutan umat. Diam-diam telah terjadi social abuse yang amat masif terhadap umat Islam.
Kebrutalan wacana terhadap Islam dan para ulama tak hanya terjadi di ranah awam. Di tingkat pemikiran, hal ini pun kerap kita temui. Islam diperlakukan secara semena-mena atas nama kajian ilmiah. Menghadapi tantangan pemikiran sedemikian, seringkali umat terlihat keteteran. Bahasa-bahasa canggih yang biasa digunakan para “cendekia” brutal ini kerap membingungkan kalangan awam. Sikap sebagian kita terhadap hal ini seringkali menunjukan semacam kegagapan. Menolak tanpa argumen yang tangkas, atau menghujat tanpa pemahaman yang memadai.
Memang orang-orang ini tampak begitu percaya diri. Makin lancang mereka mengibliskan Islam dan ulama, semakin tinggi mereka merasa pintar. Melecehkan umat, ajaran Islam dan ulama telah mereka anggap sebagai lencana intelektual paling mengkilap. Kaum beragama kerap mereka pandang enteng saja. Diremehkan sebagai kelompok terbelakang yang tak berani menggunakan akal dengan bebas. Mereka yang masih sedia mengikut pada ulama dianggap tak punya daya kritis. Kesetaraan dan keberanian berfikir dipuja-puja secara keliru.
Islam dan Diabolisme Intelektual merupakan sebuah buku yang secara terbuka berani meladeni tantangan pemikiran tersebut. Meski judulnya cukup puitis dan elegan tetapi di dalamnya tersirat keberanian serta ketegasan. Bahkan menunjukan sikap yang cukup keras dari penulisnya: Dr. Syamsuddin Arif, seorang santri yang menekuni filsafat Islam hingga mendapat gelar Doktor.
Meski bernada keras, tak berarti buku ini dipenuhi caci maki, hujatan, pembid'ahan atau pengkafiran. Sebaliknya buku ini menawarkan kajian yang terbuka, yang tak hanya bersumber dari khazanah Islam, tetapi juga warisan Barat. Kekayaan sumber pemikiran dari buku ini menunjukkan bahwa seorang Muslim dapat saja membaca dan mempelajari beragam pandangan tanpa harus kehilangan keyakinannya.
Iseng-iseng saya menghitung judul yang tertera di daftar pustaka buku ini. Terdapat 428 judul buku dan artikel di sana. Jika tak salah hitung dan tak salah terka, 307 judul di antaranya berbahasa Inggris. Selain itu terdapat pula rujukan dalam bahasa Arab (42 judul), bahasa Indonesia (23 judul), bahasa Perancis (23 judul), bahasa Jerman (24 judul), bahasa Belanda (2 judul), bahasa Spanyol (2 judul), bahasa Italia (2 judul), bahasa Latin (2 judul) dan bahasa Yunani (1 judul). Nama-nama seperti Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Jean-Paul Sartre, Jean-François Lyotard, Imam al-Ghazali, Fakhrudin ar-Razi, Ibn Taymiyyah, Ernest Renan hingga Syed Muhammad Naquib al-Attas dapat kita temukan di dalam daftar pustaka ini.
Walau kaya dengan ratusan rujukan, harus diakui Islam dan Diabolisme Intelektual bukanlah sebuah buku dalam artian yang ketat. Ini adalah kumpulan tulisan dengan beragam tema. Dua puluh lima tulisan (beberapa diantaranya pernah dimuat dalam buku Orientalis & Diabolisme Pemikiran [Depok: GIP, 2007]) ditata sedemikian rupa hingga apa yang disampaikan dalam judul dapat kita rasakan dengan saksama. Dari artikel ke artikel, kita akan mendapati beragam penelahaan khas mengenai berbagai macam hal.
Beberapa artikel merupakan penjelasan dan juga jawaban dari isu-isu pemikiran yang marak dewasa ini. Persoalan-persoalan seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, feminisme dibahas Ustadz Syamsuddin dengan cara yang khas. Berbagai faham tersebut dijelaskan, ditunjukkan di mana letak kekeliruannya kemudian diterangkan bagaimana yang benar dalam pan
dangan Islam. Suatu rumus sederhana namun juga efektif memberi penerangan bagi pembaca buku ini.
Bukan hanya bahasan yang konseptual, respon terhadap isu-isu yang lebih praktis pun dapat kita temui dalam buku ini. Masalah pemimpin Non-Muslim, persoalan Ahmadiyah, masalah ketahanan keluarga hingga soal korupsi dikupas dengan bernas dalam artikel-artikel berbahasa renyah namun cukup mendalam. Keketatan logika dan saling kait antarkata, kalimat hingga paragraf membangun keutuhan yang cukup enak untuk dicerna. Seringkali kita membaca tulisan yang nampak terburu-buru dan begitu sesak dengan kehendak untuk menyampaikan banyak hal. Dalam buku ini, kita dapat menikmati kaitan satu kalimat dengan kalimat lain yang tersusun apik. Menunjukan kekuatan logika penulisnya yang cukup mumpuni.
Dua artikel pertama di dalam buku ini patut mendapat perhatian lebih. Keduanya tampak menjadi “payung” bagi keseluruhan wacana yang diurai. “Intelektual dan Ulama” dan “Diabolisme Intelektual” menggambarkan dengan rapi persoalan eksternal yang umat hadapi hari ini. Mengapa kebringasan, kebrutalan dan kebrangasan wacana terhadap Islam akhir-akhir ini begitu deras mengalir.
Dalam “Intelektual dan Ulama”, Dr. Syamsuddin berkisah tentang citra intelektual di negeri-negeri Barat yang tampak tak ajeg, sedang (atau sudah) dirubuhkan wibawanya oleh kalangan mereka sendiri dan seperti tak memiliki makna yang kukuh. Siapa intelektual dan berhakkah mereka dihormati, menjadi perbincangan yang menarik di negeri-negeri Barat. Dari Perancis, Belgia, Amerika hingga Inggris, perdebatan mengenai masalah ini terus berlangsung. Perbalahan di antara mereka menunjukkan bahwa masyarakat Barat tidak memiliki keyakinan yang kuat pada otoritas tertentu. Termasuk otoritas intelektual. Kadang intelektual dipandang sebagai kaum yang naif, berumah di atas angin, arogan dan sok tahu.
“Sekarang semakin jelas bahwa intelektual ialah mereka yang sok tahu ikut campur urusan orang lain,” kata Jean-Paul Sartre sebagaimana dikutip Dr. Syam dalam bukunya.
Karut marut makna dan kedudukan intelektual di dunia Barat boleh jadi berasal dari sikap anti-otoritas yang memang merebak akut di sana. Faham kesetaraan dan kebebasan mendorong orang untuk bersikap urakan bahkan brangasan. Sikap ini lah yang seringkali dibebeki “cendekia-cendekia” kita. Sasarannya tentu bukan hanya kaum intelektual, tetapi tokoh umat. Ejekan hingga hinaan dengan nada skeptis terus digaungkan. Mereka mencoba mengekor “intelektual” Barat sana, memuja sikap eksentrik dan anarkis seperti diamalkan Jacques Derrida dan yang semacamnya.
Citra dan persoalan intelektual dalam peradaban Barat sebenarnya tidak pernah dialami secara mirip dan sungguh-sungguh dalam peradaban Islam. Kadang kita melihat pemaksaan pengalaman Barat terhadap Islam. Jika di Barat terjadi ‘tragedi intelektual’ maka di dalam Islam pun “harus” terjadi yang demikian. Perbedaan cara pandang dan dasar-dasar falsafah kedua peradaban kerap diabaikan begitu saja. Apa yang dialami Barat sering dianggap universal dan kemudian diterapkan dengan paksa kepada Islam. Olah karena itu, tak heran jika kita menemukan sikap-sikap anti-otoritas tersebut bermunculan di beberapa kalangan kita yang malangnya mendaku diri sebagai cendekia.
Setelah membahas cukup rinci perkara intelektual di dunia Barat, Dr. Syam kemudian membahas bagaimana sebenarnya ulama dalam pandangan Islam. Tentu saja, sebagaimana dalam tradisi keilmuan Islam, pembahasan pertama disandarkan kepada al-Qur’an. Melalui tulisan ini kita dapat menimbang, siapa sebenarnya ulama yang dapat membimbing kita ke jalan yang benar. Berikut paragraf penutup yang cukup jelas dan lugas dari tulisan pembuka dalam buku ini:
Kendati lafaz ulama secara bahasa berarti orang berilmu, menurut Imam al-Ghazali, tidak semua orang berilmu layak menyandang gelar ulama. Hal ini karena, menurut beliau, keulamaan bukan semata-mata soal pengetahuan atau kepakaran, akan tetapi soal ketakwaan dan kedekatan pada Tuhan. Ulama sejati adalah mereka yang tidak hanya dalam dan luas ilmunya akan tetapi tinggi rasa takutnya kepada Allah
Bukan hanya bahasan yang konseptual, respon terhadap isu-isu yang lebih praktis pun dapat kita temui dalam buku ini. Masalah pemimpin Non-Muslim, persoalan Ahmadiyah, masalah ketahanan keluarga hingga soal korupsi dikupas dengan bernas dalam artikel-artikel berbahasa renyah namun cukup mendalam. Keketatan logika dan saling kait antarkata, kalimat hingga paragraf membangun keutuhan yang cukup enak untuk dicerna. Seringkali kita membaca tulisan yang nampak terburu-buru dan begitu sesak dengan kehendak untuk menyampaikan banyak hal. Dalam buku ini, kita dapat menikmati kaitan satu kalimat dengan kalimat lain yang tersusun apik. Menunjukan kekuatan logika penulisnya yang cukup mumpuni.
Dua artikel pertama di dalam buku ini patut mendapat perhatian lebih. Keduanya tampak menjadi “payung” bagi keseluruhan wacana yang diurai. “Intelektual dan Ulama” dan “Diabolisme Intelektual” menggambarkan dengan rapi persoalan eksternal yang umat hadapi hari ini. Mengapa kebringasan, kebrutalan dan kebrangasan wacana terhadap Islam akhir-akhir ini begitu deras mengalir.
Dalam “Intelektual dan Ulama”, Dr. Syamsuddin berkisah tentang citra intelektual di negeri-negeri Barat yang tampak tak ajeg, sedang (atau sudah) dirubuhkan wibawanya oleh kalangan mereka sendiri dan seperti tak memiliki makna yang kukuh. Siapa intelektual dan berhakkah mereka dihormati, menjadi perbincangan yang menarik di negeri-negeri Barat. Dari Perancis, Belgia, Amerika hingga Inggris, perdebatan mengenai masalah ini terus berlangsung. Perbalahan di antara mereka menunjukkan bahwa masyarakat Barat tidak memiliki keyakinan yang kuat pada otoritas tertentu. Termasuk otoritas intelektual. Kadang intelektual dipandang sebagai kaum yang naif, berumah di atas angin, arogan dan sok tahu.
“Sekarang semakin jelas bahwa intelektual ialah mereka yang sok tahu ikut campur urusan orang lain,” kata Jean-Paul Sartre sebagaimana dikutip Dr. Syam dalam bukunya.
Karut marut makna dan kedudukan intelektual di dunia Barat boleh jadi berasal dari sikap anti-otoritas yang memang merebak akut di sana. Faham kesetaraan dan kebebasan mendorong orang untuk bersikap urakan bahkan brangasan. Sikap ini lah yang seringkali dibebeki “cendekia-cendekia” kita. Sasarannya tentu bukan hanya kaum intelektual, tetapi tokoh umat. Ejekan hingga hinaan dengan nada skeptis terus digaungkan. Mereka mencoba mengekor “intelektual” Barat sana, memuja sikap eksentrik dan anarkis seperti diamalkan Jacques Derrida dan yang semacamnya.
Citra dan persoalan intelektual dalam peradaban Barat sebenarnya tidak pernah dialami secara mirip dan sungguh-sungguh dalam peradaban Islam. Kadang kita melihat pemaksaan pengalaman Barat terhadap Islam. Jika di Barat terjadi ‘tragedi intelektual’ maka di dalam Islam pun “harus” terjadi yang demikian. Perbedaan cara pandang dan dasar-dasar falsafah kedua peradaban kerap diabaikan begitu saja. Apa yang dialami Barat sering dianggap universal dan kemudian diterapkan dengan paksa kepada Islam. Olah karena itu, tak heran jika kita menemukan sikap-sikap anti-otoritas tersebut bermunculan di beberapa kalangan kita yang malangnya mendaku diri sebagai cendekia.
Setelah membahas cukup rinci perkara intelektual di dunia Barat, Dr. Syam kemudian membahas bagaimana sebenarnya ulama dalam pandangan Islam. Tentu saja, sebagaimana dalam tradisi keilmuan Islam, pembahasan pertama disandarkan kepada al-Qur’an. Melalui tulisan ini kita dapat menimbang, siapa sebenarnya ulama yang dapat membimbing kita ke jalan yang benar. Berikut paragraf penutup yang cukup jelas dan lugas dari tulisan pembuka dalam buku ini:
Kendati lafaz ulama secara bahasa berarti orang berilmu, menurut Imam al-Ghazali, tidak semua orang berilmu layak menyandang gelar ulama. Hal ini karena, menurut beliau, keulamaan bukan semata-mata soal pengetahuan atau kepakaran, akan tetapi soal ketakwaan dan kedekatan pada Tuhan. Ulama sejati adalah mereka yang tidak hanya dalam dan luas ilmunya akan tetapi tinggi rasa takutnya kepada Allah
dan bersih dari bayangan palsu (ightirar alias ghurur) mengenai dirinya. Beliau menamakan orang-orang berilmu yang mengidap penyakit rohani ini sebagai “ulama busuk” (‘ulama’ as-su’), yang tidak hanya sia-sia ilmunya akan tetapi justru membahayakan diri mereka sendiri maupun orang lain. Di zaman Nabi Musa, peran ‘ulama’ su’ ini dimainkan oleh as-Samiri. Adapun di zaman kita sekarang, ‘ulama’ semacam ini cenderung nyeleneh, suka memutarbalikkan yang benar dan yang salah, menisbikan kebenaran dan kebaikan atas nama hak asasi manusia (HAM), konstitusi dan demokrasi, menganjurkan sekularisme dan pluralisme, membolehkan perilaku LGBT, dan sebagainya (halaman 23).
Dalam “Diabolisme Intelektual”, Ustadz asli Betawi ini menjelaskan tentang Diábolos (Iblis dalam bahasa Yunani kuno) yang mengetahui dan mengakui keesaan Allah Swt tetapi menolak melaksanakan perintah-Nya. Istilah “diabolisme” diartikan sebagai pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis atau pengabdian kepadanya. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan, tak pula meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Ia dikutuk karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Oleh karena itu pengetahuan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan. Kepercayaan harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah. Mengutip gurunya, Profesor Naquib al-Attas, Dr. Syam menulis: Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission.
Pada masa kini, banyak intelektual yang mengikuti gaya iblis ini. Ciri-cirinya ada tiga. Pertama, selalu membangkang dan membantah. Meskipun ia kenal, tahu dan paham, namun tidak pernah mau menerima kebenaran. Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Mereka menolak yang haq dan meremehkan orang lain. Orang-orang ini pula menuduh orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis dan konservatif. Sementara para pemikir liberal, relativistik dan skeptis, para peragu dan penolak kebenaran, disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan progresif. Ketiga, ialah mereka yang mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq).
Diabolisme pemikiran telah ada sejak lama dan al-Qur’an telah memberi petunjuk bagaimana menghadapinya. Berikut saran Ustadz Syam dalam menghadapi persoalan ini:
Al-Qur’an al-Karim pun telah mensinyalir: “Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah SWT tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka” (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan oleh Allah agar senantiasa menyadari bahwa “sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik” (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab (halaman 28).
Paparan singkat di atas rasanya cukup untuk menjelaskan kedudukan buku ini. Tantangan pemikiran melalui wacana-wacana urakan sedia diladeni dengan tegas namun tetap terukur daya ilmiahnya. Seperti sikap yang masyhur di kalangan pendekar Betawi “Ente jual, Ane beli!”. Namun tidak serta merta buku ini mengajak berhantam secara terbuka, tetapi lebih sebagai ajakan untuk merenung secara mendalam. Hujatan dan kebrutalan wacana terhadap Islam tentu perlu juga disikapi. Kehormatan umat Islam perlu dibela dengan saksama.
Sebuah resensi yang baik (seperti dianjurkan Pak Gorys Keraf) haruslah menampilkan ulasan buku secara objektif. Artinya bukan hanya kelebihan buku yang dipaparkan tetapi kelemahannya juga. Begitu kepercayaan para pengajar bahasa Indonesia. Islam dan Diabolisme Intelektual tentu memiliki kekurangan yang perlu juga disebutkan, agar rumusan Pak Gorys tetap abadi.
Pada awalnya saya hendak mengkritisi tata letak buku ini, tetapi rasanya tak perlu. Buku ini memang tampak tidak terlalu banyak “didandani” secara tampilan. Namun kesederhanaan rupa itu justru menunjukka
Dalam “Diabolisme Intelektual”, Ustadz asli Betawi ini menjelaskan tentang Diábolos (Iblis dalam bahasa Yunani kuno) yang mengetahui dan mengakui keesaan Allah Swt tetapi menolak melaksanakan perintah-Nya. Istilah “diabolisme” diartikan sebagai pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis atau pengabdian kepadanya. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan, tak pula meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Ia dikutuk karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Oleh karena itu pengetahuan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan. Kepercayaan harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah. Mengutip gurunya, Profesor Naquib al-Attas, Dr. Syam menulis: Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission.
Pada masa kini, banyak intelektual yang mengikuti gaya iblis ini. Ciri-cirinya ada tiga. Pertama, selalu membangkang dan membantah. Meskipun ia kenal, tahu dan paham, namun tidak pernah mau menerima kebenaran. Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Mereka menolak yang haq dan meremehkan orang lain. Orang-orang ini pula menuduh orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis dan konservatif. Sementara para pemikir liberal, relativistik dan skeptis, para peragu dan penolak kebenaran, disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan progresif. Ketiga, ialah mereka yang mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq).
Diabolisme pemikiran telah ada sejak lama dan al-Qur’an telah memberi petunjuk bagaimana menghadapinya. Berikut saran Ustadz Syam dalam menghadapi persoalan ini:
Al-Qur’an al-Karim pun telah mensinyalir: “Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah SWT tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka” (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan oleh Allah agar senantiasa menyadari bahwa “sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik” (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab (halaman 28).
Paparan singkat di atas rasanya cukup untuk menjelaskan kedudukan buku ini. Tantangan pemikiran melalui wacana-wacana urakan sedia diladeni dengan tegas namun tetap terukur daya ilmiahnya. Seperti sikap yang masyhur di kalangan pendekar Betawi “Ente jual, Ane beli!”. Namun tidak serta merta buku ini mengajak berhantam secara terbuka, tetapi lebih sebagai ajakan untuk merenung secara mendalam. Hujatan dan kebrutalan wacana terhadap Islam tentu perlu juga disikapi. Kehormatan umat Islam perlu dibela dengan saksama.
Sebuah resensi yang baik (seperti dianjurkan Pak Gorys Keraf) haruslah menampilkan ulasan buku secara objektif. Artinya bukan hanya kelebihan buku yang dipaparkan tetapi kelemahannya juga. Begitu kepercayaan para pengajar bahasa Indonesia. Islam dan Diabolisme Intelektual tentu memiliki kekurangan yang perlu juga disebutkan, agar rumusan Pak Gorys tetap abadi.
Pada awalnya saya hendak mengkritisi tata letak buku ini, tetapi rasanya tak perlu. Buku ini memang tampak tidak terlalu banyak “didandani” secara tampilan. Namun kesederhanaan rupa itu justru menunjukka