MUSTANIR ONLINE
3.21K subscribers
865 photos
163 videos
56 files
900 links
Sharing audio, tulisan karya Dr Adian Husaini, Dr Hamid Fahmy Zarkasyi serta pemikir muslim kontemporer lainnya.
Download Telegram
arena merupakan “nama agama”, maka sangatlah riskan jika nama itu diubah-ubah atau ditambah-tambah. Makna “Islam”, secara istilahan, juga disebutkan oleh Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba’in al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: “Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah — jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim).

Jika mengacu pada kisah sukses dakwah Islam Wali Songo, maka para Wali Songo itu pun tidak menggunakan istilah “Islam Jawa” atau “Islam Nusantara” agar Islam diterima oleh masyarakat luas. Sebab, para Wali itu mengembangkan Islam, bukan Islam Arab, Islam India, Islam Turki, atau Islam Persia. Para Wali itu tidak menolak budaya lokal begitu saja, tetapi kadangkala mengubah budaya itu agar sejalan dengan nilai-nilai Islam, seperti budaya selametan, dan sejenisnya. Masjid Menara Kudus yang arsitekturnya mirip dengan pura Hindu masih bisa kita saksikan saat ini. Sunan Kudus pun meminta umat Islam tidak menyembelih sapi untuk qurban, diganti kerbau. Hingga kini, tradisi itu masih dipegang oleh sebagian umat Islam.

Kisah suksesnya dakwah para Wali Songo bukan dilakukan dengan berwacana tentang “Islam Nusantara” atau “Islam Arab”, tetapi dilakukan dengan strategi dan rencana yang matang, kesungguhan, keikhlasan, dan keteladanan akhlak mulia. Maka, terlepas dari “pro-kontra istilah Islam Nusantara”, ada satu tugas besar dari para cendekiawan Muslim Nusantara untuk menggali dan mengaktualkan kembali khazanah Islam di Nusantara.” Tujuannya agar Islam tidak diposisikan sebagai “barang asing” di Indonesia, sehingga masyarakat Nusantara dihasut untuk menjauhi Islam, karena dianggap budaya asing yang tidak cocok dengan budaya Nusantara.

Khazanah Nusantara

Saya sempat mengambil mata kuliah “Reading in Malay Metaphysical Literature” di ISTAC, tahun 2004. Ketika itu profesornya meminta mahasiswa membaca Kitab Hujjah al-Shadiq li-Daf’i al-Zindiq, karya Syekh Nuruddin al-Raniri, yang ditulis dalam bahasa Melayu tulisan Arab Melayu/Jawi. Ada juga mahasiswa dari Turki yang mengambil mata kuliah itu. Ketika itulah saya merasa bersyukur, bahwa sejak kecil sudah terbiasa dengan tradisi membaca Arab Melayu (Pegon), baik di Madrasah Diniyah maupun di Pesantren Salafiyyah.

Beberapa tahun kemudian, saya semakin banyak berinteraksi dengan pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang sejarah dan peradaban Islam Melayu-Nusantara ini. Buku klasik Prof. al-Attas adalah Islam dalam Sejarah Kebudayaan Budaya Melayu yang sudah diterbitkan di Indonesia tahun awal 1990-an.

Puncaknya, tahun 2013, Prof. al-Attas menerbitkan beliau Historical Fact and Fiction,yang memberikan perspektif dan fakta yang kuat tentang sejarah keagungan peradaban Melayu Islam itu. Perspektif (worldview) inilah yang sangat menentukan produk kajian tentang khazanah Islam di Nusantara. Jika menggunakan perspektif orientalis yang mengecilkan peranan Islam dalam sejarah Nusantara, maka akan lahirlah ilmuwan-ilmuwan yang justru tidak bangga dengan keagungan sejarah Islam Melayu itu sendiri.

Sebutlah contoh pemikiran Nuruddin al-Raniri (w. 1658) dalam kitabnya, Durrul Fara’id fi-Bahtsil Aqa’id, yang sangat mengkritisi pemikiran sofisme (sufasthaiyyah). Berdasarkan naskah yang dilatinkan oleh Prof. Wan Mohd Nor dan Dr. Khalif Muammar, Syekh Nuruddin al-Raniri menulis:

“Kata segala orang yang beriktikad sebenarnya: hakikat segala sesuatu itu teguh jua, ertinya kebenaran segala sesuatu itu tetap dan teguh jua adanya,dan pada pengetahuan akan dia sebenarnya, ertinya kita iktikadkan bahawa segala yang dilihat seperti langit dan bumi dan barang yang dalam keduanya itu iaitu jua pada penglihatan dan pada pengetahuan demikianlah sama jua pada iktikad…. Adapun pada i‘tiqad Sufasta’iyyah bersalahan dengan demikian itu, tetapi kata mereka itu cita–cita dan wahm dan khayal sia-sia jua. Dan lagi pula katanya se
gala suatu itu mengikut pada i‘tiqad jika di i‘tiqadkan pada suatu itu kekal maka iaitu kekal jua dan jika di i‘tiqadkan baharu maka baharu jua. Dan lagi pula katanya segala suatu itu dalam syak jua dan yang syak itu tiada berputusan ertinya segala suatu itu bukannya iaitu. Demikianlah i‘tiqad Sufasta’iyyah yang amat sesat itu”.

Begitu tinggi pemikiran Nuruddin al-Raniri tentang aqidah dan pemikiran Islam. Di abad ke-17 sudah lahir pemikir di Nusantara yang mengkritisi paham sofisme, satu filsafat pre-Socratic yang disebut Prof. Wan Mohd Nor sebagai “golongan anti-ilmu”. Jika sekarang banyak yang mengaku mencintai khazanah Islam di Nusantara, tetapi justru mengembangkan pemikiran sofisme yang juga merupakan gagasan relativisme kebenaran dan nilai-nilai akhlak, maka jelas itu salah ajar dan salah pikir.

Misalnya, gagasan bahwa “semua tafsir al-Quran itu bersifat relatif” karena merupakan produk akal manusia. Padahal, ada produk akal yang tidak relatif. Penafsiran ayat-ayat al-Quran yang bersifat qath’iy (tsubut dan dalalahnya), tidak bersifat relatif. Kata ‘khinzir’misalnya, pasti ditafsirkan ‘babi’. Jika ada yang menafsirkan ‘khinzir’ dengan ‘jengkol’, pasti salah secara mutlak! Para penggagas ide ‘Islam Nusantara’ pasti manusia yang berakal. Itu pasti. Mutlak pula kebenarannya. Jika ada manusia yang mengatakan, para penggagas ‘Islam Nusantara’ adalah manusia-manusia tidak berakal, pasti salah secara mutlak!

Juga, adalah hal yang aneh, jika kajian tentang khazanah Islam di Nusantara berujung kepada kebencian pada penerapan syariat Islam. Padahal, siapa yang menolak syariat Islam, maka tidak ada iman dalam dirinya. KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, menulis: ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.”

Karena itu, kita berharap pengembangan gagasan “Islam Nusantara” tidak menjadi kontra-produktif, yakni menjadikan banyak kaum Muslim menjadi tidak tertarik untuk mengkaji khazanah Islam di Nusantara, karena sudah curiga dengan istilah “Islam Nusantara” yang memang sebagian dipromosikan oleh kaum liberal dan kaum Syiah di Indonesia. Saya pun berharap, campur tangan birokrasi dalam pengembangan penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara ini dilakukan dengan keikhlasan, bukan karena memanfaatkan uang rakyat untuk memperkosa teks-teks khazanah Islam Nusantara, disesuaikan dengan hawa nafsu liberalisme.

Yang penting, kajian atau penelitian tentang khazanah Islam di Nusantara itu dilakukan dengan niat ikhlas dan kejujuran untuk memajukan dakwah Islam di Nusantara. Jika tidak disertai niat ikhlas, khawatir uang yang diambil dari hak rakyat itu tidak akan menjadi berkah; bahkan bisa menjadi musibah; menimbulkan permusuhan antar-sesama, menyuburkan sifat serakah harta dan jabatan, dan menjauhkan diri dan keluarga dari kedamaian dan kebahagiaan. Kata Imam al-Ghazali, hubbud dunya ra’su kulli khathi’atin(cinta dunia itu pangkal segala kerusakan).

Prof. Azyumardi Azra menulis bahwa, “Ortodoksi Islam Nusantara” sederhananya memiliki tiga unsur utama. Pertama, kalam (teologi) Asy’ariyah; kedua, fikih Syafii meski menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga, tasawuf al-Ghazali. (Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih sampai Konsep Historis, 2015, hlm. 172).

Benarkah “Islam Nusantara” yang selama ini dan akan dikembangkan, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam, adalah bersumber pada ajaran Asy’ariyah, Fiqih Syafii dan Tasawwuf Imam al-Ghazali, seperti ditulis oleh Prof. Azyumardi Azra?

Sejarah membuktikan, bahwa selama ini, UIN/IAIN sangat mengagungkan pemikiran Prof. Harun Nasution, yang berusaha menggusur kalam Asy’ari. Dalam pengantarnya untuk buku Studi Islam: Dinamika Baru, Prof. Virginia Hooker dari Australian National University mencatat: “Almarhum Prof. Dr. Harun Nasution (1919-1998) saat ini diakui dan dihormati sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di bidang penelitian Islam di Indonesia. Beliau diberi kredit sebagai sarjana yang ‘memperkenal
kan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal’. Pemikiran Nasution tentang Islam sebagai agama yang dinamik dikandung dalam buku yang bersangkutan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977). Buku ini merintis jalan untuk penelitian Islam secara ‘akademik’ lewat metode yang dipakai oleh penelitian ilmu sosial pada umumnya.”

Padahal, dalam buku “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution” (Jakarta : LSAF, 1989), disebutkan, ungkapan Harun Nasution: ”Sejak itu harapanku cuma satu: pemikiran Asy’ariyah mesti diganti dengan pemikiran-pemikiran Muktazilah, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Atau dalam istilah sekarang, metodologi rasional Muktazilah. Sebaliknya, metodologi tradisional Asy’ariyah harus diganti…”.

Jika mengikuti tradisi Kalam Asy’ari, Fiqih Syafii dan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak akan lahir pemikiran-pemikiran yang mempromosikan paham syirik Pluralisme Agama dan menolak syariat Islam. Jika mengamalkan Tasawuf al-Ghazali, maka tidak ada rebutan jabatan rektor dan dekan di kampus-kampus Islam. Sebab, jabatan itu amanah yang berat, dunia-akhirat.

Karena itu, apa pun kondisinya, kita berharap, ada pengembangan keilmuan Islam yang serius di kampus-kampus Islam, untuk membangun tradisi ilmu yang sehat, yang mendorong para dosen dan mahasiswa semakin dekat dan semakin beradab kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 1 September 2015).*
-------
Untuk versi pdf silahkan download via link berikut:
https://www.dropbox.com/s/v3pu5i23i7fie2n/KHASANAH%20ISLAM%20DI%20NUSANTARA.pdf?dl=0
PROMO BUKU-BUKU TERBAIK KARYA BUYA HAMKA.

- 1001 Soal Kehidupan Rp. 115.000,-
- Pandangan Hidup Muslim Rp. 65.000,-
- Kesepaduan Ilmu dan Amal Saleh Rp. 50.000,-
- Dari Hati ke Hati Rp. 65.000,-
- Dari Lembah Cita-Cita Rp. 43.000,-
- Tafsir Al Azhar Juz Amma Rp. 130.000,-
- Bohong Di Dunia Rp. 43.000,-
- Ghirah: Cemburu Karena Allah 38.000,-
- Sejarah Umat Islam Rp. 230.000,-
- Angkatan Baru Rp. 37.000,-
- Buya Hamka Berbicara Perempuan Rp. 45.000,-
- Pribadi Hebat Rp. 45.000,-
- Keadilan Sosial dalam Islam Rp. 50.000,-
- Falsafah Ketuhanan Rp. 55.000,-

Pemesanan silahkan SMS/Whatsapp ke 087878147997.
-Admin-
Assalamu'alaikum wrwb.
Kepada segenap kaum Muslimin Indonesia. Menyambut 100 tahun Indonesia, 2045, kita punya waktu 28 tahun untuk mewujudkan cita-cita mulia; memperkasa negara kita, Indonesia -- negeri muslim terbesar --menjadi negara adidaya. Kebangkitan satu bangsa mustilah diawali dari bangkitnya budaya ilmu, untuk membentuk generasi unggul. Itu artinya kita harus berani melakukan perubahan yang berarti dalam Pendidikan kita. Itulah reformasi institusi dan sistem Pendidikan. Mulai diri, keluarga, masjid, sekolah, pesantren, dan kampus kita. Sekaranglah saatnya! Jangan tunda lagi! Allahu Akbar! Merdeka!
Selamat membaca buku REFORMASI PENDIDIKAN menuju NEGARA ADIDAYA 2045 ini. Semoga bersabar dan meraih hikmah. Wassalamu'alaikum wrwb.
Depok, 17 Agustus 2017.
(Dr Adian Husaini).

http://www.ponpes-attaqwa.com/reformasi-pendidikan-menuju-negara-adidaya-2045/
MENJADI GURU BERADAB
Oleh: Dr. Adian Husaini

Dalam pandangan Islam, guru adalah ilmuwan dan muaddib (pendidik), karena tugas guru memang menanamkan adab dan berbagi ilmu. Dunia pendidikan sudah maklum, bahwa sukses dan gagalnya pendidikan bergantung kepada kualitas guru. Sebuah mahfudhat yang terkenal menyatakan: ‘... wal-ustādzu ahammu min al-tharīqah, wa rūhul ustadz ahammu min al-ustadz.” (... guru lebih penting daripada metode; dan jiwa guru lebih penting dari pada guru itu sendiri).
Ungkapan tersebut menekankan, bahwa perbaikan pendidikan memang harus dimulai dari perbaikan jiwa guru, yakni dari pola pikir dan amaliahnya. Dan itu harus dimulai dari pendidikan guru yang benar. Tidak mengherankan, jika para ulama begitu banyak menulis kitab tentang guru dan bagaimana menjadi guru yang baik. Salah satu ulama yang memberikan perhatian dalam masalah konsep adab yang memuat juga tentang adab guru adalah Ibn Jama’ah.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah bin Ali bin Jama’ah bin Hazim bin Shakhr, lahir di Ham‘ah tahun 639 H). Kitab beliau yang terkenal adalah “Tadzikrah al-Sami’ wa al-Mutakkalim Fî Adab al-‘Ilm wa al-Muta’allim”. Berikut ini adalah petikan adab ilmuwan (guru) yang diringkas oleh Dr. Akhmad Alim (seorang ulama muda dan dosen Universitas Ibn Khaldun Bogor) dari Kitab Ibnu Jamaah tersebut:

(a) Adab Ilmuwan Terhadap Dirinya Sendiri (Adab al-‘Alim fī Nafsihī)

Seorang ilmuwan harus syarat dengan adab. Tanpa adab, dirinya akan terjatuh dalam celaan, dan ilmu yang ada pada dirinya tidak membawa manfaat. Oleh karena itu, adab merupakan hal yang amat penting yang harus diperhatikan oleh setiap ilmuwan, agar ilmu yang dimilikinya menjadi penghias kebaikan, dan teladan bagi kehidupan. Adab ini secara keseluruhan akan menjadi pilar, yang mengantarkan ilmuwan ke dalam derajat keagungan, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah dalam QS.Al-Mujadilah : 11

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah mengangkat orang beriman dan berilmu beberapa derajat di antaramu beberapa derajat…” (Q.S. Al-Mujadalah : 11)

Dalam Kitab Tadzkirah Al-Sami’ Wa Al-Mutakallim disebutkan bahwa ada dua belas butir adab personal yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan, sehingga dengan adab tersebut akan lahir dari setiap ilmuan kepribadian yang patut untuk dicontoh dan dijadikan teladan dalam kehidupan. Adab tersebut adalah sebagaimana berikut :

1. Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan merasa diawasi oleh-Nya (muraqabatullah), baik ketika sendirian, maupun di keramaian. Dengan demikian, akhlaknya akan tetap terjaga, baik lisannya, perbuatannya, pemikirannya, dan pemahamannya, serta amanah keilmuaannya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal : 27)

Ayat ini ditafsirkan oleh Ibn Jama’ah, bahwa dengan muraqabatullah seorang ilmuan tidak akan berperilaku khianat atas ilmu yang diamanahkan kepadanya, karena khianat ilmu berarti sama dengan menghianati Allah dan Rasul-Nya. Ibn Jama’ah berdalil bahwa ilmuan (ulama) adalah pewaris para Nabi dan Rasul, “para ulama adalah pewaris Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.“ (HR. Tirmizi).
2. Hendaknya setiap ilmuan memelihara ilmunya, sebagaimana para ulama salaf memeliharanya. Artinya, ia senantiasa menjaga ilmunya agar tidak jatuh ke dalam-hal yang rendah dan hina. Seperti menukar ilmu dengan segala hal yang sifatnya materi duniawi, sehingga dirinya terhalang dalam menyampaikan kebenaran, karena kebenaran yang ada pada ilmunya telah tergadaikan dengan dunia.
3. Hendaknya setiap ilmuan berperilaku zuhud dalam urusan duniawi. Artinya, dirinya tidak menggantungkan ilmunya pada kepentingan duniawi. Dunia ha
nya sebagai sarana penunjang keilmuannya, bukan tujuan akhir dalam kehidupannya.
4. Hendaknya setiap ilmuan tidak menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan duniawi, berupa jabatan, kekayaan, popularitas, atau untuk bersaing dengan orang lain. Dengan demikian, dirinya akan terhindar dari sifat tamak terhadap dunia, yang semua itu akan menjatuhkannya dalam kehinaan.
5. Hendaknya setiap ilmuan menghindari segala profesi, atau tempat-tempat yang secara syari’at dan adat dipandang kurang bermartabat. Hal itu, untuk menghindari praduga-praduga negatif yang menjatuhkan martabat (muru’ah) ilmuan.
6. Hendaknya setiap ilmuan menjaga syi’ar-syi’ar keislaman. Seperti melazimkan shalat secara berjama’ah di masjid, menyebarkan salam, beramar ma’ruf nahi munkar, sabar dan santun dalam bersikap. Demikian juga termasuk bagian syi’ar adalah berpegang teguh terhadap sunnah dalam bersikap, dan menjauhi segala macam bid’ah. Semua itu, akan melahirkan citra posisif terhadap diri ilmuan dan ilmu yang diembannya.
7. Hendaknya setiap ilmuan menjaga amalan-amalan sunah, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan. Seperti, rutinitas membaca Al-Qur’an beserta renungan maknanya, menjaga shalat-shalat sunat, puasa-puasa sunat, qiyamul lail, berdzikir, bershalawat, bertasbih. Demikian itu akan menambah kekuatan ruhani pada diri ilmuwan, sehingga teguh pendiriannya dalam mengemban amanah ilmunya.
8. Hendaknya setiap ilmuan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap masyarakat, memperlakukan mereka dengan akhlak yang mulia. Seperti, berwajah ceria saat berjumpa orang lain, menyebarkan salam, peduli sosial, membatu orang yang sedang kesusahan, pandai berterimakasih, membela orang yang tertindas, lemah lembut terhadap fakir miskin, dan bekerjasama dalam kebajikan.
9. Hendaknya setiap ilmuan mensucikan dirinya dari segala bentuk akhlak tercela, dan menghiasi dirinya dengan akhlak terpuji, baik lahir maupun batin. Oleh karenanya seorang ilmuan harus mengosongkan dirinya dari sifat iri hati, pemarah, menipu, takabur, pamer, mencari popularitas (sum’ah), persaingan duniawi, dusta, kikir. Kemudian mengisi dirinya dengan sifat qana’ah, pemaaf, jujur, tawadhu’, ikhlas, sidiq, amanah, dermawan.
10. Hendaknya setiap ilmuan rajin menambah wawasan keilmuannya, dengan cara memperbanyak membaca, menghapal, menganalisa, mengkaji masalah, meneliti, dan menuangkannya dalam bentuk karya ilmiyah. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Imam Syafii, dimana menurut salah satu muridnya yang bernama Ar-Rabi’, bahwa Imam Syafii jarang makan pada siang harinya, dan jarang tidur pada malam harinya, karena disibukkan dengan mengkaji banyak masalah-masalah keilmuan dan membukukannya.
11. Hendaknya setiap ilmuan tidak segan untuk belajar kepada orang yang berada di bawahnya, baik secara usia, kedudukan, maupun nasab. Hal itu dikarenakan, ilmu dan hikmah adalah barang yang hilang dari dari tangan orang mukmin, yang harus diraih kembali kepangkuannya.
12. Hendaknya setiap ilmuan memiliki keahlian dalam dunia tulis menulis, khususnya dalam bidang yang ditekuninya. Hal itu dimaksudkan sebagai wahana untuk menyalurkan ilmunya di tengah-tengah masyarakat luas, dan pengembangan dunia akademik.
-BERSAMBUNG-
Jika kita setuju bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman, maka logis jika dikatakan bahwa siapapun yang korupsi dengan cara apapun seperti mempermudah kepentingan asing untuk keuntungan pribadi dan kelompok; melakukan kebijakan demi kepentingan golongan/partai/kelompok/organisasi sendiri dan mengesampingkan kepentingan golongan / partai / kelompok / organisasi orang lain setanah air; membuka keburukan orang-orang setanah air kepada orang asing, maka ia itu tergolong lemah imannya dan tidak benar-benar mencintai tanah airnya.
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-
HARGA PROMO!
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000,- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-)

Paket Ensiklopedia Anak Muslim ini akan membantu anak-anak mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan nikmat yang Allah karuniakan. Selain itu, juga membimbing mereka untuk menjadi anak saleh yang dirindukan surga.

Ensiklopedia Anak Muslim ini terdiri dari 12 Jilid, yaitu:
-AIR, karunia Allah
-BUMI, Amanah Allah
-ALLAH SEMESTA, Kebesaran Allah
-PAHLAWANKU, Berani Karena Benar
-IMAN, Mengantarmu Menuju SUrga
-HEWAN, Pesona Fauna Ciptaan Allah
-TUBUHKU, Anugerah Ciptaan Allah
-TRANSPORTASI & TEKNOLOGI, Kemudahan bagi Manusia
-MAKANNAN, Rezeki dari Allah
-ISLAM, Rahmat tak Terhingga dari Allah
-KESEHATAN, Nikmat dari Allah
------------------------------------

HARGA PROMO!
ENSIKLOPEDIA ANAK MUSLIM
(DISKON 15%. Dari harga Rp. 1.140.000,- menjadi Rp. 969.000,-. Hemat Rp. 171.000,-).

Pemesanan silahlan SMS/whatsapp ke 087878147997.

Syukran....
BELAJAR ADAB DARI KISAH LUQMAN
Oleh: Dr. Adian Husaini

Pada bulan Mei 2015, saya sempat mengadakan lawatan ke berbagai kota di Jawa dan mengisi ceramah serta diskusi di berbagai tempat. Salah satunya, pada 4 Mei 2015, pukul 19.30-21.30, saya mendapat kesempatan mengisi ceramah umum di Masjid Jogokaryan, Yogyakarta. Masjid ini sangat terkenal dengan manajerialnya yang mampu secara optimal memakmurkan masjid.

Tema ceramah malam itu tentang Pendidikan Keluarga. Sebagaimana dalam berbagai kesempatan, kesempatan itu saya gunakan kembali untuk menekankan pentingnya peran orang tua sebagai pendidik, sebagai guru yang utama bagi anak-anaknya. Juga, keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Abbas r.a. bahwa makna QS at-Tahrim ayat 6, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, adalah “addibūhum wa ‘allimūhum!”. Didiklah dirimu dan keluargamu agar menjadi manusia yang beradab dan berilmu. Jadi, “adab” dan “ilmu” adalah dua kata kunci dalam keselamatan kita dan keluarga kita dari api neraka.

Dikutip dalam Kitab Adabul Alim wal-Muta’allim, karya KH Hasyim Asy’ari, bahwa Imam asy-Syafii – rahimahullah – menyatakan, beliau mengejar adab seperti seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang. Begitu pentingnya masalah “adab” ini sehingga menjadi landasan penting keselamatan kita di dunia dan akhirat.

Tentulah kita bertanya, apakah dunia pendidikan kita – mulai keluarga, sekolah, pesantren, madrasah, perguruan tinggi, dan sebagainya – sudah menekankan masalah adab ini? Adab adalah “pandangan dan sikap yang betul” terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah. Prof. Naquib al-Attas menyebut adab sebagai “right action”. Dalam bahasa kita, adab bisa dimaknai sebagai “sopan santun Islami”. Orang beradab tahu kedudukan dirinya sehingga bisa meletakkan dirinya dengan tepat dalam tatanan wujud di alam ini.
Al-Quran memberikan contoh keteladanan Luqman al-Hakim sebagai teladan dalam mendidik anaknya sebagaimana disebutkan dalam QS Luqman:12-19, yang artinya sebagai berikut:
(12). Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendirifile://localhost/C:/Users/encangirul/Documents/Islamic%20Corner/Tafsir%20Al%20Qur'an%20(baru) - _ftn3_4924; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.”
(13). Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
(14). Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.
(15). Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanyafile://localhost/C:/Users/encangirul/Documents/Islamic%20Corner/Tafsir%20Al%20Qur'an%20(baru) - _ftn15_4924, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(16). (Luqman berkata), "Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Mahateliti.
(17). Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.
(18). Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggaka
n diri.
(19). Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
****
Luqman al-Hakim telah mendapatkan hikmah dari Allah, yang dengan itu, ia bisa menerapkan pendidikan yang tepat pada anaknya. Sebab, menurut konsep Prof. Naquib al-Attas, adab memang datang dari hikmah; bukan datang dari sekolah atau kampus.

Nasehat-nasehat Luqman al-Hakim yang memberikan pelajaran berharga tentang adab ini, dimulai dari adab kepada Allah SWT: “Wahai anakku, jangan menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar!”
Sekali lagi, kita renungkan, “syirik adalah kezaliman yang besar!” Syirik itu zalim kepada Allah. Syirik itu biadab kepada Allah. Syirik adalah bentuk ‘kekurangajaran’ yang luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Syirik disebut zalim karena tidak “meletakkan” Allah pada tempatnya, sebagai al-Khaliq.

Syirik itu hakekatnya merendahkan martabat Allah, karena disetarakan dengan makhluk. Karena itu, riya’ disebut sebagai “syirik kecil” karena mempersembahkan amal perbuatan kepada makhluk; mengharapkan pujian dari makhluk; bukan mengharap pujian dan ridha dari al-Khaliq, Allah SWT.

Syirik itu juga pada hakekatnya merupakan tindak korupsi; karena merampas hak Allah SWT, sebagai Dzat Satu-satunya yang berhak disembah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bertanya kepada Muadz bin Jabal: “Tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya ?” Mu’adz berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Lalu, Nabi bersabda, (yaitu)“hendaknya mereka beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga…” (HR Bukhari dan Muslim).

Cobalah kita bedah hati kita masing-masing. Masih adakah terbersit noda-noda syirik itu? Astaghfirullah… Mungkin akan kita jumpai betapa mudahnya noda-noda syirik kecil itu bersemayam dalam hati kita. “Jangan syirik, anakku! Jangan sekutukan Allah dengan apa pun!” Itulah nasehat Luqman. Begitu dalam makna nasehat Luqman itu. Inilah adab tertinggi kepada Allah: tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga!
-BERSAMBUNG-
BELAJAR ADAB DARI KISAH LUQMAN
(bagian 2-habis)
Oleh: Dr. Adian Husaini

Kini, tengoklah apa yang terjadi di sekitar kita. Pemerintah dan banyak kalangan orang cerdik pandai berbicara tentang korupsi, membenci dan mengecam korupsi. Mereka bicara tentang kemanusiaan; tentang kezaliman pada sesama manusia. Korupsi adalah bentuk kezaliman kepada rakyat, karena hak rakyat atas hartanya dirampas oleh penyelenggara negara.
Korupsi harta itu zalim, dan harus dijatuhi sanksi yang berat, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. Menzalimi sesama manusia pun merupakan tindakan kejahatan. Pelakunya akan dikejar pertanggungjawaban, sampai ke akhirat. Jika urusannya tidak tuntas di dunia, maka orang yang terzalimi akan mendapatkan limpahan pahala dari pihak yang menzalimi.

Tetapi, yang aneh, banyak orang enggan bicara tentang korupsi dalam bentuk kemusyrikan, yang sejatinya merupakan bentuk kezaliman kepada Allah SWT. Orang musyrik telah merampas hak Allah, sebagai satu-satunya Dzat Yang berhak disembah, ditaati aturan-aturan-Nya, dan yang paling berhak untuk dicintai melebihi apa pun (QS at-Taubah:24). Maka, pada hakikatnya, sungguh aneh, jika manusia dikecam karena merampas hak sesama manusia, tetapi justru dibiarkan untuk merampas hak Tuhan, dan difasilitasi untuk menyebarkan paham-paham yang melecehkan kedudukan Tuhan.

“Katakanlah: jika ayah-ayahmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-
istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, semua itu lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS at-Taubah:24).

Itulah adab kepada Allah! Meletakkan kecintaan kepada makhluk lebih tinggi saja di atas kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, itu sudah mendapatkan ancaman serius dari Allah. Sebab, itu tindakan yang tidak pantas. Bagaimana mungkin, manusia yang tidak punya apa-apa, lalu merasa memiliki dirinya, dan merasa leluasa menggunakan apa pun miliknya sesuai kehendak hawa nafsunya. Di zaman ini, kita bisa dengan mudah menjumpai manusia-manusia yang tidak punya adab kepada Tuhan-nya dan bahkan berani menantang Tuhan Yang Maha Esa.

Allah SWT telah mengharamkan tindakan zina. Lalu, manusia-manusia modern ini berani menantang Tuhan dengan menyatakan, bahwa zina adalah hak asasi manusia; bahwa zina bukan kejahatan! Bahkan, sebagian penguasa kemudian berencana melegalkan praktik perzinahan dengan memberikan sertifikat kepada para pelacur. Allah SWT mengharamkan khamr. Lalu, datang manusia-manusia yang sok pintar berkata, “Khamr itu masih diperlukan untuk menambah pendapatan Negara!” Allah SWT memerintahkan, tutuplah aurat! Tetapi, ada diantara manusia yang kemudian berani menantang Tuhan dengan sengaja mengumbar aurat. Sebagian lagi sengaja menggelar kontes dan tari-tari telanjang. Katanya, itu demi peraturan. Katanya lagi, itu demi seni. Na’udzubillah.
Jadi, betapa dalamnya makna nasehat Luqman pada anaknya, “Jangan syirik kepada Allah, sebab syirik itu kezaliman yang besar!”
Inilah adab yang pertama kali harus ditanamkan – bukan sekedar diajarkan – kepada diri dan keluarga kita. Yakni, adab kepada Allah SWT.

Setelah itu, Luqman menasehati anaknya agar beradab kepada orang tua, khususnya kepada Ibu-nya. Di era modern kini, memiliki anak yang beradab kepada orang tua, sangatlah tinggi nilainya. Di sini diperlukan kesungguhan orang tua untuk menjadikan dirinya sebagai “guru terbaik”, teladan terbaik, bagi anaknya. Maka, wajiblah orang tua memahami masalah adab dan ilmu, agar bisa melaksanakan kewajiban mendidik keluarganya dengan baik.

Kita menyaksikan, tidak sedikit orang tua yang tidak paham akan kewajiban pendidikan keluarga ini. Ia menyangka, setelah selesai kuliah, lalu menikah dan punya keturunan, kewajibannya hanyalah mencari uang untuk menyekolahkan sampai mengkuliahkan anak-anaknya. Padahal, tugas utama pendidikan anak itu ada pada dirinya. Fenomena menja
murnya majelis taklim Ibu-ibu patut kita syukuri. Tetapi, jangan dilupakan, ayah tetap sebagai penanggung jawab utama pendidikan keluarga.

Sungguh memilukan, bahwa dalam kurikulum sekolah kita, mulai TK sampai Perguruan Tinggi, tidak ada materi ajar atau materi kuliah tentang bagaimana menjadi orang tua yang baik; yakni orang tua yang mampu berperan sebagai pendidik (muaddib), yang memahami tentang adab dan mampu menanamkan adab dalam diri dan keluarganya.

Padahal, menurut Ibnu Mubarak – seorang ulama besar , lihat http://www.nfbslembang.com/?q=node/161 -- porsi adab dalam agama Islam adalah dua pertiganya. Kata beliau: “kaada al-adabu yakuunu tsulutsay al-diini.” Beliau mempelajari adab selama 30 tahun, lalu belajar ilmu selama 20 tahun. (Tentang adab bisa dilihat dalam artikel berikut ini: http://www.hisbah.net/perhatikan-adab-sebelum-belajar-ilmu/).

Mengingat begitu pentingnya masalah adab dalam Islam, sungguh aneh jika orang tua tidak memahami masalah adab. Padahal, di akhirat nanti anak-anak akan menuntut orang tuanya jika ia tidak dididik dengan adab selama di dunia. Penanaman adab adalah hal yang mendasar dalam ajaran Islam. Dan itu menjadi tanggung jawab orang tua. Karena itu, ketika seorang laki-laki menerima akad nikah, sesungguhnya ia telah menerima tanggung jawab yang sangat berat (mitsaaqan ghaliidha).
Jika orang tua beradab dan berilmu, maka mereka punya modal kuat untuk mendidik anak-anaknya. Sebaik-baik cara menanamkan adab adalah dengan keteladanan dan pembudayaan suatu nilai-nilai kebaikan. Anak akan lebih mudah memahami adab jika ada contoh dari orang tuanya.

Setelah adab kepada orang tua, maka adab berikutnya yang ditanamkan oleh Luqman kepada anaknya adalah kesadaran Ihsan. Bahwasanya, Allah senantiasa mengawasi dirinya, dimana pun berada. Sekecil apa pun suatu benda, dan di tempat gelap sekali pun, seperti dalam goa, Allah pasti mengetahui. Menanamkan kesadaran Ihsan ini perlu dilakukan terus-menerus, di setiap momentum. Sangatlah baik jika seluruh angggota keluarga secara berkala memiliki kesempatan untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah pendidikan bagi semua.

Yang menarik, pada QS Luqman ayat 17, Luqman mendidik anaknya agar menegakkan shalat dan menyiapkan anaknya menjadi pejuang dakwah, yang senantiasa melaksanakan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Kesadaran akan tanggung jawab, dan keberanian, serta kesanggupan untuk mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar ini mengisyaratkan pentingnya anak-anak disiapkan dengan berbagai bekal, khususnya kekuatan ilmu dan kekuatan fisiknya. Anak-anak muslim wajib memiliki ilmu dan fisik yang mumpuni, sehingga mereka mampu mengemban perjuangan dakwah dengan baik; lebih baik dari generasi orang tuanya.

Dalam QS al-Anfal ayat 65, Nabi Muhammad saw diperintahkan menyiapkan orang-orang mukmin untuk senantiasa siap berperang. Idealnya, kekuatan seorang muslim setara dengan 10 orang kafir. Dalam sejarah telah terbukti, bagaimana dahsyatnya generasi terbaik yang dihasilkan dari pendidikan Nabi saw. Mereka merupakan generasi terbaik yang disegani umat manusia ketika itu. Kecintaan mereka kepada Allah, kepada Rasul-Nya, mengantarkan mereka menjadi generasi yang sangat mencintai ilmu dan pengorbanan. Itulah kunci kebangkitan suatu bangsa atau peradaban.

Sebagai aplikasi dari QS Luqman ayat 17 ini, sepatutnya, di masa kini, orang tua memahami potensi anak-anaknya dan mengarahkan mereka agar menjadi para pejuang di berbagai lapangan kehidupan. Terlebih, saat mereka akan memasuki bangku kuliah, perlu diberikan pemahaman, ilmu-ilmu dan peran apa yang dapat mereka lakukan dalam dakwah di masa kini dan masa mendatang.

Silakan memilih jurusan atau program studi yang diminati, tetapi pertimbangan utama adalah agar bisa melakukan dakwah dengan baik, melalui bidang studi dan keilmuan yang ditekuninya itu. Niat mencari ilmu haruslah benar, agar meraih ilmu yang bermanfaat.

Jika niatnya salah, terutama untuk mengeruk keuntungan materi, maka jangan salahkan, jika dari kampus-kampus kita, bisa bermunculan manusia-manusia serakah yang kecintaannya kepada ha
rta dan jabatan sangat berlebihan. Apalagi, jika para pengajar di kampus tidak bisa menjadi teladan kehidupan yang mulia bagi para mahasiswanya. Niat yang salah, ketemu guru dan sistem yang rusak, akan sempurnalah kerusakannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang berilmu namun Allah tidak menjadikan ilmunya bermanfaat bagi dirinya.” (HR Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi)

Di sinilah kita memahami, betapa beratnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan keluarga. Masuk sorga dan terhindar dari siksa neraka memang perjuangan berat; bukan pekerjaan sambilan. Iblis dan setan-setan pun bekerja keras untuk bisa menyesatkan manusia. Setan-setan dari kalangan manusia belajar sampai ke tingkat tertinggi agar bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Setan pun kerja keras, sehingga tampak begitu banyak keanehan dalam kehidupan. Betapa banyak orang mau masuk neraka rela membayar sampai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah memasukkan perjuangan melawan tipu daya setan, sebagai salah satu bentuk jihad fi-sabilillah.
Terakhir, pada QS Luqman ayat 18-19, dalam pendidikan adab kepada anaknya, Luqman mengajarkan anaknya untuk memiliki adab yang baik kepada sesama manusia. Anak perlu dididik adab, juga sopan-santun kepada sesama; jangan sombong, jangan angkuh pada sesama.

Itulah serangkaian pendidikan adab yang menjadi tanggung jawab orang tua, sebagaimana dicontohkan oleh Luqman al-Hakim. Luqman telah mendapatkan hikmah dari Allah, sehingga menjadikan dirinya sebagai orang beradab dan mampu memberikan pendidikan yang benar kepada anaknya.

Kisah Luqman menginspirasi kita, bahwa pembentukan manusia beradab, sepatutnya diutamakan dalam pendidikan keluarga dan pendidikan secara keseluruhan, dengan orang tua sebagai pendidik utamanya. Penanaman adab memerlukan keteladanan, pembiasaan, dan penegakan disiplin. Apa pun kondisi orang tua, mereka tidak boleh lepas tanggung jawab dari pendidikan anak-anaknya.

Untuk menanamkan adab tidak berarti orang tua harus pintar. Aspek kesungguhan keikhlasan, dan kesabaran lebih diperlukan. Meskipun begitu, bagaimana pun juga, orang tua tetap wajib mencari ilmu terus-menerus agar mampu menjalankan fungsinya dengan baik; agar hak-hak anak-anaknya terpenuhi, sehingga mereka tidak menuntut orang tuanya di Akhirat kelak. Semoga Allah memberikan kemampuan kepada kita semua untuk menjalankan amanah kita sebagai orang tua dengan baik. Amin. (***)
Ketika orang memanggil ibunya mama dan bapaknya papa, kawannya bro tidak ada yang mencemooh atau sinis, bahkan dianggap modern dan maju. Tapi ketika ada yang memanggil ibu jadi ummi, bapak jadi abi / abah, saudara jadi akhi, ikhwan atau ukhti dan kamu jadi anta/antum mulai ada yang sewot, sinis bahkan mengaitkannya sikap radikal, ekstrim dan intoleran. Dua sikap yang kontras ini bisa dilacak dari cara berpikirnya atau cara pandangnya terhadap kehidupan (worldview), khususnya terhadap Islam, tentang Islam dan dalam berislam (bagi Muslim).
-Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi-